You are on page 1of 25

MINI PROJECT REPORT

Gambaran Cakupan Imunisasi dan ORI Difteri di RT 02 RW 08 Kedaung


Kaliangke dengan Pendekatan Rapid Convenience Assestment

DOKTER PEMBIMBING:
dr. Desi Natalia Ginting

PENYUSUN:
dr. Kevin Rianto Putra

PUSKESMAS KEDAUNG KALIANGKE, KECAMATAN CENGKARENG,


KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT, PROVINSI DKI JAKARTA
2018
Bab 1

Pendahuluan
Latar Belakang

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau
mukosa.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri terdiri dari difteri hidung, difteri
tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit, vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Diagnosis
tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan preparat langsung
kuman yang diambil dari permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterum diphteriae. Penyulit difteri dapat terjadi sebagai akibat obstruksi jalan napas,
aktivitas eksotoksin, ataupun karena infeksi sekunder bakteri lain.
Pengobatan difteri baik secara umum ataupun sekunder bertujuan menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria. Imunisasi DPT dan pengobatan carrier dapat membantu dalam
pencegahan diferi.
Penanganan yang terlambat pada difteri dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
seperti miokarditis yang dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio kordis.
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotic lebih baik daripada sebelumnya.
Selain itu prognosis pada difteri juga tergantung terhadap usia penderita, waktu pengobatan
antitoksin, tipe klinis difteri, dan keadaan umum penderita.
Kejadian luar biasa yang terjadi pada beberapa daerah di Indonesia merupakan indikator
bahwa program imunisasi nasional tidak mencapai sasaran. Oleh karena itu, dalam menghadapi
dan mengatasi masalah difteri, harus dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan program imunisasi
secara menyeluruh. Upaya pencegahan harus dilakukan bersama-sama dengan tindakan deteksi
dini kasus, pengobatan kasus, rujukan ke rumah sakit, mencegah penularan, dan memberantas
karier. Upaya pencegahan jangka pendek yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan

1
melakukan outbreak response immunization (ORI) di daerah KLB. ORI adalah strategi yang
dilakukan untuk mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di
wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu yang berisiko tertular penyakit
difteri. Tujuan ORI untuk meningkatkan kekebalan populasi tersebut sehingga dapat mencegah
meluasnya penularan penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk
mengidentifikasi target vaksinasi yang tidak mengikuti vaksinasi selama masa kampanye dapat
digunakan suatu alat yang disebut Rapid Convenience Assesstment (RCA).

Rumusan Masalah

1. Terjadinya KLB difteri pada beberapa daerah di Indonesia.


2. KLB difteri memerlukan pengendalian segera untuk mencegah meluasnya penularan
penyakit, menurunkan tingkat kesakitan dan kematian akibat difteri.

Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran imunisasi dan cakupan ORI difteri pada populasi
target di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran imunisasi anak di wilayah RW 08 Kedaung
Kaliangke
b. Untuk mengetahui cakupan ORI difteri di wilayah RW 08 Kedaung Kaliangke
c. Untuk mengetahui populasi target yang belum terjangkau dalam program ORI
difteri di wilayah RW 08 Kedaung Kaliangke, dan alasannya, dengan
menggunakan RCA

Manfaat

1. Penulis
Menambah keterampilan bagi penulis dalam melakukan penelitian, menambah
wawasan tentang difteri dan program ORI.

2
2. Puskesmas
Sebagai informasi yang dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas dan
jangkauan dalam program imunisasi dan ORI difteri.
3. Masyarakat
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang ORI difteri yang dilakukan
dalam rangka penanggulangan KLB difteri sehingga dapat meningkatkan derajat
kesehatan dan mencegah morbiditas serta mortalitas.

3
Bab 2

Tinjauan Pustaka
Definisi
Difteri adalah infeksi akut nasofaring dan kulit yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria. Organisme ini terutama menyebar melalui sekresi respiratori. Strain toksigenik C.
diphtheria menghasilkan toksin protein yang mengakibatkan toksisitas sistemik, miokarditis, dan
polineuropati. Toksin berhubungan dengan pembentukan pseudomembran di faring selama
difteri respiratori.

Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif aerob, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan
dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan
palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang
mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai
morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan
spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa
menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis
Corynebacterium diphtheria.
Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin
baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul
62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-
terminal) dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk /
memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene.

4
Epidemiologi
Difteri tersebar luas ke seluruh dunia. Angka kejadian menurun secara nyata setelah
perang dunia kedua, setelah penggunaan toksoid difteria. Demikian pula terdapat penurunan
mortalitas yang berkisar 5-10%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah umur 15 tahun,
meskipun demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status
imunitas populasi setempat.
Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas
kesehatan, merupakan faktor penting terjadinya penyakit ini. Orang-orang yang berada pada
risiko tertular difteri meliputi:
 Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru
 Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat
 Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan
 Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri

Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena
telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih
sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah
seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet (infeksi
tetesan) ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi media penularan
(vehicle of transmission).
Difteria kulit, meskipun jarang dibahas, memegang peranan yang cukup penting secara
epidemiologik. Pada suatu saat ketika angka kejadian difteria faucial di beberapa negara mulai
memudar, difteria kulit dilaporkan meningkat. Hal yang penting bahwa dalam suatu populasi
tertentu dengan karier kulit dalam proporsi yang cukup tinggi terdapat kekebalan terhadap
difteria faucial, namun sebalikya berperan pula dalam terjadinya wabah difteri faucial.
Di Indonesia, wabah difteri muncul kembali sejak tahun 2001 di Cianjur, Semarang,
Tasikmalaya, Garut, dan Jawa Timur dengan case fatality rate (CFR) 11,7-31,9%. Di Jawa Timur
sejak tahun 2000-2011, tercatat 335 kasus dengan jumlah kematian 11 orang dan pada tanggal 10
Oktober 2011 Provinsi Jawa Timur dinyatakan berstatus KLB.

5
Patofisiologi
Kuman Corynebacterum diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta
berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dalam
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke
kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang aktif.
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase yang
menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan nekrotik,
membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah
infeksi semakin melebar dan terbentuklah eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang
melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan atau sufokasi bisa terjadi dengan
perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin
terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis.
Miokarditis biasanya terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3 - 7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan degenerasi hialin

6
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi
otot dan fibrosis interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.

Manifestasi Klinis
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteri, virulensi serta
toksigenitas Corynebacterum diphteriae dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious
(perlahan-lahan) dimulai dengan gejala yang tidak spesifik. Difteri mempunyai masa tunas 2 - 6
hari. Pasien pada umumnya datang berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteri.

Difteria Hidung
Difteria hidung pada umumnya menyerupai common cold, dengan gejala klinis pilek
ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinus
dan kemudian mukopurulen menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan
tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorsi toksin sangat lambat dan gejala
sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat

Difteria Tonsil Faring


Gejala difteri tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu dapat menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan pallatum molle atau ke bawah ke laring dan
trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi
kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik unilateral

7
maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.

Difteria Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pda difteri primer gejala
toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteri laring sukar untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas
bunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak.
Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobrongkial.Apabila
difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obsruksi dan toksemia

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga


Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtifa dan Telinga merupakan tipe difteria yang tidak
lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, oedem dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna
dengan sekret purulen dan berbau.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis difteri harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman difteri dengan
sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi
secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti

8
dengan isolasi Corynebacterum diphteriae dengan pembiakan pada media Loeffler, dilanjutkan
dengan test oksinogenesitas secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek).
Pada anamnesis kasus difteri ditemukan riwayat kontak dengan penderita difteri, suara
serak, stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas, serta demam yang tidak terlalu tinggi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan gambaran tonsilitis, faringitis, rinitis, limfadenitis servikal dan
edema jaringan lunak leher (bullneck). Yang terpenting untuk diagnosis adalah ditemukannya
membran pada tempat infeksi yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit darah tepi dapat meningkat,
kadang-kadang timbul anemia, protein likuor pada neuritis difteria sedikit meningkat, urea N
darah pada nekrosis tubular akut dapat meningkat. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan
bakteri difteria pada sediaan langsung / biakan (+).
Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri
dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
penggunaan secara luas.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
Corynebacterum diphteriae untuk mencegah penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria.

Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 - 3 minggu.
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila terjadi miokrditis
 Oksigen bila sesak nafas
 Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan kalori tinggi
 Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan humidifier.
 Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
 Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

9
Khusus
1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri. Sebelumnya harus
dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat
kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam
semprit. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :
1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Tes
konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faali. Pada
mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis
pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila
tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis serum anti difteri ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung
pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. Dosis ADS di ruang Menular
Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :
 20.000 KI i.m. untuk difteri ringan (hidung, kulit, konjungtiva).
 40.000 KI i.v. untuk difteri sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, difteri laring).
 100.000 KI i.v. untuk difteri berat (pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan anak
yang toksik, disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).
Literatur lain mengatakan dosis yang diberikan seperti :
 Difteri hidung / faring ringan 40.000 U
 Difteri faring 60.000 – 80.000 U
 Difteri faring berat / laring / dengan bull neck 100.000 – 120.000 U

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu
kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya
reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

10
2. Antibiotik
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin.
Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari atau 25.000 – 50.000 U/kgbb/hari
intra muscular, tiap 12 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut negative (-).
Bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 - 50 mg/kg/hari, di bagi dalam 4 dosis maksimal 2gr/
hari, peroral atau intravena, tiap 6 jam selama 14 hari.

3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Di Ruang
Menular Anak RSUD Dr. Soetomo, kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala
obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap
baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.

Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick
negatif tetapi mengandung basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin oral atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi / adenoidektomi
Pengobatan yang diberikan adalah Penisilin 100 mg/kgBB/hari oral / suntikan, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.

Pencegahan
Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya
setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi.

11
Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
Kekebalan pasif :
 Diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan
suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu).
Kekebalan aktif :
 Diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteri.

Imunisasi
Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi
menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian imunisasi ulangan
sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus terpenuhi sebelum anak berumur 6 tahun.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan
interval masing-masing 4 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan
dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi
primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan 1x.
Waktu pasien dipulangkan :
 DPT 0,5 ml, i.m, untuk anak < 7 tahun
 DT 0,5 ml, i.m, untuk anak ≥ 7 tahun

Test kekebalan :
 Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes dilakukan dengan
menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
 Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes dilakukan dengan
memberikan 0,1 ml larutan fluid difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila
dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
o pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.
o pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.

12
Semua anak yang kontak dengan penderita harus dilakukan pemeriksaan sediaan
langsung dari hidung dan tenggorok.
Bila hasil (-)
 Eritromisin 40 – 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis, maksimal 2 gr/hari, peroral, selama 7
hari
 Imunisasi DPT / DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang
telah mendapatkan imunisasi.

Bila hasil (+)


 Pada anak tanpa gejala (karier) : Eritromisin 40 – 50 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis,
maksimal 2 gr/hari, peroral, tiap 6 jam selama 7 hari
 Imunisasi DPT / DT pada anak yang belum pernah diimunisasi, ulangan pada anak yang
telah mendapatkan imunisasi.
 Selama pemberian obat anak harus diawasi ketat. Bila menunjukkan gejala  segera
dirawat.

Outbreak Response Immunization


Outbreak response immunization (ORI) adalah strategi yang dilakukan untuk
mengendalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di wilayah yang
sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi tertentu yang berisiko tertular penyakit difteri.
Tujuan ORI untuk meningkatkan kekebalan populasi tersebut sehingga dapat mencegah
meluasnya penularan penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian. Penentuan daerah
ORI berdasarkan banyak pertimbangan antara lain banyaknya kasus baru, mudahnya penularan
yang berpotensi meluas menjadi wabah yang menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi, tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi, serta kesiapan sarana, prasarana, dan SDM.
Sasaran ORI difteri adalah anak usia 1 tahun sampai dengan kurang dari 19 tahun tanpa
memandang riwayat imunisasi yaitu dengan menyuntikkan vaksin DPT atau DT atau Td sesuai
usia, sebanyak 3 kali. Suntikan pertama disuntikkan 1 kali pada bulan ini, selanjutnya suntikan
kedua diberikan 1 kali dengan jarak 1 bulan dari suntikan pertama, dan suntikan ketiga diberikan
1 kali berjarak 6 bulan dari suntikan kedua. Imunisasi disuntikkan secara intramuskular (IM) di
area deltoid (otot lengan atas) kiri dengan dosis 0,5 mL. ORI KLB difteri dilakukan di sarana

13
kesehatan pemerintah (Posyandu, Puskesmas, RS Pemerintah) dan sekolah. Pemberian vaksin
dilakukan tanpa memandang status imunisasi sebelumnya, sehingga anak yang sudah lengkap
imunisasinya, tetap diberikan tiga dosis aksin sesuai skema ORI yaitu bulan ke-0, 1, dan 6.

Gambar 1. Jenis Vaksin Difteri yang Tersedia untuk Program ORI

Rapid Convenience Assesstment


Rapid Convenience Assesstment (RCA) merupakan alat yang digunakan untuk
mengidentifikasi target vaksinasi yang tidak mengikuti vaksinasi selama masa kampanye.
Sampling yang dilakukan menggunakan metode convenience sampling, sehingga RCA tidak
dapat digunakan untuk menilai cakupan vaksinasi. RCA dapat digunakan untuk mengidentifikasi
komunitas yang tidak terjangkau, terutama di daerah terisolasi yang jauh dari tempat vaksinasi,
pada kelompok yang berbeda secara sosial, anak jalanan, dan lain-lain.
Secara acak pilih dan daftarkan 20 anak dalam usia target dari 20 rumah. Jika 1 rumah
memiliki lebih dari 1 anak yang memenuhi syarat, secara acak pilih hanya 1. Kirim anak yang
belum divaksinasi ke tempat vaksinasi terdekat. Jika ada 3 atau lebih anak yang belum
divaksinasi, informasikan kepada supervisor dan buat permintaan untuk merencanakan sweeping
pada area tersebut.

Komplikasi
Komplikasi difteri dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat aktivitas
eksotoksin. Komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam :
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran difteri atau oleh karena edema
pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan servikal.

14
2. Efek eksotoksin
Dampak eksotoksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa miokarditis yang dapat
terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan biasanya terjadi pada pasien yang
terlambat mendapat pengobatan antitoksin. Komplikasi pada jantung berupa miokardiopati
toksik bisa terjadi pada minggu ke-2, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih
lambat (minggu ke-6). Manifestasinya bisa berupa takikardi, suara jantung redup, bising
jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung. Kelainan pemeriksaan
elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST, perpanjangan interval PR, dan heart
block.
Komplikasi pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral, terutama
mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada
minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis
otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep tendon
reflexes, peningkatan kadar protein dalam cairan serebrospinal. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi kelumpuhan pada
pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain.
Komplikasi ini terjadi setelah penggunaan antibiotika secara luas. Komplikasi ini sangat
jarang terjadi.

Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %.
Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering
terjadi akibat miokarditis. Di Indonesia pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi
masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Bila antitoksin diberikan pada hari
pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari
hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%. Menurut Krugman,
kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :
1. Obstruksi jalan napas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteri,

15
2. Adanya miokarditis dan gagal jantung
3. Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan
kelainan jantung yang menetap.
Prognosis tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak
kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difteri.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring(48,4%)
dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik

16
Bab III
Metodologi Penelitian
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif untuk mendapatkan gambaran
tentang imunisasi dan cakupan ORI difteri di wilayah RW 08 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2018 di wilayah RT 02 RW 08
Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

Sumber Data
Sumber data terdiri dari data primer yang diambil dengan wawancara pada warga RT 02
RW 08 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

Populasi
• Populasi target adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang berusia 1-19
tahun.
• Populasi terjangkau adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang berusia
1-19 tahun di wilayah RT 02 RW 08 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

Sampel
Sampel penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga yang berusia 1-19
tahun, yang diwawancarai secara langsung. Besar sampel yang berhasil diperoleh sebanyak 20
sampel. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah metode convenience sampling.

17
Protokol Mini Project

Menentukan rumusan Koordinasi kepada Melakukan


masalah dengan pemegang program pengambilan data
Kepala Puskesmas ORI Difteri di dengan melakukan
Kelurahan Kedaung Puskesmas Kelurahan RCA di RT 02 RW 08
Kaliangke Kedaung Kaliangke Kedaung Kaliangke

Pelaporan hasil
Melakukan
pelaksanaan mini
pengolahan data
project

Manajemen Data
1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari keluarga yang memiliki anggota keluarga berusia 1-19
tahun di wilayah RT 02 RW 08 Kedaung Kaliangke pada Januari 2018. Teknik
pengumpulan data dengan menggunakan wawancara.
2. Pengolahan Data
Terhadap data-data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses
editing, verifikasi, data entry, dan cleaning. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan
menggunakan program komputer, yaitu program Microsoft Word dan Microsoft Excel.
3. Penyajian Data
Data yang didapat disajikan secara tekstular dan tabular.
4. Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan di
presentasikan di hadapan Kepala dan staf Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke,
Jakarta Barat.

18
Bab IV
Hasil

Profil Komunitas Umum


Kelurahan Kedaung Kaliangke merupakan bagian dari Kecamatan Cengkareng yang
terletak di bagian Barat Jakarta. Kelurahan ini merupakan luas wilayah 2,61 km 2 dan
berpenduduk lebih dari 11.901 KK. Wilayah kelurahan Kedaung Kaliangke terbagi atas 10 RW.
Jumlah penduduk yang tercatat di kelurahan Kedaung Kaliangke ialah sebanyak 36.124 jiwa.
Kelurahan Kedaung Kaliangke sebagian besar wilayahnya terdiri dari pergudangan dan
pabrik. Selain perkantoran dan kantor SATPAS juga terdapat dua tempat perumahan elite yaitu
Casa Jardin dan Green Mansion. Kelurahan ini dikelilingi oleh 3 sungai besar yaitu sungai
Cengkareng drain di sebelah Barat, sungai Cisadane di sebelah Selatan memisahkan satu bagian
wilayah RW yaitu RW 08 dan sungai Angke di sebelah Timur, sedangkan sisi Utara dilintasi
oleh sungai Apuran. Sungai Angke dan sungai Cisadane adalah sungai dengan penyumbang
banjir terbesar di kelurahan ini hingga tahun 2015.

Data Geografis
Kelurahan Kedaung Kaliangke terletak pada bagian Barat Jakarta dengan luas wilayah
2,61 km2. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Kapuk di sebelah Utara, Kelurahan
Wijaya Kusuma di sebelah Timur, dan Kelurahan Kembangan di sebelah Selatan.

19
Data Demografik
Kelurahan Kedaung Kaliangke mencakup 10 RW yang terdiri dari 97 RT dengan jumlah
penduduk 36.124 jiwa. Kelurahan ini memiliki kepadatan penduduk 13.840 jiwa/km2. Sebanyak
19.203 jiwa penduduknya merupakan laki-laki sedangkan 16.821 jiwa penduduknya adalah
perempuan. Terdapat warga negara asing yang berdiam di wilayah kelurahan Kedaung
Kaliangke, 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Jumlah penduduk yang bekerja hanya
24.100 jiwa.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kedaung Kaliangke menurut Kelompok Umur, Tahun 2015
UMUR JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH
(TAHUN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
(ORANG)
(ORANG) (ORANG)
0-4 1.260 1.215 2.475
5-9 1.398 1.049 2.447
10-14 1.242 1.219 2.461
15-49 12.819 11.216 24.035
50-64 1.994 1.749 2.743
65 + 490 474 964
JUMLAH 19.203 16.921 36.124

Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Kedaung Kaliangke adalah pedagang dan
pemilih rumah makan (9.000 jiwa), lalu karyawan bank (3.400 jiwa) diikuti pertukangan listrik
dan air (3.300 jiwa). Usia penduduk kelurahan Kedaung Kaliangke tersebar secara merata
dengan proporsi terbesar usia produktif.

Hasil RCA
Dari RCA yang dilakukan di wilayah RT 02 RW 08 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat
pada 31 Januari 2018, didapatkan 34 anak berusia 1-19 tahun dari 20 rumah yang dikunjungi.
Data imunisasi dan cakupan ORI difteri dari 34 anak tersebut adalah sebagai berikut:

20
Tabel 2. Jumlah Anak yang Diimunisasi berdasarkan Jenis Imunisasi

Jenis Imunisasi Jumlah Anak Persentase

HB-0 34 100

BCG 34 100

DPT-HB-HIB 1 34 100

DPT-HB-HIB 2 34 100

DPT-HB-HIB 3 34 100

POLIO 1 34 100

POLIO 2 34 100

POLIO 3 34 100

POLIO 4 34 100

CAMPAK 34 100

BOOSTER 11 32,35

MR 34 100

ORI-0 34 100

ORI-1 33 97,06

21
Bab V
Pembahasan
Analisis Hasil RCA
Dari hasil RCA yang telah dilakukan, didapatkan 100% subjek penelitian sudah
diimunisasi HB-0, BCG, DPT-HB-HIB 1, DPT-HB-HIB 2, DPT-HB-HIB 3, Polio 1, Polio 2,
Polio 3, Polio 4, Campak, MR, dan mengikuti ORI difteri pertama. Sebanyak 11% subjek
penelitian sudah diimunisasi booster (imunisasi ulang), baik DPT-HB-HIB ataupun Campak.
Sebanyak 97,06% sudah mengikuti ORI difteri kedua.
Tingginya cakupan hampir keseluruhan imunisasi dan yang mengikuti ORI dipikirkan
karena tingkat pengetahuan penduduk yang sudah baik, peran aktif kader dan warga di RW 08,
peran aktif petugas kesehatan di Puskesmas Kedaung Kaliangke (memberikan penyuluhan,
melakukan sweeping, dan membuka posko di luar jadwal Posyandu), serta letak geografis
wilayah RT 02 RW 08 yang dekat dengan Posyandu atau posko-posko yang disiapkan untuk
imunisasi.
Rendahnya cakupan imunisasi booster yang didapatkan pada penelitian ini disebabkan
karena program booster yang baru berjalan pada tahun 2013, sehingga sebagian besar anak yang
sudah berusia lebih dari 4 tahun tidak mendapatkan imunisasi booster ini.
Terdapat 1 subjek penelitian yang belum mengikuti ORI difteri kedua. Subjek penelitian
ini belum mengikuti ORI difteri kedua karena pada saat waktu yang telah dijadwalkan sedang
sakit dan belum sempat untuk datang ke Puskesmas. Kepada 1 subjek penelitian ini telah
dilakukan imunisasi ORI difteri kedua pada saat dilakukan kegiatan RCA ini.

22
Bab VI
Penutup
Kesimpulan
1. Cakupan imunisasi dari sampel yang didapat di RT 02 RW 08 Kedaung Kaliangke,
kecuali booster, sudah mencapai 100%.
2. Cakupan ORI difteri dari sampel yang didapat di RT 02 RW 08 Kedaung Kaliangke
sudah mencapai 100%.
3. Dari populasi target didapatkan 1 orang yang belum mengikuti ORI difteri kedua karena
karena pada saat waktu yang telah dijadwalkan sedang sakit, namun sudah dilakukan
imunisasi ORI difteri kedua pada saat dilakukan RCA.

Saran
1. Diharapkan dapat dilakukan RCA pada wilayah lain yang dipikirkan memiliki cakupan
imunisasi dan cakupan ORI difteri rendah.
2. Diharapkan dapat dilakukan pemetaan cakupan imunisasi pada wilayah kerja Puskesmas
Kelurahan Kedaung Kaliangke sehingga program imunisasi dapat digalakkan pada
wilayah yang memiliki cakupan imunisasi rendah.

23
Daftar Pustaka

1. Bishai WR. Murphy JR. Diphtheria and other corynebacterial infections. In: Kasper
DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J (eds). Harrison’s
principle of internal medicine. 19th ed. New York: McGraw Hill; 2015.
2. Papadakis MA, McPhee SJ. Current medical diagnosis & treatment. 52 nd ed. New
York: Lange; 2013.
3. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). In: Kliegman RM, Stanton
BF, St Geme JW, Schor NF. Nelson textbook of pediatric. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2016.
4. Lo BM. Diphteriae. 18 Mei 2017. Diunduh dari:
https://emedicine.medscape.com/article/782051-overview, 7 Februari 2018.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. FAQ seputar kegiatan outbreak response
immunization (ORI) difteri. 16 Desember 2017. Diunduh dari:
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-
response-immunization-ori-difteri, 10 Februari 2018.
6. Japanese encephalitis campaign: rapid convenience assesstment. 2006. Diunduh dari:
http://gkpdiv.up.nic.in/RCA_form.htm, 10 Februari 2018.

24

You might also like