You are on page 1of 33

TUGAS TOKSIKOLOGI

Toksisitas Korosif

OLEH:

NAMA : WD. INDAH WULAN H.H. (F1F1 13 058)


FLORA RENI PAKAGE (F1F1 13 067)
M. ARIF (F1F1 13 085)
HAMZAH AZALI (F1F1 13 098)
APRILIANI (F1F1 13 112)
AYU SASTA PIYANA (F1F1 13 152)
RACHMAD MADI (F1F1 12 117)
KELAS : C 2015

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

JUNI 2017

i
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Pertama-tama tidak lupa kami panjatkan puji dan syukur kepada Allah
S.W.T, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Toksisitas Korosif”.
Kami berharap makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan, khususnya
berkaitan dengan toksikologi. Selain itu, dalam makalah ini tentu saja masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga kami juga berharap adanya kritik dan saran yang
membangun demi adanya perbaikan dalam makalah-makalah selanjutnya.

Kendari, Mei 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………... i


DAFTAR ISI ……………………………………..……………………. ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………... 1
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah …………………….…………………….. 2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………… 3
A. Definisi Toksisitas Korosif 3
B. Mekanisme Umum, Karakteristik dan Contoh
Toksisitas Korosif 4
C. Manifestasi Klinik Toksisitas Korosif 9
D. Penanganan Keracunan 11
E. Kasus Toksisitas Korosif 13
BAB III PENUTUP …………………………………………………… 26
A. Kesimpulan …………………………………………………… 26
B. Saran ………..………………………………………………….. 27
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Toksikologi merupakan ilmu yang mempelajari mengenai racun yaitu

mendeteksi, dan menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif cara kerja racun

dalam tubuh dan bahan yang digunakan untuk menetralkan racun. Racun adalah zat

atau bahan yang bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung (inhalasi),

suntikan dan absorbsi melalui kulit, atau digunakan terhadap organisme hidup

dengan dosis relatif besar akan merusak kehidupan atau mengganggu dengan serius

satu atau lebih organ atau jaringan.

Zat korosif terdapat luas di alam. Zat korosif merupakan zat/bahan yang

apabila kontak dan tinggal dalam jaringan, akan menyebabkan kerusakan (terjadi

reaksi kimia). Zat ini meliputi asam (seperti asam hidroklorida, asam sulfat, asam

oksalat, fenol) dan basa/alkali (seperti kalium hidroksida, natrium hidroksida,

natrium fosfat, kalium permanganat dan produk-produk lain yang banyak

ditemukan disekitar rumah atau tempat kerja).

Zat korosif dapat menyebabkan iritasi atau terbakar pada kulit. Semua produk

yang menyebabkan korosif dapat merusak jaringan tetapi tergantung pada tipe zat

korosifnya. Secara umum keracunan yang disebabkan oleh zat korosif terjadi

karena kecelakaan. Kerusakan jaringan karena zat korosif secara umum merupakan

tipe keracunan yang dapat terjadi disekitar rumah. Oleh karena itu, akan dibahas

lebih lanjut dalam makalah ini mengenai pengertian toksisitas korosif sampai

contoh kasus dari toksisitas korosif.

4
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apa definisi senyawa asam, dan alkali/basa yang merupakan zat korosif?

2. Bagaimana mekanisme umum, karakteristik dan contoh senyawa asam, dan

alkali/basa yang merupakan zat korosif?

3. Bagaimana manifestasi klinik senyawa asam, dan alkali/basa yang merupakan

zat korosif?

4. Bagaimana cara penanganan keracunan senyawa asam, dan alkali/basa yang

merupakan zat korosif?

5. Bagaimana penyelesaian kasus toksisitas korosif?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui definisi senyawa asam, dan alkali/basa yang merupakan zat

korosif.

2. Untuk mengetahui mekanisme umum, karakteristik dan senyawa asam, dan

alkali/basa yang merupakan zat korosif.

3. Untuk mengetahui manifestasi klinik senyawa asam, dan alkali/basa yang

merupakan zat korosif

4. Untuk mengetahui cara penanganan keracunan senyawa asam, dan alkali/basa

yang merupakan zat korosif

5. Untuk mengetahui penyelesaian kasus toksisitas korosif.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Toksisitas Korosif

Zat korosif terdapat luas di alam. Zat korosif merupakan zat/bahan yang

apabila kontak dan tinggal dalam jaringan, akan menyebabkan kerusakan (karena

terjadi reaksi kimia). Zat ini meliputi asam (seperti asam hidroklorida, asam sulfat,

asam oksalat, fenol) dan basa/alkali (seperti kalium hidroksida, natrium hidroksida,

natrium fospat, kalium permanganat dan produk-produk lain yang banyak

ditemukan disekitar rumah atau tempat kerja). Zat korosif dapat menyebabkan

iritasi atau terbakar pada kulit yang menyebabkan proses pengkaratan dan korosi

lempeng baja. Semua produk yang menyebabkan korosif dapat merusak jaringan

tetapi tempat terjadinya kerusakan dan bentuk spesifiknya serta intensitasnya

tergantung pada tipe zat korosifnya. Beberapa contoh zat korosif yaitu asam dan

basa/alkali.

1. Asam bersifat korosif

Asam kuat adalah zat kimia dengan pH dibawah 2. Beberapa zat/bahan

seperti sari buah lemon dan minuman bersoda dapat mempunyai pH asam kuat,

tetapi tidak korosif. Senyawa asam meliputi asam anorganik (sulfat,

hidroklorida/muriatik, nitrat, fosfat) dan asam organik (oksalat, tartrat, asetat dan

lain-lain). Meskipun semua asam sama-sama dapat merusak jaringan, tetapi

intensitas kerusakannya berbeda. Tidak semua asam yang cukup korosif menjadi

perhatian utama toksikologi, contoh asam asetat dan asam tartrat.

6
2. Basa/Alkali bersifat korosif

Alkali adalah senyawa kimia dengan pH ≥ 11,5. Alkali sangat mudah

berpenetrasi ke jaringan. Derajat luka karena terpapar alkali tergantung pada

jumlah/kuantitas alkali, konsentrasi zat, lama kontak/waktu terpapar dan tipe

alkali. Produk-produk yang mengandung alkali banyak terdapat pada produk

rumah tangga. Jumlah yang keracunan alkali (di USA) lebih banyak dibanding

keracunan asam. Hal ini berhubungan dengan produk rumah tangga yang disimpan

dengan ceroboh dan mudah dijangkau anak-anak, misalnya saja menyimpan cairan

pembersih lantai beraroma lemon dalam botol air minum mineral sehingga anak-

anak sulit membedakannya dengan sirup.

Kerusakan karena terminum terutama terjadi di esofagus dan lambung

sekitar 20 %. 75% dari semua kasus kerusakan esofagus terjadi pada anak berusia

kurang dari 5 th dan 83% korban dari semua kasus berusia kurang dari 3 tahun

serta 62 % diantaranya adalah laki-laki. Bentuk fisik senyawa alkali dapat

menentukan tempat dan keparahan kerusakan, misalnya kerusakan yang

ditimbulkan oleh zat korosif alkali bentuk cairan akan berbeda dengan kerusakan

yang disebabkan oleh tablet klinites atau kristal drano.

B. Mekanisme Umum, Karakteristik dan Contoh Toksisitas Korosif

1. Asam

i. Mekanisme umum asam bersifat korosif

Kerusakan korosif disebabkan oleh reaksi kimia langsung pada jaringan.

Asam menguraikan protein jaringan. Hasilnya adalah lesi yang kemudian

menyebabkan sel mati dan ditandai dengan penggumpalan jaringan nekrosis.

7
Sebagai konsekuensinya, baik struktur protein maupun enzim diuraikan tetapi

morfologi sel secara keseluruhan tidak terlalu diganggu. Kerusakan selanjutnya

kulit akan menjadi keras, kasar sehingga absorpsi sistemik menurun.

Kerusakan terutama dengan kuantitas asam yang rendah sering terjadi pada

kulit atau saluran pencernaan.

ii. Karakteristik asam bersifat korosif

Setelah asam masuk kedalam saluran pencernaan, kerusakan korosif yang

intens terhadap mukosa oral dan esofagus dapat terjadi tetapi secara signifikan

kerusakan terjadi didaerah duapertiga lambung bagian bawah. Zat yang bersifat

asam merusak lambung dan terjadi koagulasi nekrosis sedangkan zat yang

bersifat basa merusak esofagus dan terjadi liquefactive necrosis (kerusakan

yang terjadi tidak hanya pada permukaan epitel tetapi juga berpenetrasi ke

dinding mukosa dibawahnya). Daerah yang terkena zat menjadi coklat atau

hitam (kecuali kerusakan oleh pikrat dan asam nitrat dimana jaringan menjadi

kuning). Sifat kerusakannya adalah permanen. Jaringan yang rusak tidak dapat

diperbaharui tetapi jaringan yang rusak dapat diganti oleh lapisan epitel baru

yang tipis.

Zat asam yang tertelan secara normal melewati kerongkongan dengan

cepat dan menyebabkan sedikit kerusakan pada area tersebut. Pada sebuah

penelitian menunjukkan bahwa kerusakan esophagus terjadi sedikitnya 6 - 20%

dari semua zat yang tertelan. Zat korosif yang masuk ke dalam saluran

pencernaan juga dapat mengakibatkan perforasi dan hal ini sangat tergantung

dari tipe kerusakannya yang akan dipengaruhi oleh jumlah makanan atau isi

8
lambung. Jika dalam lambung terdapat makanan, maka kerusakannya tidak

akan terlalu parah karena kontak antara zat korosif dengan dinding lambung

dapat terhalang oleh makanan.

iii. Contoh asam bersifat korosif (asam borat)

Asam borat telah direkomendasikan untuk pengobatan selama lebih dari

40 tahun. Asam borat merupakan senyawa bakterostatik yang sangat berpotensi

menyebabkan toksisitas dan bersifat sitotoksik. Asam borat banyak digunakan

sebagai insektisida untuk kecoa atau serangga merayap lain. Asam borat secara

keliru telah digunakan sebagai antiseptik pada persiapan kelahiran bayi dan

beberapa diantaranya menyebabkan kematian. Selain sebagai antiseptik, asam

borat umumnya digunakan sebagai bahan pelincir dalam bedak. Boraks juga

digunakan sebagai bahan pembersih, sedangkan natrium perborat

dimanfaatkan untuk pasta gigi dan obat kumur. Boraks seringkali

disalahgunakan sebagai pengawet makanan dan pengenyal dengan jumlah

yang besar. Meski begitu penggunaan zat ini memberikan rasa gurih dan lezat

pada makanan.

Asam borat cepat berpenetrasi tetapi tidak melalui kulit. Penggunaan

asam borat baik solutio atau serbuk yang digunakan pada luka terbuka dapat

menyebabkan peningkatan keracunan karena asam borat dapat berpenetrasi

pada luka dan menyebabkan efek sistemik yang signifikan. Asam borat sangat

berbahaya bagi semua jaringan dan efeknya tergantung pada organ tubuh serta

konsentrasi yang dicapai pada organ tersebut. Kadar tertinggi tercapai saat zat

diekskresikan di ginjal. Dosis letal pada orang dewasa adalah 15-20 g,

9
sedangkan dosis letal pada anak adalah 5-6 g. Meski begitu, sejumlah kecil

senyawa borat misalnya 1 g dapat juga berakibat fatal. Karakteristik keracunan

asam borak kronik adalah terjadi rash eritemarus yang sangat parah (boiled

lobster rash).

Keracunan asam borat dapat menyebabkan demam, anuria, badan terasa

lemah dan lesu.Korban dapat juga mengalami depresi sistem saraf pusat,

kolaps dan koma.Selain itu dapat juga terjadi kolaps kardiovaskular, gugup,

tremor, konvulsi, korban mengalami hiperpireksia, hipotensi, sianosis,

jaundice (kuning) dan jika parah dapat pula menyebabkan gagal ginjal.Bila

kontak dengan kulit dapat mengakibatkan kulit melepuh, eritema, desquamasi,

dan ekskoriasi.Keracunan akut karena asam borat harus segera ditangani.Hal

terpenting yang harus diperhatikan adalah menjaga agar fungsi-fungsi vital

tetap bekerja. Jika korban mengalami gangguan pernafasan, maka lakukan

pertolongan pertama dengan cara membuat saluran arus udara serta tetap

perhatikan pernafasan korban. Jika zat masuk melalui mulut, evakuasi lambung

perlu dilakukan. Usahakan untuk muntah dan diberi karbon aktif. Jika kontak

dengan kulit atau selaput lendir maka segera cuci kulit/selaput lendir yang

terkontaminasi dengan air mengalir.

Korban dapat diberi cairan secara peroral agar pengeluaran urin lancar.

Dengan demikian asam borat dan turunannya yang ada dalam tubuh dapat

terekskresi secara cepat melalui urin. Jika korban muntah terus sebaiknya beri

dekstrosa 5% secara iv 10-40 ml/kg/hari. Jika perlu tambah elektrolit. Jika

korban mengalami konvulsi beri diazepam 0,1 mg/kg BB iv dengan hati-hati.

10
Keluarkan asam borat atau senyawa borat dari darah melalui dialisis peritonial

atau hemodialisis. Untuk mengatasi keracunan kronik maka kita harus segera

menghentikan penggunaan asam borat dan turunannya. Pengeluaran asam

borat dari darah dapat dilakukan dengan dialisis peritoneal atau hemodialisis.

2. Basa

i. Mekanisme umum basa bersifat korosif

Senyawa alkali dengan protein akan membentuk proteinat dan dengan

lemak akan membentuk sabun. Dengan demikian, bila senyawa alkali kontak

dengan jaringan maka akan menyebabkan jaringan menjadi lunak, nekrosis

(liquevactive necrosis) yang terjadi tidak saja pada permukaan epitel tetapi juga

berpenetrasi ke dinding mukosa dibawahnya. Kerusakan esofagus setelah

keracunan alkali terjadi dalam beberapa tahap.

ii. Karakteristik basa bersifat korosif

Karakteristik keracunan alkali tersebut adalah sebagai berikut :

a) Tahap awal, Fase akut

1) Manifestasi kurang dari 3-5 hari

2) Kerusakan intramuskular atau transdermal melibatkan jaringan

periesofageal dan struktur mediastinum.

3) Inflamasi, edema, dan kongesti pernafasan.

4) Pada kasus parah, esofagus mengalami perforasi.

b) Tahap kedua

1) Terjadi sesudah lebih dari 5 hari-12 hari dan ditandai dengan

liquevactive necrosis karena inflamasi intens dan edema.

11
2) Jika pada saluran cerna tahap ini bisa saja korban mengalami ulkus,

perdarahan dan perforasi dinding esofagus.

c) Setelah tahap akut selesai, proses penyembuhan dan mulai membentuk

bekas luka. Setelah 3-4 minggu, kontraksi dan penyempitan luka mulai

terlihat.

iii. Contoh basa bersifat korosif (amonia atau larutan amonia)

Ammonia, pembersih oven, dan pembersih pipa adalah alkali yang sangat

korosif. Larutan ammonia banyak ditemukan dilingkungan rumah (5-10%) dan

di industri (50%).Ammonia digunakan pada berbagai varietas produk dan korosi

terhadap semua sel. Jika ammonia atau larutan ammonium terminum, maka

korban diterapi seperti menangani keracunan karena zat kaustik lainnya. Zat

yang terhirup dapat menyebabkan iritasi saluran nafas atas, batuk, dyspnea, dan

edema pulmonal. Jika terkontaminasi pada kulit atau mata akan terasa sangat

nyeri dan bersifat sangat korosif. Penanganan keracunan zat ini sama seperti

menangani keracunan alkali secara umum.

C. Manifestasi Klinik Toksisitas Korosif

1. Asam

Keracunan asam korosif akan memberikan tanda/gejala yang berbeda

tergantung rute zat korosif masuk kedalam tubuh/melukai jaringan. Pemaparan zat

korosif dapat melalui oral (masuk melalui mulut kemudian merusak saluran

pencernaan), melalui inhalasi (pernapasan), kontak dengan kulit (dermal) atau

kontak dengan mata (okular).

12
Tabel 1. Manifestasi Klinik Toksisitas Zat Korosif Pada Keracunan Akut

Rute Pemaparan Tanda dan Gejala

Saluran Cerna - Rasa terbakar pada mulut, tenggorokan, perut


(Tertelan) - Muntah, mungkin bisa sampai berdarah
- Diare (berdarah, berlendir)
- Timbul bercak noda di sekitar mulut
- Kesulitan menelan
- Sekresi cairan berlebih
- Hipotensi
Inhalasi - Iritasi bronkus
- Edem paru
- Dahak berbusa
- Kelembaban berkurang
- Hipotensi
- Hemoptisis (terjadi pendarahan selaput lender pada
paru-paru)
- Dispnea
Kulit - Noda pada kulit
- Nyeri terbakar
Mata - Kongjungtivitis
- Destruksi kornea
- Nyeri, lakrimasi
- Fotopobia

2. Basa

Keracunan alkali korosif, sama seperti pada keracunan asam, akan

memberikan tanda/gejala yang berbeda tergantung rute zat korosif masuk kedalam

tubuh/melukai jaringan. Pemaparannya dapat melalui oral (masuk melalui mulut

kemudian merusak esofagus), melalui inhalasi (pernafasan), kontak dengan kulit

(dermal) atau kontak dengan mata (okular).

Manifestasi Klinik Keracunan Alkali Akut

i. Mulut: Rasa sakit, muntah, diare, kolaps. Gejala ikutan: rasa sangat sakit,

rasa kaku pada lambung, hipotensi, penyempitan pangkal tenggorokan dan

kanker.

13
ii. Keracunan oleh senyawa alkali lain seperti heksametofosoat, tripolifosfat,

senyawa fosfat lain sebagai detergen/pencahar yang masuk melalui mulut:

syok, hipotensi, pulsa lemah, sianosis, koma, gejala tetanus (kadang-kadang).

iii. Mata yaitu kerusakan kornea, edema konjungtiva.

iv. Kulit yaitu terjadi penetrasi secara perlahan. Kulit terbakar, korosi, iritasi

tergantung pada lamanya kontak.

v. Keracunan alkali kronik yang kontak dengan kulit dapat menyebabkan

dermatitis kronik.

D. Penanganan keracunan

1. Asam

Keracunan oleh asam, baik yang terpapar melalui mulut, inhalasi, dermal atau

mata harus ditangani dengan segera. Aturan penanganan keracunan ini didasarkan

pada pengalaman klinik dan tidak selalu dilakukan menurut standar umum.

i. Penanganan keracunan asam melalui kontak dengan kulit atau mata

Adanya kontaminasi pada kulit atau mata karena asam harus diberikan

penanganan segera. Penanganan keracunan asam yang kontak dengan mata atau

kulit dilakukan dengan cara mencuci mata atau kulit yang terkena zat korosif asam

dengan air biasa sebanyak-banyaknya kurang lebih 15 – 20 menit. Bila iritasi yang

terjadi parah, maka tutup mata dengan kain kasa steril tanpa diberi pengobatan dan

segera bawa ke dokter mata. Selain itu, pakaian, perhiasan atau lensa kontak yang

terkontaminasi harus segera di lepas. Mencuci luka dengan larutan sabun yang

ringan dapat pula dilakukan untuk menetralisasi asam. Jangan menggunakan

antidot bahan kimia karena itu akan memperparah iritasi. Atasi rasa sakit dengan

14
obat analgetika dan atasi kerusakan kulit seperti mengatasi kerusakan kulit karena

luka bakar.

ii. Penanganan keracunan asam melalui mulut

Tindakan penanganan keracunan asam melalui mulut dan masuk ke saluran

pencernaan harus memperhatikan konsentrasi larutan asam yang terminum.

Tindakan gawat darurat yang harus segera dilakukan adalah menghindari

penggunaan emetikum atau menguras lambung. Hal ini dilakukan untuk mencegah

asam mengenai jaringan lain serta mencegah meluasnya iritasi mukosa yang

terjadi. Dalam beberapa detik setelah keracunan, korban segera diberi minum air

putih sebanyak-banyaknya atau susu. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk

mengencerkan konsentrasi asam yang tertelan. Jumlah air atau susu untuk

mengencerkan kira-kira 100 kali dari jumlah asam yang tertelan. Antasida dapat

diberikan sebagai demulcent. Selain itu, korban jangan diberi minuman soda atau

sodium bikarbonat karena gas karbondioksida akan segera dilepaskan sehingga

bisa menyebabkan perut kembung.

Hindari terjadinya depresi system saraf pusat dengan obat antidpresan yang

bias juga berfungsi sebagai penghilang rasa sakit walaupun bias juga diatasi

dengan pemberian morfin sulfat 5-10 mg tiap 4 jam. Tindakan lain yang diperlukan

dan harus segera dilakukan adalah mengatasi sesak karena edema pangkal

tenggorokan dengan menjaga saluran pernafasannya. Atasi syok dengan cara

menjaga tekanan darah dengan transfusi darah atau pemberian larutan infus

dekstrosa 5% dalam larutan garam normal. Bila terjadi perforasi

lambung/esofagus, jangan diberi apa-apa secara oral sebelum di endoskopi.

15
Korban harus tetap mendapatkan nutrisi cukup. Pemberian karbohidrat atau cairan

hiperalimentasi dapat diberikan melalui rute intravena. Bila keracunan terjadi

melalui inhalasi, kurangi penyempitan esofagus dengan prednisolon 2 mg/kg/hari

dalam dosis terbagi selama 10 hari. (Mungkin pula memerlukan dilatasi).

2. Basa

Penanganan keracunan zat korosif tergantung pada rute paparannya.

Penanganan keracunan alkali melalui mulut adalah dengan mengencerkan senyawa

alkali yang tertelan dengan air atau susu dan biarkan korban muntah secara alami

tetapi jangan dilakukan usaha untuk muntah atau menguras lambung karena akan

meningkatkan resiko perforasi.

Penanganan keracunan alkali yang kontak dengan mata atau kulit adalah

dengan mencuci mata atau kulit dengan air biasa sebanyak-banyaknya, kurang

lebih selama 15 – 20 menit dan bila parah cuci sampai 8-24 jam. Bila kontaminasi

pada mata parah, segera tutup mata dengan kain kasa steril tanpa diberi pengobatan

dan segera bawa ke dokter mata. Pakaian, perhiasan atau lensa kontak yang

terkontaminasi harus segera di lepas. Sabun/basa kuat sebaiknya tidak digunakan

selama atau setelah proses pembilasan/pencucian.

E. Kasus Toksisitas Korosif

1. Studi Kasus I

Seorang wanita 83 tahun membersihkan bathtube dengan clorox (5,2 %)

tanpa diencerkan. Karena noda sulit dihilangkan walaupun dengan sabun maka dia

menambahkan sani flush (mengandung 80% Natrium bisulfat). Dengan cepat dia

merasa terbakar pada mulut, hidung, tenggorokan dan mata. Pada akhirnya dia

16
kesulitan bernafas. Dia masuk UGD dengan gejala pulmonari edema.

Mendapatkan treatmen oxigen, prednison, morfin. Dia sembuh setelah 10 hari.

Pembahasan:

Apa yang terjadi ketika pemutih dicampur dengan sani flush (80% Natrium

bisulfat)?

Pemutih jika bereaksi dengan basa (Natrium bisulfat) akan melepaskan gas

klorin atau kloramin menyebabkan iritasi membran mukosa dan saluran nafas jika

terhirup. Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan asphyxiation (sesak

nafas karena kurang asam di darah).

2. Studi Kasus II

Anak laki-laki berusia 4,5 bulan mengalami seizure sejak berumur 2 bulan.

Ketika berusia 3 bulan, dia didiagnosa menderita epilepsi dan diterapi dengan

fenobarbital. Seizure berlanjut walaupun digunakan medikasi antiepilepsi. Saat

dibawa ke RS, ia pucat, cepat marah, eritema kering diatas kepala, badan dan

lengan. Hasil penetapan fisik secara umum tidak bermakna.

Hasil laboratorium sebagian besar kurang normal, tetapi anemia hipokromik

normositik terdeteksi. Selama pemeriksaan pasien cepat marah dan mulai

menangis. Untuk menenangkan anak, ibunya memberi makanan dot dalam botol

coklat kecil yang dia bawa. Ketika dia memberi bayi dot dengan cairan kuning

kecoklatan tersebut, dia dengan segera berhenti menangis.

Botol berlabel Borax dan Madu”. Daftar kandungannya yaitu borax 10,5 g,

gliserin 5,25 g, dan madu 100 g. Secara jelas dia mempelajari hal ini dari ibunya

17
yang telah menggunakan sediaan tersebut kepada semua anaknya. Anak telah

menerima kira-kira 1 ounce perminggu sejak dia berusia 1 bulan.

Dengan informasi ini, sampel urin dan darah dianalisa kandungan asam

boraksnya. Setelah terapi minuman dot borax madu tidak dilanjutkan anak tidak

mengalami seizure lanjutan, dan rekaman EEG kembali normal setelah 1 minggu.

Terapi fenobarbital tidak dilanjutkan. Bayi diizinkan keluar RS, tetapi terapi

suplemen Fe dimulai. Setelah beberapa bulan, profil darah kembali normal.

Kandungan yang Mg/dL


ditentukan Darah Urin
Borax 14,5 12,3
Asam borat 9,44 7,95

Pembahasan:

Pada bayi tersebut mengalami keracunan borax kronik yang berasal dari

minuman. Secara umum, kandungan borax pada makanan/minuman dapat

menambah gurih cita rasa makanan sehingga bayipun menyukainya. Asam borat

sendiri akan dieliminasi secara alami melalui sekresi urin. Seizure dan epilepsi

yang dialami bayi tersebut merupakan manifestasi klinik keracunan asam borat

sehingga saat minuman yang mengandung borax dihentikan dan bayi tidak lagi

mengalami seizure maka pemberian fenobarbitalpun tidak lagi diperlukan.

Pemberian suplemen Fe ditujukan untuk mengatasi anemia hipokromik normositik

yang dialami bayi tersebut diatas berdasarkan hasil tes laboratoriumnya.

3. Studi Kasus III

Keracunan Arsen

Seorang ayah berumur 27 tahun mengeluh tenggorokannya

membengkak, mulut kering, dan salivanya bercampur darah. Setelah

18
pemeriksaan fisik, dan dilakukan kultur dari tenggorok, dia didiagnosa

menderita infeksi viral pernafasan atas. Dua hari kemudian, pria ini kembali ke

Rumah Sakit mengeluh mengalami pernafasan pendek. Kemudian, selama

dilakukan evaluasi, pasien ini mengalami syok, henti nafas, dan kejang-kejang.

Terdapat penurunan jumlah hematokrit dan peningkatan angka leukosit. Pasien

meninggal. Semua anggota keluarga pasien yang lainnya lalu diperiksa setelah

mengeluh gejala-gejala masalah gastrointestinal.

Dokter keluarga yang menangani kemudian menyarankan untuk

melakukan tes pemeriksaan tanah dan air dari lingkungan sekitar tempat

tinggal keluarga tersebut. Ternyata 8 dari 9 anggota keluarga tersebut diketahui

menderita intoksikasi arsenic. Perubahan status mental dan kejang-kejang

dijumpai pada 4 orang anggota keluarga. Muntah, diare, anemia, dan epistaksis

dapat terlihat. 3 anggota keluarga kemudian mengalami koma. Terdapat

Leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria, dan peningkatan kreatinin

serum. Jumlah air yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut berhubungan secara

langsung dengan jumlah arsenic yang ditemukan pada urin mereka. Sampel-

sampel air mengandung 108 ppm (part permillion / bagian perjuta) arsenic.

Sampel tanah mengandung 781 sampai 5070 ppm arsenic pada area sekitar

sumur. Kontaminasi dari pestisida dicurigai sebagai penyebab namun tidak

dikonfirmasikan lebih lanjut. Para penyusun tulisan ini berpendapat bahwa

lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber penyakit ketika diagnosis

penyakit adalah tidak jelas.

19
Pembahasan:

i. Pasien pertama dari anggota keluarga penderita tersebut adalah si

ayah, usia 27 tahun. Yang mendorongnya pertama kali untuk

memeriksakan diri ke rumah sakit adalah keluhan pembengkakan

tenggorokan, mulutnya kering, dan salivanya bercampur dengan

darah.

ii. Pasien tersebut pertama kali didiagnosa menderita infeksi viral

saluran pernafasan atas. Pasien pulang, dan kembali lagi ke rumah

sakit dengan keluhan yang lebih berat; mengeluh mengalami

pernafasan pendek. Setelah dievaluasi, pasien syok, terjadi henti

nafas, dan kejang-kejang. Terdapat penurunan jumlah hematokrit

dan peningkatan angka leukosit. Pasien akhirnya meninggal. Sampai

sejauh ini belum diketahui penyebab pasti semua gangguan

kesehatan pasien tersebut sampai pada akhirnya ia meninggal.

iii. Baru didapatkan titik terang setelah 9 anggota keluarga yang lain

datang ke rumah sakit mengeluhkan terjadi gangguan

gastrointestinal.

iv. Setelah dilakukan pemeriksaan; dari sampel tanah didapatkan

kandungan arsen 108 ppm dan dari sampel air didapatkan

kandungan arsen sebanyak 781 sampai 5070 ppm.

v. Dari kasus di atas dapat diketahui bahwa para pasien dari keluarga

tersebut menderita keracunan arsen di lingkungan tempat tinggal

mereka (disekitar sumur sebagai sumber air keluarga tersebut).

20
vi. Gejala-gejala keracunan arsen yang terlihat dari para pasien tersebut

antara lain:

1) Pernafasan: pernafasan pendek, henti nafas.

2) Peredarah darah: epistaksis, syok.

3) Susunan syaraf pusat: perubahan status mental, kejang-kejang,

koma.

4) Saluran pencernaan: pembengkakan tenggorokan, mulut kering,

saliva bercampur darah, muntah, diare.

5) Darah: penurunan jumlah hematokrit, peningkatan angka

leukosit, anemia, leukopenia, eosinophilia, pyuria, proteinuria,

dan peningkatan kreatinin serum.

vii. Diduga penyebab kematian pasien pertama adalah racun arsennya

telah menyerang susunan syaraf pusat, sehingga terjadi kematian.

viii. Cara masuknya racun kemungkinan besar lewat mulut (peroral) dari

konsumsi air minum yang bersumber dari sumur yang tercemar

arsen.

ix. Para pasien diduga menderita keracunan arsen yang bersifat kronis,

dimana dapat dilihat dari gejala-gejala kronis utama; anemia dan

leucopenia. Hal ini diperkuat dengan dugaan bahwa arsen berasal

dari lingkungan sekitar tempat tinggal, dimana kontaminasi

lingkungan biasanya faktor kronis – telah berlangsung lama.

x. Perbedaan berat-ringannya gejala yang tampak pada pasien

tergantung oleh banyak faktor yang mempengaruhinya; keadaan

21
tubuh (umur, status kesehatan pasien – pengaruh penyakit lain,

kebiasaan, hipersensitif – alergi – idiosinkrasi), dosis – berhubungan

dengan jumlah air yang dikonsumsi perorangan, konsentrasi,

kombinasi fisik, sinergisme dan antagonisme dari racun tersebut,

dan lain sebagainya.

xi. Keracunan arsen tersebut kemungkinan besar berasal dari

kontaminasi pestisida. Namun hal ini tidak dikonfirmasi lebih lanjut.

xii. Tidak diketahui pasti jenis pestisidanya sebagai sumber arsen,

apakah dari jenis golongan arsen organik atau in organik.

xiii. Kasus keracunan arsen pada keluarga ini adalah murni karena

pencemaran lingkungan, tidak disengaja ataupun terdapat indikasi

kriminal.

xiv. Lingkungan selayaknya ditenggarai sebagai sumber penyakit ketika

diagnosis penyakit adalah tidak jelas.

4. Studi Kasus IV

Keracunan Lithium

Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental

meninggal dunia akibat keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah

medis yang dimiliki korban yaitu keterbelakangan mental, gangguan bipolar,

hipotiroid, dan parkinsonism. Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka

yang merupakan seorang farmasis melakukan kesalahan dalam pembacaan resep

yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan lithium karbonat 300 mg/kapsul

kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium yang diberikan

22
adalah 150 mg/kapsul. Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga

merupakan tersangka) melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare

selama tiga hari. Dokter pribadi korban mencatat bahwa korban tidak memiliki

kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia menyarankan agar korban

meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Dokter pribadi korban (Primary Care Physician ‘PCP’) juga

mengintruksikan agar keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan

apabila korban menunjukkan gejala penurunan asupan cairan, perubahan tingkat

aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala memburuk. Selama beberapa

hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan makan. Akan

tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP. Pada tanggal 30 April

2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada notasi tentang

keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP

mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang.

PCP mencatat adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari

tahu penyebab perubahan kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi

peningkatan kontraksi otot atau kekakuan otot. PCP memerintahkan korban

melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan pemeriksaan kadar

lithium.

Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban

diberitahukan bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan

medis korban selesai dilakukan. Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan

23
gejala-gejala yang dialami pasien. Pada waktu itu PCP melakukan penghentian

pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan pasien.

Pada tanggal 8 Mei 2002, salah seorang karyawan rumah hunian

melaporkan bahwa korban mengalami gejala ketidakstabilan, hampir tidak bisa

bergerak, dan sangat lemah dan tak berdaya. Akan tetapi keadaan ini tidak

dilaporkan kepada Supervisornya. Pada tanggal 11 Mei 2002, korban dibawa ke

rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan. Korban tercatat mengalami kelemahan

dan gangguan kestabilan selama 1 minggu. Korban juga menyatakan bahwa

dirinya menderita hiponatremia berat, hiperkalemia. Kadar lithium yang tercatat

dalam darah korban adalah 6,8 mEq/L. Hari berikutnya ia tercatat memiliki

dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta

gagal ginjal akut, akibat tanda toksisitas lithium. Pasien meninggal pada tanggal

13 Mei 2002. Litigasi terus dilakukan dalam kasus ini. PCP dan psikiater

menyatakan bahwa gejala toksisitas yang ditunjukkan korban tidak disampaikan

kepada mereka oleh staf perumahan.

Pembahasan:

Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus medication error yang

melibatkan banyak pihak diataranya farmasis, dokter, psikiter pribadi serta

keluarga selaku pengawas korban. Korban yang merupakan seorang wanita

berumur 51 tahun dengan riwayat keterbelakangn mental, bipolar disorder, dan

parkinson menerima terapi lithium untuk pengobatan penyakit bipolar disorder

yang dideritanya. Kesalahan pengobatan bermula terjadi karena adanya kesalahan

pembacaan resep dan dispensing obat yang dilakukan oleh farmasis tempat korban

24
menebus resepnya. Farmasis memberikan 300 mg lithium karbonat per kapsul

kepada pasien padahal pada resep tertulis 150 mg lithium per kapsul. Kesalahan

ini mengakibatkan korban mengkonsumsi lithium karbonat perharinya dua kali

lipat dari dosis yang diresepkan.

Peningkatan dosis lithium hingga dua kali lipat ini mengakibatkan korban

mengalami gejala toksisitas lithium yang ditandai dengan diare kronis yang

dialami korban setelah tiga hari mengkonsumsi obat. Selain itu terjadi juga

peningkatan kontraksi dan kekakuan otot, gangguang keseimbangan, dan lesu.

Namun gejala ini tidak disadari oleh PCP dan dokter korban sampai akhirnya

korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan

hipotensi, serta gagal ginjal akut dan meninggal dunia. Dari hasil pemeriksaan,

kadar lithium darah korban mencapai 6,8 mEq/L setelah hampir satu bulan

mengkonsumsi lithium.

Kadar ini merupakan kadar yang sangat tinggi mengingat kadar lithium

normalnya berkisar antara 0,6 dan 1,2 mEq/L (non-beracun). Lithium merupakan

obat yang memiliki indeks terapi sempit (narrow terapeutic index) dimana

konsentrasi yang digunakan untuk mencapai efek terapi tidak jauh berbeda dengan

konsentrasi yang menyebabkan toksisitas. T ½ plasma kira-kira 20-24 jam setelah

dosis tunggal tergantung dari lamanya pengobatan dan akan meningkat pada

pasien pediatri dan gangguan ginjal. Selain itu dosis litihium dari satu pemberian

ke pemberian yang lain menghasilkan bioavaibilitas yang sangat bervariasi.

Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi

”dopaminereseptor supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic

25
activity” dan menghambat ”cyclic AMP” (adenosine monophospat). Lithium

diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam

bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Ekskresi lithium melalui urin akan lebih

lambat pada pediatri. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan

kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi

melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi,

ekskresi lithium akan meningkat. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira

0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia dan pediatri.

Jika ditinjau dari farmakologi dan farmakokinetik obat, catatan medis

korban, kondisi fisik korban, umur, serta penyakit yang dideritanya maka

seharusnya perlu dilakukan monitoring kadar lithium dalam darah korban

(Therapy Drug Monitoring). Korban merupakan seorang pediatri yang memiliki

riwayat penyakit hipotirodisme, menderita hiponatremia berat dan hiperkalemia.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lithium 97% diekskresikan dalam

bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari dan akan lebih lambat pada pediatri. Hal

ini disebabkan karena terjadinya penurunan fungsi ginjal pada pasien pediatri

sehingga klirens plasma akan menurun dan obat akan lebih lama berada didalam

tubuh pasien. Korban juga menderita hiponatremia dan hiperkalemia berat.

Keadaan ini tentunya akan berpengaruh besar pada ekskresi lithium

dimana ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada

kondisi dimana kadar natrium dalam tubuh rendah, lithium yang seharusnya

diekskresikan akan direabsorpsi kembali melalui tubulus ginjal sehingga obat

akan kembali berada pada sistem sistemik. Oleh karenanya sebelum korban

26
meninggal korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan

metabolisme dan hipotensi dan akhirnya terjadi gagal ginjal akut akibat toksisitas

dari lithium. Pada review dokumen dan wawancara yang dilakuan sebelum dan

selama litigasi, jelas bahwa staf perumahan mencatat dan menyatakan bahwa

korban menunjukkan gangguan gaya berjalan, kelesuan, dan kelemahan sekitar

satu bulan sebelum dia meninggal. Keadaan ini juga terjadi pada waktu dua kali

kunjungan ke PCP. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda atau gejala yang dicatat oleh

PCP terkait dengan evaluasi terhadap tingkat lithium yang dikonsumsi korban.

Akan tetapi jika dianalisis secara keseluruhan, pada kasus diatas tidak ada

komunikasi yang baik antara PCP, psikiater, farmasis, dan keluarga korban. Pada

saat melakukan pembacaan resep dan dispensing obat, farmasis hendaknya

mampu melakukan evaluasi terhadap resep yang dibawa oleh korban dan lebih

teliti sebelum dan pada saat melakukan peracikan obat. Bahkan jika perlu,

menyarankan untuk dilakukan TDM pada korban karena obat yang diresepkan

merupakan obat yang tergolong kedalam obat yang memiliki narrow terapeutic

index dan menimbulkan bioavaibilitas yang bervariasi meskipun diberikan pada

dosis yang tetap. PCP sebagai ahli medis pribadi korban seharusnya melakukan

pemantauan terhadap obat-obat yang dikonsumsi korban sehingga apabila muncul

efek samping atau gejala toksisitas obat dapat segera dikenali dan

dikomunikasikan dengan tenaga medis lainnya dalam hal ini adalah psikiater

korban. Psikiater korban sebagai orang yang meresepkan korban hendaknya

melakukan evaluasi terhadap pengobatan yang diberikan. Dengan melihat riwayat

penyakit korban dan obat yang diberikan seharusnya psikiater mampu

27
meramalkan kemungkinan terburuk dari peresepan yang dilakukan dan tidak

semata-mata menyerahkan evaluasi peresepan kepada tenaga medis lain. Apabila

memang terjadi komunikasi yang baik dari tenaga medis terkait maka tentunya

medication error seperti kasus diatas tidak akan terjadi (Purbandika, 2010).

28
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari makalah ini yaitu:

1. Toksisitas korosif pada umumnya merupakan zat yang bersifat lokal

(asam/basa) sehingga dapat menimbulkan nyeri hebat pada daerah yang

terkena zat korosif tersebut

2. Mekanisme umum, karakteristik dan contoh senyawa asam dan basa/alkali

yang bersifat korosif yaitu zat yang bersifat asam (asam borat) merusak

lambung dan terjadi koagulasi nekrosis sedangkan zat yang bersifat basa

(amonium atau larutan ammonium) merusak esofagus dan terjadi liquefactive

necrosis (kerusakan yang terjadi tidak hanya pada permukaan epitel tetapi juga

berpenetrasi ke dinding mukosa dibawahnya).

3. Manifestasi klinik senyawa asam dan basa/alkali yang bersifat korosif akan

memberikan tanda/gejala yang berbeda tergantung rute zat korosif masuk

kedalam tubuh/melukai jaringan.

4. Penanganan keracunan yaitu bersifat supportive agents dan pada

penanganannya tidak dipaksa untuk muntah karena dapat memperluas

kerusakan jaringan sehingga perlu pengenceran saja.

5. Studi kasus toksisitas korosif berupa toksisitas ketika pemutih dicampur

dengan sani flush yang mengandung 80% Natrium bisulfat. Selain itu terdapat

kasus berupa bayi yang mengalami keracunan borax kronik yang berasal dari

minuman.

29
B. SARAN

Sarannya adalah sebagai mahasiswa perlu memperbanyak referensi mengenai

toksikoloogi tentang toksisitas korosif agar kedepannya makalah dapat lebih

sempurna.

30
DAFTAR PUSTAKA

Cox, Robert D., Joe Alcock, MD, MS. 2015. Chemical Burns. Updated October 06,
2015. Emedicine medscape.

Dorland, W. A. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC. Hal
206 dan 1113.

Federal Hazardous Substances Act. 2011. Federal Hazardous Substances Act.


Public Law 86-613; 74 Stat. 372, August 12, 2011 Version.

Gossel, Thomas A and Bricker, J. Douglas., 2001, Principles of Clinical


Toxicology, 3rd ed., Taylor and Francis, 215 – 239.

Insley, Jack. 2005. Vade-Mecum Pediatri, Edisi 13, EGC, Jakarta, 145.

Issley, Steven, MD, FRCPC, Asim Tarabar, MD. 2013. Ammonia Toxicity.
Updated: Sep 16, 2013. Emedicine Medscape. (diakses 26 November 2015)
melalui http://emedicine.medscape.com/article/820298-overview#showall.

Lalani, Amina, MD, Suzan S. 2011. Kegawatdaruratan Pediatri. EGC, Jakarta, 364
– 371.

Olson, K. R. 2007. Poisoning and Drug Overdose 5th ed, McGraw-Hill Inc., p. 157-
159.

Singh, G. B., Chauhan, R., Kumar, D., Arora, R., & Ranjan, S. (2015). Lithium
Battery Ingestion: An Unusual Cause of Bilateral Cord Palsy. Case Reports
in Otolaryngology, 2015, http://doi.org/10.1155/2015/790830.

Sartono, drs., 2001, Racun dan Keracunan, Widya Medika, Jakarta, 224–235.

Tierney, L.M., Current Medical Diagnosis and Treatment 43rd ed, McGraw-Hill
Inc, 2004.

World Health Organization. 2008. Pocket Book of Hospital Care for Children,
Guidelines for the Management of Common Illnesses with Limited
Resources. WHO-Indonesia

31
PERTANYAAN TOKSISITAS KOROSIF
1. Bagaimana cara melakukan hemodialysis untuk penanganan keracunan akut

pada toksisitas korosif?

2. Bagaimana cara melakukan dialysis untuk penanganan keracunan akut pada

toksisitas korosif?

Jawab:

1. Cara melakukan hemodialysis yaitu pembuluh darah pasien di hubungkan ke

tabung filter (dialyzer) kemudian secara perlahan darah di pompa keluar dari

dalam tubuh dan masuk ke dalam dialyzer. Dimana semua racun dan kelebihan

cairan dibuang. Daerah yang sudah bersih kemudian masuk ke dalam sebuah

tabung untuk di pompa masuk kembali ke dalam tubuh melalui pembuluh

darah.

Hemodialysis adalah proses pembersihan membuang racun dengan cara cuci

darah serta kelebihan cairan di dalam tubuh menggunakan alat buatan manusia

yang di sebut dialyzer.

Dialyzer memiliki dua bagian, 1 bagian untuk darah penderita dengan 1 bagian

lainnya untuk cairan cuci yang disebut dialisat. Dimana ada membran tipis

yang memisahkan 2 bagian itu. Dialyzer berfungsi sebagai ginjal buatan berisi

ribuan serat berongga kecil dan darah mengalir melalui serat ini. Serat

berfungsi sebagai membran semipermeable.

2. Dialysis adalah suatu proses pencucian darah untuk membersihkan tubuh dari

zat-zat korosif yang berbahaya yang terdapat dalam aliran darah. Normalnya

pencucian darah ini secara alami dilakukan oleh organ tubuh kita sendiri yaitu

32
ginjal yang sehat. Ada dua jenis dialysis yaitu hemodialysis dan dialysis

peritoneal.

Dialysis peritoneal merupakan jenis cuci darah yang menggunakan lapisan

perut sebagai filter. Peritoneal berisi ribuan pembuluh darah kecil,

membuatnya menjadi perangkat penyaringan yang berguna. Selama dialysis

peritoneal, selang fleksibel kecil yang disebut kateter terpasang di perut melalui

sayatan kecil. Cairan khusus yang disebut cairan dialysis dipompa keruang

sekitar rongga peritoneal. Ketika darah bergerak melalui rongga, racun dan

kelebihan cairan dipindahkan dari dalam darah ke dalam cairan dialysis. Cairan

dialysis dikeringkan dari rongga. Proses dialysis ini berlangsung selama 30-40

menit selama 4x sehari.

33

You might also like