You are on page 1of 14

PERANAN BANK INDONESIA DALAM PENCEGAHAN KRISIS

EKONOMI DI INDONESIA

Hesky Yehezkiel Tolandang


Pendidikan Matematika
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Manado
Email: dragonkixzz@gmail.com

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat karunia-Nya yang tak terhingga, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Artikel yang berjudul “Peranan Bank Indonesia Dalam
Pencegahan Krisis Ekonomi Serta Aturan-Aturan Di Indonesia”.
Karena penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini, penulis
mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak,
baik materi maupun spiritual serta teman sekelas yang membantu dalam
penyusunan makalah ini, dan pelaksana beasiswa BI yang telah memotivasi penulis
serta memberikan petunjuk dalam pembuatan persyaratan pendaftaran beasiswa BI.
karena tanpa bantuan dan motivasi dari semuanya penulis tidak akan dapat
menyelesaikan artikel ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan artikel ini masih kurang, baik
dari segi bahasa, cara penulisan, dan juga materi karena keterbatasan ilmu dan
pengetahuan yang penulis miliki.
Kiranya artikel bisa membantu dalam persyaratan penerimaan beasiswa BI.

Tondano, 5 Maret 2018

Hesky Yehezkiel Tolandang


Mahasiswa Universitas Negeri Manado
Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk memahami bagaimana peranan Bank Indonesia


(BI) dalam menindak lanjuti krisis ekonomi di Indonesia. Bank Indonesia (BI)
mempunyai tugas dan wewenang dalam hal fungsi pembayaran, fungsi pengawasan
dan menetapkan kebijakan moneter. Perumusan tujuan Bank Indonesia (BI) ini
dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai dan batasan tanggung
jawab yang harus dipikul oleh Bank Indonesia (BI). Hal ini berbeda dengan tujuan
Bank Indonesia (BI) dalam Undang‐undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral yang dirumuskan secara umum yaitu “meningkatkan taraf hidup rakyat”.
Ketidaktegasan perumusan tersebut menimbulkan implikasi antara lain peran Bank
Indonesia sebagai otoritas tidak jelas dan tidak terfokus bahkan timbul conflicting
karena antara tugas menjaga kestabilan nilai rupiah dengan tugas mendorong
pertumbuhan seringkali tidak dapat berjalan beriringan. Disamping itu,
ketidakjelasan tujuan juga menjadikan tanggung jawab terhadap kebijakan yang
diambil tidak jelas.

PENDAHULUAN

Pada Tahun 1997 yang merupakan tahun dimana krisis merajalela dan
memporakporandakan hampir seluruh sendi perekonomian Indonesia. Krisis
keuangan Asia termasuk Indonesia, lebih dikenal dengan nama Krisis Moneter
(krismon) itu, berawal di Thailand pada bulan Juli. Krisis ini membawa dampak
yang sangat besar terhadap nilai tukar, bursa saham, dan harga aset lainnya di
beberapa negara Asia.
Tahun yang sama, hampir semua pihak beranggapan bahwa Indonesia sangat
kecil kemungkinannya untuk terimbas krisis. Waktu itu fundamental ekonomi
Indonesia menunjukkan tingkat inflasi yang rendah. Tapi siapa sangka sebulan
setelah itu ekonomi di Indonesia terkena imbasnya juga. Sunggu hal yang tak
terduga yang dialami Indonesia. Gejolak diawali dengan kejatuhan nilai tukar
rupiah terhadap USD. Sehingga, banyak bank mulai ditimpa kerugian, terutama
bank yang punya pinjaman dalam mata uang asing dan tidak melakukan lindung
nilai atas pinjamannya. Gejolak kurs yang ditambah dengan pemburukan arus kas
bank-bank menyebabkan bank menghadapi kesulitan likuiditas. Masalah likuiditas
ini mengakibatkan bank kehilangan kepercayaan sehingga masyarakat ramai-ramai
menarik uangnya secara besar-besaran dari bank. Puluhan bank harus ditutup
dengan konsekuensi perekonomian bisa lumpuh total. Oleh karena itu, upaya
penyelamatan adalah pilihan yang diambil ketika itu. Namun ongkos yang harus
dibayar juga tidak sedikit karena jumlah bank yang harus diselamatkan juga
tergolong banyak.
Agar hal yang sama tidak terulang lagi, Pemerintah dan Bank Indonesia
(Bank Sentral) proaktif melakukan tindakan pencegahan. Beberapa ketentuan
perbankan direlaksasi untuk menghindari runtuhnya sistem keuangan dan
perbankan. Tindakan ini dilakukan agar dana nasabah di bank aman sehingga
masyarakat tidak Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia.
PEMBAHASAN

A. STABILITAS SISTEM KEUANGAN


Meskipun beberapa negara telah menaruh perhatian cukup besar terhadap
stabilitas sistim keuangan, deskripsi tentang "stabilitas sistim keuangan "tetap
masih menjadi diskusi yang hangat. Agar rumah tangga dan perusahaan korporasi
dapat secara optimal melakukan perannya yaitu mengkonsumsi barang‐barang dan
juga melakukan investasi secara berkesinambungan, maka harus ada sistim
keuangan yang berperan secara baik dalam hal melakukan intermediasi dari para
penyimpan dana (surplus unit) dan peminjam dana (deficit unit), memberikan
layanan pembayaran transaksi, dan melakukan realokasi risiko secara baik. Dalam
pendekatan pemahaman yang lebih sempit atas stabilitas sistim keuangan dapat
dilakukan dengan mendefinisikan sebaliknya yaitu menghindari adanya
"instabilitas sistim keuangan" dimana telah terjadi gangguan terhadap
perekonomian. Definisi ini lebih melihat dari sisi kebalikannya dari kondisi yang
stabil serta bagaimana mengupayakan untuk menghindari terjadinya instabilitas.
Gangguan terhadap perekonomian ditandai dengan timbulnya biaya yang harus
dibayar oleh pemerintah. Beberapa tahun terakhir terlihat bahwa biaya dari krisis
ini cukup besar bila dibandingkan dengan GDP suatu negara. Dari pengalaman juga
menunjukan bahwa krisis keuangan dapat terjadi baik dinegara berkembang
maupun di negara maju serta dapat menimbulkan dampak ikutan ke negara lain.
Begitu terdapat biaya yang menjadi beban negara untuk penyelamatan sistim
keuangan, maka dapat dikatakan bahwa sudah terjadi instabilitas di sistim keuangan.
Penyelematan oleh pemerintah dimaksudkan agar biaya yang ditimbulkan dari
krisis dapat diminimalisir. Definisi stabilitas sistim keuangan yang banyak dipakai
dibeberapa negara mengkombinasikan atas tiga hal yatiu: terjadi alokasi resources
dengan baik sehingga proses intermediasi bisa berjalan denga normal, berbagai
indikator sistim keuangan masih memenuhi batas stabil dan belum ada dana publik
yang dipakai untuk penyelamatan sistim keuangan.
B. MENGANALISIS STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Setelah pemahaman stabilitias sistim keuangan dan sasaran yang akan dicapai
disepakati dan dipahami oleh otoritas, maka pelaksanaan analisis simpul simpul
kerawanan yang dapat menyebabkan instabilitas akan dapat dilakukan dengan
mudah dalam organisasi bank sentral. Terdapat dua pendekatan yang saling
melengkapi :
1). Kita perlu memfokuskan kepada berbagai faktor risiko yang berasal dari dalam
sistim keuangan itu sendiri yaitu terdiri dari lembaga keuangan, pasar keuangan dan
infrastruktur keuangan seperti settlement yang dilakukan oleh bank sentral (BI)
maupun lembaga settlement lainnya. Unsur internal sistim keuangan ini akan selalu
dihadapkan kepada berbagai faktor risiko seperti risiko kredit, risiko likuiditas,
risiko pasar dan risiko operational. Analisis atas berbagai risiko tersebut telah
semakin sulit beberapa tahun terakhir ini sejalan dengan sistim keuangan yang
semakin komplek dan saling berkaitan baik antar industri maupun secara
geographis. Peningkatan kompleksitas sistim keuangan di tunjukan dengan
pesatnya pasar di credit derivatives. Instrument ini relative masih baru yang
bentuknya bisa beraneka ragam. Meskipun instrument ini sangat baik untuk
mitigasi risiko, namun terdapat kemungkinan bahwa teknis penilaiannya akan rumit
serta dapat menimbulkan moral hazard atau rentan terjadinya spekulasi dan fraud.
Lembaga keuangan baik yang melakukan mitigasi dengan menjual risikonya
kepada pihak lain masih dapat terekspose risiko. Tanpa disadari bahwa risiko
sistemik akan dapat manganulir persepsi bahwa risikonya telah dijual, sedangkan
lembaga yang membeli risiko ternyata sudah terlalu besar risiko yang dibelinya dan
tidak bisa dimitigasi ke lambaga lain. Kalau terjadi default atas maka hanya bailout
dari otoritas yang dapat menyelesaikannya. Melakukan analisis risiko yang berasal
dari dalam sistim keuangan akan lebih jelas kalau dapat dibedakan melalui dua
pendekatan micro dan macroprudential. Microprudential analisis lebih mengarah
kepada perkembangan dalam individu lembaga keuangan dengan lebih menaruh
perhatian pada menghindari problem individual lembaga untuk melindungi
kepentingan para deposan. Macroprudential analisis lebih mengarah kepada
sistim keuangan secara keseluruhan dengan sasaran agar tidak terjadi permasalahan
untuk menghindari biaya yang akan dibebankan kepada pemerintah (pembayar
pajak). Untuk menghindari sistemik risk dilakukan analisis risiko terhadap semua
unsur di sistim keuangan. Khusus untuk lembaga keuangan, analisis terhadap
keterkaitan antar lembaga keuangan yang diakibatkan oleh permasalahan likuiditas
maupun solvabilitas merupakan analisis macroprudential yang penting dalam
menjaga stabilitas sistim keuangan.
2). pendekatan dengan menekankan risiko yang berasal dari luar sistim keuangan.
Pendekatan ini telah dipahami oleh para pengambil kebijakan beberapa tahun
terakhir. Perkembangan yang pesat perdagangan instrumen derivatives atas surat
hutang dan harga assets, termasuk juga gangguan makro ekonomi seperti turunnya
harga komoditi serta terjadinya ketidak seimbangan dalam ekonomi dunia dan pasar
keuangan akan dapat menimbulkan risiko instabilitas. Untuk melakukan
identifikasi dari sumber instabilitas, kita memerlukan berbagai indikator yang dapat
memberikan informasi tanda tanda terjadinya instabilitas. Dengan mendasarkan
perbandingan beberapa indikator pada waktu tertentu dengan pada waktu normal,
maka kita bisa melakukan analisis seberapa besar perbedaan atas indikator
instabilitas tersebut. Kalau perbedaannya besar dengan trend yang meningkat maka
kita bisa mengindikasikan kondisi keuangan mengarah kepada isntabilitas. Namun
demikian, sering sekali mendapatkan kesulitan untuk melakukan interpretasi atas
berbagai indikator isntabilitas karena indikator normal kadang‐kadang sulit untuk
ditentukan mengingat perkembangan ekonomi yang sangat dinamis. Berbagai
informasi yang belum secara terintegrasi dalam sistim keuangan merupakan faktor
yang penting untuk dapat dijadikan judgment dalam melakukan analisis kondisi
sistim keuangan. Analisis dampak negative atas guncangan ekonomi makro
terhadap stabilitas sistim keuangan juga dapat diterapkan. Macro stress testing
merupakan pendekatan yang biasanya digunakan dalam analisis ini dengan tujuan
untuk mengukur ketahanan bank atau lembaga kuangan dalam menghadapi
berbagai shocks atas kondisi ekonomi dan respon kebijakan makro ekonomi yang
diperlukan dari otoritas. Berbagai skenario kondisi makro ekonomi dapat
disimulasikan untuk melakukan pengujian atas ketahanan bank atau lembaga
keuangan termasuk dalam kondisi ekstrim, pendekatan ini sering disebut micro
stress testing. Lembaga keuangan dan pasar keuangan sudah semakin terintegrasi
serta sangat tinggi ketergantungannya sehingga analisis keterkaitan antar lembaga
dan pasar keuangan sangat membantu untuk mengukur sejauhmana permasalahan
yang mungkin timbul di lembaga atau pasar keuangan dapat menimbulkan dampak
sistemik di sistim keuangan. Aliran dana masuk dan keluar di pasar keuangan telah
meningkat cukup besar aktivitasnya di beberapa tahun terkahir. Transaksi oleh para
pelaku pasar antar negara telah meningkat cukup pesat baik di pasar saham, obligasi
dan juga financial instrumen lainnya seperti produk off‐shore dan derivatives.
Pemerintah di berbagai negara banyak sekali mengeluarkan surat hutang untuk
membantu memperbaiki cash flow anggaran belanjanya dan banyak para pelaku
pasar yang melakukan diversifikasi risikonya dengan melakukan hedging
diberbagai pasar dunia. Analisis dengan mendasarkan domain domestik ternyata
tidak cukup sehingga global analisis tentang pasar dan lembaga keuangan sangat
diperlukan untuk melihat secara lebih akurat simpul kerawanan di sistim keuangan.
Bank sentral mempunyai tanggung jawab khusus dalam melakukan analisis dan
monitor sistim keuangan. Terintegrasinya lembaga dan pasar keuangan dengan
pasar global telah membuat bank sentral perlu melakukan analisis sistim keuangan
global dalam laporan stabilitas sistim keuangannya yang dipublikasikan secara 5
rutin. Pengembangan berbagai tool analisis merupakan tantangan bank sentral agar
dapat menangkap simpul kerawanan secara lebih dini.

C. KOORDINASI ANTAR OTORITAS UNTUK BERSAMA ‐ SAMA


MENJAGA STABILITAS SISTIM KEUANGAN

Koordinasi antar otoritas ini sangat diperlukan dalam menjaga agar


terhindar dari krisis dan mempermudah dalam penyelesaian krisis apabila ternyata
tidak dapat dihindari. Dalam koordinasi ini, peran dan tanggung jawab masing‐
masing otoritas harus jelas dan dituangkan dalam undang‐undang. Tugas menjaga
stabilitas sistim keuangan ini dilakukan oleh bank sentral, dengan berkoordinasi
dengan pengawasan pasar keuangan dan menteri keuangan sebagai otoritas fiskal.
Di negara yang otoritas pengawasan lembaga keuangan dipisahkan dari bank
sentral, maka otoritas tersebut akan menjadi bagian dari otoritas yang harus
melakukan koordinasi dibawah menteri keuangan. Untuk mencapai sasaran dalam
mencegah dan menyelesaikan krisis, maka sharing informasi antar otoritas sangat
diperlukan baik dalam kondisi normal maupun krisis. Dalam hal permasalahan
disektor keuangan menyangkut bank yang operasinya secara multinasional maka
koordinasi akan menyangkut otoritas antar negara dengan berbagai kerangka
hukum yang berbeda. Pandangan umum sementara ini, otoritas di suatu negara
hanya bertanggung jawab pengawasan terhadap bank yang didirikan dengan badan
hukum di negara tersebut, sedangkan bank disuatu negara yang didirikan dengan
dasar hukum di negara lain maka tanggung jawab pengawasannya ada di home
supervisory authorities. Permasalahan ini muncul apabila terdapat bank yang
beroperasi secara multinational dan mengalami permasalahan di kantor pusatnya
sehingga harus ditutup, maka secara legal seluruh kantor cabangnya harus ditutup.
Penjaminan dana nasabah juga bentuknya sangat beragam diantar negara, sehingga
penataan kembali sistim keuangan secara global perlu dilakukan segara agar
permasalahan krisis dapat dicegah lebih dini dan penyelesaian krisis dapat
dilakukan dengan baik.

D. PENCEGAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG BANK INDONESIA


Mengatur Dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran
Kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 UU-BI. Dalam
rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia
berwenang untuk melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem
pembayaran untuk menyampaikan laporan kegiatannya serta menetapkan
penggunaan alat pembayaran. Persetujuan terhadap penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran dimaksudkan agar penyelenggaraan jasa sistem pembayaran oleh
pihak lain memenuhi persyaratan, khususnya persyaratan keamanan dan efisiensi.
Kewajiban penyampaian laporan berlaku bagi setiap penyelenggara jasa sistem
pembayaran. Hal ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat memantau
penyelenggaraan sistem pembayaran. Penetapan alat pembayaran dimaksudkan
agar alat pembayaran yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan
keamanan bagi pengguna. Termasuk dalam wewenang ini adalah membatasi
penggunaan alat pembayaran tertentu dalam rangka prinsip kehatihatian. Dalam
rangka pelaksanaan kewenangan tersebut di atas, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap penyelenggara jasa sistem pembayaran.

Kebijakan Nilai Tukar

Pasal 12 UU-BI menetapkan bahwa Bank Indonesia melaksanakan


kebijakan nilai tukar berdasarkan nilai tukar yang ditetapkan. Penetapan nilai tukar
dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden berdasarkan usul
Bank Indonesia. Kewenangan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan nilai
tukar ini antara lain dapat berupa :
1. Dalam sistem nilai tukar tetap berupa devaluasi atau revaluasi
terhadap mata uang asing;
2. Dalam sistem nilai tukar mengambang berupa intervensi pasar;
3. Dalam nilai tukar mengambang terkendali berupa penetapan nilai tukar
harian serta lebar pita intervensi.
Penyelenggaraan Survei

Untuk melaksanakan kebijakan moneter secara efektif dan efisien,


diperlukan data/informasi ekonomi dan keuangan secara tepat waktu dan akurat.
Untuk memperoleh data/informasi tersebut, Bank Indonesia dapat
menyelenggarakan survei secara berkala atau sewaktu‐waktu yang dapat bersifat
makro atau mikro. Pelaksanaan survei tersebut dapat dilaksanakan oleh pihak lain
berdasarkan penugasan Bank Indonesia. Dalam penyelenggaraan survei, setiap
badan wajib memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh Bank Indonesia
atau pihak lain yang ditugaskan. Bank Indonesia atau pihak lain yang ditugaskan
untuk melakukan survei tersebut wajib merahasiakan sumber dan data individual
kecuali yang secara tegas dinyatakan lain dalam undang-undang (Pasal. 14).

Mengeluarkan dan Mengedarkan Uang

Sesuai dengan amanat UUD 1945, Bank Indonesia merupakan satu-satunya


lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaran uang rupiah
(Pasal. 20). Termasuk dalam kewenangan ini adalah mencabut, menarik serta
memusnahkan uang serta menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan
dikeluarkan, bahan yang digunakan dan penentuan tanggal mulai berlakunya
sebagai alat pembayaran yang sah (Pasal. 19). Sebagai konsekuensi dari ketentuan
tersebut, maka Bank Indonesia harus menjamin ketersediaan uang di masyarakat
dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas yang memadai. Uang yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia dibebaskan dari bea meterai (Pasal. 21). Bank
Indonesia dapat mencabut dan menarik uang rupiah dari peredaran dengan
memberikan penggantian dengan nilai yang sama (Pasal.23). Konsekuensi dari
ketentuan ini maka Bank Indonesia harus memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk :
1. Melakukan penukaran uang dalam pecahan yang sama dan pecahan lainnya;
2. Melakukan penukaran uang yang cacat atau dianggap tidak layak untuk
diedarkan;
3. Menukarkan uang yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab lain
dengan nilai yang sama atau lebih kecil dari nilai nominalnya yang
bergantung pada tingkat kerusakannya.
Mengatur Dan Mengawasi Bank
Pengaturan dan Pengawasan Bank merupakan salah satu tugas Bank Indonesia
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 UU‐BI. Dalam rangka melaksanakan tugas
ini, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank,
serta mengenakan sanksi terhadap bank (Pasal. 24). Selain itu, Bank Indonesia
berwenang menetapkan ketentuan‐ketentuan perbankan yang memuat prinsip
kehati‐hatian (Pasal. 25). Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, Bank
Indonesia :
1. Memberikan dan mencabut izin usaha bank;
2. Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank;
3. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank;
4. emberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan‐kegiatan usaha
tertentu (Pasal. 26).
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan
langsung dan tidak langsung (Pasal. 27). Bank Indonesia berwenang mewajibkan
bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata
cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank
apabila diperlukan (Pasal. 28).
Pemeriksaan terhadap bank dilakukan secara berkala maupun setiap waktu
apabila diperlukan dan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan
anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank apabila diperlukan. Bank dan
pihak lain tersebut wajib memberikan kepada pemeriksa:
1. Keterangan dan data yang diminta;
2. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen, dan sarana fisik
yang berkaitan dengan kegiatan usahanya;
3. Hal‐hal lain yang diperlukan seperti salinan dokumen yang diperlukan dan
lain‐lain (Pasal. 29).
Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank (Pasal. 30) Bank Indonesia dapat
memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi
tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan (Pasal. 31). Dalam
hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan
kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem
perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian
nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam
undang‐undang tentang Perbankan yang berlaku (Pasal. 33).

Akuntabilitas
Dalam UU‐BI dianut pertanggungjawaban publik, dimana pada setiap awal
tahun anggaran Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat
secara terbuka melalui media masa mengenai evaluasi pelaksanaan kebijakan
moneter tahun sebelumnya dan rencana kebijakan moneter tahun yang akan datang.
Informasi tersebut juga disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat. Disamping itu, setiap 3 (tiga) bulan Bank Indonesia wajib menyampaikan
laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Apabila diperlukan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta
Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenangnya (Pasal. 58). Anggaran tahunan Bank Indonesia harus disampaikan
kepada DPR (Pasal. 60). Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan keuangan
tahunan kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Laporan keuangan tahunan Bank
Indonesia diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, yang hasilnya disampaikan
kepada DPR. Bank Indonesia juga diwajibkan untuk mengumumkan laporan
keuangan tahunan kepada publik melalui media massa (Pasal. 61).

Hubungan Dengan Pemerintah


Tidak berbeda dengan UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral,
berdasarkan UU‐BI Bank Indonesia juga bertindak sebagai pemegang kas
pemerintah (Pasal. 52). Disamping itu, atas permintaan Pemerintah, Bank Indonesia
untuk dan atas nama Pemerintah dapat menerima pinjaman luar negeri,
menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah
terhadap pihak luar negeri (Pasal. 53). Pemerintah wajib meminta pendapat
dan/atau mengundang Bank Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas
mengenai masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas
Bank Indonesia. Bank Indonesia juga dapat memberikan pendapat dan
pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang
Bank Indonesia (Pasal. 54). Pemerintah juga wajib berkonsultasi dengan Bank
Indonesia apabila akan menerbitkan surat utang negara. Bank Indonesia dapat
membantu penerbitan surat utang negara, terutama informasi mengenai pasar dan
waktu penerbitan surat utang tersebut. Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri
sendiri surat utang negara tersebut di pasar primer dan hanya dapat membeli di
pasar sekunder yang semata‐mata hanya untuk tujuan pelaksanaan kebijakan
moneter (Pasal. 55). Salah satu perubahan yang penting dalam UU‐BI adalah
larangan pemberian kredit kepada Pemerintah. Selama ini pemberian kredit kepada
Pemerintah ditujukan untuk memperkuat kas negara dalam mengatasi defisit
spending. Dalam UU‐BI secara tegas dinyatakan bahwa Bank Indonesia dilarang
memberikan kredit kepada Pemerintah karena dianggap dapat mengganggu
keutuhan konsep independensi Bank Indonesia (Pasal. 56). Walaupun Bank
Indonesia merupakan lembaga yang independen, namun koordinasi dengan
Pemerintah yang bersifat konsultatif tetap diperlukan. Pemerintah yang diwakili
seorang Menteri atau lebih dapat menghadiri Rapat Dewan Gubernur dengan hak
bicara tanpa hak suara (Pasal. 43 ayat (1) Hubungan dengan Pemerintah juga
nampak dalam pembagian surplus dari hasil kegiatan Bank Indonesia. Sisa surplus
Bank Indonesia setelah dikurangi 30% untuk cadangan tujuan dan 10% untuk
cadangan umum diserahkan kepada Pemerintah dengan ketentuan terlebih dahulu
harus digunakan untuk membayar kewajiban Pemerintah kepada Bank Indonesia
(Pasal. 62).

Ketentuan Hukum
1. Produk Hukum
Salah satu yang menonjol dalam UU‐BI adalah ketentuan pelaksanaannya
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur dan mengikat publik serta
Peraturan Dewan Gubernur yang mengatur dan mengikat ke dalam Bank Indonesia.
Penetapan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Dewan Gubernur merupakan
bentuk independensi dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Dengan demikian maka dapat dieliminir
intervensi dari Pemerintah atau pihak lain melalui peraturan perundang‐undangan.
2. Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif
Ketentuan Pidana dan sanksi administratif diatur dalam mulai Pasal 65
sampai dengan Pasal 72. Tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana
dalam UU‐BI meliputi pelanggaran terhadap kewajiban penggunaan uang rupiah di
wilayah RI, pelanggaran terhadap kewajiban untuk tidak menolak penggunaan uang
rupiah, pelanggaran atas larangan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
Indonesia, pelanggaran kewajiban untuk menolak campur tangan, pelanggaran atas
kewajiban memberikan keterangan dan data yang diperlukan, pelanggaran atas
larangan membeli surat berharga di pasar primer, serta pelanggaran atas rahasia
jabatan. Pelanggaran terhadap ketentuan kewajiban penggunaan Rupiah sebagai
alat pembayaran di wilayah RI diancam dengan pidana kurungan sekurang‐
kurangnya 1 bulan dan paling lama 3 bulan serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 2
juta dan paling banyak Rp. 6 juta (Pasal. 65). Setiap orang atau badan yang menolak
rupiah sebagai alat pembayaran di wilayah RI diancam pidana penjara
sekurangkurangnya 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda
sekurangkurangnya Rp. 1 miliar dan paling banyak Rp. 3 miliar (Pasal. 66).
Pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia diancam pidana penjara sekurang‐kurangnya 2
tahun dan paling lama 5 tahun serta denda sekurang‐kurangnya Rp. 2 miliar dan
paling banyak Rp. 5 miliar (Pasal. 67). Anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat
Bank Indonesia yang tidak menolak adanya campur tangan pihak lain diancam
dengan pidana penjara 2 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda sekurang‐
kurangnya Rp.2 miliar dan paling banyak Rp. 5 miliar (Pasal. 68). Badan yang tidak
memenuhi kewajiban untuk memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan
dalam kegiatan survei diancam pidana denda paling banyak Rp. 50 juta (Pasal. 69).
Pelanggaran terhadap larangan pembelian surat utang negara di pasar primer
diancam dengan pidana penjara penjara 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda
sekurang‐kurangnya Rp. 6 miliar dan paling banyak Rp. 15 miliar (Pasal. 70).
Pelanggaran rahasia jabatan yang dilakukan oleh anggota Dewan Gubernur,
pegawai Bank Indonesia serta pihak lain yang melakukan pekerjaan tertentu dari
Bank Indonesia diancam pidana penjara 1 tahun dan paling lama 3 tahun serta denda
sekurang‐kurangnya Rp. 1 miliar dan paling banyak Rp. 3 miliar. Apabila
pelanggaran tersebut dilakukan oleh badan, diancam pidana denda sekurang‐
kurangnya Rp. 3 miliar dan paling banyak Rp. 6 miliar (Pasal. 71). Disamping
ketentuan pidana, Dewan Gubernur dapat menetapkan sanksi administratif kepada
pegawai Bank Indonesia serta pihak lain yang tidak memenuhi kewajiban yang
ditentukan UU‐BI. Bentuk sanksi administratif tersebut dapat berupa denda,
teguran tertulis, pencabutan atau pembatalan izin usaha serta sanksi disiplin
pegawai (Pasal. 72).

You might also like