Professional Documents
Culture Documents
MINI PROJECT
Dokter Pendamping :
SDM KESEHATAN
SUMEDANG
2016
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan nikmatnya yang tidak terhingga. Karena atas nikmat Nya penulis
mampu menyelesaikan penyusunan karya tulis ini untuk memenuhi salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia dengan judul “Tingkat
Kepatuhan Penggunaan Obat Anti Hipertensi pada Pasien Hipertensi di
Puskesmas Kota Kaler Kabupaten Sumedang”. Penyusunan karya tulis ini tidak
lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
disertai penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ratih Noor Agni, dr, sebagai dokter pendamping, atas bantuan serta dukungan
yang telah diberikan selama masa internship di Puskesmas Kota Kaler
2. H. Aan Sugandi, SKM, Msi, selaku Kepala Puskesmas Kotakaler, atas izin
yang telah diberikan dalam melakukan penelitian di wilayah kerja Puskesmas.
3. Seluruh staf Puskesmas Kotakaler atas bantuan dan kerjasama dalam
kelancaran penelitian ini.
4. Seluruh dokter internship Puskesmas Kotakaleratas bantuan dan dukungan
yang telah diberikan dalam penyelesaian penelitian ini.
5. Terima kasih kepada semua pihak, termasuk seluruh responden yang telah
bersedia memberikan informasi yang diperlukan sebagai data penelitian ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa penelitian ini
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis terbuka kepada saran dan masukan yang
membangun untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga hasil penelitian yang
disajikan dalam karya tulis ini dapat berguna bagi ilmu pengetahuan dan banyak
pihak. Semoga semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini diberkahi
dan dirahmati oleh Allah SWT.
2
Penulis
3
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
8
mencapai 29.2 %. Pada bulan April 2016, penderita hipertensi di Wilayah
Kecamatan Kotakalerterdapat 379 kasus sama dengan 9.87 % dari total kasus
keseluruhan., dimana 82.06% adalah pasien baru dan 21.86 % adalah pasien lama.
Sebanyak 18,7 % penderita berada pada usia 45-54 tahun. Jumlah ini merupakan
jumlah kasus paling tinggi diantara jenis penyakit tidak menular.9
Hipertensi merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular, selain dari
asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, diabetes melitus, hipertiroid,
penyakit jantung, stroke, penyakit ginjal, dan penyakit sendi.8 Hipertensi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada organ target seperti sistem
saraf pusat, ginjal, jantung, dan mata. Penyakit ini seringkali disebut silent killer
karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada
organ-organ vital.10
Hipertensi menjadi faktor resiko utama penyakit jantung dan stroke yang
merupakan penyebab kematian dan disalibitas dini nomor satu di dunia. Selain itu,
hipertensi juga meningkatkan resiko gagal ginjal dan kebutaan.6 Hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dalam ginjal sehingga mengurangi
kemampuan ginjal untuk memfiltrasi darah dengan baik.11 Penanganan terhadap
komplikasi-komplikasi hipertensi, seperti operasi bypass jantung, operasi arteri
carotis, serta dialisis, akan menghabiskan dana dalam jumlah besar, baik bagi pasien
maupun pemerintah.4
Pada tahun 2012, World Health Organization mencanangkan Global Plan
Action 2013-2020 yang bertujuan untuk mengurangi 25% kematian dini akibat
penyakit-penyakit tidak menular di tahun 2025, termasuk hipertensi. Mencegah dan
mengontrol tekanan darah tinggi merupakan salah satu langkah yang penting untuk
mencapai hal tersebut.6 Hal ini semakin meningkatkan kesadaran untuk melakukan
penatalaksanaan yang baik pada penyakit hipertensi.
Tujuan pengobatan hipertensi adalah untuk menurunkan mortalitas dan
morbiditas penyakit kardiovaskular. Penurunan tekan sistolik harus menjadi perhatian
utama, karena umumnya tekanan diastolik akan terkontrol bersamaan dengan
9
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1. Definisi
2.1.2. Klasifikasi
Terdapat beberapa klasifikasi untuk hipertensi seperti dari World Health
Organization (WHO), International Society of Hypertension (INH), European Society
of Hypertension (ESH), British Hypertension Society (BSH), Canadian Hypertension
Education Program (CHEP) tetapi umumnya digunakan JNC VII.22
Klasifikasi tekanan darah diatas adalah untuk dewasa dengan usia ≥ 18 tahun.
Klasifikasi ini berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih pengukuran, dalam keadaan
duduk, pada dua kunjungan atau lebih. Prehipertensi tidak termasuk dalam kategori
13
2.1.3. Epidemiologi
Hipertensi diperkirakan diderita oleh 20 % orang dewasa di seluruh dunia dan
meningkat pada usia lebih dari 60 tahun.3 Prevalensi hipertensi mencapai 1 miliyar di
dunia dan menyebabkan kematian pada 9.4 juta penduduk dunia setiap tahunnya.4
Angka kejadian hipertensi diperkirakan akan meningkat sebesar 60% pada tahun
2025.5 Secara umum angka kejadian hipertensi lebih tinggi di negara berkembang
dibanding dengan negara maju.6 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2013, hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu
sebesar 25,8%.8
Prevalensi hipertensi juga tergantung dari komposisi ras populasi yang
dipelajari dan kriteria yang digunakan.Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan pada
populasi kulit hitam. Pada wanita, prevalensinya berhubungan erat dengan usia,
dengan terjadinya peningkatan setelah usia 50 tahun. Peningkatan ini mungkin
berhubungan dengan perubahan hormone saat menopause, meskipun mekanismenya
masih belum jelas. Dengan demikian, rasio frekuensi hipertensi pada wanita
disbanding pria meningkat dari 0,6 sampai 0,7 pada usia 30 tahun menuju 1,1 sampai
1,2 pada usia 65 tahun.1
2.1.5. Patogenesis
Hipertensi terjadi apabila keseimbangan antara curahan jantung dan tahanan
perifer terganggu.25 Beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian tekanan darah
yang mempengaruhi rumus dasar : Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan
Perifer, dapat dilihat pada gambar:23
Penjelasan lain untuk hipertensi yang sensitif terhadap garam adalah defek
membran sel yang menyeluruh. Disimpulkan bahwa abnormalitas ini menunjukkan
perubahan membrana seluler yang tidak dapat dijelaskan dan defek ini terjadi pada
17
beberapa, mungkin semua, sel tubuh, terutama otot polos vaskuler. Karena defek ini,
selanjutnya terdapat akumulasi kalsium yang abnormal dalam otot polos vaskuler,
mengakibatkan responsivitas vaskuler yang tinggi terhadap obat vasokonstriktor.1
d) Resistensi Insulin
Hiperinsulinemia dapat meningkatkan tekanan arteri oleh satu atau lebih dari
empat mekanisme. Asumsi yang mendasarinya pada masing-masing adalah beberapa,
tetapi tidak semua, jaringan target insulin resisten terhadap efeknya. Khususnya
jaringan yang terlibat dalam homeostasis glukosa yang resisten (dengan demikian
menimbulkan hiperinsulinemia. Mula-mula, hiperinsulinemia menghasilkan retensi
natrium ginjal (paling sedikit secara akut) dan meningkatkan aktivitas simpatik. Salah
satu atau keduanya dapat mengakibatkan kenaikan tekanan arteri. Mekanisme lain
adalah hipertrofi otot polos vaskuler sekunder terhadap kerja mitogenik insulin.
Akhimya, insulin juga mengubah transpor ion melalui membran sel, dengan demikian
secara potensial meningkatkan kadar kalsium sitosolik dari jaringan vaskuler atau
18
ginjal yang sensitif terhadap insulin. Melalui mekanisme ini, tekanan arteri
ditingkatkan karena alasan yang sama dengan yang dijelaskan di atas untuk hipotesis
defek-membran. Akan tetapi, penting menunjukkan bahwa peranan insulin dalam
mengendalikan tekanan arteri adalah hanya dimengerti samar-samar, dan oleh karena
itu, potensinya sebagai faktor patogenik dalam hipertensi tetap tidak jelas.1
e) Nonmodulation
f) Genetik
Satu pendekatan untuk menilai hubungan tekanan darah dalam keluarga
(agregasi familial). Dari penelitian ini, ukuran minimum faktor genetik dapat
dinyatakan dengan koefisien korelasi kurang lebih 0,2. Akan tetapi, variasi ukuran
faktor genetik dalam penelitian yang berbeda menekankan kembali kemungkinan
sifat heterogen populasi hipertensi esensial. Selain itu, sebagian besar penelitian
mendukung konsep bahwa keturunan mungkin bersifat multifaktorial atau jumlah
defek genetiknya naik.1
2.1.6. Komplikasi
Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kerusakan organ – organ target yang umum ditemui pada
pasien hipertensi adalah : jantung (hipertrofi ventrikel kiri, angina / infark
miokardium, gagal jantung), otak (strok, transient ischemic attack), penyakit ginjal
kronis, penyakit arteri perifer, retinopati.1
Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ – organ
tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau
karena efek tidak langsung, antara lain adanya autoantibodi aterhadap reseptor AT I
angiotensinogen II, stres oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain – lain.
20
Jantung
Adanya kerusakan organ target, terutama pada jantung dan pembuluh darah,
akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas
pasien hipertensi terutama disebabkan tibulnya penyakit kardiovaskular.
Faktor resiko :
1. Merokok
2. Obesitas
3. Kurangnya aktivitas fisik
4. Dislipidemia
5. Diabetes mellitus
6. Mikroalbuminuria atau LFG < 60 mL/menit
7. Usia (laki-laki > 55 tahun, perempuan > 65 tahun)
8. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-
laki < 55 tahun, perempuan < 65 tahun)23
Penyakit jantung adalah penyebab kematian yang paling umum pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensif merupakan adaptasi fungsi dan struktur yang
mengarah pada hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik, gagal jantung kronik,
abnormalitas gangguan darah akibat penyakit jantung koroner aterosklerotik, penyakit
mikrovaskuler, dan aritmia jantung.1
Baik faktor genetik maupun hemodinamik berpengaruh terhadap hipertrofi
ventrikel kiri.Seseorang dengan hipertrofi ventrikel kiri beresiko tinggi untuk strok,
gagal jantung kronik, dan mati mendadak.Pengendalian hipertensi yang agresif dapat
menekan atau melawan perkembangan hipertrofi ventrikel kiri dan mengurangi resiko
penyakit kardiovaskular. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dievaluasi dengan
elektrokardiogram.1
Abnormalitas fungsi diastolik, meliputi penyakit jantung tanpa gejala sampai
gagal jantung yang jelas terlihat, umum ditemukan pada pasien hipertensi.Pasien
dengan gagal jantung diastolik memiliki fraksi ejeksi yang tetap, yang mana
merupakan ukuran untuk fungsi sistolik.Kurang lebih 1/3 dari pasien dengan gagal
21
jantung kronik tidak memiliki gangguan pada fungsi sistolik namun memiliki
abnormalitas fungsi diastolik. Abnormalitas fungsi diastolik merupakan konsekuensi
awal dari penyakit jantung yang berhubungan dengan hipertensi dan dipicu oleh
hipertrofi dan iskemia ventrikel kiri. Fungsi diastolik dapat dievaluasi dengan
ekokardiografi dan angiografi radionuklir.1
Otak
Hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk infark dan perdarahan
otak.Kurang lebih 85 % dari pasien stroke disebabkan infark dan sisanya disebabkan
perdarahan, baik intraserebral maupun sub araknoid.Insidensi strok meningkat secara
progresif dengan meningkatnya tekanan darah, khususnya pada tekanan sistolik
individu berusia > 65 tahun. Pengobatan hipertensi secara pasti menurunkan resiko
strok baik iskemik dan perdarahan.1
Hipertensi juga berhubungan dengan gangguan fungsi kognitif pada populasi
usia lanjut, dan penelitian longitudinal memberi kesan bahwa adanya hubungan
antara hipertensi usia pertengahan dengan penurunan kognitif usia lanjut. Gangguan
kognitif yang berhubungan dengan hipertensi dan pikun bisa jadi merupakan sebuah
konsekuensi dari infark tunggal akibat penyumbatan pada pembuluh darah besar atau
infark lakunar yang banyak akibat penyumbatan pembuluh darah kecil yang
berdampak iskemia substansi alba sub kortikal. Beberapa uji klinis menyatakan
bahwa terapi anti-hipertensif memiliki efek menguntungkan pada fungsi kognitif,
walaupun hal ini masih dalam penyelidikan.1
Aliran darah serebral tetap tidak berubah di sekitar jarak luas tekanan arteri (
tekanan arteri rata-rata 50 – 150 mmHg) melalui sebuah proses yang disebut
autoregulasi aliran darah. Pada pasien dengan sindroma klinis hipertensi maligna,
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan autoregulasi aliran darah serebral pada
ambang batas atas tekanan, yang mengakibatkan vasodilatasi dan hiperperfusi. Gejala
dan tanda ensefalopati hipertensif dapat meliputi sakit kepala berat, mual dan muntah
( biasanya proyektil), tanda neurologis fokal, dan perubahan status mentalis. Tidak
22
diobati, ensefalopati hipertensif dapat berkembang menjadi stupor, koma, kejang, dan
kematian dalam hitungan jam. Sangat penting untuk membedakan ensefalopati
hipertensif dari sindroma neurologis yang mungkin berhubungan dengan hipertensi,
seperti iskemia serebral, strok perdarahan atau trombotik, gangguan kejang, lesi
massa, pseudotumor cerebri, delirium tremens, meningitis, porfiria intermiten akut,
kerusakan otak akibat trauma atau zat kimia, dan ensefalopati uremikum.1
Ginjal
Penyakit ginjal primer adalah penyebab hipertensi sekunder paling
umum.Sebaliknya, hipertensi adalah sebuah faktor resiko untuk kerusakan ginjal dan
Penyakit Ginjal Stadium Akhir.Penigkatan resiko berhubungan dengan tekanan darah
yang tinggi bertahap, terus – menerus, dan ada pada seluruh distribusi tekanan darah
di atas nilai optimal. Resiko ginjal tampak lebih erat hubungannya dengan tekanan
sistolik daripada diastolik, dan orang kulit hitam lebih beresiko menjadi Penyakit
Ginjal Stadium Akhir dibanding orang kulit putih pada seluruh tingkat tekanan
darah.1
Lesi vaskuler aterosklerotik yang berhubungan dengan hipertensi pada ginjal
pada awalnya mempengaruhi arteriol preglomerular, mengakibatkan perubahan
iskemik pada glomerulus dan struktur postglomerular.Kerusakan glomerulus dapat
juga merupakan konsekuensi dari kerusakan langsung pada kapiler glomerulus akibat
hipoperfusi pada glomerulus.Patologi glomerulus berkembang menjadi
glomerulosklerosis, dan tubulus renalis dapat juga menjadi iskemik dan secara
perlahan menjadi atrofi. Lesi ginjal yang berhubungan dengan hipertensi maligna
terdiri dari nekrosis fibrinoid dari arteriol aferen, terkadang memanjang hingga ke
glomerulus, dan dapat mengakibatkan nekrosis fokal pada glomerulus.1
Secara klinis, makroalbuminuria (rasio albumin/kreatinin sewaktu >300 mg /
g) atau mikroalbuminuria (rasio albumin / kreatinin urin sewaktu 30 – 300 mg / g)
adalah petanda awala dari kerusakan ginjal. Ini juga merupakan faktor resiko untuk
berkembanganya penyakit ginjal dan penyakit kardiovaskuler.1
23
Arteri perifer
Sebagai tambahan untuk yang berperan dalam patogenesi hipertensi,
pembuluh darah mungkin merupakan organ target penyakit aterosklerotik yang
muncul akibat meningkatnya tekanan darah dalam waktu yang lama.Pasien hipertensi
dengan penyakit arteri pada tungkai bawah memilki resiko yang meningkat untuk
penyakit kardiovakular di masa mendatang.Walaupun pasien dengan lesi stenosis
pada tungkai bawah bisa jadi tanpa gejala, klaudikasi intermiten adalah gejala klasik
penyakit arteri perifer.Hal ini dikarakteristikan dengan sakit nyeri pada betis atau
bokong saat berjalan yang hilang dengan beristirahat.Ankle-brachial Index adalah
metode yang efektif untuk mengevaluasi penyakit arteri perifer dan diartikan sebagai
rasio tekanan sistolik arteri pada pergelangan kaki terhadap lengan.Ankle-brachial
index< 0,9 dianggap sebagai diagnosis penyakit arteri perifer dan berhubungan
dengan > 50 % stenosis pada paling tidak satu pembuluh darah utama tungkai bawah.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ankle-bracial index < 0,8 berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah, khususnya tekanan darah sistolik.1
2.1.7 Diagnosis
2.1.7.1 Anamnesis
Penilaian awal pasien hipertensi harus mencakup riwayat lengkap dan
pemeriksaan fisik untuk memastikan diagnosis hipertensi, menyaring faktor resiko
penyakit kardiovaskuler yang lain, menyaring penyebab sekunder hipertensi,
identifikasi konsekuensi kardiovaskuler dari hipertensi dan komorbid yang lain,
menilai tekanan darah-berhubungan dengan gaya hidup, dan menentukan kekuatan
untuk intervensi.25
Kebanyakan pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala khusus yang
dapat merujuk pada peningkatan tekanan darahnya.Walaupun sangat lazim dianggap
sebuah gejala peningkatan tekanan arteri, sakit kepala secara umum terjadi hanya
pada pasien dengan hipertensi berat.Secara karakteristik,sakit kepala terjadi pada pagi
hari dan terlokalisasi pada daerah oksipital. Gejala tidak spesifik lainnya yang dapat
24
8. Komorbid lainnya
lengan; panjang cuff harus mengelilingi paling tidak 80 % lingkar lengan. Penting
untuk memperhatikan penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan
pengempisan cuff(2 mmHg/s). Tekanan darah sistolik adalah yang pertama pada
paling tidak dua denyut regular bunyi korotkoff, dan tekanan diastolik pada titik
dimana bunyi korotkoff terakhir terdengar.25
Pemeriksaan Fisik
Bentuk tubuh, termasuk tinggi dan berat badan, harus dicatat.Pada
pemeriksaan awal, tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik
pada posisi berbaring, duduk, dan berdir untuk mengevasluasi hipotensi postural.
Bahkan jika pulsasi femoralis normal pada palpasi, tekanan arteri harus diukur paling
tidak sekali di tungkai bawah pada pasien yang hipertensi ditemukan sebelum usia 30
tahun. Denyut jantung harus dicatat.Seseorang hipertensi mengalami peningkatan
prevalensi fibrilasi atrium.Leher harus dipalpasi untuk pembesaran kelenjar tiroid,
dan pasien harus dinilai untuk tanda- tanda hipo- dan hipertiroi. Pemerikasaan
pembuluh darah dapat memeberikan petunjuk tentang penyakit vaskular yang
mendasari dan harus mencakup pemeriksaan funduskopi, aukultasi untuk bising pada
arteri karotis dan femoralis., dan palpasi pada pulsasi femoralis dan pedalis. Retina
adalah satu-satunya jaringan yang mana arteri dan arteriol dapat diperiksa secara
langsung.Dengan meningkatnya keparahan hipertensi dan penyakit aterosklerotik,
perubahan funduskopi yang progresif termasuk meningkatnya refleks cahaya
arteriolar, defek penyilangan arteriovenosus, perdarahan dan eksudat, dan pada pasien
dengna hipertensi maligna, papiledema. Pemeriksaan jantung dapat menunjukkan S2
mengeras karena penutupan katup aorta dan sebuah S4 gallop, kontraksi atrial
melawan ventrikel kiri yang tidak kompliens. Hipertrofi ventrikel kiri dapat dideteksi
dengan membesarnya, memanjanganya dan berpindah ke lateralnya iktus
kordis.Bising abdomen, khususnya yang menyamping dan memanjang sepanjang
sistol hingga diastol, meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskuler.Ginjal pada
pasien dengan penyakit ginjal polikista dapat teraba di abdomen. Pemeriksaan fisik
26
Metabolik Gula darah puasa, total cholesterol, HDL dan LDL, cholesterol,
triglycerides
Pengukuran ulang fungsi renal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid harus
dilakukan setelah pemakaian agen antihipertensif yang baru dan per tahun, atau lebih
sering jika indikasi klinis.25
2.1.8. Tatalaksana
Tujuan dan Target Terapi
sebesar 35-40%; (2) infark myokard sebesar 20-25 %; dan (3) gagal jantung sebesar >
50%.22
Fokus utama dari terapi hipertensi adalah mencapai target tekanan darah
sistolik. Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg sedangkan untuk individu
dengan diabetes dan penyakit ginjal, maka targetnya adalah < 130/80 mmHg.23
Berdasarkan JNC VIII, saat ini, seluruh target terapi hipertensi, baik untuk pasien
diabetes dan penyakit ginjal adalah <140/90 mmHg.26
Indikasi Terapi
Pasien dengan tekanan darah diastolik >90 mmHg atau tekanan sistolik >140 mmHg
dan telah diukur berulang kali, harus memulai pengobatan kecuali bila terdapat
kontraindikasi yang spesifik.25Tatalaksana hipertensi dapat dimulai dengan
modifikasi gaya hidup, namun terapi antihpertensi dapat langsung dimulai untuk
hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan hipertensi derajat 2.2Terapi non
farmakologis berupa modifikasi gaya hidup direkomendasikan pada semua individu
dengan pre-hipertensi dan sebagai keharusan tambahan selain terapi farmakologis
pada penderita hipertensi.25
Terapi non farmakologi bagi penderita hipertensi adalah dengan memodifikasi gaya
hidup.Berikut adalah langkah-langkah intervensi gaya hidup dalam pencegahan dan
terapi hipertensi sesuai yang direkomendasikan JNC 7:
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis yang dianjurkan oleh JNC 7:
Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Frekuensi kontrol
untuk hipertensi derajat 2 disarankan lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai
target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga menjadi 3-6 bulan
sekali. Namun, jika belum tercapai, diperlukan evaluasi terhadap pengobatan dan
gaya hidup, serta pertimbangan terapi kombinasi.Setelah tekanan darah tercapai,
pengobatan harus dilanjutkan dengan teteap memperhatikan efek samping dan
komplikasi hipertensi. Pasien perlu diedukasi bahwa terapi antihipertensi ini bersifat
jangka panjang (seumur hidup) dan terus dievaluasisecara berkala. 2
Menurut JNC VIII, pilihan antihipertensi didasarkan pada usia, ras, serta ada atau
tidaknya DM dan penyakit ginjal. Pada rasa kulit hitam, penghambat ACE dan ARB
tidak menjadi pilihan kecuali terhadap PGK, dengan atau tanpa DM.Algoritma terapi
farmakologis berdasarkan JNC VIII adalah sebagai berikut.26
Pasien hipertensi ≥ 18 tahun
Tetapkan target tekanan darah dan mulai antihipertensi berdasarkan usia, ada tidaknya DM
serta Penyakit Ginjal Kronis
Usia ≥ 60 tahun Usia ≤ 60 tahun Semua usia dengan Semua usia PGK,
Target tekanan darah Target tekanan darah DM, tanpa PGK dengan atau tanpa DM
sistolik <150 mmHg sistolik <140 mmHg Target tekanan darah Target tekanan darah
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg sistolik <140 mmHg sistolik <140 mmHg
diastolik <90 mmHg diastolik <90 mmHg
Bukan ras kulit Ras kulit hitam
hitam
Diuretik golongan tiazid atau Diuretik golongan penghambat ACE atau
penghambat ACE atau ARB tiazid CCB tunggal atau ARB, tunggal atau
atau CCB tunggal atau kombinasi kombinasi dengan obat
kombinasi kelas lain
30
Ya
Lanjutkan pengobatan dan kontrol
Diuretika
Diantara obat oral antihipertensi yang tersedia, diuretika telah digunakan lebih
sering dari lainnya karena keefektivitasannya dan dengan dosis yang lebih rendah,
efek sampingnya dapat dikurangi.Diuretika terdiri dari berbagai tipedilihat dari
struktur dan tempat kerja pada nefron.Agen diuretika yang bekerja pada tubulus
proksimal (inhibitor karbonik anhidrase) jarang digunakan untuk terapi hipertensi.25,28
Jika fungsi renal terganggu (contoh: serum kreatinin > 1.5 mg/dL) maka
diuretika loop atau metolazone dapat digunakan. Target utama dari agen ini adalah
kotransporter Na+-K+-2Cl– pada bagian tebal dari lengkung Henle. Selain itu
diuretika loop juga digunakan pada pasien dengan retensi natrium dan edema. Agen
yang menjaga kadar kalium (Potassium-sparing agent) bekerja dengan menghambat
kanal sodium di epitel pada nefron distal. Agen tipe ini merupakan agen
antihipertensif yang lemah tetapi dapat dikombinasikan dengan thiazide untuk
memproteksi terjadinya hipokalemia.dapat diberikan untuk mengurangi resiko
terjadinya hipokalemia.25,28
32
Gambar 2.3. Nefron dan Tempat Kerja Berbagai Tipe Agen Diuretika28
Efek samping dari ACE inhibitor dan Angiotensin receptor blocker termasuk
insufisiensi fungsi renal karena terjadi dilatasi arteriol eferen pada ginjal dengan lesi
stenotic di arteri renal. Pada pasien yang meminum ACE inhibitor, batuk kering
muncul pada sekitar 15% pasien dan angioedema muncul pada <1%. Hiperkalemia
seringkali muncul sebagai efek samping pada ACE inhibitor dan angiotensin receptor
blocker.25,28
33
Beta Blockers
hiponatremia,
ruam
2.2. Kepatuhan
2.2.1 Definisi
Kepatuhan terhadap pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh tenaga medis mengenai penyakit
dan pengobatannya. Tingkat kepatuhan untuk setiap pasien biasanya digambarkan
sebagai presentase jumlah obat yang diminum setiap harinya dan waktu minum obat
dalam jangka waktu tertentu.18
2.2.2. Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Kepatuhan
Kepatuhan pasien terhadap pengobatannya dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, meliputi :
a) Faktor Demografi
Faktor demografi seperti suku, status ekonomi, dan tingkat pendidikan yang
rendah dikaitkan dengan kepatuhan yang rendah terhadap regimen pengobatan.18
b) Faktor Psikologi
Faktor psikologi juga dikaitkan dengan kepatuhan terhadap regimen pengobatan.
Kepercayaan terhadap pengobatan dapat meningkatkan kepatuhan. Sedangkan
factor psikologi, seperti depresi, cemas, dan ganguan makan yang dialami pasien
dikaitkan dengan ketidakpatuhan.18
c) Faktor Sosial
Hubungan antara anggota keluarga dan masyarakat juga berperan penting dalam
pengelolaan penyakit. Penelitian menunjukan bahwa pasien dengan tingkat
masalah atau konflik yang rendah dan pasien yang mendapat dukungan dan
memiliki komunikasi yang baik antara keluarga atau masyarakatnya cenderung
memiliki tingkat kepatuhan yang lebih baik. Dukungan sosial juga dapat
menurunkan rasa depresi atau stress bagi penderita.18
36
BAB III
METODE PENELITIAN
b. Kriteria eksklusi
Pasien mengisi kuisioner tidak lengkap.
menggunakan obat?
4 Saat melakukan perjalanan atau meninggalkan rumah, Ya 1
apakah Bapak/Ibu terkadang lupa untuk membawa serta Tidak 0
obat?
5 Apakah Bapak /Ibu kemarin meminum semua obat? Ya 0
Tidak 1
6 Saat merasa keadaan membaik , apakah Bapak/Ibu Ya 1
terkadang memilih untuk berhenti meminum obat? Tidak 0
7 Sebagian orang merasa tidak nyaman jika harus meminum Ya 1
obat setiap hari, apakah Bapak/Ibu pernah merasa terganggu Tidak 0
karena keadaan seperti itu?
8 Seberapa sering Bapak/Ibu lupa minum obat? a. Tidak pernah 0
b. Sekali-sekali 1
c. Terkadang 1
d. Biasanya 1
e. Setiap saat 1
BAB IV
Usia (tahun)
25-30 2 4%
31-35 1 2%
36-40 1 2%
41-45 0 0%
46-50 4 8%
51-55 15 30%
56-60 10 20%
61-65 3 6%
66-70 5 10%
71-75 6 12%
76-80 3 6%
Pendidikan terakhir
Tidak sekolah 1 2%
SD 31 62%
SMP 6 12%
SMA 6 12%
D3 2 4%
S1 4 8%
Pekerjaan
44
IRT 32 64%
Guru 3 6%
Tidak bekerja (pensiun) 7 14%
Pedagang 3 6%
Petani 4 8%
Karyawan 1 2%
Durasi Hipertensi
<1 tahun 8 16%
1 tahun 8 16%
2 tahun 11 22%
3 tahun 5 10%
4 tahun 2 4%
5 tahun 2 4%
6 tahun 2 4%
7 tahun 1 2%
8 tahun 0 0%
9 tahun 0 0%
10 tahun 3 6%
45
Komplikasi
Dislipidemia 6 12%
Gagal Jantung 3 6%
Stroke 1 2%
Tidak ada 40 80%
Frekuensi Kontrol HT
Tidak pernah 1 2%
Satu minggu sekali 8 16%
Satu bulan 2 kali 3 6%
Satu bulan 1 kali 18 36%
Dua bulan 1 kali 6 12%
Tiga bulan 1 kali 3 6%
Lebih dari 3 bulan 1 kali 11 22%
Berdasarkan JNC VII, klasifikasi hipertensi terbagi menjadi hipertensi stage I dan
stage II. Responden terbanyak berdasarkan klasifikasi adalah hipertensi stage I sebanyak 29
orang dengan presentase 58 %. Berdasarkan durasi hipertensi, sebanyak 11 responden dengan
presentase 22 % telah mengalami hipertensi selama 2 tahun. Faktor genetik merupakan salah
satu faktor resiko dari hipertensi. Data penelitian menunjukan bahwa sebagian besar
penderita tidak memiliki riwayat hipertensi pada keluarga, yaitu sebanyak 33 orang atau sama
dengan 66 %. Pada responden dengan riwayat hipertensi pada keluarga, sebagian besar anak
pasien, yaitu 8 orang atau sebanyak 47, 06 % dialami oleh anak kandung penderita, diikuti
dengan urutan kedua, yaitu ayah serta ayah dan ibu, sebanyak 3 orang atau sama dengan
17,65 %.
Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Frekuensi kontrol untuk
hipertensi derajat 2 disarankan lebih sering. Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil,
frekuensi kunjungan dapat diturunkan hingga menjadi 3-6 bulan sekali.2 Berdasarkan
frekuensi kontrol, sebagian besar penderita melakukan kontrol sebanyak 1 bulan 1 kali
dengan jumlah 18 orang dan presentase 36%, diikuti dengan lebih dari 3 bulan 1 kali dengan
jumlah 11 orang dan presentase 22%. Namun, masih terdapat 1 orang atau sama dengan 2%
yang tidak pernah kontrol hipertensi.
Berdasarkan penilaian Morisky Scale, pasien yang tidak pernah lupa minum semua
obat mencatatkan persentase sebesar 50%. Pasien yang sekali-sekali dan terkadang lupa
minum semua obat pula mencatatkan persentase 12% dan 28%. Teradapat 5% pasien yang
biasanya lupa meminum obat.
Hasil pengolahan data dalam penelitian ini menunjukan tingkat kepatuhan pasien
berdasarkan skor kepatuhan yang diperoleh dari jawaban kuesioner pada 50 pasien hipertensi
di wilayah Puskesmas Kotakaler, Kabupaten Sumedang pada periode 17-26 Mei 2016. Skala
MMAS-8 menunjukkan kepatuhan pasien terhadap terapi dengan ketentuan skala kecil (0)
mengindikasi bahwa pasien patuh terhadap terapinya, skala 1 dan 2 menunjukkan tingkat
kepatuhan sedang, kemudian skala >2 mengidentifikasikan pasien tidak patuh terhadap terapi.
Berdasarkan data penelitian, pasien dengan skor kepatuhan rendah berjumlah 36
pasien (72 %), skor kepatuhan sedang berjumlah 12 pasien (24 %) dan tinggi berjumlah 2
pasien (4%). Dari penelitian ini diketahui mayoritas pasien hipertensi di wilayah Puskesmas
Kotakaler, Kabupaten Sumedang memiliki tingkat kepatuhan penggunaan obat antihipertensi
yang rendah yaitu 36 pasien dengan presentase 72%. Kepatuhan penggunaan obat
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti lupa meminum obat, timbul efek samping pengobatan,
faktor psikologis, serta pengetahuan pasein mengenai penyakit dan terapi yang dilakukan.
4.2 Pembahasan
Tingkat kepatuhan penggunaan obat antihipertensi pada pasien dinilai berdasarkan 8
pertanyaan Morisky Medicationn Adherence Scale-8 (MMS-8) dengan nilai 0-8.
Tingkat Kepatuhan
Penggunaan Obat Antihipertensi
60
50
40
30 Tidak
Ya
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7
50% 50% Ya
Tidak
10%
Tidak pernah
Sekali-sekali
28% 50%
Terkadang
Biasanya
Setiap saat
12%
Pada pertanyaan ke delapan, diuraikan lebih rinci mengenai frekuensi lupa meminum
obat. Sebagian besar pasien terkadang lupa meminum obat, dengan jumlah 14 orang atau
sama dengan 28%, diikuti dengan sekali-sekali berjumlah 6 orang atau sama dengan 12%,
dan terakhir 5 orang atau presentase 10 % dengan frekuensi biasanya. Frekuensi meminum
obat ini, dinilai dalam rentang waktu pasien meminum obat, jika 50% rentang waktu tersebut
lupa meminum obat, termasuk ke dalam frekuensi terkadang. Sementara jika lebih dari 50%
50
rentang waktu tersebut lupa meminum obat, termasuk ke dalam frekuensi biasanya. Dan jika
kurang dari 50% rentang waktu tersebut lupa meminum obat, termasuk ke dalam frekeunsi
sekali-sekali.
48%
52% Ya
Tidak
Grafik 4.4. Data Pertanyaan memgenai Lupa Membawa Obat saat Perjalanan
Pada pertanyaan ke empat, ditanyakan mengenai lupa membawa obat saat melakukan
perjalanan. Sebanyak 24 pasien dengan presentase 48% mengatakan terkadang lupa untuk
membawa obat saat melakukan perjalanan.
28%
Ya
Tidak
72%
Grafik 4.5. Data Pertanyaan memgenai Tidak Meminum Obat dalam 2 minggu
terakhir
Pertanyaan kedua dan kelima pada Morisky Medicationn Adherence Scale-8 (MMS-8)
berhubungan dengan frekuensi meminum obat, yaitu tidak meminum obat di suatu hari
selama 2 minggu terakhir dan obat diminum seluruhnya di hari kemarin. Pada pertanyaan
51
kedua, terdapat 36 pasien (72%) pasien yang tidak meminum obat di suatu hari selama 2
minggu terakhir dan masih terdapat 35 pasien (70%) yang tidak meminum keseluruhan obat
di hari kemarin. Penyebab tidak meminum obat tersebut diuraikan pada pertanyaan-
pertanyaan selanjutnya, yaitu timbul rasa tidak nyaman, tidak membawa obat saat berpergian,
serta merasa membaik sehingga menghentikan pengobatan.
30%
Ya
Tidak
70%
Grafik 4.6. Data Pertanyaan memgenai Meminum Seluruh Obat Hari Kemarin
Sebuah sistematik review oleh Jin J et al, mengemukakan bahwa terdapat banyak
faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pasien meminum obat, mulai dari diri
pasien seperti tingkat pengetahuan, kepercayaan, dan psikologis pasien, efek samping
pengobatan, gejala penyakit yang dirasakan, serta hubungan yang baik antara pasien,
keluarga, dan petugas medis.30
42%
Ya
58%
Tidak
untuk menghentikan penggunaan obat terlebih jika dilakukan tanpa berkomunikasi dengan
dokter terlebih dahulu. Terdapat 21 pasien (42%) yang menghentikan penggunaan obat
karena merasa tidak nyaman. Rasa tidak nyaman ini dapat disebabkan oleh efek samping
pengobatan serta faktor psikologis pasien. Sebanyak 7 penelitian mengungkapkan bahwa efek
samping dapat menganggu kepatuhan pengobatan. Sebuah penelitIan di Jerman menunjukan
bahwa penyebab kedua dari ketidakpatuhan pengobatan pada pasien adalah akibat efek
samping. Efek samping ini dapat dirasakan dengan rasa tidak nyaman di tubuh, penurunan
efikasi pengobatan, serta penurunan kepercayaan pada tenaga medis.30
36%
Ya
64% Tidak
Grafik 4.8. Data Pertanyaan memgenai Rasa Terganggu karena Meminum Obat Setiap
Hari
Selain timbulnya efek samping, sikap pasien terhadap terapi dapat berpengaruh
terhadap kepatuhan obat. Pada pertanyaan ke tujuh mengenai rasa tidak nyaman ketika
menggunakan obat setiap hari, menunjukan bahwa sebanyak 18 orang dengan presentase 36
% merasa tidak nyaman dengan meminum obat setiap hari. Kondisi ini dapat disebabkan oleh
faktor psikologis. Terdapat 15 penelitian yang menunjukan adanya hubungan antara sikap
negatif pada pengobatan, seperti depresi cemas, serta marah akibat penyakit, dengan
kepatuhan meminum obat. Sebuah penelitian menunjukan bahwa dewasa muda yang telah
mengikuti sebuah terapi merasa tertekan karena mereka tidak normal seperti orang-orang
disekitarnya. Oleh karena itu, sikap negatif terhadap terapi dapat menjadi faktor penyebab
dalam rendahnya kepatuhan pasien. Selain itu, faktor psikologis lainnya, seperti kepercayaan
serta motivasi pasien, turut berperan dalam mempengaruhi kepatuhan meminum obat.
Beberapa poin penting yang berpengaruh yang dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan
adalah kepercayaan pasien bahwa terapi tersebut efektif dan memberikan manfaat; pasien
53
tidak nyaman dengan penyakit dan mengetahui bahaya komplikasinya. Sementara itu,
kepercayaan yang salah akan menyebabkan rendahnya kepatuhan penggunaan obat. Beberapa
hal tersebut antara lain, yakin bahwa penyakitnya tidak dapat dikontrol, terapi tidak efektif
jika dilakukan dalam jangka panjang, khawatir ketergantungan pengobatan dalam jangka
waktu lama, serta adanya kepercayaan adat istiadat atau agama yang meningkatkan
ketidakpatuhan pengobatan. Sebuah penelitian di Malaysia menunjukan pasien hipertensi
memliki kepercayaan bahwa obat modern mengandung zat berbahaya, sehingga mereka
cenderung menggunakan pengobatan tradisional dan herbal. Dalam hal motivasi, beberapa
penelitian menunjukan bahwa pasien dengan motivasi yang rendah memiliki kepatuhan yang
juga rendah. Sebuah penelitian di Malaysia, menunjukan bahwa 85% pasien hipertensi di
kota-kota besar mengalami penghentian obat akibat rendahnya motivasi.30
48%
52% Ya
Tidak
Penghentian pengobatan saat kondisi membaik juga dapat disebabkan oleh tingkat
pengetahuan pasien mengenai hipertensi yang rendah. Beberapa pasien belum memahami
dengan benar fungsi serta efektifitas pengobatan terdapat penyakit yang diderita, serta
konsekuensi dari kepatuhan yang rendah terhadap kondisi kesehatan mereka. Beberapa
pasien berpikir bahwa pengobatan hanya dilakukan pada saat terasa gejala. JIka sudah tidak
bergejala mereka memiliki untuk menghentikan pengobatan. Oleh karena itu, edukasi pasien
menjadi hal yang penting untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan. Petugas kesehatan
harus memberikan penjelasan yang lengkap mengenai penyakit dan terapi yang diberikan.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa, pasien dengan pengetahuan yang rendah mengenai
terapi, memiliki kepatuhan yang rendah pula. Sementara itu, pasien dengan pengetahuan yang
cukup, memiliki kepatuhan yang baik. Namun penelitian ini juga menunjukan adanya
penurunan kepatuhan penggunaan obat pada pasien yang mengetahui konsekuensi
penggunaan jangka panjang terapi tersebut. Dalam sebuah penelitian di Hongkong, terdapat
kesenjangan antara pengetahuan dan kepatuhan meminum obat. Hal yang diketahui pasien
berbeda dengan hal yang dilakukannya. Walaupun demikian, edukasi tetap menjadi hal yang
penting untuk melibatkan pasien dalam terapi yang sedang dijalani. Memberikan penjelasan
yang lengkap hingga dosis yang diminum dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Untuk
membuat pasien mengingat edukasi yang telah dijelaskan, penjelasan dalam bentuk tulisan
akan lebih baik dibandingkan dengan penjelasan secara lisan saja. Pasien seringkali tidak
mengingat dengan baik penjelasan-penjelasan yang telah disampaikan secara lisan oleh
tenaga medis.30
Tingkat Kepatuhan
Penggunaan Obat Antihipertensi
4%
Tinggi : 0 24%
Sedang : 1-2
Rendah : >2
72%
Kelemahan dari penelitian ini adalah adanya informational bias. Pasien bisa saja
menjawab dengan jawaban yang menggambarkan bahwa mareka merupakan pasien yang patuh
terhadap terapinya. Pengamatan yang singkat dan tidak terus menerus dapat menjadi faktor
penyebab informational bias.
.
57
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Untuk mendapatkan hal yang lebih baik di kemudian hari, sebaiknya perlu dilakukan
hal-hal sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
33. Kanda HA. Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat Dengan Kestabilan Tekanan
Darah Pada Pasien Hipertensi Di Poli Jantung Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel
Abidin RN Banda Aceh. 2014. Banda Aceh
34. K.A.P Udayana. Tingkat Kepatuhan Pasien Hipertensi Dalam Mengkonsumsi Obat
dan Menghindari Faktor Risiko Di Wilayah Kerja Puskesmas Banjarangkan. Program
Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
35. Jimmy B, Jose J. Patient Medication Adherence: Measures In Daily Practice. Oman
Medical Journal. 2011: 26(3): 155-159
61
Lampiran 1
Kuisioner Hipertensi
Identitas
1. Nama :
2. Jenis kelamin : L / P
3. Usia :
4. Pendidikan terakhir :
5. Pekerjaan :
Riwayat Pengobatan
1 . Apakan Bapak/Ibu terkadang lupa minum obat?
a. Ya
b. Tidak
2 Selama dua minggu terakhir, adakah Bapak/Ibu pada suatu hari tidak meminum obat ?
a. Ya
b. Tidak
3 Apakah Bapak/Ibu pernah mengurangi atau menghentikan penggunaan obat tanpa memberi
tahu ke dokter karena merasakan kondisi lebih buruk/tidak nyaman saat menggunakan obat?
a. Ya
b. Tidak
4 Saat melakukan perjalanan atau meninggalkan rumah, apakah Bapak/Ibu terkadang lupa
untuk membawa serta obat?
a.Ya
b. Tidak
62
6 Saat merasa keadaan membaik, apakah Bapak/Ibu terkadang memilih untuk berhenti
meminum obat?
a. Ya
b. Tidak
7 Sebagian orang merasa tidak nyaman jika harus meminum obat setiap hari, apakah
Bapak/Ibu pernah merasa terganggu karena keadaan seperti itu.?
a. Ya
b. Tidak