You are on page 1of 5

Tema : Inspirasi untuk Indonesia

Subtema : Inspiratorku dalam meraih kesuksesan

Judul : Hospital and Street Life

Menyandang gelar sebagai Mahasiswa, adalah anugerah sekaligus penguji


mental bagiku. Rantai makanan paling tinggi dalam sistem pembelajaran di
Indonesia. Sekaligus hasil jerih payah baik lahir maupun batin seorang orang tua
dan orang-orang terdekat. Namun, ada satu hal yang realitanya belum mampu hati
mengikhlaskan. Ya, kampus kecil yang berada di kota reog menjadikan mentalku
kecil dalam sebuah impian besar yang pernah kurancang sebelum menyandang
gelar Mahasiswa. Impian yang hanya mendapat restu diri sendiri. Kampus kecil
yang tidak pernah ada dalam rancangan impianku, kampus kecil pula yang
menyadarkanku bahwa impian besar itu harus tetap hidup dimanapun tempatnya.

Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Ponorogo, kampus kecil


yang nyatanya nyegerin seperti sprite. Letak ketidakadilan Tuhan waktu itu,
bukan hanya pada kampus namun juga prodi yang sudah kupelajari sejauh ini.
Kesehatan, apalagi merujuk pada dunia keperawatan. Seindah dan semuliyanya,
hatiku kala itu benar-benar buta. Mata buta, hati buta, telinga tuli malah egoisme
yang membabi buta. Bahkan selama 2 semester berjalan menuju 3 aku belum
mampu berkata mantap ‘iya aku bangga menjadi perawat’. Sebenarnya bukan
hanya aku, kata teman teman yang senasib tempat ini adalah sebagai bentuk
pelarian semata. Namun nyatanya mereka enjoy seperti tidak terjadi apa-apa.
Sedangkan aku, belum mampu menerima. Semester 3, bulan praktek Mahasiswa
Kesehatan telah dimulai. Pertama kita akan ditempatkan di RSUD Hardjono
Ponorogo rumah sakit terbesar di Ponorogo, dengan 2 gelombang. Beruntungnya
kelasku ada pada rombel 2. Hanya satu bulan, namun serasa satu tahun. Semua
terasa seperti dineraka bagi kami yang bukan lulusan SMA Kesehatan. Itu seperti
sebuah acara super trap. Menegangkan sekaligus membingungkan. Satu bulan
penuh banyak pengalaman yang didapat. Seperti masa orientasi dulu, bagi kami
yang bukan lulusan SMA Kesehatan. Menginjak semester 5, kita harus berangkat
lagi dengan tempat dan tujuan yang sama. Namun waktunya yang berbeda, lebih
lama. Tiga bulan kehidupan akan dihabiskan di Hospital. Dengan kelas campur
aduk, jadi tidak sesama teman sekelas tapi beda kelas. Satu bulan penuh berkah
Ramadhan terpancar di Rumah Sakit. Suka duka selama tiga bulan itu hanya ada
di Rumah Sakit.

Setelah masa orientasi satu bulan di semester 3 telah usai, sekarang


bagaikan karantina. Sebut saja sebagai pembentuk karakter seorang calon perawat.
Di titik tiga bulan bersama Ramadhan itulah awal dari kebanggaan dimulai. Ada
sejuta cerita dari berbagai sudut kehidupan. Yang tak banyak orang tahu apalagi
mengerti. Ya, itu memang hanya sekedar mengobati, hanya sekedar berobat,
merawat, memulihkan keadaan dari sakit menjadi sehat. Namun dalam format
yang tertulis di laporan yang dinamakan askep alias asuhan keperawatan, begitu
detailnya kami dalam menggali mengobservasi keadaan mereka yang didiagnosis
sedang sakit. Saat kami tanya satu kalimat saja, mereka bisa menjawab seperti
sebuah narasi. Sehingga, yang ku lakukan bersama teman-teman bukan hanya
mendampingi tindakan medis perawat senior. Kami adalah pendengar, pemberi
solusi, pengusap air mata, pelipur lara mereka. Rasanya tiga bulan itu aku sudah
masuk dalam dunia mereka. Menjelajah bagaimana dan mengapa. Banyak yang
mereka ceritakan, bahkan bukan lagi soal kesehatan. Mereka membagikan tips,
mereka mendoakan pula. Rasanya akan sangat bersalah jika aku dan kawan-
kawan tidak bekerja secara maksimal dalam menjaga dan memulihkan kesehatan
mereka. Meskipun status kami hanya sebagai Mahasiswa praktikan. Paling tidak
kami ikut andil dalam mengupayakan yang terbaik untuk mereka, meski hanya
sekedar senyuman dan gelak tawa yang mengesankan untuk mereka.

Pernah disuatu waktu aku ingin menyerah dengan ketentuan Tuhan. Ini
berat, saat kesalahan sudah kulakukan karena kecerobohanku. Setiap kali
melakukan tindakan selalu gagal dalam kemandirian. Aku merasa minder. Mulai
membandingkan keahlianku dengan teman setimku. Namun, seketika itu ada
aduan dari keluarga klien jika klien mengalami nyeri di punggungnya. Mendengar
aduan itu, aku langsung menuju kamar klien. Dia tampak merintih kesakitan,
sembari memegang pinggangnya. Klien memang sedang dilakukan transfusi darah
karena trombositnya menurun. Saya hanya bisa mengajarkan teknik-teknik yang
sudah dipelajari selama di kelas. Namanya Tn.b, beberapa kali sering mengeluh
nyeri pada punggungnya dan diiringi tangisan. Seketika itu, dibenak saya hanya
ingin mereka tidak berada disini. Tidak merasakan kesakita yang luar biasa.
Setiap klien dinyatakan sehat dan bisa untuk dibawa pulang, saya selalu bilang
“Jangan kesini lagi ya pak/bu, jangan ketemu saya lagi disini. Ketemunya di jalan
saja ya...” mereka tertawa bahagia mendengar ucapan itu. Semenjak itu, paling
tidak usaha selalu ada untuk kesembuhan mereka.

Responsi, tugas kuliah bagi tim 10 adalah hanya sekedar bonus. Inti dari
tim kami adalah klien kami. Karena Mahasiswa bukan semata terkekang oleh
sebuah aturan tugas. Tindakan nyata dari Mahasiswa lebih diperlukan daripada
tugas tertulis di buku laporan.

Keluhan-keluhan mereka, tawa mereka, doa mereka menjadi pendongkrak


dalam semangat mencari sebuah kebenaran untuk dipraktekkan. Mencari sebuah
solusi untuk dijadikan realita kehidupan. Klien , suara-suara mereka yang
membuat hati dan pikiran selaras memadukan sebuah kalimat “ Ya aku bangga
menjadi seorang Perawat”

Beranjak ke fase selanjutnya, karena kehidupan bukan hanya sebagai


seorang mahasiswa. Tapi bagaimana cara mu untuk tetap bersyukur dalam kurun
waktu lama. Dalam situasi apapun yang sewaktu-waktu Tuhan memberikan ujian.
Dari jaman bahalak, penginderaan ku tertarik pada kehidupan jalanan. Jadi, jangan
salahkan jika aku memandangmu terlalu tanjam. Ada banyak sosok yang aku
kagumi mengenai jalanan. Aku sendiri bukan anak jalanan, namun labih bisa
merasakan bagaimana hanya dengan mata. Tentang perjuangan yang kadang
disalahartikan. Tentang kebebasan yang juga turut disalahkan. Sosok sosok itu
aku tidak tahu dan tidak mengenalnya. Bagaimana latarbelakangnya, bagaimana
kehidupan sehari-harinya. Karena aku tidak mau tahu tentang itu. Tentang baik
buruknya sosok-sosok itu. Ya, sosok yang berlalu lalang di jalanan. Tugasnya
bukan untuk bersenang-senang dan menghabiskan waktu bersama yang
tersanyang, itu namanya penikmat. Bukan itu. Tapi mereka yang sedang
berjualan, mereka yang sedang mengamen, mereka yang sedang memulung,
mereka yang sedang memebersihkan sampah-sampah dijalanan. Tukang-tukang
entah tukang apa saja itu yang berderet berbaris menunggu pelanggan datang
hingga setia menemani sampai matahari terbenam. Aku suka sosok-sosok itu
terlebas bagaimana latarbelakang kehidupannya. Tentang semangat dalam
menjemput rejeki dari Sang Pencipta. Dalam lelah letih nya, senyuman khas
mereka tak henti seperti bunga bermekaran. Itu yang sempat ku saksikan street
life in Madiun Jogja dan Kota Reog, Ponorogo. Mereka menawari jasa mereka
terkadang dengan kasar, namun aku benar-benar tahu itulah puncak amarahnya.

Entah sengaja atau tidak sosok-sosok itu menarik untuk kuperhatikan.


Mereka mungkin bukan kalangan berpendidikan, bukan kalangan beruang bukan
keturunan orang berada. Namun mereka berupaya, berkreasi dalam mengatasi
kerasnya kehidupan. Meski bukan dari rantai makanan paling tinggi dalam
kehidupan, sosok-sosok itu membangun jiwa positif untuk tidak selalu
menyalahkan takdir. Untuk tidak terpuruk saja dalam sebuah kegagalan. Mereka
mengajarkanku bagaimana hidup ini harus hidup dengan baik. Bagaimana hidup
harus berjalan dengan kesederhanaan, mencapai keberhasilan tanpa kesombongan
dan keangkuhan. Mereka lebih menginspirasiku dari pada siapapun kecuali orang
tua ku sendiri. Terkadang akhlak mereka lebih beraturan dari pada mereka yang
berpendidikan tinggi.

Klien, mereka mengajariku untuk tetap berjuang menegakkan kesehatan


yang masih vakum. Dunia kesehatan yang masih belum membuka matanya secara
lebar-lebar. Dunia kesehatan yang masih bisu mengapa angka kematian dan
kesakitan masih tinggi di negeri ini.

Human in Street Life, manusia di kehidupan jalanan yang menggambarkan


inilah Indonesia. Ada sebagian orang yang merasa geli melihat mereka yang
berkeliaran. Ada pula sebagian yang tertarik dengan keberadaannya. Cara mereka
yang kreatif, gaya mereka yang sederhana bercampur aroma debu jalanan, itulah
Indonesia.

Mereka menginspirasiku untuk memperjuangkan mereka. Menginspirasiku


untuk menegakkan bagaimana kehidupan seharusnya. Menerima takdir lebih
penting daripada harus menyalahkan. In the street and hospital life I found the
meaning of life and more than that...

“ Nduk, dadio wong ngerti. Ojo gelem dadi wong pinter. Jaman sak iki akeh
wong pinter nanging ora ngerti. Contohe ora ngerti sopan santun marang wong
tua. Mulana dadio wong ngerti ya...” Mbah Saiman di PSTW Magetan Jawa
Timur

Artinya “ Nak, jadilah orang yang tahu. Jangan mau jadi orang yang pintar. Jaman
sekarang banyak orang yang pintar tapi tidak tahu. Misalnya tidak tahu sopan
santun sama orang yang lebih tua. Oleh karena itu, jadilah orang yang tahu ya...”

Catatan : PSTW Magetan Jawa Timur adalah tempat praktek di panti jompo.

“ Keusksesan itu bukan hanya soal nilai dan materi, tapi saat kamu bersyukur atas
karunia Tuhan. Itu juga sebuah kesuksesan. Saat bisa membuat mereka tersenyum
kembali. Saat kamu bisa menerapkan kebenaran dan kebaikan dalam hidup. Itu
macam contoh kesuksesan yang tak banyak orang memahaminya.”

You might also like