You are on page 1of 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Prasekolah

2.1.1 Pengertian Anak Prasekolah

Anak prasekolah adalah anak yang berusia antara 3- 6 tahun.

Dalam usia ini anak umumnya mengikuti program anak ( 3 tahun – 5

tahun ) dan kelompok bermain ( usia 3 tahun ), sedangkan pada usia 4 – 6

tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak – Kanak

(Patmonedowo, 2008). Masa balita, terutama pada masa prasekolah

merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini

berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulangi lagi, maka masa

prasekolah disebut masa keemasan (golden period), jendela kesempatan

(window of opportunity) dan masa kritis (critical period) (Depkes RI,

2010). Masa prasekolah merupakan masa-masa untuk bermain dan mulai

memasuki taman kanak-kanak. Waktu bermain merupakan sarana untuk

tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya dalam belajar formal ataupun

informal (Gunarsa, 2010).

2.1.2 Ciri-ciri Anak Prasekolah

Snowman (dalam Patmonodewo, 2008) mengemukakan ciri-ciri

anak usia prasekolah (3-6 tahun) yang biasanya berada di Taman

Kanak-Kanak. Ciri-ciri yang dikemukakan meliputi aspek fisik, sosial,

emosi dan kognitif anak:

8
1. Ciri fisik

Anak usia prasekolah umumnya sangat aktif. Mereka memiliki

penguasaan (kontrol) terhadap tubuhnya dan sangat suka

melakukan kegiatan yang dilakukan sendiri. Setelah melakukan

berbagai kegiatan, anak usia prasekolah membutuhkan istirahat

yang cukup. Otot-otot besar pada anak usia prasekolah lebih

berkembang dari kontrol terhadap jari dan tangan. Oleh karena

itu, mereka biasanya belum terampil dalam melakukan kegiatan

yang agak rumit seperti mengikat tali sepatu. Anak usia

prasekolah juga sering mengalami kesulitan apabila harus

memfokuskan perhatiannya pada objek-objek yang kecil

ukurannya. Walaupun tubuh anak ini lentur, tetapi tengkorak

kepala mereka masih lunak. Selain itu, walaupun anak laki-laki

lebih besar, akan tetapi anak perempuan lebih terampil dalam

tugas yang praktis.

2. Ciri sosial

Umumnya pada tahap ini mereka mempunyai satu atau dua

sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti. Kelompok

bermainnya cenderung kecil dan tidak terlalu terorganisir

dengan baik. Anak yang lebih muda sering kali bermain

bersebelahan dengan anak yang lebih tua. Selain itu

permainan mereka juga bervariasi sesuai dengan kelas sosial

dan gender. Sering terjadi perselisihan tetapi kemudian

9
berbaikan kembali. Pada anak usia prasekolah juga sudah

menyadari peran jenis kelamin dan sextyping.

3. Ciri emosional

Anak usia prasekolah cenderung mengekspresikan perasaan

secara bebas dan terbuka. Iri hati juga sering terjadi diantara

mereka dan anak usia prasekolah pada umumnya sering kali

merebut perhatian guru.

4. Ciri kognitif

Anak usia prasekolah umumnya sudah terampil dalam

berbahasa. Kompetensi anak juga perlu dikembangkan

melalui interaksi, minat, kesempatan, memahami dan kasih

sayang.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Prasekolah

Setiap orang tua akan mengharapkan anaknya tumbuh dan

berkembang secara sempurna tanpa mengalami hambatan apapun

(Sujono Riyadi Sukarmin, 2009). Namun ada banyak faktor yang dapat

berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan anak

tersebut dimana ada sebagian anak yang tidak selamanya tahapan

tumbangnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang tuanya. Ada

dua faktor yang mempengaruhi proses perkembangan optimal seorang

anak, yaitu :

10
a. Faktor dalam (internal)

Yaitu faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri baik faktor

bawaan (genetic) maupun faktor yang diperoleh, termasuk disini

antara lain:

1. Unsur berfikir dan kemampuan intelektual

Misal : kecepatan berfikir.

2. Keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh

Misal : kekurangan hormon yang dapat menghambat

pertumbuhan dan perkembangan anak.

3. Emosi dan sifat-sifat (tempramen) tertentu

Misal : pemalu, pemarah, tertutup, dan lain-lain.

b. Faktor luar (eksternal)

Termasuk disini antara lain:

1. Keluarga

Sikap dan kebiasaan keluarga dalam mengasuh dan

mendidik hubungan antara saudara, dan alin-lain.

2. Gizi

Kekurangan gizi dalam makanan menyebabkan

pertumbuhan anak terganggu yang akan mempengaruhi

perkembangan seluruh dirinya.

3. Budaya setempat

Asuhan dan kebiasaan dari suatu masyarakat akan

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

11
4. Teman bermain dan sekolah

Ada tidaknya teman bermain, tempat dan alat bermain,

kesempatan pendidikan di sekolah, akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak.

c. Faktor Orang Tua

1. Lamanya orang tua bekerja di luar rumah

Apabila orang tua bekerja di luar rumah, maka kesempatan

untuk kehidupan sosial dan rekreasi dengan keluarga

biasanya terbatas, dan tiap anak harus mengerjakan lebih

banyak tugas rumah tangga dari yang lazim.

2. Pendidikan orang tua

Dengan pendidikan yang semakin matang, orang tua dapat

mengarahkan anak sedini mungkin dan akan mempengaruhi

daya pikir anak untuk dapat berimajinasi. (Direktorat Bina

Kesehatan Keluarga, 1998).

2.2 Konsep Keluarga

2.2.1 Pengertian Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung

karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan

mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan

didalam perannya masing-masing menciptakan serta mempertahankan

kebudayaan (Friedman, 2010). Menurut Ali, (2010) keluarga adalah dua

atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan

dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan

12
lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu

budaya (Ali, 2010). Sedangkan menurut Duvall dalam (Harmoko, 2012)

konsep keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh

ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan menciptakan dan

mempertahankan budaya yang umum: meningkatkan perkembangan

fisik, mental, emosional, dan sosial dari tiap anggota.Keluarga

merupakan aspek terpenting dalam unit terkecil dalam masyarakat,

penerima asuhan, kesehatan anggota keluarga dan kualitas kehidupan

keluarga saling berhubungan, dan menempati posisi antara individu dan

masyarakat (Harmoko. 2012).

2.2.2 Fungsi Keluarga

Menurut Marilyn M. Friedman (2010) fungsi keluarga dibagi

menjadi 5 yaitu:

a. Fungsi Afektif

Memfasilitasi stabilisasi kepribadian orang dewasa,

memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga.

b. Fungsi Sosialisasi

Memfasilitasi sosialisasi primer anak yang bertujuan

menjadikan anak sebagai anggota masyarakat yang

produktif serta memberikan status pada anggota keluarga.

c. Fungsi Reproduksi

13
Untuk mempertahankan kontinuitas keluarga selama

beberapa generasi dan untuk keberlangsungan hidup

masyarakat,.

d. Fungsi ekonomi

Menyediakan sumber ekonomi yang cukup dan alokasi

efektifnya.

e. Fungsi perawatan kesehatan

Menyediakan kebutuhan fisik-makanan, pakaian, tempat

tinggal, perawatan kesehatan. (Marilyn M. Friedman, hal

86; 2010)

Berdasarkan UU No.10 tahun 1992 PP No.21 tahun 1994 tertulis

fungsi keluarga dalam delapan bentuk yaitu :

a. Fungsi Keagamaan

1) Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan

tujuan hidup seluruh anggota keluarga.

2) Menerjemahkan agama kedalam tingkah laku hidup

sehari-hari kepada seluruh anggota keluarga.

3) Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari-hari

dalam pengamalan dari ajaran agama.

4) Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak

tentang keagamaan yang kurang diperolehnya diseko lah

atau masyarakat.

14
5) Membina rasa, sikap, dan praktek kehidupan keluarga

beragama sebagai pondasi menuju keluarga kecil bahagia

sejahtera.

b. Fungsi Budaya

1) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk

meneruskan norma-norma dan budaya masyarakat dan

bangsa yang ingin dipertahankan.

2) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk

menyaring norma dan budaya asing yang tidak sesuai.

3) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang

anggotanya mencari pemecahan masalah dari berbagai

pengaruh negatif globalisasi dunia.

4) Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang

anggotanya dapat berpartisipasi berperilaku yang baik

sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam

menghadapi tantangan globalisasi.

5) Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan

seimbang dengan budaya masyarakat atau bangsa untuk

menjunjung terwujudnya norma keluarga kecil bahagia

sejahtera.

c. Fungsi Cinta Kasih

1) Menumbuh kembangkan potensi kasih sayang yang telah

ada antar anggota keluarga ke dalam simbol-simbol

nyata secara optimal dan terus-menerus.

15
2) Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar

keluarga secara kuantitatif dan kualitatif.

3) Membina praktek kecintaan terhadap kehidupan duniawi

dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan

seimbang.

4) Membina rasa, sikap dan praktek hidup keluarga yang

mampu memberikan dan menerima kasih sayang

sebagai pola hidup ideal menuju keluarga kecil bahagia

sejahtera.

d.Fungsi Perlindungan

1) Memenuhi kebutuhan rasa aman anggota keluarga baik

dari rasa tidak aman yang timbul dari dalam maupun

dari luar keluarga.

2) Membina keamanan keluarga baik fisik maupun psikis

dari berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang

datang dari luar.

3) Membina dan menjadikan stabilitas dan keamanan

keluarga sebagai modal menuju keluarga kecil bahagia

sejahtera.

e. Fungsi Reproduksi

1) Membina kehidupan keluarga sebagai wahana

pendidikan reproduksi sehat baik bagi anggota keluarga

maupun bagi keluarga sekitarnya.

16
2) Memberikan contoh pengamalan kaidah-kaidah

pembentukan keluarga dalam hal usia, pendewasaan

fisik maupun mental.

3) Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang

berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara dua

anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam

keluarga.

4) Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai

modal yang kondusif menuju keluarga kecil bahagia

sejahtera.

f. Fungsi Sosialisasi

1) Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan

keluarga sebagai wahana pendidikan dan sosialisasi

anak pertama dan utama.

2) Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan

keluarga sebagai pusat tempat anak dapat mencari

pemecahan dari berbagai 15 konflik dan permasalahan

yang dijumpainya baik di lingkungan sekolah maupun

masyarakat.

3) Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang

hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan

kematangan dan kedewasaan (fisik dan mental), yang

kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun

masyarakat.

17
4) Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi

dalam keluarga sehingga tidak saja bermanfaat positif

bagi anak, tetapi juga bagi orang tua, dalam rangka

perkembangan dan kematangan hidup bersama menuju

keluarga kecil bahagia sejahtera.

g. Fungsi Ekonomi

1) Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di

dalam lingkungan keluarga dalam rangka menopang

kelangsungan dan perkembangan kehidupan keluarga.

2) Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian,

keselarasan dan keseimbangan antara pemasukan dan

pengeluaran keluarga.

3) Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua di luar

rumah dan perhatiannya terhadap anggota keluarga

berjalan secara serasi, selaras dan seimbang.

4) Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai

modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan

sejahtera.

h. Fungsi Pelestarian Lingkungan

1) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian

lingkungan internal keluarga.

2) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian

lingkungan eksternal keluarga.

18
3) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian

lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang dan

antara lingkungan keluarga dengan lingkungan hidup

masyarakat sekitarnya.

4) Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian

lingkungan hidup sebagai pola hidup keluarga menuju

keluarga kecil bahagia sejahtera. (UU No.10 tahun

1992 PP No.21 tahun 1994, dalam Setiadi 2008)

2.2.3 Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan

Friedman (1998 dikutip dari Setiadi, 2008) membagi 5 tugas

keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan yaitu:

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya.

Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak

boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu

tidak akan berarti dan karena kesehatan kadang seluruh

kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Orang tua

perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-

perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan

sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak

langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga,

maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera

dicabut kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan

seberapa besar perubahannya.

19
b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan

kesehatan yang tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan

upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan

yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan

pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai

kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan

keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh

keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat

dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga mempunyai

keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di

lingkungan sekitar keluarga.

c. Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit

atau yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena

cacat atau usianya yang terlalu muda. Perawatan ini dapat

dilakukan di rumah apabila keluarga memiliki

kemampuan melakukan tindakan untuk memperoleh

tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak

terjadi.

d. Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan

kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota

keluarga. Keluarga memainkan peran yang bersifat

mendukung anggota keluarga yang sakit. Dengan kata lain

perlu adanya sesuatu kecocokan yang baik antara

20
kebutuhan keluarga dan asupan sumber lingkungan bagi

pemeliharaan kesehatan anggota keluarga.

e. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga

dan lembaga kesehtan (pemanfaatan fasilitas kesehatan

yang ada). Hubungan yang sifatnya positif akan memberi

pengaruh yang baik pada keluarga mengenai fasilitas

kesehatan. Diharapkan dengan hubungan yang positif

terhadap pelayanan kesehatan akan merubah setiap

perilaku anggota keluarga mengenai sehat sakit.

2.3 Konsep Dukungan Keluarga

2.3.1 PengertianDukungan Keluarga

Dukungan keluarga menurut friedman (2010) adalah sikap,

tindakan penerimaan keluarga terhadap anngota keluarganya, berupa

dukungan informasional, dukungan penilain, dukungan instrumental

dan dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk

hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan

terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada

yang memperhatikan. Sedangkan menurut Suparyanto, (2012)

dukungan keluarga adalah adanya kenyamanan, perhatian,

penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima

kondisinya, dukungan keluarga tersebut diperoleh dari individu

maupun kelompok.

21
2.3.2 Jenis Dukungan Keluarga

Menurut House dan Kahn (1985) dalam Friedman (2010), terdapat

empat tipe dukungan keluarga yaitu:

1. Dukungan Emosional

Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk

beristirahat dan juga menenangkan pikiran. Setiap orang

pasti membutuhkan bantuan dari keluarga. Invidu yang

menghadapi persoalan atau masalah akan merasa terbantu

kalau ada keluarga yang mau mendengarkan dan

memperhatikan masalah yang sedang dihadapi.

2. Dukungan Penilaian

Keluarga bertindak sebagai pengarah dalam pemecahan

masalah dan juga sebagai fasilitator dalam pemecahan

masalah yang dihadapi. Dukungan dan perhatian dari

keluarga merupakan bentuk penghargaan positif yang

diberikan kepada individu.

3. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan dalam hal

pengawasan, kebutuhan individu. Keluarga mencarikan solusi

yang dapat membantu individu dalam melakukan kegiatan.

4. Dukungan informasional

22
Keluarga berfungsi sebagai penyebar dan pemberi

informasi. Disini diharapkan bantuan informasi yang

disediakan keluarga dapat digunakan oleh individu dalam

mengatasi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi.

2.3.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut Purnawan (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi

dukungan keluarga adalah :

a. Faktor Internal

1) Tahap Perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam

hal ini adalah pertumbuhan dan perkembangan, dengan

demikian setiap rentang usia (bayi-lansia) memiliki

pemahaman dan respon terhadap kesehatan yang berbeda-

beda.

2) Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk

oleh variabel intelektual yang terdiri dari pengetahuan, latar

belakang pendidikan, dan pengalaman masa lalu.

Kemampuan kognitif akan membentuk cara berfikir

seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-

faktor yang berhubungan dengan penyakit dan

menggunakan pengetahuan tentang kesehatan untuk

menjaga kesehatan dirinya.

3) Faktor Emosi

23
Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap

adanya dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang

yang mengalami respon stres dalam setiap perubahan

hidupnya cenderung berespon terhadap berbagi tanda sakit,

mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan bahwa

penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya.

Seseorang yang secara umum terlihat sangat tenang

mungkin mempunyai respon emosional yang kecil selama

ia sakit. Seseorang individu yang tidak mampu melakukan

koping secara emosional terhadap ancaman penyakit

mungkin akan menyangkal adanya gejala penyakit pada

dirinya dan tidak mau menjalani pengobatan.

4) Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari bagaimana seseorang

menjalani kehidupannya, mencakup nilai dan keyakinan

yang dilaksanakan, hubungan dengan keluarga atau teman,

dan kemampuan mencari harapan dan arti dalam hidup.

b. Faktor Eksternal

1) Praktik di Keluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya

mempengaruhi penderita dalam melaksanakan

kesehatannya. Misalnya: klien juga kemungkinan besar

24
akan melakukan tindakan pencegahan jika keluarganya

melakukan hal yang sama. Misal: anak yang selalu diajak

orang tuanya untuk melakukan pemeriksaan kesehatan

rutin, maka ketika punya anak dia akan melakukan hal yang

sama.

2) Faktor Sosial Ekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan risiko

terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara seseorang

mendefinisikan dan bereaksi terhadap penyakitnya.

Variabel psikososial mencakup: stabilitas perkawinan, gaya

hidup, dan lingkungan kerja.

Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan

mempengaruhi keyakinan kesehatan dan cara

pelaksanannya. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang

biasanya ia akan lebih cepat tanggap terhadap gejala

penyakit yang dirasakan. Sehingga ia akan segera mencari

pertolongan ketika merasa ada gangguan pada

kesehatannya.

3) Latar Belakang Budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan

kebiasaan individu, dalam memberikan dukungan termasuk

cara pelaksanaan kesehatan pribadi.

25
2.3.4 Manfaat Dukungan Keluarga

Willis dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik efek-

efek penyangga (dukungan sosial melindungi individu terhadap efek

negatif dari stress) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara

langsung mempengaruhi akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan.

Sesungguhnya efek-efek penyangga dan utama dari dukungan sosial

terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi berfungsi secara

bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang

adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih

mudah sembuh dari sakit dan di kalangan kaum tua, fungsi kognitif,

fisik, dan kesehatan emosi.

Serason (1993) dalam Kuncoro (2002) berpendapat bahwa

dukungan keluarga mencakup 2 hal yaitu :

1. Jumlah sumber dukungan yang tersedia, merupakan

persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat

diandalkan saat individu membutuhkan bantuan.

2. Tingkat kepuasan akan dukungan yang diterima berkaitan

dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan

terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).

2.3.5 Pengukuran Dukungan Keluarga

Menurut nursalam (2008), untuk mengtahui besarnyadukungan

keluargadapat diukur dengan menggunakan kuisoner dukungan

keluarga yang terdiri dari 12 buah pertanyaan yang mencakup empat

26
jenis dukungan keluarga yaitu dukungan infomasional, dukungan

emosional, dukungan penilaian dan dukungan instrumental. Dari 12

buah pertanyaan, pertanyaan no 1-3 mengenai dukungan penilaian,

pertanyaan no 4-6 mengenai dukungan instrumental, pertanyaan no 7-

9 mengenai dukungan informasi, no 10-12 mengenai dukungan

emosional.

Masing-masing dari pertanyaan tersebut terdapat 4 alternatif

jawaban yaitu “selalu” ,”sering”, “kadang-kadang”, dan “tidak

pernah”. Jika menjawab “selalu” akan mendapat skor 4, menjawab

“sering” mendapat skor 3, menjawab “kadang-kadang” mendapat skor

2, dan menjawab “tidak pernah” mendapat skor 1. Total skor pada

kuisoner ini adalah 1-48. Jawaban dari responden dilakukan scoring.

2.4 Konsep Kecemasan

2.4.1 Pengertian Kecemasan

Menurut Townsend (2009), kecemasan merupakan perasaan

gelisah yang tidak jelas, akan ketidaknyamanan atau ketakutan yang

disertai respon otonom, sumbernya seringkali tidak spesifik atau tidak

diketahui oleh individu, perasaan takut terhadap sesuatu karena

mengantisipati bahaya. Kecemasan (ansietas) adalah perasaan aneh

dan kacau, sumbernya sering tidak spesifik atau tidak diketahui oleh

individu (Martin Tucker, 2007).Pendapat lain menyatakan bahwa

takut sebenarnya tidak bisa dibedakan dengan cemas karena individu

27
merasa takut atau cemas mengalami pola respon perilaku, fisiologis,

dan emosional dalam rentang yang sama (Videbeck, 2008)

Pada anak yang sedang mengalami kecemasan, anak akan

menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap pengalaman

hospitalisasi. Reaksi tersebut bersifat individual, dan sangat bergantung

pada tahapan usia anak perkembangan anak, pengalaman sebelumnya

terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan

koping yang dimilikinya. Pada umunya, reaksi anak terhadp sakit

adalah kecemasan karena perpisahan, kehilangan perlakuan tubuh dan

rasa nyeri (Supartini, 2004).

2.4.2 Penyebab Kecemasan

Penyebab kecemasan pada anak akibat hospitalisasi menurut Wong

(2008) adalah perpisahan dengan keluarga, stres akibat perubahan dari

keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, cedera tubuh dan nyeri.

Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia

perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan

penyakit, keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan,

keparahan diagnosis, dan sistem pendukung yang ada.

2.4.3 Manifestasi Kecemasan

Manifestasi kecemasan pada anak terdiri dari beberapa fase

(Nursalam , 2008):

1. Fase Protes (Phase os Protest)

Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat,

menjerit, dan memanggil ibunya atau menggunakan

28
tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit,

memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang

tuanya tetap tinggal, dan menolak perhatian orang alin.

Secara verbal, anak menyerang dengan rasa marah,

seperti mengatakan “pergi”. Perilaku tersebut dapat

berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari.

Perilaku protes tersebut, seperti menangis, akan terus

berlanjut dan hanya akan behrnti bila anak merasa

kelelahan. Pendekatan dengan orang asing yang tergesa-

tergesa akan meninggalkan protes.

2. Fase Putus Asa (Phase Of Despair)

Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya

berkurang, tidak aktif, kurang berminat untuk bermain,

tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau

komunikasi, sedih, apatis, dan regresi (misalnya:

mengompol atau mengisap jari). Pada tahap ini, kondisi

anak mengkhawatirkan karena menolak untuk makan,

atau bergerak.

3. Fase Menolak (Phase Of Denial)

Pada tahap ini secara samar-samar anak menerima

perpisahan, mulai teriak padaa yang ada di sekitarnya,

dan membina hubungan dangkal dengan orang lain.

Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi

setelah perpisahan dengan orang tua.

29
2.4.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Anak

Menurut Moersintowarti (2008), factor yang mempengaruhi

kecemasan pada anak yang dirawat di rumah sakit anatara lain:

a. Lingkungan rumah sakit

b. Bangunan rumah sakit

c. Bau khas rumah sakit

d. Obat-obatan

e. Alat-alat medis

f. Tindakan medis yang dilakukan pada anak

g. Petugas kesehatan

h. Dukungan keluarga

2.4.5 Klasifikasi Tingkat Kecemasan

Menurut Martin Tucker (2007) Klasifikasi tingkat kecemasan

di bagi menjadi 4 tingkatan yaitu :

1. Kecemasan ringan

Kecemasan ringan adalah kecemasan normal yang

memotivasi individu setiap hari untuk melakukan aktivitas dan

menangani masalah. Batasan karateristik kecemasan ringan

pada nafsu makan, iritabilitas, mengulang pertanyaan, perilaku

mencari perhatian, peningkatan keseiagaan, peningkatan

persepsi dan pemecahan masalah, mudah marah, berfokus pada

masalah masa depan, gerakan tidak tenang.

2. Kecemasan sedang

30
Kecemasan sedang dalah kecemasan yang mengganggu

pembelajaran vbaru dengan menyempitkan lapang persepsi

sehingga individu menangkap lebih sedikit, tetapi mampu

mengikuti pembelajaran dengan arahan dari orang alin.

Batasan karateristik kecemasan sdang ini meliputi

perkembangan ansietas ringan, perhatian selektif pada

lingkungan, konsentrasi pada hanya tugas individual,

ketidaknyamanan subjektif sedang, peningkatan jumlah waktu

yang digunakan pada situasi masalah, suara gemetar,

perubahan puncak suara, takipnea, takikardi, tremor,

peningkatan teganggan otot, menggigit kuku, mengetukan jari,

mengetukan ibu jari kaki, atau mengayunkan kaki, peningkatan

pikiran obsesif dan merenung, ketidakmapuan berkonsentrasi,

panic, rasa bersalah, malu, menangis, iritabilitas.

3. Kecemasan berat

Selama episode kecemasan berat, lapang persepsi

individu menyempit sampai titik ketika ia tidak dapat

memecahkan masalah atau belajar, fokusnya adalah pada

detail yang kecil atau menyebar, dan pada komunikasi

tertanggu, pasien dapat menunjukkan banayk upaya yang

gagal untuk mengurangi ansietas dan biasanya

mengungkapkan distress subjektif berat.

Batasan karateristik kecemasan berat meliputi rasa

akan mengalami malapetaka, ketegangan otot luas (sakit

31
kepala, spasme otot), diaphoresis, perubahan pernafasan:

mengeluarkan napas panjang dan dalam, hiperventilasi,

dyspnea, pusing, perubahan GI: mual, muntah, heartburn,

bersendawa, anoreksia, dan diare atau konstipasi,

perubahan kardiovaskuler: takikardi, palpitasi,

ketidaknyamanan prekordium, penurunan rentang persepsi

hebat, ketidakmampuan belajar, ketidakmampuan

berkonsentrasi, rasa terisolasi, kesulitan atau ketidaktepatan

verbalisasi, aktivitas tanpa tujuan, rasa bermusuhan.

4. Tingkat panik

Kecemasan telah meningkat sampai tingkat individu

tersebut sekarang mambahayakan diri dan atau

orang lain dan dapat menjadi imobilisasi atau

menyerang secara acak. Batasan karateristik

kecemasan tingkat panik meliputi hiperaktivitas

atau imobilisasi berat, rasa terisolasi yang ekstrem,

kehilangan identitas: disintegarsi kepribadian,

gemetaran dan keteganggan otot yang hebat,

ketidakmampuan berkomunikasi dalam kalimat

yang lengkap, distori persepsi dan penilaian yang

tidak realitas pada lingkungan dan atau ancaman,

perilaku kacau dalam upaya melarikan diri, perilaku

menyerang, perilaku menghindar, fobia, agorafobia.

2.4.6 Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kecemasan Pada Anak

32
Menurut Wong (2008), upaya untuk mengatasi kecemasan pada

anak antara lain dengan:

1. Melibatkan orang tua anak

Melibatkan orang tua setiap tindakan yang akan di

lakukan kepada anak merupakan upaya dalam mengurangi

kecemasan pada anak karena akan merasa terlindungi

dengan adanya orang tua di samping mereka, terurama pada

anak usia 1-3 tahun.

2. Modifikasi lingkungan rumah sakit

Upaya ini diharapkan agar anak tetap merasa nyaman

dan tidak asing dengan lingkungan rmah sakit.

3. Peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat,

dan sebagainya)

Peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter,

perawat, dan sebagainya) khususnya perawat merupakan

orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di

rumah sakit. Seakalipun anak menolak perawat namun

perawat harus tetap memberikan dukungan meluangkan

waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara

bernada tenang dan sentuhan secara empati.

33
2.4.7 Rentang Respon

Menurut Depkes RI (2005) rentang respon ansietas berfluktuasi

anatara respon adaptif dan maladaptif seperti gambar berikut ini:

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik

Gambar 2.1

Rentang Respon Kecemasan

2.4.8Proses Kecemasan

Ancaman cemas Koping  Adaptif


 Palratif
(Streso) (behavior)
 Mal adaptif
 Disfungsional

Gambar 2.2. Proses kecemasan

(Sumber: Stuart, 2002. Pocket guide to phsyciatric nursing)

Dengan adanya berbagai macam stressor yang ada pada

individu akan menimbulkan respon cemas. Respon cemas dapat

dikaji oleh perawat dengan menanyakan kepada klien bagaimana

dia bereaksi terhadap kecemasan itu. Cara lain respon seseorang

terhadap situasi cemas dapat dikaji dengan mengobservasi perilaku

secara objektif (Stuart, 2002. Pocket guide to phsyciatric nursing).

2.4.9 Pengukuran Tingkat Kecemasan

Instrumen penelitian untuk mengukur tingkat kecemasan

34
anak hospitalisasi adalah menggunakan lembar observasi yang

dimodifikasi dari Hockenberry dan Wilson (2009). Kecemasan

diobservasi menggunakan 15 item respon anak yang dinilai dengan

skala likert, pernyataan terdiri dari pernyataan favorable (positif)

dan unfavourable (negatif), untuk pernyataan positif mempunyai

nilai yaitu “selalu” (SL) = 1, “sering” (SR) = 2, “Kadang –

kadang” (KD) = 3, dan “tidak pernah” (TP) = 4. Pernyataan positif

terdapat pada pernyataan item no. 1,2,6,11,12, dan 15. Sedangkan

sisanya adalah pernyataan negatif dengan nilai sebaliknya yaitu

“selalu” (SL) = 4, “sering” (SR) = 3, “Kadang – kadang” (KD) = 2,

dan “tidak pernah” (TP) = 1.

Untuk menetukan tingkat kecemasan yang dialami oleh

anak yaitu dengan menjumlah nilai-nilai dari tiap item dengan nilai

skoring sebagai berikut :

1-14: Tidak ada kecemasan

15-21 : Kecemasan ringan

22-28:Kecemasan sedang

29-42:Kecemasan berat

43-60 :Kecemasan berat sekali/ tingkat panik

35
2.5 Konsep Hospitalisasi

2.5.1 Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi adalah proses yang mengharuskan anak untuk tinggal

di rumah sakit dalam menjalani terapi pengobatan sehingga anak harus

beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit (Wong, dkk 2008).

Penyakit dan hospitalisasi seringkali menjadi krisis pertama yang

harus dihadapi anak. Anak – anak, terutama terutama usia satu tahun,

sangat rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stress akibat

perubahan dari keadaan sehat dan rutinitas lingkungan serta karena anak

memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan

stressor (Hockenberry & Wilson, 2009).

2.5.2 Stressor pada anak yang dirawat di rumah sakit

Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang

tampak pada anak. Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak

tersebut akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress

akibat perubahan yang dialaminya. Perubahan tersebut dapat berupa

perubahan status kesehatan anak, perubahan lingkungan, maupun

perubahan kebiasaan sehari – hari. Selain itu, anak juga memiliki

keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun

kejadian – kejadian yang bersifat menekan (Nursalam, Susilaningrum, dan

Utami, 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak Untuk Perawat dan

Bidan).

Stressor atau pemicu timbulnya stress pada anak yang dirawat di

rumah sakit dapat berupa perubahan yang bersifat fisik, psiko-sosial,

36
maupun spiritual. Perubahan lingkungan fisik ruangan seperti fasilitas

tempat tidur yang sempit dan kurang nyaman, tingkat kebersihan kurang,

dan pencahayaan yang terlalu terang atau terlalu redup. Selain itu suara

yang gaduh dapat membuat anak merasa terganggu atau bahkan menjadi

ketakutan. Keadaan dan warna dinding maupun tirai dapat membuat anak

merasa kurang nyaman.

Stressor utama dari hospitalisasi antara lain adalah cemas akibat

perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh dan adanya nyeri. Reaksi

anak terhadap krisis – krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan;

pengalaman sebelumnya tentang penyakit; perpisahan atau hospitalisasi;

ketrampilan koping yang dimiliki anak; keparahan diagnosis; dan sistem

pendukung yang ada (Hockenberry & Wilson, 2009. Wong’s esensial

pediatric nursing)

a. Cemas akibat perpisahan

Kecemasan akibat perpisahan ini disebut dengan depresi analitik.

Kecemasan akibat perpisahan ini terbagi dalam 3 fase yaitu:

1) Fase protes

Perilaku yang dapat diobservasi pada masa bayi adalah: menangis,

berteriak, mencari orangtua, menghindari dan menolak kontak dengan

orang asing. Perilaku yang dapat diobservasi pada anak toddler adalah:

menyerang orang asing secara verbal, misalnya dengan kata “pergi”,

menyerang orang asing dengan fisik, misalnya dengan menendang,

menggigit, memukul, atau mencubit, mencoba kabur, mencoba menahan

orangtua secara fisik agar tetap menemaninya. Perilaku tersebut dapat

37
berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa hari. Protes dengan

menangis dapat terus berlangsung dan hanya berhenti jika lelah.

Pendekatan orang asing dapat mencetuskan peningkatan stress.

2) Fase putus asa

Perilaku yang dapat diobservasi adalah tidak aktif, menarik diri dari

orang lain, depresi, sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan, tidak

komunikatif, mundur ke perilaku awal seperti mengisap ibu jari atau

mengompol. Lama perilaku tersebut berlangsung bervariasi. Kondisi fisik

anak dapat memburuk karena menolak untuk makan, minum, atau

bergerak.

3) Fase pelepasan

Perilaku yang dapat diobservasi adalah menunjukkan peningkatan

minat terhadap lingkungan sektar, berinteraksi dengan orang asing atau

pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun

dangkal, tampak bahagia. Biasanya terjadi setelah perpisahan yang terlalu

lama dengan orangtua. Perilaku tersebut mewakili penyesuaian superfisial

terhadap kehilangan.

b. Kehilangan kendali

Salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah stress akibat

hospitalisasi jumlah kendali yang dirasakan anak. Kurangnya kendali akan

meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi ketrampilan

koping anak – anak. Beberapa hal yang dapat menyebabkan anak

mengalami kehilangan kendali adalah perubahan peran keluarga;

38
ketidakmampuan fisik; takut terhadap kematian, penelantaran atau cidera

permanen, kehilangan penerimaan kelompok sebaya, kurangnya

produktivitas, dan ketidakmampuan untuk menghadapi stress sesuai

harapan budaya yang ada. Aktivitas rutinitas rumah sakit seperti tirah

baring yang lama dan dipaksakan, penggunaan pispot, ketidakmampuan

memilih menu, kurangnya privasi bantuan mandi di tempat tidur dapat

menyebabkan ancaman keamanan bagi anak. Selain itu lingkungan rumah

sakit dan kondisi penyakit juga dapat menyebabkan perasaan kehilangan

kendali. Salah satu masalah yang paling signifikan adalah berpusat pada

perasaan bosan (Hockenbery & Wilson, 2009. Wong’s esensial pediatric

nursing).

Selain kecemasan akibat perpisahan, anak juga mengalami cemas

akibat kehilangan kendali atas dirinya. Akibat sakit dan dirawat di rumah

sakit, anak akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan

otonominya. Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang

dialaminya, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif

(Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005. Asuhan Keperawatan Bayi

dan Anak Untuk Perawat dan Bidan).

c. Ketakutan cidera tubuh dan nyeri

Respon emosi terhadap penyakit sangat bervariasi tergantung pada

pencapaian tugas perkembangan anak, beberapa proses ini dapat dilihat

anak, mulai dari anak sampai remaja, seperti pada masa bayi yang

mempunyai respon emosi yang berada dalam menghadapi masalah seperti

perpisahan dengan orangtua, maka proses anak akan menangis, berteriak,

39
menari diri, dan menyerah, pada situasi yaitu diam, apabila tubuh terasa

nyeri reaksi yang dialami pada anak adalah menangis dan reaksi tubuh

untuk immobilitas (tidak mau bergerak sama sekali). Masa balita

mempunyai respon emosi terhadap stimulasi yang tidak menyenangkan

akan terjadi menangis mencari ibunya, kehilangan berbicara dan

kehilangan ketrampilan barunya.

Pada anak masa pra sekolah respon nyerinya adalah perpisahan,

tidak mengenal lingkungan yang asing, karena anak sebagai anggota unit

keluarga dalam suatu kultur dan masyarakat maka perawatan anak tidak

tidak boleh memperhatikan anak itu sendiri, akan tetapi kultur masyarakat

dan keluarga harus diperhatikan, seperti masalah pengetahuan keluarga,

budaya, lingkungan, dll. (Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1:2008).

Reaksi anak usia pra sekolah terhadap rasa nyeri sama seperti

sewaktu masih bayi. Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan

menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir,

membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti

menendang dan memukul. Namun, pada akhir periode balita anak biasanya

sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka alami dan

menunjukkan lokasi nyeri (Nursalam, Susilaningrum, dan Utami, 2005.

Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak Untuk Perawat dan Bidan).

Anak perempuan cenderung mengekspresikan ketakutan lebih

banyak dibandingkan anak laki – laki, dan hospitalisasi sebelumnya tidak

berdampak pada frekuensi atau intensitas ketakutan tersebut. Karena

kemampuan kognitif anak sedang berkembang. Anak akan waspada

40
terhadap berbagai penyakit yang berbeda, pentingnya anggota tubuh

tertentu, kemungkinan bahaya pengobatan, konsekuensi semua hidup

akibat cedera permanen atau kehilangan fungsi tubuh dan makna kematian

(Hockenbery & Wilson, 2009. Wong’s esensial pediatric nursing).

2.5.3 Hospitalisasi Pada Anak Usia Prasekolah

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6

tahun (Supartini, 2004). Menurut Sacharin, anak usia prasekolah sebagian

besar sudah dapat mengerti dan mampu mengerti bahasa yang sedemikian

kompleks. Selain itu, kelompok umur ini juga mempunyai kebutuhan

khusus, misalnya, menyempurnakan banyak keterampilan yang telah

diperolehnya.

Pada usia ini, anak membutuhkan lingkungan yg nyaman untuk

proses tumbuh kembangnya. Biasanya anak mempunyai lingkungan

bermain dan teman sepermainan yang menyenangkan. Anak belum

mampu membangun suatu gambaran mental terhadap pengalaman

kehidupan sebelumnya sehingga dengan demikian harus menciptakan

pengalamannya sendiri (Sacharin, 1996). Bagi anak usia prasekolah, sakit

adalah sesuatu yang menakutkan. Selain itu, perawatan di rumah sakit

dapat menimbulkan cemas karena anak merasa kehilangan lingkungan

yang dirasakanya aman, penuh kasih saying, dan menyenangkan. Anak

juga harus meninggalkan lingkungan rumah yang dikenalnya, permainan,

dan teman sepermainannya (Supartini, 2004). Beberapa hal tersebut

membuat anak menjadi stress atau tertekan. Sebagai akibatnya, anak

merasa gugup dan tidak tenang, bahkan pada saat menjelang tidur. Anak

41
usia prasekolah sering merasa terkekang selama dirawat dirumah sakit. Hal

ini disebabkan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa

kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit sering kali

dipersepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,

bersalah, dan cemas atau takut.

2.5.4 Respon Anak Usia Prasekolah Terhadap Hospitalisasi

a. Respon Adaptif

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk

berpisah dari lingkungan yang dirasa aman, penuh kasih sayang dan

menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman

sepermainannya. Tingkat respon anatar individu sangat unik dan

berfariasi tergantung pada pengalaman yang di dapatkan sebelumnya,

status kesehatan individu dan stresor yang di berikan. Juga di

pengaruhi oleh perkembangan individu dan penggunaan mekanisme

koping yang maksimal. Sehingga ketika stresor itu muncul individu

akan lebih kooperatif, seperti mengikuti instruksi dan perintah petugas

kesehatan, tidak rewel (marah dan berontak) dan tidak ketergantungan

dengan orang tua (Nursalam, 2005 : 4-5).

b. Respon Mal Adaptif

Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan oleh anak

usia prasekolah adalah menolak makan, sering bertanya, menangis

walau secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas

kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan

kontrol terhadap dirinya. Perawatan anak di rumah sakit

42
mengharuskan adanya pembatasan aktivitas anak sehingga anak

merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di rumah sakit juga sering

di persepsikan sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu,

bersalah atau takut. Ketakutan anak terhadap perlakuan muncul karena

anak menganggap tindakan dan prosedurnya mengancam integritas

tubuhnya. Oleh karena itu, hal ini menimbulkan reaksi agresif dengan

marah dan berontak, ekspresi verbal dengan perawat dan

ketergantungan pada orang tua (Yupi Supatini, 2004 : 190-191).

2.5.5 Reaksi Anak Prasekolah Terhadap Hopitalisasi

Menurut Supartini (2004 : 196), reaksi anak prasekolah terhadap

hospitalisasi meliputi :

1. Cemas

2. Menolak makan

3. Sering bertanya

4. Menangis secara perlahan

5. Tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.

2.5.6 Keuntungan Hopitalisasi

Wong (2008) mengatakan bahwa meskipun hospitalisasi dapat

dan biasanya menimbulkan stres bagi anak-anak, tetapi hospitalisasi

juga dapat bermanfaat. Manfaat yang paling nyata adalah pulih dari

sakit, tetapi hospitalisasi juga dapat memberi kesempatan pada anak-

anak untuk mengatasi stres dan merasa kompeten dalam kemampuan

koping mereka. Lingkungan rumah sakit dapat memberikan

pengalaman sosialisasi yang baru bagi anak yang dapat memperluas

43
hubungan iterpersonal mereka. Manfaat psikologis perlu

dipertimbngkan dan dimaksimalkan selama hospitalisasi.

2.6 Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kecemasan Akibat

Hospitalisasi

Dukungan keluarga merupakan salah satu factor yang dapat

membantu anak adalam menkoping stressor. Menurut Wills Cit Friedman

(1998) yang menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat menimbulkan

efek penyangga yaitu dukungan keluarga menahan efek-efek negatif dari

stress terhadap kesehatan dan efek utama yaitu dukungan keluarga secara

langsung mempengaruhi peningkatan kesehatan. Dukungan orang tua yang

tinggi juga akan meningkatkan harga diri, kemampuan kontrol diri dan

kemampuan instrumental anak. Sehingga dengan peningkatan kemampuan

tersebut diharapkan akan meningkatkan kemampuan koping anak dalam

menghadapi berbagai stressor yang dihadapinya saat hospitalisasi. Dengan

kemampuan koping tersebut maka tingkat kecemasan anak yang dialaminya

ketika hospitalisasi dapat diminimalisir.

Beberapa penelitian tentang hubungan dukungan keluarga terhadap tingkat

kecemasan akibat hospitalisasi sebagai berikut :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Emi Muniarsih dan Andhika

Rahmawati 2007 mengenai hubungan dukungan keluarga dengan

tingkat kecemasan skibat hospitalisasi pada anak usia prasekolah di

bangsal L RSUP Dr. Soeradji Tirtinegoro Klaten tahun 2007

diperoleh hasil sebagai berikut : berdasarkan dukungan keluarga ada

44
(86,66%) yang memberikan dukungan keluarga yang baik, (13,33%)

yang memberikan dukungan keluarga cukup dan tidak ada

responden keluarga yang yang kurang. Berdasarkan tingkat

kecemasan, (55,66%) dikategorikan dalam tingkat dalam tingkat

kecemasan sedang, (22,66%) dikategorikan dalam tingkat

kecemasan ringan, (13,33%) dikategorikan dalam tingkat kecemasan

berat, (3,33%) tidak cemas.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Liandi (2011) hasil penelitian dari 30

responden diperoleh bahwa sebagian besar dukungan keluarga yang

diberikan pada anak berkategori sedang yaitu sebesar 60%. Uji

koefesiensi nilai signifikan (p) yaitu 0,283 sehingga p>0,05.

3. Penelitian yang dilakukan Asmayanty (2010) menyatakan bahwa 17

orang anak (77,27%) mengalami kecemasan pada tingkatan sedang.

Hasil uji statistik Kendall Tau nilai correlation coefficient adalah

0,027.

45

You might also like