You are on page 1of 29

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

NEURITIS OPTIKUM

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)

SMF ILMU PENYAKIT MATA

Disusun oleh:

Bakti Gumelar 12100117113

Cika Elnandari 12100117150

Preseptor:

Retno Dwiyanti,dr.,SpM

SMF ILMU PENYAKIT MATA


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RUMAH SAKIT AL-ISLAM BANDUNG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………….………………….……………………….1

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………...2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………….……………...4

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Optik……………………….……………………..6

2.2. Anatomi dan Fisiologi Jaras Visual……………………….…….………………6

2.3.Neuritis Optik……………………………………………………..……………..11

2.3.1 Definisi………………………………………………….….………….11

2.3.2 Etiologi……... …………………….……………………….….………12

2.3.3.Faktor Risiko ………………………………...……….……….……...13

2.3.4. Gambaran Klinis……..…………………………...…………….……..14

2.3.5.Klasifikasi………………………………………………..…....…….…14

2.3.6. Diagnosis …………………………………………………….….....…17

2.3.7.Diagnosis Banding …………………………………..……..…….…...20

2.3.8. Penatalaksanaan………………………………………………………23

2.3.9. Prognosis…………………………………….……………………….27

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..….26

1
BAB I

PENDAHULUAN

Neuritis optik adalah peradangan atau demielinisasi saraf optikus akibat

berbagai macam penyakit.1 Neuritis optik diklasifikasikan menjadi dua yaitu papilitis

dan neuritis retrobulbar. Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh

peradangan lokal di nervus saraf optik dan dapat terlihat dengan pemeriksaan

funduskopi. Tipe neuritis retrobulbar merupakan suatu neuritis optikus yang terjadi

cukup jauh di belakang diskus optikus sehingga tidak tampak kelainan diskus optik

dengan oftalmoskop, tetapi terjadi penurunan tajam penglihatan.1,2

neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per 100.000

sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Berdasarkan data The Optic Neuritis

Treatment Trial (ONTT) lebih dari 77% pasien adalah wanita, 85% berkulit putih dan

usia rata-rata 32 tahun. Di berbagai kelompok populasi di seluruh dunia, neuritis

retrobulbaris berkaitan dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien. Persentase

perkembangan menjadi sklerosis multipel setelah suatu episode neuritis optikus

cenderung lebih tinggi seiring dengan peningkatan tindak lanjut pasien.1,3

Etiopatogenesis terjadinya papilitis adalah adanya peradangan pada serabut

retina saraf optik yang masuk pada papil saraf optik yang berada dalam bola mata.

Neuritis retrobulbar dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, penyakit mielin saraf,

anemia pernisiosa, diabetes melitus, dan intoksikasi yang nantinya menyebabkan

2
peradangan saraf optik dibelakang bola mata, biasanya berjalan akut yang mengenai

satu atau kedua mata.2

Pada neuritis optik pasien mengeluhkan penurunan tajam penglihatan yang

mendadak dan disertai dengan nyeri pada mata. Pada papilitis pemeriksaan

oftalmoskopi dapat ditemukan tanda-tanda disfungsi nervus optikus seperti hiperemi

papil saraf optik dengan batas papil yang kabur, pelebaran vena retina sentral dan

edema papil, sedangkan pada neuritis retrobulbaris tidak ditemukan tanda-tanda

kelainan tersebut. Ditemukan pula kelainan relative afferent pupillary defect (RAPD)

dengan pemeriksaan swinging flashlight test. 3

Penatalaksanaan pada neuritis optik yaitu kortikosteroid (berdasarkan ONTT)

atau ACTH (Adrenocorticotropic hormone). Selain itu diberikan juga terapi penyakit

penyebabnya.2

Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai

definisi, anatomi fisiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, serta

penatalaksanaan pada neuritis optik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Optik

Nervus optikus adalah saraf yang membawa rangsang dan retina menuju otak.

Saraf optik terdiri dari 1 juta lebih akson-akson yang berasal dari lapisan sel ganglion

retina yang memanjang ke arah korteks oksipital. Panjang saraf optik berkisar antara

35-55 mm (rata-rata 40 mm) dan secara anatomis terbagi menjadi segmen intaokular,

intraorbital, intrakanalikular dan intakranial yang berakhir sebagai kiasma optik.4

4
Gambar 1. Nervus Optik5

Segmen intraokular saraf optik sepanjang 1 mm terbagi menjadi lapisan

serabut-serabut saraf superfisial, bagian prelaminar, laminar (lamina kribosa) dan

retrolaminar. Papil saraf optik (diskus optik) merupakan bagian prelaminar saraf optik

berbentuk oval, 1,5 mm horizontal dan 1,75 mm vertikal dengan cekungan (cup shaped

depression) agak ke temporal. Papil saraf optik merupakan daerah keluarnya akson-

akson sel ganglion terletak sekitar 3-4 mm sebelah nasal fovea. Bagian prelaminar dan

laminar terdiri dari akson-akson sel ganglion retina tak bermielin, astrosit dan arteri-

vena retina sentralis yang keluar dari bagian tengah papil saraf optik. Akson-akson

bergabung menjadi fasikulus dan menembus sklera 200-300 lubang pada lamina

5
kribosa. Setelah melewati lamina kribosa (bagian retrolaminar) diameter saraf optik

bertambah menjadi 3-4 mm akibat pembentukan mielin akson-akson sel ganglion

retina, adanya oligodendroglia (yang membentuk mielin akson) dan selubung

meningeal yang terdiri dari piamater, arakhnoid dan duramater. Bagian prelaminar dan

laminar diperdarahi terutama oleh arteri siliaris posterior brevis yang beranastomosis

dengan pleksus pial dan pembuluh darah koroid peripapilar membentuk siklus Zinn-

Haller.4,6

Segmen intraorbita saraf optik berukuran panjang 25-30 mm, lebih panjang dari

jarak antara belakang bola mata dan apeks orbita sehingga dapat bebas bergerak pada

pergerakan bola mata. Pada apeks orbita segmen saraf optik dikelilingi oleh anulus

Zinn sebelum berlanjut ke kanal optik. Saraf optik berjalan kearah porteromedial dan

meninggalkan orbita melalui foramen optik (optic ring) menuju kanal optik. Nervus

optikus pars intraorbita diperdarahi oleh cabang-cabang intraneural dan cabang-cabang

pial dari arteri retina sentral.4,6

Segmen intrakanalikular yang terdapat di dalam kanalis optik memiliki panjang

4-10 mm. Kanalis optik dibentuk oleh tulang sphenoid parva minor. Bagian ini

diperdarahi oleh cabang pial arteri oftalmika.4,6

Segmen Intrakranial memiliki panjang sekitar 10 mm, antara kanalis optik

sampai kiasma optikum. Bagian ini berjalan di atas arteri oftalmika, sebelah

superomedial arteri karotis interna sehingga diperdarahi langsung oleh cabang-cabang

arteri tersebut.4,6

6
Jika satu ataupun semua serabut saraf mengalami peradangan dan tak berfungsi

sebagaimana mestinya maka penglihatan akan menjadi kabur. Jika terjadi inflamasi

ataupun demielinisasi nervus optikus, keadaan ini disebut dengan neuritis optikus. Pada

neuritis optikus, serabut saraf menjadi bengkak dan tak berfungsi sebagaimana

mestinya. Penglihatan dapat saja normal atau berkurang, tergantung pada jumlah saraf

yang mengalami peradangan.4,6

2.2. Anatomi dan Fisiologi Jaras Visual

Secara fungsional rangsang visual ditangkap oleh retina (sebagai stasiun I).

kemudian diteruskan melalui serabut saraf otak kedua (saraf optik). Saraf optik yang

berasal dan sisi nasal kedua mata akan menyilang di daerah kiasma opikum sedangkan

yang berasal dari sisi temporal tidak bersilangan di daerah kiasmaini. Selanjutnya

serabut saraf ini akan melanjutkan perjalanannya sebagai traktus optikum. Traktus

optikus ini selanjutnya menuju ke thalamus sebagai kumpulan sel-sel saraf yang

mengolah dan bertindak sebagai stasiun informasi ke II. Bagian thalamus yang

berhubungan dengan fungsi visual disebut Corpus Geniculaturn Laterale (CGL).

Stasiun ke II ini bertugas menyampaikan informasi ke korteks serebri bagian oksipital.

Dengan sampainya informasi ke korteks penglihatan akan hal-hal yang terlihat oleh

mata dapat disadari. Dari stasiun ke II ini informasi visual juga disebarkan ke seluruh

SSP yang mempunvai hubungan dengan indera penglihatan. ke pusat keseimbangan

motorik, medulla spinalis, pendengaran, dan sebagainya.3

Corpus geniculatum laterale ( CGL ) merupakan terminal dan seluruh serabut

saraf aferen jaras visual. CGL merupakan bagian dari thalamus. Pada CGL terjadi rotasi

7
90° dari serabut saraf, sehingga serabut saraf yang berasal dari retina bagian superior

akan berada di bagian medial CGL, sedangkan yang berasal dan bagian inferior retina

akan berada di bagian lateral. Perputaran akan terjadi lagi serabut meninggalkan CGL

sehingga retina bagian superior dan inferior terletak superior dan inferior dalam

radiasio optika dan korteks serebri.3

Radiasio optika mengandung 3 kelompok besar serabut yaitu (1) bagian

superior (berisi serabut yang mengurus lapangan pandang inferior), (2) bagian inferior

(berisi serabut yang mengurus lapang pandang superior), (3) bagian sentral (berisi

serabut makula).3

Jadi pada radiasio optika (traktus genikulo-kalkarina) terjadi pemutaran,

sehingga posisi serabut penglihatan kembali seperti sebelum memasuki CGL yaitu

bagian atas retina berjalan dan diproyeksikan di bagian atas korteks serebri dan

sebaliknya. Korteks proyeksi penglihatan disebut juga korteks striata (area 17), berada

di sepanjang bibir superior dan fissure kalkarina. Ketika impuls sampai di area 17,

maka akan terbentuk sensasi visual sederhana. Impuls ini akan rnempunyai arti dan

bentuk dengan perantaraan korteks asosiasi area 18 dan 19.3

8
Gambar 3. Perjalanan Serabut Saraf Nervus Optikus (tampak basal) 3

Retina merupakan reseptor permukaan untuk informasi visual. Sebagaimana

halnya nervus optikus, retina merupakan bagian dari otak meskipun secara fisik terletak

di perifer dari sistem saraf pusat (SSP). Komponen yang paling utama dari retina adalah

sel-sel reseptor

sensoris atau fotoreseptor dan beberapa jenis neuron dari jaras penglihatan. Lapisan

terdalam (neuron pertama) retina mengandung fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut)

dan dua lapisan yang lebih superfisial mengandung neuron bipolar (lapisan neuron

kedua) serta sel-sel ganglion (lapisan neuron ketiga). Sekitar satu juta akson dari sel-

sel ganglion ini berjalan pada lapisan serat retina ke papila atau kaput nervus optikus.

Pada bagian tengah kaput nervus optikus tersebut keluar cabang-cabang dari arteri

centralis retina yang merupakan cabang dari arteri oftalmika.7

9
Gambar 4. Lapisan Neuron pada Retina7

Nervus optikus memasuki ruang intrakranial melalui foramen optikum. Di

depan tuber sinerium (tangkai hipofisis) nervus optikus kiri dan kanan bergabung

menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum. Di depan tuber sinerium nervus

optikus kanan dan kiri bergabung menjadi satu berkas membentuk kiasma optikum,

dimana serabut bagian nasal dari masing-masing mata akan bersilangan dan kemudian

menyatu dengan serabut temporal mata yang lain membentuk traktus optikus dan

melanjutkan perjalanan untuk ke korpus genikulatum lateral dan kolikulus superior.

Kiasma optikum terletak di tengah anterior dari sirkulus Willisi. Serabut saraf yang

bersinaps di korpus genikulatum lateral merupakan jaras visual sedangkan serabut saraf

yang berakhir di kolikulus superior menghantarkan impuls visual yang membangkitkan

refleks opsomatik seperti refleks pupil. Setelah sampai di korpus genikulatum lateral,

serabut saraf yang membawa impuls penglihatan akan berlanjut melalui radiatio optika

10
(optic radiation) atau traktus genikulo kalkarina ke korteks penglihatan primer di girus

kalkarina. Korteks penglihatan primer tersebut mendapat vaskularisasi dari arteri

kalkarina yang merupakan cabang dari arteri serebri posterior. Serabut yang berasal

dari bagian medial korpus genikulatum lateral membawa impuls lapang pandang

bawah sedangkan serabut yang berasal dari lateral membawa impuls dari lapang

pandang atas (gambar 5).7,8

Gambar 5. Radiatio Optika8

Pada refleks pupil, setelah serabut saraf berlanjut ke arah kolikulus superior,

saraf akan berakhir pada nukleus area pretektal. Neuron interkalasi yang berhubungan

dengan nukleus Eidinger-Westphal (parasimpatik) dari kedua sisi menyebabkan refleks

cahaya menjadi bersifat konsensual. Saraf eferen motorik berasal dari nukleus

Eidinger-Westphal dan menyertai nervus okulomotorius (N.III) ke dalam rongga orbita

untuk mengkonstriksikan otot sfingter pupil (gambar 6).4,9

11
Gambar 6. Jaras Refleks Pupil 10

2.3 Neuritis Optik

2.3.1. Definisi

Neuritis optic adalah peradangan atau demyelinisasi saraf optic akibat berbagai

macam penyebab. Misal: inflamasi (demyelinisasi, multiple sclerosis, idiopatic),

trauma, ischemic optic neuropathy, optic nerve compression, optic nerve

abnormalities.1 Insidensi neuritis optikus dalam populasi per tahun diperkirakan 5 per

100.000 sedangkan prevalensinya 115 per 100.000. Sebagian besar mengenai usia 30

sampai dengan 40 tahun.1 Wanita lebih umum terkena dari pada pria. Berdasarkan data

The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) 77% adalah wanita, 85% kulit putih dan

usia rata-rata 32 ± 7 tahun. Sebagian besar kasus patogenesisnya disebabkan inflamasi

12
demielinisasi dengan atau tanpa sklerosis multipel. Pada sebagian besar kasus neuritis

optikus monosimptomatik merupakan manifestasi awal sklerosis multipel.

2.3.2 Etiologi

Etiologi neuritis optikus termasuk:

1. Inflamasi lokal

a. Uveitis dan retinitis

b. Oftalmia simpatika

c. Meningitis

d. Penyakit sinus dan infeksi orbita

2. Inflamasi general yaitu:

a. Infeksi syaraf pusat

Multiplel sklerosis

Diberbagai kelompok populasi diseluruh dunia, neuritis retrobulbar berkaitan

dengan sklerosis multipel pada 13-85% pasien (Chavis dan Hoyt, 2000). Data dari

Mayo clinic pada tahun 1933 didapatkan dari 255 kasus sebanyak 155 disebabkan oleh

sklerosis multipel.

Acute disseminated encephalomyelitis

Neuromyelitis optic (Devic disease)

13
Merupakan suatu proses demielinisasi yang mengenai saraf optik. Penyakit ini

sering salah didiagnosis dengan dibedakan berdasarkan derajat keparahan, optikus,

medulla spinalis) dan (polymorphonuclear pleocytosis).

b. Syphilis

c. Tuberkulosis

3. Leber's disease

Merupakan suatu penyakit herediter pada laki-laki muda, manifestasinya sebagai

perubahan mendadak pada penglihatan sentral, pertama kali mengenai satu mata dan

selanjutnya kedua mata. Karakteristiknya terdapat skotoma sentral dengan dercce

central nucleus. Pada beberapa kasus inflamasi mengenai nervus di dalam bola mata

sehingga menyebabkan papilitis ringan. Pada kasus yang lain mengenai nervus di

belakang mata.

4. Toksin endogen

a. Penyakit infeksi akut, seperti influenza, malaria, measles, mumps,

pneumonia

b. Fokus septik pada gigi, tonsil, infeksi fokal

c. Penyakit metabolik: diabetes, anemia, kehamilan, avitaminosis

5. Intoksikasi racun eksogen seperti tobacco, etil alcohol, metil alkohol.

2.3.3 Faktor Resiko

14
Faktor resiko neuritis optikus termasuk:

1. Usia

Neuritis optikus sering mengenai dewasa muda usia 30 sampai 40 tahun; usia rata-rata

terkena sekitar 30 tahun. Usia lebih tua atau anak-anak dapat terkena juga tetapi

frekuensinya lebih sedikit.

2. Jenis kelamin

Wanita lebih mudah terkena neuritis optikus dua kali daripada laki-laki.

3. Ras

Neuritis optikus lebih sering terjadi pada orang kulit putih dari pada ras yang lain

2.3.4 Gambaran Klinis

Kehilangan visual umumnya subakut, berkembang selama 2–7 hari Pada orang

dewasa, sekitar sepertiga pasien memiliki penglihatan yang lebih baik 20/40 selama

serangan pertama , dan sedikit lebih dari sepertiga memiliki penglihatan yang lebih

buruk 20/200. Penglihatan warna dan sensitivitas kontras juga terganggu. Lebih dari

90% kasus, ada rasa sakit di daerah mata, dan sekitar 50% pasien melaporkan bahwa

rasa sakit diperparah oleh gerakan mata.1

2.3.5 Klasifikasi

15
Berdasarkan klasifikasinya neuritis optik terbagi menjadi dua, yaitu:

- Papilitis

Papilitis adalah pembengkakan diskus yang disebabkan oleh peradangan lokal di

nervus saraf optik dan dapat terlihat dengan pemeriksaan funduskopi.2

Gambar 9. Gamabaran Funduskopi pada Papilitis

Patogenesis

Nervus optikus mengandung serabut-serabut syaraf yang mengantarkan

informasi visual dari sel-sel nervus retina ke dalam sel-sel nervus di otak. Retina

mengandung sel fotoreseptor, merupakan suatu sel yang diaktivasi oleh cahaya dan

menghubungkan ke sel-sel retina lain disebut sel ganglion. Kemudian mengirimkan

sinyal proyeksi yang disebut akson ke dalam otak. Melalui rute ini, nervus optikus

mengirimkan impuls visual ke otak. Inflamasi yang terjadi pada neuritis optik yang

akan menyebabkan sinyal visual terganggu dan pandangan menjadi lemah.2

16
Gejala dan Tanda

Dalam waktu yang cepat visus akan sangat menurun, kadang-kadang sampai

buta. Keluhan ini disertai dengan rasa sakit dimata terutama saat penekanan. Kadang-

kadang disertai demam atau setelah demam biasanya pada anak yang menderita infeksi

virus atau infeksi saluran napas bagian atas.3,6

Pada pemeriksaan pupil ditemui adanya RAPD yaitu kelainan pupil yang sering

dijumpai dengan adanya tanda pupil Marcus Gunn.3 Cara pemerikasaan, mata pasien

secara bergantian diberi sinar, pada sisi mata yang sakit pupil tidak mengecil tetapi

malah membesar. Kelainan ini menunjukan adanya lesi N.II pada sisi tersebut.4

Gambar 10. Tanda pupil Marcus Gunn4

17
Pada pemeriksaan fundus ditemukan hiperemi papil saraf optik dengan batas

yang kabur, pelebaran vena retina sentralis dan edema papil. Kadang-kadang sekitar

papil terlihat bergaris-garis disebabkan edema, sehingga serabut saraf menjadi

renggang. 6

Gangguan lapang pandang dapat terjadi pada penglihatan perifer dan

menyempit secara konsentris, didapatkan juga skotoma sentral, sekosentral atau para

sentral.

- Neuritis Retrobulbar

Neuritis retrobulbarmerupakan peradangan saraf optik yang terdapat dibelakang bola

mata sehingga tidak menimbulkan kelainan fundus mata.1,2

Gejala dan Tanda

Visus sangat terganggu dan disertai dengan amaurosis fugax pasien juga

mengeluhkan bola mata bila digerakkan akan terasa berat dibagian belakang bola mata.

Rasa sakit akan bertambah bila bola mata ditekan yang disertai dengan sakit kepala.2

Pada neuritis gambaran fundus normal pada awal, namun lama kelamaan akan terlihat

kekaburan batas papil saraf optik dan degenerasi saraf optik akibat degenerasi serabut

saraf, disertai atrofi desenden akan terlihat papil pucat dengan batas tegas.2

Gangguan lapang pandang pada neuritis retrobulbar dapat terjadi sepanjang

segmen intraorbita sampai segmen intracranial dan sesuai dengan lokasinya. Gangguan

tersebut dapat berupa skotoma sentral, skotoma sentral unilateral, skotoma sentral

18
bilateral, skotoma sentral pada mata homolateral dan defek superior temporal pada

kampus kontralateral dan hemiopia bitemporal bila mengenai kiasma optika.3,4

2.3.6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala klinis, namun

pada neuritis retrobulbar yang kelainannya cukup jauh di belakang diskus optik dan

pada pemeriksaan oftalmoskopi tidak ditemukan apa-apa, maka perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang seperti MRI, analisis cairan serebrospinal, Visually Evoked

Potensials Test (VEP) dan serologi. 12

Dasar perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang diatas pada kasus neuritis optik

adalah:

1. Untuk menentukan penyebabnya apakah suatu proses inflamasi atau non

inflamasi, idiopatik, dan infeksi.

2. Untuk menentukan prognosisnya, apakah akan berkembang secara klinis

menjadi multipel sklerosis.

a. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI penting untuk memutuskan apakah daerah di otak telah terjadi kerusakan

myelin, yang mengindikasikan resiko tinggi berkembangnya sklerosis multipel. MRI

juga dapat membantu menyingkirkan kemungkinan tumor atau kondisi lain. Pada

pasien yang dicurigai menderita neuritis optikus, pemeriksaan MRI otak dan orbita

19
dengan fat suppression dan gadolinium sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk

konfirmasi diagnosis dan menilai lesi white matter. MRI dilakukan dalam dua minggu

setelah gejala timbul. Pada pemeriksaan MRI otak dan orbita dengan fat suppression

dan gadolinium menunjukkan peningkatan dan pelebaran nervus optikus. Lebih

penting lagi, MRI dipakai dengan tujuan untuk memutuskan apakah terdapat lesi ke

arah sklerosis multipel. Ciri-ciri resiko tinggi mengarah ke sklerosis multipel adalah

terdapat lesi white matter dengan diameter 3 atau lebih, bulat, lokasinya di area

periventrikular dan menyebar ke ruangan ventrikular.

Gambar 11. Lesi white matter pada MRI13

b. Pemeriksaan cairan serebrospinal

Protein ologinal banding pada cairan serebrospinal merupakan penentu

sklerosis multipel. Terutama dilakukan terhadap pasien-pasien dengan pemeriksaan

MRI normal.

20
c. Test Visually Evoked Potentials

Test Visually evoked potentials adalah suatu test yang merekam sistem visual,

auditorius dan sensoris yang dapat mengidentifikasi lesi subklinis. Test Visually evoked

potentials menstimulasi retina dengan pola papan catur, dapat mendeteksi konduksi

sinyal elektrik yang lambat sebagai hasil dari kerusakan daerah nervus.

d. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan tes darah NMO-IgG untuk memeriksa antibodi neuromyelitis

optica. Pasien dengan neuritis optikus berat sebaiknya menjalani pemeriksan ini untuk

mendeteksi apakah berkembang menjadi neuromyelitis optica. Pemeriksaan tingkat

sedimen eritrosit (erythrocyte sedimentation rate (ESR)) dipakai untuk mendeteksi

inflamasi pada tubuh, tes ini dapat menentukan apakah neuritis optikus disebabkan oleh

inflamasi arteri kranialis.

2.3.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding mata tenang visus turun mendadak, adalah:2,3

1. Nonarteritic anterior ischemic optic neuropathy

Terdapatnya nyeri terutama pada pergerakan mata (meskipun tidak mutlak)

secara klinis dapat membedakan neuritis optikus dengan nonarteritic anterior ischemic

optic neuropathy.

2. Syndrom viral dan post viral

21
Parainfectious optic neuritis umumnya mengikuti onset infeksi virus selama 1-

3 minggu, tetapi dapat juga sebagai fenomena post vaksinasi. Umumnya mengenai

anak-anak daripada dewasa dan terjadi karena proses imunologi yang menghasilkan

demielinisasi nervus optikus. Post viral atau parainfeksius neuritis optikus dapat terjadi

unilateral tetapi sering bilateral. Diskus optikus dapat normal atau terjadi

pembengkakan.

3. Ablasio Retina

Keadaan dimana terpisahnya sel kerucut dan batang retina dari sel epitel

pigmen retina. Ablasio retina akan memeberikan gejala terdapatnya gangguan

penglihatan yang kadang-kadang terlihat sebagai tabir yang menutup. Terdapat riwayat

adanya pijar api (fotopsia) pada lapang penglihatan. Pada pemeriksaan funduskopi

akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya

dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.

4. Oklusi Arteri Vena Sentralis

Gangguan vaskular retina dengan potensial menimbulkan kebutaan yang sering

terjadi dan mudah didiagnosis. Pasien datang dengan penurunan penglihatan mendadak

yang tidak nyeri. Biasanya pada usia lebih dari 50 tahun dan mengidap penyakit

kardiovaskular terkait lainnya.

5. Papil Edema

Kongesti non inflamasi diskus optik yang berkaitan dengan peningkatan

tekanan intrakranium. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya nyeri kepala hebat,

22
mual, muntah namun ketajaman penglihatan masih normal. Pada funduskopi

didapatkan papil sembab, batas kabur, kapiler dan vena retina melebar dan berkelok,

terdapat perdarahan, eksudat dan terdapat penonjolan papil yang melebihi 3 dioptri.

Tidak terdapat gangguan pada lapang pandang. Keadaan ini biasanya ditemukan

bilateral.

2.3.8. Penatalaksanaan

1. Terapi jangka pendek

The Optic Neuritis Treatment Trial (ONTT) telah meneliti secara komprehensif

tentang penatalaksanaan neuritis optikus dengan menggunakan steroid. Dalam

penelitiannya ONTT melibatkan sebanyak 457 pasien, usia 18-46 tahun dengan neuritis

optikus akut unilateral. Data follow up didapatkan dari kohort ONTT (Longitudinal

Optic Neuritis Study (LONS)) menghasilkan informasi penting tentang gejala klinis,

penglihatan jangka panjang, penglihatan yang berkaitan dengan kualitas hidup dan

peranan MRI otak dalam memutuskan resiko berkembang menjadi Clinically Definite

Multiple Sclerosis (CDMS).12

Pasien yang terlibat pada penelitian ini diacak menjadi 3 kelompok perlakuan

terapi, yaitu:12

a. Mendapatkan terapi prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari) selama 14 hari dengan 4

hari tappering off ( 20 mg hari l, 10 mg hari ke 2 dan 4) (kelompok terapi oral).

23
b. Mendapatkan terapi dengan metilprednisolon sodium suksinat IV 250 mg tiap 6

jam selama 3 hari, diikuti dengan prednison oral (1 mg/kg BB/ hari) selama 11 hari

dengan 4 hari tappering off (kelompok terapi dengan metilprednisolon IV).

c. Mendapatkan terapi dengan placebo selama 14 hari.

Dalam penelitian ini yang dinilai terutama tajam penglihatan dan sensitifitas

terhadap kontras sedangkan berkembangnya menjadi CDMS adalah hal kedua yang

dinilai.

MRI otak dan orbita dengan menggunakan gadolinium telah dilakukan untuk

semua pasien. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah: 12

a. Terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV mempercepat pulihnya

penglihatan tetapi tidak untuk jangka panjang setelah 6 bulan sampai dengan 5

tahun bila dibandingkan dengan terapi menggunakan placebo atau prednison oral.

Keuntungan terapi dengan menggunakan metilprednisolon IV ini baik dalam 15

hari pertama saja.

b. Pasien yang mendapatkan terapi dengan menggunakan prednison oral saja

didapatkan terjadi resiko rekurensi neuritis optiknya (30% setelah 2 tahun

dibandingkan dengan kelompok placebo 16% dan kelompok yang mendapatkan

steroid IV 13%) sampai dengan follow up 5 tahun.

c. Pasien dengan monosymptomatik yang mendapatkan terapi dengan menggunakan

metilprednisolon intra vena didapatkan penurunan tingkat perkembangan ke arah

CDMS selama 2 tahun pertama follow up, tetapi tidak bermanfaat setelah 2 tahun

24
karena persentase perkembangan menjadi CDMS hampir sama dengan kelompok

prednison oral dan placebo.

2. Terapi jangka panjang

Di antara pasien dengan resiko tinggi berkembang menjadi CDMS yang

ditetapkan dengan kriteria MRI oleh ONTT (dua atau lebih lesi white matter), telah

dilakukan penelitian 383 pasien oleh (The Controlled High-Risk Avonex MS Prevention

Study (CHAMPS)) menunjukkan terapi dengan interferon β 1a pada pasien acute

monosymptomatic demyelinating optic neuritis berkurang secara signifikan dalam 3

tahun dibandingkan dengan kelompok placebo, juga terdapat pengurangan tingkat lesi

baru pada MRI otak. Hasil yang sama juga didapatkan pada pasien dengan neuritis

optikus. Semua pasien kelompok terapi dengan interferon β-1a dan kelompok placebo

juga mendapatkan terapi dengan metilprednisolon IV selama 3 hari diikuti dengan

prednison oral selama 11 hari sesuai dengan protokol ONTT. Meskipun terapi dengan

interferon β-1a pada pasien neuritis optikus dan pada pasien yang beresiko menurut

pemeriksaan MRI manfaat jangka panjangnya tidak diketahui, tetapi hasil dari

CHAMPS memberikan suatu terapi awal yang rasional. Ini didukung oleh hasil

penelitian dari Early Treatment of Multiple Sclerosis Study, (ETOMS)) yang

menghasilkan selama 2 tahun follow up terjadi penurunan yang signifikan jumlah

pasien yang berkembang menjadi CDMS dengan terapi awal interferon 13-1a (34%)

bila dibandingkan dengan kelompok placebo (45%).3

Pada model eksperimen sklerosis multipel, dengan menggunakan terapi

immunoglobulin intravena telah menunjukan terjadinya remielinisasi pada sistem

25
syaraf sentral. Penelitian lain (1992) menyarankan bahwa terapi dengan

immunoglobulin bermanfaat pada pasien neuritis optikus dengan penurunan

penglihatan yang bermakna. Akan tetapi dalam penelitian terbaru tentang

immunoglobulin intravena dengan placebo pada 55 pasien sklerosis multipel dengan

kehilangan penglihatan tetap (20/40 atau lebih rendah) yang disertai neuritis optikus

tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan terhadap tajam penglihatan.

Jika pada pemeriksaan dengan MRI ditemukan lesi white matter dua atau lebih

(diameter 3 atau lebih) diterapi berdasarkan rekomendasi dari ONTT, CHAMPS, dan

ETOMS, yaitu:3

1. Metilprednisolon IV (1 g per hari, dosis tunggal atau dosis terbagi selama 3

hari) diikuti dengan prednison oral (1 mg/ kg BB/ hari selama 11 hari kemudian

4 hari tappering off).

2. Interferon β-1a intramuskular satu kali seminggu.

Pada pasien monosymptomatik dengan lesi white matter pada MRI kurang dari

2, dan yang telah didiagnosis CDMS, diberikan terapi metilprednisolon (diikuti

prednison oral) dapat dipertimbangkan untuk memulihkan penglihatan, tetapi ini tidak

memperbaiki untuk jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian dari ONTT,

penggunaan prednison oral saja (sebelumnya tidak diterapi dengan metilprednisolon

IV ) dapat meningkatkan resiko rekurensi.

26
2.3.9. Prognosis

Sebagian besar pasien sembuh sempurna atau mendekati sempurna setelah 6-

12 minggu. Sembilan puluh lima persen penglihatan pasien pulih mencapai visus 20/40

atau lebih baik. Dan sebagian besar pasien mencapai perbaikan maksimal dalam 1-2

bulan, meskipun pemulihan dalam 1 tahun juga memungkinan. Derajat keparahan

kehilangan penglihatan awal menjadi penentu terhadap prognosis penglihatan.

Meskipun penglihatan dapat pulih menjadi 20/20 atau bahkan lebih baik, banyak pasien

dengan acute demyelinating optic neuritis berlanjut menjadi kelainan pada penglihatan

yang mempengaruhi fungsi harian dan kualitas hidupnya. Kelainan tajam penglihatan

(15-30%), sensitivitas kontras (63-100%), penglihatan warna (33-100%), lapang

pandang (62-100%), stereopsis (89%), terang gelap (89-100%), reaksi pupil afferent

(55-92%), diskus optikus (60-80%), dan visual-evoked potensial (63-100%).12

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum, Edisi 14, Jakarta: Widya Medika,
2000.Hall 274-287.
2. Ilyas Sidharta, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Edisi
ke tiga, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2006. Hall 179-188.
3. American Academy of Ophtalmology Staff. Neuro-Ophtalmology : American
Academy of Ophtalmology staff, editor. Neuro-Ophtalmology. Basic and
Clinical Science Course sec. 5. San fransisco The Foundation of American
Academy of
Ophtalmology, 2009-2010. P 28-31, 128-146.
4. Misbach Jusuf. Neuro-Oftalmologi Pemeriksaan Klinis dan Interpretasi. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1999. Hall 1-14, 18-23.
5. http:/www.google.co.id/images?hl=en&q=optic nerve branch (diakses tanggal
16 September 2015).
6. Wijana Nana S,D, Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke 6, Abdi Tegal.Jakarta 1993.
Hall 332-342.
7. Mardjono Mahar, Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke sepuluh, Dian Rakyat.
Jakarta.2004. Hall 116-126.
8. Optic Nerve. Sumber: http://www.thebrain.mcgill.ca/splash/jpg. Diakses
tanggal 16 September 2015.
9. Guyton AC, Hall JE. Neurofisiologi penglihatan sentral: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, edisi 9. Jakarta 1997. Hall 825.
10. Saiful Muhammad, Neuroanatomi Fungsional. Bag. Ilmu Penyakit Syaraf FK.
Unair. Surabaya. 1996. Hall 54-57.
11. Lumbantobing S, Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan mental. Balai
Penerbit FKUI 1006. Hall 25-46.

28

You might also like