You are on page 1of 20

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ” Asuhan
keperawatan pada pasien dengan Kusta” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Pembuatan makalah ini dalam rangka memenuhi tugas kelompok untuk menunjang nilai
pembelajaran selama perkuliahan berlangsung. Pada kesempatan ini, penulis juga
menghaturkan terima kasih kepada Ns. Jamiatun, M.Kep selaku dosen pembimbing mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah II Sistem Integumen.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna,untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Demi tercapainya tujuan
proses pembelajaran. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
semua teman S1 keperawatan Universitas Respati Indonesia tahun akademik 2018.

Jakarta, Desember 2018


Penulis

Kelompok Satu

1
DAFTAR ISI

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kusta telah menyerang manusia sepanjang sejarah. Banyak ahli percaya bahwa
tulisan pertama tentang kusta muncul dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar
tahun 1550 sebelum masehi. Sekitar tahun 600 sebelum masehi, ditemukan sebuah tulisan
berbahasa India menggambarkan penyakit yang menyerupai kusta. Di Eropa, kusta
pertama kali muncul dalam catatan Yunani kuno setelah tentara Alexander Agung kembali
dari India. Kemudian di Roma pada 62 sebelum masehi bertepatan dengan kembalinya
pasukan Pompei dari Asia kecil. Pada tahun 1873, Dr. Gerhard Armauer Henrik Hansen
dari Norwegia adalah orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang menyebabkan
penyakit kusta di bawah mikroskop. Penemuan Mycobacterium leprae membuktikan
bahwa kusta disebebkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun menurun, dari
kutukan atau dari dosa (Info Datin Kemenkes RI, 2015).

Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan permasalahan
yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah
yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya masalah
psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya
menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai
efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah
tersebut dapat mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya
dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang sudah diungkapkan di atas terdapat masalah yang perlu
dipecahkan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi dari kulit ?
1.2.2 Apa definisi kusta ?
3
1.2.3 Apa etiologi dari kusta ?
1.2.4 Apa epidemiologi dari kusta ?
1.2.5 Apa patofisiologi dari kusta ?
1.2.6 Apa manifestasi klinis dari kusta ?
1.2.7 Apa saja komplikasi yang disebabkan oleh kusta ?
1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan dari kusta ?
1.2.9 Bagaimana asuhan keperawatan dari kusta ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui upaya pencegahan dan awal pendeteksian penderita Kusta

1.3.2 Tujuan Khusus


- Sebagai salah satu bentuk pemenuhan penugasan mata kuliah sistem integumen.
- Diketahui tentang definisi pada pasien Kusta
- Diketahui tentang tanda dan penyebab dan gejala pada pasien Kusta
- Diketahui tentang tanda dan gejala pada pasien Kusta
- Diketahui patofisiologi pada pasien Kusta
- Diketahui komplikasi tanda dan gejala pada pasien Kusta
- Diketahui penatalaksanaan pada pasien Kusta
- Diketahui Asuhan Dasar Keperawtan ada Pasien Kusta

1.4 Manfaat
Manfaat ini disusun dengan pertimbangan manfaat yang dimilikinya. Manfaat dari
penyusunan makalah ini sebagai berikut:
1.4.1 Bagi pendidik, mahasiswa dan peserta didik, makalah ini bermanfaat
memberikan bahan materi tentang penyakit kusta.
1.4.2 Bagi pembaca, makalah ini dapat meningkatkan pemahaman terkait
penyakit kusta.
1.4.3 Bagi penyusun, makalah ini dapat digunakan untuk bahan referensi kajian
teori.

BAB II
TINJAUAN TEORI

4
2.1 Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun
1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Menurut Depkes RI (1996) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah
penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Menurut
Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang
dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, dan psikologis.
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium
leprae (M. Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
menyerang kulit, mukosa(mulut), saluran pernafasan bagian atas, system retikulo
endothelial, mata, otot, tulang, dan testis (Amirudin. M.D, 2000)

2.2 Etiologi
Penyakit ini sebenarnya disebabkan oleh bakteri pathogen Mycobacterium
leprae yang ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer
Hansen, pada tahun 1874 lalu. Mycobacterium leprae merupakan salah satu kuman
yang berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um. Kuman ini bersifat tahan
asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya
ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan.

2.3 Patofisiologi
Kuman Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan
(Sel Schwan) dan kulit yang tidak utuh. Sumber penularan adalah penderita kusta
yang banyak mengandung kuman (tipe multibasiler) yang belum diobati. Kuman
masuk ke dalam tubuh menuju tempat predileksinya yaitu saraf tepi. Saat
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

5
bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas pasien. Mycobacterium leprae berpredileksi
di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi
yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respons imun pada tiap pasien berbeda.
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler dari pada
intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit imonologik.
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15
tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.
3. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan kulit. Masa
inkubasinya yaitu 3-5 tahun.

6
2.4 Manifestasi Klinik
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut:
1. Tanda-tanda pada kulit

2.5 Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa:
makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan
gambaran khas.
 Kulit mengkilat
 Bercak yang tidak gatal
 Adanya bagian-bagian yang tidak berkeringat atau tidak berambut
2. Tanda-tanda pada syaraf
 Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan
 Gangguan gerak anggota badan/bagian muka
 Adanya cacat (deformitas)
 Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

2.6 Pencegahan dan Penatalaksanaan Kusta


Beberapa pencegahan yang dapat di lakukan yaitu sebagai berikut:

2.6.1 Pencegahan Primodial


Tingkat pencegahan ini adalah tingkat pencegahan yang paling baru dikenal. Tujuan
dari pencegahan primordial adalah untuk menghindari kemunculan dan kemapanan
di bidang social, ekonomi, dan pola kehidupan yang diketahui mempunyai
kontribusi untuk meningkatkan resiko penyakit. Pencegahan primordial yang
efektif itu memerlukan adanya peraturan yang keras dari pemerintah dan ketentuan
tentang fiscal agar dapat melaksanakan kebijaksanaan yang ada.
Pemerintah dengan berbagai macam program dan kebijakan. Program yang terkenal
dalam menangani penyakit ini adalah “Pemberantasan Penyakit Menular Langsung
Kusta”. Perlu adanya kebijakan yang keras pada penerapan program ini di setiap
daerah agar program ini dapat berjalan dengan efektif dan diharapkan mampu
menanggulangi dan mengurangi penderita kusta di Indonesia.

7
2.6.2 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan tingkat pertama, tujuannya adalah untuk
mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya, pencegahan ini terdiri dari :

2 Promosi kesehatan
Yaitu dengan cara penyuluhan-penyuluhan tentang penularan, pengobatan
dan pencegahan penyakit kusta, serta pentingnya makanan sehat dan bergizi
untuk meningkatkan status gizi tiap individu menjadi baik.
Menurut Depkes RI (2005) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan
primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit
kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan
penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan
memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas
kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga
dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga
penderita, tetangga penderita dan masyarakat).

3 Pemberian Imunisasi
Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta
seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di
Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali
dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan
pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta
sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan
program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil
berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005a dalam
Hutabarat, 2008).

2.1.1 Pencegahan Sekunder


Pencegahan ini meliputi diagnosis dini dan pemberian pengobatan (prompt
treatment).

8
a. Diagnosis dini yaitu diagnosis dini pada kusta dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kulit, dan pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya .
b. Pengobatan yang diberikan pada penderita kusta adalah DDS
(diaminodifenilsulfon), klofazimin, rifampisin, prednisone, sulfatferrosus
dan vitamin A. Pengobatan lain adalah dengan Multi drug treatment (MDT)
yaitu gabungan pemberian obat refampicin, ofloxacin dan minocyclin sesuai
dengan dosis dan tipe penyakit kusta. Pengobatan kusta ini dilakukan
secara teratur dan terus menerus selama 6-9 bulan.
Menurut Depkes RI (2006) diacu dalam Hutabarat (2008) pencegahan sekunder
dilakukan dengan pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata
rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan. PemberianMulti drug therapy pada penderita kusta terutama
pada tipe Multibacilerkarena tipe tersebut merupakan sumber kuman
menularkan kepada orang lain.

2.1.2 Pencegahan Tersier


Pencegahan tersier dimaksudkan untuk mengurangi kemajuan atau komplikasi
penyakit yang sudah terjadi, dan adalah merupakan sebuah aspek terapatik dan
kedokteran rehabilitasi yang paling penting .Pencegahan tersier merupakan usaha
pencegahan terakhir

Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan pada penyakit kusta ada beberapa obat yang di gunakan sebagai
berikut:
1. Rifampicin, dapat membunuh bakteri kusta dengan menghambat perkembangbiakan
bakteri (dosis 600mg)
2. Vitamin A (untuk menyehatkan kulit yang bersisik).
3. Clofamizine (CLF), menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri perlahan
pada Mycobacterium Leprae dengan berikatan pada DNA bakteri
4. Ofloxacin, synthetic fluoroquinolone, yang bereaksi menyerupai penghambat bacterial
DNA gyrase
5. Minocycline, semisynthetic tetracycline, menghambat sintesis protein pada bakteri

9
Secara umum terdapat empat jenis obat antikusta, yaitu :
1. Sulfon
2. Rifampisin
3. Klofazimin
4. Prototionamide dan etionamide

F. KLASIFIKASI
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
1. Tipe Tuberkoloid /TT: Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan
permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga
yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan
sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid/ BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan
permukaan kering bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Tipe Mid Borderline /BB: Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak
mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada
tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).
4. Tipe Borderline Lepromatus /BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran
bervariasi, bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji
Lepromin ( - ).
5. Tipe Lepromatosa /LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran
kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan
kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Test sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan.

10
2. Laboratorium: basil tahan asam. Diagnosa pasti apabila adanya mati rasa dan kuman
tahan asam pada kulit yang (+) (positif).
3. Pengobatan kusta/lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai jenis kusta
lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang diberikan Dapsone (DDS) (dosis 2 x
seminggu) (Nurarif dan Nanda NIC-NOC, 2015).

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
1. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa
pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi
dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar
penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.
2. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien dengan penyakit kusta datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat
tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
3. Riwayat kesehatan masa lalu
Pada klien dengan reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan, malaria,
stres, sesudah mendapat imunisasi.
4. Riwayat kesehatan keluarga
kusta merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta
( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu
anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
5. Riwayat psikologi
Klien yang menderita penyakit kusta akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan
menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri
karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.

11
6. Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri
karena kondisinya yang tidak memungkinkan
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I,
reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.

1. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek kedip
berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi
kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan
irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alismata akan
rontok.
2. Sistem syaraf
· Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Akibat kurang/
mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip
· Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
· Kerusakan fungsi otonom
· Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
3. System Musculoskeletal Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan
atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

12
4. System Integumen Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti
panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika
ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronik berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
5. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi in adekuat

13
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri kronik berhubungan dengan agen-agen penyebab cedera
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Kaji tingkat nyeri termasuk
keperawatan 1x24 jam termasuk karakteristik,kualitas,durasi
kriteria hasil yaitu dan frekwensi
1. Menyatakan secara verbal Observasi tanda-tanda vital.
pengetahuan tantang cara Ajarkan dan anjurkan kilien
alternatif untuk meredakan melakukan tehnik relaksasi
nyeri Atur posisi senyaman mungkin.
2. Tidak menunjukkan adanya Kolaborasi dalam penberian
nyeri meningkat analgetik
3. Nyeri teratasi

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi


Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika
keperawatan 1x24 jam kriteria ada jaringan nekrotik dan kondisi

14
hasil yaitu sekitar luka
1. menunjukkan regenerasi Berikan perawatan khusus pada
jaringan daerah yang terjadi inflamasi
2. tidak ada lepuh atau maserasi Evaluasi warna lesi dan jaringan yang
pada kulit terjadi inflamasi, perhatikan adakah
3. eritema kulit dan eritema di penyebaran pada jaringan sekitar.
sekitar luka minimal Bersihkan lesi dengan sabun pada
waktu direndam.
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi
dari tekanan.
Konsultasi pada dokter tentang
implementsi pemberian makanan dan
nutrisi untuk meningkatkan potensi
penyembuhan luka

3. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot


Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Kaji tingkat kemampuan klien
keperawatan 1x24 jam kriteria Anjurkan periode untuk istrahat dan
hasil yaitu aktivitas secara bergantian
1. Menunjukan toleransi Bantu klien untuk mengubah posisi
aktivitas secara berkala
2. Menampilkan aktifitas Lakukan latihan rentang gerak secara
kehidupan sehari-hari konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
Kolaborasi dengan ahli terapi dalam
memberikan terapi yang tepat

4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan


dan kehilangan fungsi tubuh
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )

15
Setelah di lakukan tindakan Kaji respon verbal dan
keperawatan 1x24 jam kriteria nonverbal klien terhadap dirinya
hasil yaitu Jelaskan tentang pengobatan,
1. Mampu mengidentifikasi perawatan, kemajuan dan
kekuatan personal prognosis penyakit
2. Menentukan penerimaan Beri dorongan kepeda klien dan
penampilan keluarga untuk mengungkapkan
3. Memelihara interaksi sosial yang perasaannya
dekat dan hubungan personal Bantu klien dalam mengatasi
masalahnya

5. Isolasi sosial berhubungan dengan perubahan status mental


Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Bina hubungan teraupetik
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil dengan pasien yang mengalami
yaitu kesulitan berinteraksi dengan
1. Menunjukkan keterlibatan sosial orang lain
2. Dapat berinteraksi baik dengan Bantu pasien membedakan
masyarakat antara persepsi dan kenyataan
3. Berpartisipasi dalam aktivitas Kurangi stigma isolasi dengan
dengan orang lain menghormati martabat pasien
4. Mengembangkan hubungan satu Fasilitasi kemempuan
sama lain individuuntuk berinteraksi
dengan orang lain
Fasilitasi dukungan kepada
pasien oleh keluarga, teman, dan
komunitas

6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

16
Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Kaji tingkat kecemasan
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil Gunakan pendekatan yang
yaitu menenangkan
1. Klien mampu mengidentifikasi dan Jelaskan semua prosedur dan
mengungkapkan gejala cemas apa yang di rasakan selama
2. Mengidentifikasi , prosedur
mengungkapkan dan menunjukkan Dorond pasien untuk
tehnik untuk mengontrol cemas mengungkapkan perasaan,
ketakutan dan persepsi
Kolaborasi dalam pemberian
obat penurun cemas

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan informasi in adekuat


Tujuan dak kriteria hasil Intervensi
( NOC ) ( NIC )
Setelah di lakukan tindakan Kaji tingkat pengetahuan pasien
keperawatan 1x24 jam kriteria hasil Beri informasi tentang penyakit
yaitu dan pengobatan kepeda pasien
1. Pasien dan keluarga menyatakan Berikan motivasi pada klien
pemahaman tentang penyakit, tentang kesembuhannya
kondisi, prognosis dan program Diskusikan setiap tindakan yang
pengobatan berhubungan dengan penyakitnya.
2. Pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang di
jelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu
menjelaskan kembali apa yang di
jelaskan

BAB III

17
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus
batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-
8 mikron. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut
memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid,
namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih
mengarah pada lepromatosa. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui
melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan
kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini
diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan. Untuk pencegahan
penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan
tersier.Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan
adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan,
kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.

B. Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan
suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan
penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta
untuk mempermudah pengobatanya. Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih
tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta
yang efektif.

18
DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII, Depkes Jakarta

Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II,EGC. Jakarta,
1995

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta

19
Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi Jawa Tangah

20

You might also like