Professional Documents
Culture Documents
by
Monica Murphy
Sinopsis:
Aku tak tahu apa yang bisa kupercaya lagi. Yang kutahu adalah,
kupikir Drew membutuhkanku. Dan aku ingin selalu ada untuknya.
Selamanya."
Dalam hidupnya, Fable selalu mengira tak ada orang yang benar-
benar menginginkannya. Ibunya terlalu sibuk dengan masalahnya
sendiri hingga tak punya waktu untuk dia dan adik lelakinya. Para
cowok menganggapnya cewek gampangan yang dengan mudah bisa
diajak tidur. Hingga pada suatu hari, ketika Drew Callahan datang
dan menawarkannya pekerjaan, dia menganggap ini hanyalah omong
kosong yang lain.
Terlalu terjebak.
Aku menginginkanmu.
Bab 1
4 hari sebelumnya...
Jika hujan turun dan dia belum juga selesai kerja, lupakan saja. Aku
akan pergi. Aku tidak membutuhkan omong kosong ini.
Tak ada jalan lain untuk aku bisa menghadapi minggu berikutnya
dalam hidupku seorang diri.
Suara musik dari bar kecil itu terdengar sayup-sayup dan aku
mendengar setiap orang di dalam tertawa dan berteriak. Aku
bersumpah aku mengenal beberapa dari suara itu. Ujian tengah
semester sedang berlangsung dan seharusnya sebagian besar dari
kami belajar, bukan? Membusuk di dalam perpustakaan atau
membungkuk di meja, kepala tenggelam di dalam sebuah buku, atau
di depan laptop. Membaca ulang catatan, menulis makalah, apapun.
Alih-alih begitu, sebagian besar temanku berada di dalam bar itu dan
mabuk. Kelihatannya tak ada yang peduli jika hari ini baru hari
selasa dan masih tersisa tiga hari lagi untuk tes dan seharusnya
mereka bersiap-siap. Ujian ataulibur, tapi setiap orang fokus pada
fakta kalau minggu depan kami libur. Kami semua antusias untuk
keluar dari kota kecil tempat kami kuliah ini.
Seperti aku. Aku akan keluar kota hari sabtu sore. Meskipun aku tak
menginginkannya. Aku lebih suka berada di sini.
Tapi aku tak bisa.
"Aku tahu apa yang kau inginkan." Dia mulai berjalan lagi dan
meninggalkanku di belakangnya. Mengejarnya sebenarnya, aku tak
merencanakan akan melakukan hal ini. "Kalian semua sama saja.
Berpikir kalian bisa menunggu disini, berharap bisa mencegatku.
Menjebakku. Reputasiku berkembang jauh lebih hebat dari apa yang
sebenarnya telah kulakukan dengan beberapa temanmu," dia
menegakkan bahunya sembari dia berjalan semakin cepat. Untuk
seseorang sekecil dia, dia benar-benar cepat.
Dia tertawa namun suara tawanya terdengar rapuh. "Kau tak perlu
berbohong Drew Callahan, aku tahu apa yang kau inginkan dariku."
Aku siap berdebat dengannya tentang apa itu seksi. Tip yang
kudapatkan tetap banyak. Aku mendapatkan lebih dari seratus dolar
untuk malam ini saja. Biarpun sebenarnya semuanya telah ku
belanjakan.
Tidak bagus.
Aku menganga kepadanya. Aku merasa seolah aku ini ikan yang
sekarat. Menutup mulutku, dan membukanya lagi.
"Kenapa aku?"
Aku tak menjawab. Aku ingin dia terus berbicara jadi aku bisa
mengingat bagaimana si Drew Aneh Callahan ini memohon padaku
untuk menjadi pacar pura-puranya. Tidak ada momen yang lebih
nyata dibandingkan saat ini.
"Aku tahu kau punya kehidupan dan pekerjaan dan apapun hal lain
yang kau lakukan. Mungkin akan sulit bagimu mengenyahkan
segalanya dan pergi bersamaku selama seminggu, tapi aku
bersumpah, aku akan membuatnya sebanding dengan waktumu."
Bab 2
Waktu: H-2
Fable
Aku masih belum percaya aku setuju untuk melakukan hal ini.Tiga
ribu dolar adalah jumlah yang sangat banyak untuk diabaikan begitu
saja. Dan Drew sangat mengetahui hal itu. Dia telah memilikiku
pada saat angka yang sangat menggiurkan itu keluar dari bibirnya
yang sempurna. Dengan mengacuhkan rasa curigaku dan rasa
khawatir bagaimana susahnya ketika akan keluar kota selama
seminggu dan memastikan duniaku tidak berantakan sementara aku
tidak berada disana, aku telah berkata iya tanpa keraguan.
Ibu kami tidak peduli. Hanya aku yang peduli. Dan sekarang aku
akan pergi selama seminggu. Owen akan berada diluar jam sekolah
hanya selama separuh dari waktu dia bersekolah, namun itu sudah
cukup baginya untuk terlibat dalam masalah.
Tarik menarik-ketegangan- yang sedang terjadi dalam hatiku sudah
hampir mencapai puncaknya.
Owen mulai tertawa, si usil itu. "Kau akan menjadi pengasuh anak?
Kau membenci anak-anak!"
Hampir.
***
Drew
"Itu nama asli dia." aku tidak memiliki penjelasan mengenai hal itu
juga. Sial, aku hampir tidak tahu apa-apa tentang Fable Maguire. Dia
tinggal dipinggiran kota. Dia berusia duapuluh tahun, dia memiliki
seorang adik laki-laki dan dia bekerja di sebuah bar.
Fable juga memiliki rambut pirang pucat yang indah, mata berwarna
hijau, dan payudara yang indah. Tapi aku tidak akan memberitahu
ayahku hal itu. Aku yakin dia akan memikirkan gambarannya
sendiri.
Nada berisik yang mengganggu terdengar lagi dari sana dan aku tahu
ayah sedang memberitahu Adele tentang nama Fable. Aku
mendengar Adele tertawa. Dia seperti seorang pelacur. Aku
membenci Adele. Ibuku meninggal ketika aku berusia sekitar dua
tahun. Aku tidak ingat ibuku dan aku berharap dapat mengingatnya.
Ayahku mulai berkencan dengan Adele ketika aku berusia delapan
tahun dan menikahinya ketika aku sebelas tahun.
"Baiklah, bawa Fable mungilmu untuk tinggal bersama kita, dia kita
terima dengan tangan terbuka." Ayah berhenti sejenak dan
teganganku mulai naik, takut akan pertanyaan yang mungkin dia
ajukan setelah ini. "Kau bukan orangnya, untuk memiliki pacar
tetap.
Belajar dari yang terbaik dalam melakukan hal itu kepada seseorang.
Ayahku orang yang tidak begitu ramah. Aku tidak bisa mengingat
saat terakhir kali aku melihatnya mencium atau memeluk Adele. Dia
sudah pasti tidak akan mencium atau memelukku, kecuali aku
mengijinkannya.
"Apa?"
Bagian yang ter-sial dalam hidupku, tidak, hanya sampai aku bisa
mengungkapkan hal itu kepada ayahku. Jika dulu dia tidak
memahami semuanya, maka, dia sudah pasti tidak bisa
membayangkan hal itu sekarang.
Dia masih tetap diam untuk sesaat dan aku menatap keluar jendela
tapi tidak terlihat apapun juga. Disana gelap, gerimis dan angin
seperti biasanya mendera dahan tak berdaun di pepohonan yang
memenuhi halaman terbuka lingkungan sekitar apartemen tempat
tinggalku, bolak-balik. Aku bisa melihat dahan-dahan itu diayun-
ayun dalam kegelapan.
Tapi aku tidak bisa. Aku terjebak. Aku butuh sebuah penyangga yang
membantuku melewati apapun dalam menyelesaikan satu dari
minggu-minggu terburuk dalam hidupku. Terima kasih Tuhan atas
Fable. Dia tidak tahu sama sekali berapa banyak dia membantuku.
Bab 3
Fable
Jadi aku bertemu dengan Drew di bank lima belas menit sebelum
tutup, dan sebelum aku menuju bar. Kami berbincang beberapa
menit kemudian, tidak ada yang penting, dan kemudia dia
memberiku sebuah cek. Dia benar-benar acuh tak acuh melakukan
hal tersebut, seolah dia terbiasa memberikan seorang gadis cek tiga
ribu dolar setiap harinya.
Ketika aku masuk ke bank seorang diri dan menuju ke Teller, aku
penasaran apa kepanjangan D itu.
Sekarang, aku tengah duduk di truk milik Andrew D. Callahan,
mesinnya mendengkur dengan lembut dan bukannya terbatuk dan
tersedak seolah bisa mati kapan saja seperti Honda ’91 menakutkan
milik ibuku. Aku memberitahu ibuku cerita tentang pengasuh
seperti yang kukatakan pada Owen. Aku juga bilang begitu pada
bosku di La Selle. Mengingat kepergianku pas pada saat bisnis
sedang sepi, bosku tak keberatan dengan itu. Dia tahu keadaan
keuangan kami dan dia bahagia aku menemukan pekerjaan dengan
upah yang tinggi.
Aneh.
Dengan kata lain, aku membutuhkan lebih banyak waktu agar aku
bisa menghapal keseluruhan cerita tentang aku dan Drew hingga
kami bisa terlihat selayaknya pasangan sebenarnya.
Yang mana itu adalah hal bagus, aku berkata pada diri sendiri. Dia
adalah pengemudi yang aman, waspada terhadap segala sesuatu di
sekitarnya.
Tapi, sebenarnya aku sungguh berharap dia memandangku.
Memberiku senyuman untuk menenangkanku. Sialan, bahkan
ucapan ‘Semua-akan-baik-baik-saja’ yang palsu sekalipun akan
membuatku bahagia sekarang ini.
Palsu.
"Well." Aku berdehem, karena aku merasa seolah-olah aku sudah tak
sabar untuk terjun dan berenang sementara dia masih ingin berlama-
lama di pantai. "Berapa lama sudah kita berkencan?"
Tapi ketika segalanya selesai, ketika aku keluar dari pikiranku yang
berkabut, aku merasa murahan. Kotor. Semua kisah klise yang kau
baca di buku atau kau tonton di TV, itulah aku. Aku adalah kisah
klise Berjalan.
Aku juga adalah pelacur kota yang tak sekotor yang dipikirkan orang
—lagi-lagi, Klise. Dan tentu saja aku bukanlah tipe wanita yang
akan kau bawa pulang ke rumah untuk membuat ibumu terkesan.
Tak ada yang istimewa tentangku.
"Kau kan tak mengetahuinya. Dia meninggal ketika aku dua tahun."
Dia mengangkat bahunya. "Aku tahu ayahku akan menyukaimu."
"Apa kau juga terlibat masalah ketika berusia tiga belas tahun?" Aku
tak bisa membayangkan hal tersebut.
"Ya, tapi ayahku serius. Disamping itu, lebih mudah melakukan apa
yang seharusnya kulakukan dan tidak mendapatkan masalah. Aku
kehilangan diriku jika aku berbuat ceroboh, kau tahu?"
Drew
Ayahku menghawatirkan aku. Aku tahu dia berpikir aku ini cengeng
yang tak bisa dilepaskan sendiri dan itu mengganggu pikirannya. Dia
mengkonfrontirku dengan pertanyaan tak masuk akal yaitu apakah
aku homo atau bukan.
Sialan. Aku tahu aku brengsek karena melakukan hal itu, berpikir
begitu. Menggunakan Fable dengan cara menjijikan semacam itu,
tapi itu bukanlah satu-satunya alasannya ikut bersamaku sekarang.
Bukannya aku bisa mengatakan yang sebenarnya kepadanya, tapi
bagaimana jika aku mengatakannya? Dia mungkin akan mengerti.
Dia terlihat seperti jenis wanita yang akan bisa mengerti. Seseorang
yang mungkin juga mengalami omong kosong seperti yang terjadi
padaku.
"Ya, hanya aku dan Owen. Dan ibuku." Suaranya mengeras. Aku
menduga dia tak begitu menyukai ibunya.
Sama sepertiku.
"Dia jarang di rumah untuk bisa akur dengan siapapun. Aku selalu
bekerja dan dia bisanya cuma menghabiskan waktu bersama pacar
barunya." Kepahitan dalam suaranya terdengar jelas. Tak ada cinta di
antara mereka berdua.
"Dan ayahmu?"
Aku tak tahu harus berkata apa. Sebenarnya aku tak nyaman
membicarakan hal pribadi seperti ini. Aku punya teman, tapi ada dari
mereka yang benar-benar dekat. Teman mainku adalah teman se-
timku di sepakbola dan kami hanya membicarakan masalah
sepakbola dan olahraga lain dan omong kosong lainnya. Terkadang
kami membicarakan masalah wanita. Aku hanya duduk dan
mendengarkan mereka bercerita dan tertawa pada apapun yang
mereka katakan. Aku tak benar-benar bergabung dengan mereka.
Aku tak punya sesuatu yang bisa kuceritakan.
"Kenapa aku?"
"Kenapa kau memilih aku untuk jadi pacar palsumu? Aku tahu aku
bukan pilihan ideal. Jujur saja sekarang."
Dia pasti pembaca pikiran. "Aku tahu kau tak akan memberiku
masalah."
"Apa maksudmu?"
Aku tahu aku akan mengacaukan hal ini, aku bisa merasakannya
hingga ke tulang belulangku. "Gadis lain tak akan mau hanya
menjadi pacar pura-pura. Dia akan benar-benar ingin berhubungan
denganku, kau tahu? Dan aku tahu kau tak akan begitu."
"Itu uangku, jangan khawatir." Aku punya uang yang kusimpan atas
namaku sendiri. Ayahku bekerja di bidang keuangan dan
menghasikan banyak uang sepanjang karirnya. Dia amat murah hati,
terutama ketika sekarang aku adalah anak satu-satunya. "Dan jangan
menyebut dirimu pelacur. Kau bukan pelacur." Aku tak ingin dia
merasa demikian, bahkan jika apa yang telah dilakukannya dengan
pria lain mungkin menunjukkan bahwa dia pantas disebut pelacur,
seks adalah hal terjauh yang ada dipikiranku ketika berkaitan
dengannya.
"Tidak akan ada seks," dia mengatakannya lagi. Hampir seperti dia
mencoba meyakinkan dirinya sendiri sama sepertiku. "Tak juga oral
seks."
Benar kan?
"Aku mungkin akan menciummu juga." Ya, aku juga tak pernah
membayangkan hal itu.
"Tentu saja, aku bisa." Aku terdengar lebih percaya diri daripada
yang sebenarnya kurasakan.
"Jika menurutmu begitu." Dia meringkuk seolah ingin tenggelam di
tempat duduknya.
Sialan, aku tahu dia benar menilaiku. Hal itu akan membuatku panik.
Dan aku makin panik ketika sepertinya hal itu tak begitu
menggangguku.
***
Bab 4
Malam sebelumnya (Tak dihitung)
Drew
Apakah dia akan bercerita tentangku pada orang lain? Aku bahkan
tak memikirkan hal itu. Sekali lagi itu membuktikan bahwa aku tak
memikirkan rencana ini matang-matang. Hal ini hanya akan
menyakitiku ketika semua berakhir nanti. Aku bisa merasakannya.
Aku tak boeh percaya pada siapapun.
Tak seorangpun. Dan tentu saja tidak boleh percaya pada cewek
yang sedang duduk di sampingku ini, dia mengunyah jari
telunjuknya seolah ingin menelannya beserta dengan tulangnya. Dia
gugup, tapi yang di rasakannya tak sebanding dengan yang
kurasakan.
"Dengar. Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku punya perasaan
kalau ini akan sulit bagimu. Apakah aku betul?" Dia menempatkan
tangannya di tanganku di atas setir, sentuhan lembut jemarinya di
buku jariku. Aku mencoba menepiskan pegangannya tapi dia tak
bergeming. Aku terguncang dia mencoba mencari tahu dan
meyakinkan aku.
"Menurutku tak begitu. Sialan, aku tak yakin." Dia tersenyum dan
senyumnya menenangkan hatiku ketika aku melihatnya.
"Hanya..jangan lupa untuk bernafas, OK? Aku tahu kau tak ingin
memberitahuku ada apa denganmu, atau kenapa kau begitu
membenci keluargamu, tapi aku bisa mengerti. Aku benar-benar
memahaminya dan jika kau ingin menjauh dari mereka, bahkan jika
hanya selama lima menit, aku akan membantumu. Kita harus punya
sebuah kata kode atau semacamnya."
"Benar-benar kata acak kan? Dan juga tak ada arti apa-apa. Itu yang
membuatnya lebih baik." Senyumannya mengembang, begitupun
dengan senyumanku.
Fable
Drew bahkan tak menyadari hal itu. Dia terlalu fokus kepada dua
orang yang tengah duduk di sofa, keduanya mengenakan kain
beludru mewah berwarna cokelat tua untuk membungkus tubuhnya
yang tinggi dan langsing itu, keduanya menyambut kami dengan
langkah cepat.
Dia menempatkan penekanan ekstra pada kata Pacar, dan mata Adele
berkedip dengan jijik. Secepat ekspresi jijiknya itu muncul, secepat
itu pula menghilang.
Tapi pria tua ini seolah tengah mengamatiku dengan cara yang
membuatku tak nyaman. Tatapannya membuatku ingin menggeliat
dan lari tunggang langgang dari tempat ini.
"Adele merasa dia tak berselera ke country club malam ini," ayahnya
menjelaskan.
Menakutkan.
"Kupikir hal itu tidak pantas," Adele berkata seolah tak peduli,
menekan bibirnya. Ketidaksetujuannya tergambar jelas.
Ayah Drew memutar matanya. "Dia sudah dua puluh satu tahun,
Adele. Berikan dia sedikit privasi."
Hah. Jadi ibu tirinya tak suka jika kami bermalam bersama dengan
ketakutan kami akan dihukum oleh Kemurkaan Tuhan atau apa, dan
sang Ayah seolah menyemangati kami untuk melakukannya dengan
mempersilahkan kami menempati tempat perlindungan dan kabur.
Semua ini benar-benar aneh.
Mereka punya koki. Aku seolah melayang. Ada begitu banyak uang
yang mengalir di sini dan setiap orang terlihat begitu sengsara atau
rapuh atau begitu palsu, lalu bagaimana mereka bisa bahagia? Aku
selalu percaya uang bisa membeli kebahagiaan. Aku menghitung
gumpalan uang tunai di simpananku yang bisa membuatku dan
Owen bahagia setidaknya untuk tiga bulan, walaupun aku tahu kami
harus berhemat.
Aku mulai menyadari bahwa uang sama sekali tak bisa membeli
kebahagiaan. Dan aku mulai lagi sekarang. Aku menjalani kisah
klise lain lagi.
***
Drew
"Apa kau tertawa karena aku mengatakan hal yang sebenarnya, atau
karena kau pikir akan lebih mudah tertawa alih-alih berteriak padaku
karena telah menghina orangtuamu?" Fable terdengar sedikit gugup,
tapi aku mendeteksi rasa malu daam suaranya.
"Kau luar biasa jujur dan aku menghargainya," akhirnya aku bisa
menemukan suaraku lagi. "Dan aku setuju, mereka memang aneh."
"Aku tak melihatnya seperti itu. Aku hanya akan mengatakan hal ini.
Lain kali jika kau membawa pacar palsu lain kemari, setidaknya kau
memberinya cukup peringatan."
Aku terkekeh. Aku tidak akan pernah melakukan hal ini lagi. Jika
semua terserah padaku, aku tidak akan kembali ke rumah ini. Aku
tak peduli seberapa indah rumah ini. Aku membencinya. Rumah ini
seperti penjara bagiku.
Fable
Aku menunggu jawabannya sembari menahan nafas. Udara menjadi
dingin, angin yang berhembus membuat tulang belulangku
membeku. Aku menyalahkan dampak tiba-tiba nikotin yang
menyerangku karena telah menanyakan hal tersebut. Aku bisa
menunggu setidaknya satu dua hari ini, kan? Nongkrong bersamanya
dulu, menghabiskan waktu berdua.
Mulut besarku dan otakku yang terlalu penasaran tak bisa menunggu
barang sedetik lebih lama. Aku harus mengetahuinya. Itu akan
membuat tujuh hari berikutnya menjadi lebih mudah. Aku tak akan
khawatir dia akan mendekatiku atau apa.
Dia terkekeh dengan muram dan aku tahu aku sudah kelewatan tapi
aku langsung merasa lega karena tahu dia tak marah. "Tentu saja aku
sudah tidak virgin lagi. Hanya saja..sudah agak lama."
Aku merokok karena aku gugup dan sangat menyebalkan karena dia
tak menyetujuinya, tapi aku tak bisa menahannya. Aku mulai
merokok ketika SMA karena duu kupikir itu keren dan untuk alasan
tertentu, musim panas setelah aku lulus aku berhenti merokok.
Sebagian besar waktuku.
"Kita akan punya segudang rahasia di antara kita ketika minggu ini
berakhir." Dia tak bertanya, hanya membuat pernyataan dan dia
benar.
"Ya, tentu saja." Aku tersenyum padanya, tapi dia tak membalasnya.
Alih-alih begitu, dia berbalik dan meninggalkan teras, melangkah
kembali kearah rumah, pintu menutup di belakangnya dan terkunci
dengan suara klik pelan.
Bab 5
Hari ke-2, jam 2 siang.
Fable
Dia berbohong. Sekolah hanya masuk setengah hari pada hari rabu
saja tapi tak ada gunanya mendebatnya dalam hal ini. Aku di luar
kota. Tak ada yang bisa kulakukan. "Apa ibu pulang semalam?"
Yaiks! Aku bersyukur tak ada disana. Biarpun aku ada di rumah,
ibuku tak pernah membawanya ke sana. Bahkan dia juga jarang
berada di rumah. "Apakah dia baik?"
"Tidak, dia bajingan. Memerintahkan ibu mengambilkannya bir
sepanjang malam. Akhirnya aku bilang padanya untuk mengambil
bir sialannya itu sendiri."
"Tentu saja aku bilang begitu. Dia benar-benar kasar dan dia
pemabuk. Ibu pantas mendapatkan yang lebih baik darinya."
Aku tak bisa sepakat dengannya dalam hal ini karena kau berpikir
ibuku tak pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia telah membuat
pilihannya sendiri selama bertahun-tahun, dan pilihannya selalu
sama. Aku sudah tak dapat menghitung barapa banyak pemabuk
kasar yang telah berhubungan dengan ibuku. Owen tak
menyadarinya karena sedapat mungkin aku menyingkirkannya
ketika ibu bersama dengan pacarnya.
"Bagaimana dengan anak-anak nakal yang sedang kau jaga itu? Kau
tak bisa begitu saja membuang pekerjaanmu."
"Bisa saja jika kau dalam masalah. Tak ada pekerjaan yang lebih
penting dari keluarga sendiri." Aku menatap sekitarku, menyaksikan
orang-orang yang cantik dan tampan meluncur melewatiku. Sangat
dingin di sini, kabut menggantung menyelubungi langit sekitar, agak
lebih mirip awan dan jalanan dipenuhi oleh turis lokal maupun asing.
Tak perlu menjadi jenius agar mereka mengerti masalahku.
Hatiku meluncur jatuh ke dasar perutku. Dia bekerja paruh waktu dia
toko dan bekerja demi mendapatkan upah minimum. Tak banyak,
tapi kami membutuhkan semua yang bisa dihasilkannya. Uang dari
Drew mungkin hanya bisa menghidupi kami sedikit lebih lama,
apalagi sekarang dia sudah jadi pengangguran. "Hebat. Kapan
tepatnya itu terjadi?"
"Pagi ini. Dia mengirimiku pesan dan memberitahuku. Dia bilang
akan tinggal di tempat Larry malam ini."
"Jadi malam ini kau akan sendirian?" Sialan. Tidak. Itu adalah hal
terakhir yang kuharapkan terjadi.
"Aku akan ke rumah Wade, jadi tak perlu khawatir. Aku akan
menginap di sana." Kata-kata yang diucapkannya membuat rambut
di tengkukku meremang.
Dia bohong, aku yakin itu. Aku benar-benar bisa membaca gelagat
anak ini dan seharusnya aku yang menjadi ibunya. "Seharusnya
memang begitu. Aku akan menelepon kediaman Wade malam ini
untuk memastikan kau di sana."
"Tunggu dulu Fable. Apa ini, kau tak bisa mempercayaiku?" dia
merengek, terdengar seperti adik kecilku dulu. Pertanda lain dia
tengah berbohong.
Marshmallow.
Sialan.
"Hey, aku harus pergi, tapi aku akan meneleponmu nanti malam dan
aku akan bicara dengan Ibunya Wade. Pastikan kau berlaku baik dan
kerjakan PRmu dan hal-hal lain yang harus kau kerjakan."
Aku tak bisa datang menolongmu jika aku tak tahu di mana kau
berada.
Di restoran di jalan Sixth and Ocean. Aku ingin pergi dari sini. Aku
akan menunggumu di luar.
Drew
Fable sangat seksi. Seksi luar bisa dengan badannya yang indah yang
telah kulihat dalam berbagai kesempatan ketika dia telanjang
sepanjang kami berada di pavilion. Aku melihatnya hanya
mengenakan handuk pagi ini ketika dia menyelinap keluar dari
kamar mandi dan melesat melintasi ruangan menuju ke kamarnya.
Dia bahkan tak melihatku.
Dia.
"Oh." Bahkan itu bukanlah sebuah kata, tapi menuntut jawaban juga.
Sesuatu yang juga tak bisa kujawab.
Pelayan bar berhati mulia ini bernama Fable. Terdengar seperti kisah
dongeng di dunia modern.
Jadi apa yang dia senangi selain menghabiskan waktu di pantai? Aku
tak tahu apa-apa tentang cewek ini. Ketika aku tahu sesuatu, aku tak
bisa benar-benar memahaminya. Kami benar-benar bertolak
belakang dalam banyak hal.
"Jadi apa yang sering kau lakukan selama kau tak bekerja?" dia
melihatku dengan tatapan aneh, dan aku merasa bodoh. " Kau tahu
kan, misalnya hobi dan sebagainya."
"Dulunya?"
"Di sini kau rupanya." Aku berbalik dan melihat ayahku keluar dari
restoran, dia jelas-jelas terganggu. Dia memandang Fable dan
rahangnya mengeras. "Kupikir percakapan kita belum selesai," dia
mengatakannya dengan tajam.
"Aku butuh bantuan Drew. Aku tak bisa memutuskan sepatu mana
yang harusnya kupilih."
Dia benar-benar hebat. Belum dua menit yang lalu dia bilang dia
membenci belanja dan sekarang dia menjadi pacar yang tersenyum
simpul yang tak bisa memutuskan membeli apa tanpa saran dariku.
"Ada acara apa malam ini?" Hebat. Aku tak ingin menjadi tontonan
orang-orang. Sudah cukup buruk ketika kami harus pura-pura
dihadapan ayah dan Adele. Akan menjadi lebih sulit melakukannya
di depan orang banyak.
"Aku tak punya apapun yang bisa kugunakan untuk acara makan
malam yang mewah." Kedengarannya dia tertekan. "Kau tak pernah
bilang aku harus mempersiapkan sesuatu yang semacam itu."
Aku ingin dia tahu bahwa bukan hanya dia yang bisa menolongku,
akupun ingin menolongnya. Aku tak ingin dia menjadi tak nyaman.
Aku tak akan membiarkan orang tuaku mempermalukannya dan
membuatnya merasa dia tak pantas bersama mereka. Sudah terlalu
buruk karena kami berdua menyadari hal itu.
Tapi aku merasa akupun tak pantas berada di sini. Dari luar mungkin
kelihatannya aku pantas-pantas saja, tapi di dalam? Sama sekali tak
pantas. Tak ada yang tahu petaka apa yang telah kujalani di tempat
ini.
Apa yang aku tahu tentang gaun pesta? "Aku akan membantumu,"
aku bilang begitu karena memang itu yang seharusnya kukatakan.
Ah, sialan. Mimpi burukku sedang jadi kenyataan. Aku satu SMA
dengan cewek ini. Kaylie, kupikir itu namanya. Yep, tanda pengenal
di dadanya bertuliskan Kaylie. "Apa kabar?" aku menyapanya
lemah.
"Apa yang selama ini kau kerjakan? Selain Football tentu saja. Kau
tak sering pulang kemari." Dia pura-pura cemberut. "Semua orang
merindukanmu."
"Wow, tampaknya kami tak bisa menerima alasan itu. Kau sudah
lama tak kembali ke kampung halamanmu ini." Sepertinya dia sudah
benar-benar lupa tentang Fable, pelanggan yang seharusnya
dilayaninya. Alih-alih begitu, Kaylie tampaknya lebih fokus
kepadaku.
"Um, kau bilang tadi akan mempersiapkan ruang ganti?" Fable tiba-
tiba bertanya.
"Benar. Sepatu."
"Aku pasti akan menemukan sesuatu. Temui aku di ruang ganti lima
belas lagi." Dia tersenyum padaku dan itu menyerangku seperti
serangan fisik di dadaku, menarik udara keluar dari paru-paruku.
Aku ingin membuatnya tersenyum seperti itu lagi kepadaku.
Senyumannya asli. Bukan senyum murahan ketika orang-orang
melihatnya atau senyuman ‘kau-adalah-cowokku-yang-seksi’ palsu
yang diberikannya ketika ayahku melihatnya. Senyuman kali ini
adalah senyuman yang asli.
Hebat.
Aku tak pernah punya tipe cewek. Aku tak pernah punya cewek
tetap selama SMA. Aku terlalu sibuk bermain Football dan baseball.
Aku harus memilih di antara keduanya setelah aku memainkan
kedua permainan itu selama menjadi mahasiswa baru. Dan hampir
tak ada waktu untuk berkencan.
"Berapa lama kalian berdua jadian?" Kaylie bertanya ketika aku tak
menjawabnya.
Fable
Setelah mencoba seabrek pakaian selama lebih dari tiga puluh menit,
akhirnya aku menemukan satu yang sempurna. Sepertinya aku sudah
tahu yang satu ini akan jadi yang sempurna karena aku
menyimpannya sebagai yang terakhir. Drew masih menungguku
dengan sabar di luar, pelayan di ruang ganti menyediakan kursi
untuknya dan hal-hal lainnya.
Aku suka keluar dari ruang ganti dan menunjukkan apa yang
kukenakan. Dia duduk disana membungkuk di kursinya, badannya
yang besar menggeletak begitu saja di tempatnya, kakinya melebar
ke semua arah dan wajahnya terlihat bosan. Aku membuatnya
tersiksa, aku tahu itu, tapi matanya bersinar tiap kali dia melihatku,
meskipun bajunya jelek.
Dan dia juga jujur. Aku menghargainya. Ketika aku memakai baju
yang benar-benar jelek, dia akan langsung berkata jelek. Sejauh ini
dia suka pakaian yang pertama kali ku coba, dan aku tahu gaun itu
sempurna tapi yang satu ini..pakaian yang kupakai ini, benar-benar
indah hingga hampir membuatku menangis.
Dan juga, harganya hampir mencapai empat ratus dolar, yang paling
mahal di antara semuanya. Rasa bersalah melandaku. Aku tak
seharusnya menginginkannya. Itu uang yang sangat banyak. Tapi, oh
Tuhan, baju ini kelihatan begitu indah ketika kupakai dan aku tak
suka membual tapi..ya. seperti yang kukatakan pada gadis bodoh
kenalannya Drew itu, payudaraku terlihat indah dalam pakaian ini,
terlihat menggantung dan terlihat jelas. Segalanya tentang gaun ini
begitu bersahaja.. berkelas..
Dan seksi.
Yeah. Benar.
"Harga gaunnya hampir empat ratus dolar," aku berbisik. Aku bisa
membeli berton-ton belanjaan dengan uang sebanyak itu. Membayar
sebagian besar tagihan kami. Membeli gaun yang mungkin hanya
akan kupakai sekali terdengar sangat gila.
"Rencananya akan ada acara apa?" Kaylie terdengar ceria dan manis
tapi ada setitik racun di dalam suaranya. Gadis ini terlihat siap
membenamkan cakarnya pada Drew.
"Oh, aku juga akan ada di sana. Kita harus duduk bersama." Dia
cekikikan dan aku menyelinap kembali ke ruang ganti, menutup
pintu dengan kekuatan yang bisa meretakkan dinding.
Duduk bersama (hook up). Pilihan kata yang sempurna. Jika dia tak
benar-benar memperhatikan, aku ingin sekali memberinya tinju
kanan (right hook)ku ke hidungnya yang terlalu sempurna itu.
***
Bab 6
Hari ke-2, jam 6:17 sore
Fable
Aku benar-benar berharap nenek sihir itu tak akan datang ke pesta di
Country Club malam ini. Semua sudah cukup kacau tanpa dia harus
menambah masalahku.
"Beri aku waktu dua menit lagi." Aku memaksa mataku beralih
darinya dan mengambil lipgloss pink pucat dari dalam tas
kosmetikku. Aku membuka tutupnya dan mengoleskannya di
bibirku, dan mengusapkan kedua bibirku dan mengamati
bayanganku di cermin.
Pikiranku sudah mulai melantur tak terkendali dan ada masih banyak
hari tersisa untuk kami. Aku akan menjadi sangat berantakan ketika
Thanksgiving berlalu.
Kau bisa melaluinya. Dia hanya cowok biasa. Dan cowok tak pernah
ada artinya bagimu.
"Kau siap?" dia akhirnya bertanya ketika aku hanya terdiam terlalu
lama.
Orang tuanya tak banyak bicara dan itu membuatku gelisah. Aku
menduga mereka sedang bertengkar. Atau mereka masih marah
karena aku berdandan terlalu lama. Drew sudah meyakinkanku
bahwa makan malam itu tidak akan mulai sebelum jam tujuh malam
jadi bahkan sekarangpun kami masih punya waktu setengah jam.
Tapi mungkin saja mereka mereka senang tiba lebih awal agar bisa
memilih meja yang bagus. Sialan, aku tak tahu apapun.
"Dumbledore?"
"Bukan."
"Dylan."
"Ah, nama itu memang cocok dengan semua Callahan khususnya
yang agak berbau Irlandia, tapi itu tebakan yang salah."
Aku kembali mencari nama yang tepat yang berawalan dengan huruf
D, tapi semuanya menggelikan, ketika akhirnya aku menemukan
satu yang sempurna.
Drew
Sekarang, aku bahkan tak peduli. Dan seharusnya aku tak pernah
peduli. Apapun alasan mereka bertengkar bukanlah urusanku.
"Ya," Aku berbisik, menelan ludah dengan sulit. Sial, orang tuaku
berada di sini. Adele hanya perlu memalingkan kepalanya sejauh dua
inchi dan dia akan melihat kami. Dia tak akan suka jika aku
mencium Fable di depannya. Dia mungkin akan murka. Aku tak tahu
apakah aku ingin mengambil risiko ini.
Selama dua detik aku tak peduli jika orang tuaku melihat kami atau
tidak. Aku tersesat dalam sentuhannya, aku tersesat ketika tubuhnya
meliuk di tubuhku, pada rasa bibirnya, pada bunyi nafasnya.
Ciuman ini bukan untuk pertunjukan kasih sayang kami. Ini bukan
untuk membuat orang terkesan. Kami berciuman karena kami ingin
melakukannya. Dan kami juga tak menghentikannya.
***
Baru dua hari kami menjalani hubungan palsu sialan ini dan
disinilah kami sekarang, memeluk satu sama lain seperti remah
Pretzsel dan berharap kami tak perlu harus melepaskan satu sama
lain segera.
Dia kelihatan lebih cantik sekarang karena aku lah orang yang
membuat matanya berbinar dan pipinya merona.
"Kita apa?" Aku bertanya, tak menjauh sedikitpun darinya. Aku tak
ingin melepaskannya. Terasa begitu menyenangkan, menyentuhnya,
telapak tanganku di setiap lekukan tubuhnya, bibirnya menyatu
dengan bibirku.
Sialan, aku tak pernah berpikir seperti ini. Aku selalu melakukannya
seperti orang gila. Ciuman, seks, dan semua hal keparat itu
membuatku merasa… Entahlah, aku tak bisa menjelaskannya. Seks
membawamu ke tempat yang buruk. Ke tempat di mana kau
melakukan sesuatu yang tak ingin kau lakukan. Atau melakukan
sesuatu yang terasa begitu nikmat, tapi kau tahu itu salah. Seks
untukku selalu terasa.. memalukan.
Aku membencinya. Aku benci merasa bersalah melakukan sesuatu
yang begitu menakjubkan. Aku benci terlibat dengan seseorang yang
tak seharusnya, dan mereka menghancurkan segala milikmu.
Fable.
Jadi aku fokus pada segala sesuatu yang tak penting. Seperti
bagaimana kami harus menempuh jarak sejauh 17 mil ke sini, jadi
aku bisa mengerling ke arah rumah dan dan lautan dan mengingat
seluruh keindahan dan kemewahannya. Tak mungkin aku akan rindu
untuk melihatnya, terutama ketika kami sedang sangat dekat. Rumah
yang luar biasa dan taman yang indah, semuanya begitu indah dan
hampir-hampir terasa menyakitkan melihatnya terlalu lama. Ya, aku
harusnya lebih fokus pada pemandangan yang indah dan lautan.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tua yang besar sekali, dan
pintuku terbuka, seorang pria dalam seragam hijau tua-putih dengan
senyum ramah menatap ke dalam mobil. "Boleh saya bantu, Nona?"
Aku tak memperhatikan apa yang dipakainya tadi di rumah, jadi aku
melihatnya sekarang. Gaunnya berwarna biru gelap, panjang dan
dengan pas membalut tubuhnya yang ramping, dari leher hingga
kakinya. Gaun itu tak terlalu menampakkan kulitnya, tapi
memperlihatkan badannya yang jenjang, menunjukkan tak ada
sedikitpun lemak di tubuhnya.
Aku benar-benar telah tertarik pada cowok ini. Aku berada dalam
masalah besar. Bagaimana jika dia tak merasakan hal yang sama?
Bagaimana nantinya? Aku tak tahu harus bagaimana. Aku telah
sepakat dengannya untuk melakukan ini, dan kini aku harus
menerima konsekuensinya, apapun yang akan terjadi.
Aku tak memahami kontrol yang dimiliki wanita itu terhadap Drew.
Drew menggunakanku untuk membuatnya terganggu, juga tak ingin
berada dekat-dekat dengannya. Tak satupun yang masuk akal.
"Ya," akhirnya aku menjawab pertanyaannya karena aku tak tahu apa
lagi yang harus kulakukan. Kami harus menghadapi kenyataan dan
kerumunan itu mananti kami di dalam.
Bab 7
"I've never dropped anyone I believed in"—Marilyn Monroe
Drew
Tapi cewek ini…dia tak seperti omong kosong lainnya. Dia nyata
dan dia sangat cantik dan terasa begitu pas ketika aku memeluknya.
Dia membuatku merasakan sesuatu.
Itu adalah hal terbodoh dari semuanya. Seolah aku ingin menyiksa
diriku sendiri. Tapi jika rasanya menyenangkan bersama dengannya,
mengapa aku harus berhenti?
Aku benci suara dalam kepalaku itu. Suara itu mengingatkanku pada
semua kesalahanku, semua hal buruk yang telah kulakukan. Aku
adalah orang baik dan aku tahu itu. Aku tak butuh peringatan
berulang-ulang.
"Drew, di sini kau rupanya!" Sialan, itu Kaylie yang kali ini bersama
dengan dua temannya membuntutinya di belakang. Cewek-cewek
teman sekolahku dulu, dan mereka semua berdandan seperti boneka
Barbie. Dan sangat sulit membedakan mereka. "Kami sudah
mencarimu kemana-mana. Kau ingat Abby dan Ella, kan?"
"Aku tak pernah tidur dengannya." Suaraku melembut, aku tak ingin
membuatnya marah. Aku menyentuhnya, menjalankan jemariku di
pipinya dan memandang bibirnya. Aku ingin menciumnya.
Meyakinkannya kalau tak pernah ada apa-apa di antara aku dan
Kaylie, tak ada kisah, tak ada apapun.
Aku sudah memilikinya, dan kini tak lagi. Dan aku tak tahu kenapa.
Dia mendorong mundur kursinya dan berdiri, menyodorkan
tangannya ke arahku. "Boleh kuminta teleponku?"
Tuhan. Aku tahu hal ini akan terjadi pada akhirnya, tapi jangan di
tempat ini. Ketika kami dikelilingi ratusan orang. "Jangan
membahasnya."
Aku dipenuhi rasa malu dan aku berdiri begitu cepat. Kursiku jatuh
ke lantai dengan suara yang memekakkan telinga. Semua orang di
meja kami memandangku, dan leherku membara dalam rasa malu.
Yang kutahu adalah aku butuh udara segar. Aku menuju ke teras.
Fable
"Tapi itu terlalu cepat. Wade tak naik tempat tidur sampai jam
sebelas." Dia merengek. Lagi-lagi. Mengingatkanku kalau dia masih
belum dewasa dan masih punya banyak sifat anak-anak, walaupun
dia susah payah ingin membuktikan bahwa dia adalah pria dewasa
yang bisa menjaga dirinya sendiri.
"Well, itu terserah Wade. Aku masih berpikir kau harus berada di
tempat tidur setidaknya jam sepuluh." Tapi aku pasrah, aku yakin dia
tak akan mendengarkanku.
Aku tak suka jauh darinya. Ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang
disembunyikannya dariku, tapi aku tak yakin apa itu. Aku hanya
berharap dia menjaga sikapnya setidaknya hingga aku pulang.
Para lelaki dan rahasia-rahasia mereka. Dan aku tahu Drew punya
segudang rahasia. Aku tak tahu apa itu, tapi aku yakin itu sesuatu
yang serius. Dia memendam semuanya di dalam dirinya dan itu
membuatnya tertekan. Aku merasakannya ketika dia menciumku dan
memelukku. Tubuhnya kaku, seolah dia lebih ingin memeluk dirinya
sendiri.
Aku tak ingin dia begitu. Tidak dulu, ataupun sekarang. Terutama
sekarang. Dia mengelabui semua orang dengan penampilannya saat
ini, tapi aku mulai penasaran bagaimana sebenarnya Drew. Atau
apakah dia bahkan mengenal dirinya sendiri?
Dia kelihatan jengkel dan amat sangat tampan hingga aku berharap
bisa memotretnya. Jadi aku bisa mengabadikan moment luar biasa
ini dan akan menyimpan foto itu—dan juga dirinya—bersamaku.
Aku ingin tahu rasanya, menjadi kebas akan semua hal luar biasa ini.
Tentu saja, aku sudah kebas dengan semua hal duniawi di
sekelilingku. Kehidupan nyaman memang membuat kita kebas.
Mengingatkanku pada salah satu lagu kesukaan ibuku.
"Sedikit," jawabku.
Dia terkekeh. "Kalau saja aku punya jaket, akan kuberikan padamu
untuk kau kenakan."
Apakah sesuatu terjadi ketika aku pergi? Dia tak kelihatan terlalu
marah, tapi karena aku tak begitu mengenalnya jadi aku tak yakin.
Aku tak menjawabnya, menyadari jika hal terbaik yang harus
kulakukan adalah tetap diam, mencoba menenangkannya dan dia
tak mengucapkan sepatah katapun.
Aku tertawa, dan ingat bahwa aku tak sedang mengejeknya, dan
berharap dia tak berpikir seperti itu. "Aku akan mengerti lebih dari
yang kau kira."
Bab 8
Hari ke-3, jam 7:02 malam
Seharian ini dia mengabaikanku, dan itu bagus. Serius. Aku tak
keberatan ditinggalkan sendirian di paviliun ini karena, oh Tuhanku,
hal terakhir yang kuinginkan adalah menghabiskan waktu bersama
dengan orang tuanya. Drew pergi main golf dengan ayahnya tadi
pagi dan aku belum melihatnya sejak itu. Aku bahkan tak tahu dia
sudah kembali atau belum. Dari semua yang kuketahui, mereka bisa
saja tengah berkumpul bersama sementara aku tertahan di rumah ini
sendirian.
Akhirnya, aku tak tahan lagi dan menendang pintu terbuka dan
mendapatinya sedang mencoba bersembunyi di depanku. "Mencari
seseorang?" aku bertanya padanya, berusaha terdengar sekurang ajar
mungkin.
"Kuyakin kau memang berharap aku tak ada di rumah." Aku tak tahu
apa yang membuatku berani bicara seperti ini padanya, tapi sudah
terlanjur. Perjalanan kembali ke rumah tadi malam benar-benar
menyiksa. Tak ada yang bicara pada satu sama lain dan ketegangan
hampir tak tertahankan. Benar-benar bertolak belakang dengan
ketika kami menuju ke Klub Country itu, ketika Drew menciumku
dan tangannya berada di seluruh tubuhku.
"Kau tak akan bertahan lama, jika saja kau tahu. Kau bukan
tipenya."
Aku mengerutkan kening. Tentu saja, aku bukan tipenya. Itu terlihat
dengan jelas, tapi aku tak pernah menduga Jalang ini akan
mengatakannya dengan terang-terangan seperti ini. "Dan tepatnya,
bagaimana tipe cewek Drew?"
Tapi, dia yang membawaku masuk ke dalam kekacauan ini. Dia yang
membuat ini menjadi urusanku, kan?
Meskipun Adele pergi tiga puluh menit yang lalu. Dan itu
membuatku panik. Bagaimana jika dia pergi menemui mereka?
Sialan. Aku tak tahu harus berbuat apa?
Ketika akhirnya pintu membuka tepat jam tujuh tiga puluh, aku
dipenuhi perasaan lega. Aku mendengar gema langkahnya di lantai,
melihatnya berjalan, menuju ke kamarnya ketika aku duduk di ruang
santai. Selimut bulu imitasi lembut menutupiku dan aku seolah
tenggelam di sofa. Dia tak menyadari kehadiranku dan tak repot-
repot mengatakan apapun.
Tidak sampai dua menit kemudian dia keluar dari kamarnya, masuk
ke ruang santai dan berhenti seketika ketika melihatku. "Hai."
"Aku tak melihatmu ketika masuk tadi." Dia terlihat luar biasa
dengan sweater bertudung berwarna hitam dan celana khakinya,
rambut gelapnya berantakan karena angin. Aku berani bertaruh
jutaan dolar bahwa dia memakai kaus Polo di baik sweater-nya,
walaupun dia tak akan memakai celana kotak-kotak berbahan kargo.
Walaupun aku tak tahu apapun tentang golf.
"Ya, tapi kau adalah tamuku. Aku yakin kau bosan seharian ini." Dia
mendekat ke sofa dan saat itulah baunya menghantamku.
Tapi ketika aku membauinya di La Selle, itu berbeda. Aku sibuk, aku
selalu bergerak, aku melayani pelanggan, dan kemudian melarikan
diri. Ketika berhadapan langsung, bau bir mengingatkanku pada
ibuku dan semua pacarnya yang menjijikkan. Bagaimana mereka
selalu mabuk. Hampir semua pria yang pernah bersama ibuku adalah
seorang pecandu alkohol dan seorang pemarah.
Entah untuk alasan apa, aku ingin menjadi orang yang dia ijinkan
memasuki hatinya. Mungkin aku bisa menolongnya, mungkin juga
tidak. Tapi dia perlu rasa nyaman, kuyakin.
Seperti jiwa yang menemukan belahannya, kau tahu. Terdengar
norak, aku mulai percaya kami bertemu untuk sebuah alasan.
***
Drew
Dan aku tak akan kembali kemari lagi setelah kunjungan ini. Aku tak
peduli separah apa aku akan menyakiti ayahku, tapi aku tak bisa
melakukan ini lebih lama lagi. Aku tak bisa berpura-pura kalau
tempat ini dan orang-orang di sini tak berpengaruh apa-apa padaku.
Semuanya mengacaukan pikiranku dan mengingatkanku pada aku
yang dulu. Aku tak ingin menjadi orang seperti itu lagi. Tidak akan.
Tak ada pilihan lain. Aku harus menjauh dari tempat ini.
"Ya, dia juga tak menyukai hal itu. Dia bilang padaku kalau
hubungan kita tak akan bertahan lama, bahwa aku bukan tipe
cewekmu."
Aku masih diam, khawatir dengan apa yang akan dia katakan
selanjutnya.
Fable
Aku mengejarnya, memanggil namanya tapi Drew tampaknya tak
bisa mendengarku. Ketika wajahnya tiba-tiba menjadi kosong, ketika
kuberitahu apa yang dikatakan Adele benar-benar menakutkan. Dia
langsung membeku di hadapanku dan itu adalah hal paling aneh
yang pernah kualami. Seperti dia akan muntah dan sebagainya.
"Aku tak ingin kau ada di sini." Dia memotong ucapanku dan aku
diam seketika. "Kau tak perlu berada di tengah-tengah hal sialan ini
Fable. Kau telah melibatkan diri pada sesuatu yang terlalu buruk."
Kurasa aku akan menangis. Dia tak ingin aku ada di sini. Tak ada
yang menginginkanku di manapun. Ibuku tak peduli aku hidup atau
mati. Adikku lebih memilih bersama dengan teman-temannya. Aku
tak punya teman, selain rekan kerjaku, dan mereka tak lebih dari
sekedar kenalan. Cewek-cewek tak suka denganku karena menurut
mereka aku adalah pelacur yang ingin mencuri pacar mereka.
Tentu saja tak akan terjadi. Hidupku bukan sinetron kacangan. Aku
tak berarti apa-apa baginya. Aku harus mengingat hal itu.
Aku merasa gagal. Aku tak bisa bertingkah menjadi seorang pacar
yang baik yang hanya bisa berdiri di sana dan tampak cantik. Hanya
tersenyum dan mengangguk dan tak perlu mengatakan apapun. Itu
tak terlalu sulit kan?
"Jangan pergi."
Entah bagaimana bau bir telah hilang, tergantikan aroma Drew yang
hangat, aromanya yang akrab. Aku bisa merasakan panas tubuhnya,
getaran yang menguar darinya sangat kuat. "Aku minta maaf, Fable.
Aku hanya…tempat ini menyebalkan. Dan aku tak menyalahkanmu
jika kau ingin meninggalkan tempat ini jadi aku memberimu
kesempatan untuk pergi. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri
bahwa hal yang terbaik adalah mengeluarkanmu dari sini, tapi aku
tak bisa menghadapi ini sendirian. Aku tak ingin menghadapi ini
sendiri. Aku akan senang jika kau mau tinggal."
"Apa yang kau hadapi sendirian itu, Drew? Ada apa sebenarnya
dengan orang tuamu? Kau tak memberitahuku apapun dan
pikiranku..mengembara kemana-mana." Aku bernafas dengan berat
ketika dia berhenti tepat di hadapanku, sangat dekat, dada kami
bersentuhan.
Bab 9
Hari ke-4, jam 1:12 Siang
Drew
Sangat buruk, karena dia membuatku gila dan aku sangat sulit
berkonsentrasi. Aku lebih suka membawanya ke tempat tidurku,
menelanjanginya, dan membenamkan diriku jauh di dalamnya
hingga aku bisa melupakannya, setidaknya selama beberapa waktu.
Aku ingin menandai setiap inchi tubuhnya dengan bibirku. Aku
ingin duduk dengan dia di pelukanku, menciumnya berjam-jam,
hingga bibir kami bengkak dan rahang kami lelah. Aku ingin
melihatnya ketika dia datang. Aku ingin menjadi orang yang
membuatnya datang, dengan bibirnya yang menyebut namaku.
Semua yang ada di pusat kota Carmel memang bisa dikatakan imut.
Seperti negeri boneka, ada banyak pondok di mana-mana dan
semuanya mungil, gang-gang sempit dan banyak jalan rahasia.
Seperti negeri dongeng.
"Eh…" Kacau.
Sekali saja, aku ingin menjalani hal ini dan tak perlu khawatir akan
konsekuensinya. Kami tertarik pada satu sama lain. Dia tak punya
prasangka apapun, begitupun aku. Masa laluku yang selalu
menggangguku bisa tergantikan—setidaknya sementara waktu—
dengan kenangan baru yang bisa kuciptakan bersama Fable di sini.
Seakan aku bangun pagi ini dengan pikiran yang penuh dengan seks.
Sangat jelas, mengingat kemaluanku yang keras ketika aku bangun
pagi hari tadi. Aku memimpikannya, kabut di mana-mana, gambaran
kabur kami berdua yang kusut masai, dia melahap tubuhku dan aku
membiarkannya. Menikmatinya, sebenarnya.
"Ya. Ibuku juga berasal dari sana." Aku mengerutkan kening. Aku
juga tak ingin memikirkannya.
"Aku akan senang sekali jika suatu saat bisa ke sana." Dia menghela
nafas sedih. "Aku selalu ingin melihat kota New York."
"Itu adalah pengalaman luar biasa, pastinya." Aku berharap aku bisa
mengajaknya. Bisa dikatakan kini aku dipenuhi keinginan untuk
membuatnya bahagia. Menunjukkan segala hal yang selama ini tak
bisa diraihnya dalam hidupnya.
"Beritahu aku sesuatu," Aku berkata setelah kami selesai makan dan
menunggu pelayan datang mebawa tagihan.
"Jiwa yang Bijak, eh?" Aku mengamatinya dan mata hijau yang
besar dan cemerlang itu balik menatapku. Dia terlihat jauh lebih
dewasa dari kebanyakan cewek seusianya yang kukenal. Dia juga
telah melalui begitu banyak hal. Sepertinya dia mengurus banyak
orang. Jadi, siapa yang mengurus Fable? "Apakah kau punya banyak
kisah untuk diceritakan?"
"Tentu saja kau peduli, karena hal itu adalah alasan satu-satunya kau
memilihku untuk berpura-pura menjadi pacarmu." Rasa sakit dalam
suaranya terdengar jelas sekali. Dengan memilihnya, aku telah
menyakiti cewek yang memang telah rusak ini. Kebenaran itu
membuatku merasa seperti kotoran.
Sekali lagi dia menatapku, matanya melebar dan membulat dan aku
merasa seolah dia menelanjangi jiwaku. "Aku juga senang kau sudah
memilihku," dia mengakui, suaranya sangat pelan hingga aku hampir
tak mendengarnya.
Benar-benar gila.
Hujan berubah menjadi lebih deras dan kami berhenti, menatap satu
sama lain. Aku mengeratkan peganganku pada tangannya dan kami
mulai berjalan lebih cepat, seolah kami bisa kabur dari hujan yang
yang turun kian deras. Hingga akhirnya kami terjebak di tengah-
tengah hujan sangat deras, dan kami menggigil kedinginan.
Sarannya boleh juga, tapi aku punya solusi yang lebih baik.
Menariknya bersamaku, aku memasuki sebuah gang yang kutahu
mengarah ke sebuah studio seni dan galeri. Lorong itu tertutupi
seluruhnya, semak belukar yang lebat tumbuh di sepanjang sisinya
hingga ke teralis di sekitar bangunan itu. Tempat itu gelap dan
terlindungi dari hujan dan lampu-lampu kecil bertebaran di antara
tanaman liar untuk persiapan musim liburan yang akan datang.
"Ya, tentu saja." Aku menariknya ke arahku karena aku tak bisa
menahan dorongan itu, dan dia datang dengan senang hati, menatap
ke bibirku. Kami membagi pikiran yang sama dan kenyataan itu
membuatku lega. Dia juga menginginkannya, sama seperti aku
menginginkannya.
Tapi dia sangat mungil, aku menjulang di atasnya dan aku menatap
berkeliling, aku melihat sebuah bangku kayu rendah berada tak jauh
dari tempat kami berdiri. Aku meraih pinggangnya, membuatnya
mencicit pelan dan aku menempatkannya di atas bangku itu, hingga
kini dialah yang lebih tinggi dariku.
Fable
Tapi, itu juga membuatku takut. Dia bisa saja kembali seperti
semula. Sedetik sebelumnya dia begitu menawan, begitu tak
tertahankan hingga seolah dia mencuri nafasku. Detik berikutnya dia
begitu gelap dan menarik diri, begitu diam. Sangat menguras energi
bersama dengan Drew, tapi jika dia bersikap seperti ini, aku bisa
melupakan semua drama itu dan bisa bersenang-senang bersamanya.
Hujan badai yang tak diduga-duga telah membuat kami basah kuyup
dan menderita tapi aku tak peduli. Tidak ketika Drew yang saat ini
tengah mendongak menatapku, ketika mata birunya mengunci
mataku. Wajahnya lembab karena air hujan dan rambutnya lepek,
seperti halnya seluruh pakaiannya, begitupun denganku. Kami
berada di sebuah lorong kecil di sebuah gang, dikelilingi teralis kayu
yang ditumbuhi semak belukar yang lebat. Namun, semuanya
tampak nyaman. Sebuah lampu natal mungil bersinar redup tak jauh
dari tempat kami berada dan suara yang terdengar hanyalah deru
nafas kami yang semakin cepat.
Tuhanku, dia membunuhku. Aku tak tahu kenapa dia begitu berani
hari ini, aku tak tahu mengapa tiba-tiba dia mendekatiku, tapi aku
tak ingin menanyakan alasannya. Aku menginginkan ini. Aku
menginginkannya.
"Kau akan menciumku atau tidak?" dia bertanya setelah aku menarik
jariku dari bibirnya. "Kau menyiksaku, tahu?"
Bibir kami bertemu lagi dan lagi dalam ciuman paling murni, setiap
kali bibirnya mengunci bibirku, perutku bergolak. Seluruh
permukaan kulitku merinding dan aku mengalungkan lenganku di
lehernya, menyelipkan jemariku ke dalam rambut basahnya dan
menariknya mendekat. Lengannya yang lain memeluk pinggangku
dan dia menarikku lebih dekat lagi hingga badan kami yang basah
seolah direkatkan.
Apapun yang akan terjadi nanti, hal itu akan mengubah segalanya di
antara kami berdua. Dan kali ini, aku ingin melakukannya. Tak ada
penyesalan dalam seks jika kau melakukannya dengan orang yang
benar-benar kau sayangi. Dia bukanlah salah satu dari cowok-cowok
tanpa nama yang datang untuk menghilangkan rasa sepiku.
Drew
Sial, aku juga tak begitu peduli. Aku begitu bersemangat mengajak
Fable masuk ke rumah, aku tak bisa benar-benar menatap lurus.
Dia mendorong dadaku hingga aku tak punya pilihan lain selain
mundur, dan memandangnya sambil menahan nafas ketika dia
meraih bajunya dan dengan perlahan mengangkatnya ke atas..ke atas
lagi hingga dia melepasnya dari kepalanya dan dengan jemarinya
membuangnya ke lantai. Dia berdiri di hadapanku dengan bra
berwarna pink pucat dengan renda hitam, payudaranya memenuhi
bra itu dan sialan, aku hanya ingin melepaskan bra itu jadi aku bisa
menyentuhnya.
Ini tak seharusnya terjadi, tidak seperti ini, dan tidak hari ini. Aku
menggoyangkan kepalaku, tak bisa mengatakan apa-apa, lidahku
terasa kaku.
Jika baginya semua hal ini sudah cukup buruk, maka tunggu saja
hingga dia tahu kenyataannya.
Kepalaku berputar.
Sialan.
***
Fable
Aku menjinjit dan meraih bagian atas kusen pintu, akhirnya aku
menemukan salah satu dari kunci ajaib yang bisa membuka segala
macam kunci itu. Mengambilnya dan aku menjejalkan bagian tipis
metal itu ke kunci pintu dan memutarnya, bersyukur ketika pintu
membuka dengan suara klik dengan mudahnya.
Aku sangat takut untuk mengetahui apa masalahnya tapi aku harus
melakukan hal ini. Untuk Drew.
"Pergilah Fable, aku tak mau kau melihatku seperti ini." Dia
menundukkan kepalanya dan pandanganku jatuh pada bagian bawah
tubuhnya. Dia sedang ereksi, ereksinya sangat besar, dan aku tak
tahu apa yang telah mengacaukan sesuatu yang tampaknya—tak
diragukan lagi—akan menjadi momen paling indah di antara kami
berdua, tapi tak ada yang bisa kulakukan sekarang.
"Kau tak bisa mendorongku pergi." Aku tahu itu yang sekarang
sedang dilakukannya, dan itu yang akan selalu dia lakukan. Aku
menolak membiarkannya melakukan itu padaku. Aku akan tetap di
tempatku dan akan benar-benar membantunya.
"Kumohon Drew." Aku memohon padanya dan aku tak peduli. Aku
tak pernah melakukan ini. Aku tak pernah merendahkan diriku, aku
mencoba dengan susah payah menjaga harga diriku. Tapi melihatnya
dalam keadaan seperti ini, dia membuatku ketakutan setengah mati.
Aku tak ingin meninggalkannya dan aku juga tak ingin dia
mendorongku pergi. Aku merasa saat ini hanya akulah yang
dimilikinya. "Beritahu aku apa yang bisa kulakukan."
"Kau bisa pergi." Dia berbalik dan menjauh dariku dan aku berlari
mengejarnya, menarik lengannya dan mencegah dia beranjak lebih
jauh.
Seolah dengan perlahan dia mulai kembali padaku, kembai dari sisi
gelap, sisi sunyi tempatnya bersembunyi. Ekspresinya lebih cerah,
matanya tak melebar dan penuh dengan teror. Suaranya terdengar
biasa dan dia tak gemetar lagi.
Aku tak yakin apa yang diinginkannya dariku, tapi apapun itu, akan
akan menyerahkannya dengan senang hati.
Semuanya...
***
Bab 10
Hari ke-4, jam 9.49 malam.
"Love's tendrils round the heart doth twine, as round the oak doth
cling the vine."—Ardelia Cotton Barton.
Drew
Aku tak tahu pasti apa yang tengah kelakukan kini, atau apa yang
sebenarnya ingin ku capai, tapi aku yakin aku bisa menangani hal
ini. Dalam kegelapan, bersama Fable. Tak ada kenangan yang
menghantuiku, yang ada hanyalah saat ini. Fable dalam pelukanku,
rambut panjangnya menggelitik kulitku, nafasnya yang hangat di
telingaku. Dia menggigit pelan daun telingaku dan aku tersentak,
desisan kecil lolos dari mulutku dan itu terdengar seperti tawa.
"Mungkin saja itu tidak benar.." Aku tersedak di kata terakhir karena
tiba-tiba saja dia beranjak turun dari tubuhku, dan berbaring di
sampingku. Jemarinya mengelus pelan dadaku, sepanjang otot-
ototku, kemudian beralih mengelus perutku, membuatnya gemetar.
Aku keras setengah mati dan menderita karenanya, dan aku tak akan
meminta sesuatu lebih dari apa yang bersedia diberikannya.
Ini tidak benar. Kau harusnya malu. Kau harusnya mual akan apa
yang kini kau lakukan. Kau menjijikkan.
"Drew, dengar.. Aku hanya.. Aku punya perasaan kalau ini tak
mudah bagimu. Bermesraan.." Dia terdengar ragu-ragu, tak yakin
dan dia melonggarkan pegangannya, jempolnya membuat lingkaran
di bagian paling ujung tubuhku, lagi..dan lagi.
Aku tak ingin saat-saat ini berakhir. Dan aku tak ingin dia semakin
dekat. Dia sudah terlibat begitu dalam denganku, aku takut jika dia
tahu apa yang kusembunyikan jauh-jauh di dalam diriku, aku
bukanlah orang yang akan diharapkannya. Bahwa aku tak akan
menjadi laki-laki yang dicarinya.
Fable
Tubuh Drew telah menjadi begitu besar dan keras hingga kuyakin
dia sangat kesakitan sekarang. Itu adalah bagian dari alasan aku
menyentuhnya. Aku tak bisa mengelak. Well, itu dan aku harus tahu
apa yang akan terjadi jika aku melakukannya. Apakah dia akan
mendorongku menjauh kali ini? Aku ingin memberinya kepuasan
karena kebahagiannya perlahan menjadi kebahagiaanku dan aku bisa
membantunya mengenyahkan apapun yang menjadi masalah
baginya dalam melakukan seks, dan semua itu sepadan.
Aku berharap lampunya menyala, agar aku bisa melihatnya, tapi aku
punya firasat dia belum siap untuk itu.
Menjauh darinya, aku turun dari tempat tidur tanpa kata menuju ke
kamar mandi di seberang ruangan. Aku menyalakan lampu,
bayanganku di cermin menatapku dan aku berhenti dan melihatnya
sejenak.
Aku berharap Drew bisa melihatku. Bahwa kami tak perlu diselimuti
kegelapan. Atau..apakah gelap membuatnya lebih mudah baginya?
Puas karena aku tahu dia tak akan mengatakan apapun yang bisa
menghancurkan saat-saat ini, aku berbaring di sampingnya dan
menarik selimut menutupi kami berdua. Meskipun tubuhku masih
bergetar, aku sangat lelah dan gagasan tidur meringkuk di pelukan
Drew sangat sulit untuk ditolak. Maka aku mendekat padanya,
menyandarkan pipiku di dadanya yang sekeras batu, dan aku bisa
mendengar suara jantungnya yang berdetak cepat.
Aku tak mengatakan apapun dalam waktu yang sangat lama, dan
syukurlah diapun demikian, dalam menit-menit yang sunyi.
Tenggorokan seolah tersumbat oleh semacam emosi asing yang tak
kukenali, aku mencoba menelan dengan susah payah, mencoba
menyingkirkannya tapi tak ada gunanya. Lengannya yang berotot
masih membungkus tubuhku dengan kencang, aku merasa seolah
aku tak bisa bergerak, tak bisa bernafas dan dengan tangisan kecil
aku meluncur turun dan menjauh dari pelukannya, turun dari tempat
tidur.
Sekarang aku yang panik dan aku benci itu. Aku merasa buruk. Dia
tak meminta aku memperlakukannya dengan sangat buruk, seperti
sekarang ini. Dia hanya mencoba membuka hatinya dan mengatakan
dia bersyukur untukku dan sekarang aku mencoba untuk kabur.
Takut akan apa yang dikatakannya dan betapa luar biasa
kedengarannya, jika saja semuanya nyata.
Tapi itu bukan kenyataannya. Dia hanya terbawa suasana, seperti
halnya diriku dan aku tak bisa lagi membedakan mana yang
sebenarnya dan mana yang pura-pura. Aku tahu dia masih sama
seperti sebelumnya. Dia ingin kami kelihatan seperti sungguhan dan
sangat mudah berpikir kami akan bisa bekerja sama ketika kami
hanya berdua saja, berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan
sebenarnya.
Tapi reaksiku terhadap semua ini lamat sangat konyol. Aku hancur
berkeping-keping. Aku tak pernah ingin bergantung pada Drew. Tapi
kini sudah terlambat. Aku benar-benar membutuhkannya. Pelan tapi
pasti aku telah bergantung padanya dan jika aku tidak berhenti
segera, hatiku akan terpaut sangat jauh kepadanya, dan aku akan
sangat menderita ketika tiba saatnya kami berpisah.
Aku benar-benar lelah dan kering secara emosional, tapi aku tak bisa
benar-benar tertidur nyenyak sepanjang sisa malam itu, bergoyang
dan berbalik arah, berpikir tentang Drew yang sendirian di kamar
sebelah. Aku meninggalkannya, aku telah mengecewakannya.
Aku tak lebih baik dari ibuku.
Bab 11
Hari ke-5 (Thanksgiving), 12.55 Siang.
The more I push you away, the more I want you to push back.—
Drew Callahan.
Fable
"Tidak. Dia biang padaku ada daging kalkun beku di freezer, daging
itu katanya di beli di Marie Callender's, jika aku ingin makan itu.
Sebaliknya, aku bisa mengurus diriku sendiri." Owen terdengar jijik
dan aku tidak menyalahkannya. "Taruhan dia sekarang pasti sedang
ke luar kota bersama Larry. Larry punya seorang putri dan mereka
mungkin saja sedang makan kalkun bersama dan sebagainya."
Sangat tak bisa dipercaya, seharusnya tak jadi masalah jika ibuku
membawa Owen bersamanya. Dia adalah putranya. Aku dicekam
perasaan bersalah karena tak bersama Owen saat ini, tapi itu sudah
biasa terjadi kan? Aku mulai berpikir bahwa semua uang di dunia ini
tak sepadan dengan kekacauan yang terjadi. Hatiku sedang compang
camping, pikiran lamban dan sekarang adik lelakiku ditelantarkan
secara terang-terangan pada hari libur yang biasanya ibu kami akan
sangat senang merayakannya bersama kami.
"Aku juga," dia berhenti sejenak sebelum dia berujar dalam suara
rendah, "Aku merindukanmu."
Adele tertawa tapi tawanya terdengar rapuh. Tak ada lelucon apapun
dalam tawanya. "Mencoba mengalihkan perhatianku eh? Itu tak akan
berhasil." Dia menyilangkan lengannya di dadanya. " Hari raya ini,
adalah saat paling berat dalam keluargaku, kau tahu. Sabtu ini adalah
tepat dua tahun kematian putriku."
"Makan malam Thanksgiving akan siap dalam tiga puluh menit," dia
berujar ringan, tanda-tanda duka dan kesedihannya telah menguap.
"Setelah itu, kusarankan kau kembali ke Paviliun dan kemasi
berang-barangmu. Aku akan menghubungi taksi yang akan
membawamu ke stasiun bis petang ini."
"Oh ya, tentu saja aku punya rencana, Fable Kecil. Rencana yang
sudah tentu tak menyertakanmu, terutama karena hal seperti ini
hanya dilakukan antara anggota keluarga dan kau tak lebih dari
seorang pengacau. Hal yang terbaik bagimu adalah pergi. Aku sudah
berbicara dengan Andrew dan dia sangat setuju denganku." Tanpa
berkata apa-apa lagi dia berbalik dengan hak sepatunya yang luar
biasa tipis dan tinggi itu dan melangkah keluar ruangan,
meninggalkanku yang merosot dan jatuh ke kursi di belakangku,
begitu lemah seolah kakiku tak sanggup lagi menahan beban berat
tubuhku lebih lama lagi.
Dia telah bicara dengan Drew dan dia setuju aku harus pergi malam
ini juga? Hal ini betul-betul tak masuk akal. Aku tak mengerti apa
yang terjadi dan pikiranku kusut oleh informasi yang baru saja
dibagi Adele padaku.
Dia memiliki seorang adik perempuan berusia tiga tahun yang kini
telah meninggal, apa yang terjadi pada saat itu? Bagaimana caranya
meninggal? Apakah dia sakit, penyakitnyakah yang merenggut
nyawanya, ataukah karena kecelakaan? Aku tak terbiasa membahas
sesuatu yang benar-benar kabur seperti ini, jadi kurasa aku harus
bersabar hingga dia bersedia bercerita sendiri padaku.
Dan karena dia tak pernah bercerita sejauh itu, aku tak benar-benar
memahami masalah ini.
Pagi tadi dia sudah keluar rumah ketika aku meninggalkan kamarku,
dan aku memang sengaja melakukannya. Mengunci diriku sepanjang
waktu di kamar—mencoba seperti orang gila berusaha menghubungi
ibuku walaupun dia tak pernah sekalipun menjawab panggilanku—
apalagi yang baru? Ketika aku mencoba menghubungi dan
mengirimkan pesan kepada Owen, tapi kupikir jam segitu dia masih
tertidur dan aku yakin aku benar.
Faktanya, hingga kini aku belum melihat Drew. Apakah dia marah
padaku karena tak kembali ke tempat tidurnya semalam? Mungkin
saja. Dan itu adalah jalan terbaik. Apapun yang kini ada di antara
kami berdua, hal itu tak mungkin terjadi. Benar-benar tak akan
terjadi.
Drew
"Fable tak punya orang lain dalam hidupnya. Hanya aku," Aku
bergumam, memandang ke arah pintu masuk yang langsung
mengarah ke rumah utama.
Adele bergerak cepat dari arah kiri, meraih lenganku hingga aku tak
sempat mengelak, jemarinya menekan dagingku. "Kau tak tahu pasti
masalah itu, bodoh. Aku yakin si Jalang itu akan bersedia membuka
lebar-lebar kakinya kepada siapapun yang memintanya."
Aku tahu aku tak punya hak apapun terhadapnya. Tapi setidaknya
dia bisa menelepon laki-laki ini ketika tak ada seorangpun yang bisa
mendengarnya. Maksudku, ayolah.. Dia membuatku terlihat seperti
orang bodoh dan memberikan Adele senjata untuk menyerangku.
Dan gagasan bahwa Fable mungkin saja bicara dengan cowok lain
ketika dia sedang menghabiskan waktu disini bersamaku? Sialan,
aku tak bisa menerimanya.
Dan pada diriku sendiri yang berpikir aku memiliki semacam ikatan
dengan gadis ini, gadis yang sama sekali tak berpikiran seperti itu
terhadapku.
"Jadi kita kembali ke masalah itu, hah? Semua kata-kata manis dan
percintaan kita kemarin itu menguap hanya karena aku membuatmu
marah. Sekarang kita kembali ke awal lagi, ke masalah pacar sewaan
itu lagi."
"Tentu saja, sialan. Aku cemburu!" Aku meraung, tak sanggup lagi
menahan kata-kataku. "Setelah semua yang kita lalui, terlebih
setelah kemarin, kau masih bertanya apa aku cemburu? Tentu saja
aku cemburu! Bagiku ini bukan permainan, Fable. Ini adalah
hidupku. Dan aku ingin kau menjadi bagian dari kehidupanku. Tapi
jika kau lebih suka bergaul dengan laki-laki lain, maka aku tak bisa
menerimanya. Aku ingin kau dan kau saja. Aku tak ingin
membagimu dengan siapapun juga."
Nafasku memburu ketika aku selesai dengan pidatoku dan aku tak
percaya apa yang baru saja kukatakan padanya. Dia memandangku
seolah aku ini orang gila, dan mungkin saja aku sudah gila, tapi aku
tak bisa lagi menahan perasaan perasaanku terhadapnya. Untuk
alasan yang tak kumengerti, dia membuatku ingin mengungkapkan
segala hal.
"Kau dan aku, kita cuma pura-pura," dia berbisik. Air mata
menggenang di matanya, bahkan mengalir di pipinya. Aku ingin
menghapusnya dengan jemariku, aku ingin menciumi air matanya,
tapi aku tak melakukannya, aku tak bisa, setelah mendengar apa
yang dikatakannya. "Ini bukanlah kenyataan. Kau hanya terbawa
suasana, padahal tak terjadi apa-apa."
"Itu tak benar," aku memulai namun dia memotongku, dengan
menekankan jemarinya di antara bibirku sejenak sebelum dia
menjatuhkan tangannya.
Aku tak mengatakan apapun. Aku tahu dia benar, walaupun aku
berusaha berpikir dia tidak benar. Aku tak bisa mengharapkan
apapun sekarang. dan aku patah hati karenanya.
"Aku tak ingin kau pergi," aku menjawab otomatis. "Dua hari lagi,
hanya hanya butuh dua hari lagi bersamamu."
Dia ingin mengatakan lebih banyak hal, kuyakin itu, tapi kemudian
Adele membuka pintu dan mengumumkan kalau "Makan malam
telah siap!", dengan nada dimanis-maniskan dan aku memberinya
tatapan penuh kebencian dari atas bahuku, dan dia menutup pintu
karenanya.
"Kita harus masuk," Fable berkata seraya memeluk dirinya sendiri
dan berjalan ke arah pintu depan.
Bab 12
Hari ke 6 (black Friday/hari setelah thanksgiving)
11.00 pm
Orang yang tahu kamu paling baik merupakan orang yang paling
bisa menyakitimu. – Drew Callahan
Drew
Aku takut dengan apa yang mungkin aku bisa lakukan. Apa yang
mungkin dia bisa lakukan. Apa yang mungkin kami berdua bisa
lakukan bersama untuk membuat semuanya berantakan.
Teleponku berbunyi dan aku tahu tanpa melihat siapa itu. Ayahku
atau Adele, dua orang paling terakhir yang ingin aku ajak bicara.
Aku bergerak cepat dan duduk, mencari teleponku. Lampu di meja
rias dari sisi sebelah masih menyala, melemparkan cahayanya
memancarkan kesuraman. Melihat sekilas pada teleponku, aku
memeriksanya, yup, itu ayahku yang mengirimkan pesan dan sesaat
aku akan membacanya, telepon mulai berdering. Lagi, itu dari
ayahku.
Aku tidak tahu dia terbangun atau tidak, tapi aku tidak berencana
mengatakan apapun pada Adele yang mungkin akan ditanyakan
Fable nanti. Sudah cukup buruk aku mengaku apa yang terjadi pada
Vanessa hari ini. Tidak bisa lagi aku bertindak bodoh di depannya.
"Kami meninggalkan tempat ini besok. Aku tidak bisa datang. Itu
alasannya aku pergi hari ini." Tidak sepenuhnya benar, tapi
penjelasannya masuk akal.
Tubuhku nyeri dengan kenyataan yang ada. Ini memang benar. Kami
kembali ke kehidupan yang biasanya besok malam. Aku tidak bisa
menunggu siksaan ini berakhir, belum lagi mengetahui aku tidak
memiliki Fable yang berpura-pura jadi pacar palsuku lebih lama
lagi…
Kami baru saja tertidur dari sore sampai jauh malam. Aku juga perlu
memastikan, dia menginginkan ini. Menginginkanku…
"Apa kau lapar? Maksudku, kita baru saja bangun." Aku mengatakan
ini setelah aku terpaksa memisahkan ciumannya, bibirku terasa gatal
dan sudah ingin sekali untuk kembali pada bibirnya. Aku pikir aku
mencoba memberinya kesempatan untuk pergi, aku tidak tahu. Ini
sangat bodoh, tapi aku tidak ingin kami menjadi terlalu dalam kalau
nantinya hanya membuatnya menjauh.
Saat mulut kami bertemu satu sama lain, emosiku meluap-luap untuk
gadis ini. Aku sangat kecanduan berhubungan dengannya hari-hari
terakhir ini. Sial, aku sudah sangat berharap hubungan semacam ini
dengan seseorang selama bertahun-tahun, tapi selalu terlalu takut
untuk benar-benar percaya di dalamnya.
Fable
Dia menyelidikiku dibawah sana dan aku tidak tahu suatu hal untuk
dipikirkan, untuk dikatakan. Dia mengeluarkan nafas tidak teratur,
tangannya mencengkeram pinggulku dan kemudian dia mencium
dadaku, melarikan mulutnya ke seluruh payudaraku sampai pertama-
tama aku merasa lidahnya menjilat satu puting, lalu yang lainnya.
Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku bukan seseorang
yang tetap diam di tempat tidur, aku tidak pernah diam, tapi aku juga
bukan orang yang sangat berisik saat berhubungan sex. Tapi
sentuhannya, mulutnya di kulitku terasa sangat enak, aku
melengkung ke arahnya dan berteriak keras. Aku berada pada
perasaan sempurna yang berlebih, benar-benar telanjang dan terbuka
dan aku tidak pernah terasa sangat cantik, di cintai. Sangat hidup.
"Kau sangat cantik," dia berbisik pada dadaku saat dia memuja
dengan mulutnya. Aku menanamkan tanganku ke dalam rambutnya
dan menahannya padaku, mengeliat di bawah mulut dan lidah
sibuknya. Aku tetap heran. Sejujurnya, aku tidak cukup tahu
bagaimana kami sampai ke titik ini. Aku membencinya, penilaianku.
Aku benar-benar melakukan ini untuk uang. Aku kira dia adalah
orang brengsek yang kacau. Aku masih tetap berpikir dia seperti itu.
Tapi begitu juga aku. Dan dia sangat indah, sangat perduli, sangat
mudah disakiti. Kami dapat menjadi kacau bersama. Aku ingin
menyembuhkannya. Aku tahu aku bisa menyembuhkannya.
"Kita bernasib baik. Ada sekotak dalam kamar mandi di bawah bak.
Selalu di tempatkan di sana, seperti handuk dan sampo dan sabun.
Membuat rumah samping ini tetap ditempati, seperti hotel kadang-
kadang, aku bersumpah. Ayahku selalu mempunyai klien bisnis yang
menginap di sini."
Huh. Yah, jika anggota keluarga Callahan selalu punya tamu yang
tinggal bersama mereka, paling tidak mereka menyediakan tempat
yang aman.
Saat masuk, itu mungkin akan sakit. Semuanya dengan tiba-tiba, aku
sangat takut.
Aku bisa buktikan dia bisa merasakan perubahan mood-ku dan dia
mencoba untuk membuatku tenang. Dia mendekapku dalam lengan
kuatnya, menahanku dalam dekat. Aku menutup mataku dan
mengubur kepalaku pada dada kokohnya, menghirup baunya yang
bersih dan unik. Dia lembut, dia sabar tapi juga gigih dan segera
setelah itu, kami berciuman, menelusuri tubuh satu sama lain dengan
tangan yang aktif, bergulung di selimut seperti sepasang anak dalam
permainan pertandingan gulat.
Dia meluncurkan kondom hanya beberapa saat lalu. Aku tahu dia
siap. Aku siap. Tapi masih tetap gugup. Ini adalah titik balik di
hubungan kami, tentang suatu hal kita tidak pernah bisa kembali
lagi. Aku tidak akan melupakannya atau malam ini. Dia secara abadi
menuliskan dirinya dalam sejarahku.
"Tidak akan ada jalan kembali," dia berbisik, seperti bisa membaca
pikiranku.
Oh. Aku tidak pernah, sangat tidak pernah mengira mendengar laki-
laki mengatakan hal yang begitu membuatku menggetarkan hatiku,
begitu membuatku terangsang, tapi itu terjadi. Aku selalu mengira
diriku sebagai orang yang mandiri. Tak berhubungan dengan
siapapun.
Tapi gagasan membuat suatu hubungan dengan Drew, memenuhiku
dengan begitu banyak kesenangan, aku takut aku mungkin meledak.
Aku melakukan apa yang dia minta, mencoba usaha terbaikku untuk
mengurangi ketegangan di perut dan hal itu jadi lebih mudah, Drew
mendorong ke dalam. Seluruh tubuhnya tegang karena menahan,
kulitnya tertutup dalam kabut tipis dari keringat dan aku
menggerakkan pinggulku, memisahkan kakiku sedikit lebih lebar,
mengijinkan dia untuk menenggelamkan diri lebih dalam.
"Aku tidak akan lupa dengan siapa aku bersama," aku berbisik di
bibirnya sebelum aku menciumnya. Tangannya mencengkeram
pinggulku, menarikku turun dan aku bekerja dengannya, ingin sekali
meledak, namun menunggu untuk melepaskannya hanya sedikit
lebih lama lagi.
Dia menghembuskan namaku pada bibirku dan aku tahu dia sudah
dekat. Begitu juga aku. Aku mengatur diriku dengan hati-hati,
menggosoknya, mengayun di dalamnya dan aku terpecah dengan
jeritan kecil, seluruh tubuhku bergetar. Dia bergetar setelahku,
tubuhnya menggigil saat dia mengerang dalam perjuangan yang
indah, lengannya mengepit pinggangku sangat erat, aku hampir tidak
bisa bernafas.
Kami melekat satu sama lain dalam beberapa menit yang lama
setelahnya, tubuh kami masih bergetar, nafas kami perlahan teratur.
Aku tidak ingin membiarkannya pergi, aku tidak ingin
membiarkannya keluar dari tubuhku dan aku tahu aku sudah jadi
konyol.
Tapi aku tidak bisa mengontrol diriku. Drew Callahan telah merubah
aku selamanya, dan pemahaman itu sama-sama menguatkan dan
menakuti diriku. Masih ada banyak hal yang aku tidak tahu.
Drew
Aku bercinta dengan Fable 4 kali sejak tadi malam. Setiap kali lebih
baik dari sebelumnya dan aku sangat jatuh, terpesona pada gadis ini,
ini menyedihkan. Rasanya menakjubkan.
Tambah lagi, aku ingin kabur jadi aku tidak harus menghadapi
Adele. Atau ayahku. Seberapa mengerikan itu? Aku menyayangi
ayahku tapi hari ini...hari ini akan jadi hari yang berat untuknya. Dan
aku tidak tahu apa aku bisa melakukan ini. Aku sebenarnya merasa
bersalah, menjadi sangat senang hari ini – meskipun ini bukan tepat
hari kematian Vanessa, tapi cukup dekat dengan hari kematiannya –
namun aku ingin mengusir perasaan itu.
Aku bosan merasa bersalah dan letih. Cemas dan malu. Untuk
pertama kalinya dalam hidupku, aku hanya bercinta dengan gadis
cantik sepajang malam dan aku ingin menikmati itu. Aku ingin
bersamanya, menyentuhnya dan mengatakan betapa berartinya dia
untukku, bukannya lari menjauh dan bersembunyi dari semuanya.
Fable adalah orang yang terlalu baik untukku. Aku tidak akan pernah
membiarkannya pergi.
Kami mandi bersama dan karena aku rakus, begitu juga dia. Aku
meluncurkan jariku diantara kakinya dan hati-hati membawanya ke
orgasme, mulutku melebur dengan mulutnya setiap saat,
mengenyampingkan celahnya dan mengerang saat air hangat
mengenai kami. Dan kemudian dia berlutut dan membawaku ke
mulutnya, bibirnya membungkus sekitar kepala dari penisku,
lidahnya memetakan setiap bagianku sampai aku datang dengan
getar nafas yang keras.
Hal ini merupakan titik balik yang penting. Pengalaman masa laluku
membuatku membenci blow job. Hanya karena mereka mengisiku
dengan banyak perubahan ketika ingatan itu muncul. Rasa malu, rasa
ngeri pada bagaimana mudahnya aku tunduk pada desakan seorang
wanita bahwa apa yang kami lakukan tidak salah. Tidak ada yang
memalukan.
Dia telah salah. Aku tahu apa yang telah kami perbuat tidak benar,
namun aku tidak bisa mengontrol diriku, keinginanku, respon diriku
untuknya. Dia tahu bagaimana untuk mendapatkanku dan aku benci
itu.
Aku benci apa yang dia lakukan, karena itu merubahku. Permainan
seksualnya, semua hal yang dilakukan untuk memikat untuk
mengambil dan bercinta dan masturbasi dan mengekploitasi sampai
aku kehabisan tenaga dan sakit sampai ke perutku. Lebih dari sekali
setelah dia meninggalkanku, aku bermaksud bunuh diri. Tapi aku
tidak bisa melakukan itu. Aku dulu terlalu takut, terlalu kuatir apa
yang mungkin terjadi jika aku hidup setelah semua ini terjadi.
Menelanjangiku seluruhnya.
"Kau tak pernah puas," dia mengatakan padaku setelah kami saling
menghanduki satu sama lain.
"Ada sesuatu yang terjadi di belakang ini. Aku ingin tahu apa itu."
Dia menyilangkan lengan di depan dadanya, hal yang tidak pernah
aku lihat dilakukannya dalam beberapa hari ini, dan aku sadari itu
bentuk pertahanan. Dia mencoba menjadi tangguh, menunjukkan
bahwa dia tidak akan menyerah.
Baik, aku tidak akan menyerah juga. Kami tidak bisa mengobrol di
sini. Sekarang. "Biarkan saja, Fable. Ayolah."
"Kau harus bisa." Dia mendekat untuk mendorong aku lagi dan aku
menangkap pergelangannya, menghentikannya. "Aku perlu tahu.
Bagaimana lagi aku bisa membantumu melewati semua ini?"
"Kau tidak ingin tahu, percaya padaku." Aku pergi darinya dan
berputar ke tasku yang ada di atas kasur tapi dia menangkap
tanganku, menyentakku sehingga aku menghadapnya sekali lagi.
Apa yang dia usulkan adalah jalan keluar yang pengecut. Dan
pertimbangan, aku cukup pengecut tiap kali menghadapi ini, ini satu-
satunya jalan untukku.
Aku terdiam. Lumpuh. Aku ingin berkata iya. Ingin lari. Dugaannya
begitu dekat. Sangat dekat untuk mengerti apa yang terjadi dan
kemudian aku menyadari, dia mungkin memang sudah mengerti, dan
aku sangat malu, aku ingin muntah.
Aku masih muda, penuh dengan hormon dan hasrat untuk bercinta.
Terus-menerus. Dan meskipun aku punya rasa malu dan benci untuk
aku dan dirinya, diam-diam aku menginginkan dia untuk melepasku.
Mencari perhatiannya karena untuk sesaat, aku merasa diinginkan,
berhasrat, dicintai.
Dia lari padaku dan memelukku, menahanku sangat erat, seperti dia
tidak akan pernah membiarkanku pergi. Dia menangis, terisak dalam
kaosku dan aku perlahan meluncurkan tanganku padanya dan
menahannya dalam dekat. Aku tidak punya air mata, tidak ada
kesedihan yang mendatangi diriku. Aku tidak beremosi. Kosong.
Aku pikir aku mungkin syok.
Aku baru saja mengaku sisi tergelap, rahasia terkotorku dan Fable
tidak lari. Dia tidak tertawa, dia tidak mengolok aku, dia tidak
menyalahkanku.
Untuk sekailnya dalam hidupku, aku seperti merasa, akhirnya
menemukan seseorang yang mengerti aku.
***
Fable
Aku tahu itu, sebanyak aku tidak ingin menghadapinya, aku tahu
masalah berakar dari Adele. Satu minggu berjalan dengan lambat,
ada petunjuk dan lebih banyak lagi yang tampak dan dugaanku
tumbuh.
"Apa kau mau berpamitan pada ayahmu?" aku bertanya saat dia
datang masuk ke ruang keluarga, tasnya disandangkan pada
pundaknya, ekspresinya masih agak kosong.
"Aku juga berpikir itu bukan ide yang bagus," dia menginterupsiku.
Kami hampir keluar dari sini, aku bisa merasakannya. Aku tidak
pernah merasa sangat bahagia karena meninggalkan suatu tempat
seperti yang aku lakukan saat ini.
"Andrew!"
"Siapa yang perduli? Kau tidak salah dalam situasi ini. Dia yang
bersalah."
"Ada banyak hal yang tidak kau tahu dan aku – aku perlu
memberitahumu. Secara pribadi. Ini penting Andrew, tolong."
"Itu namanya." Suaranya datar. "Dan siapa kau, anak sialan, yang
memberitahuku apa yang harus aku lakukan?"
Dia sangat tidak pantas menghinaku karena apa yang dia lakukan
pada Drew, dia pantas untuk membusuk di neraka.
"Baiklah." Suara Adele mencicit dan dia batuk kecil. "Jadi. Kau
memberitahu padanya semuanya, hmmm? Dia tahu tentang
hubungan cinta kecil kita?"
"Baik, kau mau dia tahu semuanya, lalu aku malah akan terus maju
dan mengatakan padamu, tentang apa yang ingin kukatakan secara
pribadi, di depan pelacur bermulut besarmu." Suara Adele manis dan
ringan, sangat mengerikan, aku tak bisa melakukan apa-apa kecuali
mengangkat kepalaku dan melihatnya.
Aku tidak suka apa yang aku lihat. Ada kekejaman yang berpijar di
matanya dan bibirnya melengkung ke atas membentuk senyum
menyeramkan. Adele jelas dalam hampir kehilangan kewarasannya.
"Kita harus pergi," aku berbisik pada Drew dan tanpa kata-kata dia
menyalakan mesin.
Dia menoleh untuk menatap Adele, seperti yang aku lakukan. "Ada
apa dengan Vanessa?"
"Aku sudah sangat lama mencoba memberitahumu, hanya waktunya
tidak pernah tepat. Tapi kau perlu tahu. Aku selalu merasa ini
kebenarannya...aku tidak yakin. Bagaimanapun sekarang aku tahu
ini benar. Tanpa keraguan, aku tahu."
Bab 13
Hari ke-7 (Keberangkatan), 11:30 a.m.
Fable
Hampir dua jam kemudian, dan aku masih tidak tahu apa yang harus
kukatakan.
Dia sedingin es. Tanpa ekspresi. Tanpa emosi. Hampa dari apapun
dan semuanya. Aku menghabiskan enam hari siang dan malam
bersamanya.
Aku telah melihatnya pada saat dititik terendah dan tertinggi. Dia
benar-benar marah dan benar-benar peduli, bahkan aku belum
pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Aku tidak tahu harus
berbuat apa untuknya. Dan dia tidak ingin berbicara padaku.
Ini berakhir dengan waktu empat jam yang terpanjang dan terhening
selama hidupku. Jalanan memang kejam! Cuaca sialan, hujan terus
menerus dan jalanan menjadi licin, membuatnya nyaris mustahil, dia
dapat melihat melalui kaca depan, hujannya sangat deras.
Kejam tapi itu kenyataannya, aku bisa merasakan itu. Oleh karena
itu rasa bersalah yang berlebihan bertumpuk padanya.
Aku tidak marah padanya, dan aku tidak bisa membencinya atas apa
yang terjadi padanya. Itu bukan kesalahannya, tak peduli seberapa
banyak ia memikirkan hal itu. Wanita itu menjeratnya kedalam
kegilaan ini, hubungan yang memuakkan, dan dia tidak tahu
bagaimana caranya keluar dari hubungan itu. Saat itu ia hanyalah
anak kecil saat wanita itu memulai permainannya.
Satu jam terakhir aku tidur dengan gelisah atau dengan menyetir,
terbangun karena sentakan ketika sebuah truk datang dan
sepenuhnya berhenti dan dia mematikan mesinnya. Aku
menengadahkan kepalaku dan menatap keluar jendela, menemukan
kami sedang berada di area parkir di komplek apartemenku.
"Fable."
Aku melihat Owen pergi, beralih ke ibu ketika dia menutup pintu di
belakangnya. Dia menatapku waspada, rambutnya yang pirang—
seperti punyaku—berjatuhan diatas matanya. Eyeliner-nya terlihat
berat, bibirnya memar. Aku mempunyai bayangan akan diriku yang
sama seperti ibu dua puluh tahun dari sekarang dan memikirkan itu
membuatku hampir lemas.
Aku menolak berbalik ke arah ibu, tidak peduli seberapa mirip jalan
yang aku miliki dengannya.
"Kenapa dia bertanya padamu jika dia pergi dan dia tidak bertanya
padaku?" Tangan ibu terarah pada pintu yang tertutup." Dia
bertindak seolah-olah kau ibunya."
"Ini hanya hari sabtu," Aku menunjuk."Apa kau tidak punya bar
untuk didatangi atau sesuatu?"
Dia mendengus. "Sejak kapan kau menjadi orang yang sok tahu?"
Ada dua soda dan mengkerut, dua belas kotak setengah kosong di
dalam sana juga. Tentu saja. Surga melarang ibu pergi tanpa cahaya
sejak awalnya.
Aku berjanji hal pertama yang kulakukan besok pagi, aku akan pergi
ke tempat berbelanja dengan uang yang aku dapat dari temanku, jadi
kami bisa mempunyai makanan yang layak dimakan di rumah. Dia
butuh untuk makan dan dengan pantas, bukan sekumpulan sampah
dan makanan cepat saji. Kami punya satu malam untuk pizza
pepperoni keju, tapi kami akan makan besok.
Tidak ada.
Aku masih berdiri lama setelah dia pergi. Berpikir tentang Drew.
Dimana dia, apa yang sedang dia lakukan? Aku sangat khawatir dan
aku benci merasa seperti ini.
Aku berharap dia tidak menutup dirinya dariku. Aku harap dia
mengizinkanku masuk.
Tapi harapan itu bodoh.
***
Drew
Hujan masih turun terus menerus dan ketika aku menyadari telah
mengemudi lebih dari satu jam dengan tidak ada tujuan, aku berakhir
di gedung apartemenku. Ini sisi berlawanan kota dari Fable, aku
tinggal di daerah baru, tempat yang lebih baik. Dimana tetangganya
tenang dan halaman yang sempurna. Tidak ramai, tetangga yang
lebih tua yang dipenuhi anak muda, suara berisik para mahasiswa
sejak disewakan karena harganya murah.
Aku lebih memilih apartemen karena ukurannya dua kali lebih besar
darinya dan aku hanya memiliki satu kamar. Sial, aku tinggal
sendirian sementara dia tinggal dengan ibu dan adiknya, mereka
bertiga mencoba yang terbaik untuk tetap bersama…
"Katakan kau bohong." Kata itu keluar begitu saja dan aku
memejamkan mataku, menunggu—dan menegangkan—jawabannya.
Dia diam sejenak. Aku bisa mendengar suara musik pelan sebagai
latar belakangnya, seperti dia ada di restoran atau suatu tempat. Aku
penasaran jika dia sedang bersama ayahku. Aku harap dia pergi ke
suatu tempat jadi ia tidak perlu mendengar apa yang dia akan
katakan. "Aku tidak bohong. Dia memang putrimu."
"Tuhan, Andrew, ini cerita lama yang sama, kau tahu? Ayahmu dan
aku…kami mencobanya beberapa tahun untuk memiliki anak, tapi
tidak berhasil. Suatu hari ide itu muncul di benakku bahwa kau
kandidat yang sempurna. Hal berikutnya, untuk berbicara, dan kau
bersedia. Aku merencana mengunjungimu berdasarkan sirkulasiku,
menggunakan beberapa kondom dan ini jalan tercepat yang hampir
berhasil." Suaranya redam, tapi dia terdengar masuk logika tentang
itu, aku ingin berteriak.
"Aku tidak pernah main-main dengan salah satu dari kalian, kau
harus percaya itu. Aku sangat mencintai ayahmu. Dan aku…aku
mencintaimu juga, Andrew. Tidak bisakah seorang wanita mencintai
dua orang lelaki? Banyak sekali kesamaan kualitas yang kalian
punya begitupun yang tidak. Aku menginginkan kalian berdua."
Suaranya mengecil. Bahkan dia berbicara padaku seakan dia... dia
menginginkanku ketika aku masih kecil, membuatku muak.
"Well, kau memiliki kami berdua. Aku harap kau puas," aku
membentak pada ponsel, bersiap untuk memutuskan telpon tapi aku
mendengarnya menyebutkan namaku. Aku memutuskan untuk
mendengarkannya. Aku tidak tahu mengapa. "Apa?"
"Tidak akan," Aku mengatakan dengan otomatis karena aku tahu itu
yang sebenarnya. Aku percaya Fable. Dia tidak akan berani
mengatakan apapun.
Bahkan, aku duduk di trukku untuk waktu yang lebih lama, berpikir.
Kapnya memanas, jendelanya beruap akibat napasku dan hujan yang
semakin deras. Aku tidak ingin masuk ke dalam apartemenku dan
menghabiskan malam sendirian. Pikiranku terlalu campur aduk,
terlalu fokus pada apa yang Adele katakan.
Bab 14
Setelah satu minggu, Tengah Malam
Fable
Aku mengakui bahwa aku juga bekerja di sebuah bar. Aku bahkan
sangat menyadari kalau aku sedang mengikuti jejak ibuku meski aku
mati-matian untuk tidak begitu. Aku sempat berpikir apakah
memang aku ditakdirkan untuk berakhir menjadi sama seperti orang
tuaku, tidak peduli apakah aku telah berjuang. Pikiran seperti itu
membuatku depresi jadi aku mengenyahkannya.
Owen pulang sekitar pukul lima. Senang karena mendapati Ibu tidak
dirumah yang ditandai dengan senyumnya yang sedikit kurang ajar.
Aku benar-benar harus menghentikan kebiasaannya berbahasa kasar
yang sudah berkembang sangat pesat itu, tapi siapalah aku untuk
mengajarinya? Aku memaki dan bersumpah serapah sepanjang
waktu.
Jadilah aku ditinggal sendirian dan aku sudah terbiasa. Owen sering
menginap dirumah temannya dan ibuku lebih memilih untuk pergi
ke bar sampai tutup. Aku pun selalu bekerja, jadi memang tidak
pernah ada orang dirumah pada jam seperti ini.
Di luar hujan masih turun dan aku berbaring dalam gelap, menatap
langit-langit kamar. Aku tidak bisa menghilangkan Drew dari
pikiranku. Aku harus memastikan bahwa dia aman dan baik-baik
saja. Tanpa berpikir panjang aku meraih ponsel dan secepat kilat
menulis dan mengirim pesan untuknya sebelum aku sempat berpikir
untuk menghapusnya.
Keluar dari kamar tidur aku menuju ruang tamu dan meringkuk di
sofa, membungkus badan dengan selimut lusuh dan menghidupkan
tivi. Sudah larut malam, hubungan palsu kami secara resmi sudah
berakhir.
Menit berubah menjadi jam, aku menyadari bahwa dia tidak akan
menyelamatkanku. Dia menepati janjinya atas kesepakatan awal.
Aku bukan lagi pacar seminggunya Drew Callahan.
***
Drew
Sial! Aku bahkan tidak percaya aku baru mengenal gadis ini tujuh
hari. Dia sudah menjadi bagian dari diriku dan koper-koperku. Aku
mungkin sudah menjadi mimpi terburuknya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya pelan dan dingin. "Aku
dapat pesanmu." sambil mengusap air hujan diwajahku. "Kamu
terlambat dua jam." dia hendak menutup pintu tapi aku menyelipkan
kaki untuk menjaganya tetap terbuka. "Pergilah Drew."
"Yeah?" Suaraku serak dan aku berdehem. Aku harus menjaga jarak
dengannya. Membuatnya berdekatan denganku hanya membawa
malapetaka untuknya. Dia sudah punya banyak masalah dalam
hidupnya, aku hanya membuat hidupnya lebih susah.
Padahal kami bercinta hanya beberapa jam yang lalu. Sial, aku
berada didalamnya pagi ini tapi aku merasa dipisahkan berminggu-
minggu. Berbulan-bulan. Mulut kami rakus, tangannya terkubur di
rambutku, menjaga tubuhku tetap dekat saat aku tersandung di ruang
tamunya, dan akhirnya rebah di sofa dengan berbalut tubuhnya.
Fable mendorong baju hangatku dan aku menarik kaosnya, aku
menang dibabak pertama. Mengeluarkannya dari kaos yang
kebesaran itu dan menjauhkan dari tubuhnya.
"Lihat aku." Aku tidak ingin dia berpaling. Dia perlu membuang
wanita itu sepenuhnya dari pikirannya dan hanya berfokus padaku.
Dia. Kami. Bersama. Aku sudah mencapai puncak sekali, aku
membuatnya bergairah, begitu bersemangat saat aku menyadari
bahwa dia datang hanya untuk menyelamatkanku. Tidak perlu
keahlian jemarinya untuk membuatku puas saat itu. Aku terlalu
bodoh untuk berpikir cukup. Aku selalu menginginkannya. Selalu.
Selalu seperti ini diantara kami. Bersama-sama mendapatkan
kepuasan dan dengan mudahnya kami.. terangsang. Sangat indah.
Apakah dia tahu seberapa banyak dia mempengaruhiku? Apakah dia
menyadari bagaimana hatiku sekarang terletak di genggamannya?
Aku seutuhnya milik Drew, seperti apa yang dikatakannya semalam.
Tak ada satupun bom yang dilemparkan Adele yang berarti penting.
Aku hanya ingin disini bersamanya. Menghiburnya,
menyembuhkannya, menemaninya dalam segala hal jika saja dia
mengijinkanku.
"Ya." Dia tidak mengatakan apapun, begitu juga aku. Aku sangat
kelelahan dan terasa begitu pas untuk jatuh tertidur dalam pelukan
Drew. Aku tidur seperti orang mati, sama seperti tadi malam saat aku
masih dalam pelukannya. Drew Callahan sangat membuatku
kecanduan seperti pil tidur.
Bab 15
Minggu baru, hidup baru
Fable
Sayangku Fable,
Menyakitiku—kecuali dirimu.
Yang kuinginkan hanyalah dirimu, tapi aku tidak bisa melakukan ini
sekarang.
Aku mencintaimu.
Drew
***
Air mataku jatuh berderai seperti hujan oleh surat yang Drew tulis
untukku, kata-katanya bernoda tinta karena buru-buru ditulis, dan
aku mengusap pipiku dengan marah, menyeka air mataku. Aku
mempelajari surat itu, mencoba untuk memahami semuanya. Kenapa
dia meninggalkan aku? Kenapa dia...
"M-A-R-S-H-M-A-L-L-O-W."