You are on page 1of 244

One Week Girlfriend

by

Monica Murphy
Sinopsis:

"Sementara. Satu kata itu sangat sempurna menggambarkan


kehidupanku beberapa tahun belakangan ini. Aku bekerja pada
pekerjaan sementara hingga akhirnya aku bisa bebas. Aku adalah
ibu sementara untuk adik lelakiku sejak ibu kami tak memperdulikan
kami berdua. Dan aku adalah gadis sementara yang bisa
didapatkan para pria karena aku adalah cewek gampangan.
Menurut rumor, setidaknya.

Namun sekarang aku adalah pacar sementara dari Drew Callahan,


legenda football dan anak emas kampus ini. Dia tampan, manis—
dan dia menyimpan lebih banyak rahasia dari yang aku simpan. Dia
membawaku ke dalam kehidupan palsunya dimana semua orang
kelihatannya membenciku. Dan semua orang kelihatannya
menginginkan sesuatu darinya. Dan kelihatannya, satu-satunya hal
yang diinginkannya adalah...Aku.

Aku tak tahu apa yang bisa kupercaya lagi. Yang kutahu adalah,
kupikir Drew membutuhkanku. Dan aku ingin selalu ada untuknya.

Selamanya."

Dalam hidupnya, Fable selalu mengira tak ada orang yang benar-
benar menginginkannya. Ibunya terlalu sibuk dengan masalahnya
sendiri hingga tak punya waktu untuk dia dan adik lelakinya. Para
cowok menganggapnya cewek gampangan yang dengan mudah bisa
diajak tidur. Hingga pada suatu hari, ketika Drew Callahan datang
dan menawarkannya pekerjaan, dia menganggap ini hanyalah omong
kosong yang lain.

Drew Callahan cowok popular di kampusnya. Dia punya banyak


teman dengan sederetan fans yang akan dengan senang hati
melompat ke tempat tidur bersamanya. Dari luar, hidupnya sangat
sempurna. Namun, di dalam dirinya dia tahu bahwa dia tak akan
pernah utuh lagi. Dan ketika saat yang paling ditakutkannya tiba—
pulang ke rumah—dia tahu bahwa dia tak akan bisa melakukannya
seorang diri. Dia butuh seseorang untuk melindunginya. Seseorang
yang bisa menjadi penyelamatnya.

Yang satu membutuhkan yang lain, hubungan saling menguntungkan


itulah yang pada mulanya mempertemukan Drew dan Fable. Ada
banyak rahasia yang terungkap, ada banyak kenyataan yang
menyakitkan. Namun Fable membuktikan bahwa dia selalu ada
ketika Drew membutuhkannya. Hanya saja ketika semuanya tak
tertahankan, Drew selalu mendorongnya menjauh. Selalu. Hingga di
suatu saat, ketika akhirnya Fable menjadi terlalu lelah untuk kembali
padanya. Dan pada saat itulah Drew menyadari satu hal.
Perasaannya kepada Fable lebih nyata dari yang selama ini dia kira.

Copyright© 2013 by Monica Murphy


One Week Girlfriend - Prolog

Terlalu terjebak.

Dua kata singkat ini berputar dalam kepalaku berulang-ulang.


Deskripsi sempurna tentang bagaimana perasaanku saat ini. Terlalu
terjebak dalam kata-kata manis memilukanmu, dalam lengan kuat
dan kehangatan bibir lembutmu. Aku begitu terjebak
dalam...kehidupan kepura-puraan yang membuatku benar-benar
begitu tenggelam kedalamnya.

Dan apa kau tahu? Aku menyukainya. Sangat menyukainya.


Meskipun kutahu, ini semua palsu. Bahwa caramu bicara padaku,
menatapku, menyentuhku. Menciumku...semua itu untuk
pertunjukan. Aku menjadi semacam perlindungan bagimu tapi aku
tak peduli. Aku menginginkannya.

Aku menginginkanmu.

Apa yang tak kumengerti adalah mengapa kita di sini.

Sekarang. Aku di tempat tidurmu dan kita setengah telanjang, lengan


dan kaki melilit satu sama lain, selimut tergelincir dari tubuh kami
karena kulit kami begitu panas, rasanya seperti kami sedang terbakar
hidup-hidup. Kau terus menciumku dan berbisik di telingaku
seberapa besar kau menginginkanku dan oh, Tuhan, aku pun
menginginkanmu, namun suara kecil yang mengganggu dalam
kepalaku mengatakan bahwa kami hanya memiliki satu hari tersisa
untuk bersama dan kemudian kami kembali lagi ke dunia nyata.

Di mana kau akan mengabaikanku. Dan aku mengabaikanmu. Kau


akan mendapatkan apa yang kau inginkan—mengejutkan orang
tuamu dan orang lain di rumah sehingga mereka tak akan
mengganggumu lagi. Dan aku akan mendapatkan apa yang
kuinginkan, uang yang kau janjikan padaku untuk 'menerima dengan
sabar segala omong kosongmu selama tujuh hari'—kutipan langsung
—sehingga aku bisa mengurus adik laki-lakiku setidaknya untuk
waktu sedikit lebih lama lagi. Kami akan kembali ke peran kita
seperti biasanya.

Dimana kau membenciku dan aku membencimu.

Ini akan menjadi sebuah kebohongan. Aku mungkin membencimu


sebelum segala kejadian ini, tapi sekarang...

Kurasa aku jatuh cinta padamu.


***

Bab 1
4 hari sebelumnya...

Drew (Kata kerja)


Arti: Menarik semua perhatian pada dirinya, memiliki pengaruh,
atraktif.

Aku menunggunya di luar bar, bersandar di bangunan berbatu bata


kasar dengan tangan yangberada jauh di dalam sakusweatshirtku,
bahuku membungkuk melawan angin. Malam ini benar-benar dingin
dan gelap karena awan menggantung rendah di langit. Tidak ada
bintang, tidak ada bulan. Menyeramkan, terutama karena aku berdiri
di sini sendirian.

Jika hujan turun dan dia belum juga selesai kerja, lupakan saja. Aku
akan pergi. Aku tidak membutuhkan omong kosong ini.

Panik melandaku dan aku menghela nafas dalam-dalam. Aku tak


bisa pergi dan aku tahu itu. Aku membutuhkan dia. Aku bahkan tak
tahu dia siapa, dan pastinya diapun tak mengenalku, namun aku
membutuhkannya untuk bertahan. Aku tak peduli jika
kedengarannya aku cengeng atau apa, itu benar.

Tak ada jalan lain untuk aku bisa menghadapi minggu berikutnya
dalam hidupku seorang diri.

Suara musik dari bar kecil itu terdengar sayup-sayup dan aku
mendengar setiap orang di dalam tertawa dan berteriak. Aku
bersumpah aku mengenal beberapa dari suara itu. Ujian tengah
semester sedang berlangsung dan seharusnya sebagian besar dari
kami belajar, bukan? Membusuk di dalam perpustakaan atau
membungkuk di meja, kepala tenggelam di dalam sebuah buku, atau
di depan laptop. Membaca ulang catatan, menulis makalah, apapun.

Alih-alih begitu, sebagian besar temanku berada di dalam bar itu dan
mabuk. Kelihatannya tak ada yang peduli jika hari ini baru hari
selasa dan masih tersisa tiga hari lagi untuk tes dan seharusnya
mereka bersiap-siap. Ujian ataulibur, tapi setiap orang fokus pada
fakta kalau minggu depan kami libur. Kami semua antusias untuk
keluar dari kota kecil tempat kami kuliah ini.

Seperti aku. Aku akan keluar kota hari sabtu sore. Meskipun aku tak
menginginkannya. Aku lebih suka berada di sini.
Tapi aku tak bisa.

Dia akan selesai bekerja tengah malam nanti. Aku menanyakannya


pada pelayan lain yang juga bekerja di La Salle ketika aku tiba di
sini tadi, sebelum yang lainnya tiba. Dan sekarang dia sedang
bekerja di dalam, di dapur, hingga dia tidak bisa melihatku. Dan itu
bagus.

Aku tak ingin dia menyadari kehadiranku. Belum. Dan katakanlah


beberapa orang yang disebut teman-temanku juga tak perlu tahu
untuk apa aku kesini. Tak ada yang tahu rencanaku. Aku takut
mereka akan membicarakanku jika mereka tahu.

Dalam hidupku, aku bertingkah seperti punya banyak teman karena


aku terlihat selalu dikelilingi banyak orang yang dipanggil teman-
teman, padahal aku tidak dekat dengan satu pun. Aku memang tidak
ingin dekat dengan mereka. Karena dekat dengan seorang dari
mereka hanya akan mendatangkan masalah.

Pintu kayu tua berayun terbuka, berderit di engselnya, suaranya


menyerangku seperti serangan fisik di dadaku. Dia memasuki
kegelapan, membanting pintu dibelakangnya, suaranya bergema
dalam keheningan udara malam. Dia memakai mantel tebal
berwarna merah, membuat kakinya yang tertutup celana ketat hitam
terlihat semakin jenjang.

Beranjak meninggalkan dinding, aku mendekatinya. "Hey."

Pandangan waspadanya ketika melihatku mengatakan segalanya.


"Aku tak tertarik."
Hah? "Aku belum memintamu apapun."

"Aku tahu apa yang kau inginkan." Dia mulai berjalan lagi dan
meninggalkanku di belakangnya. Mengejarnya sebenarnya, aku tak
merencanakan akan melakukan hal ini. "Kalian semua sama saja.
Berpikir kalian bisa menunggu disini, berharap bisa mencegatku.
Menjebakku. Reputasiku berkembang jauh lebih hebat dari apa yang
sebenarnya telah kulakukan dengan beberapa temanmu," dia
menegakkan bahunya sembari dia berjalan semakin cepat. Untuk
seseorang sekecil dia, dia benar-benar cepat.

Tunggu sebentar. Apa sih yang dibicarakannya? Apa sebenarnya


maksudnya? "Aku tak tahu yang kau bicarakan."

Dia tertawa namun suara tawanya terdengar rapuh. "Kau tak perlu
berbohong Drew Callahan, aku tahu apa yang kau inginkan dariku."

Setidaknya dia mengenalku. Aku memegang lengannya ketika dia


akan menyeberang jalan, menghentikan langkahnya dan dia
memandangku. Jemariku seperti tergelitik, padahal aku hanya
memegang kain mantelnya.

"Menurutmu, apa yang kuinginkan darimu?"

"Seks." Dia menyebutkannya, mata hijaunya melebar, rambut pirang


pucatnya bersinar terkena cahaya lampu jalan di atas kami. "Dengar,
kakiku sakit dan aku sangat lelah. Kau memilih malam yang salah
untuk berpikir kau bisa bersamaku."

Aku benar-benar bingung. Dia berbicara seolah dia adalah pelacur


bayaran dan seolah aku berharap dia bisa memberikan oral seks
cepat atau sejenisnya.
Memandanginya, pandanganku jatuh pada mulutnya. Dia memiliki
mulut yang sempurna. Penuh, bibir yang seksi, dia mungkin saja bisa
memberikan layanan oral yang luar biasa jika aku boleh jujur pada
diri sendiri, tapi itu bukanlah alasanku berada disini.

Membuatku panasaran sebenarnya berapa banyak teman se-timku


yang pernah bersamanya. Maksudku, satu-satunya alasanku
berbicara dengannya hanya karena reputasi yang disebutkannya tadi.
Tapi aku bukan sedang mencoba membelinya untuk seks.

Aku mencoba membayarnya untuk perlindungan.


***

Fable (Kata benda)


Arti: Cerita yang tidak ditemukan kebenarannya; sesuatu yang tidak
benar terjadi; dusta.

Drew Callahan si anak emas kampus memegangku seolah dia tak


akan melepaskanku. Dia besar, tingginya lebih dari 6 kaki dan
dengan bahu yang seperti pegunungan. Karena dia bermain football,
itu bukan sesuatu yang mengejutkan, bukan? Dan aku pernah jalan
dengan beberapa teman se-timnya. Mereka semua berotot dan besar.

Tapi tak seorangpun dari mereka membuat jantungku berpacu hanya


dengan memegang tanganku. Aku tak menyukai bagaimana aku
bereaksi padanya. Biasanya aku tak bereaksi kepada siapapun.

Dengan segenap kekuatan, aku melepaskan diri dari genggamannya


dan menjauh dari hadapannya, mencoba memperoleh sedikit jarak.
Sebersit pandangan memohon melintas di matanya dan aku
membuka bibirku, siap mengatakan kepadanya untuk menjauh
ketika dia memegangku dengan erat.

"Aku butuh bantuanmu."

Merengut. Aku meletakkan tanganku ke pinggang, dan sangat sulit


melakukannya karena mantel bodoh tebal yang kukenakan. Di luar
sini sangat dingin dan rok tipis yang kukenakan untuk kerja
memperihatkan kakiku seluruhnya. Syukurlah ada mantel wool ini,
biarpun aku tahu bosku membencinya. Katanya itu sangat tidak
seksi.

Aku siap berdebat dengannya tentang apa itu seksi. Tip yang
kudapatkan tetap banyak. Aku mendapatkan lebih dari seratus dolar
untuk malam ini saja. Biarpun sebenarnya semuanya telah ku
belanjakan.

Uangku selalu sudah dibelanjakan bahkan sebelum aku benar-benar


mendapatkannya.

"Kenapa kau membutuhkan bantuanku?" aku bertanya.

Dia memandang sekitar. Seolah dia khawatir orang akan melihat


kami. Bukan sebuah kejutan. Sebagian besar cowok tidak ingin
terlihat bersamaku di depan umum.

Terkadang benar-benar menyebalkan, menjadi ayam kampus. Aku


bahkan tidak kuliah di universitas bodoh itu.

"Mungkin kita bisa pergi ke suatu tempat dan berbicara," dia


menyarankan dengan senyuman tipis. Aku yakin cewek-cewek akan
meleleh ketika pertama kali melihat senyum itu, dengan tampang
memperdaya yang dimilikinya. Wajahnya sangat tampan dan dia
mengetahui hal itu, dengan alis gelapnya yang sangat cocok dengan
rambut coklat dan mata birunya yang menyolok.

Tapi aku bukanlah cewek kebanyakan. Aku tidak akan terperdaya


oleh sebuah omong kosong. "Aku tak akan kemanapun bersamamu
untuk berbicara. Jika kau ingin mengatakan sesuatu, kau bisa
mengatakannya disini. Dan katakan dengan cepat, karena aku ingin
pulang." Aku sangat yakin ibuku tak ada di rumah dan adik lelakiku
sendirian.

Tidak bagus.

Dia menghembuskan nafas berat, tersinggung. Aku tak peduli.


Apapun yang ingin dikatakannya bukanlah hal penting untukku. Tapi
aku sangat penasaran, jadi aku ingin tahu. Jadi aku bisa
menikmatinya nanti.

Drew Callahan tidak akan berbicara dengan gadis sepertiku. Aku


cewek lokal. Cewek asli kota ini. Dia adalah quarterback (penyerang
belakang) tim football juara di universitas. Demi Tuhan, dia seperti
superstar, tersohor dengan fans dan segalanya.

Sementara aku mengerjakan pekerjaan menjijikan dan bisa


kehilangan pekerjaanku kapan saja. Ibuku seorang alkoholik yang
kerjaannya hanya tidur, dan adik lelakiku yang mulai teribat masalah
di sekolahnya. Dunia kami benar-benar bertolak belakang dan aku
benar-benar tak mengerti kenapa dia mau berbicara denganku
sekarang.

"Minggu depan liburan Thanksgiving," dia memulai dan aku


memutar mataku.
Duh, aku benar-benar bersyukur ada liburan. Itu artinya orang-orang
akan berlibur dari kota ini dan bar akan kosong, membuat pekerjaan
tak terlalu banyak. "Lanjutkan."

"Aku harus pulang ke rumah." Dia berhenti, tatapannya seolah


membakarku dan kegelisahan mulai memenuhi pikiranku. Aku tak
tahu ada apa denganku. "Aku ingin kau ikut bersamaku."

Baiklah,aku tak menyangka yang satu ini. "Apa? Kenapa?"

Matanya bertemu dengan mataku sekali lagi. "Aku ingin kau


berpura-pura menjadi pacarku untuk seminggu."

Aku menganga kepadanya. Aku merasa seolah aku ini ikan yang
sekarat. Menutup mulutku, dan membukanya lagi.

Seolah aku menghirup nafas terakhirku, dan seolah aku benar-benar


melakukannya. "Kau bercanda."

Dia menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Aku tidak bercanda."

"Kenapa aku?"

"Aku…" dia kembali menggelengkan kepalanya dan menutup


mulutnya, seolah dia tak ingin memberitahuku. "Aku akan
membayarmu."

Aku menyilangkan lenganku di dadaku. Dan sangat sulit


melakukannya terlebih karena aku mengenakan mantel tebal ini. Aku
membenci mantelku tapi mantel ini adalah yang paling hangat yang
kumiliki. Aku menduga aku pasti terlihat canggung. "Aku tidak
dijual."
"Aku tidak ingin membayarmu untuk sesuatu yang berbau...seksual."
Suaranya turun satu oktaf dan membuat tubuhku merinding. "Aku
hanya berharap kau bisa berpura-pura menjadi pacarku. Kita tak
harus berbagi kamar atau sesuatu semacam itu. Aku tidak akan
mencoba memasuki celanamu, tapi kita akan kelihatan seolah kita
pacaran, kau tahu kan maksudku?"

Aku tak menjawab. Aku ingin dia terus berbicara jadi aku bisa
mengingat bagaimana si Drew Aneh Callahan ini memohon padaku
untuk menjadi pacar pura-puranya. Tidak ada momen yang lebih
nyata dibandingkan saat ini.

"Aku tahu kau punya kehidupan dan pekerjaan dan apapun hal lain
yang kau lakukan. Mungkin akan sulit bagimu mengenyahkan
segalanya dan pergi bersamaku selama seminggu, tapi aku
bersumpah, aku akan membuatnya sebanding dengan waktumu."

Dia membuatku terdengar murahan dengan pernyataan terakhirnya


itu. Seolah aku ini pelacur yang bisa disewa siapa saja. Masalahnya
cerita tentangkusudah kelewatan dan berkembang pesat di luar sana.
Cerita yang sangat luar biasa, dan aku tak tertarik untuk repot-repot
membantahnya. Tak ada gunanya. "Berapa yang akan kau berikan?"

Matanya mengunci mataku dan aku terjebak didalamnya. Antisipasi


menggelora didalamku dan aku menunggu jawabannya.

"Tiga ribu dolar."


***

Bab 2
Waktu: H-2

Untuk sekali saja, aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi


pilihan pertama seseorang. – Fable Maguire

Fable

Aku masih belum percaya aku setuju untuk melakukan hal ini.Tiga
ribu dolar adalah jumlah yang sangat banyak untuk diabaikan begitu
saja. Dan Drew sangat mengetahui hal itu. Dia telah memilikiku
pada saat angka yang sangat menggiurkan itu keluar dari bibirnya
yang sempurna. Dengan mengacuhkan rasa curigaku dan rasa
khawatir bagaimana susahnya ketika akan keluar kota selama
seminggu dan memastikan duniaku tidak berantakan sementara aku
tidak berada disana, aku telah berkata iya tanpa keraguan.

Anggaplah aku hanya terlalu serakah. Aku tidak bisa membiarkan


kesempatan semacam itu lepas begitu saja dan hal itu akan
membuatku seperti seorang yang tolol. Abaikan juga tentang betapa
besar aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku melakukan hal ini
untuk keluargaku. Untuk adikku, Owen. Dia baru berusia tigabelas
tahun dan aku benci melihat betapa dia telah banyak berubah
menjadi si pembuat keonaran. Dia anak yang manis, memiliki hati
yang baik tapi dia telah terlibat dengan kelompok anak-anak nakal di
sekolahnya dan dia melakukan hal buruk seperti membolos,
mengutil dan aku tahu dia pernah menghisap rokok mariyuana
beberapa kali. Aku pernah mencium bau rokok itu di bajunya.

Ibu kami tidak peduli. Hanya aku yang peduli. Dan sekarang aku
akan pergi selama seminggu. Owen akan berada diluar jam sekolah
hanya selama separuh dari waktu dia bersekolah, namun itu sudah
cukup baginya untuk terlibat dalam masalah.
Tarik menarik-ketegangan- yang sedang terjadi dalam hatiku sudah
hampir mencapai puncaknya.

"Kenapa kau harus pergi?"

Aku menarik tas ransel tua yang tidak seorangpun memakainya


entah sudah berapa lama, dari rak atas lemari besar dan
melemparkannya ke kasur ibuku. Sekumpulan debu beterbangan
begitu tas itu menimpa kasur.

"Aku tidak akan pergi lama."

"Seminggu Fable. Kau meninggalkanku disini bersama ibu selama


seminggu yang pasti menyebalkan." Owen menjatuhkan dirinya di
atas kasur ibu, di sebelah tas ransel itu dan mulai terbatuk-batuk oleh
debu yang tak hilang-hilang melayang di udara.

"Jangan mengumpat begitu." Aku memukul lututnya dan dia


berguling-guling dengan suara mengaduh yang dibuat-buat. "Ini
pekerjaan khusus yang akan membayarku dengan uang yang sangat
banyak. Kita akan merayakan hari Natal yang indah."

"Aku tak peduli setan dengan hari Natal."

Aku menatapnya tajam penuh kemarahan dan dia menggumamkan


permintaan maaf dengan setengah hati. Sejak kapan dia merasa
bebas mengeluarkan kata makian di depanku? Apa yang terjadi
dengan adik kecilku yang cengeng, yang selalu mengikutiku
kemanapun aku pergi seakan-akan dia menyembahku?

"Dan pekerjaan khusus macam apa yang membayarmu dengan


banyak sekali uang dalam waktu yang singkat?" Nada menyindir di
dalam suaranya begitu jelas terdengar. Dia terlalu muda – tidak,
tidak begitu, aku yang sedang membodohi diriku sendiri – tapi
kuharap dia tidak berpikir aku seperti sedang cuti melacurkan diri.

Aku merasa benar seperti itulah diriku.

Otakku berpikir keras karena aku mencoba untuk mencari jalan


keluar dengan sebuah alasan. Aku tidak boleh memberi tahu Owen
apa yang sebenarnya kukerjakan. Aku tidak memberitahunya berapa
banyak uang yang akan kudapatkan. Dia hanya tahu bayarannya
tinggi. Aku juga tidak memberitahu ibuku, dia tidak peduli itu. Aku
belum benar-benar melihatnya dalam waktu duapuluh empat jam ini,
tapi dia punya pacar baru jadi aku yakin dia sedang bersama
pacarnya itu. "Aku akan menjadi pengasuh anak untuk sebuah
keluarga, sementara mereka pergi berlibur selama masa liburan
Thankgiving. Mereka memiliki tiga orang anak."

Kebohongan begitu mudahnya keluar dari bibirku dan itu


menakutkanku.

Owen mulai tertawa, si usil itu. "Kau akan menjadi pengasuh anak?
Kau membenci anak-anak!"

"Tidak." Padahal iya. "Keluarganya sangat baik." Aku tidak punya


gambaran apakah keluarga Callahan itu baik. "Dan aku akan tinggal
di apartemen yang sangat besar."

Drew telah memberitahuku bahwa keluarganya tinggal di Carmel.


Aku tidak pernah kesana, tapi aku pernah mendengar tentang hal itu.
Aku telah mencari tahu melalui Google di bagian referensi dan
melihat foto-fotonya. Tempatnya terlihat mengagumkan. Mahal.
Menakutkan.

"Kau sebenarnya tidak ingin pergi, kurasa." Owen menegakkan


tubuh atasnya, menggerakkan jarinya di atas tas ransel itu,
meninggalkan jejak garis tipis di bagian yang berdebu."Kau akan
terlihat seperti pelacur yang bangkrut, tampil dengan tas yang sangat
jelek ini."

"Apakah kau baru saja menyebutku seorang pelacur bangkrut?" Aku


tak boleh tersinggung, karena apa yang dia katakan itu benar. Aku
akan terlihat menyedihkan dengan membawa baju ganti yang sangat
sedikit, air mata dan tas ransel yang berdebu. Keluarganya akan
menertawakanku. Drew mungkin akan menertawakanku juga. Lalu
dia akan meletakkan selembar uang limapuluh dolar di telapak
tanganku dan menurunkanku di terminal bis karena dia akan cepat
menyadari aku memerankan pacar bohongan yang terburuk
disepanjang hidupnya.

"Mungkin." Owen tersenyum jahil. "Aku harap kepergianmu cukup


berharga."

Rasa takut dan cemas menyerangku tiba-tiba, tapi aku menepisnya


cepat. "Pasti. Aku berjanji."

"Bagaimana jika ibu menghilang?" untuk sedetik aku melihat kilasan


sisi dewasa Owen. Anak kecil yang selalu bergantung padaku yang
memperlakukanku seperti ibu baginya sejak ibu kami sangat tidak
bisa diandalkan.

"Dia tidak akan menghilang." Aku sudah berbicara dengannya dan


aku akan berbicara dengannya lagi sebelum aku berangkat. Ibu
membutuhkan pengawasan terus menerus sepanjang waktu. Seakan
aku adalah sang ibu dan dia adalah sang anak. "Aku akan
membuatnya bersumpah untuk pulang setiap malam."

"Sebaiknya begitu. Atau aku akan meneleponmu dan memohon


dirimu untuk pulang." Senyum jahilnya tampak lagi. "Aku mungkin
akan memanggilmu pelacur bangkrut lagi dan kau akan menjadi
sangat marah, sehingga kau akan datang kesini hanya untuk
menendang pantatku."

Cukup. Aku meraihnya, mulai mengkilik-kilik di sisi badannya,


jariku menekan tulang rusuknya, suara tertawanya memenuhi diriku
dengan kebahagiaan. "Hentikan," dia tersengal-sengal diantara gelak
tawanya yang tak terkontrol."Lepaskan aku!"

Aku bisa hampir melupakan betapa kacaunya kehidupan kami dalam


masa lajangku ini, sejenak bertingkah konyol kekanakan.

Hampir.
***

Drew

"Kau akan membawa seseorang ke rumah." Ayahku meletakkan


tangannya menutupi speaker telepon, tapi aku masih bisa
mendengarnya. "Adele, Drew akan membawa seseorang pulang
untuk Thankgiving."

Aku mengerjabkan mataku. Tidak mungkin aku mau ayahku terlalu


banyak omong kepada ibu tiriku, khususnya ketika aku masih dalam
pembicaraan melalui telepon dengannya. Ibu tiriku pasti akan
mengetahuinya juga cepat atau lambat tapi aku berharap dia tahu
belakangan.

"Siapa namanya?" aku mendengar suaranya. Dia terdengar tidak


terlalu suka. Hal itu membuat semua dalam diriku menegang.

"Fable," aku memberitahu ayahku tanpa diminta.

Ayahku terdiam lama, kupikir dia telah menutup sambungan


teleponnya, tapi kemudian aku mendengar Adele berbisik agar aku
tidak bisa mendengarnya."Bagaimana Andy? Siapa namanya?"

Dia terdengar seperti seorang perempuan jahat yang sedang


cemburu. Mungkin saja.

"Itu nama julukannya atau apa?" ayah bertanya padaku.

"Itu nama asli dia." aku tidak memiliki penjelasan mengenai hal itu
juga. Sial, aku hampir tidak tahu apa-apa tentang Fable Maguire. Dia
tinggal dipinggiran kota. Dia berusia duapuluh tahun, dia memiliki
seorang adik laki-laki dan dia bekerja di sebuah bar.

Fable juga memiliki rambut pirang pucat yang indah, mata berwarna
hijau, dan payudara yang indah. Tapi aku tidak akan memberitahu
ayahku hal itu. Aku yakin dia akan memikirkan gambarannya
sendiri.

Nada berisik yang mengganggu terdengar lagi dari sana dan aku tahu
ayah sedang memberitahu Adele tentang nama Fable. Aku
mendengar Adele tertawa. Dia seperti seorang pelacur. Aku
membenci Adele. Ibuku meninggal ketika aku berusia sekitar dua
tahun. Aku tidak ingat ibuku dan aku berharap dapat mengingatnya.
Ayahku mulai berkencan dengan Adele ketika aku berusia delapan
tahun dan menikahinya ketika aku sebelas tahun.

Adele benar-benar menjadi satu-satunya ibu yang pernah kumiliki,


dan aku tidak menghendakinya. Dia mengetahui hal ini juga.

"Baiklah, bawa Fable mungilmu untuk tinggal bersama kita, dia kita
terima dengan tangan terbuka." Ayah berhenti sejenak dan
teganganku mulai naik, takut akan pertanyaan yang mungkin dia
ajukan setelah ini. "Kau bukan orangnya, untuk memiliki pacar
tetap.

"Yang ini berbeda." Tambah seakan bertentangan dengan gadis


manapun yang mereka harapkan menjadi pasanganku. Dalam
pandanganku, ini membuat Fable menjadi yang paling sempurna.

"Kau mencintainya?" Ayah mengecilkan suaranya. "Adele ingin


tahu."

Kemarahan mendidih dalam diriku. Seakan-akan ini menjadi urusan


Adele. "Aku tidak tahu. Apa sih itu cinta?"

"Kau terdengar sangat sinis"

Belajar dari yang terbaik dalam melakukan hal itu kepada seseorang.
Ayahku orang yang tidak begitu ramah. Aku tidak bisa mengingat
saat terakhir kali aku melihatnya mencium atau memeluk Adele. Dia
sudah pasti tidak akan mencium atau memelukku, kecuali aku
mengijinkannya.

"Ya, begitulah, kami memang berkencan beberapa kali, tapi aku


tidak tahu." Aku menggerakkan pundakku, tapi mengingat dia tidak
dapat melihatku, aku merasa seperti seorang yang bodoh.
"Kau tidak pernah menyebutkan nama dia sebelumnya."

"Apa ini? Interogasi?" Aku mulai berkeringat hanya karena aku


sedang berbohong. Aku belum bicara dengan Fable seharian ini dan
sekarang Kamis malam. Kami akan berangkat hari Sabtu sore. Kami
harus bersama-sama dan membuat cerita kami sunguh-sungguh,
walaupun seharusnya, kami akan memiliki cukup waktu selama
empat jam perjalanan hingga semua rincian cerita tertanam kuat
dalam ingatan kami.

Tenggorokanku menjadi kering karena memikirkan akan bersama


Fable yang sendirian di dalam kendaraan trukku selama empat jam.
Apa yang akan kami bicarakan? Aku tidak mengetahui tentang
dirinya dan aku akan membawa dia ke rumah ayahku dan berpura-
pura kami berkencan. Kami harus bertingkah seakan kami adalah
pasangan sungguhan.

Sialan, untuk apa sebenarnya aku mengatur semua ini?

"Aku hanya penasaran. Kita akan mengetahui rincian ceritanya


ketika kalian berdua tiba disini, aku yakin itu. Sabtu malam, kan?"

"Ya." Aku menelan ludah dengan susah payah. "Sabtu malam."

"Kami seharusnya sudah keluar rumah sebelum waktunya ke acara


pesta lainnya di Country Club. Kau masih memiliki kunci rumah?"

"Ya, masih." Sial, aku benar-benar tidak mau kembali pulang.


Sesuatu yang mengerikan pernah terjadi disana. Aku menghindari
tempat itu dengan segala daya upaya untuk sementara ini.
Kami telah menikmati liburan di luar kota beberapa tahun
belakangan ini, merayakan Thanksgiving atau Natal di Hawai
memakai fasilitas akomodasi dari saham *timeshare milik ayah.

Atau aku tinggal di sekolah karena latihan football atau kebohongan


apapun yang bisa kujadikan sebagai alasan yang dapat
menjauhkanku dari mereka lebih lama.

Kehidupan yang keras, aku tahu. Dari luar, keluargaku terlihat


sempurna. Yahh…sesempurnanya sebuah keluarga dengan seorang
ibu yang sudah meninggal dunia dan seorang kakak perempuan yang
juga sudah tiada. Seorang ibu tiri yang brengsek dan seorang ayah
yang acuh tak acuh.

Yaaaa. Benar-benar sempurna.

Ayah memaksaku untuk pulang ke rumah saat Thankgivings, itu


benar-benar menyebalkan. Saat terakhir kali kami berbincang-
bincang, dia memberitahuku bahwa dia sudah lelah dengan kami
semua yang menghindar untuk pulang ke rumah pada saat liburan,
dan kami perlu menciptakan kenangan-kenangan yang baru.

Aku tidak mau membuat kenangan-kenangan apapun. Tidak di


rumah itu. Tidak bersama Adele.

"Sampai jumpa kalau begitu." Aku bisa mendengar ayahku berjalan,


langkah kakinya menimbulkan bunyi yang menggema di lantai
keramik, seakan-akan dia sedang keluar dari jangkauan pendengaran
Adele."Thankgiving tahun ini akan indah, nak. Kau akan melihatnya
nanti. Cuaca kali ini diperkirakan bagus dan ibumu kelihatannya
sudah jauh lebih sehat."
"Dia bukan ibuku," kataku dengan gigi yang menggeretak.

"Apa?"

"Adele itu bukan ibuku."

"Dia adalah satu-satunya ibu yang benar-benar pernah kau miliki."


Bagus. Sekarang ayah tersinggung. "Mengapa kau tidak terima saja
dirinya? Ya Tuhan, dia telah menjadi bagian dalam kehidupanmu
dari dulu."

Bagian yang ter-sial dalam hidupku, tidak, hanya sampai aku bisa
mengungkapkan hal itu kepada ayahku. Jika dulu dia tidak
memahami semuanya, maka, dia sudah pasti tidak bisa
membayangkan hal itu sekarang.

"Aku tidak suka betapa mudahnya kau melupakan ibu kandungku.


Aku malah tidak mau melupakannya." Kataku dengan suara keras.

Dia masih tetap diam untuk sesaat dan aku menatap keluar jendela
tapi tidak terlihat apapun juga. Disana gelap, gerimis dan angin
seperti biasanya mendera dahan tak berdaun di pepohonan yang
memenuhi halaman terbuka lingkungan sekitar apartemen tempat
tinggalku, bolak-balik. Aku bisa melihat dahan-dahan itu diayun-
ayun dalam kegelapan.

Orang-orang pikir hidupku itu sungguh luar biasa. Padahal sama


sekali tidak.Aku belajar dengan keras dan bermain lebih keras lagi
karena hal itu membantuku untuk melupakan. Aku memiliki banyak
teman, tetapi bukan teman yang sesungguhnya. Kebanyakan dari
waktuku, aku sendirian. Seperti saat ini. Aku sedang duduk di
kamarku dalam kegelapan. Berbincang dengan ayahku dan berharap
setengah mati aku sudah mampu untuk memberi tahu dia mengenai
kebenaran itu.

Tapi aku tidak bisa. Aku terjebak. Aku butuh sebuah penyangga yang
membantuku melewati apapun dalam menyelesaikan satu dari
minggu-minggu terburuk dalam hidupku. Terima kasih Tuhan atas
Fable. Dia tidak tahu sama sekali berapa banyak dia membantuku.

Bisa jadi dia tidak akan pernah mengetahuinya.


***

*Timeshare/Exchange Timeshare adalah bursa saham kepemilikan


sarana dan prasarana untuk berlibur sekeluarga secara berkala, ke
suatu tempat yang sudah disepakati.

Bab 3

Hari Perjalanan (Tak dihitung)

"Di belakangnya hanya ada perjalanan yang sia-sia."— Unknown

Fable

Truknya cukup bagus. Seperti, kendaraan paling mutakhir yang


pernah aku naiki. Dan dia juga kelihatan keren mengendarainya,
sekalipuna aku benci harus mengakui hal itu, bahkan pada diri
sendiri. Tapi, Toyota Tacoma biru gelap itu cocok sekali dengannya.

Segala tentang Drew itu sempurna. Cara dia berpakaian—


bokongnya kelihatan hebat dengan jins itu dan aku bahkan tak perlu
menyinggung bagaimana T-shirt hitam yang dikenakannya sekarang
ini melekat dengan setiap otot dadanya. Bagaimana dia bersikap—
selalu sopan, selalu melihat mataku dan tidak berkomentar kurang
ajar tentang payudaraku atau bokongku. Dan suaranya itu—dalam
dan seksi, jenis suara yang tidak akan membuatku keberatan
mendengarkannya seharian. Dia benar-benar sempurna.

Dia menghubungiku kemarin sebelum aku berangkat kerja untuk


membahas beberapa hal sepele. Jam berapa dia akan menjemputku,
bagaimana kami harus mengarang cerita sepanjang perjalanan
menuju rumah orangtuanya.

Kemudian aku menanyakan hal itu. Uangnya. Bagaimana aku akan


mendapatkan bayaran? Aku benar-benar merasa seperti jalang,
mempertanyakan hal sepele seperti itu, tapi aku harus
melakukannya. Aku ingin cek itu sebelum aku meninggalkan kota
jadi aku bisa meninggalkan sejumlah uang untuk Owen jika dalam
keadaan darurat.

Jadi aku bertemu dengan Drew di bank lima belas menit sebelum
tutup, dan sebelum aku menuju bar. Kami berbincang beberapa
menit kemudian, tidak ada yang penting, dan kemudia dia
memberiku sebuah cek. Dia benar-benar acuh tak acuh melakukan
hal tersebut, seolah dia terbiasa memberikan seorang gadis cek tiga
ribu dolar setiap harinya.

Ceknya ditulis atas nama akun pribadinya. Dia menandatangani


sendiri. Tulisannya seperti cakar ayam. Aku tidak bisa membaca
dengan jelas tanda tangannya. Dan namanya adalah Andrew D.
Callahan.

Ketika aku masuk ke bank seorang diri dan menuju ke Teller, aku
penasaran apa kepanjangan D itu.
Sekarang, aku tengah duduk di truk milik Andrew D. Callahan,
mesinnya mendengkur dengan lembut dan bukannya terbatuk dan
tersedak seolah bisa mati kapan saja seperti Honda ’91 menakutkan
milik ibuku. Aku memberitahu ibuku cerita tentang pengasuh
seperti yang kukatakan pada Owen. Aku juga bilang begitu pada
bosku di La Selle. Mengingat kepergianku pas pada saat bisnis
sedang sepi, bosku tak keberatan dengan itu. Dia tahu keadaan
keuangan kami dan dia bahagia aku menemukan pekerjaan dengan
upah yang tinggi.

Ibuku sulit sekali mengiyakan ketika aku bilang akan pergi.

Aku benar-benar tidak tahu apa yang telah kulakukan hingga


membuatnya sangat membenciku. Well. Benci adalah kata yang
kuat. Itu berarti dia merasakan sesuatu terhadapku. Dia benar-benar
masa bodoh terhadapku, seolah aku tak berarti apa-apa baginya.
Sama sekali.

"Empat jam ya?" suaraku memecah kesunyian mengejutkannya. Aku


bisa melihatnya melompat di kursinya. Pemain sepakbola yang nakal
takut padaku?

Aneh.

"Yah, empat jam." Dia memukulkan jemarinya di setir, membuatku


tertarik melihatnya. Jemarinya penjang, kukunya pendek dan tak ada
kotoran di dalamnya. Kuat, tangan yang bersih dengan telapak yang
lebar. Kelihatannya…bagus.

Cemberut, aku menggelengkan kepalaku. Aku memikirkan sesuatu


yang bodoh ketika seharusnya aku berpikiran jernih.
"Aku tak pernah ke Carmel sebelumnya." Aku mencoba memulai
percakapan karena memikirkan akan menghabiskan perjalanan yang
panjang tanpa mengobrol membuatku takut.

"Disana indah. Mahal." Dia mengangkat bahunya, mengalihkan


perhatianku ke sana. Dia mengenakan kemeja berwana biru dan abu-
abu gelap di luar T-shirt hitamnya dan dia kelihatan tampan
mengenakan pakaian itu.

Tuhan. Aku memutar kepalaku, memaksa mataku memandang


jendela dan pemandangan jalan berlalu begitu saja. Aku harus
berhenti memandangnya. Dia benar-benar menggangguku.

"Jadi, seharusnya kita punya semacam kisahkan? Aku mencuri


pandang ke arahnya tanpa bisa menahan diri. Dengan
keberuntunganku, perjalanan selama empat jam ini akan terbang
begitu saja dan hal selanjutnya yang aku tahu adalah, aku akan
bertemu muka dengan orang tuanya yang terhormat dan aku tak akan
tahu apa yang harus kukatakan.

Dengan kata lain, aku membutuhkan lebih banyak waktu agar aku
bisa menghapal keseluruhan cerita tentang aku dan Drew hingga
kami bisa terlihat selayaknya pasangan sebenarnya.

"Yah, sebuah cerita seharusnya diperlukan." Dia mengangguk,


matanya tak pernah meninggalkan jalanan.

Yang mana itu adalah hal bagus, aku berkata pada diri sendiri. Dia
adalah pengemudi yang aman, waspada terhadap segala sesuatu di
sekitarnya.
Tapi, sebenarnya aku sungguh berharap dia memandangku.
Memberiku senyuman untuk menenangkanku. Sialan, bahkan
ucapan ‘Semua-akan-baik-baik-saja’ yang palsu sekalipun akan
membuatku bahagia sekarang ini.

Tapi aku tak mendapatkannya. Tidak juga ucapan terima kasih.

Palsu.

"Well." Aku berdehem, karena aku merasa seolah-olah aku sudah tak
sabar untuk terjun dan berenang sementara dia masih ingin berlama-
lama di pantai. "Berapa lama sudah kita berkencan?"

"Sejak kuliah dimulai kedengarannya bagus, menurutku."

Sikap acuh tak acuhnya membuatku ingin menelannya. "Jadi sudah


enam bulan kan?" Aku mengetesnya dengan mengatakan hal itu.
Dan berhasil.

Dia melemparkan pandangan yang meragukan. "Tiga."

"Oh." Aku mengangguk. "Benar. Well, seolah aku akan tahu


terutama aku tak sekolah lagi sekarang." Jawaban terbodoh yang
pernah kukatakan. Semua orang tahu kapan kuliah dimulai.

"Lalu kenapa kau tak kuliah?"

Aku tak pernah menyangka dia akan menanyakannya. Kelihatannya


dia benar-benar tak peduli. "Aku tak punya biaya dan tak cukup
pintar untuk mendapatkan beasiswa."

Seolah aku akan membuang waktuku untuk sekolah sekarang ini.


Aku bekerja sebanyak yang ku mampu kerjakan. Dulu aku punya
pekerjaan tetap, tapi aku berhenti sekitar setahun yang lalu. Aku
bekerja berjam-jam menjadi pelayan di La Selle dan sebuah restoran
masakan Meksiko kecil yang tak jauh dari apartemenku tapi
pekerjaan itu hanya pekerjaan sementara. Mereka menghubungiku
hanya ketika mereka kekurangan pelayan.

Uang yang kini ada di rekeningku, berkat Drew, akan mengurangi


beban pekerjaanku setidaknya untuk sedikit lebih lama. Aku tak
menaruhnya di rekening yang kugunakan bersama ibuku karena aku
tahu ketika dia menyadari betapa banyak uang disana dia akan
langsung menghamburkannya.

Aku tak bisa main-main dengan hal itu.

"Bagaimana kita bertemu?" suara Drew yang dalam memutuskan


khayalanku. Aku berharap dia akan berinisiatif dan mengarang cerita
tentang hal ini.

"Di bar." Saranku, karena aku tahu itu kedengarannya menjijikan


dan aku menduga satu-satunya alasannya membawaku pulang ke
rumah karena dia ingin kelihatan urakan di tengah keluarganya yang
sombong. "Kau bersama teman-temanmu datang dan itu adalah cinta
pada pandangan pertama ketika kita berdua berpandangan."

Dia memberiku pandangan mencela dan aku membalasnya dengan


senyuman. Jika aku diperbolehkan mengarang sendiri cerita ini,
maka aku akan membuat cerita yang paling bodoh dan paling
romantis yang pernah ada.

Tak ada ruang untuk percintaan dalam hidupku. Sangat bodoh,


ketika aku membiarkan cowok-cowok itu mempermainkanku,
karena ketika mereka melakukannya, satu momen itu, ketika dia
memfokuskan perhatiannya hanya kepadaku dan bukannya kepada
orang lain, rasanya sangat menyenangkan. Itu membuatku
melupakan bahwa tak ada yang benar-benar peduli kepadaku.

Tapi ketika segalanya selesai, ketika aku keluar dari pikiranku yang
berkabut, aku merasa murahan. Kotor. Semua kisah klise yang kau
baca di buku atau kau tonton di TV, itulah aku. Aku adalah kisah
klise Berjalan.

Aku juga adalah pelacur kota yang tak sekotor yang dipikirkan orang
—lagi-lagi, Klise. Dan tentu saja aku bukanlah tipe wanita yang
akan kau bawa pulang ke rumah untuk membuat ibumu terkesan.
Tak ada yang istimewa tentangku.

Dan sekarang Drew membawaku pulang untuk membuat ibunya


terkesan. Atau untuk lebih jelasnya, membuat ibunya ketakutan. Aku
yakin, aku adalah mimpi buruk semua Jalang Kaya (Ok, sekarang
aku terdengar seperti Owen, dari Jalang Miskin menjadi Jalang
Kaya) yang menjadi kenyataan. Pada saat mata ibunya
memandangku, dia akan langsung menoleh.

"Aku menduga kau membawaku pulang untuk membuat ibumu


berhenti mengoceh, kan?" aku butuh konfirmasi. Itu satu hal yang
bisa kupikirkan dan kuterima. Aku harus mengetahui faktanya dan
bisa mempertimbangkan dampak nantinya. Seperti bagaimana nanti
hal ini akan membuatku pusing meskipun aku benar-benar
membutuhkan uangnya.

Rahangnya mengatup dan bibirnya menipis dalam satu garis, garis


suram. "Ibuku telah meninggal."
Oh. "Aku turut berduka." Aku merasa menjadi orang brengsek.

"Kau kan tak mengetahuinya. Dia meninggal ketika aku dua tahun."
Dia mengangkat bahunya. "Aku tahu ayahku akan menyukaimu."

Caranya mengucapkannya membuatku takut. Seolah ayahnya adalah


orang aneh dan itulah sebabnya dia akan menyukaiku.

"Jadi hanya kau dan ayahmu?"

"Tidak. Ada Adele." Bibirnya tiba-tiba menghilang ketika


mengucapkan nama itu. Dan dia memiliki bibir yang penuh, jadi aku
penasaran kemana bibirnya menghilang. "Dia ibu tiriku."

"Jadi, kau ingin membuat ibu tirimu takut."

"Aku tak peduli dengan yang dipikirkannya."

Kemarahan yang terdengar benar-benar nyata. Ada sesuatu yang


terjadi antara Drew dan ibu tirinya yang pastinya bukan sesuatu yang
bagus.

Aku mengabaikan komentar terakhirnya tentang penyihir wanita


menakutkan bernama Adele, aku bertanya lagi."Punya saudara laki-
laki atau perempuan?"

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak punya."

Oh. Kemampuan berkomunikasinya yang kurang pasti akan jadi


masalah terutama ketika aku akan bergantung sepenuhnya
kepadanya satu minggu ke depan. "Aku punya satu saudara laki-
laki."
"Berapa usianya?"

"Tiga belas." Aku mendesah. "Owen kelas delapan sekarang. Dia


terlibat dalam banyak masalah."

"Masa usia segitu memang sulit. Masa SMP memang menyebalkan."

"Apa kau juga terlibat masalah ketika berusia tiga belas tahun?" Aku
tak bisa membayangkan hal tersebut.

Dia tertawa, menegaskan kecurigaanku itu dan aku berdebar. "Aku


tak diperbolehkan."

"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan kening. Jawabannya tak masuk


akal.

"Ayahku akan menendang bokongku jika aku melewati batas." Dia


mengangkat bahu lagi. Dia seringkali melakukan hal itu, tapi aku
menyukainya karena hal itu mengingatkanku kalau dia punya bahu
lebar yang gagah itu. Jika aku cukup beruntung, aku akan bisa
menyentuhnya selama hubungan pura-pura kami selama tujuh hari
ke depan. Aku juga akan menyandarkan kepalaku di bahunya.
Menekankan dadaku pada bahan lembut kausnya dan menghirup
aromanya secara diam-diam. Dia harum, tapi aku ingin sekali
mendekat padanya dan benar-benar menghirupnya.

Aku benar-benar hampir dikuasai kebodohan selama sedetik dalam


sikap sinisku, tak ada ruang untuk cerita dongeng, tapi aku siap
membuatnya terjadi. Bagaimanapun, aku harus jadi aktris paling
hebat di planet ini, kan?
"Bukankah itu yang dikatakan semua ayah ketika anak-anak mereka
melewati batas?" aku bertanya.

"Ya, tapi ayahku serius. Disamping itu, lebih mudah melakukan apa
yang seharusnya kulakukan dan tidak mendapatkan masalah. Aku
kehilangan diriku jika aku berbuat ceroboh, kau tahu?"

"Dan apa yang seharusnya kau lakukan?" aku menambahkan kutipan


yang biasa dikatakan para mahasiswi menjengkelkan yang datang ke
La Selle. Aku benar-benar benci cewek-cewek itu dan benci cara
mereka mengibaskan rambut mereka dan tertawa terlalu keras dan
mengatakan hal-hal bodoh. Mereka benar-benar mengepakkan—
secara harfiah—bulu mata palsu mereka ke arah para cowok dan
semuanya. Itu menyedihkan, mereka benar-benar jalang yang butuh
perhatian.

Tuhan, terdengar sangat getir bahkan ketika aku mengucapkannya di


dalam kepalaku.

"Masuk kelas, belajar dan mendapatkan peringkat bagus. Latihan


sepakbola, menjaga bentuk tubuh, menunjukkan kemampuan
terbaikku dan berharap sepenuh hati membuat para penonton di luar
sana terkesan." Dia mengucapkan hal-hal tersebut seolah membaca
semacam daftar, suaranya terdengar monoton dan bosan.

"Dan gangguan macam apa yang coba kau hindari?"

"Berpesta, minuman, cewek." Dia menatapku lagi, tatapannya


melembut. Amarahnya sudah lenyap.

"Aku tak suka kehilangan kontrol."


"Aku juga," bisikku.

Dia tersenyum padaku dan senyumnya seperti belati di kelembutan


hatiku. "Sepertinya kita akan jadi pasangan yang hebat."
***

Drew

Ketika aku mengucapkannya, aku benar-benar berharap aku bisa


menariknya kembali. Kami benar-benar bukan pasangan yang hebat.
Dia adalah jenis wanita paling buruk untukku dan aku
mengetahuinya. Itu adalah alasan kenapa aku membawanya pulang.
Jadi ayahku akan berpikir kalau aku telah mendapatkan penggemar
sepakbola seksi yang akan melayaniku kapanpun aku
menginginkannya dan Adele akhirnya akan membiarkanku sendiri.

Fable benar-benar seperti penggemar sepakbola seharusnya dia telah


melayani separuh anggota tim musim ini sendirian, walaupun aku
tak tahu seberapa akurat rumor tersebut. Begitulah pertama kali aku
menyadari keberadaannya. Cowok-cowok dari tim ramai-ramai
membicarakannya ketika kami sedang di La Selle suatu malam tepat
ketika semester ini mulai. Ketika dia mencatat pesanan dari meja
kami, mereka membandingkan pengalaman mereka dan membual
betapa dia hebat di ranjang. Salah satu dari merka bahkan mencubit
pantatnya ketika dia berjalan, dan mendapatkan pandangan mencela
darinya yang membuat cowok-cowok itu terbahak.

Reputasinya—dan reaksinya yang tak menyangkal—adalah petunjuk


pertamaku bahwa dia mungkin bisa jadi pacar palsu yang sempurna.
Aku tak akan memilih cewek-cewek yang berkeliaran di ruang ganti
setelah latihan atau pertandingan. Sebenarnya aku tak pernah
bersama dengan siapapun. Lebih mudah begitu. Kau memberikan
mereka sebagian kecil dirimu dan mereka akan menginginkan lebih
dan lebih lagi. Sesuatu yang tak akan bisa kuberikan kepada mereka.
Aku berusaha bertahan dalam hidupku. Aku seperti mesin kadang-
kadang.

Tak merasa. Tak peduli. Tak punya emosi.

Ayahku menghawatirkan aku. Aku tahu dia berpikir aku ini cengeng
yang tak bisa dilepaskan sendiri dan itu mengganggu pikirannya. Dia
mengkonfrontirku dengan pertanyaan tak masuk akal yaitu apakah
aku homo atau bukan.

Pertanyaan yang tak tahu datangnya dari mana dan membuatku


sangat terguncang, akupun mulai tertawa karenanya. Hal itu makin
membuatnya marah dan walaupun aku menyangkalnya, aku tahu dia
tak benar-benar percaya padaku.

Aku benar-benar berharap, dengan menunjukkan Fable bersama-


sama denganku akan mengakhiri kekhawatirannya itu.

Sialan. Aku tahu aku brengsek karena melakukan hal itu, berpikir
begitu. Menggunakan Fable dengan cara menjijikan semacam itu,
tapi itu bukanlah satu-satunya alasannya ikut bersamaku sekarang.
Bukannya aku bisa mengatakan yang sebenarnya kepadanya, tapi
bagaimana jika aku mengatakannya? Dia mungkin akan mengerti.
Dia terlihat seperti jenis wanita yang akan bisa mengerti. Seseorang
yang mungkin juga mengalami omong kosong seperti yang terjadi
padaku.

Apa yang harus kami bicarakan adalah bicara tentang bagaimana


seharusnya hubungan kami ini. Aku harus berhenti berpikir tentang
ketakutanku pulang ke rumah dan menanyakan lebih banyak
pertanyaan kepadanya. "Kau hanya punya saudara laki-lakimu kalau
begitu?"

"Ya, hanya aku dan Owen. Dan ibuku." Suaranya mengeras. Aku
menduga dia tak begitu menyukai ibunya.

Sama sepertiku.

"Kau tak akur dengan ibumu?"

"Dia jarang di rumah untuk bisa akur dengan siapapun. Aku selalu
bekerja dan dia bisanya cuma menghabiskan waktu bersama pacar
barunya." Kepahitan dalam suaranya terdengar jelas. Tak ada cinta di
antara mereka berdua.

"Dan ayahmu?"

"Aku tak mengenalnya. Dia tak pernah menjadi bagian dari


hidupku."

"Tapi jika Owen baru berusia tiga belas…" aku kebingungan.

"Orang yang berbeda. Yang juga tak bertahan lama." Fable


menggelengkan kepalanya. "Ibuku tahu cara menendang mereka
semua."

Aku tak tahu harus berkata apa. Sebenarnya aku tak nyaman
membicarakan hal pribadi seperti ini. Aku punya teman, tapi ada dari
mereka yang benar-benar dekat. Teman mainku adalah teman se-
timku di sepakbola dan kami hanya membicarakan masalah
sepakbola dan olahraga lain dan omong kosong lainnya. Terkadang
kami membicarakan masalah wanita. Aku hanya duduk dan
mendengarkan mereka bercerita dan tertawa pada apapun yang
mereka katakan. Aku tak benar-benar bergabung dengan mereka.
Aku tak punya sesuatu yang bisa kuceritakan.

Di sinilah masalahnya. Aku bisa mendapatkan gadis manapun yang


kuinginkan. Aku tahu ini. Ya, aku memang arogan dengan berpikir
seperti ini, tapi itu benar. Aku tampan, aku pintar dan aku pemain
sepakbola yang hebat. Gadis-gadis itu bahkan lebih menginginkanku
karena aku tak pernah memperdulikan mereka.

Mereka semua menginginkan sesuatu. Sesuatu yang tak bisa


kuberikan. Setidaknya bersama Fable, aku sudah mengatakan sejak
awal apa yang kubutuhkan darinya dan aku memberikan kompensasi
yang layak kepadanya. Dan dia tak menginginkan hal yang lain
dariku.

Lebih mudah begini. Lebih aman.

"Aku boleh bertanya sesuatu?" Dia menarikku dari pikiranku dengan


suaranya yang lembut. Dia kelihatan tangguh sekali, dengan hiasan
matanya yang tebal dan pakaian berwarna gelapnya, dan rambut
pirang metaliknya. Tapi dia memiliki suara paling merdu yang
pernah kudengar.

"Tentu saja." Aku membuka diskusi yang mungkin akan jadi


bencana ini. Aku bisa merasakannya.

"Kenapa aku?"

"Hah?" aku berlagak bodoh. Aku tahu apa maksudnya.

"Kenapa kau memilih aku untuk jadi pacar palsumu? Aku tahu aku
bukan pilihan ideal. Jujur saja sekarang."

Dia pasti pembaca pikiran. "Aku tahu kau tak akan memberiku
masalah."

"Apa maksudmu?"

Aku tahu aku akan mengacaukan hal ini, aku bisa merasakannya
hingga ke tulang belulangku. "Gadis lain tak akan mau hanya
menjadi pacar pura-pura. Dia akan benar-benar ingin berhubungan
denganku, kau tahu? Dan aku tahu kau tak akan begitu."

"Bagaimana kau bisa yakin begitu? Kau tak mengenalku?"

"Aku melihatmu ketika di La Selle." Alasan yang lemah.

"Tentu saja. Kebanyakan pria datang ke La Selle. Begitupun teman-


teman se-timmu juga kesana, dan nongkrong disana sepanjang
waktu. Aku juga pernah berhubungan dengan beberapa dari mereka."
Dia menyilangkan lengannya di dadanya dan menekan peyudaranya
jadi aku bisa melihat sekilas kulitnya yang lembut yang siap tumpah
dari atasannya yang berpotongan rendah. Aku tak biasanya tergiur
dengan cewek, tapi ada sesuatu dari gadis yang satu ini yang
membuatku ingin melihatnya telanjang. "Aku tak akan berhubungan
seks denganmu."

Dia bersikap menantang dan aku merasa menyukainya. Apa yang


terjadi denganku? "Aku tak ingin berhubungan seks denganmu.
Itulah mengapa aku menyewamu."

"Menyewaku." Dia mendengus, seolah dia tak peduli bagaimana


kedengarannya atau penampilannya ketika melakukan hal tersebut,
dan mau tak mau aku memujinya. "Kau membuatnya terdengar
seolah itu adalah pekerjaan yang tepat ketika aku menjadi pacar-
garismiring-pelacur bayaranmu. Ngomong-ngomong darimana kau
mendapatkan uang sebanyak itu?"

"Itu uangku, jangan khawatir." Aku punya uang yang kusimpan atas
namaku sendiri. Ayahku bekerja di bidang keuangan dan
menghasikan banyak uang sepanjang karirnya. Dia amat murah hati,
terutama ketika sekarang aku adalah anak satu-satunya. "Dan jangan
menyebut dirimu pelacur. Kau bukan pelacur." Aku tak ingin dia
merasa demikian, bahkan jika apa yang telah dilakukannya dengan
pria lain mungkin menunjukkan bahwa dia pantas disebut pelacur,
seks adalah hal terjauh yang ada dipikiranku ketika berkaitan
dengannya.

Atau setidaknya. Itu yang tadinya kupikirkan. Kalau sekarang…


sialan, aku tak yakin.

Dia membuatku bingung. Apa yang kupikirkan, apa yang kurasakan


ketika berada di sekitarnya, membingungkanku. Dan aku bahkan tak
mengenalnya. Aku benar-benar kehilangan pikiranku dan aku tak
tahu bagaimana menghentikannya.

"Tidak akan ada seks," dia mengatakannya lagi. Hampir seperti dia
mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama sepertiku. "Tak juga oral
seks."

"Aku juga tak mengharapkan hal-hal itu." Itu kebenarannya—


setidaknya, itu yang kukatakan pada diri sendiri. Dia benar-benar
seksi, tak dapat disangkal, tapi seks hanya akan mendatangkan
masalah. Aku tak akan terlibat dengan gadis yang punya reputasi
sebagai wanita murahan dan hanya dengan anggukan—secara
harfiah—dia akan bersedia melakukannya dan menghubungiku
minggu berikutnya. Tak penting.

Benar kan?

"Tapi kita harus bertingkah seolah kita pacaran," aku


mengingatkannya. "Kita harus terlihat seolah kita saling…
mencintai." Sangat sulit mengucapkan kata terakhir. Aku tak benar-
benar menggunakan kata itu. Ayahku tak pernah mengatakan dia
mencintaiku. Adele pernah mengatakannya. Tapi cintanya tercemar
kondisi menjijikan. Aku tak ingin memikirkannya.

Sialan, aku tak bisa memikirkannya, atau aku akan meledak.

"Aku bisa melakukan itu," Fable menjawab dengan enteng.

Semua menjadi jelas sekarang. Aku memang bodoh. "Aku akan


memegang tanganmu dan melingkarkan tanganku di tubuhmu.
Memelukmu."Aku tak pernah membayangkan hal itu.

"Bukan masalah besar." Dia mengangkat bahunya.

"Aku mungkin akan menciummu juga." Ya, aku juga tak pernah
membayangkan hal itu.

Dia terang-terangan memandangku, tatapannya jatuh di bibirku.


Apakah dia sedang membayangkan menciumku? "Aku pikir itu
bukan sesuatu yang sulit. Apa kau bisa melakukannya?"

"Tentu saja, aku bisa." Aku terdengar lebih percaya diri daripada
yang sebenarnya kurasakan.
"Jika menurutmu begitu." Dia meringkuk seolah ingin tenggelam di
tempat duduknya.

Sialan, aku tahu dia benar menilaiku. Hal itu akan membuatku panik.

Dan aku makin panik ketika sepertinya hal itu tak begitu
menggangguku.
***

Bab 4
Malam sebelumnya (Tak dihitung)

"Aku ingin percaya cerita dongeng."—Fable Maguire.

Drew

Begitu aku mengendarai trukku menuruni jalanan berliku, rumah itu


mulai terlihat, dengan setiap jendela menyala terang. Ada begitu
banyak jendela, rumah itu luar biasa besar, dan membuat kesan yang
luar biasa. Kekhawatiran membantingku dan aku penasaran apakah
mereka ada di rumah.

Aku berharap bisa menghindari mereka hingga pagi.

Ketegangan juga jelas-jelas menyelimuti Fable. Kenyataan


menamparnya, ku duga. Aku juga mengalaminya. Bahwa aku akan
ke rumah itu dan menghadapi iblisku. Benar-benar dramatis dan aku
tahu aku terdengar seperti perempuan, tapi sialan. Itu adalah
kenyataannya.

"Rumahmu besar sekali," dia bergumam.


"Ya." Aku membenci rumah itu. Kehilangan saudariku..momen
paling mengerikan di dunia itu terjadi dalam kehidupanku dan terjadi
di sini. Walaupun dia meninggal sudah sekitar dua tahun yang lalu,
masih terasa seolah kejadiannya baru kemarin.

Jauh di lubuk hatiku, aku tahu kematiannya sebagian besar karena


kesalahanku. Dan kesalahan Adele. Itu adalah salah satu dari banyak
alasan kenapa aku tak mau berada di sini.

"Dan rumahmu tepat berada di pinggir laut." Fable terdengar sayu.


"Aku suka lautan. Aku jarang pergi ke laut."

"Ada tangga di bagian belakang teras kami yang akan membawamu


langsung ke pantai." Kataku mencoba memberinya sesuatu yang bisa
dikerjakannya nanti.

Senyumnya yang selintas entah bagaimana membuatku melayang,


tapi tak terlalu.

Ini tak akan menjadi kunjungan yang nyaman. Aku hanya


membodohi diri sendiri, berpikir Fable akaan membuatnya mudah.
Kehadirannya mungkin akan sedikit mengurangi stress yang
kurasakan, tapi tetap masih ada ketegangan dan amarah dan
kesedihan, begitu banyak emosi terkekang di dalam rumah ini,
selama bertahun-tahun. Ketika kami pergi nanti, dia pasti akan
berpikir kalau aku benar-benar gila.

Apakah dia akan bercerita tentangku pada orang lain? Aku bahkan
tak memikirkan hal itu. Sekali lagi itu membuktikan bahwa aku tak
memikirkan rencana ini matang-matang. Hal ini hanya akan
menyakitiku ketika semua berakhir nanti. Aku bisa merasakannya.
Aku tak boeh percaya pada siapapun.

Tak seorangpun. Dan tentu saja tidak boleh percaya pada cewek
yang sedang duduk di sampingku ini, dia mengunyah jari
telunjuknya seolah ingin menelannya beserta dengan tulangnya. Dia
gugup, tapi yang di rasakannya tak sebanding dengan yang
kurasakan.

Telapak tanganku berkeringat dan aku merasa akan muntah. Lebih


baik bertemu dengan orangtuaku ketika beribur daripada
menghadapi kenyataan yang terjadi di rumah kami. Itu adalah semua
hal yang kurasakan setiap kali pulang ke rumah dan terakhir kali aku
berada di rumah ini adalah tepat dua tahun lalu.

"Kau baik-baik saja?" suara Fable memecah keheningan dan


suaranya penuh dengan perhatian. "Kau bernafas dengan lucu."

Hebat. "Aku baik-baik saja," aku menjawabnya sembari menghela


nafas, putus asa mencoba menguatkan diriku.

Aku memarkir trukku lebih dekat ke garasi yang tertutup dan


mematikan mesin, membiarkan keheningan menyelimutiku sejenak.
Aku bahkan bisa mendengar nafas Fable yang lembut, bunyi lembut
mesin dan wangi parfumnya, samponya, apapun itu memenuhi
udara. Cerah, manis, seperti wangi vanila atau cokelat, aku tak
yakin, tapi tak sesuai dengan pesona gadis tangguh yang sedang
ditampilkannya ini.

Dia benar-benar penuh dengan kontradiksi dan aku ingin sekali


mengenalnya lebih jauh.

"Dengar. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku punya perasaan
kalau ini akan sulit bagimu. Apakah aku betul?" Dia menempatkan
tangannya di tanganku di atas setir, sentuhan lembut jemarinya di
buku jariku. Aku mencoba menepiskan pegangannya tapi dia tak
bergeming. Aku terguncang dia mencoba mencari tahu dan
meyakinkan aku.

Mengangguk, aku menelan dengan susah payah, mencoba


mengucapkan kata-kata tapi tak ada yang keluar.

"Aku juga punya keluarga yang hancur." Suaranya yang pelan


merasuk ke dalam hatiku dan serta merta menenangkan
keteganganku. Dia menerimaku dengan mudahnya dan itu tak
kuduga sebelumnya.

"Bukankah semua orang begitu?" Aku mencoba bercanda, tapi


sepanjang waktu aku berpikir hanya aku yang tenggelam dalam
penderitaan. Tak ada keluarga yang separah keluargaku.

"Menurutku tak begitu. Sialan, aku tak yakin." Dia tersenyum dan
senyumnya menenangkan hatiku ketika aku melihatnya.
"Hanya..jangan lupa untuk bernafas, OK? Aku tahu kau tak ingin
memberitahuku ada apa denganmu, atau kenapa kau begitu
membenci keluargamu, tapi aku bisa mengerti. Aku benar-benar
memahaminya dan jika kau ingin menjauh dari mereka, bahkan jika
hanya selama lima menit, aku akan membantumu. Kita harus punya
sebuah kata kode atau semacamnya."

Aku mengerutkan kening. "Kata kode?"

"Ya." Dia mengangguk dan matanya bersinar seolah dia serius


tentang ini. "Contohnya, ayahmu menjadi menyebalkan, bertanya
tentang apa yang ingin kau lakukan dalam hidupmu, dan kau tak bisa
menerimanya lebih lama lagi. Ucapkan saja Marshmallow dan aku
akan menginterupsinya dan menarikmu keuar dari sana."

Aku tersenyum dengan enggan. "Marshmallow?"

"Benar-benar kata acak kan? Dan juga tak ada arti apa-apa. Itu yang
membuatnya lebih baik." Senyumannya mengembang, begitupun
dengan senyumanku.

"Bagaimana jika kau sedang tidak bersamaku?" Aku punya perasaan


aku tak akan membiarkannya menjauh dari pandanganku, tapi aku
tahu itu mustahil.

"Kirim pesan bertuliskan Marshmallow. Dimanapun aku berada, aku


akan berlari mendatangimu."

"Kau benar-benar akan melakukan hal itu?"

Matanya menatap mataku, keduanya berpijar, amat sangat terang.


Dan indah. Sialan, dia benar-benar cantik. Kenapa aku tak
menyadarinya sebelumnya? Aku tertarik kepadanya, padahal aku tak
pernah tertarik kepada siapapun. "Kau telah menyewaku, dan aku
benar-benar senang melakukan pekerjaan ini."

Kehangatan yang kurasakan sirna seolah aku disiram seember air


dingin ketika mendengarnya mengucapkan kalimat itu. Sebuah
pengingat yang kejam tentang yang tengah kami lakukan ini,
hubungan palsu yang kami jalani tak lebih dari sebuah pekerjaan
baginya. "Kau benar."

Bodohnya aku. Aku tadinya berharap dia akan menyelamatkanku


karena dia memang ingin melakukannya.
***

Fable

Rumah itu seluas museum dan juga sama dinginnya dengan


museum. Rumahnya indah, sunyi dan sempurna, dan benar-benar
lengang dan terus terang saja, membuatku takut setengah mati. Pintu
menutup di belakang kami dengan ketegasan yang mengirimkan rasa
beku ke tulang belakangku dan aku mengikuti Drew menuju ke
sebuah aula luas yang dipenuhi oleh bermacam-macam foto keluarga
yang bisa kupelajari nanti. Aku mendengar suara-suara yang berasal
dari sebuah ruangan yang berada di ujung aula itu dan kami
memasukinya. Ruangan keluarga yang luar biasa luas yang
keseluruhan dindingnya adalah jendela dan langsung mengarah ke
lautan. Aku bisa melihat ombak berbuih putih melalui kaca jendela,
dan itu adalah pemandangan paling luar biasa yang pernah kulihat.

Drew bahkan tak menyadari hal itu. Dia terlalu fokus kepada dua
orang yang tengah duduk di sofa, keduanya mengenakan kain
beludru mewah berwarna cokelat tua untuk membungkus tubuhnya
yang tinggi dan langsing itu, keduanya menyambut kami dengan
langkah cepat.

Aku merasakan tegang di perutku dan tanganku digenggam secara


tiba-tiba oleh Drew, jemari kami bertautan. Pertunjukan kasih sayang
itu sejanak membuatku terkejut, namun kemudian aku
mengingatnya.

Aku adalah pacarnya. Aku memainkan peran itu dan begitupun


dengannya dan kami melakukannya untuk kedua orang yang tengah
berdiri di hadapan kami dengan pandangan penuh ekspetasi di wajah
keduanya.
"Andrew, aku senang sekali melihatmu lagi. Kau terlihat begitu
lezat." Sang Ibu Tiri mengucapkan hal ini dan aku menurutku
pujiannya aneh. Siapa yang akan menyebut anak tiri meraka dengan
kata lezat?

Drew juga tak menyukainya, aku bisa melihatnya. Dia melepaskan


tanganku dan melingkarkan lengannya di bahuku, menarikku
mendekat padanya. Aku menabrak badannya yang hangat dan keras,
dan aku merasa sesuatu menggelenyar di dalamku. Dia sekeras batu
dan aku tak punya pilihan selain melingkarkan lenganku di sekitar
pinggangnya dan menempel padanya dengan senang hati. Aku tak
ingin memprotesnya.

Dia melakukannya karena ingin menghindari pelukan ibu tirinya.


Dia telah mengangkat tangannya untuk memeluk Drew tapi
kemudian dia menjatuhkannya lagi di kedua sisi tubuhnya, dan
wajah cantiknya yang cemberut nampak jelas dalam kekecewaan.
Ketika aku mengatakan cantik, yang kumaksud adalah benar-benar
luar biasa memukau. Rambutnya yang kehitaman panjang dan lurus,
menggantung hampir sepanjang pinggangnya. Tulang pipinya tajam
dan kulitnya berwarna hangat sewarna buah zaitun dan matanya
berwarna cokelat gelap. Dia menjulang di atasku dan aku tak bisa
menduga hal lain selain dia dulunya adalah seorang model
mengingat badannya yang ramping alami itu.

"Inikah si Kecil Fable-mu itu?" Suaranya yang merendahkan


membuatku merasa terpinggirkan dan aku menegakkan tulang
belakangku dengan kaku. Drew menyentuh punggungku dengan
jemarinya, dan sentuhannya membuatku yakin.

"Ya, aku Fable. Senang berkenalan denganmu." Aku mengulurkan


tanganku dan dia menjabatnya dengan ekspresi jijik yang nyata, dan
menjatuhkan tanganku seolah tanganku dipenuhi kotoran.

Apa masalah si Jalang ini?

"Fable ini adalah Adele," Drew memperkenalkan kami dengan


muram. "Adele, ini adalah pacarku."

Dia menempatkan penekanan ekstra pada kata Pacar, dan mata Adele
berkedip dengan jijik. Secepat ekspresi jijiknya itu muncul, secepat
itu pula menghilang.

"Drew." Pria yang berdiri di samping Adele terlihat seperti cowok


yang kini jadi pacarku namun versi lebih tua dan aku terkesan. Drew
akan menjadi sangat tampan jika dia tetap terlihat seperti ayahnya ini
biarpun berusia empat puluhan atau lima puluhan.

Sesuatu yang lebih mirip ekspresi sayang melintas di wajah Drew


dan dia melepasku untuk memeluk ayahnya sekilas. Tapi secepat dia
melepaskanku, dia memelukku lagi, tangannya yang kuat dan hangat
memeluk pinggangku lagi dan jemarinya menekan pinggulku.
Pegangannya amat possesif dan aku merasa amat panas dan berulang
kali aku harus mengingatkan diri sendiri bahwa semua ini palsu.

Drew tidak mengharapkan seorang pacar. Kelihatannya dia tidak


suka cewek. Membuatku penasaran apakah dia memainkan
permainan lain dengan teman se-timnya.

Aku melayangkan pandangan ke arahnya, menikmati rambut


gelapnya dan mata birunya yang intense yang dibingkai bulu mata
lebat. Sangat memalukan jika kecurigaanku benar. Benar-benar
kehilangan bagi cewek-cewek.
"Dad, ini Fable. Pacarku," Drew mengatakannya lagi dan kali ini
tanganku dijabat dengan hangat, walaupun tatapannya menilaiku
menyeluruh membuatku sedikit tidak nyaman. Aku tengah dihakimi
dan aku tahu itu. Toh aku sudah terbiasa dengan perlakuan itu karena
para cowok sering mengamatiku. Hal itu seiring dengan pekerjaanku
sebagai pelayan bar.

Tapi pria tua ini seolah tengah mengamatiku dengan cara yang
membuatku tak nyaman. Tatapannya membuatku ingin menggeliat
dan lari tunggang langgang dari tempat ini.

"Bagaimana perjalanan kalian?" Ayah Drew bertanya dan


mengalihkan pandangannya dariku, akhirnya. Aku hampir melorot
dalam kelegaan.

"Perjalanan yang mulus." Drew berhenti sejenak. "Kupikir kalian


berdua berencana keluar malam ini."

"Adele merasa dia tak berselera ke country club malam ini," ayahnya
menjelaskan.

"Mereka tampil sepanjang waktu. Malahan, akan ada pertunjukan


lain minggu ini, dan kami berharap kalian berdua bisa bergabung
bersama kami." Dia melambaikan tangannya dengan elegan dan
melemparkan senyum kecil, giginya rata dan putih dan sempurna
secara menjijikan dan aku ingin memukul mulutnya dan
menyaksikan giginya berguguran dari mulutnya. Untuk alasan
tertentu, dia membuatku merasa gusar. "Aku ingin menyambutmu di
sini."

"Benar-benar tak perlu," Drew bergumam, jemarinya menekan


kulitku.

Benar-benar aneh. Mereka terlihat tak saling menyukai satu sama


lain dan gejolak terpendam seolah menggelenyar diantara kami
berempat seperti listrik. Aku memang melihat kasih sayang antara
Drew dan ayahnya, tapi selain itu setiap orang terlihat waspada dan
tak percaya pada yang lain. Ini seperti setiap orang mengucapkan hal
yang berbeda dari yang sebenarnya mereka rasakan.

Menakutkan.

Untuk sejenak, aku tergoda untuk menarik tangan Drew dan


membawanya keluar dari sini. Getaran di ruangan ini sangat buruk.

Tapi tak kulakukan.

"Kalian akan tinggal di paviliun tamu. Aku sudah menyuruh orang


membersihkan kedua kamar tidur dan siap untuk kalian berdua,"
ayahnya mengucapkan ini dan menarik perhatianku terutama ketika
Adele terlihat akan memotong ucapannya.

"Kupikir hal itu tidak pantas," Adele berkata seolah tak peduli,
menekan bibirnya. Ketidaksetujuannya tergambar jelas.

Ayah Drew memutar matanya. "Dia sudah dua puluh satu tahun,
Adele. Berikan dia sedikit privasi."

Hah. Jadi ibu tirinya tak suka jika kami bermalam bersama dengan
ketakutan kami akan dihukum oleh Kemurkaan Tuhan atau apa, dan
sang Ayah seolah menyemangati kami untuk melakukannya dengan
mempersilahkan kami menempati tempat perlindungan dan kabur.
Semua ini benar-benar aneh.

"Trims, Dad. Paviliun tamu akan sangat menyenangkan." Kelegaan


dalam suara Drew sangat jelas dan aku harus mengakuinya, aku juga
amat sangat lega. Aku tak mau tinggal di sini bersama orang-orang
ini. Mereka kelihatannya tak begitu menyukaiku.

Well, yang satu bertingkah seolah terlalu menyukaiku, dan yang


satunya lagi bersusah payah menolak memandangku.

"Aku yakin mereka berdua butuh istirahat." Ayahnya mengedipkan


mata kepadanya dan mendorong punggungnya, memaksanya maju
melangkah, menarikku bersamanya. "Temui kami saat sarapan besok
jam 8 pagi. Maria akan membuat omeletnya yang terkenal."

Mereka punya koki. Aku seolah melayang. Ada begitu banyak uang
yang mengalir di sini dan setiap orang terlihat begitu sengsara atau
rapuh atau begitu palsu, lalu bagaimana mereka bisa bahagia? Aku
selalu percaya uang bisa membeli kebahagiaan. Aku menghitung
gumpalan uang tunai di simpananku yang bisa membuatku dan
Owen bahagia setidaknya untuk tiga bulan, walaupun aku tahu kami
harus berhemat.

Aku mulai menyadari bahwa uang sama sekali tak bisa membeli
kebahagiaan. Dan aku mulai lagi sekarang. Aku menjalani kisah
klise lain lagi.
***

Drew

Saat kami melangkah kearah paviliun, aku menarik nafas dengan


lega, bersyukur bisa keluar dari rumah menyesakkan tempat aku
tumbuh. Aku masih tak percaya Adele bertingkah di hadapanku
seperti seorang pacar yang sedang cemburu yang siap
membenamkan cakarnya ke Fable. Memanggilnya dengan sebutan si
Kecil Fable, apa-apaan?

Dan ayahku terang-terangan mengamati Fable. Membuat kulitku


panas dan aku bukanlah orang yang bisa membuatnya berhenti. Ini
lebih buruk dari dugaanku dan aku sangat malu.

Mungkin kami harus pergi. Mungkin seharusnya aku mengirim


Fable pulang dengan bus jadi aku tak perlu melibatkannya dalam
masalah ini lebih lama lagi. Hal ini mengerikan dan aku tak ingin
membuatnya melewati hal ini. Aku bahkan akan membiarkannya
menyimpan uang itu.

"Orang tuamu orang aneh."

Dia menghina mereka dengan suara lembutnya, dan membuatku


sangat terkejut hingga aku mulai tertawa. Dan ketika aku
memulainya, kelihatannya aku tak bisa berhenti. Rasanya
menyenangkan. Kapan terakhir aku tertawa seperti ini? Aku tak bisa
mengingatnya.

"Apa kau tertawa karena aku mengatakan hal yang sebenarnya, atau
karena kau pikir akan lebih mudah tertawa alih-alih berteriak padaku
karena telah menghina orangtuamu?" Fable terdengar sedikit gugup,
tapi aku mendeteksi rasa malu daam suaranya.

"Kau luar biasa jujur dan aku menghargainya," akhirnya aku bisa
menemukan suaraku lagi. "Dan aku setuju, mereka memang aneh."

"Ada banyak tekanan di sini. Aku tak mengerti." Dia menatap ke


sekeliling rumah. Dengan lantai terbuka dan hampir mirip dengan
jendela besar yang ada di ruang keluarga di rumah utama, ruang ini
masih mengesankan, tapi dengan skala lebih kecil. Jauh lebih
nyaman di sini, tak ada tatapan ‘Lihatlah tapi jangan pegang apapun’
itu. "Oh, di luar sana ada teras. Aku ingin memeriksanya."

Aku menyaksikannya melintasi ruang bersantai dan mengarah


langsung ke arah pintu, yang langsung di bukanya tanpa keragu-
raguan. Aku mengikutinya, penasaran ingin mengetahui apa lagi
yang dipikirkannya tentang keluargaku yang aneh dan aku keluar
kearah teras.

Dia tengah bersandar di pagar dan memandang ke arah lautan,


rambut pucat panjangnya menari di tiup angin. Dia masukkan
tangannya ke dalam kantong mantel hitam tipisnya dan
mengeluarkan sebatang rokok dan sebuah pemantik api, ekspresinya
penuh dengan rasa malu. "Aku bersumpah sudah menghentikan
kebiasaanku ini, tapi biasanya aku membawa sedikit rokok
bersamaku jika terjadi sesuatu yang darurat."

"Sesuatu yang darurat itu seperti apa?"

Fable memberiku senyuman sekilas sebelum dia menekankan


tangannya di pemantik api dan menekannya sekali, dua kali, tiga kali
sebelum akhirnya benda itu menyala. Rokoknya menggantung di
antara bibirnya dan dia membawa api kearah ujung rokoknya,
membawa rokoknya menyentuh api. "Tuhanku, benar-benar." Dia
menghembuskan sedikit asap kearah pagar dan sedikit asap keabuan
melayang di kegelapan sebelum benar-benar menghilang. "Ayahmu,
kupikir dia mengamatiku tadi."

"Benar," Aku setuju, suaraku lemah. "Aku menyesal."


"Bukan salahmu kok." Dia mengibaskan tangannya, seperti yang
biasa dilakukan ayahku.

"Aku yang membawamu kemari, tekhnisnya ini memang


kesalahanku." Dia mengibaskan tangannya lagi dan tak menanggapi
ucapanku.

"Aku tak melihatnya seperti itu. Aku hanya akan mengatakan hal ini.
Lain kali jika kau membawa pacar palsu lain kemari, setidaknya kau
memberinya cukup peringatan."

Aku terkekeh. Aku tidak akan pernah melakukan hal ini lagi. Jika
semua terserah padaku, aku tidak akan kembali ke rumah ini. Aku
tak peduli seberapa indah rumah ini. Aku membencinya. Rumah ini
seperti penjara bagiku.

"Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang sangat pribadi?"

Aku kehilangan nafasku. Cewek—yang seperti Fable—dan


pertanyaan mereka yang sangat pribadi akan jadi penderitaan bagiku.
"Boleh saja." Aku tak punya apapun yang kusembunyikan.

Omong kosong. Aku menyembunyikan banyak hal dan hal itu


membuatku takut.

"Drew, apa kau homo?"

Sialan. Mengapa semua orang berpikir seperti ini?


***

Fable
Aku menunggu jawabannya sembari menahan nafas. Udara menjadi
dingin, angin yang berhembus membuat tulang belulangku
membeku. Aku menyalahkan dampak tiba-tiba nikotin yang
menyerangku karena telah menanyakan hal tersebut. Aku bisa
menunggu setidaknya satu dua hari ini, kan? Nongkrong bersamanya
dulu, menghabiskan waktu berdua.

Mulut besarku dan otakku yang terlalu penasaran tak bisa menunggu
barang sedetik lebih lama. Aku harus mengetahuinya. Itu akan
membuat tujuh hari berikutnya menjadi lebih mudah. Aku tak akan
khawatir dia akan mendekatiku atau apa.

Atau lebih buruk lagi, aku tak akan diam-diam mengharapkannya


mendekatiku. Bertanya-tanya ada apa denganku dan kenapa dia tak
tertarik kepadaku.

Sialan, dia masih belum menjawab.

"Kenapa kau menanyakannya?" akhirnya dia mengatakan sesuatu,


menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lain, dan aku
membencinya. Owen selalu melakukan hal itu kepadaku.

Ditambah dengan melakukan itu, Drew membuatku menyebutkan


daftar kecurigaanku hingga mengatakannya homo. Dan aku tak
punya banyak kecurigaan. Aku hanya mengamatinya dalam
perjalanan panjang ke mari.

"Well, kau bilang kau tak pernah benar-benar punya pacar


sebelumnya. Ayahmu khawatir kau seorang homo dan kau sangat
sedikit bergaul dengan perempuan. Aku tak pernah melihatmu
dengan seorang wanita di bar, kau hanya sendirian dan tak pernah
mencoba mendekati siapapun, bukannya aku memperhatikanmu,"
Aku meyakinkannya, jujur saja. Aku tak pernah benar-benar
memperhatikannya, tapi jika ingatanku benar, menurutku dia bukan
cowok brengsek.

"Mungkin karena aku belum menemukan cewek yang tepat."

Hatiku menyala dalam harapan, dan itu benar-benar bodoh hingga


aku berharap bisa memukul dadaku sendiri. Ya, aku benar-benar
idiot hingga bisa berpikir aku punya kesempatan menjadi cewek
yang tepat untuk Drew.

Cewek bayaran? Aku hanya akan berakhir menjadi itu.

"Apakah kau…melindungi dirimu?" aku memaksa suaraku terdengar


santai, walaupun di dalam aku merasa semuanya kacau balau. Aku
dua puluh tahun. Dan dia setidaknya dua puluh satu tahun. Apakah
mungkin dia masih perjaka? Aku tahu banyak yang begitu di luar
sana, tapi aku tak pernah menyangka Drew Callahan masih virgin.

Dia terkekeh dengan muram dan aku tahu aku sudah kelewatan tapi
aku langsung merasa lega karena tahu dia tak marah. "Tentu saja aku
sudah tidak virgin lagi. Hanya saja..sudah agak lama."

Aku menghisap rokokku lagi. "Kenapa?" Wups, aku mulai lagi.


Mencari tahu kehidupan pribadinya ketika itu bahkan bukan
urusanku.

Dia mengangkat bahunya dan membuat kausnya melebar. Dia


memang memiliki bahu yang kokoh. "Aku tak ingin berhubungan
dengan siapapun. Seks terlalu…rumit."
Menarik. Aku berhasil sejauh ini dengan mudah. "Mungkin kau
terlibat seks yang salah."

"Mungkin memang hanya itu yang bisa kau dapatkan." Rahangnya


mengeras dan matanya menggelap. Dia marah. Aku tahu dia
terganggu, tapi dia kelihatan seksi luar biasa. Ekspresi sengitnya
membuat hatiku kalang kabut.

Jawabannya juga terlalu misterius bagiku. "Kedengarannya kau


memang terlibat seks yang salah." Aku mencoba tertawa, membuang
abu dari ujung rokokku ke luar pagar, kemudian aku menyadari
tatapannya tertutupi rasa jijik.

Drew tak ikut tertawa. Aku penasaran mungkin aku telah


menyinggungnya.

Aku merokok karena aku gugup dan sangat menyebalkan karena dia
tak menyetujuinya, tapi aku tak bisa menahannya. Aku mulai
merokok ketika SMA karena duu kupikir itu keren dan untuk alasan
tertentu, musim panas setelah aku lulus aku berhenti merokok.
Sebagian besar waktuku.

Tapi aku tetap menyimpan sebungkus rokok rahasia, seperti selimut


perlindungan, hanya menggunakannya ketika aku benar-benar gugup
atau gelisah dan ketika aku ingin menenangkan diri.

Seperti malam ini. Perkenalan dengan orang tuanya benar-benar


intens. Normalnya aku menghabiskan sebungkus rokok selama enam
bulan. Tapi sekarang sepertinya aku akan menghabiskan sebungkus
sehari selama berada di sini.

"Jika ayahku melihatmu sekarang, dia akan marah." Kata Drew,


menyadarkanku dari lamunanku.

Aku menghisap rokokku lagi sebelum mematikannya dan


melemparkannya sejauh yang bisa kulakukan. Tidak mungkin
mencapai lautan, tapi aku senang membayangkannya, suara
mendesis ketika rokok itu menyentuh air. Kenyataannya aku
menjijikan seperti sampah dan merasa seperti kotoran, tapi Drew tak
menghinaku. "Itu akan jadi rahasia kita kan?"

"Kita akan punya segudang rahasia di antara kita ketika minggu ini
berakhir." Dia tak bertanya, hanya membuat pernyataan dan dia
benar.

"Ya, tentu saja." Aku tersenyum padanya, tapi dia tak membalasnya.
Alih-alih begitu, dia berbalik dan meninggalkan teras, melangkah
kembali kearah rumah, pintu menutup di belakangnya dan terkunci
dengan suara klik pelan.

Meninggalkanku di kegelapan malam yang dingin bersama dengan


pikiranku yang gelap dan dingin pula.
***

Bab 5
Hari ke-2, jam 2 siang.

"Love is a smoke and is made with the fume of sighs"—William


Shakespeare.

Fable

Orang kaya itu menyebalkan. Mereka kasar, mereka bertingkah


seolah mereka berhak melakukan segalanya dan melarangmu
berpenampilan seperti orang miskin. Aku memakai jins dan sweater,
tidak mewah, dan mereka semua mencibirku seolah aku ini
gelandangan. Mereka memberiku pandangan mencela seolah aku
baru keluar dari selokan dan memandang takut-takut dan gugup
ketika aku mendekati mereka. Seolah aku akan menusukkan pisau ke
arah mereka atau ingin meminta semua uang mereka.

Itu juga terjadi padaku ketika aku memutuskan mengelilingi pusat


kota Carmel seorang diri, mengelilingi toko-toko lucu di sana. Drew
mengantarkanku hingga ke puncak bukit dan menjelaskan ada
banyak sekali toko dan galeri seni sepanjang pinggir jalan di wilayah
itu. Dia bilang aku bisa berkeliling kota berjam-jam jika aku mau,
dan aku sangat bersemangat dengan rencana itu terutama ketika aku
tahu ayahnya ingin bicara berdua saja dengannya.

Ini yang tengah mereka lakukan sekarang. Duduk di sebuah restoran,


berpura-pura menikmati makan siang mereka sementara ayahnya
mencecarnya dengan pertanyaan ‘apa yang akan kau lakukan dalam
hidupmu’, aku yakin. Untungnya, Adele telah terlanjur membuat
janji dengan penata rambutnya jadi dia tak bisa ikut dengan mereka,
walaupun aku yakin dia bisa saja menbatalkan janjinya itu. Tapi
Ayahnya Drew menghentikannya, mengatakan dia ingin bicara
dengan putranya berdua saja.

Kekecewaan pahit yang dirasakannya terlihat lebih jelas dari yang


sebelum-sebelumnya.

Rasa dingin menjalar di tulang belakangku. Wanita itu membuatku


merasa tak karuan. Aku tak menyukainya dan dia juga tak
menyukaiku. Sama sekali. Dia mencoba sekuat tenaga
menghabiskan waktu dengan Drew sementara Drew mencoba
menghindarinya pada setiap kesempatan. Aku benar-benar tak
mengerti.

Tentu saja, siapa aku menghakimi keluarga mereka yang kacau?


Keluargaku malah jauh lebih kacau.

Aku berhenti di depan sebuah jendela toko dan mengintip melalui


kaca jendela. Sepatu yang dipajang di sana pastinya sangat mahal,
aku merasa aku bahkan tidak mampu untuk sekedar melihatnya,
berjalan sendirian memasuki tempat itu. Untung saja, teleponku
berbunyi dan menyelamatkanku dari keharusan bertingkah konyol.

"Katakan padaku kalau semuanya baik-baik saja," Aku menjawab.

"Semuanya baik-baik saja," Owen membalas ucapanku. Sialan,


bahkan dari suaranya terdengar sekali dia tengah menyeringai.

"Bukankah seharusnya kau masih di sekolah?" Baru jam dua siang


dan dia masih harus di sekolah hingga jam tiga.

"Hari ini masuk setengah hari."

Dia berbohong. Sekolah hanya masuk setengah hari pada hari rabu
saja tapi tak ada gunanya mendebatnya dalam hal ini. Aku di luar
kota. Tak ada yang bisa kulakukan. "Apa ibu pulang semalam?"

"Ya, semalam dia pulang, tapi menjengkelkan." Dia memaki di sela


nafasnya. "Dia membawa pacar barunya bersamanya."

Yaiks! Aku bersyukur tak ada disana. Biarpun aku ada di rumah,
ibuku tak pernah membawanya ke sana. Bahkan dia juga jarang
berada di rumah. "Apakah dia baik?"
"Tidak, dia bajingan. Memerintahkan ibu mengambilkannya bir
sepanjang malam. Akhirnya aku bilang padanya untuk mengambil
bir sialannya itu sendiri."

Aku melorot di dinding dan mengerang, membuat orang-orang asing


yang lewat di jalan menatapku aneh. "Tidak mungkin kau
melakukannya."
***

"Tentu saja aku bilang begitu. Dia benar-benar kasar dan dia
pemabuk. Ibu pantas mendapatkan yang lebih baik darinya."

Aku tak bisa sepakat dengannya dalam hal ini karena kau berpikir
ibuku tak pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia telah membuat
pilihannya sendiri selama bertahun-tahun, dan pilihannya selalu
sama. Aku sudah tak dapat menghitung barapa banyak pemabuk
kasar yang telah berhubungan dengan ibuku. Owen tak
menyadarinya karena sedapat mungkin aku menyingkirkannya
ketika ibu bersama dengan pacarnya.

"Apa ibu marah padamu?"

"Dia tak mengatakan apapun tapi laki-laki itu mengancam akan


menendang bokongku jika aku berani bicara kepadanya lagi."

"Sialan," aku bergumam, dengan berat menutup mataku. Inilah


mengapa aku tak seharusnya meninggalkannya. Belum tiga hari aku
meninggalkan mereka dan segalanya tampaknya sudah mulai kacau.
"Aku benar-benar berharap dia tak memukulmu atau aku akan
memanggil polisi."
"Pfttt..." Remaja tiga belas tahun mengira mereka bisa menghilang
dan adikku tak ada bedanya. "Seolah dia bisa menyentuhku saja.
Aku yang akan menendang bokongnya terlebih dahulu."

"Aku harus pulang." Panik melandaku. Aku tahu semuanya akan


lepas kendali dengan begitu cepat ketika aku tidak ada di sana. Yang
dikatakan Owen membuktikan hal itu benar. "Aku akan naik bus
atau kereta api atau apapun dan pulang malam ini jika kau
membutuhkanku."

"Bagaimana dengan anak-anak nakal yang sedang kau jaga itu? Kau
tak bisa begitu saja membuang pekerjaanmu."

"Bisa saja jika kau dalam masalah. Tak ada pekerjaan yang lebih
penting dari keluarga sendiri." Aku menatap sekitarku, menyaksikan
orang-orang yang cantik dan tampan meluncur melewatiku. Sangat
dingin di sini, kabut menggantung menyelubungi langit sekitar, agak
lebih mirip awan dan jalanan dipenuhi oleh turis lokal maupun asing.
Tak perlu menjadi jenius agar mereka mengerti masalahku.

"Tinggallah disitu dan carilah uang sebanyak-banyaknya yang aku


yakin akan kita butuhkan." Dia merendahkan suaranya dan aku
mendengar teriakan di kejauhan, mungkin salah satu temannya.
Tuhan, mereka mungkin sedang nongkrong di apartemen dan
memakan semua makanan. "Ibu kehilangan pekerjaannya."

Hatiku meluncur jatuh ke dasar perutku. Dia bekerja paruh waktu dia
toko dan bekerja demi mendapatkan upah minimum. Tak banyak,
tapi kami membutuhkan semua yang bisa dihasilkannya. Uang dari
Drew mungkin hanya bisa menghidupi kami sedikit lebih lama,
apalagi sekarang dia sudah jadi pengangguran. "Hebat. Kapan
tepatnya itu terjadi?"
"Pagi ini. Dia mengirimiku pesan dan memberitahuku. Dia bilang
akan tinggal di tempat Larry malam ini."

"Jadi malam ini kau akan sendirian?" Sialan. Tidak. Itu adalah hal
terakhir yang kuharapkan terjadi.

"Aku akan ke rumah Wade, jadi tak perlu khawatir. Aku akan
menginap di sana." Kata-kata yang diucapkannya membuat rambut
di tengkukku meremang.

Dia bohong, aku yakin itu. Aku benar-benar bisa membaca gelagat
anak ini dan seharusnya aku yang menjadi ibunya. "Seharusnya
memang begitu. Aku akan menelepon kediaman Wade malam ini
untuk memastikan kau di sana."

"Tunggu dulu Fable. Apa ini, kau tak bisa mempercayaiku?" dia
merengek, terdengar seperti adik kecilku dulu. Pertanda lain dia
tengah berbohong.

"Tidak, terutama ketika aku sedang di luar kota." Teleponku


berbunyi bip, tanda aku mendapatkan sebuah pesan dan aku
menjauhkan teleponku dan memeriksanya dengan cepat.

Dari Drew. Dan hanya ada satu kata di dalamnya.

Marshmallow.

Sialan.

"Hey, aku harus pergi, tapi aku akan meneleponmu nanti malam dan
aku akan bicara dengan Ibunya Wade. Pastikan kau berlaku baik dan
kerjakan PRmu dan hal-hal lain yang harus kau kerjakan."

"Fable, itu semua omong…"

"Bye." Aku menutup teleponnya sebelum Owen membuatku marah


lagi dan aku langsung membalas SMS Drew.

Aku tak bisa datang menolongmu jika aku tak tahu di mana kau
berada.

Jantungku berdebar keras sekali setelah aku mengirimkan pesan itu.


Ini adalah pertama kalinya Drew menggunakan kata kode
Marshmallow dan aku menghawatirkannya. Kemarin aku hanya
menghabiskan waktu di rumah. Aku menghabiskan sepanjang siang
di pantai sementara Drew dan Ayahnya pergi bermain golf di padang
golf yang tak jauh dari rumah. Drew bilang padaku ada banyak
sekali padang golf di sekitar rumah itu, seolah aku akan peduli.
Menurutku golf itu membosankan, tapi kuduga Adele ikut bersama
mereka biarpun dia tak bermain bersma mereka. Tapi dia pasti akan
mengikuti mereka mengelilingi padang golf itu.

Makan malam minggu malam itu sangat aneh. Adele berusaha


berbicara dengannya, tetap menanyakan masalah pribadi Drew
sementara dengan jelas mengabaikan keberadaanku. Ayahnya jelas-
jelas bertingkah aneh, terus menerus mengisi ulang gelas anggurnya
hingga penuh dan tak mengucapkan sepatah katapun.

Untungnya aku bisa kabur dengan segera setelah makan malam


selesai. Aku bilang aku lelah setelah ujian tengah semester karena
harus mempelajari kerrtas-kertas itu, dan itu semua omong kosong
terutama karena aku tidak kuliah. Drew juga memakai alasan yang
sama agar bisa meninggalkan mereka. Kami berdua kembali ke
pavilion, ke ruang pribadi kami. Aku sudah sangat lelah dan kupikir
aku kan langsung tertidur tapi nyatanya tidak. Aku berbaring
nyalang selama lebih dari satu jam, memikirkan tentang Drew dan
keluarga gilanya di sini.

Teleponku kembali berbunyi dan aku memandang layar.

Di restoran di jalan Sixth and Ocean. Aku ingin pergi dari sini. Aku
akan menunggumu di luar.

Kelihatannya aku harus pergi menyelamatkan pacar palsuku dari


ayahnya yang sombong itu.
***

Drew

Ketika aku melihatnya, aku merasakan kecemasan mengalir


meninggalkan dadaku, dan aku menghela nafas dalam. Aku
menunggu di luar restoran, bilang pada ayahku aku butuh menelepon
padahal aku hanya ingin menunggu Fable.

Dan menjauh darinya.

Dia tersenyum padaku ketika dia mendekat ke arahku, rambut


pirangnya ditarik ke belakang dan memperlihatkan pipinya yang
bulat, hidungnya yang nakal dan bibirnya yang seperti kuncup
mawar. Semakin aku melihatnya, dia kelihatan semakin cantik. Dan
bukan hanya cantik..

Fable sangat seksi. Seksi luar bisa dengan badannya yang indah yang
telah kulihat dalam berbagai kesempatan ketika dia telanjang
sepanjang kami berada di pavilion. Aku melihatnya hanya
mengenakan handuk pagi ini ketika dia menyelinap keluar dari
kamar mandi dan melesat melintasi ruangan menuju ke kamarnya.
Dia bahkan tak melihatku.

Tapi aku melihatnya. Seluruh permukaan kulitnya yang lembut,


berembun dan terpampang jelas di hadapanku dan membuatku ingin
mengejarnya. Merengkuhnya mendekat dan merasakan kulitnya
menyelimutiku. Meraih rambut basahnya dengan jemariku dan
menariknya, membawa bibirnya ke bibirku…

Sialan. Hanya dengan mengingatnya saja sudah membuat tubuhku


panas. Aku telah dengan susah payah menjauhkan orang-orang
sejauh mungkin dariku—terutama cewek—tapi Fable tampaknya
telah meluncur masuk ke dalam kulitku dan membuatku
menginginkan..

Dia.

Mengenakan jins ketat dan sweater yang kebesaran, dia tampak


cukup bagus untuk dinikmati.dan aku tak pernah berpikir seperti ini.
Sama sekali. Dia membuatku berpikir dan merasa antara tidak
nyaman dan melegakan, entahlah.

Dan kata lain, Fable telah sangat membingungkanku.

"Aku disini." Dia berhenti tepat di hadapanku, kepalanya hanya


setinggi dadaku. Dia benar-benar mungil. Aku bisa menciduknya,
mengangkatnya ke bahuku dan membawanya pergi dari sini, tak jadi
masalah. "Aku siap menyelamatkanmu."

Kata kode Marshmallow tak pernah digunakan sebelumnya, dan aku


senang ketika dia datang dengan cepat. Bukannya ayahku menjadi
jahat atau telah berteriak kepadaku. Dia hanya tak mau berhenti
menanyakan pertanyaan tentang apa yang akan kulakukan untuk
masa depanku.hal-hal yang tak bisa ku jawab karena aku sendiri
belum tahu jawabannya.

Akhirnya aku sudah tak tahan lagi dan mengirimkan pesan


Marshmallow itu kepada Fable ketika aku kabur ke kamar kecil.

Dan sekarang dia sudah di sini. Siap membebaskanku.

"Terima kasih sudah muncul."

"Apa dia bertindak keras kepadamu?"

"Tidak, hanya saja aku tak ingin menjawab pertanyaan-


pertanyaannya."

"Oh." Bahkan itu bukanlah sebuah kata, tapi menuntut jawaban juga.
Sesuatu yang juga tak bisa kujawab.

"Apa kau suka melihat-lihat toko?" itu yang disukai cewek-cewek.


Belanja, menghabiskan uang, walaupun kupikir Fable tak punya
cukup banyak uang untuk dihambur-hamburkan. Well, jika dia mau
dia bisa saja menghabiskan uang yang kuberikan, tapi aku tahu dia
menyimpan uang itu untuk mengurusi adiknya.

Pelayan bar berhati mulia ini bernama Fable. Terdengar seperti kisah
dongeng di dunia modern.

"Toko di sekitar sini tampaknya terlalu mahal untuk seleraku." Dia


mengernyitkan hidungnya, dan dia terlihat lucu sekali. "Aku tak
akan mampu melihat ke dalamnya, berpikir seolah aku akan
membeli sesuatu. Aku bukan penggila belanja sebenarnya."

Jadi apa yang dia senangi selain menghabiskan waktu di pantai? Aku
tak tahu apa-apa tentang cewek ini. Ketika aku tahu sesuatu, aku tak
bisa benar-benar memahaminya. Kami benar-benar bertolak
belakang dalam banyak hal.

"Jadi apa yang sering kau lakukan selama kau tak bekerja?" dia
melihatku dengan tatapan aneh, dan aku merasa bodoh. " Kau tahu
kan, misalnya hobi dan sebagainya."

Dia meledak tertawa. "Aku tak punya waktu mengerjakan hobi.


Dulunya aku suka membaca."

"Dulunya?"

"Aku terlalu sibuk." Dia mengangkat bahunya. "Bekerja, merawat


adikku, membersihkan tempat tinggal kami, dan ketika aku selesai
aku benar-benar lelah dan ketika aku jatuh ke tempat tidur, biasanya
aku langsung terlelap." Dia menatap kejauhan.

"Aku juga begitu." Aku sengaja membuat diriku sibuk. Pelajaranku


sangat sulit, walaupun aku tak tahu apa yang akan kulakukan
didalam hidupku selain Football. Sialan, aku tahu pelatihku marah
karena aku tak tinggal di kampus agar bisa latihan dan itu masih
membuatku merasa bersalah. Akan ada pertandingan besar sebentar
lagi dan aku harus berada dalam kondisi prima.

"Benarkah?" dia terdengar terkejut.

Aku mengangguk. "Tetap sibuk agar tak ada yang mengganggumu."


Dia mengamatiku sebentar, matanya menyipit. Dia cepat mengerti.
Kedua mata hijau gelapnya itu mampu masuk langsung ke inti diriku
yang terdalam dan memeriksa semua rahasia tersembunyiku di sana.

Aku tak menyukainya.

"Di sini kau rupanya." Aku berbalik dan melihat ayahku keluar dari
restoran, dia jelas-jelas terganggu. Dia memandang Fable dan
rahangnya mengeras. "Kupikir percakapan kita belum selesai," dia
mengatakannya dengan tajam.

"Oh, maafkan aku, kukira kalian berdua sudah selesai berbicara."


Fable mendekat seperti pacar yang baik, meraih tanganku dan
mendekatkan tubuhnya ke arahku. Dadanya menekan sisi tubuhku
dan dia mendongak menatapku penuh cinta.

"Aku butuh bantuan Drew. Aku tak bisa memutuskan sepatu mana
yang harusnya kupilih."

Dia benar-benar hebat. Belum dua menit yang lalu dia bilang dia
membenci belanja dan sekarang dia menjadi pacar yang tersenyum
simpul yang tak bisa memutuskan membeli apa tanpa saran dariku.

"Asumsiku kau akan mengenakannya malam ini kan?" Ayah


bertanya.

"Ada acara apa malam ini?" Hebat. Aku tak ingin menjadi tontonan
orang-orang. Sudah cukup buruk ketika kami harus pura-pura
dihadapan ayah dan Adele. Akan menjadi lebih sulit melakukannya
di depan orang banyak.

"Makan malam spesial menyambut Thanksgiving di Country Club.


Aku sudah mengatakannya pada malam kau tiba."

Aku tak ingin pergi. Kedengarannya akan jadi malam yang


menyebalkan. "Entahlah…"

"Aku berkeras," Ayah memotong ucapanku, memberiku tatapan yang


mengisyaratkan bahwa tak ada diskusi dalam hal ini.

"Kedengarannya menyenangkan." Fable mengencangkan


pelukannya di tanganku, tapi aku bisa mendengar suaranya tegang.
Rupanya dia juga tak akan menikmati malam ini. "Aku harus
memakai apa?"

"Pakaian semi-formal. Gaun pesta santai." Ayah berkata kaku, seolah


dia tahu dia membuat Fable tak nyaman dan kebingungan dan itu
benar-benar menjengkelkan. "Aku yakin kau punya gaun yang cantik
diantara isi tas mu itu."

"Ayah." Aku marah dengan caranya berbicara pada Fable, tapi


bagaimana aku harus melawannya. Selama ini aku tak pernah benar-
benar melakukannya karena, sialan, dia adalah ayahku. Hanya dia
yang kupunya di dunia ini.

Dia mengabaikanku. Tak mengejutkan. "Adele mengharapkan kalian


berdua pulang sebelum pukul lima untuk memastikan kita punya
banyak waktu untuk bersiap-siap sebelum kita pergi." Ayah menatap
jam tangannya. "Ayah harus rapat dengan klien tiga puluh menit lagi.
Sampai jumpa dua jam lagi."

Kami menyaksikannya menjauh dalam diam. Fable masih menempel


padaku sampai dia benar-benar pergi. Dia menjauh dengan pelan dan
tiba-tiba saja aku merindukannya.
Bodoh.

"Aku tak punya apapun yang bisa kugunakan untuk acara makan
malam yang mewah." Kedengarannya dia tertekan. "Kau tak pernah
bilang aku harus mempersiapkan sesuatu yang semacam itu."

Seharusnya aku memperingatkannya. Aku benar-benar bodoh telah


melupakannya. Rencanaku ini muncul pada saat-saat terakhir, jadi
aku tak menghiraukan hal-hal remeh semacam itu. "Aku akan
membelikanmu sesuatu," aku menawarinya. "Ayo kita melihat-lihat.
Kita punya waktu."

Dia mengelengkan kepalanya. "Tidak boleh begitu. Kau telah


menghabiskan banyak uang untukku. Aku tak ingin memintamu
membelikanku gaun pesta mahal yang hanya akan kupakai sekali.
Aku tak sedang main film Pretty Women sekarang."

Lucunya, sebenarnya itu yang sedang kami jalani. Aku sudah


menonton film itu—siapa yang tak pernah menontonnya? Aku yakin
karakternya Richard Gere membayar Julia Roberts alias pelacur
sebesar tiga ribu dolar untuk pura-pura menjadi pacarnya. Juga
membelikannya banyak pakaian.

Kesamaannya tak terbantahkan.

"Tak masalah kok." Aku menarik tangannya dan memaksanya ikut.


Dia menatapku dengan tatapan lucu, seakan dia tak percaya aku
dengan senang hati menyentuhnya sementara tak ada orang di
sekeliling kami yang menyaksikan, tapi peduli setan.

Aku ingin dia tahu bahwa bukan hanya dia yang bisa menolongku,
akupun ingin menolongnya. Aku tak ingin dia menjadi tak nyaman.
Aku tak akan membiarkan orang tuaku mempermalukannya dan
membuatnya merasa dia tak pantas bersama mereka. Sudah terlalu
buruk karena kami berdua menyadari hal itu.

Tapi aku merasa akupun tak pantas berada di sini. Dari luar mungkin
kelihatannya aku pantas-pantas saja, tapi di dalam? Sama sekali tak
pantas. Tak ada yang tahu petaka apa yang telah kujalani di tempat
ini.

Dan aku akan membiarkannya tetap seperti ini.


***

Akhirnya kami menemukan sebuah toko pakaian trendi di bagian


paling ujung pertokoan tempat aku menurunkannya tadi. Fable
terlihat agak nyaman di sini, dia tahu tokonya dan walaupun dia
bilang barang-barang di sini mahal, tapi tak semahal toko-toko lain
di sepanjang Ocean Avenue, jadi aku setuju.

Tempatnya luas, tak hanya dipenuhi pakaian tapi juga peralatan


rumah tangga seperti tempat tidur, handuk, pernah-pernik dan lebih
banyak lagi hal-hal lain yang tak penting. Fable langsung menuju ke
setiap rak pakaian dan melangkah dengan takut-takut, menarik satu
per satu dan menyusunnya di lengannya. Gantungan baju yang
terbuat dari kayu terdengar beradu satu sama lain ketika dia berjalan.

"Hey," aku menjaga suaraku tetap pelan ketika aku mendekatinya


dan memegang kepalanya. Dia mendongak, matanya melebar.
"Jangan buru-buru. Kita punya banyak waktu."

Dia menghela nafas dengan berat dan menggeleng-gelengkan


kepalanya. "Aku benar-benar tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku
akan meminta saranmu tentang ini."

Apa yang aku tahu tentang gaun pesta? "Aku akan membantumu,"
aku bilang begitu karena memang itu yang seharusnya kukatakan.

"Sepertinya kau akan mengintipku di ruang ganti dan melihatku


mengenakan setiap gaun jadi kau bisa memberitahuku bagaimana
penampilanku. Aku tak bisa melakukannya sendirian." Dia kelihatan
benar-benar takut. "Syukurlah toko ini tampaknya menjual segala
sesuatu yang berkaitan dengan pesta. Semoga ada yang cocok."

"Hai, boleh aku siapkan ruang gantinya sekarang?" suara bernada


tinggi datang dari arah belakang kami dan kami menoleh untuk
melihat siapa yang berbicara. "Drew Callahan, ohmigod, kaukah
itu?"

Ah, sialan. Mimpi burukku sedang jadi kenyataan. Aku satu SMA
dengan cewek ini. Kaylie, kupikir itu namanya. Yep, tanda pengenal
di dadanya bertuliskan Kaylie. "Apa kabar?" aku menyapanya
lemah.

Senyumannya sangat lebar dan cemerlang hingga hampir


membuatku buta. Seseorang pasti memutihkan giginya dengan
terlalu berlebihan. "Senang sekali melihatmu lagi!" dia melempar
dirinya ke arahku dan aku tak punya pilihan lain selain merangkul
punggungnya.

Aku bisa merasakan pandangan penasaran Fable, dan dia juga


merasa terganggu ketika dia berdiri di sampingku. Aku meminta
maaf melalui pandanganku dan dia memutar matanya. Untuk alasan
tertentu, tampaknya reuni ini membuatnya marah.
"Aku juga senang melihatmu," aku memberitahu Kaylie,
memberinya pelukan canggung. Dia mundur dariku, senyum
lebarnya masih ada di wajahnya, matanya yang gelap berbinar.

"Apa yang selama ini kau kerjakan? Selain Football tentu saja. Kau
tak sering pulang kemari." Dia pura-pura cemberut. "Semua orang
merindukanmu."

"Aku sibuk." Aku mengangkat bahu.

"Wow, tampaknya kami tak bisa menerima alasan itu. Kau sudah
lama tak kembali ke kampung halamanmu ini." Sepertinya dia sudah
benar-benar lupa tentang Fable, pelanggan yang seharusnya
dilayaninya. Alih-alih begitu, Kaylie tampaknya lebih fokus
kepadaku.

"Kau percaya aku bekerja di sini? Ayahku memaksaku mencari


pekerjaan jadi aku bisa belajar bagaimana rasanya hidup di
kehidupan nyata. Dia bilang aku sudah berlebihan membelanjakan
kartu-kredit-sepuluh-ribu dolar-per-bulan-ku." Dia tertawa.

Fable ternganga mendengarnya. Aku baru saja memberinya tiga ribu


dolar dan uang itu akan bisa menyokong kebutuhan ekonomi seluruh
keluarganya selama sekitar tiga buan, sementara gadis ini bertingkah
seolah membelanjakan uang sepuluh ribu dolar untuk membeli
begitu banyak benda tak penting bukanlah masalah besar.

"Um, kau bilang tadi akan mempersiapkan ruang ganti?" Fable tiba-
tiba bertanya.

Kaylie mamandangnya, sikapnya tiba-tiba berubah. Tadinya dia


bersikap seperti pekerja yang baik dan kini dia menilai Fable
terutama karena jelas sekali kami datang bersama.

Aku benar-benar berharap, kami memang kelihatan seperti sedang


bersama.

"Ini." Fable menyerahkan pakaiannya ketika Kaylie masih tak


menjawabnya. "Aku akan segera mencoba baju-baju itu jika kau
sudah mempersiapkan ruang ganti untukku."

Sarkasme dalam suaranya terdengar sangat jelas dan aku berusaha


menyembunyikan senyumanku. Kaylie mengambil pakaian-pakaian
itu, bibir bawahnya cemberut. "Aku harap ukuran ini akan pas
untukmu. Kelihatannya kekecilan untukmu."

Jalang kurang ajar.

Fable memberinya senyum sekilas. "Oh, ukurannya pas. Hanya saja


payudaraku agak kebesaran jadi kelihatannya aku butuh ukuran lebih
besar tapi sebenarnya tidak perlu. Drew senang jika peyudaraku
sedikit menggantung jadi dia bisa melihatnya. Dia akan lebih mudah
mengaksesnya dan sebagainya. Benar kan, Sayang?" dia
mengedipkan bulu matanya ke arahku dan kali ini aku tak bisa
menahan untuk tidak terkekeh.

Cewek ini—cewek palsuku ini—benar-benar berlebihan.

"Tentu saja," aku bergumam, menikmati humor yang menari di


matanya.

Kaylie menggumamkan sesuatu di sela nafasnya dan segera menuju


ke ruang ganti.
"Well, tadi dia kasar," Fable mengatakannya ketika Kaylie sudah
berada di luar jarak dengar.

"Maaf tentang itu." Aku merasa aku perlu sering-sering meminta


maaf padanya karena orang-orang dari masa laluku yang telah
memperlakukannya dengan sangat buruk.

Dia mengangkat bahunya. "Cewek-cewek semacam itu selalu


bekerja di toko-toko semacam ini. Mereka tak menyukaiku karena
menurut mereka aku tak mampu membeli apapun di sini."

"Apapun yang kau inginkan, aku akan membelikannya untukmu."


Aku ingin Fable keluar dari toko bodoh ini dengan begitu banyak tas
belanjaan hingga dia takkan bisa membawanya sendiri. Aku serius.
Aku melihat bagaimana dia melihat segala sesuatu di sini. Dia
menyukainya. Dia berpura-pura bersikap acuh tak acuh tapi
tampaknya toko ini akan jadi toko langganannya jika saja dia
mampu, aku bisa merasakannya.

"Aku hanya ingin sebuah gaun," dia berkata, suaranya lemah.

"Dan sepatu," aku mengingatkannya.

"Benar. Sepatu."

"Perhiasan jika kau menginginkannya. Atau hiasan rambut dan


sebagainya?" Sialan, aku tak tahu. Aku tak menaruh perhatian pada
apa yang dikenakan para cewek ketika mereka berdandan.

"Aku pasti akan menemukan sesuatu. Temui aku di ruang ganti lima
belas lagi." Dia tersenyum padaku dan itu menyerangku seperti
serangan fisik di dadaku, menarik udara keluar dari paru-paruku.
Aku ingin membuatnya tersenyum seperti itu lagi kepadaku.
Senyumannya asli. Bukan senyum murahan ketika orang-orang
melihatnya atau senyuman ‘kau-adalah-cowokku-yang-seksi’ palsu
yang diberikannya ketika ayahku melihatnya. Senyuman kali ini
adalah senyuman yang asli.

Senyuman yang indah.

Fable berkeliling mencari gaun yang sempurna. Aku pun


mengelilingi toko, melihat-lihat sekelilingku dan muai merasa tak
nyaman. Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya, cowok
perhatian yang siap membantu pacarnya memilih baju baru.

Aku mencarinya di bagian baju santai seperti yang biasa


dikenakannya.

"Jadi Drew, pacarmu agak sedikit…berbeda."Kaylie sudah kembali.

Hebat.

"Maksudmu?" aku berbalik memandangnya, benar-benar tertarik


pada opininya. Apa maksudnya Fable berbeda? Sialan, aku juga
berpikir begitu tapi tak pernah benar-benar tahu alasannya.

Kaylie mangkat bahunya. "Dia tak seperti tipe cewekmu yang


biasa."

Aku tak pernah punya tipe cewek. Aku tak pernah punya cewek
tetap selama SMA. Aku terlalu sibuk bermain Football dan baseball.
Aku harus memilih di antara keduanya setelah aku memainkan
kedua permainan itu selama menjadi mahasiswa baru. Dan hampir
tak ada waktu untuk berkencan.

"Berapa lama kalian berdua jadian?" Kaylie bertanya ketika aku tak
menjawabnya.

"Sejak Agustus, ketika kuliah di mulai."

"Oh." Kaylie mengangguk, menggigit bibir bagian bawahnya.


Bahasa tubuh genit dan aku tak terpengaruh. "Kau tahu Drew, aku
selalu naksir padamu ketika SMA."

Sialan, aku ingin mengerang keras-keras tapi aku menahannya. Ini


tak akan sesuai rencanaku. Aku tak ingin terlibat dalam hal sialan
ini. "Uh.."

"Kau tak pernah memperhatikan aku sebelumnya, sekuat apapun aku


mencoba. Dan Demi Tuhan, aku sudah mencobanya." Kaylie
mendekat selangkah dan melarikan telunjuknya di tengah dadaku,
berlama-lama menyentuh kancing kemeja Hanley-ku. "Wow, kau
berotot.."

"Kaylie." Aku mundur selangkah. "Aku punya pacar."

"Sayang sekali." Dia cemberut lagi dan itu menyebalkan. Jika


menurutnya yang dilakukannya lucu, dia salah. "Aku selalu
menginginkan seseorang yang tak bisa kumiliki."

Dengan mengakui hal itu menunjukkan betapa gilanya cewek ini.


"Aku harus membantu pacarku. Sampai jumpa lagi."

"Beritahu aku jika dia membutuhkan sesuatu!" Kaylie berteriak


ketika aku menjauh.
Ya, tentu saja. Aku akan memastikan cewek ini sejauh mungkin
dariku. Aku takut Fable akan menendang bokongnya jika saja dia
melihat apa yang baru saja dilakukan Kaylie padaku. Bagaimana dia
menyentuhku.

Memiliki pacar pura-pura membuatku mendapatkan perhatian yang


tak kuharapkan.
***

Fable

Setelah mencoba seabrek pakaian selama lebih dari tiga puluh menit,
akhirnya aku menemukan satu yang sempurna. Sepertinya aku sudah
tahu yang satu ini akan jadi yang sempurna karena aku
menyimpannya sebagai yang terakhir. Drew masih menungguku
dengan sabar di luar, pelayan di ruang ganti menyediakan kursi
untuknya dan hal-hal lainnya.

Aku suka keluar dari ruang ganti dan menunjukkan apa yang
kukenakan. Dia duduk disana membungkuk di kursinya, badannya
yang besar menggeletak begitu saja di tempatnya, kakinya melebar
ke semua arah dan wajahnya terlihat bosan. Aku membuatnya
tersiksa, aku tahu itu, tapi matanya bersinar tiap kali dia melihatku,
meskipun bajunya jelek.

Dan dia juga jujur. Aku menghargainya. Ketika aku memakai baju
yang benar-benar jelek, dia akan langsung berkata jelek. Sejauh ini
dia suka pakaian yang pertama kali ku coba, dan aku tahu gaun itu
sempurna tapi yang satu ini..pakaian yang kupakai ini, benar-benar
indah hingga hampir membuatku menangis.
Dan juga, harganya hampir mencapai empat ratus dolar, yang paling
mahal di antara semuanya. Rasa bersalah melandaku. Aku tak
seharusnya menginginkannya. Itu uang yang sangat banyak. Tapi, oh
Tuhan, baju ini kelihatan begitu indah ketika kupakai dan aku tak
suka membual tapi..ya. seperti yang kukatakan pada gadis bodoh
kenalannya Drew itu, payudaraku terlihat indah dalam pakaian ini,
terlihat menggantung dan terlihat jelas. Segalanya tentang gaun ini
begitu bersahaja.. berkelas..

Dan seksi.

Menarik nafas dalam-dalam, aku membuka pintu dan melangkah ke


ruang tunggu. Di sana duduklah Drew yang tengah membungkuk,
matanya tak melihatku. Dia mengejap pelan dan duduk tegak,
matanya melebar seolah dia melahapku.

"Sialan," dia bernafas dan membersihkan tenggorokannya.

Senyuman yang menghiasi bibirku bukan bermaksud mengajaknya


bercanda. Aku berputar sedikit, membayangkan sepatu hak super
tinggi yang ingin ku beli kupakai bersama dengan gaun ini.
Walaupun begitu, aku tak ingin menghabiskan begitu banyak uang
membeli sepatu. Mungkin di sekitar sini ada Pusat Sepatu murah
atau semacamnya.

Yeah. Benar.

"Kau menyukainya?" aku bertanya kepadanya ketika menghadapnya


sekali lagi. Gaunnya berwarna hitam dan seperti sutra, tanpa lengan,
dengan bordiran yang menutupku hingga ke tulang selangka-ku.
Sangat pas, ketat di bagian pinggang, memperlihatkan kakiku. Yang
paling sempurna adalah bagian belakangnya. Dengan belahan V
rendah, dibuat dari kain beludru hitam dengan renda dan
menunjukan kulitku. Tak mungkin aku bisa memakai bra di balik
gaunku.

"Ambillah," dia mengatakannya tanpa keragu-raguan. "Kau


kelihatan…"

"Kau tak keberatan? Benarkah? Ini agak pendek." Aku menatap ke


bawah. "Dan aku akan membutuhkan sepasang sepatu."

"Apapun yang kau inginkan. Keren. Gaunnya benar-benar keren."


Pandangannya jatuh pada kakiku, berlama-lama memandangnya.
"Dan tentu saja gaunnya tak terlalu pendek."

Kegembiraan berpendar dalam hatiku. Dia menyukainya. Dia


melihatku seolah dia menginginkanku dan aku tahu ini gila, tapi aku
menyukainya. Aku ingin dia memandangku seperti ini terus.
Sepanjang malam.

"Meski begitu, ada masalah." Aku bergeser dengan gelisah, mencoba


mengabaikan kekhawatiran di dalam diriku. Aku tak ingin dia
mengatakan tidak.

"Apa masalahnya?" dia berdiri dan berjalan mendekatiku. Lututku


gemetar dan menahannya, berharap seperti orang gila aku tak
terjatuh seperti orang bodoh gara-gara dia mendekatiku dengan mata
gelap dan menariknya itu.

Seolah dia ingin menelanku bulat-bulat.

"Harga gaunnya hampir empat ratus dolar," aku berbisik. Aku bisa
membeli berton-ton belanjaan dengan uang sebanyak itu. Membayar
sebagian besar tagihan kami. Membeli gaun yang mungkin hanya
akan kupakai sekali terdengar sangat gila.

Drew bahkan tidak berkedip. "Aku tetap akan membelikanmu gaun


itu." Dia berhenti tepat di hadapanku, menaruh tangannya di
pinggangku. Sentuhannya seakan membakar kain gaunku, aku bisa
merasakan setiap jarinya menekan kulitku dan hatiku mulai berpacu.
"Kau kelihatan sangat cantik, Fable."

"Aku—aku juga menyukainya." Aku terdengar seolah kehabisan


nafas dan aku ingin sekali menendang diriku sendiri. Cowok tidak
pernah membuatku kehabisan nafas. Dan mereka juga tak pernah
membuatku berdebar.

Tapi entah bagaimana cowok yang satu ini melakukannya.

"Kau menemukan yang kau sukai?" Kaylie berdiri tepat di belakang


Drew, tatapannya yang dingin mengarah langsung ke arahku dan aku
menduga Drew sengaja melakukan hal tadi karena kehadiran cewek
ini.

Keseluruhan tubuhku mengempis karena sadar akan apa yang


dilakukannya dan aku menjauh dari tangannya. "Aku akan ganti
baju, kemungkinan kami akan mengambilnya. Dan aku masih
memerlukan sepasang sepatu."

"Rencananya akan ada acara apa?" Kaylie terdengar ceria dan manis
tapi ada setitik racun di dalam suaranya. Gadis ini terlihat siap
membenamkan cakarnya pada Drew.

Dan kemudian mencongkel keluar mataku.


"Ayahku mengajak kami makan malam ke Pebble Beach malam ini,"
Drew memberitahunya.

"Oh, aku juga akan ada di sana. Kita harus duduk bersama." Dia
cekikikan dan aku menyelinap kembali ke ruang ganti, menutup
pintu dengan kekuatan yang bisa meretakkan dinding.

Duduk bersama (hook up). Pilihan kata yang sempurna. Jika dia tak
benar-benar memperhatikan, aku ingin sekali memberinya tinju
kanan (right hook)ku ke hidungnya yang terlalu sempurna itu.
***

Bab 6
Hari ke-2, jam 6:17 sore

"Remember that great love and great achievements involve great


risk."—Dalai Lama

Fable

"Ayahku membuat teleponku panas," Drew memanggilku dari ruang


santai. "Kau sudah siap belum? mereka mengancam akan pergi tanpa
kita jika kita tak siap jam 6:30."

Sialan. Tanganku gemetar ketika aku selesai memakai maskara dan


aku khawatir aku akan mencongkel mataku keluar. Drew terus
menerus mengingatkanku kalau orang tuanya menunggu di luar, dan
itu tak membantuku sama sekali. Aku tak pernah gugup memikirkan
penampilanku sebelumnya. Bahkan ketika aku menghadiri pesta
dansa ketika SMP dan SMA dan menghabiskan waktu bersiap-siap.
Menabung semua uangku untuk membeli sebuah gaun murahan dari
JC Penney, berpikir aku terlihat seksi ketika aku mungkin terlihat
seperti gadis kecil yang baru belajar berdandan.

Sekarang aku mengenakan gaun, sepatu dan bermacam-macam


aksesoris yang harga seluruhnya hampir mencapai seribu dolar.
Drew bahkan tak memprotes ketika Kaylie memberitahu jumlah itu
dengan berisik. Kaylie hanya mengambil kartu kreditnya tanpa
berkata-kata, walaupun dia memberiku pandangan mencela sekilas
setelah transaksi usai.

Aku benar-benar berharap nenek sihir itu tak akan datang ke pesta di
Country Club malam ini. Semua sudah cukup kacau tanpa dia harus
menambah masalahku.

"Fable." Drew mengetuk pintu kamar mandi dengan kerasnya hingga


pintu terayun terbuka dan syukurlah aku tidak sedang telanjang,
walaupun dia tahu aku tak telanjang, jadi aku hanya
mengkhawatirkan sesuatu yang tak penting. Dia berdiri di ambang
pintu, telihat luar biasa menakjubkan dalam celana hitam dan kemeja
abu-abu keperakan dan dasi hitam. Mulutku kering ketika aku
menatapnya di cermin dan dia membalas dengan tatapan yang sama.
Matanya melebar, menelanku bulat-bulat, menatap keseluruhan
tubuhku dan aku merasakan pandangannya seolah dia benar-benar
menyentuhku. "Uh, kau sudah siap?" dia bertanya, suaranya serak.

"Beri aku waktu dua menit lagi." Aku memaksa mataku beralih
darinya dan mengambil lipgloss pink pucat dari dalam tas
kosmetikku. Aku membuka tutupnya dan mengoleskannya di
bibirku, dan mengusapkan kedua bibirku dan mengamati
bayanganku di cermin.

Aku menata rambutku ke atas kepalaku agar bagian belakang


gaunku kelihatan, dan sidikit rambut menjuntai membingkai
wajahku. Aku menghias mataku dengan hiasan gelap tebal, pipiku
berwarna merah muda dan bibir pucat, mencoba menampilkan
hiasan wajah yang bersahaja. Gaunnya sangat sempurna,aku tak tahu
bagaimana penampilanku ketika memakainya, dan aku memakai
sepatu berhak sangat tinggi. Benar-benar berhak tinggi, mungkin
kini aku setinggi bahu Drew. Semoga saja aku tak akan jatuh
mendarat di pantatku ketika berjalan nanti.

Anting berkilauan serta gelang berlian imitasi yang kukenakan


melengkapi penampilanku malam ini. Aku hampir merasa
penampilanku berlebihan, tapi Drew tak pernah protes jadi aku
tenang-tenang saja. Walaupun begitu, kini aku khawatir akan
pendapatnya dan lebih fokus menutup tas kosmetikku. Semoga saja
dia menyukai penampilanku. Menurutku dia kelihatan tampan, tapi
kapan sih dia pernah kelihatan tidak tampan? Para cowok bisa
memakai tas kertas untuk menutupi kemaluannya dan masih akan
terlihat seperti rancangan desainer.

Tadi aku menelepon ibu temannya Owen dan dia meyakinkanku


Owen ada di sana dan akan menginap di sana malam ini, dan aku
merasa senang. Aku mencoba menghubungi ibuku, tapi tak ada
jawaban. Aku mengirimkannya pesan singkat untuk memberitahunya
aku baik-baik saja.

Tetap tak ada balasan. Mungkin dia sedang bersama dengan


pacarnya bulan ini dan tak punya waktu untukku.

Menegakkan bahuku, aku berbalik dan menghadap Drew. Dia


menyandarkan tangannya di pintu dan agak mengarah ke kamar
mandi, kemejanya meregang di dadanya, menegaskan posturnya di
balik kain yang tipis. Aku bisa mencium wangi kologn-nya, wangi
yang bersih, berbau citrus dan wanginya sangat menyenangkan, aku
ingin menekankan wajahku ke lehernya dan menghirupnya.
Mungkin aku akan menjilat kulitnya hanya untuk merasakannya..

Pikiranku sudah mulai melantur tak terkendali dan ada masih banyak
hari tersisa untuk kami. Aku akan menjadi sangat berantakan ketika
Thanksgiving berlalu.

Kau bisa melaluinya. Dia hanya cowok biasa. Dan cowok tak pernah
ada artinya bagimu.

"Kau siap?" dia akhirnya bertanya ketika aku hanya terdiam terlalu
lama.

Mengangguk, aku menunjukkan teleponku. "Aku tak bisa


membawa-bawa ini. Tas yang kubawa terlalu besar dan tak akan
serasi dengan pakaianku."

Bibirnya yang penuh merenggang dalam senyum samar. "Apa kau


harus membawanya? Kau bisa meninggalkannya di sini. Kita akan
pergi paling lama beberapa jam."

"Well..." suaraku menghilang. Beberapa jam terlalu lama untukku


berpisah dengan teleponku. "Aku harus membawanya. Bagaimana
kalau adikku menelepon dan butuh bantuan? Atau ibuku?"

Pandangannya melembut, penuh dengan pengertian. "Kau bisa


meletakkannya di..bramu?"

Aku benar-benar terkikik. Dan aku tak pernah terkikik sebelumnya.


"Aku terkejut kau tahu trik bar kuno itu." Aku sadar seketika. "Tidak
bisa, aku tak memakainya."
Dia terlihat seolah dia baru saja menelan lidahnya. Hanya dengan
mengatakan hal itu sebanding dengan reaksinya. "Aku bisa
menyimpannya di kantongku jika kau mau."

"Benarkah? Trims. Aku sangat menghargainya." Aku mengatur


teleponku dalam mode getar dan menyerahkannya, jemari kami
bersentuhan. Gelombang listrik menyerang kulitku dan tanpa sadar
aku menggosoknya ketika aku menyaksikan Drew memasukkan
teleponku ke kantongnya.

"Ayo pergi. Kita akan menemui mereka di mobil."

Aku mengikutinya meninggakan pavilion menuju ke garasi besar.


Orang-orang ini tinggal pada sesuatu yang sangat berlebihan, dan
membuat terperangah. "Kita akan berkendara bersama mereka?"

"Ayahku memaksa." Dia tak kelihatan senang dan itu membuatku


yakin. Aku juga tak senang harus bersama mereka. "Menurutku kita
bisa mengambil keuntungan dari hal ini, kita bisa minum sampai
mabuk nanti."

Aku sering melihatnya di La Selle. "Aku tak pernah melihatmu


mabuk. Dari apa yang pernah kau katakan padaku, kau bilang kau
tak suka lepas kontrol. Menurutku, mabuk-mabukan sama dengan
lepas kontrol."

Dia menatapku sekilas. "Kau benar. Kupikir kau sudah mengenalku


dengan baik."

"Tidak juga." Aku bergumam ketika kami tiba di garasi. Aku


berharap bisa mengenalnya lebih dekat, tapi dia menjaga rahasianya
dengan sangat rapat.

"Kau tak bawa mantel?"

Aku menggeleng, menahan untuk tidak terkesiap ketika dia meraih


tanganku dan menggenggamnya. Reaksiku terhadapnya benar-benar
konyol dan aku benar-benar perlu belajar mengendalikannya.
Semuanya yang ada di antara kami tak nyata dan aku harus
mengingatnya. Tak peduli seindah apapun rasanya.

"Kau akan kedinginan," Dia mengatakannya ketika kami sampai di


garasi. Sedikit rasa puas menyusup ke dalam dadaku karena
orangtuanya tak berhenti mengomel sejak kami kembali ke rumah,
dan kini kami yang menunggu mereka.

"Mungkin kau akan membuatku tetap hangat?" Dengan senyum


yang khusus kutujukan untuknya, aku menyenggol lengan atasnya
dengan bahuku, dan mengagumi ototnya yang sekeras batu. Aku
benar-benar berharap bisa mengintipnya ketika dia menanggalkan
bajunya, tapi hal itu belum terjadi hingga sekarang. Aku tahu di balik
bajunya di terpahat laksana dewa, dan aku ingin melihat keseluruhan
ototnya itu.

Dia mengangkat alisnya. Aku benar-benar menyukainya ketika


melakukan hal itu. "Kau sedang menggodaku ya?"

Sepertinya aku tengah menggoda seseorang ketika orang tuanya


muncul, keduanya berjalan buru-buru mendekati kami dan salah satu
pintu garasi terbuka, memperlihatkan mobil Range Rovers hitam
menakjubkan yang terparkir di dalamnya. Aku mencoba bertingkah
acuh tak acuh ketika kami menuju ke mobil, Drew membukakan
pintu jadi aku bisa masuk ke kursi belakang pertama kali. Aku tak
mengharapkannya masuk setelah aku, dan aku bersumpah aku
merasakan tangannya menggelitik bagian belakang pahaku sekilas.

Tapi ketika kami telah duduk di bangku belakang, ekspresinya


terlihat biasa-biasa saja jadi aku pikir aku pasti telah menghayal.

Orang tuanya tak banyak bicara dan itu membuatku gelisah. Aku
menduga mereka sedang bertengkar. Atau mereka masih marah
karena aku berdandan terlalu lama. Drew sudah meyakinkanku
bahwa makan malam itu tidak akan mulai sebelum jam tujuh malam
jadi bahkan sekarangpun kami masih punya waktu setengah jam.
Tapi mungkin saja mereka mereka senang tiba lebih awal agar bisa
memilih meja yang bagus. Sialan, aku tak tahu apapun.

Aku akan sebuta ini dan aku gugup.

Drew menggapaiku dan menggenggam tanganku lagi dan ketika aku


mendongak menatapnya, dia tersenyum padaku di dalam kegelapan.
Aku tiba-tiba saja merasa bahwa kami berdua sendirian melawan
dunia. Kami bersama menghadapi hal ini dan satu sama lain harus
saling bergantung untuk bisa melewati semua ini. Terdengar sangat
dramatis dan konyol tapi aku tak bisa menahan perasaanku.

Aku juga tak bisa menahan untuk tidak memandangnya sedikit


terlalu lama, mengagumi keindahan maskulin di wajahnya. Sangat
tidak adil ketika seseorang terlihat begitu tampan dan itulah Drew.
Seharusnya dia membuatku jijik karena dia terlihat begitu tampan.

Alih-alih begitu dia malah membuatku hampir pingsan dan aku


merasa bodoh sekali. Seolah kepalaku menjadi semakin ringan
karena seluruh partikel otakku menguap selama aku memandangnya,
dan aku menduga dia bisa menyadari aku sedang memandangnya.
Ketika dia berpaling dan memandangku, aku tahu dia menyadari
kalau aku memandangnya. Dia tersenyum, pandangannya
menenangkan keteganganku, membuat jantungku berdebar, dan aku
menyerukan pertanyaan pertama yang terlintas di benakku.

"D itu kepanjangan apa?"

Dia mengerutkan kening dan menggelengkan kepalanya. "D yang


mana?"

"Nama tengahmu. Namamu kan Andrew D. Callahan." Aku berhenti,


berharap orangtuanya tak mendengarkan. Ayahnya memundurkan
mobil keluar dari garasi dan Adele menggumamkan sesuatu
kepadanya, tapi aku tak bisa menangkap kata-katanya.

"Ah." Dia mengangguk, seolah dia baru saja memecahkan misteri


kuno. "Kenapa tak kau tebak sendiri?"

Hmm...dia juga mencoba menggodaku. Aku menyukainya. Membuat


semuanya terasa lebih ringan, khususnya dengan adanya drama
penuh ketegangan yang berasal dari kursi depan.

"Dumbledore?"

Tertawa kecil, dia menggelengkan kepalanya. "Bukan."

Aku mengetukkan jari di daguku. "Daniel."

"Bukan."

"Dylan."
"Ah, nama itu memang cocok dengan semua Callahan khususnya
yang agak berbau Irlandia, tapi itu tebakan yang salah."

Aku kembali mencari nama yang tepat yang berawalan dengan huruf
D, tapi semuanya menggelikan, ketika akhirnya aku menemukan
satu yang sempurna.

"David," aku berbisik.

Senyumnya mengembang. "Akhirnya kau menemukannya."

"Apakah aku akan dapat hadiah?" aku membalas senyumnya.

"Tentu," dia menjawab ringan. "Apa yang kau inginkan?"

"Kau menanyakannya padaku? Bukankah seharusnya kau yang


menentukan hadiahnya?"

"Kau bisa meminta apapun yang kau inginkan." Dia menggerakkan


jemarinya melintasi telapak tanganku, membuatku menggigil.
"Sebutkan saja dan kau akan memperolehnya."

Kami belum pernah ciuman. Well, aku memberinya ciuman singkat


di dadanya semalam tapi selain itu, tak pernah. Dan itu adalah hal
yang kuinginkan. Sebuah ciuman dari Drew. Aku tak meminta
ciuman yang lama, dalam, lidah yang bertaut dan sebagainya,
walaupun itu kedengarannya menggiurkan.

Aku hanya ingin merasakan bibirnya menekan bibirku sekali saja.


Aku ingin tahu selembut apa bibirnya, bagaimana rasa bibirnya,
sehangat apa nafasnya di bibirku. Aku ingin menikmati saat ini,
pertama kalinya dan sangat mendebarkan walaupun sementara..

Tapi, apakah aku cukup berani meminta hal itu?


***

Drew

Dia ragu-ragu dan aku tak tahu mengapa. Antisipasi mengalir


melalui pembuluh darahku selama aku menunggu jawabannya. Aku
tak tahu apa yang akan terjadi kepadaku, tapi aku menduga hal
itupun akan terjadi padanya, dan kami sedang saling menggoda satu
sama lain. Itu yang sebenarnya dan bukan karena kami harus
melakukannya, tapi karena kami ingin melakukannya.

Itu membantu meringankan tegangan yang berasal dari kursi depan.


Aku tak tahu apa yang dipertengkarkan mereka berdua, tapi aku tak
akan membiarkan hal itu mempengaruhiku. Di sampingku duduk
seorang gadis yang sangat cantik dalam kegelapan, memakai gaun
paing seksi yang pernah kulihat. Gaun itu menutup keseluruhan
tubuh bagian depannya tapi meliuk sesuai lekukan tubuhnya dan
roknya benar-benar pendek, dan tak akan perlu waktu lama bagiku
menyelinapkan jemariku ke bawahnya dan menyentuhnya.

Tapi bagian belakang gaunnya yang benar-benar menarik


perhatianku, membuatku ingin melepas gaunnya dan melihat tubuh
telanjang Fable yang indah. Potongan V yang rendah dan bagaimana
itu melekat hingga ke pertengahan punggungnya, bagaimana
kulitnya yang lembut seperti sutra itu terekspos, dengan renda yang
halus menggantung menutup kulitnya. Sialan, setiap melihatnya aku
seolah sekarat. Tanganku sungguh-sungguh gatal ingin
menyentuhnya di sana.
Menyentuh seluruh tubuhnya.

"Aku ingin kau menciumku," akhirnya dia mengatakannya, suaranya


sangat lembut, aku hampir tak dapat mendengarnya. Jujur saja,
sesaat aku merasa aku berhalusinasi karena tak mungkin dia baru
saja memintaku menciumnya.

Menatap ke arah kursi depan, kuperhatikan mereka berdua tidak


menghiraukan kami. Radio satelit masih berbunyi, memainkan
music jazz lembut dan mereka bicara dengan suara rendah,
berguman dengan muram. Keduanya terdengar marah kepada satu
sama lain dan aku tak dapat menduga apakah pertengkaran mereka
berkaitan denganku atau tidak.

Sekarang, aku bahkan tak peduli. Dan seharusnya aku tak pernah
peduli. Apapun alasan mereka bertengkar bukanlah urusanku.

"Drew." Suaranya yang lembut menyadarkanku lagi dan aku


memandang Fable, dan aku tenggelam dalam mata hijau gelapnya.
"Kau mendengar yang kukatakan?"

"Ya," Aku berbisik, menelan ludah dengan sulit. Sial, orang tuaku
berada di sini. Adele hanya perlu memalingkan kepalanya sejauh dua
inchi dan dia akan melihat kami. Dia tak akan suka jika aku
mencium Fable di depannya. Dia mungkin akan murka. Aku tak tahu
apakah aku ingin mengambil risiko ini.

Jangan cengeng, Bung. Cium dia, bajingan. CIUM DIA!!!

Membungkuk di atasnya, memandang ke matanya, aku


merengkuhnya, melarikan jemariku di leher Fable. Kulitnya sangat
lembut dan dia menutup matanya, bibirnya terbuka. Lidahnya
menyelinap keluar dan dia menjilat bibir atasnya. Hanya dengan
melihatnya, aku langsung keras dan tanpa berpikir lagi aku
menyentuhkan bibirku ke bibirnya. Hanya sekali. Dengan lembut,
seringan sayap kupu-kupu, memainkan lidahku sedikit lebih lama,
mencoba mencuri detik-detik itu sebelum akhirnya aku mengakhiri
ciuman itu.

Matanya membuka dan terlihat bingung dan dia menatapku dengan


pandangannya yang intens. Pandangan yang membuatku merasa
seolah dia bisa melihat semua hal yang kusembunyikan di dalam
diriku. Yang baik dan yang buruk. Keelokan dan kejelekanku.
"Hanya segitu yang kau punya?"

Dia menggodaku. Aku bisa melihat itu di binar matanya, dan


bibirnya yang menyeringai sekilas. Sial, aku ingin menciumnya lagi,
jadi kulakukan.

Kali ini, dia menyelinapkan tangannya di belakang kepalaku dan


menahanku jadi aku tak akan bisa melepaskan diri. Dan aku memang
tak ingin melepaskan diri. Jemarinya terjalin di rambutku,
membelaiku selagi bibir kami bertemu lagi dan lagi. Sentuhannya
terasa nikmat sekali. Erangan kecil lepas dari mulutku dan aku
mengait bibir bawahnya dengan lidahku, menikmati rasanya yang
manis dan lengket. Dia membuka bibirnya, membuka dirinya
untukku dan aku mengambil seluruh keuntungan itu.

Dengan lembut aku menelusuri mulutnya. Seluruhnya. Rasanya luar


biasa nikmat dan kurasakan kulitku mendadak mengencang, dan aku
merasa tubuhku terbakar dari dalam. Aku begitu keras, dan itu
menyakitiku, dan aku tak bisa mengingat kapan aku pernah merasa
lebih teransang dari ini, dan juga secepat ini. Ciuman kami yang
tadinya menyenangkan dengan cepat lepas kendali, dan aku mulai
khawatir orang tuaku juga akan kehilangan kendali jika mereka
melihat kami menyatu seperti ini, bertingkah seperti remaja
kebanyakan.

Selama dua detik aku tak peduli jika orang tuaku melihat kami atau
tidak. Aku tersesat dalam sentuhannya, aku tersesat ketika tubuhnya
meliuk di tubuhku, pada rasa bibirnya, pada bunyi nafasnya.

Tanganku berada di pinggangnya, jemariku menekan kain gaunnya.


Jalanan ke arah pantai penuh dengan tikungan dan ayahku menyetir
begitu cepat, jadi kami bergoyang terhadap satu sama lain di kursi
belakang. Dan aku mengambil kesempatan lagi, menariknya
mendekat, dan aku suka bagaimana dia mendekat padaku dengan
mudahnya. Dia melilitkan lengannya di sekeliling leherku dan
melahap bibirku, lidahnya yang mungil menjerat dan bertaut dengan
lidahku.

Ciuman ini bukan untuk pertunjukan kasih sayang kami. Ini bukan
untuk membuat orang terkesan. Kami berciuman karena kami ingin
melakukannya. Dan kami juga tak menghentikannya.
***

Baru dua hari kami menjalani hubungan palsu sialan ini dan
disinilah kami sekarang, memeluk satu sama lain seperti remah
Pretzsel dan berharap kami tak perlu harus melepaskan satu sama
lain segera.

Setidaknya, itu yang kurasakan.

Mobil terbanting ke kiri dengan keras membuatku jatuh dan


menimpa Fable.
"Andy!" Adele marah dan ayahku menggumamkan maaf setengah
hati dan dia memelankan mobil.

Aku mengakhiri ciuman terlebih dahulu, membuka mataku dan


melihatnya menatapku. Dia kelihatan bingung, bibirnya lembab dan
pipinya merona. Dia bahkan lebih cantik dari pertama kali aku
melihatnya di kamar mandi tadi, ketika aku begitu terpesona
melihatnya dalam balutan gaunnya yang seksi itu.

Dia kelihatan lebih cantik sekarang karena aku lah orang yang
membuat matanya berbinar dan pipinya merona.

"Kita—" dia menelan dengan susah payah, nafasnya makin cepat


dan dia menjilat bibirnya lagi. Dengan cepat aku bersandar
kepadanya lagi, menekan dahiku kepadanya. Aku menutup mataku
dan menghitung sampai lima sebelum membukanya lagi, mencoba
mengumpulkan pikiranku karena aku tak ingin terdengar tolol ketika
akhirnya aku menemukan suaraku.

"Kita apa?" Aku bertanya, tak menjauh sedikitpun darinya. Aku tak
ingin melepaskannya. Terasa begitu menyenangkan, menyentuhnya,
telapak tanganku di setiap lekukan tubuhnya, bibirnya menyatu
dengan bibirku.

Sialan, aku tak pernah berpikir seperti ini. Aku selalu melakukannya
seperti orang gila. Ciuman, seks, dan semua hal keparat itu
membuatku merasa… Entahlah, aku tak bisa menjelaskannya. Seks
membawamu ke tempat yang buruk. Ke tempat di mana kau
melakukan sesuatu yang tak ingin kau lakukan. Atau melakukan
sesuatu yang terasa begitu nikmat, tapi kau tahu itu salah. Seks
untukku selalu terasa.. memalukan.
Aku membencinya. Aku benci merasa bersalah melakukan sesuatu
yang begitu menakjubkan. Aku benci terlibat dengan seseorang yang
tak seharusnya, dan mereka menghancurkan segala milikmu.

Itulah yang paling ku benci, dan yang paling membuatku marah.


Aku penuh dengan kebencian, aku tergoda memberitahu Fable,
bahwa jika dia tahu yang sebenarnya, dia tak akan pernah mau jalan
dengan orang sepertiku, bahkan jika hanya pura-pura.

Terutama jika semua hanya pura-pura.

"Kita harus melakukannya lagi. Bukan begitu?" dia menjalankan


jemarinya ke rambutku dan aku menutup mataku, menikmati
sentuhannya. Tiba-tiba saja aku mendambakannya. Sentuhan
manusia. Sentuhan Fable.

"Maksudmu ciuman?" Aku bertanya karena aku bingung. Aku tak


tahu apa yang sedang dia bicarakan, begitu tertarik dengan
sentuhannya, juga dengan suaranya.

"Ya, kita harus menampilkan pertunjukan yang seru malam ini,


kan?"

Tunggu sebentar, menampilkan pertunjukan yang seru? Jadi yang


tadi itu ajang latihan atau semacamnya? "Ya, tentu saja."

"Kita buat para tetangga dan teman-teman orangtuamu, juga


mungkin teman-temanmu, tercengang dan akhirnya mereka akan
percaya kalau kita benar-benar bersama, bagaimana?" dia menjauh
dari rangkulanku dan lenganku tiba-tiba kosong. Dia diam di
tempatnya, dia masih bernafas dengan cepat. Setidaknya aku agak
membuatnya terpengaruh.
"Menurutku juga begitu." Aku mengangkat bahu. Aku merasa aku
baru saja dimanfaatkan. Dan itu benar-benar menggelikan.

"Sempurna." Senyuman di wajahnya menerbangkan pikiranku. Aku


tak pernah berpikir dia secantik ini seminggu yang lalu. Tapi, dulu
juga aku belum mengenalnya. Dan kini aku sudah mengenalnya,
mengenalnya lebih jauh dari hari ke hari. Aku ingin lebih tahu
tentangnya. Dia masih menjadi misteri, begitupun denganku.
Lagipula, aku belum bisa memberitahunya rahasiaku.

Rahasia-rahasiaku akan membuatnya menjauh.


***

Fable.

Cowok ini tahu caranya berciuman.

Drew tak akan pernah tahu, ciumannya telah benar-benar


membuatku berantakan, aku merasa beku dan begitu terekspos.
Rapuh. Aku benar-benar lelah melakukan ini, seolah kami berdua
hanya pasangan muda-mudi yang sedang mabuk, tapi itu tidak benar.
Ciuman itu tak ada kaitannya dengan hubungan kami yang hanya
kepura-puraan.

Dan semuanya itu membuatku menginginkan sesuatu darinya, jauh


lebih banyak dari yang bisa diberikannya padaku.

Seluruh badanku gemetar dan aku menarik nafas dalam-dalam.


Mobil melambat dan berbelok ke jalan turunan dan aku tahu kami
telah tiba di tempat tujuan. Klub country telah menanti, terlihat
dipenuhi oleh orang-orang sombong sialan yang dengki itu, dan aku
masih luar biasa gugup. Dan juga masih terpengaruh ciuman tadi.
Adrenalin berlari di dalam darahku dan membuatku gemetar dan aku
melirik keluar jendela, menatap pemandangan di sekeliling kami.
Aku ingin pemandangan itu memenuhi pikiranku agar aku berhenti
memikirkan bibir dan lidah Drew yang ajaib.

Jadi aku fokus pada segala sesuatu yang tak penting. Seperti
bagaimana kami harus menempuh jarak sejauh 17 mil ke sini, jadi
aku bisa mengerling ke arah rumah dan dan lautan dan mengingat
seluruh keindahan dan kemewahannya. Tak mungkin aku akan rindu
untuk melihatnya, terutama ketika kami sedang sangat dekat. Rumah
yang luar biasa dan taman yang indah, semuanya begitu indah dan
hampir-hampir terasa menyakitkan melihatnya terlalu lama. Ya, aku
harusnya lebih fokus pada pemandangan yang indah dan lautan.

Bukannya lelaki tampan yang menciumku dan membuyarkan


seluruh isi kepalaku dan membuatku gemetar, terangsang dan
berantakan.

"Apa aku kelihatan baik-baik saja?" Aku meratakan rambutku,


berharap rambutku tak terlalu kusut.

"Kau kelihatan menakjubkan." Ketulusan dalam suaranya


menyentuhku begitu dalam. Aku begitu tolol jika berada di samping
cowok ini dan dia bahkan tak menyadarinya.

Aku mengerling ke arahnya. Bibirnya bengkak, matanya berbinar


dan rambutnya kusut di tempat tanganku mencengkramnya tadi.
Selain itu, dia kelihatan tampan.

Benar-benar tampan. Tapi, apa ada yang baru?


Meraihnya, aku meratakan rambutnya, menyisirnya dengan jariku.
Aku melakukannya sedikit lebih lama dari seharusnya tapi
rambutnya begitu lembut dan aku suka caranya menempel di jariku.
Dia tak mengucapkan apapun, dengan enggan dia bergerak,
walaupun mata biru intens nya menatapku tajam sepanjang waktu.
Ketika aku selesai, aku menjauh darinya, duduk di tempatku dengan
helaan nafas lega.

"Begitu," kataku, membersihkan tenggorokanku ketika kusadari


suaraku masih gemetar. Sialan. "Sekarang kau kelihatan rapi."

Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang besar sekali, dan
pintuku terbuka, seorang pria dalam seragam hijau tua-putih dengan
senyum ramah menatap ke dalam mobil. "Boleh saya bantu, Nona?"

"Ya, terima kasih." Kuletakkan tanganku di tangannya yang


mengenakan sarung tangan putih dan dia menarikku keluar dari
mobil. Drew membuka sendiri pintunya, begitu pula ayahnya
sementara pelayan lain melayani Adele.

Aku tak memperhatikan apa yang dipakainya tadi di rumah, jadi aku
melihatnya sekarang. Gaunnya berwarna biru gelap, panjang dan
dengan pas membalut tubuhnya yang ramping, dari leher hingga
kakinya. Gaun itu tak terlalu menampakkan kulitnya, tapi
memperlihatkan badannya yang jenjang, menunjukkan tak ada
sedikitpun lemak di tubuhnya.

Rambutnya dikuncir rendah, segelap langit malam, dan


menggantung hingga ke pantatnya yang dan akan melambai dengan
sempurna jika dia berputar dan menyapa seseorang. Tempat ini
begitu ramai, setiap orang merasa senang, tumpah ruah dalam
ruangan. Dan kuharap kami sudah memesan meja dan sebagainya,
walaupun akan sangat menyenangkan jika aku dan Drew bisa duduk
terpisah dari orangtuanya.

Kenyataannya, aku akan lebih memilih itu.

"Suka dengan yang kau lihat?"

Suara Adele yang menghina mengejutkan aku dan aku menatapnya,


menyadari bahwa dia memandangku dengan pandangan jijik dan
bibirnya mencibir.

"Gaunmu sangat indah," jawabku dan dia tersenyum dingin sebagai


jawaban tapi tak mengatakan apapun.

Tuhanku. Aku ingin menginjakkan kakiku di mukanya dan bilang


padanya untuk menjauh. Tapi aku menahannya, memberinya
senyuman samar ketika dia melihatku kembali. Walaupun
tampaknya dia tak memandangku, dia memandang Drew, yang
datang dari arah belakangku. Aku tahu itu dia karena aku bisa
merasakannya, menghirup aromanya yang lezat, merasakan
kehangatan yang menguar dari badan yang besar.

Aku benar-benar telah tertarik pada cowok ini. Aku berada dalam
masalah besar. Bagaimana jika dia tak merasakan hal yang sama?
Bagaimana nantinya? Aku tak tahu harus bagaimana. Aku telah
sepakat dengannya untuk melakukan ini, dan kini aku harus
menerima konsekuensinya, apapun yang akan terjadi.

"Siap ke dalam?" dia meletakkan tangannya di bahuku yang


telanjang dan sentuhannya mengejutkan sistemku, aku merasa
seakan tak bisa bernafas, seolah paru-paruku membeku.
Memutar kepalaku ke samping, kusadari dia berdiri sangat dekat.
Amat sangat dekat. Bibirnya tepat di pelipisku, seolah dia tengah
menciumku di sana, dan aku bisa merasakan nafasnya yang hangat
meniup anak-anak rambut di dahiku. Posisi kami pasti terlihat sangat
intim, kuyakin. Aku menduga ini karena kehadiran Adele.

Aku tak memahami kontrol yang dimiliki wanita itu terhadap Drew.
Drew menggunakanku untuk membuatnya terganggu, juga tak ingin
berada dekat-dekat dengannya. Tak satupun yang masuk akal.

Sebagian besar hidupku, aku selalu membiarkan diriku


dipergunakan. Berulang-ulang kali, dan oleh siapapun yang berada
di sekelilingku. Aku sudah sangat terbiasa melakukannya. Tapi tidak
jika yang melakukannya adalah Drew. Aku tak ingin dia
memanfaatkanku untuk membuat orangtuanya marah. Aku tak ingin
dia memanfaatkanku sebagai pelindung yang aneh jadi orang-orang
di kehidupannya akan berhenti bertanya pertanyaan yang menyelidik
tentang kehidupannya, dan membiarkannya sendirian.

Aku ingin dia benar-benar menyukaiku. Aku ingin menghabiskan


lebih banyak waktu bersamanya. Menghabiskan waktu yang
sebenarnya, bukan saat-saat palsu ‘oh, ayo kita menghabiskan waktu
bersama’ itu.

"Ya," akhirnya aku menjawab pertanyaannya karena aku tak tahu apa
lagi yang harus kulakukan. Kami harus menghadapi kenyataan dan
kerumunan itu mananti kami di dalam.

Dia meremas bahuku dan kami berjalan bersama, membuntuti orang


tuanya, memperoleh tatapan tajam Adele ketika kami melangkah
memasuki pintu ganda.
Malam ini akan terasa seperti tak akan berakhir. Dan memang mulai
terasa seperti itu.
***

Bab 7
"I've never dropped anyone I believed in"—Marilyn Monroe

Drew

Kami duduk berdampingan mengelilingi meja yang penuh orang,


suara percakapan mereka memekakkan telinga. Kami tak bicara apa-
apa selama makan malam, selama setidaknya satu jam, kurang lebih.
Aku tahu kedengarannya bodoh, tapi dia membuatku gugup dan aku
hanya ingin terlihat sempurna di depannya.

Aku seolah tak bisa menemukan kata-kata. Apa yang harus


kukatakan setelah sesi ciuman di kursi belakang mobil ayahku? Aku
tak ingin momen itu menjadi tak ada artinya. Aku duduk di sini dan
aku masih merasakan sensasinya. Aku berpikir seperti perempuan,
dan aku memutar lagi momen itu dalam pikiranku, lagi dan lagi.

Bagaimana dia merespon sentuhanku, suara kecil penuh kenikmatan


di belakang tenggorokannya. Hangat tubuhnya, lidah selembut
beludru yang bertautan dengan lidahku, tangannya di rambutku. Aku
tak bisa mengingat terakhir kali aku berciuman seperti itu.
Pernahkah aku berciuman seperti itu? Sial, aku benar-benar tak
yakin.

Dan kenyataan itu menghentikanku.

Kami mungkin tidak berbicara, tapi aku benar-benar waspada


padanya. Suaranya ketika bernafas, aromanya yang manis dan
membuat mulutku berair. Kulit hangatnya, cara bahu telanjangnya
menyentuh lenganku ketika dia meraih segelas air. Aku rasa dia
sengaja menyentuhku.

Melalui sudut mataku, kelihat dia meneguk air. Bibir penuhnya


melekat di gelas, leher halusnya bergerak-gerak ketika dia menelan.
Aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mencium kulitnya
yang terbuka itu, hingga kukepalkan tanganku dan meletakkannya di
pahaku. Memaksa diriku berhenti berpikir seperti orang bodoh.

Tak berhasil. Aku tak bisa berhenti memikirkannya. Bagaimana


ketika dia di pelukanku, dan bibirnya masih terasa di bibirku. Aku
tak pernah berpikir seperti ini sebelumnya. Aku menahan semua
emosi bodoh ini di dalam diriku sejak dulu dan aku menahan agar
mereka tak keluar. Itu semua omong kosong. Sebagian besar waktu,
aku merasa seperti robot. Tetap bergerak, menjalani kehidupan hari
demi hari.

Tapi cewek ini…dia tak seperti omong kosong lainnya. Dia nyata
dan dia sangat cantik dan terasa begitu pas ketika aku memeluknya.
Dia membuatku merasakan sesuatu.

Sangat berbahaya berpikir seperti ini. Aku tak berarti apa-apa


baginya. Hingga segalanya berakhir, aku tak lebih dari sekedar cek
bayaran atas pekerjaannya. Dan aku yang melakukan ini pada diriku
sendiri, dan kini menyesalinya.

Aku cemberut dan kembali menenggak bir yang ku ambil di konter


minuman tadi. Ini botol bir keduaku dan semakin aku mencoba
menghabiskannya dengan pelan, tanpa kusadari aku
menghabiskannya lebih cepat lagi. Aku marah karena rencanaku
untuk berkeliling dan memamerkan kekasih palsuku tak berjalan
mulus dan aku tak tahu bagaimana menyelamatkan emosiku yang
kian memburuk. Aku bahkan tak yakin aku ingin menghentikan
kemarahanku atau tidak.

Itu adalah hal terbodoh dari semuanya. Seolah aku ingin menyiksa
diriku sendiri. Tapi jika rasanya menyenangkan bersama dengannya,
mengapa aku harus berhenti?

Kau pernah melakukan sesuatu yang kau rasa begitu menyenangkan,


tapi kau tahu kau seharusnya berhenti, dulu..

Aku benci suara dalam kepalaku itu. Suara itu mengingatkanku pada
semua kesalahanku, semua hal buruk yang telah kulakukan. Aku
adalah orang baik dan aku tahu itu. Aku tak butuh peringatan
berulang-ulang.

"Drew, di sini kau rupanya!" Sialan, itu Kaylie yang kali ini bersama
dengan dua temannya membuntutinya di belakang. Cewek-cewek
teman sekolahku dulu, dan mereka semua berdandan seperti boneka
Barbie. Dan sangat sulit membedakan mereka. "Kami sudah
mencarimu kemana-mana. Kau ingat Abby dan Ella, kan?"

"Ya, hai..." Aku menganggukkan dagu menyapa mereka serempak


mengedipkan bulu matanya kepadaku, terkikik melihatku. Benar-
benar mengerikan, dan kuharap mereka segera pergi.

Di sampingku, kudengar Fable mendengus pelan, dan itu


membuatku tersenyum. Meliriknya melewati bahuku, aku melihat
wajahnya yang kebingungan, juga ekspresi jengkel yang nyata.
Kaylie memang gigih, aku harus mengakui hal itu, tapi kuharap dia
menangkap tanda-tanda kemarahan Fable.
"Kau tahu kan sebentar lagi akan ada dansa," kata Kaylie, dengan
tatapan menusuk dari Fable padanya. "Mungkin aku boleh
meminjammu sebentar dari—pacarmu. Kita harus bicara banyak,
sudah terlalu lama kita tak bicara."

Dia bicara seolah dulunya kami pacaran dan sebagainya, ketika


sejujurnya aku tak bisa mengingatnya dengan jelas. Aku tak
mengerti mengapa cewek ini gigih mengejarku seperti ini.

"Dia hanya akan berdansa denganku malam ini. Sorry." Fable


terdengar senang dan ceria, tapi kedengarannya dia tak menyesal
sama sekali. Ditambah lagi, dia meletakkan tangannya di paha
bagian atasku, jemarinya menekan kulitku jadi hampir menyentuh
kemaluanku. Gerakannya posesif dan aku sangat menyukainya.

"Yah, eh...maaf Kaylie." Aku memberinya senyuman permohonan


maaf ketika dia bahkan tak repot-repot membalas senyumku. Dia
pergi dengan gusar, mengibaskan rambut pirangnya ke balik
bahunya ketika dia berbalik dan menjauh sambil memaki pelan. Aku
menatap mereka menjauh, sadar akan Fable yang menatapku tajam.
Dan juga sangat menyadari tangannya yang masih berada di pahaku.

Aku juga tak ingin dia memindahkan tangannya dari sana.

"Beritahu aku, sebenarnya siapa cewek itu?"

Dia terdengar marah. Aku memandangnya, tatapanku bertemu


dengan matanya. Mata hijaunya seolah sedang menyemburkan api
dengan aku sebagai targetnya.

"Bukan siapa-siapa. Aku mengenalnya di SMA dan kami bahkan tak


pernah berbicara."

Bibirnya kaku, matanya masih menatapku dengan tajam.


Kelihatannya dia ingin sekali menendang bokong seseorang.

"Dia bertingkah seolah dia mantan pacarmu."

"Bukan." Aku menggelengkan kepalaku.

"Kalau begitu kau pasti pernah tidur dengannya." Matanya menyipit


dan jantungku seoah mengerut di dalam rongga dadaku, ketika
kesadaran menghantamku.

Fable sedang cemburu. Dan jika perasaan bangga yang mengembang


di dalam diriku saat ini menjadikanku seorang yang bodoh, maka
biarlah. Aku benar-benar merasakan semacam emosi bersama
dengan cewek ini. Dia bertingkah seolah dia benar-benar peduli.

"Aku tak pernah tidur dengannya." Suaraku melembut, aku tak ingin
membuatnya marah. Aku menyentuhnya, menjalankan jemariku di
pipinya dan memandang bibirnya. Aku ingin menciumnya.
Meyakinkannya kalau tak pernah ada apa-apa di antara aku dan
Kaylie, tak ada kisah, tak ada apapun.

"Baguslah." Tangannya menghilang dari pahaku dan dia menjauh


dari sentuhanku. Aku seolah kehabisan udara untuk bernafas dan aku
memandangnya tidak percaya ketika dia benar-benar menjauh
dariku. Dia menyingkirkan aku hanya dalam waktu sepuluh detik
dan itu adalah hal paling aneh yang pernah kualami.

Aku sudah memilikinya, dan kini tak lagi. Dan aku tak tahu kenapa.
Dia mendorong mundur kursinya dan berdiri, menyodorkan
tangannya ke arahku. "Boleh kuminta teleponku?"

"Kau mau kemana?" aku mencari dalam kantongku dan menarik


teleponnya keluar, menyerahkannya kepadanya. Dan aku kembali
tertegun menyaksikan betapa cantiknya dia dalam balutan gaunnya.
Aku yakin dia akan jauh lebih cantik ketika dia melepas gaun itu.

"Keluar. Aku ingin menghubungi adikku dan mencari tahu apakah


dia baik-baik saja." Dia memberiku senyuman singkat dan sebelum
aku bisa bertanya apakah dia ingin aku ikut dengannya, dia sudah
pergi, menyusup di antara keramaian menuju ke pintu dan keluar ke
arah teras yang menampilkan pemandangan padang golf.

Dia menghilang di balik pintu dan aku tak dapat memandangnya


lagi, dan tenggorokanku tercekat. Aku merindukannya.
Menggelikan, mengingat aku tak mengenalnya, dan kami kami baru
tiga hari bersama, jika hari kami datang kemari ikut di hitung, tapi
tetap saja.

"Dia tidak cocok untukmu, kau tahu itu."

Aku menghembuskan nafas dengan berat dan aku menutup mataku,


berharap aku tak berada di tempat ini. Bersamanya. Aku membuka
mataku, berbalik dan memandang Adele duduk di kursi yang baru
ditinggalkan Fable. Tempat duduk itu masih hangat dan aku baru
saja membiarkan Adele melecehkanku. Aku tak butuh hal sialan ini.
"Jangan ikut campur dalam kehidupanku." Aku menjaga agar
suaraku pelan, karena aku tak ingin siapapun mendengarkan kami.

"Kau tak akan bisa menghindariku selamanya. Kau tahu kadang-


kadang aku akan mendapatimu sendirian." Dia tersenyum, mata
gelapnya memandangku dari balik kelopaknya. "Kau
menggunakannya untuk melindungimu, tapi akhirnya aku bisa
melakukan ini."

"Aku tak memanfaatkannya," Aku memulai tapi Adele memotongku


dengan tatapannya.

"Kau pikir aku tak memperhatikan sesi ciuman sementara di kursi


belakang mobil itu? Hanya karena ayahmu dan aku tengah
bertengkar, bukan berarti aku tak memperhatikan gerak gerikmu."
Senyumnya yang congkak membuatku jijik. "Maafkan aku, tapi
apapun yang terjadi diantara kalian berdua, kalian bertingkah seperti
pemula yang tak tahu harus melakukan apa terhadap satu sama lain.
Seolah kalian belum pernah saling menyentuh sebelumnya. Katakan
yang sejujurnya. Kau benar-benar bersamanya?"

Panik melandaku dan tenggorokanku sekering gurun Sahara. Aku tak


ingin menjawabnya. Itu bukan urusan wanita sialan ini, tapi aku tahu
dia tak akan pernah menyerah. Dia akan terus menerus memaksaku
hingga akhirnya aku akan menyerah kepadanya, dan aku membenci
diriku sendiri karena itu.

Aku benci karena harus selalu menyerah kepadanya.

Aku melirik ke seberang meja, mencoba menarik perhatian ayahku,


tapi dia tengah terlibat percakapan yang seru dengan seseorang yang
duduk di sampingnya, dia tak memperhatikan apapun. "Kami benar-
benar bersama." Aku mengatakannya melalui sela-sela gigiku,
mencoba tak melihatnya. Suara menjijikan yang terdengar darinya
menarik perhatianku, walaupun aku berusaha tak
memperhatikannya.
Matanya berkedip sekali, menunjukan keraguannya, tapi dia
mengenyahkannya. "Baiklah. Apakah dia hebat di ranjang? Apakah
dia tahu beberapa trik-trik khusus?"

Tuhan. Aku tahu hal ini akan terjadi pada akhirnya, tapi jangan di
tempat ini. Ketika kami dikelilingi ratusan orang. "Jangan
membahasnya."

Senyumnya melebar. Dia tahu dia sudah berhasil membuatku tegang.


"Apakah dia bisa memuaskanmu, Andrew? Kau tahu kan, hal itu
agak sulit. Begitu sesorang bisa menghancurkan tembok baja yang
kau bangun di sekelilingmu itu, kau kan seperti…tak pernah puas."

Aku dipenuhi rasa malu dan aku berdiri begitu cepat. Kursiku jatuh
ke lantai dengan suara yang memekakkan telinga. Semua orang di
meja kami memandangku, dan leherku membara dalam rasa malu.

Adele masih duduk di sana, seanggun ratu di singgasananya. Dia


bahkan tak repot-repot memandangku. Dia benar-benar tahu apa
yang dilakukannya.

"Kau baik-baik saja,Nak?" ayahku bertanya, alisnya bertaut.

Aku tak menjawabnya. Alih-alih begitu, aku memilih enyah dari


tempat ini, putus asa mencoba menjauh dari Adele. Aku harus keluar
dari kerumunan ini. Ruangan ini terasa makin menyempit, dan
kepalaku berputar. Entah karena kegelisahanku, atau karena dua
botol bir yang kuteguk.

Yang kutahu adalah aku butuh udara segar. Aku menuju ke teras.

Aku menuju ke Fable.


***

Fable

"Kau masih di rumah Wade, kan?" aku menghisap rokokku dan


menghembuskannya, sejenak terpikat melihat asap tipis yang
melayang di udara. Di sini luar biasa dingin dan aku merokok diam-
diam karena tak ada tanda boleh merokok di teras ini. Apa gunanya
membangun teras kalau kau tak menghendaki tamumu merokok?

"Ya...ya...aku masih di sini." Owen terdengar kesal setengah mati


tapi aku tak peduli. Sudah lewat jam sembilan dan dia sudah harus
berada di tempat tidur setidaknya jam sepuluh dan aku ingin
mengingatkan apa yang harusnya dilakukannya.

"Kau tidur jam sepuluh, jangan lupa." Aku menjentikkan abu


rokokku, merasa bersalah karena membuang sampah tak pada
tempatnya. Ada apa dengan orang-orang kaya ini yang membuatku
merasa seolah aku tumbuh dewasa di selokan?

"Tapi itu terlalu cepat. Wade tak naik tempat tidur sampai jam
sebelas." Dia merengek. Lagi-lagi. Mengingatkanku kalau dia masih
belum dewasa dan masih punya banyak sifat anak-anak, walaupun
dia susah payah ingin membuktikan bahwa dia adalah pria dewasa
yang bisa menjaga dirinya sendiri.

"Well, itu terserah Wade. Aku masih berpikir kau harus berada di
tempat tidur setidaknya jam sepuluh." Tapi aku pasrah, aku yakin dia
tak akan mendengarkanku.

Aku tak suka jauh darinya. Ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang
disembunyikannya dariku, tapi aku tak yakin apa itu. Aku hanya
berharap dia menjaga sikapnya setidaknya hingga aku pulang.

"Terserahlah," Owen menggerutu. "Seringkali, kau bertingkah seolah


kau-lah ibuku, kau tahu?"

Tenggorokanku tercekat dan aku menahan air mataku. Aku benar-


benar emosional malam ini dan aku tak bisa benar-benar
menjelaskan kenapa. Aku menyalahkan Drew dan ciuman bodohnya,
yang membuatku merasa tak menentu, membuatku merasakan emosi
aneh di dadaku, membuatku ingin menangis, lebih sering dari
biasanya.

"Harus ada seseorang yang menjagamu."

Dia tertawa. "Bukankah itu kenyataannya?"

"Tuhanku, bicaralah dalam bahasa yang benar." Aku juga tertawa,


senang kalau suasana hatinya sedang bagus. Sebelumnya ketika aku
bicara dengannya, dia selalu tegang dan mengelak. Aku tak ingin dia
menyimpan rahasia dariku, tapi aku tahu itu wajar, mengingat dia
baru tiga belas tahun dan sebagainya. Perilakunya hanya akan makin
bertambah buruk, aku yakin. Setidaknya aku sudah mempersiapkan
diriku.

Para lelaki dan rahasia-rahasia mereka. Dan aku tahu Drew punya
segudang rahasia. Aku tak tahu apa itu, tapi aku yakin itu sesuatu
yang serius. Dia memendam semuanya di dalam dirinya dan itu
membuatnya tertekan. Aku merasakannya ketika dia menciumku dan
memelukku. Tubuhnya kaku, seolah dia lebih ingin memeluk dirinya
sendiri.

Aku tak ingin dia begitu. Tidak dulu, ataupun sekarang. Terutama
sekarang. Dia mengelabui semua orang dengan penampilannya saat
ini, tapi aku mulai penasaran bagaimana sebenarnya Drew. Atau
apakah dia bahkan mengenal dirinya sendiri?

"Aku akan meneleponmu lagi besok, ok? Bersikap baiklah." Aku


menghisap rokokku lagi, menahan asapnya sejenak di paru-paruku
sebelum dengan perlahan menghembuskannya. Tuhan, aku tahu ini
buruk bagiku, tapi aku tak bisa menahannya. Merokok membuatku
tenang. Dan dengan datang ke Country Club menjijikkan ini, aku
membutuhkan apa saja yang bisa membuatku tenang.

"Bye, Fabes." Tak ada yang memanggilku begitu, hanya Owen.


"Aku mencintaimu."

"Aku juga," Bisikku, mengakhiri panggilan. Ku genggam teleponku


erat-erat, karena aku tak punya tas dan tak tertarik meletakkannya di
antara payudaraku.

"Rokok bisa membunuhmu, kau tahu."

Suara Drew yang berat dan seksi memenuhi udara di sekelilingku,


dan aku melirik melewati bahuku, melihatnya berdiri beberapa kaki
dariku. Tangannya berada di kantongnya dan rambut gelapnya
berkibar di tiup angin.

Dia kelihatan jengkel dan amat sangat tampan hingga aku berharap
bisa memotretnya. Jadi aku bisa mengabadikan moment luar biasa
ini dan akan menyimpan foto itu—dan juga dirinya—bersamaku.

"Kau mengikutiku?" Aku bertanya sambil membuang rokokku lewat


pagar kayu. Aku tak tahu harus melakukan apa, jadi aku memilih
menjadi penjahat lingkungan seutuhnya—dengan membuang
sampah sembarangan.

"Aku hanya ingin meninggalkan tempat itu."

"Aku juga," aku mendesah. Kualihkan perhatianku kembali ke


padang golf, dan yang di kejauhan sana, lautan. Aku ingin kembali
ke sini lagi, jadi aku bisa meihat pemandangan ini di siang hari.
orang-orang kaya ini tak menyadari keindahan di sekeliling mereka.
Mereka menyaksikannya setiap harinya dan tak ada yang istimewa.
Mungkin mereka bahkan tak memperhatikannya.

Aku ingin tahu rasanya, menjadi kebas akan semua hal luar biasa ini.
Tentu saja, aku sudah kebas dengan semua hal duniawi di
sekelilingku. Kehidupan nyaman memang membuat kita kebas.
Mengingatkanku pada salah satu lagu kesukaan ibuku.

"Adikmu baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja." Aku mengangkat bahu. Drew bertanya hanya


karena sopan santun. Berdiri di luar sini, sendirian dalam dinginnya
udara malam hanya untuk beberapa saat, membuat situasi diantara
kami semakin jelas. Dan aku membutuhkannya, setelah ciuman yang
membingungkan tadi.

Dia tak peduli padaku dan begitupun sebaliknya. Yang


menghubungkan kami hanyalah pekerjaan ini, itu saja. Ciuman itu?
Itu hanyalah selingan, cara melepaskan ketegangan karena, hey,
menghabiskan sekian banyak waktu bersama-sama, tinggal begitu
dekat dan berpura-pura menjadi pasangan sesungguhnya
mengakibatkan semacam…gesekan. Gelombang panas. Chemistry
seksual.
Kami memilikinya. Chemistry. Aku bisa merasakannya sekarang,
mengambang di udara di sekeliling kami, membakar kulitku. Aku
merasakan matanya menatapku, aku bisa mendengar dia mendekat
dan bagaimana dia berdiri di sampingku, lengannya bersandai di
jeruji sepertiku. Dia menyikutku dengan akrab dan aku menggigil.
Angin sedingin es menggigit kulit telanjangku.

"Kau kedinginan." Dia bergumam pelan, mengirimkan riak


kegelisahan padaku. Aku ingin meneriakinya dan menyuruhnya
menjauh.

Tapi tak kulakukan.

"Sedikit," jawabku.

Dia terkekeh. "Kalau saja aku punya jaket, akan kuberikan padamu
untuk kau kenakan."

Aku tak menginginkannya bertingkah seperti lelaki sejati. Atau


menjadi seperti, pacar yang penuh perhatian. Aku tak ingin satupun
dari..kebohongan itu. Yang kuinginkan adalah kenyataan. Kebenaran
yang dingin, keras. Aku harus mengingat uang di rekening bank-ku,
fakta bahwa dia memanfaatkanku untuk menjauhkan keluarganya
darinya. Fakta bahwa aku memanfaatkannya untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi sementara bagi keluargaku yang malang,
menohok pikiranku. Aku tak bisa melupakannya.

"Mungkin seharusnya kita ke dalam," Aku baru akan melangkah tapi


tangannya menggenggamku tanganku dan aku membeku.

"Aku tak bisa masuk ke sana," katanya, suaranya sangat pelan,


hampir-hampir tak bisa kudengar. "Aku tak bisa menghadapi
mereka. Belum. tinggallah bersamaku sebentar di sini."

Apakah sesuatu terjadi ketika aku pergi? Dia tak kelihatan terlalu
marah, tapi karena aku tak begitu mengenalnya jadi aku tak yakin.
Aku tak menjawabnya, menyadari jika hal terbaik yang harus
kulakukan adalah tetap diam, mencoba menenangkannya dan dia
tak mengucapkan sepatah katapun.

Tapi dia melingkarkan lengannya di bahuku dan menarikku


mendekat padanya. Awalnya aku mencoba menolak, menahan
badanku jadi dia tak benar-benar bisa membuatku bergerak. Tapi
bodoh jika aku melawannya, terutama karena dia bisa
menghangatkanku.

Jadi aku mendekatinya. Membiarkannya menarikku dalam


pelukannya dan aku meletakkan tanganku di dadanya yang keras dan
hangat. Tangannya di punggungku dan aku terdorong ke pagar,
menekan badannya. Badannya kaku dan agak memaksa. Dia
menjebakku dan aku tak tertarik meloloskan diri.

Aku mengabaikan semua yang kupikirkan dan yang kukhawatirkan


sedetik yang lalu, hanya karena dia menyentuhku.

Semua yang berkaitan dengan Drew membuatku lemah. Sangat


lemah, dan hampir memalukan. Tapi, kelihatannya dia lebih lemah
dariku, dan itu membuatku yakin. Setidaknya, kami berada dalam
kekacauan ini bersama-sama.

"Sesuatu terjadi di dalam sana?" Aku bertanya, terlalu penasaran.


Aku harus mengetahuinya.

"Aku tak ingin membicarakannya."


Aku mengambil resiko mendongak menatapnya dan aku melihatnya
rahangnya yang kokoh. "Well, jika kau ingin membicarakannya, aku
di sini."

Dia menunduk menatapku. Terlalu banyak keputusasaan di matanya,


dadaku sakit melihatnya. Cowok sempurna yang tampan ini tak
sesempurna kelihatannya. "Kau tak akan mengerti."

Aku tertawa, dan ingat bahwa aku tak sedang mengejeknya, dan
berharap dia tak berpikir seperti itu. "Aku akan mengerti lebih dari
yang kau kira."

"Jika kukatakan yang sebenarnya, kau akan membenciku." Suaranya


berat, ekspresinya terluka. "Aku membenci diriku sendiri karena hal
itu."

Perutku seolah meluncur ke kakiku. Dia terdengar kalah, dan aku


menyadari dia benar. Mungkin aku memang tak ingin mengetahui
rahasianya. Apa yang dikatakannya—dan yang tak dikatakannya—
membuatku gelisah. Aku takut.

Apa yang telah dia lakukan hingga membuatnya sangat membenci


dirinya sendiri?
***

Bab 8
Hari ke-3, jam 7:02 malam

"I always want the one I can’t have."—Fable Maguire


Fable

Seharian ini dia mengabaikanku, dan itu bagus. Serius. Aku tak
keberatan ditinggalkan sendirian di paviliun ini karena, oh Tuhanku,
hal terakhir yang kuinginkan adalah menghabiskan waktu bersama
dengan orang tuanya. Drew pergi main golf dengan ayahnya tadi
pagi dan aku belum melihatnya sejak itu. Aku bahkan tak tahu dia
sudah kembali atau belum. Dari semua yang kuketahui, mereka bisa
saja tengah berkumpul bersama sementara aku tertahan di rumah ini
sendirian.

Aku terdengar menyedihkan bahkan ketika aku mengatakannya


dalam pikiranku. Di samping itu, aku tahu dia tidak di rumah karena
aku tak kemana-mana seharian ini dan belum melihat mereka
kembali.

Ditinggalkan sendirian membawaku kembali ke kenyataan


sebenarnya. Lagi-lagi. Dan itu hal yang bagus. Aku terlalu terpesona
terhadap Drew ketika aku bersamanya dan itu bukanlah hal yang
bagus. Dengan cara ini, menghabiskan waktu seorang diri di rumah
khayalan dengan pemandangan khayalan ini, aku tahu kalau
semuanya hanya fantasi.

Tidak sengaja, aku mendapati Adele mengintip sekeliling pavilliun.


Menengok melalui jendela, berkeliling ke seluruh rumah. Aku
memperhatikannya sejenak, bersembunyi di sudut hingga akhirnya
aku mulai marah. Apa yang dilakukannya? Berusaha memata-
mataiku? Atau apakah dia sedang mencari Drew?

Akhirnya, aku tak tahan lagi dan menendang pintu terbuka dan
mendapatinya sedang mencoba bersembunyi di depanku. "Mencari
seseorang?" aku bertanya padanya, berusaha terdengar sekurang ajar
mungkin.

Dia melipat lengannya, se-elegan biasanya dengan sweater putih dan


legging hitamnya. Jika mengenakan pakaian yang sama, aku
mungkin akan kelihatan menjijikan. Tentu saja, pakaiannya mungkin
buatan disainer yang harganya selangit, sementara milikku hanya
berasal dari Wal Mart atau Target. "Kupikir kau tak ada di rumah,"
katanya.

"Kuyakin kau memang berharap aku tak ada di rumah." Aku tak tahu
apa yang membuatku berani bicara seperti ini padanya, tapi sudah
terlanjur. Perjalanan kembali ke rumah tadi malam benar-benar
menyiksa. Tak ada yang bicara pada satu sama lain dan ketegangan
hampir tak tertahankan. Benar-benar bertolak belakang dengan
ketika kami menuju ke Klub Country itu, ketika Drew menciumku
dan tangannya berada di seluruh tubuhku.

Dia menyeringai. "Kau tak terlalu menyukaiku, benar kan?"

"Kupikir, kau juga merasakan hal yang sama." Aku mengangkat


bahuku, berusaha keras kelihatan seolah aku tak peduli, tapi
sebenarnya perutku bergejolak karena tegang.

"Kau tak akan bertahan lama, jika saja kau tahu. Kau bukan
tipenya."

Aku mengerutkan kening. Tentu saja, aku bukan tipenya. Itu terlihat
dengan jelas, tapi aku tak pernah menduga Jalang ini akan
mengatakannya dengan terang-terangan seperti ini. "Dan tepatnya,
bagaimana tipe cewek Drew?"

"Seseorang yang lebih mirip denganku." Dia tersenyum lebar, seolah


dia tahu ucapannya membuatku terguncang. Tanpa berkata apa-apa
lagi dia berbalik dan menjauh.

Jawaban Adele membuatku bingung sepanjang hari. Apa sih


maksudnya? Aku tak menyukainya. Dia berbicara tentang Drew,
melihatnya, seolah Drew miliknya. Hampir seperti memiliki
hubungan. Hal itu benar-benar mengerikan dan aku menduga
mungkin mereka memang pernah main-main di masa lalu.

Sangat kotor, dan mengerikan. Drew bertingkah seolah luar biasa


membencinya dan itu membuka satu kemungkinan lain di kepalaku.
Terlalu banyak kemungkinan yang tak ingin kupikirkan, karena
semuanya terlalu buruk untuk di hadapi. Juga bukan urusanku, aku
memperingatkan diriku sendiri, lagi dan lagi selama aku duduk
sendirian dan menduga-duga.

Tapi, dia yang membawaku masuk ke dalam kekacauan ini. Dia yang
membuat ini menjadi urusanku, kan?

Salah. Beberapa hal lebih baik jika tak kau campuri.

Tidak jika ada orang yang tersakiti gara-gara hal itu.

Perdebatan di dalam kepalaku terjadi sepanjang hari. Hingga


akhirnya aku dipenuhi ketegangan ketika aku menunggunya kembali
dengan cemas. Dia berada di mana? Aku tahu permainan golf bisa
menjadi sangat lama, tapi juga tak selama ini. Dan aku tahu dia
bersama ayahnya karena aku mengawasi garasi selama berjam-jam
dan tak ada yang kembali.

Meskipun Adele pergi tiga puluh menit yang lalu. Dan itu
membuatku panik. Bagaimana jika dia pergi menemui mereka?
Sialan. Aku tak tahu harus berbuat apa?

Ketika akhirnya pintu membuka tepat jam tujuh tiga puluh, aku
dipenuhi perasaan lega. Aku mendengar gema langkahnya di lantai,
melihatnya berjalan, menuju ke kamarnya ketika aku duduk di ruang
santai. Selimut bulu imitasi lembut menutupiku dan aku seolah
tenggelam di sofa. Dia tak menyadari kehadiranku dan tak repot-
repot mengatakan apapun.

Dengan cemas kugigiti kukuku, perutku bergejolak karena aku tak


makan malam. Aku mendengarnya masuk ke kamarnya dan menutup
pintunya pelan, dan aku bernafas dengan lega. Tadi aku menahan
nafasku dan bahkan tak menyadarinya.

Tidak sampai dua menit kemudian dia keluar dari kamarnya, masuk
ke ruang santai dan berhenti seketika ketika melihatku. "Hai."

"Hai." Aku menekan bibirku, mengingatkan diriku sendiri untuk


bernafas.

"Aku tak melihatmu ketika masuk tadi." Dia terlihat luar biasa
dengan sweater bertudung berwarna hitam dan celana khakinya,
rambut gelapnya berantakan karena angin. Aku berani bertaruh
jutaan dolar bahwa dia memakai kaus Polo di baik sweater-nya,
walaupun dia tak akan memakai celana kotak-kotak berbahan kargo.
Walaupun aku tak tahu apapun tentang golf.

"Aku duduk di sini seharian ini."

Dia menyentuh rambut di kepalanya dan tanganku gatal ingin


melakukan hal itu. Aku ingat betapa lembut rambutnya, betapa dia
menyukainya ketika aku menyentuhnya. Pernahkah dia mengijinkan
orang lain menyentuhnya? Dia cenderung menjalani kehidupannya
seorang diri.

Kenyataan itu membuatku dipenuhi kesedihan. Katika aku


mengijinkan para pria yang tak berujung, tak berwajah
menyentuhku. Aku mendambakannya, karena sejenak aku merasa
seolah seseorang benar-benar peduli padaku. Perasaan itu menguap
dengan cepat dan ketika semua berakhir, aku merasa se-kosong
sebelumnya. Terkadang malah terasa lebih buruk.

"Aku tak tahu kau berada di mana seharian ini," Aku


mengucapkannya untuk mengisi kesunyian karena dia tak
mengatakan apapun.

"Aku minta maaf karena meninggalkanmu begitu lama." Aku


menduga dia berusaha dengan keras minta maaf padaku. Aku
bertaruh, dia bahkan tak akan menjawab siapapun sebelumnya.

Aku mengangkat bahuku, bertingkah seolah dia tak menggangguku.


"Aku bukan penjagamu."

"Ya, tapi kau adalah tamuku. Aku yakin kau bosan seharian ini." Dia
mendekat ke sofa dan saat itulah baunya menghantamku.

Dia berbau bir. Dan matanya memerah, begitupun pipinya. Aku


yakin dia mabuk. Aku langsung waspada dan aku menjauh ke sudut
ketika dia duduk di sampingku. Aku benci bau bir—gila, mengingat
aku kerja di bar.

Tapi ketika aku membauinya di La Selle, itu berbeda. Aku sibuk, aku
selalu bergerak, aku melayani pelanggan, dan kemudian melarikan
diri. Ketika berhadapan langsung, bau bir mengingatkanku pada
ibuku dan semua pacarnya yang menjijikkan. Bagaimana mereka
selalu mabuk. Hampir semua pria yang pernah bersama ibuku adalah
seorang pecandu alkohol dan seorang pemarah.

Pemabuk yang sedang marah sangat membuatku ketakutan, dan


Drew memiliki badan besar dan memendam banyak masalah. Jika
dia menunjukkan bahkan setitik amarah di matanya, aku akan pergi
dari sini.

"Aku baik-baik saja," kataku. "Aku duduk di pantai lama sekali."

"Kau tak kedinginan? Cuaca tak bersahabat akhir-akhir ini."

Aku mengangkat bahu. "Aku akan menahan semuanya ketika masih


di sini. Tak mungkin aku akan berada di sebuah tempat lain yang
seindah ini lagi."

"Maaf karena aku tak berada di sini, Fable." Suaranya melembut,


ekspresinya… menghancurkan hatiku. Dia terlihat sangat suram,
sangat menderita, ku harap aku bisa mengatakan sesuatu, melakukan
sesuatu yang bisa meringankan deritanya.

Dia mengamatiku, mata birunya menggelap, memiringkan


kepalanya. Aku tak tahu apa yang dilihatnya. Tapi aku tahu apa yang
kulihat—seorang cowok yang kebingungan, kesepian yang tak
mengijinkan siapapun memasuki hatinya.

Entah untuk alasan apa, aku ingin menjadi orang yang dia ijinkan
memasuki hatinya. Mungkin aku bisa menolongnya, mungkin juga
tidak. Tapi dia perlu rasa nyaman, kuyakin.
Seperti jiwa yang menemukan belahannya, kau tahu. Terdengar
norak, aku mulai percaya kami bertemu untuk sebuah alasan.
***

Drew

Seperti biasanya, dia melihatku seolah dia bisa melihat keseluruhan


diriku, dan dia membuatku gugup. Aku sengaja menjauhi Fable
seharian ini. Semua yang terjadi semalam membuatku yakin, aku tak
akan bisa menjaga rahasiaku jika aku kehilangan kendali seperti itu.
Aku tak pernah merasa seperti itu untuk waktu yang sangat lama. Ini
adalah alasan aku tak pernah pulang.

Dan aku tak akan kembali kemari lagi setelah kunjungan ini. Aku tak
peduli separah apa aku akan menyakiti ayahku, tapi aku tak bisa
melakukan ini lebih lama lagi. Aku tak bisa berpura-pura kalau
tempat ini dan orang-orang di sini tak berpengaruh apa-apa padaku.
Semuanya mengacaukan pikiranku dan mengingatkanku pada aku
yang dulu. Aku tak ingin menjadi orang seperti itu lagi. Tidak akan.

Tak ada pilihan lain. Aku harus menjauh dari tempat ini.

Menatap Fable, melihat simpati di matanya, aku tahu akupun harus


menjauh darinya. Sekali saja dia berusaha mengenalku, maka aku
akan menyakitinya. Aku tahu aku akan menyakitinya. Aku takut dia
sedekat ini hingga dia bisa menduga apa sebenarnya masalahku. Dan
kalaupun tidak, aku takut aku akan mengakuinya. Sekali saja aku
mengaku, aku tak akan bisa menariknya kembali. Selamanya. Hal itu
akan selalu ada, membuat kami berdua tak nyaman. Menghancurkan
hubungan yang kami jalani ini, pertemanan, persahabatan, atau
apapun namanya.
Aku tak bisa menahannya, jadi aku meninggalkan rumah lebih cepat,
mengiyakan ketika ayahku mengajakku bermain golf. Bukan hanya
karena kami bermain lama, delapan belas ronde dengan dua orang
temannya, kami juga mengunjungi bar di padang golf itu. Aku bukan
peminum tapi aku menenggak berbotol-botol bir, menikmati sensasi
yang diakibatkan alkohol. Pikiranku menjadi kebas, mengaburkan
tempat yang ingin kulupakan.

Kami bercanda, kami berbincang, ayahku membual tentang aku


yang seorang pemain Football hebat dan hal itu membuatku merasa
senang. Ayah dan aku tak punya banyak waktu berdua. Adele selalu
berusaha ikut campur pada semua hal, atau karena kami melakukan
sesuatu yang tak memungkinkan kami selalu berdua. Makan siang
bersama kemarin sangat tidak nyaman, dan aku senang kami
melewatkannya hari ini.

Melewatkan hari ini bersama ayah sangat menyenangkan bagi kami


berdua. Tapi selalu ada suara kecil yang mengomel di dalam
kepalaku, mengatakan kalau aku menghindari Fable dan
melakukannya dengan sengaja, hingga aku sangat merasa bersalah.

Itu adalah alasan aku meminta maaf padanya.

"Aku memergoki ibu tirimu mengendap-endap di sekitar pavilliun


siang ini." Fable mengatakannya dengan santai, tapi kata-katanya
seolah bom-bom kecil yang masuk ke dalam diriku.

Ketegangan menguar melalui tulang belakangku, mengalir melalui


bahuku dan aku membeku. "Ya?"

Fable mengangguk. "Aku menentangnya."


"Apa?" keterkejutan merobekku. Inilah yang kutakutkan. Bagaimana
jika Adele mengatakan sesuatu.

"Ya, dia juga tak menyukai hal itu. Dia bilang padaku kalau
hubungan kita tak akan bertahan lama, bahwa aku bukan tipe
cewekmu."

Aku masih diam, khawatir dengan apa yang akan dia katakan
selanjutnya.

"Dan ketika kutanya bagaimana tipemu yang sebenarnya, dia bilang


kalau tipemu adalah yang seperti dia."

Darahku menderu di telingaku jadi apapun yang dikatakan Fable,


aku tak mendengarnya. Bibirnya bergerak, tapi aku tak mendengar
apapun.

Tanpa berpikir aku berdiri dan berjalan ke kamarku. Dia memanggil


namaku, suaranya samar dan kupikir dia mengikutiku ke kamarku
tapi aku tak yakin. Aku tak bisa melihat apapun, pandanganku kabur
dan aku siap melebur dalam rasa malu, ketakutan, dan kemarahan.

Adele sudah bertindak terlalu jauh. Lagi. Dia selalu melakukannya.


Aku ingin mengatakan segalanya pada Fable tapi aku tak bisa. Aku
takut dia akan membenciku. Menghakimiku. Menjadi sangat jijik
padaku kemudian meninggalkanku.

Kami hampir berhasil dalam kunjungan ini dan semuanya kacau.


Aku tak tahu bagaimana mengendalikan semuanya lagi.
***

Fable
Aku mengejarnya, memanggil namanya tapi Drew tampaknya tak
bisa mendengarku. Ketika wajahnya tiba-tiba menjadi kosong, ketika
kuberitahu apa yang dikatakan Adele benar-benar menakutkan. Dia
langsung membeku di hadapanku dan itu adalah hal paling aneh
yang pernah kualami. Seperti dia akan muntah dan sebagainya.

Dia menutup pintu kamarnya tepat di depan mukaku dan aku


membukanya, berkeras memasuki kamarnya seolah aku ini wanita
dengan sebuah misi khusus. Dia berdiri di tengah-tengah kamarnya
dengan punggungnya menghadapku, kepalanya mendongak ke atas
menatap langit-langit. Ku harap aku bisa membaca pikirannya,
menawarkan rasa nyaman, sesuatu. Apapun.

Tapi aku hanya berdiri di sini, bergeser dengan gelisah di kakiku,


benar-benar bingung.

"Kau harus pergi," katanya, suaranya terdengar muram.

"Baiklah, aku akan meninggalkanmu sendiri." Aku mengerti ketika


seseorang ingin sendirian. Aku sering merasa seperti itu.

"Tidak." Dia berputar dan memandangku, pandangannya keras dan


gigih. "Maksudku kau harus pergi dari tempat ini, pulanglah. Kau
tak perlu tinggal di sini. Aku tak butuh bantuanmu lagi."

Perutku bergulung dan aku rasanya ingin muntah. "Aku tak


keberatan menemanimu di sini.."

"Aku tak ingin kau ada di sini." Dia memotong ucapanku dan aku
diam seketika. "Kau tak perlu berada di tengah-tengah hal sialan ini
Fable. Kau telah melibatkan diri pada sesuatu yang terlalu buruk."
Kurasa aku akan menangis. Dia tak ingin aku ada di sini. Tak ada
yang menginginkanku di manapun. Ibuku tak peduli aku hidup atau
mati. Adikku lebih memilih bersama dengan teman-temannya. Aku
tak punya teman, selain rekan kerjaku, dan mereka tak lebih dari
sekedar kenalan. Cewek-cewek tak suka denganku karena menurut
mereka aku adalah pelacur yang ingin mencuri pacar mereka.

Sekarang, aku sendirian. Tak ada yang menginginkanku.

Menegakkan kepalaku, aku membuang nafas, berjuang melawan air


mataku. "Aku akan berkemas."

Aku berbalik dan meninggalkan kamarnya dan dia tidak


menghentikanku. Aku tidak terkejut. Apa yang kuharapkan? Bahwa
dia akan mengejarku dan memohon padaku agar tak
meninggalkannya?

Tentu saja tak akan terjadi. Hidupku bukan sinetron kacangan. Aku
tak berarti apa-apa baginya. Aku harus mengingat hal itu.

Kamarku diselimuti kegelapan dan aku menyalakan lampu,


melangkah ke kamar mandi dimana tasku yang berdebu berada.
Isinya tinggal setengah, aku tak benar-benar mengosongkan tasku
ketika tiba di sini, takut sesuatu semacam ini terjadi.

Kurasa kemampuan meramalku bekerja dengan kekuatan penuh


pada saat itu.

Aku mulai mengisi tasku dengan pakaian-pakaianku, tanpa perlu


repot-repot melipatnya. Aku tak tahu bagaimana aku akan pulang,
tapi kurasa aku bisa memanggil taksi dan mereka akan mengantarku
ke stasiun bus. Aku punya uang di rekeningku dan kartu debitku
masih kupegang jadi aku bisa membeli tiket dan segera pulang.
Semoga saja aku tak akan tertahan di stasiun bus terlalu lama.

Aku mengeluarkan teleponku dari kantong, melirik ke layar dan


melihat pesan dari Owen. Dia mengatakan dia akan menginap di
rumah Wade lagi malam ini, aku bilang padanya tak apa-apa dan aku
akan pulang malam ini. Dia langsung meresponku.

Apa yang terjadi? Kau di pecat? Apakah si Ayah mencoba


menggerayangimu? Dia bertanya.

Ceritanya panjang. Aku akan menjelaskannya nanti ketika aku sudah


di rumah, aku membalasnya dan menyimpan kembali teleponku di
kantong celana jins ku.

Aku merasa gagal. Aku tak bisa bertingkah menjadi seorang pacar
yang baik yang hanya bisa berdiri di sana dan tampak cantik. Hanya
tersenyum dan mengangguk dan tak perlu mengatakan apapun. Itu
tak terlalu sulit kan?

Marah pada diri sendiri, aku melangkah ke kamar mandi dan


membereskan perlengkapan mandiku, memasukkannya ke tas
kosmetik yang kubawa. Aku mengambil pisau cukur, sampo dan
kondisionerku dari konter shower dan melemparkannya ke dalam
tas, dan menutupnya, puas dengan keributan yang kutimbulkan.
Semuanya bergema di dalam rumah ini, di antara langit-langit dan
lantai kayu. Rumah utama jauh lebih buruk dan membuatku tegang.

Mungkin akuakan senang meninggalkan tempat ini. Ketika aku


sudah berada di stasiun, mungkin aku akan bisa bernafas lagi.
Aku berbalik hendak meninggalkan kamar mandi dan melihat Drew
berdiri di sana, di pintu masuk, di tempat yang sama seperti
semalam. Dia mencengkram bagian atas kusen pintu dan
menyadarkan badannya ke pintu. Baju hangatnya tertarik ke atas,
menarik serta kausnya dan celananya menggantung rendah di
pinggulnya, menunjukkan sedikit perutnya. Sekilas aku melihat
bulu-bulu halus tumbuh teratur dari pusarnya dan aku memaksa
mataku memandangnya, merasa malu aku telah menatapnya diam-
diam di saat seharusnya aku sangat marah padanya.

"Jangan pergi."

Aku menegakkan badanku. Semua hal ini menggelikan. Tarik-ulur


ini mengacaukan pikiranku. "Aku tak tertarik bermain-main, Drew."

Dia melepaskan pegangannya pada pintu dan memasuki kamar


mandi. Aku menjauh darinya, pantatku menabrak tepian konter
kamar mandi dan kemudian berhenti. Aku gemetar, tapi bukan
karena aku takut. Karena dia terlalu dekat, aku bisa mencium
aromanya.

Entah bagaimana bau bir telah hilang, tergantikan aroma Drew yang
hangat, aromanya yang akrab. Aku bisa merasakan panas tubuhnya,
getaran yang menguar darinya sangat kuat. "Aku minta maaf, Fable.
Aku hanya…tempat ini menyebalkan. Dan aku tak menyalahkanmu
jika kau ingin meninggalkan tempat ini jadi aku memberimu
kesempatan untuk pergi. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri
bahwa hal yang terbaik adalah mengeluarkanmu dari sini, tapi aku
tak bisa menghadapi ini sendirian. Aku tak ingin menghadapi ini
sendiri. Aku akan senang jika kau mau tinggal."

"Apa yang kau hadapi sendirian itu, Drew? Ada apa sebenarnya
dengan orang tuamu? Kau tak memberitahuku apapun dan
pikiranku..mengembara kemana-mana." Aku bernafas dengan berat
ketika dia berhenti tepat di hadapanku, sangat dekat, dada kami
bersentuhan.

Tanpa peringatan, dia merangkul pinggangku dan mengangkatku,


mendudukkanku di atas konter kamar mandi. Aku menjerit pelan dan
dia berdiri di antara kakiku. Dia bahkan lebih dekat denganku
sekarang, aku memundurkan kepalaku dan mataku bertemu dengan
pandangannya yang menderita.

"Aku tak ingin membicarakannya," dia berbisik. "Aku ingin


memberitahumu, tapi aku tak bisa."

Aku menyentuh wajahnya dan dia bersandar di telapak tanganku,


matanya terpejam. Aku mengamati wajahnya yang tampan dan aku
tiba-tiba tergoda untuk menciumnya, kehilangan diriku bersamanya.

"Memendam segala sesuatu seorang diri itu tidak sehat." Aku


menyentuh pipinya dan dia membuka matanya. "Kau benar-benar
harus bicara kepada seseorang." Aku berusaha membuatnya
menyadari kalau aku ingin menjadi tempatnya berkeluh kesah
tentang apapun yang mengganggunya.

"Aku tak bisa."

"Baiklah. Kapanpun kau siap, aku ada di sini." Kujatuhkan tanganku


dari wajahnya dan menopang tubuhku pada konter, mengangkat
diriku setinggi yang ku bisa dan menciumnya di pipinya. Aku ingin
dia tahu kalau aku akan selalu ada untuknya apapun yang terjadi.
Aku tak peduli rahasia apa yang dia sembunyikan—dan dugaanku
rahasianya sungguh buruk—aku ingin berdiri bersamanya dan
membantunya.

Mungkin masalahnya jauh lebih besar dari yang pantas diterimanya.


Pria ini masuk ke dalam hidupku karena beberapa alasan. Sama
seperti aku memasuki kehidupannya. Mungkin kami dimaksudkan
untuk saling membantu satu sama lain.

Atau saling memberi harapan.


***

Bab 9
Hari ke-4, jam 1:12 Siang

"She's beautiful, and therefore to be wooed; she is woman, and


therefore to be won."—William Shakespeare

Drew

Aku mengajak Fable makan siang sebagai ucapan terima kasih


karena telah memahami masalahku. Apa yang ku lakukan padanya
semalam tak dapat dimaafkan, tapi entah bagaimana dia berhasil
menemukan alasan untuk memaafkanku. Dia baik sekali padaku dan
aku tak tahu apa yang telah kulakukan hingga aku pantas menerima
kebaikannya.

Mentraktirnya makan siang yang lezat mungkin tak seberapa untuk


menggambarkan rasa terima kasihku. Aku hanya ingin
menunjukkannya, aku juga tak yakin dia menganggapnya seperti itu.
Meskipun dia menciumku dengan manis di pipiku semalam, dan
pelukan menenangkan darinya sebelum kami berdua akan tidur,
semuanya lebih karena dia menganggapku seperti saudaranya, bukan
karena dia menginginkanku.

Sangat buruk, karena dia membuatku gila dan aku sangat sulit
berkonsentrasi. Aku lebih suka membawanya ke tempat tidurku,
menelanjanginya, dan membenamkan diriku jauh di dalamnya
hingga aku bisa melupakannya, setidaknya selama beberapa waktu.
Aku ingin menandai setiap inchi tubuhnya dengan bibirku. Aku
ingin duduk dengan dia di pelukanku, menciumnya berjam-jam,
hingga bibir kami bengkak dan rahang kami lelah. Aku ingin
melihatnya ketika dia datang. Aku ingin menjadi orang yang
membuatnya datang, dengan bibirnya yang menyebut namaku.

Aku tak pernah merasa seperti ini dengan cewek manapun


sebelumnya. Sama sekali. Terdengar cengeng, tapi kenyataannya
Fable telah menaklukkanku—dengan cara yang baik. Dan aku baru
mengenalnya kurang dari seminggu yang lalu.

Terkadang, aku merasa tak butuh waktu lama untuk mengenalnya.

"Aku suka restoran ini." Dia menatap berkeliing ketika pelayan


membawakan pesanan kami, senyum di wajahnya adalah senyuman
paling bahagia sejak aku membawanya ke kota ini. "Sangat imut.
Dan aroma makanannya, luar biasa."

Semua yang ada di pusat kota Carmel memang bisa dikatakan imut.
Seperti negeri boneka, ada banyak pondok di mana-mana dan
semuanya mungil, gang-gang sempit dan banyak jalan rahasia.
Seperti negeri dongeng.

"Makanlah," aku mendorongnya untuk makan karena aku sudah


lapar sekali. Aku memesan roti isi ayam sementara Fable memesan
Salad Ayam Asia. Aku menggigit makananku beberapa kali, sangat
menikmatinya hingga aku melewatkan kebahagiaan murni di wajah
Fable ketika dia sedang menyantap makanannya.

Aku meletakkan rotiku di piring, benar-benar terpaku. Reaksiku


terhadapnya benar-benar menggelikan. Tak membantu sama sekali,
terlebih aku terangsang setengah mati, dan apapun yang
dilakukannya membuatku panas.

Tapi tampaknya dia benar-benar menikmati saladnya. Matanya


setengah tertutup dan ekspresi wajahnya melembut. Dia menjilat
lidahnya, lidahnya yang berwarna merah muda terlihat dan itu
menyiksaku, dan aku menelan ludah dengan susah payah, nafsu
makanku hilang seketika.

Nafsuku terhadap Fable malah makin menjadi.

"Rasanya luar biasa. Dressing paling lezat yang pernah kurasakan."


Dia memandangku, alisnya bertaut. "Kau baik-baik saja? Kupikir
kau lapar?"

"Eh…" Kacau.

"Kau tak memakannya. Tidak suka?" Perhatiannya sangat


menyentuh, tapi ini tak ada hubungannya dengan sandwich sialan
ini, semua hal ini karena dia. Betapa aku menginginkannya.

Dan aku benar-benar menginginkannya.

Sekali saja, aku ingin menjalani hal ini dan tak perlu khawatir akan
konsekuensinya. Kami tertarik pada satu sama lain. Dia tak punya
prasangka apapun, begitupun aku. Masa laluku yang selalu
menggangguku bisa tergantikan—setidaknya sementara waktu—
dengan kenangan baru yang bisa kuciptakan bersama Fable di sini.

"Sandwich-nya enak." Aku menggigitnya sekali untuk membuktikan


ucapanku dan dia tersenyum menyetujui sebelum akhirnya kembali
menikmati saladnya.

Kemudian hal itu menyadarkanku, bahwa saat ini kami tengah


kencan. Aku adalah pria berusia dua puluh tahun yang paling
menyedihkan yang pernah hidup. Aku bermain Football, nilaiku
bagus di kampus, gadis-gadis setengah-mati ingin jalan denganku,
tapi aku tak pernah benar-benar berkencan dengan salah satu dari
mereka. Aku benar-benar tak tahu bagaimana rasanya berada dalam
satu hubungan. Masa laluku membuatku tak tertarik melakukan hal-
hal semacam itu dan aku sudah terlalu lama membiarkan masa
laluku menguasai hidupku.

"Besok Thanksgiving," Fable mengatakannya setelah dia menyesap


es tehnya. "Apa keluargamu akan mengadakan perayaan khusus atau
bagaimana?"

"Tidak juga." Well, kami tak pernah merayakannya sejak kematian


Vanessa, adikku. Topik yang berat untuk hari ini. "Tahun-tahun
sebelumnya kami berlibur selama Thanksgiving."

"Betapa menyenangkan." Senyumnya manis tapi tak mencapai


matanya. Dia mengatakan hal itu karena dia menyangka aku
mengharapkannya berkata demikian. Dia telah menyaksikan betapa
kacaunya keluargaku.

Dia adalah orang pertama yang mengetahuinya.

"Di samping itu, sebagian besar keluarga Ayahku berada di pesisir


timur. Ayahku berasal dari New York sebenarnya," lanjutku.

"Benarkah?" dia mengusap mulutnya dengan sapu tangan berwarna


putih kemudian menjatuhkannya di pangkuannya. Tatapanku jatuh di
bibirnya. Bibirnya penuh, berwarna pink dan aku setengah-mati
ingin mencicipinya lagi.

Seakan aku bangun pagi ini dengan pikiran yang penuh dengan seks.
Sangat jelas, mengingat kemaluanku yang keras ketika aku bangun
pagi hari tadi. Aku memimpikannya, kabut di mana-mana, gambaran
kabur kami berdua yang kusut masai, dia melahap tubuhku dan aku
membiarkannya. Menikmatinya, sebenarnya.

"Ya. Ibuku juga berasal dari sana." Aku mengerutkan kening. Aku
juga tak ingin memikirkannya.

"Kau pernah ke sana dan berkunjung?"

"Sudah bertahun-tahun tidak, tapi ya. Kakek nenekku tinggal di


sebuah kawasan berbukit di Brooklyn. Kehidupan di sana benar-
benar berbeda." Aku ingin sekali kembali ke sana. Kakek nenekku
masih hidup tapi sudah sangat tua hingga mungkin usianya tak akan
lama lagi.

Tapi mereka tak begitu menyukai Adele hingga kami jarang


mengunjungi mereka.

"Aku akan senang sekali jika suatu saat bisa ke sana." Dia menghela
nafas sedih. "Aku selalu ingin melihat kota New York."

"Itu adalah pengalaman luar biasa, pastinya." Aku berharap aku bisa
mengajaknya. Bisa dikatakan kini aku dipenuhi keinginan untuk
membuatnya bahagia. Menunjukkan segala hal yang selama ini tak
bisa diraihnya dalam hidupnya.

"Beritahu aku sesuatu," Aku berkata setelah kami selesai makan dan
menunggu pelayan datang mebawa tagihan.

"Apa yang ingin kau ketahui?" kekhawatiran melintas di matanya


dan itu menyadarkanku. Kami memiliki lebih banyak kesamaan dari
yang selama ini kupikirkan dan aku memperoleh keyakinan.

"Bagaimana kau memperoleh namamu?" Ketika dia mengerutkan


keningnya, aku melanjutkan. "Fable. Kau harus mengakuinya,
namamu sedikit..tidak biasa."

"Oh.." pipinya berubah menjadi merah jambu, sepertinya dia merasa


malu, dan dia menatap meja. "Ibuku. Dia agak…berbeda. Ketika aku
lahir, dia memandangku sekali dan mengumumkan bahwa aku
adalah titisan Jiwa yang Bijak. Dugaanku dia tahu dengan pasti
bahwa aku punya banyak hal untuk diceritakan. Setidaknya, itu yang
dikatakannya ketika aku berumur sekitar lima tahun. Nenekku juga
mengatakan hal yang sama."

"Jiwa yang Bijak, eh?" Aku mengamatinya dan mata hijau yang
besar dan cemerlang itu balik menatapku. Dia terlihat jauh lebih
dewasa dari kebanyakan cewek seusianya yang kukenal. Dia juga
telah melalui begitu banyak hal. Sepertinya dia mengurus banyak
orang. Jadi, siapa yang mengurus Fable? "Apakah kau punya banyak
kisah untuk diceritakan?"

Dia menggelengkan kepalanya dengan perlahan, pipinya menggelap


hingga berwarna merah. "Hidupku amat sangat membosankan."
"Aku meragukan itu." Aku baru tahu dia begitu misterius. Dia
menunjukkan kesan seolah dia cewek tangguh dan tak peduli
apapun, tapi aku punya perasaan dia memiliki sisi rentan dalam
kepribadiannya.

"Jika yang kau maksud adalah pertualangan seks-ku. Sungguh.


Selain itu semuanya benar-benar membosankan. Tak ada hal yang
bisa diceritakan. Sebagian besar cerita yang berkembang di luar sana
adalah kebohongan, sebenarnya." Bibirnya menipis pada satu garis
lurus setelah pernyataan itu, begitu tipis hingga seolah menghilang
seketika.

Aku sejenak dibuat terkaget-kaget oleh perkataannya. Aku sedang


berusaha mengenalnya, bukannya ingin membongkar masalah
pribadinya ataupun kehidupan seks-nya di masa lalu. Tentu saja aku
belum siap mengarah ke sana. Aku bahkan tidak tahu apakah suatu
saat aku akan siap. "Aku tak peduli pada hal-hal itu."

"Tentu saja kau peduli, karena hal itu adalah alasan satu-satunya kau
memilihku untuk berpura-pura menjadi pacarmu." Rasa sakit dalam
suaranya terdengar jelas sekali. Dengan memilihnya, aku telah
menyakiti cewek yang memang telah rusak ini. Kebenaran itu
membuatku merasa seperti kotoran.

"Aku tak akan berbohong. Kau memang benar." Meraih ke seberang


meja, aku mengambil tangannya dan menautkan jemari kami.
Jemarinya ramping dan dingin. Aku meremasnya dengan harapan dia
akan merasa hangat. "Tapi sekarang, aku merasa senang telah
memilihmu."

Sekali lagi dia menatapku, matanya melebar dan membulat dan aku
merasa seolah dia menelanjangi jiwaku. "Aku juga senang kau sudah
memilihku," dia mengakui, suaranya sangat pelan hingga aku hampir
tak mendengarnya.

Emosi mengalir membakar di dalam diriku dan aku susah payah


menjaga semuanya tetap tenang dan terkendali di antara kami
berdua. Kami berbincang hal-hal remeh, membayar tagihan dan aku
hanya memikirkan dia. Betapa aku menginginkannya. Bagaimana
dengan mudah dia masuk ke dalam kehidupanku dan aku tak bisa
membayangkannya menjauh.

Benar-benar gila.

Di tambah lagi, yang terjadi semalam mengenyahkan ketegangan di


antara kami dan kami merasa lebih terbuka satu sama lain siang ini.
Begitu terbuka sampai ketika kami meninggalkan kafe dan berjalan
di sepanjang trotoar menuju ke tempat aku memarkir mobil, aku
meraih tangannya dan dia membiarkanku menggandengnya.

Seperti pasangan sungguhan.

"Sepertinya akan hujan," Fable bergumam dan aku menengadah


memandang langit, menyadari awan mendung dan tebal
menggantung di angkasa.

"Ya, kelihatannya." Rintik pertama jatuh tepat ketika aku


mengatakannya dan dia tersenyum, kemudian tertawa, suaranya
menderaku, membuatku tak karuan. Aku suka bunyi tawanya dan
aku ingin mendengarnya lagi.

Hujan berubah menjadi lebih deras dan kami berhenti, menatap satu
sama lain. Aku mengeratkan peganganku pada tangannya dan kami
mulai berjalan lebih cepat, seolah kami bisa kabur dari hujan yang
yang turun kian deras. Hingga akhirnya kami terjebak di tengah-
tengah hujan sangat deras, dan kami menggigil kedinginan.

"Tempat parkirnya masih jauh?" dia bertanya. Hujan turun sangat


deras, hingga aku hampir tak bisa mendengarnya.

"Tempatnya terlalu jauh." Aku memarkirkan mobilku di parkiran


umum, hingga kupikir aku tak perlu khawatir tarif parkirnya dan
sekarang aku berharap aku tak melakukannya. Trotoarnya sudah
lewat dan hujan turun semakin deras, sementara kami masih harus
berjalan beberapa blok lagi.

"Mungkin sebaiknya kita berteduh di sebuah toko dulu dan


menunggu sebentar," dia menyarankan.

Sarannya boleh juga, tapi aku punya solusi yang lebih baik.
Menariknya bersamaku, aku memasuki sebuah gang yang kutahu
mengarah ke sebuah studio seni dan galeri. Lorong itu tertutupi
seluruhnya, semak belukar yang lebat tumbuh di sepanjang sisinya
hingga ke teralis di sekitar bangunan itu. Tempat itu gelap dan
terlindungi dari hujan dan lampu-lampu kecil bertebaran di antara
tanaman liar untuk persiapan musim liburan yang akan datang.

Benar-benar ajaib dan aku menyadari Fable menatap dengan


penasaran, bibirnya terbuka dan matanya melebar. Dia berbalik dan
menatapku, rambut pirang panjangnya basah kuyup, pipinya penuh
rintik hujan. Tanpa pikir panjang, aku menghapus tetesan air hujan di
pipinya dengan jempolku, dari pipi yang satu, dan pipi yang lainnya.
Seluruh tubuhnya gemetar dan dia menekan bibirnya, matanya
menatap tanah.

"Dingin?" gumamku. Aku dipenuhi keinginan untuk selalu


menyentuhnya, tetap menyentuhnya. Entah bagaimana, kini dia telah
menjadi bagian dari hidupku.

Fable menggelengkan kepalanya perlahan, memaksa matanya


menatapku sekali lagi. "Tempat ini, begitu indah. Kau yakin tak apa-
apa jika kita berlindung di sini sebentar?"

"Ya, tentu saja." Aku menariknya ke arahku karena aku tak bisa
menahan dorongan itu, dan dia datang dengan senang hati, menatap
ke bibirku. Kami membagi pikiran yang sama dan kenyataan itu
membuatku lega. Dia juga menginginkannya, sama seperti aku
menginginkannya.

Tapi dia sangat mungil, aku menjulang di atasnya dan aku menatap
berkeliling, aku melihat sebuah bangku kayu rendah berada tak jauh
dari tempat kami berdiri. Aku meraih pinggangnya, membuatnya
mencicit pelan dan aku menempatkannya di atas bangku itu, hingga
kini dialah yang lebih tinggi dariku.

"Apa yang kau lakukan?" dia meletakkan tangannya di bahuku,


jemarinya menekan kain kaosku yang basah.

"Membiarkanmu memulainya," kataku, berharap dia akan


melakukannya. Sialan, aku ingin dia melakukannya. Sangat buruk,
dan itu membunuhku. Kuletakkan tanganku di pinggangnya,
berharap dia tak memakai jins. Benar-benar berharap dia tak
memakai apa-apa dan kami berada di sebuah tempat, kembali ke
pavilliun, tubuhnya menyelip di bawahku dan kami menjelajahi
tubuh satu sama lain dengan tangan dan mulut.

Bersama dengan Fable membuatku merasa bebas. Kuharap aku


menyadarinya lebih awal.
***

Fable

Sesuatu telah merubah diri Drew sejak semalam. Jika sebelumnya


dia begitu kaku dan penuh rahasia, hari ini dia lebih terbuka dan
lebih bahagia dari yang pernah kulihat. Sejak kami datang ke kota
ini, kami bicara, kami berjuang bersama, kami bicara lebih banyak,
dan semua itu membuat kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya.

Tapi, itu juga membuatku takut. Dia bisa saja kembali seperti
semula. Sedetik sebelumnya dia begitu menawan, begitu tak
tertahankan hingga seolah dia mencuri nafasku. Detik berikutnya dia
begitu gelap dan menarik diri, begitu diam. Sangat menguras energi
bersama dengan Drew, tapi jika dia bersikap seperti ini, aku bisa
melupakan semua drama itu dan bisa bersenang-senang bersamanya.

Hujan badai yang tak diduga-duga telah membuat kami basah kuyup
dan menderita tapi aku tak peduli. Tidak ketika Drew yang saat ini
tengah mendongak menatapku, ketika mata birunya mengunci
mataku. Wajahnya lembab karena air hujan dan rambutnya lepek,
seperti halnya seluruh pakaiannya, begitupun denganku. Kami
berada di sebuah lorong kecil di sebuah gang, dikelilingi teralis kayu
yang ditumbuhi semak belukar yang lebat. Namun, semuanya
tampak nyaman. Sebuah lampu natal mungil bersinar redup tak jauh
dari tempat kami berada dan suara yang terdengar hanyalah deru
nafas kami yang semakin cepat.

Aku hanya berdua dengannya. Benar-benar terisolasi dari dunia luar,


tak perlu khawatir ada orang yang akan melihat kami, atau apa yang
mungkin mereka katakan. Kami bisa melakukan apapun yang kami
inginkan tanpa perlu takut dengan penghakiman dan komentar-
komentar sinis. Hanya ada aku, dia dan hujan, tanpa ada bayangan
cewek-cewek yang sirik ataupun ibu tiri yang cemburu.

Mengamati wajahnya, aku menjalankan telunjukku dengan lembut di


salah satu tulang pipinya, kemudian yang satunya. Dia tak bercukur
pagi ini, hingga tanganku gatal ketika menyentuh pipinya yang
kasar. Membuatku penasaran bagaimana rasanya jika dia menggosok
bagian tubuhku yang sensitif dengan pipinya yang kasar itu.

Aku gemetar hanya dengan memikirkannya.

Dia masih diam saja, hanya kedip samar di matanya menunjukkan


dia sedikit terpengaruh dengan sentuhanku, yang makin lama makin
berani. Aku menyentuh bibirnya. Dengan pelan, sepanjang lekuk
bibir atasnya, kemudian bibir bawahnya yang penuh, dan aku
berlama-lama menyentuh sudut bibirnya, mengusap rintik hujan
kecil yang tersisa di wajahnya. Dia membuka bibirnya, menangkap
jemariku dan aku terkesiap ketika merasakan dia menggigit jemariku
dengan lembut, kemudian menjilatnya.

Tuhanku, dia membunuhku. Aku tak tahu kenapa dia begitu berani
hari ini, aku tak tahu mengapa tiba-tiba dia mendekatiku, tapi aku
tak ingin menanyakan alasannya. Aku menginginkan ini. Aku
menginginkannya.

"Kau akan menciumku atau tidak?" dia bertanya setelah aku menarik
jariku dari bibirnya. "Kau menyiksaku, tahu?"

"Mungkin aku menginginkannya." Aku merasa genit, nakal dan itu


seimbang dengan seringai pelan yang muncul di wajahnya.

Drew menyelipkan tangannya di tengkukku dan memiringkan


kepalaku, jemarinya mencengkram rambutku yang lembab. Aku
menurunkan kepalaku, mulut kami bersentuhan tak kentara, dan itu
memicu aliran listrik di antara kami berdua.

Tiba-tiba saja aku menginginkannya, tapi aku memaksa diriku


menahan diri. Aku tak ingin melakukannya dengan terburu-buru.
Ada semacam sihir di ruangan ini yang menjalinkan mantranya di
sekeliling kami dan aku belum ingin menghentikannya.

Aku ingin saat ini menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Bibir kami bertemu lagi dan lagi dalam ciuman paling murni, setiap
kali bibirnya mengunci bibirku, perutku bergolak. Seluruh
permukaan kulitku merinding dan aku mengalungkan lenganku di
lehernya, menyelipkan jemariku ke dalam rambut basahnya dan
menariknya mendekat. Lengannya yang lain memeluk pinggangku
dan dia menarikku lebih dekat lagi hingga badan kami yang basah
seolah direkatkan.

"Fable." Dia membisikkan namaku, dengan suaranya yang dalam


dan seksi dan aku membuka bibirku, bernafas padanya. Mulutnya
begitu lembut dan manis, lidahnya hangat dan basah ketika bertautan
dengan lidahku. Rasa terbakar perlahan di perutku terasa makin
panas. Dan tetap panas hingga aku menjadi semakin rakus, sangat
teransang hingga aku berharap aku bisa merobek bajuku dan
mengusapkan tubuh telanjangku kepadanya.

Ciuman perlahan dan dalam bisa menjadi begitu panas, sangat


dahsyat. Jemarinya sangat kuat mencengkram rambutku hingga
terasa menyakitkan, namun aku tak peduli. Aku begitu ingin
melahapnya dan aku menginginkan lebih. Aku ingin semua hal yang
bisa diberikannya padaku.
Dia menghentikan ciuman terlebih dahulu dan aku menempelkan
dahiku kepadanya, kami bernafas tak terkendali dan berisik di
tengah kesunyian lorong. Hujan tampaknya telah berkurang, karena
suaranya tak sekeras sebelumnya. Aku membuka mataku dan
mendapatinya tengah menatapku.

"Apakah kita harus berlari untuk itu?" dia bertanya.

Aku tak tahu bagaimana menjawabnya. Aku tak ingin dia


melepaskanku. Dia memegangku dengan sangat kuat, aku merasa
aman. Terlindungi. "Masih hujan."

"Tak sederas tadi."

"Kita akan basah kuyup," aku mengatakan dengan lemah.

"Kita sudah terlanjur basah kuyup." Dia menciumku, menempelkan


bibirnya di bibirku ketika dia berbisik, "Aku ingin membawamu
melewati hujan dan kembali ke pavilliun agar kita bisa benar-benar
sendirian."

Jantungku berdebar keras dalam antisipasi ketika mendengar kata-


katanya. Dan aku juga menginginkannya. "Oke," aku setuju dan
mengangguk dan dengan hati-hati dia menurunkanku dari atas
bangku, menempatkanku kembali di bawah naungan tubuh
tingginya. Aku merasakan segalanya, tubuhnya yang keras, ototnya
yang tegang, betapa besar pengaruhku padanya. Ini
menggembirakan, mengetahui aku memiliki kekuatan yang besar
terhadapnya saat ini.

Apapun yang akan terjadi nanti, hal itu akan mengubah segalanya di
antara kami berdua. Dan kali ini, aku ingin melakukannya. Tak ada
penyesalan dalam seks jika kau melakukannya dengan orang yang
benar-benar kau sayangi. Dia bukanlah salah satu dari cowok-cowok
tanpa nama yang datang untuk menghilangkan rasa sepiku.

Kenyataan itu membuatku bahagia sekaligus takut.


***

Drew

Aku tak bisa menyetir kembali ke pavilliun dengan cukup cepat.


Lalu lintas kacau balau, dengan hujan dan jalanan yang licin. Aku
harus hati-hati, berkali-kali aku mendapati ban belakang mobilku
selip di aspal ketika aku membelok di tikungan, dan aku
menurunkan kecepatanku. Berusaha dengan sekuat tenaga untuk
bersabar.

Tapi, dengan Fable yang basah dan seksi duduk di bangku


penumpang, tampak cukup lezat untuk dilahap, bersabar sangat sulit
dilakukan.

Sesampainya kami di rumah, aku keluar dari truk dan membukakan


pintu mobil untuknya. Hujan benar-benar telah berkurang, walaupun
gerimis masih tersisa dan aku tak yakin ada orang di rumah.

Sial, aku juga tak begitu peduli. Aku begitu bersemangat mengajak
Fable masuk ke rumah, aku tak bisa benar-benar menatap lurus.

Dia terkikik ketika aku memapahnya ke dalam paviliun dan menutup


pintu serta menguncinya dengan suara yang memberiku kepuasan
penuh. Tak ada seorangpun yang akan mengganggu kami. Aku tak
akan membiarkannya. Aku harus membuat Fable telanjang. HARUS.
Tak ada pilihan lain.

Aku menekannya ke dinding di samping pintu depan dan


menjepitkan tanganku di rambutnya, menciumnya hingga kami
berdua menjadi gila karena gairah. Pinggul kami menempel, saling
mendorong satu sama lain, dan pakaiannya yang basah membuatku
gila maka aku meraih tepian bajunya dan dengan perlahan mencoba
melepasnya.

"Kau mencoba melucuti pakaianku?" dia menggodaku, aku suka


suara tawanya, penuh dengan kasih sayang dan aku mengangguk, tak
ingin mengatakan apapun karena aku takut akan mengacaukan
segalanya.

Dia mendorong dadaku hingga aku tak punya pilihan lain selain
mundur, dan memandangnya sambil menahan nafas ketika dia
meraih bajunya dan dengan perlahan mengangkatnya ke atas..ke atas
lagi hingga dia melepasnya dari kepalanya dan dengan jemarinya
membuangnya ke lantai. Dia berdiri di hadapanku dengan bra
berwarna pink pucat dengan renda hitam, payudaranya memenuhi
bra itu dan sialan, aku hanya ingin melepaskan bra itu jadi aku bisa
menyentuhnya.

Matanya bersinar mengundangku lagi jadi aku mendekat dengan


senang hati, menikmati bibirnya, tanganku mengelus sisi tubuhnya.
Tanganku semakin dekat dengan bra yang menutupi putingnya, dan
di sanalah aku, menggenggamnya, mengelus kain branya dengan
jempolku, dan dia mengerang pelan sebagai balasannya.

Aku mendengarnya membisikkan namaku ketika aku mencium


lehernya dan dia bergetar di bawah ciumanku. Aku meninggalkan
bekas lidahku di kulitnya, menikmati aromanya, caranya meleleh
dalam pelukanku dan tanganku mencari-cari di balik punggungnya,
meraba-raba kaitan branya hingga akhirnya branya terlepas dengan
mudah.

Tanganku gemetar karena tegang dan aku mundur selangkah


darinya, mengusap lembut rambutnya, pipinya. Kami saling
memandang, aku melihat bagaimana tali branya jatuh dengan pelan,
menunjukkan tubuhnya kepadaku untuk pertama kali.

Nafas berhenti di tenggorokanku dan yang bisa kulakukan hanya


memandangnya. Dia benar-benar cantik, dengan puting merah muda
terindah yang pernah ku lihat, dan aku menyentuhnya di sana,
jempolku menyentuh salah satu puting membentuk lingkaran,
kemudian ke puting yang lainnya.

Dia mendesis sembari menutup matanya, tangannya berpegangan


pada dinding, dadanya melengkung ke depan. Aku bersandar di
atasnya dan mencium tulang selangkanya berulang-ulang, kemudian
dadanya, puncak payudaranya dan lembah di antara dua puncaknya.
Aku menggodanya, dan menggoda diriku sendiri dan sialan, aku
merasa aku akan meledak.

Ketika akhirnya aku menyelipkan putingnya yang keras di antara


bibirku, dia mencengkram rambutku dengan tangannya, seluruh
tubuhnya menegang ketika aku memainkan lidahku memutar dan
memutar di kulitnya. Dia terengah-engah, begitupun aku dan aku
berharap aku tak memulai hal ini di sini. Seharusnya aku bisa
menunggu hingga kami berdua tiba di tempat tidur.

"Andrew," bisiknya, suaranya menyebut nama lengkapku


membuatku berhenti seketika, seolah di siram air es dan sebuah
kenangan seketika menderaku.
Biarkan aku menyentuhmu Andrew, aku tahu kau akan
menyukainya. Akan sangat sempurna di antara kita berdua.
Kumohon, Andrew. Aku tahu bagaimana memuaskanmu…

Aku melepaskan diri dari Fable dan berputar membelakanginya,


nafasku terengah. Kepalaku berputar, memori lama tercampur
dengan memori baru..

"Drew, ada apa? Apa yang terjadi?"

Aku memfokuskan pandanganku pada Fable, menatapnya ketika dia


mendorong tubuhnya dari dinding dan mendekat padaku, payudara
memantul-mantul ketika dia melangkah, ekspresi wajahnya penuh
dengan perhatian. Aku telah mengacaukannya. Aku membiarkan
masa laluku membayangiku kini, sialan, dan mungkin juga seluruh
masa depanku dan aku penuh dengan amarah yang tak bisa
kujelaskan.

Ini tak seharusnya terjadi, tidak seperti ini, dan tidak hari ini. Aku
menggoyangkan kepalaku, tak bisa mengatakan apa-apa, lidahku
terasa kaku.

Dia menjangkauku, tangannya menyentuhku dan aku menarik


tanganku dari pegangannya, rasanya seperti dia baru saja
membakarku. "Drew." Suaranya berubah menjadi keras,
membawaku kembali ke masa laluku dan aku kembali
menggoyangkan kepalaku, mencoba untuk berhenti memikirkan hal
menjijikan itu, tapi tak berhasil.

"Jangan menutup dirimu terhadapku, Drew. Jangan melarikan diri


seperti ini. Beritahu aku apa masalahnya." Dia memohon padaku,
dan aku bersumpah melihat air mata mengalir di pipinya, tapi aku
tak bisa menceritakan kepadanya apa yang terjadi.

Jika baginya semua hal ini sudah cukup buruk, maka tunggu saja
hingga dia tahu kenyataannya.

"Aku—aku tak bisa melakukan ini." Tanpa menunggu jawabannya


aku berbalik dan kabur ke kamarku, menutup pintu kemudian
menguncinya. Aku begitu menginginkannya bersamaku sama seperti
halnya aku ingin dia menjauh, sangat jauh. Aku penuh dengan
kontradiksi dan aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan dengan
hidupku. Mungkin memang akan lebih baik jika aku tetap sendiri.

Aku tak bisa terus hidup seperti ini, membiarkan—wanita itu


mengendalikanku lagi, seperti yang dilakukannya dulu, tapi aku tak
bisa menghentikan reaksiku. Aku butuh bantuan. Aku seperti
ronsokan dan aku butuh seseorang menyelamatkanku sebelum
terlambat.

Ketakutan berdesir di punggungku ketika aku menanggalkan


pakaianku, meninggalkan tumpukan basah di lantai. Aku
mengabaikan ereksiku yang menegang penuh amarah. Aku benar-
benar keras, kemaluanku rasanya sangat sakit, tapi aku tak akan
menyentuh diriku sendiri, tak peduli betapa aku akan sangat lega
ketika aku selesai. Seharusnya aku bersama Fable saat ini, bukannya
tenggelam dalam kenangan keparat itu.

Dia masih menggedor pintu, memintaku mengijinkannya masuk.


Aku berbalik dan menatap pintu yang tertutup, jantungku berdegup
sangat keras dan suaranya memenuhi kepalaku, hingga aku tak bisa
mendengarkan hal lainnya. Aku bernafas begitu cepat, seolah aku
baru saja berlari sejauh seratus mil tanpa henti dan kemaluanku
sangat keras, hingga kupikir aku akan meledak. Aku panas, seperti
sedang demam.

Kepalaku berputar.

Sialan.
***

Fable

Aku menjinjit dan meraih bagian atas kusen pintu, akhirnya aku
menemukan salah satu dari kunci ajaib yang bisa membuka segala
macam kunci itu. Mengambilnya dan aku menjejalkan bagian tipis
metal itu ke kunci pintu dan memutarnya, bersyukur ketika pintu
membuka dengan suara klik dengan mudahnya.

Mungkin aku tak seharusnya melakukan ini. Memasuki tempat


pribadi Drew ketika dengan jelas dia melarangku masuk. Tapi
caranya bereaksi membuatku takut setengah mati, dan aku juga
sangat khawatir, aku tahu aku harus mengikutinya dan memastikan
semuanya baik-baik saja. Ekspresi wajahnya penuh dengan
keputusasaan ketika dia menjauh dariku dan aku tak yakin apa yang
mengganggunya.

Aku sangat takut untuk mengetahui apa masalahnya tapi aku harus
melakukan hal ini. Untuk Drew.

Ketika aku membuka pintu, aku melihatnya berdiri di tengah-tengah


ruangan, benar-benar telanjang bulat dan sejenak, aku tertegun.
Tubuhnya sangat indah, maha karya seni yang maskulin. Bahunya
yang bidang, punggungnya yang halus dengan otot yang lentur dan
bokongnya yang terlihat sekeras baja. Seluruh tubuhku berteriak
ingin merasakan dirinya, bergerak bersamanya, tapi aku tahu bukan
itu yang dibutuhkannya saat ini.

"Drew," bisikku, suaraku pecah, hampir separah hatiku.

Dia berputar pelan, wajahnya penuh dengan penderitaan dan


perasaan terhina. "Seharusnya kau pergi."

"Biarkan aku membantumu." Aku baru akan mendekatinya tapi dia


menggelengkan kepalanya.

"Pergilah Fable, aku tak mau kau melihatku seperti ini." Dia
menundukkan kepalanya dan pandanganku jatuh pada bagian bawah
tubuhnya. Dia sedang ereksi, ereksinya sangat besar, dan aku tak
tahu apa yang telah mengacaukan sesuatu yang tampaknya—tak
diragukan lagi—akan menjadi momen paling indah di antara kami
berdua, tapi tak ada yang bisa kulakukan sekarang.

"Kau tak bisa mendorongku pergi." Aku tahu itu yang sekarang
sedang dilakukannya, dan itu yang akan selalu dia lakukan. Aku
menolak membiarkannya melakukan itu padaku. Aku akan tetap di
tempatku dan akan benar-benar membantunya.

Aku ingin menempel padanya.

"Kau tak menginginkanku," bisiknya, suaranya tajam. "Tidak seperti


ini. Aku tak bisa..kau tak ingin terlibat denganku ketika aku seperti
ini."

"Kumohon Drew." Aku memohon padanya dan aku tak peduli. Aku
tak pernah melakukan ini. Aku tak pernah merendahkan diriku, aku
mencoba dengan susah payah menjaga harga diriku. Tapi melihatnya
dalam keadaan seperti ini, dia membuatku ketakutan setengah mati.
Aku tak ingin meninggalkannya dan aku juga tak ingin dia
mendorongku pergi. Aku merasa saat ini hanya akulah yang
dimilikinya. "Beritahu aku apa yang bisa kulakukan."

"Kau bisa pergi." Dia berbalik dan menjauh dariku dan aku berlari
mengejarnya, menarik lengannya dan mencegah dia beranjak lebih
jauh.

"Tidak." Mataku bertubrukan dengannya dan aku bertahan di


tempatku, meskipun aku tahu aku pasti kelihatan menggelikan,
setengah telanjang dan lepek karena hujan. "Aku tak akan pergi."

Pandangannya jatuh pada dadaku yang telanjang dan berlama-lama


menatapnya. Putingku mengeras karena tatapan tajamnya yang
terang-terangan dan aku berjalan ke arahnya seolah aku tak bisa
menahan diri. Tubuhku menghianatiku walaupun aku berusaha
setengah mati bertingkah seolah dia tak mempengaruhiku. Apapun
yang terjadi di antara kami berdua bukan lagi tentang seks. Drew
menginginkan kenyamanan. Penerimaanku.

"Kau gemetaran," dia bergumam, meraih rambut basahku. Dia


mengusapnya di antara jemarinya, matanya masih terkunci di
dadaku. "Kau harus mengganti baju basah ini."

Seolah dengan perlahan dia mulai kembali padaku, kembai dari sisi
gelap, sisi sunyi tempatnya bersembunyi. Ekspresinya lebih cerah,
matanya tak melebar dan penuh dengan teror. Suaranya terdengar
biasa dan dia tak gemetar lagi.

Aku tak yakin apa yang diinginkannya dariku, tapi apapun itu, akan
akan menyerahkannya dengan senang hati.
Semuanya...
***

Bab 10
Hari ke-4, jam 9.49 malam.

"Love's tendrils round the heart doth twine, as round the oak doth
cling the vine."—Ardelia Cotton Barton.

Drew

Kami di tempat tidurku, tubuh Fable membungkusku, kami berdua


telanjang bulat walaupun kami tak saling menyentuh untuk seks
selain hanya saling menempelkan tubuh. Seperti inilah kami jatuh
tertidur. Dia masih tertidur, sementara aku telah terbaring selama
satu jam tanpa bisa terlelap, pikiranku berpacu dengan kemungkinan
aku bisa memilikinya.

Dia memilih tak bergeming ketika aku memperihatkan sisi


terburukku dan mencoba sekuat tenaga mendorongnya menjauh.
Aku harus memujinya karena hal itu, walaupun aku benar-benar tak
menginginkannya melihatku dalam keadaan memalukan itu.
Melihatku seperti itu, rusak parah dan gamang dan kacau balau,
tentunya aku terlihat seperti idiot baginya. Atau setidaknya, seperti
anak cengeng yang tak bisa melakukan seks—sialan, hanya dengan
dugaan tersebut, dia bisa berpikir yang bukan-bukan dan hal itu akan
mengacaukan hidupku selamanya.

Tapi, dia bahkan tak mengedipkan matanya. dia terus berbicara


padaku dengan tenang, dengan suara lembutnya hingga akhirnya aku
tak punya pilihan lain selain menyerah. Dia mendorongku ke arah
tempat tidur, menarik selimut hingga ke daguku, dengan telanjang
dada, dia benar-benar tak sopan. Membuatku terpesona dengan
pemandangan dadanya yang telanjang ketika dia membungkuk di
atasku dan mengecup dahiku.

Walaupun tadi aku begitu panik ketika mendengarnya mengucapkan


nama lengkapku—yang mengingatkanku pada masa laluku yang
masih terlalu sulit untuk kulupakan—aku ingin dekat dengannya.
Aku ingin merasakannya di tubuhku, aku tahu dia akan membuatku
nyaman.

Juga akan menyiksaku, tapi kupikir aku bisa menghadapinya.

Jadi, ketika dia mencoba meninggalkanku, aku menarik lengannya


dan memintanya tinggal. Aku tak ingin sendirian dengan pikiran dan
kenanganku. Aku melihat pandangan enggan di matanya tapi dia
tinggal juga, membuka bajunya yang basah dan pemandangan tubuh
rampingnya yang telanjang membuat mulutku kering.

Dia naik ke tempat tidurku dan aku menariknya mendekat.


Memeluknya dengan lenganku, dia di depanku dan kami tertidur
dengan suara hujan yang masih mengguyur di luar. Aku tak bisa
mengingat kapan terakhir kali aku merasa begitu puas, bersama
gadis yang begitu hangat dan cantik di pelukanku, kulit kami
menempel, nafas kami seirama, tanganku berada di kulit perutnya
yang lembut.

Ketika aku terbangun, aku terbaring terlentang dengan dia berada di


pelukanku, aromanya, rambutnya yang masih lembab berada di
seluruh wajahku, kupikir aku tengah bermimpi karena aromanya
sangat harum. Lalu aku menyadari segalanya terlalu nyata dan aku
tak bergerak sedikitpun karena takut akan mengganggu tidurnya
hingga dia akan meninggalkanku.

Pada saat ini, aku tak ingin dia menjauh dariku.

Dengan perlahan aku menyentuh lembut rambutnya dengan


jemariku, dengan menahan nafas. Dia beringsut mendekat, wajahnya
menekan lembut dadaku, bibirnya mengusap kulitku, membuatku
mengeras seketika. Hujan masih turun dengan deras di luar, kamar
ini benar-benar diselimuti kegelapan dan aku tak bisa melihat
apapun. Aku hanya bisa merasakannya.

Dan aku tak pernah benar-benar merasakan apa-apa selama


bertahun-tahun.

Dia terbangun perlahan, aku tahu itu terjadi, bagaimana tarikan


nafasnya berubah, ketika dia mencoba menjauh dariku.
Kulingkarkan lenganku disekeliling tubuhnya, memeluknya, tak
mengatakan apa-apa karena aku khawatir aku akan mengacaukan
segalanya dan melakukan sesuatu yang bodoh.

Alih-alih menarik diri menjauh, dia menyurukkan kepalanya


semakin dekat, bibirnya menekan leherku. Dan dia menciumku di
sana, dengan perlahan, lembut dan sekujur tubuhku dipenuhi sensasi
tergelitik, membuatku menggigil. Aku bersumpah aku bisa
merasakan dia tersenyum dan aku mengencangkan pelukanku di
pinggangnya, berusaha menyentuh sebanyak mungkin kulit
telanjangnya dengan jemariku.

Aku tak tahu pasti apa yang tengah kelakukan kini, atau apa yang
sebenarnya ingin ku capai, tapi aku yakin aku bisa menangani hal
ini. Dalam kegelapan, bersama Fable. Tak ada kenangan yang
menghantuiku, yang ada hanyalah saat ini. Fable dalam pelukanku,
rambut panjangnya menggelitik kulitku, nafasnya yang hangat di
telingaku. Dia menggigit pelan daun telingaku dan aku tersentak,
desisan kecil lolos dari mulutku dan itu terdengar seperti tawa.

"Geli?" bisiknya dan aku mengangguk, masih takut mengatakan


apapun, menikmati suaranya yang manis, menenggelamkanku di
dalamnya. Aku tak pernah tertawa ketika berhubungan seks
sebelumnya. Aku tak pernah menganggap seks sebagai sesuatu yang
lucu. Lebih seperti sebuah akhir…

Atau rahasia yang memalukan, dan penuh rasa bersalah…

"Kau memiliki tubuh yang paling indah yang pernah ku lihat,"


bisiknya sembari beringsut sehingga dia benar-benar berada di
atasku. Selimut tebal masih menutupi tubuh kami berdua dan
kehangatan tubuhnya terasa di kulitku, seperti sebuah kepompong di
dalam surga pribadi kami.

"Kau bahkan tak bisa memandangku.." Aku terkejut betapa


pujiannya membuatku merasa sangat gembira.

"Oh, aku sudah melihatmu, dan aku bisa merasakanmu.." Tangannya


di mana-mana, menjelajahi tubuhku, mengelusku. "Semua otot ini,
Drew Callahan. Tak ada lemak sedikitpun di badanmu." Aku bisa
mendengar nada memuja dalam suaranya dan aku tahu dia
menikmati menggodaku seperti ini.

"Mungkin saja itu tidak benar.." Aku tersedak di kata terakhir karena
tiba-tiba saja dia beranjak turun dari tubuhku, dan berbaring di
sampingku. Jemarinya mengelus pelan dadaku, sepanjang otot-
ototku, kemudian beralih mengelus perutku, membuatnya gemetar.
Aku keras setengah mati dan menderita karenanya, dan aku tak akan
meminta sesuatu lebih dari apa yang bersedia diberikannya.

Aku takut, takut setengah mati berhubungan seks dengannya karena


aku khawatir akan mengacaukan segalanya. Atau lebih buruk lagi,
kenangan-kenangan itu akan datang dan menguasaiku, sesuatu yang
tak bisa kuterima.

Apa yang terjadi padaku di masa lalu telah membayangi seluruh


hidupku. Merusak hidupku. Aku lelah membiarkan hal itu mengatur
kehidupanku.

Benar. Benar. Lelah.

Tangannya menjauh dari kemaluanku dan aku benafas dengan


lega..dan sedikit kecewa. Aku akan memberikan apa saja agar bisa
merasakan tangannya di tubuhku. Aku merasakan kebutuhan yang
tak tertahankan untuk bisa terhubung dengannya, aku meremas
payudaranya dengan telapak tanganku dan menengadahkan
wajahnya, menciumnya. Bukan ciuman manis dan lembut kali ini.
Aku mencumbunya habis-habisan, minum dari bibirnya, menghisap
lidahnya dan dia melakukan hal yang sama. Tangan kami di mana-
mana, menjelajahi tubuh masing-masing, bergerak ke tempat-tempat
paling pribadi dengan setiap sentuhan jemari kami dan aku
merasakan genggamannya ditubuhku. Tangannya bergetar, aku
bergetar.

Aku menggeram ketika sentuhannya di kemaluanku menimbulkan


sensasi luar biasa, dan itu membuatnya lebih berani lagi. Dia
meremas kemaluanku lagi dan mulai menggerakkan jemarinya naik
turun, jemarinya yang mungil itu bekerja dengan sangat cepat, dan
aku dipenuhi perasaan butuh yang luar biasa. Aku menciumnya lagi,
kehilangan diriku dalam rasa bibirnya, dalam tangannya dan aku kini
merasakan sensasi luar biasa di bagian bawah tubuhku.

Dia membisikkan namaku diantara bibirku, tangannya yang sibuk


menjadi lebih sibuk lagi dan aku menggeram, untuk ke sekian
kalinya, menggerakkan pinggulku seirama dengan sentuhannya.
Pertarungan dimulai di dalam benakku, dengan orgasme yang kian
dekat dan aku berusaha menahan dorongan itu.

Ini tidak benar. Kau harusnya malu. Kau harusnya mual akan apa
yang kini kau lakukan. Kau menjijikkan.

Aku mengusir suara rengekan di dalam kepalaku dan mengingat


diriku bahwa ini adalah Fable. Fable yang cantik, manis dan tegar.
Bahwa yang sedang kami lakukan ini, apa yang tengah kami bagi
terhadap satu sama lain, bukanlah sesuatu yang memalukan. Tak ada
yang salah di antara dua orang yang ingin mendekatkan diri, dan
memberikan kepuasan kepada satu sama lain.

Walaupun sulit untukku mempercayai hal itu sepenuhnya.

Tangannya berhenti dan dia menjauh dari ciumanku. "Kau baik-baik


saja?"

Dia bahkan mempertanyakannya dan itu mengacaukan pikiranku.


Dan juga membuatku merasa menjadi pengecut sialan. Aku sudah
akan menjauh dan pegangannya di kemaluanku menjadi semakin
kencang, membuatku sedikit panik. Aku tak akan kemana-mana
dengan pegangan mautnya di bagian tubuhku yang paling pribadi.

"Drew, dengar.. Aku hanya.. Aku punya perasaan kalau ini tak
mudah bagimu. Bermesraan.." Dia terdengar ragu-ragu, tak yakin
dan dia melonggarkan pegangannya, jempolnya membuat lingkaran
di bagian paling ujung tubuhku, lagi..dan lagi.

Aku akan meledak. Dengan cepat. Aku meraihnya, merengkuh


kepalanya dengan tanganku dan aku menciumnya dengan lembut.
Dengan hormat.

Aku tak ingin saat-saat ini berakhir. Dan aku tak ingin dia semakin
dekat. Dia sudah terlibat begitu dalam denganku, aku takut jika dia
tahu apa yang kusembunyikan jauh-jauh di dalam diriku, aku
bukanlah orang yang akan diharapkannya. Bahwa aku tak akan
menjadi laki-laki yang dicarinya.

"Aku menginginkan ini," aku memberitahunya ketika akhirnya aku


menghentikan ciumanku. Tangannya telah menjauh dari ereksiku
tapi aku masih bisa merasakannya. Menginginkannya.
Mengharapkannya membawaku ke tahapan selanjutnya, di tempat di
mana aku akhirnya bisa melupakan segalanya, walaupun hanya
sesaat. "Aku ingin melakukannya bersamamu, Fable."

Aku mengucapkan namanya untuk membuatku tetap sadar. Untuk


mengingatkanku bahwa ini kulakukan bersama Fable. Gadis yang
menjadi sumber kebahagian dalam hidupku. Gadis yang kepadanya
aku telah jatuh cinta…
***

Fable

Tubuh Drew telah menjadi begitu besar dan keras hingga kuyakin
dia sangat kesakitan sekarang. Itu adalah bagian dari alasan aku
menyentuhnya. Aku tak bisa mengelak. Well, itu dan aku harus tahu
apa yang akan terjadi jika aku melakukannya. Apakah dia akan
mendorongku menjauh kali ini? Aku ingin memberinya kepuasan
karena kebahagiannya perlahan menjadi kebahagiaanku dan aku bisa
membantunya mengenyahkan apapun yang menjadi masalah
baginya dalam melakukan seks, dan semua itu sepadan.

Aku berharap lampunya menyala, agar aku bisa melihatnya, tapi aku
punya firasat dia belum siap untuk itu.

Aku merasa sangat kesakitan di selangkanganku dan kupikir aku


bisa mati karena menginginkannya. Aku berharap aku bisa
membuatnya memasukiku..tapi aku tak ingin terlalu memaksa.
Berpikir bahwa kali ini aku adalah pihak yang lebih agressif sudah
membuatku sangat malu tapi sepertinya dia memiliki semacam
rahasia yang aku harap bisa kukorek darinya suatu hari nanti,
walaupun aku tak tahu seberapa parah hal itu akan menggangguku.

Dan tentu saja apapun itu, pasti akan sangat mengganggu.

Drew membisikkan namaku dan aku menciumnya. Mengayuhnya,


meremasnya lebih kencang, menggerakkan tanganku lebih cepat
lagi. Jika malam ini aku akan melayaninya hanya dengan tanganku,
maka tidak apa-apa. Aku cukup gembira mengingat akhirnya kami
berdua melakukan sesuatu yang sangat khas….remaja. Kami dua
orang dewasa yang telanjang di tempat tidur, sendirian di rumah
raksasa ini dan kami bisa bercinta habis-habisan dimanapun kami
menginginkannya. Dia bisa memasukiku di kamar manapun di
rumah ini, di teras luar, dimanapun, dan aku akan mengijinkannya,
dan aku amat sangat menginginkannya.

Kami sudah seperti sepasang kekasih di kursi belakang mobil di


parkiran, di bagian belakang bioskop, mencoba mendapatkan satu
sama lain sebelum jam tengah malam berakhir.

Geraman pelan lolos dari bibirnya dan dia bergetar, seluruh


tubuhnya seolah tegang pada saat-saat menggantung itu sebelum
kemudian dia benar-benar hancur berkeping-keping dalam kepuasan.
Dia datang, dalam genggaman jemariku ketika aku masih
menggenggamnya erat-erat, tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya
menghentak-hentak. Gelombang kepuasan memenuhiku dan aku
mendongak untuk menciumnya dan menautkan lidah kami,
tersenyum ketika dia melepas ciumanku dan melepaskan geraman
kecil gemetar.

Menjauh darinya, aku turun dari tempat tidur tanpa kata menuju ke
kamar mandi di seberang ruangan. Aku menyalakan lampu,
bayanganku di cermin menatapku dan aku berhenti dan melihatnya
sejenak.

Mataku berbinar, pipiku merona dan bibirku bengkak karena


ciumannya yang mematikan. Seluruh tubuhku bersemu merah jambu
dan putingku mengeras.

Aku berharap Drew bisa melihatku. Bahwa kami tak perlu diselimuti
kegelapan. Atau..apakah gelap membuatnya lebih mudah baginya?

Mendorong pikiran-pikiran murung dari kepalaku, aku membasuh


tanganku, mematikan keran dan mencoba setengah mati meratakan
rambutku. Rambutku benar-benar kacau balau. Bergelombang di
sekitar wajahku dan aku menyalahkan hujan.

Aku juga menyalahkan laki-laki yang mencengkramkan jemarinya di


kepalaku, membuatku terdiam sementara dia terus menciumiku
tanpa belas kasihan.
Dia masih terbaring di tempat aku meninggalkannya. Aku
memandangi siluetnya ketika aku memasuki kamar, berpikir
setidaknya dia masih bernafas. Aku menuju ke arahnya, memanjat
tempat tidur, dan aku berbaring di sampingnya.

"Fable..." dia baru akan memulainya ketika aku menyuruhnya diam,


mendongak menatap wajahnya dan meletakkan jariku di bibirnya.

"Jangan katakan apapun. Mungkin kau akan mengacaukannya," Aku


berguman dan aku merasakan dia tersenyum lemah di antara
jemariku.

Puas karena aku tahu dia tak akan mengatakan apapun yang bisa
menghancurkan saat-saat ini, aku berbaring di sampingnya dan
menarik selimut menutupi kami berdua. Meskipun tubuhku masih
bergetar, aku sangat lelah dan gagasan tidur meringkuk di pelukan
Drew sangat sulit untuk ditolak. Maka aku mendekat padanya,
menyandarkan pipiku di dadanya yang sekeras batu, dan aku bisa
mendengar suara jantungnya yang berdetak cepat.

Jemarinya kembali berada di rambutku, bibirnya menyapu pelan


dahiku. Perasaan puas yang luar biasa memenuhiku, begitu kuat dan
memabukkan dan aku memejamkan mataku, membiarkan jemariku
mengelus kulitnya pelan.

"Aku tahu besok hari raya Thanksgiving dan semuanya, jadi


seharusnya aku menyimpan percakapan ini untuk besok. Tapi aku
tak mungkin mengatakan hal ini di depan orang tuaku jadi aku akan
memberitahumu sekarang, apa yang membuatku sangat bersyukur,"
dia berbisik di antara rambutku, suaranya yang rendah, dan dalam
menenangkanku, meredakan ketakutanku, dia seolah berharap aku
tak terlalu lelah untuk berbincang.

Aku membuka mataku, memandang kegelapan yang tak terjamah


mataku. "Apa yang sangat membuatmu bersyukur?" Aku bertanya,
nafasku terkunci di tenggorokanku. Aku ingin tahu, sekaligus ngeri
mendengar apa yang ingin dikatakannya.

Dia terdiam sejenak, seolah dia tengah mengumpulkan keberanian


dan hatiku mengencang. "Kau. Berada di sini, menghabiskan waktu
bersamamu, bagaimana kau memperlakukanku sekuat apapun aku
mencoba untuk mendorongmu menjauh," suaranya serak dan dia
membersihkan tenggorokannya. "Aku bersyukur kau ada di sini."

Aku tak mengatakan apapun dalam waktu yang sangat lama, dan
syukurlah diapun demikian, dalam menit-menit yang sunyi.
Tenggorokan seolah tersumbat oleh semacam emosi asing yang tak
kukenali, aku mencoba menelan dengan susah payah, mencoba
menyingkirkannya tapi tak ada gunanya. Lengannya yang berotot
masih membungkus tubuhku dengan kencang, aku merasa seolah
aku tak bisa bergerak, tak bisa bernafas dan dengan tangisan kecil
aku meluncur turun dan menjauh dari pelukannya, turun dari tempat
tidur.

Aku berdiri di kedua kakiku, mendengarnya bangun, selimut


tersibak karena gerakannya. "Fable, ada apa?"

Sekarang aku yang panik dan aku benci itu. Aku merasa buruk. Dia
tak meminta aku memperlakukannya dengan sangat buruk, seperti
sekarang ini. Dia hanya mencoba membuka hatinya dan mengatakan
dia bersyukur untukku dan sekarang aku mencoba untuk kabur.
Takut akan apa yang dikatakannya dan betapa luar biasa
kedengarannya, jika saja semuanya nyata.
Tapi itu bukan kenyataannya. Dia hanya terbawa suasana, seperti
halnya diriku dan aku tak bisa lagi membedakan mana yang
sebenarnya dan mana yang pura-pura. Aku tahu dia masih sama
seperti sebelumnya. Dia ingin kami kelihatan seperti sungguhan dan
sangat mudah berpikir kami akan bisa bekerja sama ketika kami
hanya berdua saja, berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan
sebenarnya.

Ketika kami kembali ke dunia nyata, kami akan menyadari betapa


kami berbeda. Bahwa sangat mustahil kami bisa menjadi sepasang
kekasih.

Aku tak cukup bagus menjadi pasangan dari Andrew D. Callahan.

"Aku—Aku ingin mandi." Tiba-tiba saja aku ingin melakukannya.


Gagasan membasuh tubuhku dengan air hangat, sekaligus emosiku
yang bergemuruh di dalam diriku, luar biasa menarik dan aku ingin
segera keluar dari sini.

"Baiklah." Dia berdehem lagi dan aku penasaran apakah dia


menyadari betapa aku merasa sangat tak nyaman. Dia harus
menyadarinya. "Apakah..Apakah kau akan kembali ke sini dan tidur
bersamaku ketika kau selesai?"

Dia mengerahkan segala upayanya untuk mengucapkan hal itu, bisa


kupastikan dari nada suaranya."Tentu saja." Aku berbohong, merasa
sangat buruk. Aku manusia yang benar-benar jahat, membohonginya
seperti itu. Aku benci pembohong. Dan aku sangat benci diriku
sendiri, karena aku hanya membohongi diri sendiri, berpikir Drew
akan bisa, entah bagaimana, merasakan sesuatu terhadapku.
Aku kabur dari kamarnya dan bersembunyi di kamar mandi, mandi
dengan air yang paling panas yang bisa kutahan. Aku menggosok
kulitku hingga merah dan lecet, uap di kamar mandi yang sempit dan
udara yang panas membuatku pening. Air mata membanjiri mukaku
karena aku menangis seperti orang gila, tanpa suara dan membuat
tubuhku gemetaran. Aku tak mengerti kenapa aku bisa sesedih ini
atau kenapa aku ingin sekali menjauh dari Drew. Aku tak menyesali
apapun yang telah kulakukan untuknya, bagaimana aku
menyentuhnya dan membuatnya puas. Lepas. Jika sentuhanku
membantunya menghapus, sekecil apapun hal yang menghantuinya
itu, aku bahagia bisa melakukannya. Setidaknya dia pantas
mendapatkannya.

Tapi reaksiku terhadap semua ini lamat sangat konyol. Aku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah ingin bergantung pada Drew. Tapi
kini sudah terlambat. Aku benar-benar membutuhkannya. Pelan tapi
pasti aku telah bergantung padanya dan jika aku tidak berhenti
segera, hatiku akan terpaut sangat jauh kepadanya, dan aku akan
sangat menderita ketika tiba saatnya kami berpisah.

Aku bernafas dengan gemetar ketika aku melangkah keluar dari


kamar mandi dan dengan tergesa mengeringkan badanku. Aku
menyelinap kembali ke kamarku dan memakai padanan kaus tua dan
baju hangat, kemudian menenggelamkan diriku ke tempat tidurku
yang sedingin es, tubuhku yang masih panas gemetar karena
perbedaan suhu udara, di dalam kamar yang membeku ini.

Aku benar-benar lelah dan kering secara emosional, tapi aku tak bisa
benar-benar tertidur nyenyak sepanjang sisa malam itu, bergoyang
dan berbalik arah, berpikir tentang Drew yang sendirian di kamar
sebelah. Aku meninggalkannya, aku telah mengecewakannya.
Aku tak lebih baik dari ibuku.

Dengan pemikiran itu, aku menangis.


***

Bab 11
Hari ke-5 (Thanksgiving), 12.55 Siang.

The more I push you away, the more I want you to push back.—
Drew Callahan.

Fable

"Ibu tidak memasak makan malam untuk Thanksgiving?" Aku


bertanya tak percaya, berkutat dengan keinginan kabur ke luar dan
menghisap sebatang rokok. Ketegangan yang kurasakan membuatku
letih dan tanganku masih saja gemetaran, tapi aku hanya punya dua
batang rokok yang tersisa dalam bungkusan rahasiaku. Bungkusan
itu masih penuh ketika aku tiba di tempat ini. Aku ingin menyimpan
sisanya.

"Tidak. Dia biang padaku ada daging kalkun beku di freezer, daging
itu katanya di beli di Marie Callender's, jika aku ingin makan itu.
Sebaliknya, aku bisa mengurus diriku sendiri." Owen terdengar jijik
dan aku tidak menyalahkannya. "Taruhan dia sekarang pasti sedang
ke luar kota bersama Larry. Larry punya seorang putri dan mereka
mungkin saja sedang makan kalkun bersama dan sebagainya."

Sangat tak bisa dipercaya, seharusnya tak jadi masalah jika ibuku
membawa Owen bersamanya. Dia adalah putranya. Aku dicekam
perasaan bersalah karena tak bersama Owen saat ini, tapi itu sudah
biasa terjadi kan? Aku mulai berpikir bahwa semua uang di dunia ini
tak sepadan dengan kekacauan yang terjadi. Hatiku sedang compang
camping, pikiran lamban dan sekarang adik lelakiku ditelantarkan
secara terang-terangan pada hari libur yang biasanya ibu kami akan
sangat senang merayakannya bersama kami.

Walaupun kami hanya merayakannya bertiga sejak kakek nenekku


meninggal hanya berselang beberapa bulan ketika aku berumur
sebelas tahun, ibuku selalu memasak besar-besaran untuk merayakan
Thanksgiving dan mengundang semua orang yang bisa dipikirnya.
Kadang-kadang dia mengundang kekasihnya saat itu. Di waktu yang
lain, teman-teman nongkrongnya di bar, orang-orang kesepian yang
tak punya keluarga untuk merayakan hari itu bersama.

Ibuku mungkin punya banyak kesalahan—dan dia benar-benar


punya berjuta kesalahan—tapi dia selalu mencoba membawa
keceriaan pada hari raya. Dia sepertinya tak ingin melihat seseorang
sedih dan kesepian pada hari itu.

Merengut, aku menggelengkan kepalaku. Sekarang dia


menelantarkan putranya sendirian. Tak pernah bersusah payah
menguhubungi putrinya. Terkadang aku berpikir dia lebih peduli
pada teman-teman minumnya daripada orang-orang yang
dilahirkannya.

"Kuharap aku ada disana." Aku memelankan suaraku, terlebih aku


kini berada di rumah utama dan siapa tahu ada mata-mata yang
mencoba mengawasi tingkah lakuku. Aku tak akan heran jika
memang ada. "Tak seharusnya kau menghabiskan hari raya seorang
diri."
"Aku akan baik-baik saja." Ketegaran palsunya membunuhmu.
Owen selalu saja bertingkah sok tangguh seperti itu. Aku menduga
itu pasti melelahkannya, seperti hal itu membuatku lelah. "Ibunya
Wade mengundangku makan bersama. Kupikir aku akan ke rumah
mereka selama sejam atau lebih. Wade mengatakan mereka akan
makan sekitar jam tiga. Seharusnya ibunya pasti sudah memasak pie
labu yang enaknya setengah mampus."

"Jangan mengumpat." Hatiku sedikit lebih ringan dan aku berencana


akan mengirimkan kartu ucapan terima kasih, hadiah atau apapun
yang bisa kudapatkan kepada ibunya Wade ketika aku pulang. "Aku
senang kau punya tempat untuk pergi."

"Aku juga," dia berhenti sejenak sebelum dia berujar dalam suara
rendah, "Aku merindukanmu."

Aku bersusah payah menelan gumpalan yang menekan


tenggorokanku. "Aku juga merindukanmu. Tapi aku akan pulang
sabtu malam, aku janji. Ayo kita melakukan sesuatu yang seru hari
minggu, ok? Mungkin kita bisa pergi nonton film." Kami tak pernah
nonton bersama, tiket bioskop luar biasa mahal, walaupun tiket
pertunjukan siang, tapi aku tak peduli. Kami perlu pasokan
kesenangan dalam kehidupan kami. Terlalu banyak pertunjukan
kasih sayang di keluarga Maguire dan kami berdua butuh menjauh
dari itu semua ketika aku kembali.

"Aku akan suka itu, Fabes. Aku mencintaimu. Selamat hari


Thanksgiving."

"Aku juga mencintaimu. Selamat hari thanksgiving sayang." Aku


menekan tombol untuk memutuskan percakapan dan berbalik dan
mendapati Adele berdiri tak sampai lima kaki jauhnya dari tempatku,
alisnya yang dilukis sempurna terangkat tinggi sekali hingga aku
khawatir mereka akan terbang dari mukanya yang terlalu-cantik,
sekaligus terlalu-angkuh itu.

"Well. Apakah suaramu tak terlalu terdengar dibuat-buat ketika kau


berkicau di teleponmu betapa kau merindukan dan mencintai cowok
itu?" Dia melangkah mendekatiku dan aku mundur menjauh
seketika, rasa takut membuat punggungku gemetaran, walaupun aku
tak tahu kenapa. Aku tak seharusnya takut pada wanita ini, walaupun
dia selalu memasang ekpresinya yang seolah menggertak dan
memandangku dengan sepasang matanya yang sedingin es. Dia tak
berarti apa-apa bagiku.

Tapi aku tak ingin menciptakan riak permusuhan dengannya. Astaga,


hari ini adalah hari Thanksgiving, yang benar saja! Bertengkar dan
beradu argument dengan ibu tirinya akan cukup menyakiti dan
merendahkan Drew dan aku tak ingin bersikap seperti pacar yang
seperti itu, pacar beneran atau bukan.

"Bukankah tidak sopan menguping percakapan orang lain?" Aku


bertanya, karena aku tak bisa menahan diri. Aku benar-benar marah
dia mencuri dengar, dan lebih karena sejarang dia berpikir tadi aku
berbicara dengan pacarku yang lain, kekasih lain, atau apapun. Aku
juga tak perlu menjelaskan apapun kepadanya. Ini bukan urusan
udelnya.

"Tidak jika percakapan itu berlangsung di dalam rumahku, dalam


pengawasanku. Terlebih lagi ketika kau mencoba menjadi seorang
pelacur gelandangan kecil yang berani-berani menyentuh (fucking)
Andrew-ku."

Aku tersentak mendengar kata-kata berbisanya. Betapa gampang dia


mengumpatku dengan kata-F(F-bomb) itu dan dengan posesif
menyebutnya dengan kata ‘Andrew-ku'. "Dia bukan milikmu," aku
berbisik. Dia milikku.

Aku tak cukup punya keberanian mengucapkan kata itu dengan


keras.

Senyumnya sangat tajam. "Di situlah kau salah. Kau hanya


sementara. Kau hanya sesuatu yang baru. Dia membawamu pulang
untuk mengejutkan kami, menakutkan kami, mencoba membuat
kami percaya bahwa dia ingin bersama dengan seseorang yang
sepertimu, tapi aku tahu kenyataan sebenarnya."

Aku melirik ke arah ruangan yang cekung, mencoba mencari cara


untuk kabur, tapi satu-satunya jalan aku bisa keluar adalah dengan
berjalan melewatinya dan aku tak ingin melakukan hal itu, dan dia
mengetahuinya. Wanita jalang ini telah menjebakku. "Bukankah kau
harus mengoleskan mentega pada kalkun atau sebagainya?"

Adele tertawa tapi tawanya terdengar rapuh. Tak ada lelucon apapun
dalam tawanya. "Mencoba mengalihkan perhatianku eh? Itu tak akan
berhasil." Dia menyilangkan lengannya di dadanya. " Hari raya ini,
adalah saat paling berat dalam keluargaku, kau tahu. Sabtu ini adalah
tepat dua tahun kematian putriku."

Aku terkejut luar biasa mendengar kata-katanya. Aku terbengong-


bengong. Tak bisa kupercaya Drew tak pernah menyebut-nyebut
tentang saudara perempuannya dan bahwa dia telah meninggal.
Mungkinkah masalahnya berhubungan erat dengan kematiannya?
Tapi itu tak masuk akal, tak sesuai dengan kelakuannya yang
kusaksikan sendiri.
"Aku sangat menyesal," Secara otomatis aku mengatakannya dan
aku sungguh-sungguh. Kematian salah satu anggota keluarga benar-
benar mengerikan dan aku tak mengharapkan hal itu terjadi pada
siapapun, bahkan terhadap penyihir wanita kejam ini. Aku sangat
trauma setelah kehilangan kakek nenekku. Hanya mereka berdua
yang secara terus menerus ada untukku di dunia ini dari sejak aku
masih sangat muda, terutama ketika aku tak benar-benar bisa
mempertimbangkan keberadaan ibu kandungku, dulu maupun
sekarang.

"Harusnya usia Vanessa genap lima tahun sekarang. Pergi ke TK,


menggambar kalkun dengan tangan mungilnya di kertas.." Suara
Adele terdengar jauh, begitupun matanya yang tak terfokus.
Kesedihan yang terpancar darinya terlihat sangat nyata dan aku ikut
prihatin, walaupun baru sesaat yang lalu dia memperlakukan aku
dengan sangat buruk.

"Dulunya dia sangat cantik. Sangat mirip ayahnya.."

Adik perempuan Drew meninggal di usia tiga tahun—bagaimana?


Apa yang sebenarnya terjadi? Dan dia meninggal tepat setelah
perayaan Thanksgiving? Pantas saja dia begitu enggan kembali
kemari pada hari raya. Pasti hal itu menjadi kenangan yang
menyedihkan baginya, dan dia berpikir lebih baik melupakannya.
Dan perbedaan usia diantara kedua kakak beradik itu sangat jauh.
Drew pastinya berumur sekitar enam belas atau tujuh belas ketika
Vanessa lahir. Aku penasaran apa yang menyebabkan Ayahnya dan
Adele begitu lama memutuskan untuk memiliki anak? "Kuyakin dia
pasti sangat cantik. Suamimu adalah laki-laki yang tampan." Aku tak
tahu lagi akan bicara apa, selain melontarkan pernyataan basi itu,
dan seketika menyesalinya. Terlebih ketika dia melempar pandang
aneh kepadaku.
"Suamiku…" Suara Adele seperti mengalun dan dia menggelengkan
kepalanya. "Kau benar. Andy sangat tampan. Begitupun Andrew."

Dia selalu memanggilnya Andrew. Dan semalam ketika aku


memanggilnya Andrew, dia tak menyukainya. Sama sekali. Dia
benar-benar murka, sebenarnya.

Apakah hal itu pemicu kemarahannya? Apakah wanita ini


pemicunya?

"Makan malam Thanksgiving akan siap dalam tiga puluh menit," dia
berujar ringan, tanda-tanda duka dan kesedihannya telah menguap.
"Setelah itu, kusarankan kau kembali ke Paviliun dan kemasi
berang-barangmu. Aku akan menghubungi taksi yang akan
membawamu ke stasiun bis petang ini."

Mulutku menganga karena syok. Dia tak mungkin serius.

"Oh ya, tentu saja aku punya rencana, Fable Kecil. Rencana yang
sudah tentu tak menyertakanmu, terutama karena hal seperti ini
hanya dilakukan antara anggota keluarga dan kau tak lebih dari
seorang pengacau. Hal yang terbaik bagimu adalah pergi. Aku sudah
berbicara dengan Andrew dan dia sangat setuju denganku." Tanpa
berkata apa-apa lagi dia berbalik dengan hak sepatunya yang luar
biasa tipis dan tinggi itu dan melangkah keluar ruangan,
meninggalkanku yang merosot dan jatuh ke kursi di belakangku,
begitu lemah seolah kakiku tak sanggup lagi menahan beban berat
tubuhku lebih lama lagi.

Dia telah bicara dengan Drew dan dia setuju aku harus pergi malam
ini juga? Hal ini betul-betul tak masuk akal. Aku tak mengerti apa
yang terjadi dan pikiranku kusut oleh informasi yang baru saja
dibagi Adele padaku.

Dia memiliki seorang adik perempuan berusia tiga tahun yang kini
telah meninggal, apa yang terjadi pada saat itu? Bagaimana caranya
meninggal? Apakah dia sakit, penyakitnyakah yang merenggut
nyawanya, ataukah karena kecelakaan? Aku tak terbiasa membahas
sesuatu yang benar-benar kabur seperti ini, jadi kurasa aku harus
bersabar hingga dia bersedia bercerita sendiri padaku.

Dan karena dia tak pernah bercerita sejauh itu, aku tak benar-benar
memahami masalah ini.

Benar-benar terdengar bodoh mengakui hal ini, tapi perasaanku


sedikit terluka mengetahui kalau Drew tak pernah bercerita tentang
adiknya. Hal itu adalah pengalaman traumatiknya yang paling besar
yang disembunyikannya dariku. Tentu saja dia merahasiakan banyak
hal. Dia penuh dengan rahasia. Aku masih tak merasa mengenalnya.
Tidak benar-benar mengenalnya.

Pagi tadi dia sudah keluar rumah ketika aku meninggalkan kamarku,
dan aku memang sengaja melakukannya. Mengunci diriku sepanjang
waktu di kamar—mencoba seperti orang gila berusaha menghubungi
ibuku walaupun dia tak pernah sekalipun menjawab panggilanku—
apalagi yang baru? Ketika aku mencoba menghubungi dan
mengirimkan pesan kepada Owen, tapi kupikir jam segitu dia masih
tertidur dan aku yakin aku benar.

Faktanya, hingga kini aku belum melihat Drew. Apakah dia marah
padaku karena tak kembali ke tempat tidurnya semalam? Mungkin
saja. Dan itu adalah jalan terbaik. Apapun yang kini ada di antara
kami berdua, hal itu tak mungkin terjadi. Benar-benar tak akan
terjadi.

Tak peduli betapapun aku menginginkannya…


***

Drew

"Ada laki-laki lain dalam kehidupan gadis yang harusnya jadi


pacarmu itu…"

Aku berbalik ketika mendengar suara Adele dan menemukan dia


mengikutiku ke taman yang terhubung dengan halaman belakang
untuk berbicara denganku. Dan kami benar-benar hanya berdua.

Seluruh tubuhku diselimuti ketegangan dan aku menegakkan


bahuku, bersiap menghadapi pertempuran. "Apa yang kau
bicarakan?"

Adele mengangkat bahunya, ekspresi wajahnya benar-benar tak


terbaca. "Aku mendengarnya bicara di telepon. Dia bilang kepada
siapapun temannya berbicara bahwa dia merindukan laki-laki itu,
berharap dia melewatkan thanksgiving bersama dengannya dan
merencanakan kencan dengan nonton film berdua ketika dia kembali
nanti." Dia benar-benar meyakinkan ketika menyampaikan kabar
buruk ini padaku, dan aku bersusah payah menunjukkan bahwa
segalanya baik-baik saja, bahwa kata-katanya yang keji dan
menjijikkan itu tak mempengaruhiku sama sekali.

Tapi sebenarnya, kata-katanya berhasil mempengaruhiku. Fable


benar-benar menjauhiku semalam setelah segala hal yang terjadi di
antara kami. Keadaannya berbalik 180 derajat dan aku tak menyukai
hal ini. Dia tak pernah kembali ke tempat tidurku. Dia telah
membuatku terangsang, kemudian meninggalkanku, adrenalin masih
membuncah di dalam sarafku dan membuatku bergairah, benar-
benar berhasrat menjelajahi setiap inchi tubuhnya seperti yang
dilakukannya padaku.

Dia meninggalkanku yang sedang melayang-layang dan kehausan.


Akhirnya aku tertidur ketika aku menyadari bahwa dia tak akan
kembali dan hingga kini aku belum menemuinya ataupun berbicara
dengannya sejak pagi tadi.

Sepertinya dia memang sengaja bersembunyi dariku.

"Fable tak punya orang lain dalam hidupnya. Hanya aku," Aku
bergumam, memandang ke arah pintu masuk yang langsung
mengarah ke rumah utama.

Adele bergerak cepat dari arah kiri, meraih lenganku hingga aku tak
sempat mengelak, jemarinya menekan dagingku. "Kau tak tahu pasti
masalah itu, bodoh. Aku yakin si Jalang itu akan bersedia membuka
lebar-lebar kakinya kepada siapapun yang memintanya."

Hampir saja tanganku menampar wajah Adele yang menjijikkan, aku


merasa sangat marah. "Jangan berani-berani menyebutnya seperti
itu," Aku berkata di selah gigiku yang gemetar menahan amarah.
"Jangan berani-berani."

"Aku mendengarnya. Dia menyebut laki-laki itu dengan sebutan


sayang. Dia mengatakan dia mencintainya sebelum menutup telepon.
Hadapi kenyataannya, Andrew, dia menghianatimu dengan laki-laki
lain." Adele memandang mencela padaku,alisnya bertaut dan
berkali-kali mengedipkan bulu matanya. "Ada apa? Apa kau tak bisa
memuaskannya? Aku tahu terkadang kau suka sekali mengendalikan
semua nafsu binatang itu sekuat tenaga, tapi terkadang, seorang
gadis menyukai ketika kau lepas kendali ketika bersamanya."

"Persetan denganmu. Jangan berani-berani mendekatiku, sialan. Dan


berhentilah menjelek-jelekkan pacarku, kau wanita jalang!" Aku
menghentakkan tanganku dari pegangannya dan mendorongnya
ketika melewatinya, berjalan terburu-buru ke dalam rumah. Aku
ingin bertemu Fable. Aku butuh konfirmasi darinya sekali saja
bahwa dia benar-benar tidak berbicara dengan laki-laki lain ketika
dia bersama denganku.

Aku tahu aku tak punya hak apapun terhadapnya. Tapi setidaknya
dia bisa menelepon laki-laki ini ketika tak ada seorangpun yang bisa
mendengarnya. Maksudku, ayolah.. Dia membuatku terlihat seperti
orang bodoh dan memberikan Adele senjata untuk menyerangku.

Dan gagasan bahwa Fable mungkin saja bicara dengan cowok lain
ketika dia sedang menghabiskan waktu disini bersamaku? Sialan,
aku tak bisa menerimanya.

Darahku mendidih dan rasa cemburu menggerogotiku begitu rupa


hingga kupikir aku telah berubah menjadi pecundang sebenarnya,
aku berjalan dengan langkah panjang-panjang ke arah rumah, tidak
menghiraukan Ayahku ketika dia memanggilku, juga Adele ketika
dia berhasil menyusulku dan menarik tanganku lagi. Aku tak
menemukan Fable di dalam rumah, dan ketika akhirnya aku
menemukannya, dia tengah berdiri di teras depan dan tengah
menghisap sebatang rokok, dan pandanganku tiba-tiba memerah.

Tiba-tiba saja, aku ingin sekali menendang bokong seseorang, aku


diliputi amarah yang membuatku tak bisa berpikir jernih.
Membuka pintu depan, aku melangkah ke luar, melangkah menuju
ke arahnya. Pandangan kami bertemu dan aku melihat sekilas
tatapan takut, kekhawatiran..dan amarah dalam tatapannya. Dia
menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya ke
arah wajahku ketika akhirnya aku berhenti di hadapannya dan aku
sangat marah. Kepadanya. Kepada Adele. Kepada Ayahku.

Dan pada diriku sendiri yang berpikir aku memiliki semacam ikatan
dengan gadis ini, gadis yang sama sekali tak berpikiran seperti itu
terhadapku.

"Kau bersama orang lain," kataku, tak repot-repot menahan nada


bicaraku.

Dia mencibir, rokoknya masih menggantung di jemarinya. "Kulihat


kau sudah bicara dengan ibu tirimu."

"Katakan apa yang terjadi."

"Memangnya itu urusanmu?" dia menjentikkan rokoknya ke


rerumputan, dengan sol sepatunya dia menyapu debunya,
menciptakan lubang kecil di halaman rumput asli orang tuaku.
Ayahku akan sangat murka jika melihat kelakuannya.

"Aku sudah membayarmu dengan mahal agar kau berpura-pura


menjadi pacarku selama seminggu. Jadi kupikir, tentu saja hal sialan
itu menjadi urusanku." Aku meraih lengannya dan menyentaknya
mendekat, memandang langsung ke matanya yang hijau cerah. Aku
ingin melihat jika dia berbohong padaku. Bahwa segala hal yang
kami lakukan kemarin tak lebih dari sekedar sesuatu yang tak
bermakna baginya.
Itu menyakitkan. Lebih dari yang bisa kuakui.

"Jadi kita kembali ke masalah itu, hah? Semua kata-kata manis dan
percintaan kita kemarin itu menguap hanya karena aku membuatmu
marah. Sekarang kita kembali ke awal lagi, ke masalah pacar sewaan
itu lagi."

Dia marah. Tapi aku lebih marah darinya. "Katakan yang


sebenarnya. Apakah ada cowok lain?"

"Aku akan mengatakan yang sebenarnya jika kau memberitahuku


bagaimana adik perempuanmu meninggal." Dia membalas
membentakku.

Rasa terkejut membuatku terdiam dan aku melepasnya, mundur


beberapa langkah. Sialan. Aku tak memperhitungkan hal tersebut.
Kupikir aku masih memiliki waktu sedikit lebih lama sebelum aku
bisa menceritakan tentang Vanessa. "Tak ada yang perlu
kuceritakan," aku bergumam, menolak menjelaskan detilnya,
mengabaikan perasaan bersalah yang membekukan dadaku.

"Baik, kau lupa menyebutkan tentang adik-perempuan-tiga-tahun-


mu yang telah meninggal di rumah ini hampir dua tahun lalu.
Maksudku, pantas saja jika kau enggan kembali kemari, akupun
akan begitu. Aku yakin rumahmu penuh dengan kenangan
mengerikan yang tak ingin kauingat."

"Kau benar sekali." Dia berusaha mengalihkan perhatianku dan aku


menjadi semakin marah karena hal itu. Kami tak sedang
membicarakan adikku sekarang. "Siapa laki-laki itu, Fable?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Tak ada siapapun."

"Siapa. Laki-laki. Itu?" Aku menggeramkan kata demi kata, luar


biasa lelah dengan omong kosongnya.

"Apa? Kau cemburu?"

"Tentu saja, sialan. Aku cemburu!" Aku meraung, tak sanggup lagi
menahan kata-kataku. "Setelah semua yang kita lalui, terlebih
setelah kemarin, kau masih bertanya apa aku cemburu? Tentu saja
aku cemburu! Bagiku ini bukan permainan, Fable. Ini adalah
hidupku. Dan aku ingin kau menjadi bagian dari kehidupanku. Tapi
jika kau lebih suka bergaul dengan laki-laki lain, maka aku tak bisa
menerimanya. Aku ingin kau dan kau saja. Aku tak ingin
membagimu dengan siapapun juga."

Nafasku memburu ketika aku selesai dengan pidatoku dan aku tak
percaya apa yang baru saja kukatakan padanya. Dia memandangku
seolah aku ini orang gila, dan mungkin saja aku sudah gila, tapi aku
tak bisa lagi menahan perasaan perasaanku terhadapnya. Untuk
alasan yang tak kumengerti, dia membuatku ingin mengungkapkan
segala hal.

Semua hal sialan itu. Yang baik atau buruk.

"Kau dan aku, kita cuma pura-pura," dia berbisik. Air mata
menggenang di matanya, bahkan mengalir di pipinya. Aku ingin
menghapusnya dengan jemariku, aku ingin menciumi air matanya,
tapi aku tak melakukannya, aku tak bisa, setelah mendengar apa
yang dikatakannya. "Ini bukanlah kenyataan. Kau hanya terbawa
suasana, padahal tak terjadi apa-apa."
"Itu tak benar," aku memulai namun dia memotongku, dengan
menekankan jemarinya di antara bibirku sejenak sebelum dia
menjatuhkan tangannya.

"Itulah kenyataannya. Kau tak menginginkanku, tak benar-benar


menginginkanku. Aku tidak seperti yang kau pikirkan, dan kaupun
tak seperti yang kupikirkan. Ada begitu banyak rahasia dan masalah
di antara kita, dan kupikir akan muncul masalah dan kekacauan baru
lagi jika kita mencoba bersama-sama. Dan itu tak boleh terjadi, kau
tahu itu."

Aku tak mengatakan apapun. Aku tahu dia benar, walaupun aku
berusaha berpikir dia tidak benar. Aku tak bisa mengharapkan
apapun sekarang. dan aku patah hati karenanya.

"Dua hari lagi, Drew," Dia berhenti, menggigit bibir bawahnya.


"Atau jika kau lebih ingin aku pergi seperti yang dikatakan Adele.
Dia bilang dia merencanakan sesuatu untuk kalian, mengenang dua
tahun kematian adikmu. Dan dia jelas-jelas mengatakan aku tak
diundang."

"Aku tak ingin kau pergi," aku menjawab otomatis. "Dua hari lagi,
hanya hanya butuh dua hari lagi bersamamu."

"Baiklah," dia mengangguk, bibirnya menipis dan dia memandangku


dengan tatapan memohon.

Dia ingin mengatakan lebih banyak hal, kuyakin itu, tapi kemudian
Adele membuka pintu dan mengumumkan kalau "Makan malam
telah siap!", dengan nada dimanis-maniskan dan aku memberinya
tatapan penuh kebencian dari atas bahuku, dan dia menutup pintu
karenanya.
"Kita harus masuk," Fable berkata seraya memeluk dirinya sendiri
dan berjalan ke arah pintu depan.

Aku mengikutinya, dan belakangan menyadari kalau aku tak benar-


benar mengetahui apakah benar ada cowok lain atau tidak.
***

Bab 12
Hari ke 6 (black Friday/hari setelah thanksgiving)

11.00 pm

Orang yang tahu kamu paling baik merupakan orang yang paling
bisa menyakitimu. – Drew Callahan

Drew

Aku sangat menderita ingin menghilangkan diriku dalam dirinya


sehingga aku bisa melupakan semuanya.

Setelah ke pemakaman, kami segera menyambar makanan cepat saji


untuk makan siang, lalu menuju kembali ke rumah. Tidak banyak hal
yang kami bicarakan, dan jikapun aku mencobanya, aku tidak bisa
membuat percakapan. Aku lelah, baik secara mental dan fisik, dan
dia tahu itu. Fable tidak menekanku, tidak meminta penjelasan
apapun kecuali kalau dia menganggap itu penting.

Seperti pertanyaannya, apa yang terjadi di hari Vanessa tenggelam.


Sulit untuk dipercaya, tapi terasa enak membicarakan semuanya,
membuatnya lepas dari dadaku. Aku tidak pernah bicara tentang
kematian adikku dengan orang lain. Tidak orang tuaku, tidak dengan
siapapun. Aku sudah menahan dalam diriku selama 2 tahun dan
sekalinya aku bicara, itu seperti bendungan jebol.

Aku menangis. Bersedih, berduka. Aku menceritakan kisahku dan


sangat berterima kasih saat dia tidak menjauh, tidak menyalahkan,
tidak menghakimi. Dia hanya memelukku erat dan membiarkanku
menangis, seperti aku ini sejenis bayi besar.

Sialan. Aku tidak ingin menghakimi diriku sendiri, kecewa atas


diriku karena punyai emosi sialan. Aku kehilangan adikku dalam
pengawasanku. Aku punya setiap pembenaran untuk menangis dan
mengamuk jika aku ingin.

Kami tertidur melewatkan sisa sore begitu saja. Bersama. Meringkuk


di tengah di kasurku, tangan kami saling terkait, selimut tersusun
diatas kami. Sore terlewati, sebagian besar malam kami ingat tetap
seperti ini, dan aku tahu kami berdua membutuhkannya. Kami
tertidur di sebagian besar minggu saat Carmel (pertemuan salah satu
ordo keagamaan katolik).

Kami pergi keesokan harinya, pada hari yang dinyatakan keluargaku


sebagai peringatan 2 tahun kematian adikku. Aku bersyukur keluar
dari sana, tapi tidak yakin, menjadi seperti apa kehidupanku dan
Fable saat kami kembali di rumah.

Aku takut dengan apa yang mungkin aku bisa lakukan. Apa yang
mungkin dia bisa lakukan. Apa yang mungkin kami berdua bisa
lakukan bersama untuk membuat semuanya berantakan.

Teleponku berbunyi dan aku tahu tanpa melihat siapa itu. Ayahku
atau Adele, dua orang paling terakhir yang ingin aku ajak bicara.
Aku bergerak cepat dan duduk, mencari teleponku. Lampu di meja
rias dari sisi sebelah masih menyala, melemparkan cahayanya
memancarkan kesuraman. Melihat sekilas pada teleponku, aku
memeriksanya, yup, itu ayahku yang mengirimkan pesan dan sesaat
aku akan membacanya, telepon mulai berdering. Lagi, itu dari
ayahku.

"Maaf aku belum membalas telponmu," aku segera mengatakannya,


merasa bersalah. Dia juga melewati waktu yang berat, dan tidak
seharusnya aku menutup diri, tidak perduli bagaimana ia
membuatnya terlihat mudah.

"Jangan berani-beraninya kau tutup telepon dariku." Sial, ini Adele.

"Apa yang kau inginkan?" aku mencoba menjaga suaraku tetap


rendah, mencoba usaha terbaikku untuk tidak mengganggu Fable
tapi dia bergemerisik di bawah selimut, berputar sehingga
punggungnya menghadapku.

Aku tidak tahu dia terbangun atau tidak, tapi aku tidak berencana
mengatakan apapun pada Adele yang mungkin akan ditanyakan
Fable nanti. Sudah cukup buruk aku mengaku apa yang terjadi pada
Vanessa hari ini. Tidak bisa lagi aku bertindak bodoh di depannya.

"Besok kau ikut dengan kami, kan? Ke makam Vanessa?"

"Aku sudah pergi hari ini."

Kesunyian mematikan yang menjawabku dan aku tidak mengatakan


apa-apa sebagai balasannya. Aku tidak akan menjadi orang pertama
yang bicara. Aku lelah tunduk pada keinginan wanita. Hal itu sudah
berjalan terlalu lama.
"Apa kau pergi dengannya?"

"Aku memang melakukannya."

Sebuah desisan lepas dari Adele. "Beraninya kau membawanya ke


makam gadis kecilku."

"Dia adikku. Sialan. Aku bisa membawa pacarku ke makamnya."

"Dia bukan…oh Tuhan." Adele tampak terpaksa menelan kata-


katanya. "Kau akan datang dengan kami besok. Aku perlu kau
disana."

"Kami meninggalkan tempat ini besok. Aku tidak bisa datang. Itu
alasannya aku pergi hari ini." Tidak sepenuhnya benar, tapi
penjelasannya masuk akal.

"Kau akan mengecewakan ayahmu." Dia merendahkan suaranya,


terdengar seperti dia hampir berbisik padaku. "Kau tidak mau
mengecewakannya, iyakan? Kau selalu menjadi anak baik, Andrew.
Kau selalu melakukan apa yang aku katakan. Apa yang aku minta
padamu."

Kulitku benar-benar bergidik pada bagaimana dia bicara padaku dan


aku menutup mataku, mengambil nafas panjang dan berdoa tidak
kehilangan ketenangan. Namun, lagi. Aku menjadi mabuk emosianal
24 jam tanpa henti sejak aku datang ke sini. Aku tahu ini akan jadi
buruk. Aku tidak mengharapkan semua itu terjadi. "Aku tidak pergi
denganmu, Adele. Ini waktunya mengakhiri hubungan demi
kebaikan bersama." Aku menutup teleponnya sebelum dia bisa
mengatakan hal yang lain.
Aku melihat Fable, dia memutar punggungnya kembali jadi dia
menghadapku lagi, mata hijau itu dengan tekun melihat setiap
gerakanku. Dasar perutku terasa teraduk dan aku penasaran seberapa
banyak yang dia dengar.

"Dia membuat hidupmu sulit?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk. Tidak mengatakan sepatah katapun.

Menyibakkan selimut dari tubuhnya, dia bangkit dan berjalan


dengan lututnya menghampiriku, meletakkan tangannya pada
bahuku, wajahnya pada wajahku. Menutup matanya lebih rendah
dan dia menatap pada mulutku, aku bisa melihat laju naik turun
dadanya, merasa kehangatan yang nyaman dari sentuhannya. Gadis
ini, dia hanya….

Melakukan semua ini untukku.

Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya kepadanya.

"Terima kasih untuk semuanya hari ini." katanya, mengejutkan aku.

Aku cemberut saat aku mendekat dan menyelipkan seuntai rambut


halusnya ke belakang telinganya. "Aku yang seharusnya berterima
kasih untuk semua yang telah kau lakukan untukku."

"Ya, memang seharusnya." Senyum bergetar melengkung di


bibirnya. "Tapi aku ingin berterima kasih karena sudah jujur. Untuk
memberitahuku tentang adikmu dan berbagi bagian hidupmu
denganku. Aku tahu itu tidak mudah."
Jariku perlahan bergerak di leher halusnya dan mengusap ibu jariku
ke belakang dan ke depan. "Terimakasih ada di sini untukku.
Mendengarkanku." Dan menahanku di lenganmu dan mengijinkanku
menangis.

Dia mencengkeram tubuh bagian atasku, masing-masing kakinya


berada di sebelah pahaku dan otomatis aku menangkapnya,
merenggang keluar, tanganku melewati pantat sempurnanya dan
menariknya semakin dekat. Tuhan, dia terasa luar biasa seperti ini,
mendekap erat, sangat dekat denganku, sampai seperti tidak bisa
menyelipkan selembar kertas diantara kami. "Drew." Suaranya
berbisik lembut saat dia condong ke depan dan menekan ciuman
yang lembut ke bibirku. "Ini malam terakhir kita di sini. Bersama."

Tubuhku nyeri dengan kenyataan yang ada. Ini memang benar. Kami
kembali ke kehidupan yang biasanya besok malam. Aku tidak bisa
menunggu siksaan ini berakhir, belum lagi mengetahui aku tidak
memiliki Fable yang berpura-pura jadi pacar palsuku lebih lama
lagi…

Itu menyakitkan. Lebih dari yang aku akui.


Meluncurkan satu tangan naik ke punggungnya, aku menyelipkan
tanganku di bawah baju hangatnya sehingga aku bisa memeluk dan
membelai kulit telanjang halusnya. Dia menggigil di bawah
sentuhanku saat dia condong ke depan, rambutnya jatuh di sekitar
wajah kami, bibirnya melayang-layang persis di atas bibirku. Aku
tahu apa yang dia mau.

Aku mau hal yang sama.

Mengarahkan kepalaku ke belakang pada kepala ranjang, aku


meraup tengkuknya dan menariknya, mulut kami bertemu dalam
ciuman lembut, seakan-akan tidak mau pergi. Aku menyelinapkan
lidahku keluar dan menjilat bibit atasnya, mengikuti tepi bibir
bawahnya, menikmati rasa manis, yang kaya akan rasa. Erangan
kecil lolos darinya dan aku menciumnya lebih dalam, menggenggam
belakang kepalanya lebih kuat saat aku merampas bibirnya dengan
lidahku.

Aku dikuasai kebutuhanku akan dirinya. Aku belum pernah merasa


seperti ini sebelumnya dan ingatan malam kami bersama,
membanjiriku. Saat dia dengan sangat tidak egois membawaku ke
orgasme dan tidak pernah meminta apapun untuk balasannya. Aku
ingin melakukan yang sama untuknya. Memberikan apapun yang dia
inginkan, apapun yang dia butuhkan dariku. Aku ingin bersamanya,
ingin melilitkan tubuh telanjang kami sepanjang malam.

Kami baru saja tertidur dari sore sampai jauh malam. Aku juga perlu
memastikan, dia menginginkan ini. Menginginkanku…

"Apa kau lapar? Maksudku, kita baru saja bangun." Aku mengatakan
ini setelah aku terpaksa memisahkan ciumannya, bibirku terasa gatal
dan sudah ingin sekali untuk kembali pada bibirnya. Aku pikir aku
mencoba memberinya kesempatan untuk pergi, aku tidak tahu. Ini
sangat bodoh, tapi aku tidak ingin kami menjadi terlalu dalam kalau
nantinya hanya membuatnya menjauh.

Aku tahu aku siap. Tapi dia? Apakah dia siap?

Menjauh dariku, dia mencari keliman baju hangatnya dan


menariknya naik dan melebihi kepalanya, melemparnya ke lantai.
Dia memakai bra putih yang sederhana, garis hiasan renda dan satin
putih kecil yang menunduk di tengahnya. Sangat terlihat polos dan
manis, meskipun pikiranku jauh dari hal itu, saat aku menatapnya,
merenungkan bagaimana aku bisa melepas bra sialnya tanpa terlihat
aku terlalu cepat bertindak.

"Aku lapar terhadapmu," dia berbisik, matanya bersinar, bibirnya


bengkak berkilau dari ciuman kami. "Lepas kaosmu, Drew."

Tanpa keraguan aku meraih bagian bawah kaosku dan melepasnya,


meninggalkannya di sebelahku di atas kasur. Pandangannya tidak
pernah meninggalkan pandanganku saat dia membelitkan dirinya di
sekelilingku, kakinya yang terbungkus legging memutar sekitar
pinggangku, tangannya bergerak ke sekitar leherku. Dia
menguburkan tangannya di rambutku dan aku menutup mataku,
menyerap aromanya, aku merasakan tubuh hangatnya terasa sangat
dekat pada tubuhku. Bagian atas tubuh kami kulit ke kulit, satu-
satunya penghalang adalah branya, dan strukturnya, berkilau dan
halus seperti satin, menggetarkanku lebih jauh saat dia menggosok
dadanya padaku.

Saat mulut kami bertemu satu sama lain, emosiku meluap-luap untuk
gadis ini. Aku sangat kecanduan berhubungan dengannya hari-hari
terakhir ini. Sial, aku sudah sangat berharap hubungan semacam ini
dengan seseorang selama bertahun-tahun, tapi selalu terlalu takut
untuk benar-benar percaya di dalamnya.

Tapi sekarang aku percaya. Terima kasih untuk pacar semingguku.

Terima kasih untuk Fable.


***

Fable

Drew Callahan benar-benar mempunyai tubuh laki-laki paling indah


yang pernah aku lihat, dan aku malu mengakui aku melihat lebih
dari imajinasiku dari tubuh maskulinnya.

Aku sangat teralih oleh keberadaan mulutnya yang terkunci pada


mulutku yang akhirnya aku patahkan, menjauh dari ciumannya,
pertama-tama merasa lebih senang untuk mendapatkan semua otot
dan uratnya terekspos. Terakhir kali kita bersama, kami diselubungi
kegelapan. Terlalu takut untuk melihat satu sama lain karena
kekawatiran yang sangat mungkin terlihat.

Sekarang aku ingin melihat semua. Semuanya. Aku ingin menatap


ke dalam matanya saat pertama kali dia memasukiku. Aku ingin
kami tetap berpandangan saat dia membuatku datang. Aku ingin
mendengar dia membisikkan namaku saat dia datang…

Sebuah getaran bergerak melewatiku saat aku mendorong jariku


menjejaki dadanya yang bidang, turun ke tangannya, melekat pada
bisepnya yang keras berotot, meluncur pada rambut hitam yang
menutupi lengan bawahnya. Dia tetap sangat tenang, tapi aku bisa
merasakan mata panasnya padaku, melahapku saat aku, dengan
tekun, berhasrat menemukan kepuasan sensualnya dengan tanganku.
Aku menyentuh dadanya, ujung dari jari telunjukku menggelinding
di putingnya secara serentak dan dia melompat kecil, membuatku
tersenyum.

Tapi senyumku memudar saat aku menjadi bergairah dengan setiap


lekuk dan alur dari perut ratanya. Aku memelankan pencarianku,
membiarkan tanganku dengan lengkap memetakan otot perutnya dan
aku merasakan ototnya gemetar di bawah sentuhanku.

Mengangkat kepalaku, aku menemukannya melihatku, alisnya


terangkat, mulutnya membentuk setengah senyuman. Sejauh ini
adalah saat dia paling senang, yang aku lihat dari sore dia
membawaku makan siang dan menciumku di jalan negeri dongeng,
waktu hujan turun, dengan cahaya putih berkerlap-kerlip di sekitar
kita.

Tanpa kata aku menekan bibirku padanya, menjaga mataku terbuka


sampai daun matanya tertutup dan aku menemukan diriku jatuh
begitu mudah pada pesonanya. Ciuman ini lebih lapar, lebih
mendesak dan aku membiarkannya untuk memimpin, menikmati
bagaimana dia meletakkan tangan besarnya di atas dadaku sebelum
mengeser tangannya naik untuk menyentuh ringan tenggorokanku
dalam sikap yang seluruhnya posesif, yang membuatku melayang-
layang.

Tangan yang sama meluncur kembali ke bawah, jarinya turun di


bawah melepaskan tali pengikat braku, mendorongnya lepas dari
bahuku. Dia melakukan hal yang sama untuk tali yang lain, secara
ajaib memindahkan braku dalam hitungan detik dan payudara
telanjangku menekan ke dadanya, puting kerasku melawan
kehangatan kulitnya.

"Aku menginginkanmu," dia berbisik di telingaku, mengirim getaran


miring ke bawah ke tulang belakangku. "Sangat menginginkanmu,
membuatku menderita, Fable."

Aku suka dia menyebutkan namaku di saat yang bersamaan dengan


nafasnya dia mendeklarasikan menginginkanku. Daripada tersesat
dalam kegelapan atau buta oleh masa lalu, dia di sini. Denganku
sekarang, menyentuhku dan menciumku, secara perlahan
menggesekkan ereksinya padaku. Aku secara penuh terhisap
olehnya, hilang ke dalamnya dan tidak ada tempat yang lebih baik
daripada sekarang ini.
Dia menangkap pergelanganku dan mendorongku turun di atas
tempat tidur sehingga aku tidur mendatar pada punggungku,
tangannya menekan di setiap samping kepalaku di kasur saat dia
mencondongkan diri disekitarku, mulutnya tidak pernah
meninggalkan mulutku. Di posisi ini, dia tidak sedekat yang aku
inginkan, dan aku melingkarkan kakiku sekitar pinggulnya, sangat
ingin menariknya mendekat.

Memisahkan ciuman kami, dia menarik diri, menjauh dan meluncur


turun di sepanjang tubuhku, tangannya ada pada ikat pinggang
legging hitam tipisku saat dia secara perlahan, dengan sabar
menariknya ke bawah, mengambil celana dalamku terus
bersamanya. Aku bergetar, nafasku terlalu cepat dan aku menatap ke
atas pada langit-langit, menggigit bagian dalam bibirku saat jarinya
menyentuh pahaku, lututku, betisku saat dia melucutiku. Aku merasa
nafasnya ada di pusat bagian tubuhku dan aku menutup mataku,
kepeningan membanjiriku saat aku merasa tangan besarnya
mendorong pahaku memisah.

Dia menyelidikiku dibawah sana dan aku tidak tahu suatu hal untuk
dipikirkan, untuk dikatakan. Dia mengeluarkan nafas tidak teratur,
tangannya mencengkeram pinggulku dan kemudian dia mencium
dadaku, melarikan mulutnya ke seluruh payudaraku sampai pertama-
tama aku merasa lidahnya menjilat satu puting, lalu yang lainnya.

Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku bukan seseorang
yang tetap diam di tempat tidur, aku tidak pernah diam, tapi aku juga
bukan orang yang sangat berisik saat berhubungan sex. Tapi
sentuhannya, mulutnya di kulitku terasa sangat enak, aku
melengkung ke arahnya dan berteriak keras. Aku berada pada
perasaan sempurna yang berlebih, benar-benar telanjang dan terbuka
dan aku tidak pernah terasa sangat cantik, di cintai. Sangat hidup.

"Kau sangat cantik," dia berbisik pada dadaku saat dia memuja
dengan mulutnya. Aku menanamkan tanganku ke dalam rambutnya
dan menahannya padaku, mengeliat di bawah mulut dan lidah
sibuknya. Aku tetap heran. Sejujurnya, aku tidak cukup tahu
bagaimana kami sampai ke titik ini. Aku membencinya, penilaianku.
Aku benar-benar melakukan ini untuk uang. Aku kira dia adalah
orang brengsek yang kacau. Aku masih tetap berpikir dia seperti itu.

Tapi begitu juga aku. Dan dia sangat indah, sangat perduli, sangat
mudah disakiti. Kami dapat menjadi kacau bersama. Aku ingin
menyembuhkannya. Aku tahu aku bisa menyembuhkannya.

Penyatuan tubuh kami ini adalah langkah pertama.

"Tunggu," dia bergumam. Aku membuka mataku dan wajahnya


menatapku. Dia mencuri ciuman cepat dan memindahkan dirinya
dariku, pergi dari tempat tidur. "Aku akan kembali."

Aku melihatnya pergi dan aku melemparkan lenganku ke sekitar


mataku, mencoba usaha terbaikku untuk menenangkan jantungku
yang berdebar, nafas cepatku. Tubuhku sangat mendukung,
bergairah, tidak membutuhkan banyak usaha untuk mengirimku
tepat mendekati orgasme. Aku bergetar, sangat penuh dengan
adrenalin dan hasrat dan apapun emosi misterius lain yang beputar-
putar dalam tubuhku. Aku tidak pernah merasa seperti ini
sebelumnya. Sama sekali.

Kenyatan ini membuatku sesak nafas.

Drew meluncur ke dalam ruangan beberapa menit kemudian,


menutup pintu dan memutar kunci ke tempatnya. Aku melihatnya
dalam diam saat dia berjalan mendekat tempat tidur dan meletakkan
sekotak kecil kondom di meja samping tempat tidur. Aku beradu
pandang dengannya, salah satu alisnya terangkat dan dia tersenyum.

"Kita bernasib baik. Ada sekotak dalam kamar mandi di bawah bak.
Selalu di tempatkan di sana, seperti handuk dan sampo dan sabun.
Membuat rumah samping ini tetap ditempati, seperti hotel kadang-
kadang, aku bersumpah. Ayahku selalu mempunyai klien bisnis yang
menginap di sini."

Huh. Yah, jika anggota keluarga Callahan selalu punya tamu yang
tinggal bersama mereka, paling tidak mereka menyediakan tempat
yang aman.

Aku tidak bisa merenungkan soal kondom terlalu lama di pikiranku.


Tidak saat Drew sibuk membuka kancing dan membuka jeansnya,
membiarkan jeansnya jatuh dari pinggul untuk ditumpuk di lututnya
sebelum dia menendangnya. Mulutku jadi kering saat melihatnya,
bagaimana dia mengisi boxer katun hitam pendeknya dengan sangat
sempurna.

Dan kemudian dia melepasnya juga, dan tanpa malu aku


menatapnya, kagum pada bagaimana sangat besarnya dia dan
bagaimana kemungkinan rasanya saat akhirnya dia menyatukan
tubuhnya ke tubuhku.

Saat masuk, itu mungkin akan sakit. Semuanya dengan tiba-tiba, aku
sangat takut.

Aku bisa buktikan dia bisa merasakan perubahan mood-ku dan dia
mencoba untuk membuatku tenang. Dia mendekapku dalam lengan
kuatnya, menahanku dalam dekat. Aku menutup mataku dan
mengubur kepalaku pada dada kokohnya, menghirup baunya yang
bersih dan unik. Dia lembut, dia sabar tapi juga gigih dan segera
setelah itu, kami berciuman, menelusuri tubuh satu sama lain dengan
tangan yang aktif, bergulung di selimut seperti sepasang anak dalam
permainan pertandingan gulat.

Tapi tidak ada yang main-main tentang laki-laki besar berotot


menjepitku ke tempat tidur, tanganku terpisah di atas kepalaku,
jarinya mengunci di pergelanganku saat dia menyelidikiku dengan
mata birunya yang indah itu.

Dia meluncurkan kondom hanya beberapa saat lalu. Aku tahu dia
siap. Aku siap. Tapi masih tetap gugup. Ini adalah titik balik di
hubungan kami, tentang suatu hal kita tidak pernah bisa kembali
lagi. Aku tidak akan melupakannya atau malam ini. Dia secara abadi
menuliskan dirinya dalam sejarahku.

"Tidak akan ada jalan kembali," dia berbisik, seperti bisa membaca
pikiranku.

Aku mengangguk perlahan, terlalu tidak berdaya untuk menemukan


kata-kata.

"Sekalinya aku masuk ke dalam dirimu, kau adalah milikku."

Oh. Aku tidak pernah, sangat tidak pernah mengira mendengar laki-
laki mengatakan hal yang begitu membuatku menggetarkan hatiku,
begitu membuatku terangsang, tapi itu terjadi. Aku selalu mengira
diriku sebagai orang yang mandiri. Tak berhubungan dengan
siapapun.
Tapi gagasan membuat suatu hubungan dengan Drew, memenuhiku
dengan begitu banyak kesenangan, aku takut aku mungkin meledak.

"Aku ingin kau jadi milikku, Fable." melepaskkan pegangannya


pada pergelangan tanganku, dia menurunkan kepalanya, mengecup
pipiku, hidungku. Itu hal paling manis, perlakuan paling seksi dan
aku merintih saat aku melingkarkan lenganku sekitar lehernya dan
mengayunnya mendekat.

"Aku ingin menjadi milikmu," aku menjawab dalam bisikan nafas.


"Aku ingin bersamamu, Drew. Hanya denganmu."

Dia menciumku, pada saat yang sama meluncurkan tubuhnya dalam


tubuhku. Inchi demi inchi, menghembuskan nafasku bersamaan
menanggung ukurannya dan aku gugup, menahan nafasku saat dia
mengayun lebih dalam dan dalam lagi ke dalam diriku.

"Aku menyakitimu." Dia menekan ciuman cepat yang manis ke


seluruh wajahku. "Santai. Bernafaslah."

Aku melakukan apa yang dia minta, mencoba usaha terbaikku untuk
mengurangi ketegangan di perut dan hal itu jadi lebih mudah, Drew
mendorong ke dalam. Seluruh tubuhnya tegang karena menahan,
kulitnya tertutup dalam kabut tipis dari keringat dan aku
menggerakkan pinggulku, memisahkan kakiku sedikit lebih lebar,
mengijinkan dia untuk menenggelamkan diri lebih dalam.

Kami berdua mengerang atas sensasi dan mulai bergerak. Bersama.


Sementara, pertama-tamanya, mempelajari ritme satu sama lain,
menyesuaikan tubuh kita sampai jadi sinkron waktu berubah-ubah,
di dalam gerakan yang mudah. Dia mengayun ke dalam diriku lebih
keras. Lebih keras lagi, membuatku kehilangan pikiran bersama tiap
dorongannya. Aku kehilangan diriku, otakku kabur, pikiranku
terpisah. Semua yang bisa aku lakukan hanya merasakan.
Gelombang yang luarbiasa, mengancam, aku tahu aku hampir benar-
benar selesai tapi lalu dia mengejutkanku.

Drew menarikku ke posisi duduk, punggungnya melawan papan


ujung kasur, kakiku mengenai sekitar pergelangannya, lebih seperti
posisi duduk kami sebelumnya, ketika kami masih berpakaian
lengkap. Hanya saja sekarang, kami telanjang, baik fisik maupun
emosional, tubuh kami terpaut, miliknya terkubur sangat dalam ke
diriku, aku merasa seperti dia melekat didalamku.

"Aku telah menyesatkan pikiranmu." Dia tahu aku dengan sangat


baik. "Dan aku tidak ingin kau lupa dengan siapa kamu bersama.
Siapa yang membuatmu datang." Suaranya dalam, sangat dalam,
seperti miliknya dan aku bergidik disekelilingnya. Bersemangat oleh
nadanya yang posesif, takut oleh kata-katanya yang manis.

Drew benar-benar membuka diriku, dengan tatapan, dengan kata-


kata, dengan dorongan dari tubuhnya, dengan jilatan dari lidahnya.
Setiap hal yang dia lakukan padaku sangat meluluhkan.
Memabukkan. Memperbarui.

Setiap hal masuk ke dalam diriku.

"Aku tidak akan lupa dengan siapa aku bersama," aku berbisik di
bibirnya sebelum aku menciumnya. Tangannya mencengkeram
pinggulku, menarikku turun dan aku bekerja dengannya, ingin sekali
meledak, namun menunggu untuk melepaskannya hanya sedikit
lebih lama lagi.

Dia melengkungkan tangannya sekitar belakang kepalaku, jarinya


menjerat rambutku dalam cengkraman yang kuat, nyeri. Tapi aku
menikmati kesakitannya, bagaimana itu membuatku terasa hidup.
Bagaimana berada dalam lengan Drew, menguburnya jauh ke dalam
diriku membuatku merasakan.

Hidup. Diinginkan. Dicintai.

Dia menghembuskan namaku pada bibirku dan aku tahu dia sudah
dekat. Begitu juga aku. Aku mengatur diriku dengan hati-hati,
menggosoknya, mengayun di dalamnya dan aku terpecah dengan
jeritan kecil, seluruh tubuhku bergetar. Dia bergetar setelahku,
tubuhnya menggigil saat dia mengerang dalam perjuangan yang
indah, lengannya mengepit pinggangku sangat erat, aku hampir tidak
bisa bernafas.

Kami melekat satu sama lain dalam beberapa menit yang lama
setelahnya, tubuh kami masih bergetar, nafas kami perlahan teratur.
Aku tidak ingin membiarkannya pergi, aku tidak ingin
membiarkannya keluar dari tubuhku dan aku tahu aku sudah jadi
konyol.

Tapi aku tidak bisa mengontrol diriku. Drew Callahan telah merubah
aku selamanya, dan pemahaman itu sama-sama menguatkan dan
menakuti diriku. Masih ada banyak hal yang aku tidak tahu.

Masih banyak yang aku butuhkan darinya untuk diungkapkan


padaku. Bagian menakutkan hidupnya yang takut untukku dengar.
Tapi kenyataannya...bukankah mereka mengatakan kebenaran akan
membebaskanmu?

Aku ingin membebaskan Drew dari penjara masa lalu yang


membebaninya. Dan satu-satunya cara aku bisa melakukan itu
adalah jika aku tahu apa yang terjadi.

Dan besok, aku putuskan untuk mencari tahu.

Aku harus menemukan.


***

Hari ke 7 (keberangkatan), 9.00 pagi

Rangkaian perjalanan cinta sejati tidak pernah berjalan mulus. –


William shakespare

Drew

Kami tertidur nyenyak, tubuh telanjang kami saling melengkung,


punggungku pada mukanya dan tanganku menangkup payudaranya.
Dengan rambut wanginya di wajahku dan kakinya menjerat milikku,
aku bangun dengan sekeras baja dan siap untuk mengambilnya lagi.

Itu yang aku lakukan.

Aku bercinta dengan Fable 4 kali sejak tadi malam. Setiap kali lebih
baik dari sebelumnya dan aku sangat jatuh, terpesona pada gadis ini,
ini menyedihkan. Rasanya menakjubkan.

Dia akhirnya mendesak aku keluar dari kasur, memberitahuku kami


butuh melanjutkan hidup dan dia benar. 4 jam berkendaraan di jalan
pada hari kerja yang sibuk, aku tahu ini mungkin jadi lebih lama dari
biasanya.

Tambah lagi, aku ingin kabur jadi aku tidak harus menghadapi
Adele. Atau ayahku. Seberapa mengerikan itu? Aku menyayangi
ayahku tapi hari ini...hari ini akan jadi hari yang berat untuknya. Dan
aku tidak tahu apa aku bisa melakukan ini. Aku sebenarnya merasa
bersalah, menjadi sangat senang hari ini – meskipun ini bukan tepat
hari kematian Vanessa, tapi cukup dekat dengan hari kematiannya –
namun aku ingin mengusir perasaan itu.

Aku bosan merasa bersalah dan letih. Cemas dan malu. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku hanya bercinta dengan gadis
cantik sepajang malam dan aku ingin menikmati itu. Aku ingin
bersamanya, menyentuhnya dan mengatakan betapa berartinya dia
untukku, bukannya lari menjauh dan bersembunyi dari semuanya.

Fable adalah orang yang terlalu baik untukku. Aku tidak akan pernah
membiarkannya pergi.

Kami mandi bersama dan karena aku rakus, begitu juga dia. Aku
meluncurkan jariku diantara kakinya dan hati-hati membawanya ke
orgasme, mulutku melebur dengan mulutnya setiap saat,
mengenyampingkan celahnya dan mengerang saat air hangat
mengenai kami. Dan kemudian dia berlutut dan membawaku ke
mulutnya, bibirnya membungkus sekitar kepala dari penisku,
lidahnya memetakan setiap bagianku sampai aku datang dengan
getar nafas yang keras.

Hal ini merupakan titik balik yang penting. Pengalaman masa laluku
membuatku membenci blow job. Hanya karena mereka mengisiku
dengan banyak perubahan ketika ingatan itu muncul. Rasa malu, rasa
ngeri pada bagaimana mudahnya aku tunduk pada desakan seorang
wanita bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tidak ada yang
memalukan.

Dia telah salah. Aku tahu apa yang telah kami perbuat tidak benar,
namun aku tidak bisa mengontrol diriku, keinginanku, respon diriku
untuknya. Dia tahu bagaimana untuk mendapatkanku dan aku benci
itu.

Aku benci apa yang dia lakukan, karena itu merubahku. Permainan
seksualnya, semua hal yang dilakukan untuk memikat untuk
mengambil dan bercinta dan masturbasi dan mengekploitasi sampai
aku kehabisan tenaga dan sakit sampai ke perutku. Lebih dari sekali
setelah dia meninggalkanku, aku bermaksud bunuh diri. Tapi aku
tidak bisa melakukan itu. Aku dulu terlalu takut, terlalu kuatir apa
yang mungkin terjadi jika aku hidup setelah semua ini terjadi.

Jadi aku berubah menjadi kerangka. Sebuah robot yang hanya


bergerak, menjalani hidupku, melakukan apa yang diharapkan dan
bersikap baik-baik saja. Menjaga jarak pada setiap orang, mendalami
sepak bola dan tidak ada yang lain.

Sampai gadis ini datang dan membangkitkan minatku.


Mengejutkanku. Memabukkanku.

Menelanjangiku seluruhnya.

"Kau tak pernah puas," dia mengatakan padaku setelah kami saling
menghanduki satu sama lain.

Kata-katanya membuatku beku. Adele mengatakan hal yang sama


malam itu di klub kota. Kata-kata itu membuatku marah sekali,
membuatku malu.

Sebanyak yang di lakukan kata-kata itu sekarang.

Senyuman surut dari bibir sempurna Fable saat aku menatapnya,


mencoba untuk mengendalikan kemarahanku dibawah kontrol. Aku
tidak boleh kehilangan kontrol, tidak seperti ini. Tidak setelah
menghabiskan malam yang paling sempurna di hidupku dengannya.
"Ada yang salah?" dia bertanya.

Aku menggelengkan kepala dan keluar dari kamar mandi, menuju


ruanganku jadi aku bisa ganti. Aku sudah siap mengepak dan cukup
siap untuk pergi, dengan menyimpan beberapa hal. Aku butuh untuk
pergi dari sini, jauh dari rumah ini. Jauh dari hidup ini. Ini bukan
sebagian diriku lagi dan aku bisa merasakan ini seperti sulur berduri
yang berliku pada pikiranku, mencoba untuk menyelinap
memasukiku dan tidak pernah mengijinkanku lolos.

Beberapa menit kemudian Fable ada di kamarku, tergesa-gesa


berpakaian, jeans nya belum terkancing, kaosnya dimasukkan begitu
saja. Dia menempatkan kaosnya dengan benar di sekitar pundak
rampingnya, menawarkan pandangan sekilas kulitnya yang
menggoda dan untuk sejenak aku teralihkan.

Tapi aku yakin pandangan menyelidikinya terkunci padaku dan dia


tidak membiarkanku kabur. "Katakan apa yang salah."

"Aku hanya...siap untuk pergi." Itu jawaban yang cukup bagus.


Jawaban itu harus cukup bagus.

"Ada sesuatu yang terjadi di belakang ini. Aku ingin tahu apa itu."
Dia menyilangkan lengan di depan dadanya, hal yang tidak pernah
aku lihat dilakukannya dalam beberapa hari ini, dan aku sadari itu
bentuk pertahanan. Dia mencoba menjadi tangguh, menunjukkan
bahwa dia tidak akan menyerah.

Baik, aku tidak akan menyerah juga. Kami tidak bisa mengobrol di
sini. Sekarang. "Biarkan saja, Fable. Ayolah."

"Tidak." Dia melangkah ke depan dan mendorongku tepat di dada


dengan kedua tangannya. "Aku lelah berpura-pura tidak ada yang
salah di sini. Aku muak kau tiba-tiba mendapat kemarahan yang
sangat dan berhalusinasi liar, lalu mengatakan padaku kau baik-baik
saja. Aku tahu kau masih berduka untuk adikmu. Aku tahu kau
merasa bersalah atas kematiannya, dan aku mengerti. Tapi ada lebih
dari itu, yang terjadi disini. Ada yang lain terjadi yang tidak kau
katakan padaku. Dan aku benar-benar butuh kau memberitahuku,
Drew."

Perlahan aku menggelengkan kepalaku, udara dari paruku semuanya


keluar dalam sekali hembusan. "Aku – aku tidak bisa."

"Kau harus bisa." Dia mendekat untuk mendorong aku lagi dan aku
menangkap pergelangannya, menghentikannya. "Aku perlu tahu.
Bagaimana lagi aku bisa membantumu melewati semua ini?"

"Kau tidak ingin tahu, percaya padaku." Aku pergi darinya dan
berputar ke tasku yang ada di atas kasur tapi dia menangkap
tanganku, menyentakku sehingga aku menghadapnya sekali lagi.

"Jangan singkirkan aku. Aku di sini untukmu. Setelah semua yang


kita lewati, setelah apa yang kita bagi." Dia mendesah dan sesaat
mendekatkan matanya, seperti jika dia benar-benar tak berdaya.
"Aku buka tubuh dan jiwaku padamu, dan aku belum pernah, sama
sekali belum pernah melakukan ini untuk siapapun. Jadi tolong, aku
mohon. Ceritakan apa yang terjadi!"

Aku menatapnya, sangat menyedihkan untuk mengakui. Takut akan


reaksinya. Aku buka bibirku, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ini
seperti seluruh dunia bertengger di dadaku, menghancurkan hatiku
dan merubahnya jadi debu.

"Boleh aku menebak?" suaranya sangat lembut, aku condong ke


dalam untuk mendengarnya. "Aku...aku punya dugaan. Bisa aku
menanyakan pertanyaan dan kau menjawab ya atau tidak?"

Apa yang dia usulkan adalah jalan keluar yang pengecut. Dan
pertimbangan, aku cukup pengecut tiap kali menghadapi ini, ini satu-
satunya jalan untukku.

Jadi aku mengangguk.

Bernafas dalam, dia melangkah mundur, bersandar pada meja rias di


belakangnya. "Apa pun yang terjadi padamu di masa lalu, terjadi di
sini, iyakan? Tidak di rumah tamu tapi di sini, di rumah ini. Tidak di
sekolah, tidak di tempat lain, benar?"

Aku menelan dengan sulit dan mengangguk sekali.

"Oke." Dia menutup bibirnya, matanya keruh, lebih seperti terlihat


khawatir. "Aku pikir...ini ada kaitannya dengan Adele, bukankah
begitu?"

Aku terdiam. Lumpuh. Aku ingin berkata iya. Ingin lari. Dugaannya
begitu dekat. Sangat dekat untuk mengerti apa yang terjadi dan
kemudian aku menyadari, dia mungkin memang sudah mengerti, dan
aku sangat malu, aku ingin muntah.

"Iya," aku berkata dalam nafas tidak teratur, menggosokkan


belakang tanganku lewat mulut. Aku yakin aku mau muntah.
Ada ketakutan di matanya saat dia melihatku. Simpati dan khawatir
dan air mata, aku tidak ingin dia menitikkan air mata untukku. "Dia
– dia memperkosamu, apa benar?"

Aku menggelengkan kepala, terkejut dengan pilihan katanya. "Dia


tidak memperkosaku. Aku tahu persis apa yang aku lakukan
dengannya."

Mulut Fable ternganga. "Apa?"

"Kami punya hubungan asmara. Itu yang terjadi. Tidak ada


pemerkosaan, dia tidak menyentuhku saat aku kecil. Dia mencoba
mendapatkanku, menggodaku, aku terjebak padanya, dan kami
punya hubungan rahasia selama beberapa tahun." Aku
menghamburkan kata-kata terakhir keluar, sangat jijik dengan diriku,
dengan susah payah aku menatap lurus. "Inilah fable. Inilah
jawabanmu. Sekarang kau sudah tahu, apa yang kau pikirkan? Aku
menjijikkan, kan? Menyelinap dengan ibu tiriku, memasukkannya ke
dalam kamarku di tengah malam. Bercinta mati-matian dengannya
lagi dan lagi. Dia selalu tahu bagaimana membuatku keras dan aku
tidak mengerti bagaimana mudahnya dia mengontrolku." Aku
gemetar, nafasku terputus-putus dari paruku dan gigiku
bergemeretak. Aku tidak percaya aku baru saja mengatakan semua
itu. Aku mengatakan padanya semuanya. Semuanya.

Fable hanya berdiri di sana menganga padaku, matanya masih banjir


dengan air mata. "Saat–saat kau umur berapa ini pertama kali
terjadi?"

"Hampir 15 tahun." bergairah bagai kesetanan juga. Adele tahu itu.


Dia cantik, misterius. Dia merayuku, bermain-main denganku dan
aku merespon. Dia hanya 11 tahun lebih tua dariku, dia
memberitahuku kami melakukan lebih dari yang biasa dia dan
ayahku lakukan, dan dia menyelinap ke kamarku di tengah malam,
menyentuhku. Memberikan sex oral, membuatku datang dengan
sengat keras, aku kira aku akan pingsan.

Aku masih muda, penuh dengan hormon dan hasrat untuk bercinta.
Terus-menerus. Dan meskipun aku punya rasa malu dan benci untuk
aku dan dirinya, diam-diam aku menginginkan dia untuk melepasku.
Mencari perhatiannya karena untuk sesaat, aku merasa diinginkan,
berhasrat, dicintai.

Dan kemudian, saat dia meninggalkanku sendiri dalam kamarku, aku


malu. Jijik. Penuh kebencian untuk dia dan aku sendiri. Untuk
ayahku, yang benar-benar buta akan semuanya. Untuk ibuku, yang
meninggal ketika aku kecil dan tidak ada di sini untuk melindungiku.

"Kau masih anak-anak dan dia mengambil keuntungan darimu,


Drew. Tidak ada hubungan rahasia antara dua orang yang dianggap
dewasa, ibu tirimu memperkosamu." Suaranya bergetar, seluruh
tubuhnya bergetar, sebanyak tubuhku, dan lalu dia melakukan hal
yang paling gila.

Dia lari padaku dan memelukku, menahanku sangat erat, seperti dia
tidak akan pernah membiarkanku pergi. Dia menangis, terisak dalam
kaosku dan aku perlahan meluncurkan tanganku padanya dan
menahannya dalam dekat. Aku tidak punya air mata, tidak ada
kesedihan yang mendatangi diriku. Aku tidak beremosi. Kosong.
Aku pikir aku mungkin syok.

Aku baru saja mengaku sisi tergelap, rahasia terkotorku dan Fable
tidak lari. Dia tidak tertawa, dia tidak mengolok aku, dia tidak
menyalahkanku.
Untuk sekailnya dalam hidupku, aku seperti merasa, akhirnya
menemukan seseorang yang mengerti aku.
***

Fable

Aku tahu itu, sebanyak aku tidak ingin menghadapinya, aku tahu
masalah berakar dari Adele. Satu minggu berjalan dengan lambat,
ada petunjuk dan lebih banyak lagi yang tampak dan dugaanku
tumbuh.

Dan sekarang hal itu sudah ditegaskan.

Kebencian memenuhiku, dengan sangat kuat membanjiriku, aku


pusing dengan itu. Aku benci apa yang telah dilakukan perempuan
itu pada Drew. Bagaimana dia terus menyiksa Drew. Dia
menjijikkan. Dia si brengsek, pemerkosa anak yang seharusnya di
penjara, atas nama kasih Tuhan, bagaimana dia mengambil
keuntungan dari Drew.

Aku membencinya, sangat membencinya.

"Kita harus pergi," aku berkata di dadanya, suaraku bergumam. Aku


menarik diriku sehingga aku bisa menengadah menatap dirinya,
memperhatikan bahwa wajahnya benar-benar tanpa emosi. Dia
dalam mode shutdown dan aku tidak bisa menghakiminya karena
biasanya dia menggunakan itu lebih seperti mekanisme pertahanan.

Sesaat setelah kami menginjak rumah, aku mengatakan padanya, dia


perlu pergi ke ahli terapi professional. Mengeluarkan apa yang
terjadi padanya dari pikirannya sepenuhnya. Tidak berarti dia bisa
membiarkan pengalaman masalalunya pergi begitu saja dengan baik,
tapi dia paling tidak bisa berbicara pada seseorang. Mencari bantuan
sehingga dia bisa lebih baik menghadapi dengan semuanya.

"Drew." Aku menguncang lengannya dan matanya fokus padaku


sekali lagi. "Kita harus pergi. Sekarang."

"Kau benar. Ayo pergi."

Aku lari ke kamarku dan melemparkan semuanya ke dalam tas, lalu


menutup resletingnya. Aku menyambar dompetku, baju hangat
lengan panjangku yang akan aku pakai dan menatap sekilas pada
ruangan, memastikan tidak meninggalkan sesuatu.

Sebenarnya tidak perduli jika aku meninggalkan sesuatu. Aku sangat


ingin keluar dari sini, dan sangat tidak perduli dengan yang lain.

Aku menunggu Drew di ruang tamu, tetap mengawasi keluar


jendela, tatapanku kosong pada rumah utama. Mereka belum pergi
untuk apapun yang mereka rencanakan, untuk dilakukan pada acara
berkabung kematian Vanessa. Aku melihat range rover dipakir di
jalan masuk rumah sepertinya ayahnya Drew mengeluarkannya
lebih awal untuk persiapan. Paling tidak mobil itu tidak menghalangi
truknya Drew.

Terima kasih Tuhan.

"Apa kau mau berpamitan pada ayahmu?" aku bertanya saat dia
datang masuk ke ruang keluarga, tasnya disandangkan pada
pundaknya, ekspresinya masih agak kosong.

Dia dengan perlahan menggelengkan kepalanya. "Aku akan


mengirim pesan padanya. Apa mereka belum pergi?"

"Tidak." Panik nyata-nyata ada dalam suaraku dan aku berdehem,


terganggu oleh diriku sendiri. "Drew, aku tidak berpikir ide yang
bagus jika kita pergi ke sana…"

"Aku juga berpikir itu bukan ide yang bagus," dia menginterupsiku.

Kelegaan menjalar melewatiku dan kami keluar menuju truknya


dengan langkah terburu-buru, gerak-gerikku kalut dan tanpa jeda
saat aku melemparkan tas dalam tempat duduk belakang sempit dari
kabin tambahan. Dia naik kedalam truk bersamaan denganku dan
serentak kami mengempaskan pintu, Drew memasukkan kunci
dalam starter.

Kami hampir keluar dari sini, aku bisa merasakannya. Aku tidak
pernah merasa sangat bahagia karena meninggalkan suatu tempat
seperti yang aku lakukan saat ini.

"Andrew!"

Aku sentakkan kepalaku ke kiri, melihat tidak percaya saat Adele


berlari mendekati truk, berhenti pada sisi pintu pengemudi. Dia
mengetuk kaca dengan kepalan tangannya, berteriak agar Drew
menurunkan jendela dan Drew menatap padanya, tangan Drew
sudah berada di gigi persneling, siap untuk memundurkan truk.

"Jangan lakukan itu," aku bergumam. "Jangan buka jendela. Dia


tidak pantas mendapatkan perhatianmu lagi, Drew."

"Bagaimana jika dia memberitahu ayahku?" suaranya kecil, dia


terdengar seperti anak kecil dan hatiku sangat pedih untuknya.
Kesedihannya menjadi kesedihanku.

"Siapa yang perduli? Kau tidak salah dalam situasi ini. Dia yang
bersalah."

Masih dengan menundukkan kepalanya, dia bergerak maju dan


menekan kuat kenop sehingga jendela pelan-pelan terbuka. "Apa
yang kau inginkan?" dia menanyai Adele dengan dingin.

"Hanya...tolong ikutlah dengan kami. Aku ingin kau di sana,


Andrew." Dia menyorotkan tatapan dingin, tajam yang singkat
padaku dan aku balas menatapnya. Sama dingin, sama kerasnya.

Aku ingin menyakitinya, aku sangat membencinya.

"Aku sudah mengunjungi makamnya kemarin. Aku sudah


memberikan penghormatan pada adikku. Hal apa lagi yang kau
inginkan dariku?" suaranya seperti es, sedingin pandangannya yang
dilemparkan pada Adele dan Adele benar-benar tak menghiraukan
hal itu.

"Ada banyak hal yang tidak kau tahu dan aku – aku perlu
memberitahumu. Secara pribadi. Ini penting Andrew, tolong."

"Berhenti memanggilnya seperti itu." Aku tidak mengontrol ini, aku


harus membuatnya berhenti. Aku tidak tahan caranya mengatakan
nama lengkap Drew.

"Itu namanya." Suaranya datar. "Dan siapa kau, anak sialan, yang
memberitahuku apa yang harus aku lakukan?"

"Jangan bicara padanya seperti itu." Suara rendah Drew


memperingatkan, tapi tetap saja tidak terlihat berpengaruh pada
Adele.

"Dia bukan siapa-siapa, Andrew. Tak berharga. Kenapa kau


menghabiskan waktu dengannya? Ada dia hebat di ranjang? Apa dia
melebarkan kakinya untukmu secara berkala dan itu kenapa kau
tetap bersamanya?" Adele terdengar nyata-nyata tidak rasional. Aku
menolak untuk mengijinkan hinaannya mempengaruhiku apapun itu.

Dia sangat tidak pantas menghinaku karena apa yang dia lakukan
pada Drew, dia pantas untuk membusuk di neraka.

"Paling tidak aku tidak memperkosa anak-anak," aku bergumam di


bawah nafasku.

Tarikan nafas terkejut yang aku dengar dari Adele jelas


mengindikasikan aku tidak bergumam cukup pelan. "Apa yang kau
katakan, kau pelacur?"

Sial, aku masuk dalam masalah ini sekarang.

"Dia tahu, Adele," Drew menyela kasar. "Dia tahu semuanya."

Ketenangan yang membebani, menggantung disekitar kami bertiga


mendekati menyakitkan. Aku tidak mampu melihat Adele. Aku tetap
berfokus pada lututku yang bergetar, mencoba usaha terbaikku untuk
menjaga nafasku tenang dan terkontrol. Aku melirik sekilas Drew,
melihat mengeretakkan rahangnya, caranya mencengkram setir
kemudinya sangat erat, buku jarinya memutih.

"Baiklah." Suara Adele mencicit dan dia batuk kecil. "Jadi. Kau
memberitahu padanya semuanya, hmmm? Dia tahu tentang
hubungan cinta kecil kita?"

"Memperkosa bocah berumur 15 tahun sangat berbeda dari


mempunyai hubungan cinta." Aku menjepit, mengunci mulutku dan
menutup mataku. Ibuku selalu mengatakan mulut besarku akan
menempatkanku dalam masalah.

Aku tebak dia benar.

"Baik, kau mau dia tahu semuanya, lalu aku malah akan terus maju
dan mengatakan padamu, tentang apa yang ingin kukatakan secara
pribadi, di depan pelacur bermulut besarmu." Suara Adele manis dan
ringan, sangat mengerikan, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali
mengangkat kepalaku dan melihatnya.

Aku tidak suka apa yang aku lihat. Ada kekejaman yang berpijar di
matanya dan bibirnya melengkung ke atas membentuk senyum
menyeramkan. Adele jelas dalam hampir kehilangan kewarasannya.

"Kita harus pergi," aku berbisik pada Drew dan tanpa kata-kata dia
menyalakan mesin.

"Tidakkah kau ingin mendengar apa yang harusku katakan


padamu?" Adele bertanya dalam suara nyanyian menyeramkan.

"Tidak juga." Pandangan Drew beralih pada setir kemudi.

"Sayang sekali. Karena ini tentang Vanessa."

Dia menoleh untuk menatap Adele, seperti yang aku lakukan. "Ada
apa dengan Vanessa?"
"Aku sudah sangat lama mencoba memberitahumu, hanya waktunya
tidak pernah tepat. Tapi kau perlu tahu. Aku selalu merasa ini
kebenarannya...aku tidak yakin. Bagaimanapun sekarang aku tahu
ini benar. Tanpa keraguan, aku tahu."

"Katakan saja, Adele."

Perutku terasa teraduk saat aku menunggu. Ketakutan membuat


telapakku basah dan aku menggenggam lututku, sangat menakutiku
atas apa yang di katakannya.

"Vanessa bukan adikmu, Andrew." Adele berhenti sejenak, senyum


menghancurkannya di arahkan padaku. "Dia anakmu."
***

Bab 13
Hari ke-7 (Keberangkatan), 11:30 a.m.

Di mana ada cinta, disitulah derita. - Spanish Proverb

Fable

Hampir dua jam kemudian, dan aku masih tidak tahu apa yang harus
kukatakan.

Aku masih terkejut karena pengakuan Adele yang menghancurkan.


Aku bukan satu-satunya yang terpengaruh pada pengakuan itu. Aku
takut setengah mati dengan cara Drew melalui itu. Yang mana, tidak
ada reaksi apapun.

Dia sedingin es. Tanpa ekspresi. Tanpa emosi. Hampa dari apapun
dan semuanya. Aku menghabiskan enam hari siang dan malam
bersamanya.

Aku telah melihatnya pada saat dititik terendah dan tertinggi. Dia
benar-benar marah dan benar-benar peduli, bahkan aku belum
pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Aku tidak tahu harus
berbuat apa untuknya. Dan dia tidak ingin berbicara padaku.

Ini berakhir dengan waktu empat jam yang terpanjang dan terhening
selama hidupku. Jalanan memang kejam! Cuaca sialan, hujan terus
menerus dan jalanan menjadi licin, membuatnya nyaris mustahil, dia
dapat melihat melalui kaca depan, hujannya sangat deras.

Dia menyalakan radio saat kami memulai perjalanan, sangat jelas


mengatakan bahwa dia tidak ingin berbicara, jadi aku tidak
memaksa. Tapi aku ingin. Oh, aku sangat ingin. Banyak sekali
pertanyaan dan aku tidak mempunyai jawaban.

Apa Adele mengatakan yang sebenarnya? Apa benar Vanessa adalah


anak Drew? Apa ayahnya—suaminya—mempunyai sedikit
petunjuk? Apakah ia sudah waspada dengan hubungan yang ia
jalani?

Dari perhitunganku, dia sudah melakukannya dari lama. Setidaknya


empat tahun. Sedikit yang ia ceritakan padaku tentang hari disaat
Vanessa meninggal. Aku punya perasaan bahwa Adele membawanya
ke rumah dan dengan caranya. Ketika mereka sedang bercinta,
Vanessa tenggelam.

Kejam tapi itu kenyataannya, aku bisa merasakan itu. Oleh karena
itu rasa bersalah yang berlebihan bertumpuk padanya.
Aku tidak marah padanya, dan aku tidak bisa membencinya atas apa
yang terjadi padanya. Itu bukan kesalahannya, tak peduli seberapa
banyak ia memikirkan hal itu. Wanita itu menjeratnya kedalam
kegilaan ini, hubungan yang memuakkan, dan dia tidak tahu
bagaimana caranya keluar dari hubungan itu. Saat itu ia hanyalah
anak kecil saat wanita itu memulai permainannya.

Ini masih membingungkan bagaimana dia masih bersamaku


semalaman, kemarin malam.

Satu jam terakhir aku tidur dengan gelisah atau dengan menyetir,
terbangun karena sentakan ketika sebuah truk datang dan
sepenuhnya berhenti dan dia mematikan mesinnya. Aku
menengadahkan kepalaku dan menatap keluar jendela, menemukan
kami sedang berada di area parkir di komplek apartemenku.

Yay. Aku dirumah.

"Kita sampai," katanya, dengan suara tenang yang dalam. "Butuh


bantuan dengan tasmu?"

Aku menatapnya tak percaya. "Benarkah ini cara kita untuk


mengakhiri ini?"

Tatapannya bertemu denganku dan penuh dengan derita, aku hampir


memalingkan muka. Tapi aku menolak. Dia tidak akan menang. Aku
menolaknya mengantarkanku.

"Kau dengar perkataannya, Fable. Tidak mungkin aku berharap kau


akan tetap tinggal untuk itu."

"Kau benar-benar berpikir serendah itu terhadapku?


Sungguh?"Tuhan, dia membuatku marah. Aku ingin memukulnya
dan memeluknya, dalam waktu yang bersaman. "Baiklah."

Aku menoleh kebelakang dan mengambil tas ranselku kemudian


melemparkan ke pintu yang terbuka dan keluar dari truk secepat
mungkin, aku hampir terjatuh.

"Fable."

Sahutan dari namaku membuatku berhenti, jariku mencengkram


pinggiran pintu truk yang ingin sekali kubanting sedetik yang lalu.
"Apa?"

"Aku—aku harus mencari cara. Aku harus menyelesaikan ini.


"Matanya memohon padaku untuk mengerti. "Aku butuh waktu."

Aku menggelengkan kepalaku, daguku gemetar, dan aku mendorong


melewati itu. Aku menolak menangis di depannya. "Berapa kali
harus kukatakan padamu? Jangan memaksaku, Drew."

Dia menarik napas berat dan memalingkan mukanya dariku.


Wajahnya tersinggung terlihat dirahangnya dan ekspresinya sangat
tegang, aku takut mungkin dia akan hancur. "Aku tidak tahu
bagaimana mengatasi semuanya dengan bantuan seseorang. Aku
terbiasa menghadapinya sendiri."

Hatiku lebih hancur. Aku tidak tahu bagaimana semuanya masih


utuh, dengan semua yang telah kami lewati. "Masuklah bersamaku.
Aku perlu memeriksa Owen dan kemudian… kita bisa berbicara.
Okay?"

"Owen." Tatapannya bertemu denganku dan dia mendesah.


Sepertinya dia telah melupakan semuanya dan aku membawanya
kembali pada kenyataan. "Kembalilah keadikmu. Dia
membutuhkanmu. Dia lebih penting sekarang."

"Drew…" Owen penting, dia selalu penting, tapi kekhawatiranku


lebih pada Drew, lebih dari itu. Aku takut apa yang akan ia lakukan
jika aku tidak disisinya.

"Pergilah, Fable. Aku akan… aku akan menelponmu.’

"Tidak. Kau tidak akan menelponku." Kemarahan memenuhiku dan


aku membanting pintu truk kencang, kecewa dengan tidak puasnya
saat kami berpisah.

Aku menuju gedung apartemenku, pundakku melawan hujan yang


jatuh dari kegelapan, langit marah. Aku mendengar Drew
menyalakan truknya, mendengar suaranya memanggil namaku dari
jendelanya tapi aku tidak membalikkan badan.

Aku tidak menjawabnya.

Aku melakukan apa yang ia perintahkan dan pergi menuju adikku.


***

Aku segera berhenti ketika aku melihat ibuku duduk di sofa,


matanya memerah karena lelah, pipinya berjerawat. Dia terlihat
seperti habis menangis. Owen berdiri di belakang sofa, tatapan tak
berdaya di wajah mudanya dan tatapannya penuh dengan kelegaan
ketika dia melihatku.

"Apa yang kau lakukan disini?"Aku bertanya padanya ketika aku


menutup pintu.
Dia menatapku. "Aku tinggal disini. Dimana lagi kau pikir aku akan
berada?"

Tidak menghiraukan untuk berkata apapun, aku menuju Owen dan


memberikan pelukan cepat. "Apa kau baik-baik saja?"

"Ya. "Dia mengedarkan tatapan gugup kearah ibu. "Sekarang kau


sudah disini, apa aku boleh pergi ke Wade sebentar saja? Aku akan
kembali saat makan malam, aku janji."

"Kupikir kita akan menonton film." Aku membutuhkan pengalihan.


Kepalaku masih di penuhi dengan Drew dan semua drama yang ada
di hidupnya, dan aku memilih menonton film bodoh untuk
sementara dan melupakannya.

Meskipun aku tahu ini tidak membantu. Bagaimana bisa aku


melupakannya? Meskipun hanya sebentar?

"Kupikir, ibu ingin berbicara denganmu." Dia gelisah. Jelas sekali,


dia ingin pergi.

"Mungkin kita bisa menonton di lain waktu." Aku mengacak rambut


pirangnya yang gelap dan dia menunduk dari bawah genggamanku,
melihatku dengan senyuman menarik. "Bagaimana kalau kita makan
pizza untuk makan malam?"

Wajahnya terlihat cerah saat ia menuju pintu. "Sungguh? Baiklah."

Aku melihat Owen pergi, beralih ke ibu ketika dia menutup pintu di
belakangnya. Dia menatapku waspada, rambutnya yang pirang—
seperti punyaku—berjatuhan diatas matanya. Eyeliner-nya terlihat
berat, bibirnya memar. Aku mempunyai bayangan akan diriku yang
sama seperti ibu dua puluh tahun dari sekarang dan memikirkan itu
membuatku hampir lemas.

Aku menolak berbalik ke arah ibu, tidak peduli seberapa mirip jalan
yang aku miliki dengannya.

"Kenapa dia bertanya padamu jika dia pergi dan dia tidak bertanya
padaku?" Tangan ibu terarah pada pintu yang tertutup." Dia
bertindak seolah-olah kau ibunya."

"Jika kau sering berada di rumah, mungkin dia akan bertanya


padamu." Aku mengambil tas ranselku ke kamarku dan
melemparkannya ke tempat tidur yang belumku bereskan. Aku
meninggalkan kamar dalam keadaan kacau. Baju di mana-mana,
tumpukan perhiasan murah berada di sebelah gaun lamaku dan
cermin yang biasa aku lap dengan pembersih yang bagus dari
Windex. Aku menggunakan ruangan ini untuk tidur dan bukan untuk
hal yang lain, karena aku selalu bekerja atau melakukan… apapun.

Membayangkan membawa Drew ke apartemenku, ke kamarku, dia


mungkin merasa jijik. Dia semacam gila kerapian dan semua orang
yang tinggal disini tidak seperti itu.

Seperti aku akan membawanya kesini saja. Tidak mungkin kami


akan berhasil. Aku harus menyadari fakta itu. Dia terlalu rusak,
terlalu keras kepala untuk memberikanku kesempatan.

"Aku selalu berada di rumah," ibuku mempunyai keberanian untuk


berkata padaku ketika aku kembali ke ruang tamu. Dia membuka bir
dan dia meminum itu, mengeluarkan napas keras."Aku punya akhir
pekan yang sulit. Aku tidak butuh omong kosong yang kau berikan
untuk membuatku merasa bersalah."

Aku suka mendengarkan definisinya akan akhir pekan yang sulit.


Apa mereka kehabisan minuman keras atau rokok?

Mungkin kekasihnya menggoda wanita lain. Jika seseorang


mempunyai akhir pekan yang sulit—Sialan, akhir pekan yang benar-
benar sulit—itu pasti Drew Callahan.

Dan tentu saja, aku.

"Ini hanya hari sabtu," Aku menunjuk."Apa kau tidak punya bar
untuk didatangi atau sesuatu?"

Dia mendengus. "Sejak kapan kau menjadi orang yang sok tahu?"

Aku menghiraukannya. Malahan, aku menuju ke dapur yang kecil


dan membuka lemari pendingin, melihat ke dalam. Ini menyedihkan
sekali. Sisa makanan cina yang di ambil sudah berapa lama dan
kebanyakan botol saus kosong, mustar, mayo dan selai anggur di
garis pintu. Ada satu galon susu di dalam tapi mungkin tersisa
seteguk dan tanggal kadaluarsa tercetak disana, dan juga banyak
sekali barang lama disana.

Ada dua soda dan mengkerut, dua belas kotak setengah kosong di
dalam sana juga. Tentu saja. Surga melarang ibu pergi tanpa cahaya
sejak awalnya.

Aku berjanji hal pertama yang kulakukan besok pagi, aku akan pergi
ke tempat berbelanja dengan uang yang aku dapat dari temanku, jadi
kami bisa mempunyai makanan yang layak dimakan di rumah. Dia
butuh untuk makan dan dengan pantas, bukan sekumpulan sampah
dan makanan cepat saji. Kami punya satu malam untuk pizza
pepperoni keju, tapi kami akan makan besok.

"Aku dengar kau kehilangan pekerjaanmu," Aku berbicara padanya


sambil mengambil soda dan membukanya. Dingin yang menyentak
kafein dan gula masuk dengan mudah melalui tenggorokanku dan
aku menutup pintu kulkas untuk mencari ibu yang condong
berlawanan dengan dapur, botol bir hampir kosong berada di antara
ujung jarinya.

"Owen memberitahumu, huh? "Dia menggelengkan kepalanya. "Ini


omong kosong, apa yang mereka katakan."

"Apa yang mereka katakana? "Hebat. Terdengar seperti salahnya


karena kehilangan pekerjaannya.

"Seorang pelanggan sepertinya mengadu ketika aku membantunya,


napasku berbau bir."Dia mendentingkan birnya denganku kemudian
meminum sisa birnya. Ironi, sekali?

"Maksudku, aku bergadang sebelum aku minum dengan Larry, jadi


aku pikir itu adalah sisa dengungan, kau tahu? Aku tidak terlalu
mabuk. Aku baik-baik saja."

Aku melihatnya, meminum dari kaleng sodaku. Hidupku agak


menyebalkan, ibuku sepenuhnya tidak mempunyai rasa
tanggungjawab, tapi aku tidak punya apapun pada Drew.

Tidak ada.

"Dimana Larry?" Ketika dia melihatku, aku menaikan alis mataku.


"Pacar barumu, benarkan?
"Aku tidak tahu."Dia mengangkat bahu."Kami bertengkar hebat dan
dia meninggalkanku disini satu jam yang lalu. Seharusnya kami
pergi keluar malam ini."

Tuhan, aku benar-benar tidak menginginkannya berada disini.

Aku harap dia bisa pergi dan meninggalkanku sendiri,


meninggalkanku dengan pikiranku. Owen akan kembali dengan
membawa Pizza tapi aku ingin pergi dengannya. "Mungkin kau
harus menghubungi Larry dan minta maaf padanya."

"Kenapa kau berpikir ini salahku?"

Karena memang selalu begitu? "Mungkin kau harus mengambil


inisiatif dan meminta maaf padanya meskipun itu bukan
kesalahanmu". Sekarang giliranku untuk mengangkat bahu.

Ibu menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya, mengambil ponsel


dari saku celananya. "Bukan ide yang buruk. Aku menghubunginya."

Dia berjalan ke kamar tidurnya, ponsel di telinganya."Hey, sayang.


Ini aku," Aku mendengar dia berkata sambil dengan perlahan
menutup pintu.

Aku masih berdiri lama setelah dia pergi. Berpikir tentang Drew.
Dimana dia, apa yang sedang dia lakukan? Aku sangat khawatir dan
aku benci merasa seperti ini.

Aku berharap dia tidak menutup dirinya dariku. Aku harap dia
mengizinkanku masuk.
Tapi harapan itu bodoh.
***

Drew

Setelah aku mengantarkan Fable ke tempatnya, aku mengitari kota


selama satu jam, pergi ketempat yang biasa kukunjungi,
pemandangan yang menghibur. Kota kecil ini dimana aku
menghabiskan tiga tahun terakhir jauh lebih terasa seperti rumah
dibandingkan dimana aku pernah dibesarkan.

Tentu saja, kota asalku sebagian besar sudah tercemar dengan


kenangan buruk, terselamatkan beberapa hari dengan Fable.

Aku mengitari kampus, stadion dimana aku menghabiskan sebagian


besar waktuku, dan itu cukup banyak kutinggali. Aku mengemudi
melalui pusat kota, melewati toko-toko, di sudut kafe dan Starbucks,
melambat beberapa saat ketika aku melewati La Salle, yang tampak
tenang. Mengingat ini bukan jam enam pagi, ini tidak
mengherankan. Ditambah murid belum kembali ke kota. Itu semua
akan terjadi besok.

Hujan masih turun terus menerus dan ketika aku menyadari telah
mengemudi lebih dari satu jam dengan tidak ada tujuan, aku berakhir
di gedung apartemenku. Ini sisi berlawanan kota dari Fable, aku
tinggal di daerah baru, tempat yang lebih baik. Dimana tetangganya
tenang dan halaman yang sempurna. Tidak ramai, tetangga yang
lebih tua yang dipenuhi anak muda, suara berisik para mahasiswa
sejak disewakan karena harganya murah.

Aku lebih memilih apartemen karena ukurannya dua kali lebih besar
darinya dan aku hanya memiliki satu kamar. Sial, aku tinggal
sendirian sementara dia tinggal dengan ibu dan adiknya, mereka
bertiga mencoba yang terbaik untuk tetap bersama…

Aku meninju roda kemudi, kemudian mengabaikan rasa sakit yang


ditimbulkan dari buku-buku jariku, melewati tanganku. Pelatih bisa
membunuhku jika dia melihatku sekarang, mencoba mengacau
dengan melempar tanganku. Membayangkan amarahnya membuatku
meninju roda kemudi lagi, tinjuku berdenyut pada pukulan yang
ketiga.

Tapi rasa sakitnya sangat baik. Mentah dan nyata, mengingatkan


akan diriku, siapa diriku. Hidupku terlihat mudah, sangat mudah.
Segala sesuatu yang aku inginkan akan diberikan kepadaku dengan
piring perak. Aku anak orang kaya yang hidup dengan dimanja di
kehidupanku. Membual untuk bisa menjadi temanku, tinggal di
apartemen yang besar, jalan dengan angkuh disekitar kampus dengan
dua gadis di kedua lengan karena akulah yang disebut dengan
pahlawan, yang menyelamatkan tim sepakbola selama dua musim.

Duniaku…adalah dunia omong kosong.

Apa yang Adele katakan membuatku sangat terkejut. Aku melajukan


truk menuju jalan pulang tanpa mengatakan apapun. Begitupun
Fable. Aku merasa seperti sampah ketika bersikap seperti itu, apa
yang bisa kulakukan? Membuat sedikit percakapan dengannya,
membicarakan cuaca dan musik kesukaan kami dan oh, faktanya ibu
tiriku baru saja memberi tahuku bahwa adikku bukanlah adikku
sama sekali, tapi putriku?

Hidupku benar-benar seperti sinetron. Aku tidak tahu cara mengatasi


itu. Aku tidak tahu jika aku mempercayai Adele. Dia telah
berbohong sebelumnya. Dia selalu berbohong. Mungkin dia
mencoba mengejutkanku. Mengganggu kekasihku jadi Adele
berpikir mungkin dia bisa menyingkirkan Fable. Kekasihku lebih
keras kepala dari itu.

Lagipula, aku tahu betul cara mengusir dan mengabaikannya.

Aku menjadi seorang yang handal dalam beberapa hari terakhir.

Dengan itu membuatku penuh dengan penyesalan.

Tidak bisa mengendalikan pikiranku lebih lama lagi, aku


menghubungi Adele ketika aku masih berada di dalam truk di area
parkir, hujan masih tetap deras dengan irama di atas atap.

"Andrew." Adele menjawab pada dering kedua, dan suaranya


terdengar terkejut yang aku dengar. Sudah seharusnya.

"Katakan kau bohong." Kata itu keluar begitu saja dan aku
memejamkan mataku, menunggu—dan menegangkan—jawabannya.

Dia diam sejenak. Aku bisa mendengar suara musik pelan sebagai
latar belakangnya, seperti dia ada di restoran atau suatu tempat. Aku
penasaran jika dia sedang bersama ayahku. Aku harap dia pergi ke
suatu tempat jadi ia tidak perlu mendengar apa yang dia akan
katakan. "Aku tidak bohong. Dia memang putrimu."

Aku menghela napas berat, perutku seperti akan keluar dengan


sendirinya, mereka sangat kencang. "Bagaimana kau tahu?"

"Tuhan, Andrew, ini cerita lama yang sama, kau tahu? Ayahmu dan
aku…kami mencobanya beberapa tahun untuk memiliki anak, tapi
tidak berhasil. Suatu hari ide itu muncul di benakku bahwa kau
kandidat yang sempurna. Hal berikutnya, untuk berbicara, dan kau
bersedia. Aku merencana mengunjungimu berdasarkan sirkulasiku,
menggunakan beberapa kondom dan ini jalan tercepat yang hampir
berhasil." Suaranya redam, tapi dia terdengar masuk logika tentang
itu, aku ingin berteriak.

Cairan empedu naik ke tenggorokanku dan aku menelannya lagi.


Aku hanya anak yang berumur enam belas tahun ketika aku
membuatnya hamil. Hanya enam belas tahun."Jadi kau menipuku.
Dan ayahku. Kau mempermainkan kami berdua. Aku harap kau
bangga dengan dirimu sendiri."

"Aku tidak pernah main-main dengan salah satu dari kalian, kau
harus percaya itu. Aku sangat mencintai ayahmu. Dan aku…aku
mencintaimu juga, Andrew. Tidak bisakah seorang wanita mencintai
dua orang lelaki? Banyak sekali kesamaan kualitas yang kalian
punya begitupun yang tidak. Aku menginginkan kalian berdua."
Suaranya mengecil. Bahkan dia berbicara padaku seakan dia... dia
menginginkanku ketika aku masih kecil, membuatku muak.

"Well, kau memiliki kami berdua. Aku harap kau puas," aku
membentak pada ponsel, bersiap untuk memutuskan telpon tapi aku
mendengarnya menyebutkan namaku. Aku memutuskan untuk
mendengarkannya. Aku tidak tahu mengapa. "Apa?"

"Kau tidak…kau tidak akan memberitahu ayahmu, kan? Apa yang


kukatakan?"

Informasi itu akan menghancurkannya. Meskipun jika tidak bisa


dibuktikan, dengan kepergiaan Vanessa, aku tidak akan
memberitahunya. Mengapa aku ingin menyakitinya? Itu mungkin
akan merusak hubungan kami yang sudah ada sebelumnya dan yang
sekarang, hanya dia satu-satunya keluargaku. Rahasia ini, aku akan
bawa sampai mati. "Aku tidak akan memberitahunya. Bukan untuk
menyelamatkanmu, tapi untuknya."

Dia menghela napas keras, suaranya bergetar. "Terima kasih,


Andrew."

"Jangan berterima kasih padaku. Aku tidak melakukan ini


karenamu."

"Tentu saja bukan." Dia berhenti. "Bagaimana tentang—pacarmu?


Dia tahu, sejak aku mengatakan di depannya. Bagaimana jika dia
membocorkan itu?"

"Tidak akan," Aku mengatakan dengan otomatis karena aku tahu itu
yang sebenarnya. Aku percaya Fable. Dia tidak akan berani
mengatakan apapun.

"Kau belum terlalu lama berkencan. Bagaimana jika kalian berdua


berpisah dan dia menjadi pendendam, memutuskan untuk merusak
hidup kita? Jika kita mungkin tidak dapat mencegah jika
kenyataannya terlihat." Suara Adele penuh dengan drama, aku
bingung dimana dia mendapatkan ide itu.

"Tidak mungkin Fable akan mengatakan masalah ini. Berhenti


khawatir." Dengan itu, aku memutuskan sambungan telpon. Aku
tidak ingin berbicara dengannya lagi. Aku tidak ingin berbicara, titik.

Bahkan, aku duduk di trukku untuk waktu yang lebih lama, berpikir.
Kapnya memanas, jendelanya beruap akibat napasku dan hujan yang
semakin deras. Aku tidak ingin masuk ke dalam apartemenku dan
menghabiskan malam sendirian. Pikiranku terlalu campur aduk,
terlalu fokus pada apa yang Adele katakan.

Aku harap dia tidak pernah memberitahuku yang sebenarnya tentang


Vanessa. Ini akan lebih mudah untuk melewati hidup dengan jelas
pada fakta itu.

Tapi dia membagi kesengsaraannya dan untuk itu, aku selamanya


terkunci padanya lagi. Ketika aku memikirkan aku bebas dari
belenggu Adele, dia menarikku lagi, mengunciku.

Dan membuang kunci itu jauh.


***

Bab 14
Setelah satu minggu, Tengah Malam

Aku memilihmu. – Drew Callahan

Fable

Aku tak bisa tidur. Aku terlalu gelisah, khawatir, terlalu...semuanya.


Ibuku pergi sejam yang lalu setelah aku memberinya keberanian
untuk menelepon pacar barunya yang seorang pecundang untuk
berbaikan. Laki-laki itu datang menjemputnya sekitar lima belas
menit setelah ibu mengakhiri teleponnya dan mereka pergi ke tempat
kesukaan mereka : Bar menyedihkan dengan para pemabuk.

Aku mengakui bahwa aku juga bekerja di sebuah bar. Aku bahkan
sangat menyadari kalau aku sedang mengikuti jejak ibuku meski aku
mati-matian untuk tidak begitu. Aku sempat berpikir apakah
memang aku ditakdirkan untuk berakhir menjadi sama seperti orang
tuaku, tidak peduli apakah aku telah berjuang. Pikiran seperti itu
membuatku depresi jadi aku mengenyahkannya.

Owen pulang sekitar pukul lima. Senang karena mendapati Ibu tidak
dirumah yang ditandai dengan senyumnya yang sedikit kurang ajar.
Aku benar-benar harus menghentikan kebiasaannya berbahasa kasar
yang sudah berkembang sangat pesat itu, tapi siapalah aku untuk
mengajarinya? Aku memaki dan bersumpah serapah sepanjang
waktu.

Kami memesan pizza yang datangnya seperti berabad-abad karena


siapa gerangan yang mau repot-repot memasak di sabtu malam
setelah hari Thanksgiving. Kami menonton film tahun 90an di tivi
kabel, salah satu kemewahan yang dengan senang hati aku bayar
untuk membuat Owen dan aku senang dan bahagia. Kami bahkan
sampai mengerang karena kelaparan.

Tapi sesungguhnya, Aku memikirkan Drew. Senyumannya,


bagaimana dia menyentuhkku, cara dia memandangiku saat dia
menarikku kepangkuannya untuk pertama kali, rasa bibirnya,
kehangatan nafasnya, sentuhan tangannya pada kulit telanjangku.
Dia menghantuiku bahkan saat aku sedang mengusili Owen saat
menonton film yang sudah aku tonton ratusan kali. Sampai-sampai
saat menyorongkan pizza ke mulut rasanya seperti belum makan
berminggu-minggu.

Aku tidak tahan memikirkan Drew sendirian di suatu tempat dengan


pikiran-pikirannya, kenangan-kenangannya, masalah-masalahnya.
Aku memeriksa ponsel lagi dan lagi, berharap ada sms, telepon atau
apapun. Tapi dia tidak menghubungiku dan aku tak akan
menghubunginya.
Tapi...

Mungkin Drew butuh waktu, aku menunda pikiranku tentang Drew


ketika aku melihat Owen sedang melemparkan pakaian-pakaiannya
ke ransel. Dia pasti akan pergi lagi ke rumah Wade untuk bermalam.
Temannya menelepon minta izin dan aku akhirnya berbicara dengan
ibunya Wade memastikan bahwa Owen akan benar-benar pergi ke
rumahnya bukan berlari-lari di pinggir jalan di tengah malam. Aku
ingin sekali benar-benar mempercayai Owen, tapi dia kan baru tiga
belas tahun.

Jadilah aku ditinggal sendirian dan aku sudah terbiasa. Owen sering
menginap dirumah temannya dan ibuku lebih memilih untuk pergi
ke bar sampai tutup. Aku pun selalu bekerja, jadi memang tidak
pernah ada orang dirumah pada jam seperti ini.

Di luar hujan masih turun dan aku berbaring dalam gelap, menatap
langit-langit kamar. Aku tidak bisa menghilangkan Drew dari
pikiranku. Aku harus memastikan bahwa dia aman dan baik-baik
saja. Tanpa berpikir panjang aku meraih ponsel dan secepat kilat
menulis dan mengirim pesan untuknya sebelum aku sempat berpikir
untuk menghapusnya.

Keluar dari kamar tidur aku menuju ruang tamu dan meringkuk di
sofa, membungkus badan dengan selimut lusuh dan menghidupkan
tivi. Sudah larut malam, hubungan palsu kami secara resmi sudah
berakhir.

Menit berubah menjadi jam, aku menyadari bahwa dia tidak akan
menyelamatkanku. Dia menepati janjinya atas kesepakatan awal.
Aku bukan lagi pacar seminggunya Drew Callahan.
***
Drew

Aku tersadar di tempat tidur, masih mengenakan jeans dan baju


hangat, tidak ada selimut disekitarku. Aku pasti sudah tertidur
berjam-jam karena aku terbangun dengan rasa pusing dan
kebingungan. Otot-ototku sakit dan mulutku kering, perutku
menggeram setelah melewatkan dua kali jam makan. Aku tidak
pernah melakukan itu.

Melihat sepintas di meja samping, waktu menunjukan jam dua lewat


dini hari dan aku terduduk, menggaruk belakang kepala dan
menghidupkan lampu. Saat aku mengambil ponsel diatas meja
samping, memeriksa telepon masuk atau pesan, aku melihat satu
pesan dari Fable dengan berisi satu kata ‘Marshmallow’. Sial, dia
mengirimkan pesan itu berjam-jam yang lalu. Berjam-jam lamanya.
Aku benar-benar merasa seperti bajingan. Berjuang turun dari
tempat tidur dan bergegas. Menyelipkan ponsel disaku belakang dan
mengambil kunci. Harusnya aku membalas pesannya tapi itu akan
menghabiskan waktu dan aku benar-benar harus melihatnya. Aku
membuatnya menunggu berjam-jam. Aku telah mengecewakannya...

Aku tak tahan lagi.

Aku langsung meninggalkan apartemen dan keluar ditengah hujan


yang deras, masuk ke mobil dan berangkat. Jalanan lumayan sepi,
aku melewati beberapa mobil dan yang bisa aku pikirkan hanya
Fable. Mungkin seharusnya aku menghubunginya, bagaimana jika
dia sedang dalam masalah? Bagaimana jika dia butuh bantuanku dan
aku mengecewakannya?

Menepi ke parkiran kompleksnya dalam waktu sekejap, keluar dari


mobil dan otomatis berlari menuju kamar tempat aku menjemputnya
tujuh hari yang lalu.

Sial! Aku bahkan tidak percaya aku baru mengenal gadis ini tujuh
hari. Dia sudah menjadi bagian dari diriku dan koper-koperku. Aku
mungkin sudah menjadi mimpi terburuknya.

Aku melompat dan berkonsentrasi pada tangga, dengan penuh


ketakutan aku mengetuk pintunya sampai berderak dan nafasku
memburu, tetesan air hujan berderai di wajahku.

Lama, disiksa bermenit-menit, aku mengetuk pintunya lagi.


Bagaimana jika dia tidak berada di dalam sana? Sial! Seharusnya
aku meneleponnya dulu. Mengeluarkan ponsel aku hendak
meneleponnya ketika pintu terbuka, rantai pengaman tetap
terpasang.

Kelegaan membanjiriku, benar-benar membuat lututku lemas. Fable


mengintip dari balik pintu hanya mengenakan T-shirt tipis yang
kebesaran. Yang aku lihat hanya kaki indah dan rambut kusut.
Dengan cepat tubuhku langsung bereaksi.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya pelan dan dingin. "Aku
dapat pesanmu." sambil mengusap air hujan diwajahku. "Kamu
terlambat dua jam." dia hendak menutup pintu tapi aku menyelipkan
kaki untuk menjaganya tetap terbuka. "Pergilah Drew."

"Fable dengarkan aku. Aku tertidur. Aku tertidur berjam-jam dan


langsung melihat pesanmu begitu terbangun. Aku melompat ke
mobil dan mengebut kemari." aku merentangkan tangan. "Lihat aku.
Aku berlari dalam hujan sialan melewati tempat parkir untuk kesini."
"Lalu kenapa?" dengan nada kurang ajarnya dan membuatku
jengkel. Dengan segenap kekuatannya, Fable kembali bertingkah
kasar dan aku tidak menyukai ini meskipun mungkin aku berhak
diperlakukan seperti itu.

"Sudahlah." Aku menggaruk-garuk belakang kepala. "Katakan


padaku, apakah kamu baik-baik saja? Ibu dan adikmu baik-baik
saja? Tidak ada keadaan darurat atau apapun?"

Dia mengerutkan kening. "Tidak ada yang darurat. Semua baik-baik


saja."

"Syukurlah." Perasaanku agak ringan sedikit, mengusap dada dan


bersyukur dia baik-baik saja. "Aku mengerti kalau kau tidak
menginginkanku disini. Aku cuma... harus memastikan kau baik-
baik saja setelah melihat pesan itu."

Pelan-pelan aku menggerakan kaki sehingga dia bisa menutup pintu


dan berbalik, bersiap untuk pergi ketika aku mendengar dia berkata
"Drew.. Tunggu."

Aku berputar perlahan dan melihat dia membukakan pintu


seluruhnya. Mengizinkan aku melihat seutuhnya. Dan, sial! Dia
terlihat sangat cantik. Wajahnya bersih dari make-up, ekspresinya
waspada, dan semua rambut indahnya jatuh mengikal dibahu.
Kaosnya hanya menggambarkan lekuk tubuhnya yang mana sudah
aku ketahui sebelumnya membuat jari-jariku gatal untuk
melepaskannya.

"Yeah?" Suaraku serak dan aku berdehem. Aku harus menjaga jarak
dengannya. Membuatnya berdekatan denganku hanya membawa
malapetaka untuknya. Dia sudah punya banyak masalah dalam
hidupnya, aku hanya membuat hidupnya lebih susah.

"Maukah kau masuk dan tinggal sebentar?" Hatiku masih saja


berdebar-debar dan aku melangkah maju, bersiap mengambil
kesempatan ini. Meskipun tanda bahaya sudah mereda, aku masih
tidak yakin aku cukup baik untuknya, aku tidak ingin dia berbalik
pergi. Aku tidak bisa membiarkannya pergi. Aku sangat
menyukainya. Aku harus memilikinya. Setidaknya sekali saja
sebelum aku pada akhirnya meninggalkan Fable selamanya. Demi
kebaikannya aku harus pergi dari hidupnya, tidak peduli betapa
egoisnya keinginanku untuk memilikinya. Selamanya.

"Dimana ibumu?" Aku bertanya dengan suara berpura-pura.


"Dengan pacarnya." "Dan adikmu?" aku menggigiti bibir bawahku.
Aku hampir saja melakukan hal yang benar dengan menjauh
darinya. Tapi aku sudah nyaris mendorongnya dan merobek kaos dan
menelanjanginya dibawahku dalam sekejap.

"Dia bermalam dirumah temannya." Dia membuka pintu lebih lebar


lagi, sudah sangat jelas dia menginginkanku disana. "Kumohon
Drew, masuklah. Kau basah karena hujan." Dia benar. Meski dengan
sedikit canggung di depan pintu, aku basah kuyup dan ini
menyebalkan.

"Apa kamu yakin?" Aku bertanya dengan suara rendah. Ada


sekaligus dua pertanyaan dibalik kata-kataku. Aku berharap dia
mengerti. Fable mengangguk pelan, bibirnya sedikit tersenyum "Aku
benar-benar menginginkanmu"

Tanpa berkata apapun aku melangkah masuk dan melewatinya. Dia


menutup dan mengunci pintu saat aku berbalik menghadapnya.
Meletakkan tanganku disekitar pinggangnya dan menariknya
mendekat, aku butuh merasakan tubuhnya secepatnya. Dia
mengejutkanku dengan menjatuhkan tubuhnya, tangannya
melingkari leherku dan kakinya mengelilingi pinggangku. Aku
menangkapnya, dan meletakkan tanganku di bokongnya. Dia
mengenakan pakaian dalam tipis sehingga aku bisa merasakan
kehangatannya, daging liatnya dan kemudian aku mengerang saat
dia menekankan bibirnya pada bibirku.

Padahal kami bercinta hanya beberapa jam yang lalu. Sial, aku
berada didalamnya pagi ini tapi aku merasa dipisahkan berminggu-
minggu. Berbulan-bulan. Mulut kami rakus, tangannya terkubur di
rambutku, menjaga tubuhku tetap dekat saat aku tersandung di ruang
tamunya, dan akhirnya rebah di sofa dengan berbalut tubuhnya.
Fable mendorong baju hangatku dan aku menarik kaosnya, aku
menang dibabak pertama. Mengeluarkannya dari kaos yang
kebesaran itu dan menjauhkan dari tubuhnya.

Hanya berbalut pakaian dalam yang nyaris tidak menutupi apapun,


kejantananku mengeras seperti baja, mataku tidak bisa hanya fokus
pada satu hal saja. Fable adalah sebuah paket yang menarik. Sangat
seksi. Dan semuanya milikku.

Fable mendekat dan mengangkat tubuhnya sedikit sehingga


payudaranya tepat diwajahku. Dia menggodaku, puting merah muda
pucatnya begitu dekat dengan mulutku. Aku mengambil satu dengan
mulut dan menghisapnya, memutar-mutarnya dengan lidahku. Dia
mengerang. Menggerak-gerakkan pinggulnya dengan pinggulku,
tangannya menggenggam erat rambutku dan aku menyelipkan
tangan dibawah celana dalamnya dan mendapatkan dia sudah basah.

"Ya Tuhan, Drew." Terengah-engah dia menyebut namaku,


menggeliat saat aku membelainya. Ini berbeda dengan yang
semalam saat kami bersama dan menjelajahi tubuh masing-masing.

Saat ini, aku nyaris tidak terkendali dengan kebutuhan untuk


membuatnya orgame. Dia menggerakkan pinggulnya saat aku
membenamkan jari-jariku ditubuhnya, tatapannya mengunci
pandanganku saat dia membuka mulutnya. Sebuah desahan yang
gemetar keluar dari bibirnya saat dia orgasme.

Kesenangan membanjiriku saat menatapnya. Aku seperti bajingan


dan sial itu sangat merangsang, betapa mudahnya aku membuat
gadisku puas. Entah bagaimana kami berakhir di kamar tidurnya
yang mungil, aku membawanya kesana. Menabrak beberapa benda
dalam gelap membuatnya tertawa saat aku meletakkannya di tempat
tidur. Tawanya menggetarkan hatiku, dia terdengar sangat bahagia,
riang dan untuk sementara waktu aku bisa berpura-pura bahagia.

"Lepaskan pakaianmu." Dengan suara berbisik dan bersemangat dia


memutar dan meraih celana jinsku. Membuka ritsleting dengan cepat
dan melebarkannya, jari-jarinya melayang di depan celana boxerku
dan aku menelan erangan, berusaha mundur darinya.

Dia terus menyentuhku dan sepertinya aku akan meledak.


Melepaskan pakaian, aku ambil kondom yang aku selipkan di
dompet saku belakang pagi tadi. Aku menyelinap ke tempat tidur,
menariknya mendekat. Dia hangat dan harum, dan dengan cepatnya
aku ingin berada di dalamnya. "Biar aku saja." Bisiknya mencabut
kondom dari jari-jariku dan merobeknya. Mengambil kejantananku,
jari-jarinya yang ramping membukus ereksiku. Terlentang, dan aku
memejamkan mata, merasakan sensasi yang diciptakan jari-jarinya
dan dengan perlahan dia memakaikan kondom dengan cara yang
sangat menggoda membuat tubuhku menggigil. "Aku ingin diatas."
Bisiknya dan aku membeku.
Adele--ia hampir selalu ingin di atas. Bukan hal besar jika Fable
duduk di pangkuanku ketika kami bercinta, tapi berada di atasku..
Tuhan! Aku tak yakin bisa melakukan ini. "Drew." Dia menyentuh
pipiku, mengejutkanku dan pandangan kami bertemu. Bahkan dalam
gelap sekalipun, aku bisa melihat matanya, bersinar terang dengan
sejuta emosi. Gadis ini.. aku masih ingin memilikinya, tapi kita
sudah membahasnya semalam. Sebelum aku atau entah berapa
banyak Adele mengkhianatiku. Seberapa banyak dia mengkhianati
seluruh keluarga kami.

Aku tidak bisa melibatkan Fable kedalam kerumitan ini. Hanya


saja... Ah! Sial! Aku tidak bisa.

"Aku kehilangan dirimu." Dia tersenyum, mengulangi kata-kata


yang aku katakan padanya semalam dan aku bersandar ke telapak
tangannya, memalingkan wajah sehingga aku bisa menciumnya
disana. "Aku mohon biarkan aku membantumu menghapus
kenangan buruk, Drew."

"Aku..." Sial, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya, seberapa


banyak hal ini bisa mengacaukanku. Bukan karena aku sedang
bersamanya, tidak ada tempat lain yang aku inginkan selain bersama
Fable, tapi aku takut terjebak di masa lalu dan melakukan hal bodoh
seperti menjauhinya, membuatnya takut. Benar-benar menyakitinya.
Dia sudah melihatmu melakukan semua itu bahkan lebih dan dia
masih bertahan disini. Setidaknya beri dia kesempatan.

Aku meraihnya dan menyeretnya ke atasku, kakinya mengelilingi


pinggulku. "Baiklah." Bisikku, mencengkram pinggangnya, jari-
jariku menggigiti kulitnya.
***
Fable

Ketenangan di kamar tidurku yang berantakan antara aku dan Drew


seperti momen paling penting, setidaknya begitu menurutku. Aku
mencoba membantunya kembali hidup, membantunya melupakan
masa lalu, setelah apa yang telah Adele—Tuhan, aku hampir tidak
bisa memikirkan apalagi menyebut namanya—lakukan pada Drew.
Aku tidak akan membiarkan wanita itu menguasainya setelah
bertahun-tahun. Pengaruhnya tidak akan sekuat itu. Aku tidak akan
membiarkannya.

Tetap menjaga pandanganku dengan Drew, aku menurunkan tubuhku


padanya, aku mendesah saat dia pelan-pelan memasukiku. Setiap
kali tubuh kami bersentuhan, seluruh tubuhku menggigil dan aku tak
percaya ini benar-benar terjadi. Terulang lagi. Aku. Dia. Bersama.

Tangannya memeluk pinggangku erat dan aku bersandar kedepan,


menyapukan bibirku dengan bibirnya. Kami masih saling menatap
saat kami mulai bergerak. Memegangi bahunya yang berotot,
mengangkat pinggulku, menurunkan tubuhku dan membawanya
lebih dalam lagi. Lebih dalam lagi sampai aku merasa penuh dan
benar-benar kewalahan. "Kau sungguh terasa nikmat." Lalu mulai
mengayun.

"Lihat aku." Aku tidak ingin dia berpaling. Dia perlu membuang
wanita itu sepenuhnya dari pikirannya dan hanya berfokus padaku.
Dia. Kami. Bersama. Aku sudah mencapai puncak sekali, aku
membuatnya bergairah, begitu bersemangat saat aku menyadari
bahwa dia datang hanya untuk menyelamatkanku. Tidak perlu
keahlian jemarinya untuk membuatku puas saat itu. Aku terlalu
bodoh untuk berpikir cukup. Aku selalu menginginkannya. Selalu.
Selalu seperti ini diantara kami. Bersama-sama mendapatkan
kepuasan dan dengan mudahnya kami.. terangsang. Sangat indah.
Apakah dia tahu seberapa banyak dia mempengaruhiku? Apakah dia
menyadari bagaimana hatiku sekarang terletak di genggamannya?
Aku seutuhnya milik Drew, seperti apa yang dikatakannya semalam.
Tak ada satupun bom yang dilemparkan Adele yang berarti penting.
Aku hanya ingin disini bersamanya. Menghiburnya,
menyembuhkannya, menemaninya dalam segala hal jika saja dia
mengijinkanku.

Kulit kami lembab karena keringat saat bergesekkan dan


bersentuhan, berayun dalam irama yang sempurna, aku gemetar
karena sensasi klimaks keduaku akan datang dengan setiap
ayunannya. Aku menatap matanya, melihat keputusasaan, bayangan
gelap di mata birunya dan aku tahu dia akan klimaks. "Sebut
namaku." Bisikku, dia perlu tahu persis dengan siapa dia sekarang.
"Fable." Aku mengangkat dan menekankan tanganku ke dada
bidangnya dan sungguh-sungguh mulai menungganginya. "Katakan
lagi." Bisikku, menutup mataku sesaat dan dipenuhi kepuasan.

"Fable, ya Tuhan, aku akan—" dia melengkungkan tubuhnya padaku


dan dia benar-benar kehilangan kendali. Aku membuka mata dan
melihatnya bergetar dibawahku sementara matanya masih terkunci
padaku. Dia tidak mengalihkan pandangannya dariku dan aku tidak
pernah mengalami hal seintim ini dengan orang lain. Aku ambruk
diatas tubuhnya, menikmati bagaimana panasnya kulit kami saat
bertemu. Kepalaku di dadanya, aku bisa mendengar jantungnya
berdetak cepat ditelingaku. Mataku tertutup saat tangan besar Drew
mengelus-elus punggungku, benar-benar membuatku nyaman.

"Terima kasih," aku mendengar Drew berbisik. Meringkuk


kedekatnya dan tidak ingin melepaskannya. "Untuk apa?" Aku perlu
mendengar alasannya. "Membantuku mengenyahkan wanita itu dari
benakku." Sambil memainkan rambutku, aku mengangkat kepala
dan bertemu tatapannya "Berhasil." Aku tersenyum malas dan
merasa kelelahan. "Benarkah?"

"Yeah." Dia meremas pantatku dengan tangan satunya. "Aku harus


bangun sebentar. Di mana kamar mandimu?" Aku mengatakannya
dan memandangi tubuh telanjang indahnya turun dari tempat tidur
membuat dadaku nyeri. Dia pergi ke kamar mandi, membuang
kondom dan kembali ketempat tidur dalam hitungan detik. Aku
menarik selimut dan meletakkan kepalaku dibahunya, lenganku di
perutnya. "Kau menginap?"

"Ya." Dia tidak mengatakan apapun, begitu juga aku. Aku sangat
kelelahan dan terasa begitu pas untuk jatuh tertidur dalam pelukan
Drew. Aku tidur seperti orang mati, sama seperti tadi malam saat aku
masih dalam pelukannya. Drew Callahan sangat membuatku
kecanduan seperti pil tidur.

Saat aku terbangun pagi hari... Dia sudah pergi.


***

Bab 15
Minggu baru, hidup baru

Fable

Sayangku Fable,

Musuh terbesarku sekarang ada di belakangku karenamu.


Dan masih ada banyak hal yang perlu aku jelaskan.

Saat ini, yang bisa kupikirkan adalah kamu.

Begitu banyak hal dalam hidupku yang membingungkanku dan...

Menyakitiku—kecuali dirimu.

Mungkin kita bisa bersama-sama lagi suatu hari nanti.

Yang kuinginkan hanyalah dirimu, tapi aku tidak bisa melakukan ini
sekarang.

Kehilanganmu akan menjadi sesuatu yang paling sulit untuk


kuhadapi.

Mencintaimu mungkin sebuah kesalahan. Menarikmu ke duniaku


hanya

akan menyakitimu. Dan aku menolak untuk melakukannya.

Maukah kau memaafkanku?

Aku mencintaimu.

Drew
***

Air mataku jatuh berderai seperti hujan oleh surat yang Drew tulis
untukku, kata-katanya bernoda tinta karena buru-buru ditulis, dan
aku mengusap pipiku dengan marah, menyeka air mataku. Aku
mempelajari surat itu, mencoba untuk memahami semuanya. Kenapa
dia meninggalkan aku? Kenapa dia...

Dan kemudian aku perlahan-lahan membaca surat itu lagi. Jantungku


berdebar saat aku membaca sepintas lalu kalimat yang sedikit
campur aduk yang ia tulis hanya untukku, huruf pertama dari
masing-masing kalimat melompat ke arahku. Aku menelusuri setiap
huruf pertama dengan ujung jari telunjukku, mengucapkannya
dengan keras.

"M-A-R-S-H-M-A-L-L-O-W."

Jantungku seperti akan meledak dan aku menggenggam surat itu ke


dadaku. Pesan rahasianya memenuhi diriku dengan begitu banyak
harapan dan cinta, aku mulai menangis lagi. Tapi air mata ini,
bukanlah air mata sedih. Drew mendorongku pergi, namun ia ingin
aku menyelamatkannya. Suratnya membuktikan itu. Tapi bagaimana
bisa aku menyelamatkannya jika dia tidak mau sungguh-sungguh
mengijinkanku?

Aku dipenuhi dengan ketetapan hati saat aku dengan hati-hati


melipat secarik kertas yang kutemukan di meja samping tempat
tidurku sebelumnya. Aku membuka laci meja rias paling atas,
menyelipkan surat itu di bawah tumpukan pakaian dalam yang
terlipat sebelum aku secara perlahan menyembunyikannya.

Menyeka di sudut-sudut mataku, aku menatap bayanganku di


cermin. Aku terlihat berbeda. Lebih tua, lebih matang. Kurang
memberontak, sedikit...bahagia. Terlepas dari kenyataan bahwa pria
itu telah membuatku sedemikian jatuh cinta telah memberiku surat
indah yang memilukan dan aku sudah banyak meneteskan air mata
hingga cukup untuk mengisi wastafel dapur, aku bahagia.
Karena aku tahu Andrew D. Callahan mencintaiku.
***
Cerita Drew dan Fable belum berakhir...nantikan buku kedua, coming soon!

You might also like