You are on page 1of 11

BAB 2

LANDASAN TEORI
2.1. Komposit
Material komposit merupakan material yang tersusun dari dua atau lebih bahan
berbeda untuk mendapatkan bahan material dengan karakteristik tertentu yang memiliki
kemampuan lebih baik dari bahan yang digunakan secara terpisah (J. M. Berthelot dkk, 2012).
Material komposit terdiri dari penguat, matriks dan interfasa. Menurut W. D. Callister dan D.
G. Rethwisch (2007) matriks dapat berupa logam, keramik atau polimer. Matriks memiliki
fungsi seperti mengikat serat secara bersamaan, melindungi serat akibat abrasi atau reaksi
kimia dengan lingkungan serta sebagai medium yang mentransmisikan dan mendistribusikan
beban ke serat.

Komposit

Penguat Partikel Penguat Serat Structural

Large Particle Kontinu Diskontinu Lamina Sandwich


Dispersion
Strengthen Aligned Random
Gambar 2.1.

Komposit berdasarkan penguatnya dapat dikelompokan sebagai komposit diperkuat


partikel, komposit diperkuat serat dan komposit struktur. Berdasarkan jenis serat yang
digunakan, komposit dikelompokkan menjadi komposit diperkuat serat sintetis dan komposit
diperkuat serat alam. Serat alam memiliki kelebihan antara lain relatif ringan dibanding serat
gelas (sintetis), biodegradable, namun memiliki kekurangan berupa tidak homogen, tidak
stabil pada suhu tinggi dan sebagainya (J. Morán dkk, 2007). Serat alam digunakan sebagai
penguat dalam komposit seperti serat pisang, serat kayu, serat kelapa, serat jute, serat bambu, dan
serat kenaf.
Dalam ilmu material sains, aturan campuran atau rule of mixture (ROM) digunakan
untuk memprediksi karakteristik dari material komposit, dimana nilai ini berada diantara nilai
batas atas (upper bound) dan batas bawah (lower bound). Nilai-nilai ini dapat dilihat pada
gambar 2.2 yang mana merupakan contoh prediksi nilai modulus elastisitas menggunakan
ROM dari sebuah material komposit (Callister & Rethwisch, 2007). Batas atas dari ROM
dapat dihitung dengan menggunakan permasaan,

𝐸𝑐 (𝑢) = 𝐸𝑚 𝑉𝑚 + 𝐸𝑓 𝑉𝑓 (2.1)
dan untuk batas bawah dapat dihitung dengan menggunakan,

𝐸𝑚 𝐸𝑝
𝐸𝑐 (𝑙) = 𝑉 (2.2)
𝑚 𝐸𝑝 +𝑉𝑝 𝐸𝑚

Gambar 2.2. Grafik modulus elastisitas vs persen volum tungsten pada komposit partikel
tungsten dengan matriks tembaga (Callister & Rethwisch, 2007).

2.2. Bambu Tali


Bambu tergolong keluarga Gramineae (rumput-rumputan) disebut juga Hiant Grass
(rumput raksasa), berumpun dan terdiri dari sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara
bertahap, dari mulai rebung, batang muda dan sudah dewasa pada umur 4-5 tahun. Kelebihan
dari bambu antara lain batangnya yang kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah
dibentuk, ringan dan harga yang relatif murah. Batang bambu terdiri dari atas sekitar 50%
parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (Dransfield dan Widjaja, 1995). Penelitian sifat
kimia bambu telah dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1998) dimana kadar
selulosa pada bambu berkisar antara 42,4% - 23,6%, kadar lignin bambu berkisar antara
19,8% - 26,6%, kadar pentosa bambu bersikar antara 1,24% - 3,77%, kadar abu bambu
berkisar antara 1,24% - 3,77%, kadar silika bambu berkisar antara 0,10% - 1,78%, kadar
ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) bambu berkisar antara 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif
(kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alcohol benzene)
0,9% - 6,9%.

Gambar 2.2. Tanaman bambu tali (gigantochloa apus)


Tabel 2.1. Sifat kimia bambu (Gusmailina & Sumadiwangsa, 1998)
Ekstraktif Ekstraktif
Ekstraktif
Selulosa Lignin Pentosa Abu Silika (larut air (larut air
(larut alcohol)
dingin) Panas)
42,4- 19,8- 1,24- 1,24- 0,10-
4,5%-9,9% 5,3-11,8% 0,9-6,9%
23,6 % 26,6% 3,77% 3,77% 1,78%

Serat alam membutuhkan perlakuan alali sebelum dapat digunakan sebagai penguat
pada komposit. Kandungan kimia seperti selulosa, lignin, pentosa dan pengotor lainnya di
dalam serat alam dianggap dapat merusak adhesi adhesi dengan matriks selama fabrikasi
komposit. Perlakuan alkali pada serat alam dapat meningkatkan kekuatan mekanik pada
komposit, meningkatkan kekuatan antarmuka dan adhesi antara matriks dan serat (Kushawa,
2011).

Gambar 2.3. Kandungan senyawa organic pada serat alam


2.3. Resin Epoksi
Epoksi adalah suatu bahan kimia yang merupakan salah satu jenis resin yang diperoleh
dari proses polimerisasi dari epoksida. Epoksi resin bereaksi dengan beberapa bahan kimia
lain seperti amina polifungsi, asam serta fenal dan alcohol, umumnya dikenal sebagai bahan
pengeras atau hardener. Setelah dicampur epoksi dan hardener akan berubah daric air ke padat
dan menjadi sangat kuat, tahan suhu tinggi tertentu dan memiliki ketahanan kimia yang tinggi.
Epoksi adalah resin termoset karena bereaksi atau curing dengan menghasilkan panas internal
dan mampu membentuk ikatan molekul yang erat dalam struktur crosslinking polimer.

Gambar 2.4. Skema reaksi kimia pembentukan epoksi resin tipe DGEBA
Tabel 2.2. Sifat mekanik epoksi
Kuat Tarik (MPa) Modulus Elastisitas (GPa) Densitas (g/cm3)
110 5 1.4

2.4. Fourier Transform Infrared (FTIR)


Fourier Tansform Infrared Spectroscopy (FTIR) adalah sebuah teknik yang
digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah dari absorbansi, emisi, fotokonduktivitas
dari sampel padat, cair dan gas. FTIR digunakan untuk mengamati interaksi molekul dengan
menggunakan radiasi elektromagnetik yang berada pada panjang gelombang 0,75-1000µm
atau pada bilangan gelombang 13.000-10 cm-1 (Smith, 2011). FTIR dapat digunakan untuk
menganalisa senyawa organik dan anorganik. Selain itu, FTIR juga dapat digunakan
untuk analisa kualitatif meliputi analisa gugus fungsi (adanya ‘peak’ dari gugus fungsi
spesifik) beserta polanya dan analisa kuantitatif dengan melihat kekuatan absorbsi senyawa
pada panjang gelombang tertentu.

Tabel 2.3. Daerah spektrum inframerah (Smith, 2011)


Panjang Bilangan
Jenis
Gelombang Gelombang
Inframerah dekat 0,75-2,5µm 13000-4000 cm-1
Inframerah
2,5-50µm 4000-200 cm-1
sedang
Inframerah Jauh 50-1000µm 200-10 cm-1

Daerah inframerah dibagi menjadi tiga bagian seperti pada Tabel 2. yaitu inframerah dekat,
inframerah sedang dan inframerah jauh dengan panjang gelombang masing-masing 13000-
4000 cm-1, 4000-200 cm-1 dan 200-100 cm-1. Dari pembagian daerah inframerah di atas,
daerah panjang gelombang yang digunakan adalah pada daerah inframerah pertengahan, yaitu
pada panjang gelombang 2,5–50 µm atau pada bilangan gelombang 4.000 – 200 cm-1 . Daerah
tersebut cocok untuk perubahan energi vibrasi dalam molekul. Gugus fungsi dari spektroskopi
inframerah pada nomor gelombong tertentu dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Serapan khas beberapa gugus fungsi (Socrates, 2004)
Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-1)
C-H Alkana 2850-2960, 1350-1470
C-H Alkena 3020-3080, 675-870
C-H Aromatik 3000-3100, 675-870
C-H Alkuna 3000
C=C Alkena 1640-1680
C=C Aromatik (cincin) 1500-1600
C-O Alcohol, eter, asam karboksilat, ester 1080-1300
C=O Aldehida, keton, asam karboksilat, ester 1690-1760
O-H Alcohol, fenol (monomer) 3610-3640
O-H Alkohol, fenol (ikatan H) 2000-3600
O-H Asam karboksilat 3000-3600
N-H Amina 3310-3500
C-N amina 1180-1360

Martijanti dkk (2018, to be published)


2.5. Wet Lay-up
Metode wet lay-up merupakan salah satu metode fabrikasi komposit. Metode ini masih
sering digunakan pada industry perlautan dan juga pada percobaan pembuatan prototype.
Gambar 2.5 menunjukan skematik dari metode hand, ada metode ini diperlukan cetakan. Pada
cetakan, resin dituangkan kemudian diletakkan penguat (serat) diatas permukaan cetakan yang
telah dilapisi oleh resin. Penguat kemudian diratakan menggunakan roller sehingga penguat
ditembusi oleh resin. Roller digunakan untuk meratakan dan mengeluarkan resin yang
berlebih pada cetakan, juga untuk menghilangkan udara antara resin dan penguat. Cetakan
kemudian didiamkan sehingga terjadi curing pada suhu ruangan. Setelah resin megeras dapat
dikeluarkan dari cetakan. Proses ini dikerjakan oleh tangan manusia dan biasa juga dikenali
sebagai metode hand lay-up. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu biaya yang relative murah,
mudah digunakan dan tingkat keahlian yang tidak tinggi.
Gambar 2.5. Skematik dari metode wet lay-up

2.6. Sifat Mekanik Komposit


Hubungan kekuatan tarik dan regangan dapat dinyatakan dengan hukum Hooke. F
adalah gaya yang diberikan pada material, A0 adalah luas penampang, l adalah Panjang
setelah ditarik, l0 adalah Panjang sebelum ditarik dan E adalah modulus elastisitas.
𝜎 = 𝐸. 𝜀
𝐹
𝜎=
𝐴
𝑙 − 𝑙0
𝜀=
𝑙0
Kushawa dan Kumar (2008) melakukan penelitian komposit epoksi/bambu yang diberi
perlakuan alkali sebesar 1%, 2%, 5%, 10%, 15%, 20% dan 25% seperti terlihat pada tabel 2.5.
Pada penelitian ini bambu yang digunakan berbentuk persegi panjang dan difabrikasi
menggunakan metode hand lay-up.
Osorio dkk (2011) melakukan penelitian single fiber dan komposit epoksi/bambu dengan
perlakuan alkali sebesar 1%, 3% dan 5% dengan fraksi volum serat 47% . Pada penelitian ini
serat bambu yang digunakan adalah serat pendek dengan arah acak yang diuji lengkung .
Metode fabrikasi yang digunakan adalah compression moulding.
Tabel 2.5. Kekuatan mekanik komposit epoksi/bambu (Kushawa, 2008)
Modulus Kuat Modulus Kuat
Kuat Tarik Kekerasan
Elastisitas Lengkung Lengkung Impak
(MPa) (MPa)
(MPa) (MPa) (MPa) (kJ/m2)
BE0N 87 6736 107 11901 1.922 15.56
BE1N 120 6986 149 9530 1.816 22.42
BE2N 105 7513 117 10674 1.766 30.25
BE5N 135 8204 154 9500 1.861 22.42
BE10 77 6916 135 7973 1.026 29.95
BE15N 82 7558 92 5659 1.055 25.08
BE20N 87 7378 138 7862 1.333 14.60
BE25N 80 6799 137 8962 1.252 8.95

Tabel 2.6. Kekuatan lengkung komposit epoksi/bambu longitudinal (L. Osorio, 2011)
Kekuatan lengkung longitudinal
Alkali Kuat lengkung (MPa)
0 310
1 294
3 280
5 279

Tabel 2.7. Kekuatan lengkung komposit epoksi/bambu transversal (L. Osorio, 2011)
Kekuatan lengkung transversal
Alkali Kuat lengkung
0 32.8
1 35.1
3 41.4
5 30.8
2.7. Standar Nasional Indonesia (SNI)
Standar Nasional Indonesia yang digunakan pada penilitian ini adalah SNI 01-
4449-2006 untuk papan serat. Terdapat 22 parameter pengujian pada SNI 01-4449-2006 yang
pada penelitian ini akan digunakan tiga parameter yaitu uji tarik, uji kelengkungan dan berat
jenis. Pada Tabel 2.8 dapat dilihat klasifikasi jenis papan serat berdasarkan kerapatannya yaitu
papan serat kerapatan rendah (PSKR), papan serat kerapatan sedang (PSKS) dan papan serat
kerapatan tinggi (PSKT). Syarat fisis dan mekanik dari tiga jenis papan serat tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.9, 2.10 dan 2.11 untuk PSKR, PSKS dan PSKT.

Tabel 2.8. Spesifikasi papan serat berdasarkan kerapatan (SNI 01-4449-2006)


Jenis Papan Serat Kerapatan (g/cm3)
PSKR <0,40
PSKS 0,40-0,84
PSKT >0.84

Tabel 2.9. Syarat fisis dan mekanis PSKR (SNI 01-4449-2006)


Keteguhan kelengkungan modulus patah
Jenis PSKR Tebal (cm)
kgf/cm2 kgf/cm2
1,0
1 1,5 ≥1,0 ≥10,2
2,0
0,9
1,2
2 ≥2,0 ≥20,4
1,5
1,8
0,9
1,2
3 ≥3,0 ≥30,6
1,5
1,8
Tabel 2.10. Syarat fisis dan mekanik PSKS (SNI 01-4449-2006)
Keteguhan kelengkungan Keteguhan tarik
Modulus Keteguhan cabut sekrup tegak lurus
Modulus patah
elastisitas permukaan
Tipe
Kering Basah
Kgf/c Kgf/c
Kgf/c Kgf/ Kgf/c Kgf/c Kgf/cm2 Kgf/cm2 Kgf/cm2 Kgf/cm2
m2 m2
m2 cm2 m2 m2
30 ≥30,0 ≥306 ≥15,0 ≥153 ≥2500 ≥2,55 ≥500 ≥51 ≥0,5 ≥5,1
25 ≥25,0 ≥255 ≥12,5 ≥12,5 ≥2000 ≥2,04 ≥400 ≥41 ≥0,4 ≥4,1
15 ≥15,0 ≥153 ≥7,5 ≥77 ≥1300 ≥1,33 ≥300 ≥31 ≥0,3 ≥3,1
5 ≥5,0 ≥51 - - ≥800 ≥0,82 ≥200 ≥20 ≥0,2 ≥2,1

You might also like