You are on page 1of 33

SMF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:
Muhamad Chairul Fadhil NIM. 1710029054

Pembimbing:
dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL KLINIK

SINDROM NEFROTIK

Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu


Kesehatan Anak

Oleh:
Muhamad Chairul Fadhil NIM. 1710029054

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial klinik yang berjudul Sindrom
Nefrotik. Tutorial klinik ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
Penulisan tutorial klinik ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dan sebagai pembimbing dalam
penyusunan tugas tutorial klinik ini yang telah memberikan banyak waktu dan
kesempatan untuk memberikan bimbingan.
5. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial klinik ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga tutorial klinik ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak.
Samarinda, Desember 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien ............................................................................... 3
2.2 Anamnesa ........................................................................................ 4
2.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................... 6
2.4 Pemeriksan Penunjang ................................................................... 7
2.5 Diagnosis Kerja .............................................................................. 8
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ........................................................................................... 12
3.2 Klasifikasi ...................................................................................... 12
3.3 Patofisiologi ................................................................................... 13
3.4 Manifestasi Klinis .......................................................................... 15
3.5 Penegakan Diagnosis ..................................................................... 15
3.6 Penatalaksanaan ............................................................................. 17
BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................................... 27
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 31

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan proteinuria
masif, hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Umumnya, sindrom nefrotik
disebabkan oleh adanya kelainan glomerulus yang dapat dikategorikan dalam
bentuk primer dan sekunder. Istilah sindroma nefrotik primer dapat disamakan
dengan sindrom nefrotik idiopatik, karena penyebab terjadinya gejala yang tidak
diketahui secara pasti. Selain idiopatik, sindrom nefrotik dapat juga disebabkan
oleh gangguan sistemik lain yang menyebabkan kerusakan ginjal atau yang disebut
juga dengan sindrom nefrotik sekunder.
Prevalensi sindrom nefrotik pada anak berkisar antara 2-5 kasus per 100.000
anak dan paling sering terjadi pada anak-anak dengan usia 3 hingga 5 tahun. Pada
anak, 90% kasus sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik primer dan sisanya
merupakan sindrom nefrotik sekunder. Kebanyakan sindrom nefrotik terjadi pada
anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak lebih sering jika dibanding dengan
angka kejadian sindrom nefrotik pada dewasa, dan kebanyakan sindrom nefrotik
pada anak adalah sindrom nefrotik primer. Sindrom nefrotik primer dapat dibagi
menjadi beberapa jenis sesuai dengan histopatologinya.
Kebanyakan SN pada anak memberikan respon terhadap pengobatan
kortikosteroid (prednison / prednisolon), hanya 10 – 20% yang tidak memberikan
respon terhadap pengobatan kortikosteroid. Disebut SN sensitif steroid (SNSS) bila
penderita memberikan respon dan terjadi remisi dalam empat minggu pengobatan
dengan kortikosteroid, sedangkan bila tidak mengalami remisi disebut SN resisten
steroid (SNRS). Walaupun presentase SNRS dalam jumlah kecil, namun jika tidak
tertangani dengan baik dalam kurun 3 tahun akan mengalami komplikasi
ekstrarenal dan berkembang menjadi gagal ginjal terminal.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan tugas ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan
pembaca serta mendalami kasus yang ada di bagian Ilmu Kesehatan Anak
khususnya pada kasus Sindrorm Nefrotik pada anak.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Identitas pasien
Nama : An. MS
Usia : 14 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 39 Kg
Tinggi Badan : 152 cm
Anak ke : Kedua dari dua bersaudara
Agama : Islam
Alamat : Samarinda
MRS : 24 Oktober 2018

2.2 Anamnesa
Anamnesa dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2018, di ruang Cempaka.
Autoanamnesa oleh pasien dan heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.

Keluhan Utama
Rencana kemoterapi

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ke Poli Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda oleh
orangtuanya untuk menjalani program kemoterapi CPA yang ke empat. Pasien
saat ini datang dengan tidak ada keluhan. Saat pertama kali terdiagnosis
Sindrom Nefrotik empat bulan yang lalu, pasien mengeluhkan bengkak (oedem)
yang dialami di bagian wajah, kelopak mata, tangan, kaki, dan daerah kemaluan.
Pasien juga mengeluh kram- kram pada kedua tangan dan kaki. Pasien
mengalami kondisi ini setelah sebelumnya mengalami cacar air dalam waktu
yang hampir bersamaan.

3
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami cacar air empat bulan yang lalu

Riwayat Alergi
Riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Riwayat penyakit keluarga lain HT (-), DM (-), Asma (-)

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 3300 gram
Panjang badan lahir : 51 cm
Berat badan sekarang : 39 kg
Tinggi badan sekarang : 152 cm
Gigi keluar : 6 bulan
Tengkurap : 3 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : OT lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara : 12 bulan

Makan dan Minum Anak


ASI : ASI ekslusif hingga usia 8 bulan
Susu sapi : 7 bulan, namun masih diselingi ASI
Makanan lunak : Mulai usia 7 bulan
Makan padat dan lauknya : 9 bulan

Pemeriksaan Prenatal
Periksa di : Klinik bidan
Penyakit kehamilan : Tidak ada

4
Obat-obat yang sering diminum : Tidak ada

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bidan
Ditolong oleh : Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm
Jenis partus : Spontan pervaginam

Keluarga Berencana
Keluarga Berencana : tidak ada
Jadwal Imunisasi
OT mengatakan anak divaksin rutin sesuai jadwal imunisasi

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2018
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 39 Kg
Panjang Badan : 152 cm
Tanda Vital : Tekanan Darah 110/60 mmHg
Nadi 92 x/menit
Pernafasan 22 x/menit
Temperatur axila 36,6o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam, tebal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(+/+)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

5
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris,
retraksi supra sternum (-), retraksi
supraclavicula (-),
Palpasi : Pelebaran ICS (-), fremitus raba D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Stridor (-), Ronki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung: Inspeksi :Ictus cordis tampak pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Palpasi :Ictus cordis teraba pada ICS 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Normal pada batas jantung
Auskultasi : S1S2 kesan normal
Abdomen
Inspeksi : Cembung, scar (-)
Palpasi : Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi : Timpani, acites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)
Ekstremitas inferior : Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium 24 Oktober 2018
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Leukosit 17.100/mm3 6.000 – 17.000/ mm3
Eritrosit 4.80 ul 3.90 – 5.90 ul
Hemoglobin 13.8 g/dl 14,0 – 18,0 g/dl
Hematokrit 43.6 % 34,0 – 40.0%

6
Trombosit 372.000 / mm3 150.000 – 450.000/ mm3

Kimia Klinik
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Ureum 20.0 mg/dl 19.3 – 49.2 mg/dl
Creatinin 0.6 mg/dl 0.7 – 1.3 mg/dl
Albumin 4.3 g/dl 3.5 – 5.5 g/dl
Natrium 140 mmol/L 135 – 155 mmol/L
Kalium 3.2 mmol/L 3.6 – 5.5 mmol/L
Clorida 97 mmol/L 98 – 108 mmol/L

Urinalisa
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Berat Jenis 1.007 1.003 – 1.300
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6.0 4.8 – 7.8
Protein +1 Negatif (-)
Leukosit 0-1 0-1 /LPB
Eritrosit 0-1 0-1 /LPB
Kristal Negatif (-) Negatif (-)
Bakteri Negatif (-) Negatif (-)

3 Diagnosis Kerja (Poli anak)


Sindrom Nefrotik Dependent Steroid

4 Penatalaksanaan
1. IVFD D5 ½ NS 2.600 cc/ 24 jam
2. KCL drip 7,4 meq (10 cc)/ kolf
3. Prednison 3 x 5 mg
4. Captopril 3x 12,5 mg
5. Valsartan 1x 40 mg

7
Lembar Follow Up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
23 Oktober 2018 S: Keluhan (-), Bengkak (-), A : - SN dependent steroid
(perawatan H-1) demam (-), batuk pilek (-) Planning pemeriksaan:
- DL
O: KU sedang, kesadaran cm, - Albumin, Ur, Cr,
akral hangat, anemis (-/-). BB= - SE (Na, K, Cl)
39 kg - UL
TD: 110/60, N: 92x/menit, RR:
22x/menit, T: 36.6 oC P:
1. IVFD D5 ½ NS 2.600 cc/
24 jam
2. Prednison 3 x 5 mg
3. Captopril 3x 12,5 mg
4.Valsartan 1x 40 mg PO
24 Oktober 2018 S: Keluhan (-), Bengkak (-), A : - SN dependent steroid
(perawatan H-2) BAK banyak, demam (-), batuk
pilek (-) P:
1. IVFD D5 ½ NS 2.600 cc/
O: KU sedang, kesadaran cm, 24 jam
akral hangat, anemis (-/-). BB= 2. KCL drip 7,4 meq (10
39 kg cc)/ kolf
TD: 110/60, N: 92x/menit, RR: 3. Prednison 3 x 5 mg
22x/menit, T: 36.6 oC 4. Captopril 3x 12,5 mg
5.Valsartan 1x 40 mg PO
Hasil Pemeriksaan DL Pro Kemoterapi CPA besok
Leukosit 17.100/mm3
Eritrosit 4.80 ul
Hemoglobin 13.8 g/dl
Hematokrit 43.6 %

Hasil pemeriksaan kimia klinik

8
Ureum 20.0 mg/dl
Creatinin 0.6 mg/dl
Albumin 4.3 g/dl
Natrium 140 mmol/L
Kalium 3.2 mmol/L
Clorida 97 mmol/L

Hasil pemeriksaan UL
Berat Jenis 1.007
Kejernihan Jernih
pH 6.0
Protein +1
Leukosit 0-1
Eritrosit 0-1
Kristal Negatif (-)
Bakteri Negatif (-)
25 Oktober 2018 S: Pasien berada diruang A : - SN dependent steroid
(perawatan H-3) kemoterapi

26 Oktober 2018 S: Bengkak (+), BAK banyak, A : - SN dependen steroid


(perawatan H-4) nyeri perut (-), demam (-), batuk P:
pilek (+) 1. IVFD D5 ½ NS 2.600 cc/
24 jam
O: KU sedang, kesadaran cm, 2. KCL drip 7,4 meq (10
akral hangat, anemis (-/-). BB= cc)/ kolf
39 kg 3. Prednison 3 x 5 mg
TD: 110/60, N: 95x/menit, RR: 4. Captopril 3x 12,5 mg
21x/menit, T: 36.9 oC 5.Valsartan 1x 40 mg PO

Pasien boleh KRS

9
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
(KONSENSUS IDAI, 2012)

3.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut :
o Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
o Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
o Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
o Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
o Nefropati Membranosa (GNM)

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai


berikut :
o lupus erimatosus sistemik (LES)
o keganasan, seperti limfoma danleukemia
o vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
o Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

10
Batasan yang digunakan pada sindrom nefrotik :
Tabel 3.1. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindroma nefrotik. (KONSENSUS IDAI, 2012)
Batasan Keterangan
Remisi Proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4mg/m2 LPB/jam) 3
hari berturut-turut dalam satu minggu
Relaps Proteinuria ≥2+ (>40mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin sewaktu >2mg) 3 hari berturut dalam satu minggu
Sensitif steroid Sindrom nefrotik yang remisi setelah pemberian prednison dosis
(SNSS) penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu
Resisten steroid Tidak mengalami remisi setelah pemberian prednison dosis penuh
(SNRS) (2mg/kg/hari) selama 4 minggu
Relaps jarang Relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4x per tahun
Relaps sering Relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal ≥ 4x
dalam periode satu tahun
Dependen Relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan
steroid (alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan

3.3 Patofisiologi
Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas
dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan
hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan
kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal
segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari
limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas
dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan
MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi kunci gen koding
protein podosit antara lain inter alia NPHS1, NPHS2, CD2AP, TRCP6 dan ACTN4.
1) Edema
Edema merupakan manifestasi klinik yang pertama kali muncul pada
pasien-pasien dengan sindrom nefrotik. Biasanya, muncul edema ringan dan
muncul di tempat-tempat tertentu seperti di daerah periorbital pada pagi hari yang
menjadi lebih luas jika pasien beraktivitas. Edema disebabkan oleh menurunnya
tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan intravaskular berpindah ke
ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus
menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.

11
Sebagai akibatnya, volume cairan intravaskular berkurang sehingga menurunkan
jumlah aliran darah ke renal. Ginjal akan melakukan kompensasi dengan
merangsang produksi renin-angiotensin dan peningkatan sekresi anti diuretik
hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang menyebabkan retensi natrium dan air
dan terjadinya edema. Pada tingkat yang lebih parah, edema dapat menyebabkan
berbagai gejala yang berhubungan dengan asites, efusi pleura, dan edema scrotal
atau vulva.
2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada
anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada
keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan
jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme
secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada
tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien
sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein
dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan
normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan
penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan
bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun
diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis
terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.

3) Proteinuria
Protenuria sebagia besar berasal dari kebocoran glomerulus dan hanya
sebagian kecil dari sekresi tubulus. Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan albumin. Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan
keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70kD
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective
barrier ( suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.
4) Hiperkolesterolemia

12
Tingkat kolesterol dalam darah pada pasien steroid-responsive NS dapat
ditemukan dalam kadar yang tinggi (kolesterol level serum ≥300-500 mg/dL).
Peningkatan kolestrol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL),trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer. Peningkatan sintesis
lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan perubahan tekanan
onkotik.

3.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis yang menyertai sindroma nefrotik antara lain:
1. Proteinuria
2. Edema
3. Edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema
biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan
disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan
ekstremitas bawah
4. Asites atau efusi pleura
5. Anoreksia
6. Iritabel
7. Nyeri perut ,diare
3.5 Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain:
 Urinalisis
Proteinuria dapat dideteksi menggunakan uji dipstick dengan hasil +3 atau
+4. Pemeriksaan kuantitatif menunjukan hasil dengan batasan 1-10g/hari.
Proteinuria pada SN didefinisikan >50mg/kg/hari atau >40mg/m2 LPB/jam.
Jumlah protein yang diekskresikan dalam urin tidak mencerminkan kuantitas
protein yang melewati glomerular basement membrane (GBM) karena sejumlah
tertentu telah direabsorbsi di tubulus proksimal. Biasanya pada SN resisten
terhadap steroid (SNRS), urin tidak hanya mengandung albumin tapi juga protein

13
lain engan berat molekul yang lebih tinggi. Hal ini dilihat pada polyacrylamide gel
electrophoresis dan dihitung dengan alat indeks selektivitas.
 Pemeriksaan Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau
rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah
 Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
 Albumin
Protein serum biasanya menurun dan lipid serum dapat meningkat.
Proteinemia <50g/L terjadi pada 80% pasien dan <40g/L pada 40% pasien.
Konsentrasi albumin menurun <20g/L hingga 10g/L.
 Kolestrol serum
Hiperlipidemia akibat dari peningkatan sintesis kolestrol, trigliserida dan
lipoprotein, menurunnya katabolisme lipoprotein karena menurunnya
akitivitas lipase lipoprotein.
 Elektrolit serum
Kadar natrium yang rendah berkaitan dengan dilusi yang disebabkan
hipovolemia dan sekresi hormon antidiuretik yang terganggu. Kalium dapat
meningkat pada pasien oliguria.
 Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Kadar blood urea nitrogen dapat normal atau sedikit meningkat, anemia
dengan mikrositosis bias terjadi dan berhubungan dengan kehilangan
siderophilin melalui urin.
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus
Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (LFG).

eLFG = k x L/Scr

eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)


L : tinggi badan (cm)

14
Scr : serum kreatinin (mg/dL)
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7)

3.6 Tatalaksana
1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2) Pengukuran tekanan darah
3) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik,
seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
4) Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada
setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.
5) Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan
isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis
diberikan obat antituberkulosis (OAT).

15
Pasien dengan gambaran klinis dan laboratorium konsisten Pasien secara klinis dan atau
dengan perubahan minimal sindrom nefrotik gambaran laboratorium
mengindikasikan lesi glomerulus
dibandingkan perubahan minimal
Diterapi dengan predinison pada dosis 60mg/m2/hari sindrom nefrotik
dalam beberapa dosis (dosis maksimal 80mg/hari)

Rujuk ke ahli nefrologis pediarik


Respon baik terhadap untuk melakukan biopsy ginjal dan
terapi dengan tidak Tidak ada respon
menetapkan terapi yang sesuai
ada relaps. Lanjutkan terhadap terapi
dengan temuan biopsy. Opsi terapi
prenison sesuai berupa kortikosteroid puls IV,
diperlukan siklosporin A dan levamisol
sebagai tambahan terhadap
prednisone dan agen sitostatik.
Respon inisial yang baik tetapi pasien sering
Opsi #1
relaps atau delayed resistance terhadap steroid

Rujuk ke pediatrik nefrologis yang akan


melakukan biopsy ginjal (opsi 1) atau
mulai dengan pengobatan lini kedua
tanpa biopsy (opsi 2)

Opsi #2 Tidak ada respon, atau pasien memiliki

Pemberian agen sitostatika selama 8-12 minggu relaps persistent sindrom nefrotik

Gambar 3.1 Algoritma manajemen anak dengan sindrom nefrotik

Pengobatan dengan kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon.
A. Terapi inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60
mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan
ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,

16
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid

Gambar 3.2: Pengobatan sindroma nefrotik dengan terapi insial

B. Pengobatan relaps
Skema pengobatan relaps dengan prednison dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada
pasien SN remisi yang mengalami proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema,
sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila
kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat
ditegakkan, dan prednison mulai diberikan.

Gambar 3.3 : Pengobatan SN relaps

C. Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid

17
1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb
secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb
setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang
tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini
disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian
dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara
alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis
terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison
diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian
diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitis rash,
dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal , maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang

18
dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls
diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA
puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum
tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi
yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah
leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat
dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL,
hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Pengobatan
klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi

Gambar 3.4: Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral


Keterangan:
Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilajutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD)
40mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal
selama 8 minggu

19
Gambar 3.5: Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100-150
mg/m2 LPB).15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat
dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali
(dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA dapat
dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.16 Efek
samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

20
D. Pengobatan SN dengan kontraindikasi steroid
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka
dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).

E. Pengobatan SN resisten steroid


Pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan
remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA,
bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten
steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls.

Gambar 3.6 : Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid

2. Siklosporin (CyA)

21
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak
20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.
Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi
gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
o Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
o Kadar kreatinin darah berkala.
o Biopsi ginjal setiap 2 tahun.

3. Metilprednisolon puls
Pengobatan SNRS dengan metil prednisolon puls selama 82 minggu + prednison
oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30
mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan
dalam 2-4 jam.
Tabel 3: Protokol metilprednisolon dosis tinggi
Minggu Metilprednisolon Jumlah Prednison oral
ke -
1–2 30mg/kgbb, 3 x seminggu 6 Tidak diberikan
3 – 10 30mg/kgbb, 1 x seminggu 8 2mg/kgbb, dosis
tunggal
11 – 18 30mg/kgbb, 2 minggu sekali 4 Dengan atau
tanpataper off
19 – 50 30mg/kgbb, 4 minggu sekali 8 Taper off pelan-pelan
51 – 82 30mg/kgbb, 8 minggu sekali 4 Taper off pelan-pelan

Terapi Suportif
A) Diet
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan koantraindikasi, hal ini
karena pemberian diet tinggi protein akan menambahkan beban glomerulus untuk
mengeluarkan sisa metobolisme dari protein (hiperfiltrasi) sehingga akan
menyebabkan sklerosis glomerulus. Sedangkan jika diberikan diet rendah protein
akan, pasien akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan

22
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai
dengan recommended daily allowances yaitu 1,5-2g/KgBB/hari. Selain itu, dapat
juga diberi diet rendah garam (1-2g/hari) tetapi hanya diperlukan selama anak
menderita edema.
B) Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama edema berat. Biasanya diberikan
furosemid 1-3 mg/KgBB/hari, bila perlu kombinasi dengan spironolakton 2-4
mg/KgBB/hari.
Jika pemberian diuretik tidak berhasil, maka dapat deberikan infus albumin
20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari
interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid IV 1-2 mg/KgBB.

Algoritma pemberian diuretik

C) Batasan Intake Cairan Peroral


Pasien dengan sindrom nefrotik harus dibatasi asupan cairannya, hal ini
dilakukan untuk mengurangi tingkat keparahan edema yang terjadi seperti edem
paru, dan peningkatan kerja jantung (cardiac overload). Beberapa penelitian
mengemukakan prinsip asupan cairan pada anak dengan sindrom nefrotik. Prinsip
yang dikemukakan adalah asupan cairan yang dapat dikonsumsi harus seimbang

23
dengan urine output sehari sebelumnya ditambah dengan insensible water loss
(IWL)
(KONSENSUS IDAI, 2012)

3.7 Prognosis
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik tergantung dari tipe
histopatologinya. Pasien dengan Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS)
memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya End Stage Renal Disease (58,6%)
dibanding dengan pasien dengan Diffuse Mesangial Proliferasion (DMP) sebanyak
50% dan Minimal Change Disease (MCD) sebanyak 4,9%.

24
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Edema dapat bervariasi dari bentuk ringan - Riwayat bengkak wajah, kelopak mata, kaki,
sampai berat (anasarka). Edema biasanya tangan, daerah genital

lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan - Riwayat cacar air 4 bulan yang lalu

umumnya ditemukan disekitar mata


(periorbital) dan berlanjut ke abdomen
daerah genitalia dan ekstremitas bawah.
Asites atau efusi pleura, Anoreksia, Nyeri
perut ,diare

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti


penyakit sistemik

4.2 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
DIAGNOSIS Diagnosis:
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan- klinis Pasien sebelumnya telah
yang ditandai dengan gejala:
 Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam terdiagnosis SN dan saat ini
atau rasio protein/kreatinin pada urin keadaan klinis dan pemeriksaan
sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+) penunjang menunjukan hasil
 Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
yang membaik
 Edema
 Hiperkolesterolemia > 200 mg/dL.
Hasil Pemeriksaan DL

PEMERIKSAAN PENUNJANG Leukosit 17.100/mm3


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara Eritrosit 4.80 ul
lain:
Hemoglobin 13.8 g/dl
 Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan

25
bila didapatkan gejala klinis yang mengarah Hematokrit 43.6 %
kepada infeksi saluran kemih.
 Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan
urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada Hasil pemeriksaan kimia klinik
urin pertama pagi hari Ureum 20.0 mg/dl
 Pemeriksaan darah
Creatinin 0.6 mg/dl
o Darah tepi lengkap (hemoglobin,
leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, Albumin 4.3 g/dl
hematokrit, LED) Natrium 140 mmol/L
o Albumin dan kolesterol serum
Kalium 3.2 mmol/L
o Ureum,kreatinin serta klirens kreatinin
dengan cara klasik atau dengan rumus Clorida 97 mmol/L
Schwartz
Hasil pemeriksaan UL
Berat Jenis 1.007
Kejernihan Jernih
pH 6.0
Protein +1
Leukosit 0-1
Eritrosit 0-1
Kristal Negatif (-)
Bakteri Negatif (-)

26
4.2 Tatalaksana
Teori Kasus
Tatalaksana umum: Tatalaksana :
- Diitetik : diet protein normal 1,5 – 2 1. IVFD D5 ½ NS 2.600 cc/ 24 jam
gr/kgbb/hari, selama edema diet rendah
garam (1-2 gr/hari) 2. KCL drip 7,4 meq (10 cc)/ kolf
- Diuretik : Furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, 3. Prednison 3 x 5 mg
bila perlu dikombinasikan dengan diuretic 4. Captopril 3x 12,5 mg
hemat kalium, Spironolakton 2-4
mg/kgbb/hari 5.Valsartan 1x 40 mg PO
Pengobatan kortikosteroid: 6. Siklofosfamid 800 mg
- Terapi inisial : prednisone 60
mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari
(maksimal80mg/ hari) dalam dosis terbagi,
untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi
badan). Prednison dosis penuh (full dose)
inisial diberikan selama 4 minggu.Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis
awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makanpagi.Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid
Pemberian ACE Inhibitor untuk mengurangi
proteinuria dan menurunkan tekanan Hidrostatik.
Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau
dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4.Pengobatan dengan siklosporin, atau
mikofenolat mofetil(opsi terakhir)

27
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki An. MS usia 14 tahun
yang didiagnosis dengan Sindrom Nefrotik dependen Steroid, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus
tersebut.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus tatalaksana sindrom nefrotik


idiopatik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.

2. Jerome C Lane, M.D. Nephrotic syndrome [Internet]. New York: WebMD


LLC.; 2014 [diakses tanggal 8 Januari 2015]. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/9 82920-overview#a0101

3. Eric PC. Nephrotic syndrome [internet]. New York: WebMD LLC.; 2014
[diakses
tanggal 8 Januari 2015]. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/2
44631-overview

4. Bernward G, Hinkes B, Christopher N, Vlangos RG, Jinhong L, Katrin H, et al.


Nephrotic syndrome in the first year of life: twothirds of cases are caused by
mutations in 4 genes(nphs1, nphs2, wt1, and lamb2). Pediatrics. 2007;
119(4):e907-19.

5. El Bakkali L, Rodrigues Pereira R, Kuik DJ, Ket JC, van Wijk JA. Nephrotic
syndrome in the Netherlands: a population-based cohort study and a review of the
literature. Pediatr Nephrol. 2011; 26:1241–6.

6. Boyer O, Moulder JK, Somers MJ. Focal and segmental glomerulosclerosis in


children: a longitudinal assessment. Pediatr Nephrol. 2007; 22(8):1159-66.

7. Niaudet P. Genetic forms of nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2004;


19(12):1313-8.
8. Partini PT, Djajadiman G, Yulia A. Sindrom nefrotik sekunder pada anak
dengan
limfoma hodkin. Sari Pediatri. 2006; 8(1):37-42 .

9. Kliegman B, Jenson S. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia:


Saunders; 2007.

10. Betz CL, Sowden LL. Pediatrik. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2009.

11. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid.
In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang. Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
Universitas Dopinegoro; 2011.p. 252-9.

12. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2004.p. 381

29

You might also like