You are on page 1of 58

BAB VII

PEMBANGUNAN SOSIAL DAN BUDAYA

A. Permasalahan yang Dihadapi

Permasalahan pembangunan sosial dan budaya yang menjadi


perhatian utama pada kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun
2001 antara lain: masih rendahnya derajat kesehatan dan status gizi
serta tingkat kesejahteraan sosial masyarakat; masih rentannya
ketahanan budaya dan belum diberdayakannya kesenian dan
pariwisata secara optimal; masih rendahnya kedudukan dan peranan
perempuan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan; masih
rendahnya partisipasi aktif pemuda dalam pembangunan nasional;
serta belum membudayanya olah raga dan masih rendahnya prestasi
olah raga.

Gambaran keadaan dan masalah tersebut di atas antara lain


dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial

VII - 1
1.1 Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Derajat kesehatan antara lain dapat diamati dari beberapa


indikator seperti angka harapan hidup (AHH), angka kematian bayi
(AKB), angka kematian balita (AKABA) dan angka kematian ibu
(AKI) waktu melahirkan. Berdasarkan data survai terakhir yang
tersedia, AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,5 tahun
(Inkesra, 1999). Rendahnya AHH tersebut erat kaitannya dengan
masih tingginya AKB, yaitu sebesar 46 per 1000 kelahiran hidup
(Inkesra, 1999), dan AKABA tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup
(Susenas, 1999). Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih
memprihatinkan, yaitu 373 per 100.000 kelahiran hidup (SKRT,
1995).

Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat


masalah gizi utama, yaitu: kurang energi protein (KEP), anemia gizi
besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan kurang vitamin
A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang
adalah 6 - 23 bulan.

Prevalensi KEP pada anak balita pada 1998 tercatat sekitar


33,4 persen. Sementara itu, prevalensi gizi buruk pada anak balita
tercatat 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi besi pada ibu
hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995).
Tingginya prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan
kontribusi terhadap masih tingginya AKI.

Prevalensi GAKY yang diukur dengan Total Goiter Rate


(TGR) menunjukkan penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada
tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Kebutaan karena
KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi.
Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita
saat ini berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian
akibat penyakit infeksi terutama campak dan diare. Selain itu KVA
pada ibu hamil dan balita cenderung meningkat.

Angka kesakitan beberapa penyakit menular cenderung


meningkat, seperti penyakit malaria, tuberculosis (TB), demam

VII - 2
berdarah dengue (DBD) dan HIV/AIDS. Jumlah penderita baru
penyakit TB setiap tahunnya sekitar 583 ribu orang dan yang
meninggal sekitar 140 ribu penderita. Walaupun berbagai upaya
penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan tapi hasilnya belum
memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus menunjukkan peningkatan sejak
pertama kali ditemukan (1987) dan pada tahun 2001 (Juni) kasus
HIV positif secara kumulatif tercatat sekitar 1.572 penderita dan
AIDS positif mencapai 578 penderita. Selain itu, Indonesia perlu
mewaspadai timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang
berpotensi wabah dan menimbulkan korban seperti Ebola dan radang
otak. Beberapa penyakit degeneratif dan penyakit tidak menular yang
berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga memperlihatkan
kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian
yang disebabkan berbagai penyakit berbasis lingkungan seperti
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit dan
kecacingan juga masih tinggi.

1.2 Kesejahteraan Sosial

Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab


timbulnya berbagai masalah kesejahteraan sosial yang tercermin
dalam bentuk ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan dasar,
keterlantaran, kecacatan dan ketunasosialan. Jumlah penduduk
miskin termasuk yang sangat miskin pada tahun 1999 tercatat
sebanyak 37,5 juta jiwa atau 18,17 persen dari jumlah penduduk
Indonesia. Masalah lain yang terkait dengan kemiskinan adalah
keterpencilan dan keterasingan secara geografis dan sosial budaya,
yang dialami oleh sekitar 1,1 juta penduduk Komunitas Adat
Terpencil (KAT). KAT tersebut dikhawatirkan akan semakin
tertinggal sebagai akibat perubahan sosial yang terjadi di luar
komunitasnya. Masalah kesejahteraan sosial lainnya yang menonjol
adalah keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas 2000,
jumlah anak terlantar dilaporkan sekitar 3,2 juta, sedangkan jumlah
lanjut usia terlantar tercatat sekitar 3,3 juta jiwa. Susenas tahun 2000
juga memperlihatkan bahwa masih terdapat sekitar 1,5 juta penduduk
Indonesia yang mengalami kecacatan.

VII - 3
Pencacahan anak jalanan yang dilakukan pada tahun 1998 di
12 kota besar mengungkapkan bahwa dari sekitar 40 ribu anak
jalanan, 48 persen diantaranya adalah anak-anak yang baru turun ke
jalan mulai tahun 1998. Sebagian besar anak-anak bekerja di jalan
adalah untuk menambah pendapatan keluarga dan menambah biaya
sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga
merupakan faktor pendorong utama semakin banyaknya anak-anak
yang bekerja di jalan. Sementara itu, perlindungan khusus untuk anak
terutama anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan pekerja
anak agar hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang belum dapat
sepenuhnya terpenuhi. Masalah lain yang dihadapi dalam
pembangunan kesejahteraan sosial adalah dampak krisis
mutidimensional terhadap menurunnya kemampuan organisasi sosial
(Orsos) dalam menyelenggarakan pelayanan sosial.

Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba juga


menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Selain mencakup
masalah medis, penderita HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba
seringkali mengalami perlakuan diskriminatif dari keluarga maupun
lingkungannya. Pelayanan sosial dalam bentuk perlindungan khusus
bagi mereka agar tetap dapat memperoleh hak dan melaksanakan
kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga dan masyarakat
sesuai harkat dan martabatnya juga belum sepenuhnya tersedia.

Dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa Indonesia memiliki


keanekaragaman suku bangsa, etnis, agama dan bahasa. Rentannya
interaksi sosial antaretnis, adanya kesenjangan sosial, kesenjangan
pembangunan antarwilayah, rawannya situasi politik dan keamanan,
serta kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan dapat memicu
terjadinya kerawanan sosial dan disintegrasi bangsa.

Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi dan politik yang kurang


menguntungkan pada saat ini, dan diperparah dengan masalah
bencana alam dan kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah
mengakibatkan sebagian penduduk terpaksa mengungsi ke daerah
yang lebih aman. Dengan jumlah pengungsi yang sangat besar dan
tersebar di berbagai lokasi, penanganan bagi mereka agar tetap dapat

VII - 4
terjaga kelangsungan hidupnya menjadi beban berat baik bagi
pemerintah maupun masyarakat.

1.3 Kependudukan

Permasalahan pembangunan kependudukan yang perlu


mendapat perhatian adalah jumlah penduduk yang besar dengan
tingkat pertumbuhan yang masih relatif tinggi dan persebarannya
yang tidak merata, dan kualitasnya masih relatif rendah. Dewasa ini
kualitas penduduk Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan
negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand.
Berdasarkan Human Development Report 2001, Indonesia
menempati urutan ke 102, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-
masing menempati urutan ke 56 dan ke 66. Kualitas penduduk
tersebut juga tergambar dari angka harapan hidup waktu melahirkan
(AHH) penduduk Indonesia yang relatif rendah yaitu 65,5 tahun
(Inkesra, 1999), sedangkan Malaysia dan Thailand tercatat masing-
masing 72,0 tahun dan 68,8 tahun. Rendahnya angka harapan hidup
tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya angka kematian bayi
dan angka kematian ibu melahirkan.

Dalam dimensi kuantitas, jumlah penduduk Indonesia relatif


telah dapat dikendalikan pertumbuhannya menjadi 1,35 persen per
tahun pada periode 1990-2000 sehingga jumlah penduduk pada
Sensus 2000 diperkirakan mencapai 203,4 juta orang, terdiri dari
101,8 juta perempuan dan 101,6 juta laki-laki. Namun demikian,
mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini masih besar secara
absolut, maka pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya juga
masih besar. Salah satu penyebab masih cukup tingginya laju
pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka
kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia pada
tahun 2000 diperkirakan 2,5 per perempuan, dan cukup bervariasi
baik antardaerah maupun antarpropinsi.

Permasalahan lain adalah persebaran penduduk yang tidak


merata. Sebagian besar penduduk yaitu 59 persen (Sensus 2000)
terkonsentrasi di Pulau Jawa. Hal ini berakibat pada kepadatan
penduduk yang sangat tinggi di beberapa propinsi seperti DKI

VII - 5
Jakarta dengan 12,6 ribu penduduk per km2, sedangkan Irian Jaya
hanya 5 jiwa per km2. Timpangnya persebaran dan kurang
terarahnya mobilitas penduduk terkait erat dengan tidak
seimbangnya persebaran sumber daya hasil pembangunan
antarwilayah. Munculnya berbagai konflik antaretnik, antaragama
dan berbagai masalah pengungsian juga telah menimbulkan potensi
kerawanan yang menambah permasalahan di dalam mengatasi
penataan persebaran penduduk.

Masalah administrasi kependudukan diindikasikan oleh


masih banyaknya penduduk yang belum mempunyai dokumen
kependudukan (lahir, kawin, cerai) dan belum efektifnya lembaga
penyelenggaraan administrasi kependudukan. Di samping itu,
peraturan perundang-undangan administrasi kependudukan termasuk
hak-hak sipil belum terpenuhi. Selain itu, kualitas dan cakupan data
penduduk hasil registrasi masih belum memadai, sehingga
berpengaruh kepada mutu perencanaan dan kebijakan pembangunan
kependudukan.

1.4 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga Berencana

Permasalahan lain dalam pembangunan sosial dan budaya


adalah sebagian keluarga terutama yang tergolong Pra-Keluarga
Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS I), belum berdaya dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan
termasuk keluarga berencana (KB). Pada tahun 2000, jumlah
keluarga Pra-KS dan KS I, yaitu keluarga yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya masih sekitar 24,6 juta keluarga.

Sementara itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang


merupakan salah satu tiang dalam pewujudan keluarga kecil yang
berkualitas juga masih tertinggal. Survai Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan meskipun median usia kawin
pertama secara nasional adalah 18,6 tahun, median usia kawin
pertama di perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun. Sebagian
masyarakat dan keluarga termasuk orang tua dan remaja sendiri juga
belum sepenuhnya mempersiapkan anggota keluarga yang berusia
remaja dalam kehidupan berkeluarga dan perilaku reproduksi yang

VII - 6
bertanggung jawab. Banyak remaja yang masih kurang memahami
atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah
kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak
dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyak remaja yang
berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap
kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat atau lembaga
advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi
remaja juga masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan
mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur
sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil.

Tingkat kelahiran yang relatif tinggi merupakan salah satu


beban dalam pembangunan sosial dan budaya. Tingkat kelahiran
yang relatif tinggi ini mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk
yang relatif tinggi dan jumlah anggota keluarga yang relatif besar.
Tingginya angka kelahiran dewasa ini berkaitan dengan
penyelenggaraan program Keluarga Berencana (KB) yang belum
sepenuhnya berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan
reproduksi masyarakat. Pendekatan program KB yang telah
diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi, dalam
pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang
mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan
target akseptor mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), serta pelayanan KB lebih
ditujukan untuk mencapai target akseptor KB melebihi perhatian
terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB. Kualitas
program KB yang belum sepenuhnya memuaskan klien
mengakibatkan pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi
termasuk KB yang merupakan dasar terwujudnya keluarga kecil
yang bahagia dan sejahtera belum dapat dirasakan oleh sebagian
masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997
yang menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur
(PUS) yang ingin ber-KB dapat terpenuhi permintaannya, dan sekitar
9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda
kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need).
Permasalahan lainnya dalam program KB adalah partisipasi laki-laki
dalam ber-KB yang masih sangat rendah yaitu sekitar 3 persen
(SDKI 1997). Hal ini selain dikarenakan keterbatasan macam dan

VII - 7
jenis alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan laki-laki di bidang hak-hak dan kesehatan
reproduksi.

Kelembagaan dan jaringan pelayanan KB juga belum


sepenuhnya berkualitas dan mampu menjangkau seluruh wilayah
Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan sumber daya program KB. Peran masyarakat dan pihak
di luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh
agama, organisasi profesi dan Lembaga Swadaya dan Organisasi
Masyarakat (LSOM) terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan
program KB di beberapa daerah. Pada tahun 1998/99 jumlah
lembaga pelayanan KB non-pemerintah masih relatif rendah yaitu
berkisar 44.550 yang melayani sekitar 65 persen PUS peserta KB
Aktif. Sementara itu, kemitraan pemerintah dengan masyarakat
terutama PUS dan sektor di luar pemerintah dalam penyelenggaraan
KB dan kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat diwujudkan.

2. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata

2.1 Kebudayaan

Pembangunan di berbagai bidang mempunyai dampak yang


berbeda pada setiap kelompok masyarakat. Dengan adanya
reformasi, dampak pembangunan pada berbagai bidang semakin
nyata dan terbuka. Selanjutnya, dengan adanya globalisasi yang
disebabkan oleh makin berkembangnya teknologi komunikasi,
mengakibatkan masuknya arus informasi yang sangat beragam yang
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap budaya masyarakat lokal.
Permasalahan tersebut semakin rumit, dengan belum siapnya
masyarakat dalam persaingan dalam budaya global yang menuntut
kemampuan sumber daya manusia yang profesional di bidangnya.

Pola sentralisasi yang diterapkan dalam berbagai bidang


telah mengikis keragaman budaya masyarakat yang ditandai dengan
hilangnya pranata-pranata lokal yang dulu dijadikan acuan dalam

VII - 8
kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya otonomi daerah,
pembangunan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional tidak
dapat dipisahkan. Kebudayaan lama dan asli, sebagaimana
diamanatkan dalam UUD 1945, merupakan bagian dari kebudayaan
daerah, harus dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya,
sedangkan pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam rangka
menjalankan tugas memajukan kebudayaan nasional. Selanjutnya,
berkaitan dengan aset budaya, baik yang tangible maupun
intangible, yang meskipun keberadaannya tersebar diberbagai
daerah, tetap merupakan bagian dari kebudayaan bangsa yang harus
dikembangkan dan dimajukan, khususnya budaya yang memiliki nilai
luhur.

2.2. Pariwisata

Mengenai pengembangan pariwisata diuraikan dalam Bab III


Pembangunan Ekonomi.

3. Pemberdayaan Perempuan

Pembangunan di berbagai bidang yang diselenggarakan


selama ini belum sepenuhnya mampu mengangkat kualitas
perempuan. Hal ini, antara lain dapat dilihat dari masih rendahnya
nilai Gender-related Development Index (GDI) Indonesia. Nilai GDI
Indonesia adalah 0.671 dan berada pada urutan ke 92, jauh
tertinggal dibanding negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan
Thailand (Human Development Report, 2001). Kualitas dan
kesejahteraan perempuan yang masih relatif rendah juga ditunjukkan
oleh berbagai indikator seperti tingginya angka kematian ibu
melahirkan, rendahnya status gizi ibu, tingginya penduduk
perempuan berumur 10 tahun ke atas yang belum pernah sekolah,
dan rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan.

Pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh


warganegara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun demikian, beberapa pelanggaran hukum dan hak asasi
manusia (HAM) seperti penindasan, eksploitasi dan kekerasan
terhadap perempuan, termasuk anak perempuan sering kali terjadi

VII - 9
baik dalam keluarga, lingkungan/tempat kerja, atau dalam
masyarakat. Bentuk penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan
sering terjadi terutama dikaitkan dengan perdagangan perempuan dan
anak perempuan serta pelacuran paksa.

Berbagai bentuk pelanggaran tersebut antara lain


dipengaruhi oleh materi hukum yang diskriminatif terhadap
perempuan dan tidak berkeadilan gender, seperti Undang-undang
Ketenagakerjaan, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang
Kesehatan, dan Undang-undang Kewarganegaraan. Di samping itu,
struktur hukum yang terdapat dalam masyarakat juga masih kurang
mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Keadaan ini
antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran gender di
kalangan penegak hukum, sedikitnya jumlah penegak hukum yang
menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan, dan lemahnya
mekanisme pemantauan dan evaluasi, terutama yang dilakukan oleh
masyarakat, terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sementara itu,
budaya hukum dalam masyarakat yang kurang menunjang
terciptanya keadilan gender antara lain ditandai oleh masih
rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum (hak dan
kewajiban), masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi
dan sumberdaya hukum, belum optimalnya peran media massa dalam
mensosialisasikan produk hukum kepada masyarakat, dan masih
rendahnya peran masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat
dalam pengawasan dan diseminasi hukum. Penegakan hukum
terutama untuk masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak
perempuan juga banyak belum terungkap dan sangat sulit ditemukan.
Hal ini dikarenakan umumnya kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan berkaitan dengan pola hubungan kekuasaan, yang
sebagian besar pelaku kekerasan berusia lebih tua di dalam keluarga,
orang yang memiliki jabatan lebih tinggi, atau majikan.

Belum terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ini


diperburuk oleh pendekatan pembangunan yang belum benar-benar
mengindahkan kesetaraan dan keadilan gender. Pendekatan
pembangunan ini selanjutnya mengakibatkan kebijakan pemerintah
yang tidak peka gender yaitu belum mempertimbangkan perbedaan
pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-

VII - 10
laki serta belum menetapkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai
tujuan dan sasaran akhir dari pembangunan. Selain dipengaruhi oleh
tidak lengkapnya data dan informasi gender, kebijakan publik yang
tidak peka gender juga dipengaruhi oleh terbatasnya jumlah
perempuan sebagai pengambil keputusan kebijakan publik yang
ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI
dan Polri yaitu hanya 9,8 persen wakil perempuan dalam lembaga
legislatif pada tahun 1999, dan hanya 7 persen pejabat struktural
eselon I, II, dan III dalam lembaga eksekutif adalah perempuan.

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan


kesetaraan dan keadilan gender dilandaskan pada pasal 27 UUD
1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/
CEDAW) ke dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, serta
Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang
Perempuan keempat di Beijing pada tahun 1995. Namun demikian,
hal tersebut juga belum dapat menyetarakan kedudukan dan peranan
perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. Masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya
yang patriarki merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Nilai-nilai ini
menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran
yang berbeda dan tidak setara yang ditandai dengan adanya
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan
kekerasan terhadap perempuan. Nilai sosial budaya lainnya dalam
masyarakat juga turut berpengaruh adalah penentuan keputusan pada
tingkat keluarga yang lebih memilih anak laki-laki mereka daripada
anak perempuannya untuk bersekolah. Nilai yang tidak peka gender
ini diperburuk oleh materi bahan ajar di berbagai jenjang pendidikan
yang bias gender dan atau diskriminatif terhadap perempuan.
Berbagai nilai-nilai sosial dan budaya yang tidak menguntungkan
bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender selanjutnya
mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan, sehingga
perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas
pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan
yang adil dan setara dengan laki-laki. Di samping itu, ketidaktepatan

VII - 11
pemahaman ajaran agama seringkali juga menyudutkan kedudukan
dan peranan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Media
massa juga cenderung turut memperlemah posisi perempuan, karena
sering menampilkan gambaran tentang kekerasan, merendahkan
harkat dan martabat, serta mempertahankan peran tradisional
perempuan.

Sementara itu, pengarusutamaan gender belum dilaksanakan


secara efektif yang antara lain ditandai oleh rendahnya kesadaran
gender di kalangan aparat pemerintah terutama pengambil keputusan.
Di samping itu, relatif rendahnya kualitas dan kemandirian lembaga-
lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan serta belum
maksimalnya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan
masyarakat maupun dengan lembaga-lembaga yang memiliki visi
pemberdayaan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan juga
merupakan penghambat dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender.

4. Pemuda dan Olahraga

4.1 Pemuda

Generasi muda yaitu kelompok penduduk yang berusia di


antara 15-35 tahun pada tahun 2000 diperkirakan berjumlah 74,1
juta atau 36 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Dengan
jumlah yang besar, belum seluruh generasi muda memiliki kualitas
yang tinggi untuk mengisi dan melaksanakan berbagai upaya
pembangunan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
melihat tingkat intelektualitas pemuda dan kemampuan dalam
berorientasi ke masa depan dapat diketahui dari jenjang pendidikan.
Dari hasil Susenas tahun 1998 terdapat 36,93 persen pemuda hanya
tamat Sekolah Dasar. Di samping itu, masalah lain yang dihadapi
pemuda adalah lemahnya pendidikan politik dan hukum bagi pemuda
yang berdampak pada terjadinya euforia politik dan hukum dalam

VII - 12
proses demokratisasi dan reformasi serta kesalahpengertian tentang
kebebasan dan demokrasi di kalangan pemuda.

Derasnya penetrasi budaya dan pengaruh global akibat


cepatnya perkembangan dan kemajuan teknologi, telekomunikasi dan
transportasi cenderung mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku
pemuda di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Di samping
itu, pranata pembangunan kepemudaan juga belum sepenuhnya kuat
yang dicerminkan dari banyaknya organisasi kepemudaan yang
belum mandiri dan konsisten dalam menyelenggarakan visi dan
misinya.

Upaya mempersiapkan, membangun, dan memberdayakan


pemuda agar mampu berperan serta sebagai pelaku-pelaku aktif
pembangunan bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai
permasalahan. Munculnya berbagai permasalahan sosial yang
melibatkan atau dilakukan pemuda seperti tawuran dan kriminalitas
lainnya, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA), minuman keras, penyakit HIV/AIDS dan penyakit
menular seksual lainnya yang diderita pemuda, telah mencapai tahap
yang mengkawatirkan.

4.2 Olahraga

Perwujudan penduduk Indonesia yang berkualitas antara lain


ditentukan oleh derajat kesehatan, kesegaran dan kebugaran jasmani
serta perilaku terpuji seperti kejujuran dan sportivitas. Namun
demikian, penerapan hidup sehat dan kebiasaan olahraga secara
teratur dan berkesinambungan belum sepenuhnya dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari oleh sebagian penduduk Indonesia. Banyaknya
sarana dan prasarana umum untuk olahraga yang dikonversi menjadi
pusat perdagangan dan fasilitas lainnya juga menjadi penyebab
belum membudayanya olahraga.

Kurang intensifnya pembibitan dan pembinaan prestasi


olahraga antara lain dipengaruhi oleh belum mantapnya
kelembagaan olahraga. Terbatasnya jumlah dan sebaran pelatih yang
berkualitas serta kurangnya kejuaraan kelompok umur baik dalam

VII - 13
skala nasional maupun regional turut menyebabkan pembibitan dan
pembinaan prestasi olahraga tidak mengalami kemajuan yang berarti.
Di samping itu, Perguruan Tinggi yang diharapkan dapat menjadi
basis pembibitan dan pembinaan prestasi belum mampu
melaksanakan fungsinya. Sementara itu, sebagai suatu industri,
olahraga belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi
olahragawan, masyarakat luas termasuk dunia usaha. Hal ini sangat
terkait erat dengan belum mantapnya kelembagaan olahraga dan
manajemen olahraga yang belum sempurna.

B. Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat dan


menciptakan ketahanan budaya nasional yang kokoh, telah ditempuh
berbagai langkah kebijakan di berbagai bidang pembangunan dengan
hasil sebagai berikut.

1. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial

1.1 Program Lingkungan Sehat, Perilaku


Sehat, dan Pemberdayaan Masyarakat

1.1.1 Lingkungan Sehat

Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan


hidup yang sehat yang mendukung tumbuh kembang anak dan
remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan
memungkinkan interaksi sosial, serta melindungi masyarakat dari
ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan sehingga tercapai
derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat yang optimal.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan antara
lain : (1) meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat
individu, keluarga, dan masyarakat; (2) meningkatkan mutu
lingkungan perumahan dan permukiman termasuk pengungsian; (3)
meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan
pengelolaan makanan; (4) meningkatkan kesehatan dan keselamatan

VII - 14
kerja; (5) meningkatkan wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan
bebas rokok.

Hasil pencapaian program lingkungan sehat pada tahun 2001


antara lain: cakupan keluarga yang menghuni rumah sehat sekitar 47
persen, cakupan keluarga yang menggunakan air bersih sekitar 77,5
persen, cakupan keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi
syarat kesehatan sekitar 63 persen, persentase tempat-tempat umum
yang memenuhi syarat kesehatan mencakup sekitar 72,4 persen, dan
persentase kawasan sehat mencakup sekitar 25 persen (Tabel VII-1).

1.1.2 Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat

Tujuan umum program ini adalah memberdayakan individu,


keluarga, dan masyarakat dalam bidang kesehatan untuk memelihara,
meningkatkan, dan melindungi kesehatannya sendiri dan
lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri, dan
produktif. Untuk mencapai tujuan tersebut dilaksanakan kegiatan: (1)
meningkatkan kepedulian terhadap perilaku bersih dan sehat; (2)
meningkatkan kepedulian terhadap proses perkembangan dini anak;
(3) meningkatkan upaya anti tembakau dan narkotika, psikotropika
dan zat adiktif (NAPZA); (4) meningkatkan pencegahan kecelakaan
dan rudapaksa; (5) meningkatkan upaya kesehatan jiwa masyarakat;
(6) memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai dengan
potensi dan budaya setempat.

Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain:


persentase penduduk dengan perilaku sehat mencakup sekitar 22
persen; penyebarluasan informasi kesehatan melalui media massa
seperti radio sekitar 199,9 ribu kali, televisi sekitar 2,7 ribu kali, dan
media cetak sekitar 2,6 juta ribu kali; dan persentase posyandu
purnama per desa sekitar 25 persen (Tabel VII-1).

1.2 Program Upaya Kesehatan

Tujuan umum program ini adalah meningkatkan pemerataan


dan mutu upaya kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna
serta terjangkau oleh segenap anggota masyarakat. Untuk mencapai

VII - 15
tujuan tersebut antara lain dilaksanakan kegiatan: (1) meningkatkan
pemberantasan penyakit menular dan imunisasi; (2) meningkatkan
pemberantasan penyakit tidak menular; (3) meningkatkan upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan, yang terdiri dari pelayanan
kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan; (4) meningkatkan
pelayanan kesehatan penunjang; (5) membina dan mengembangkan
pengobatan tradisional; (6) meningkatkan pelayanan kesehatan
reproduksi; (7) meningkatkan pelayanan kesehatan matra; (8)
mengembangkan survailans epidemiologi; (9) melaksanakan
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.

Dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit,


hasil yang dicapai pada tahun 2001 antara lain: cakupan Universal
Child Immunization (UCI) telah mencapai sekitar 75 persen dari
seluruh bayi; angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) pada
tahun 2001 tercatat 5,7 per 100.000 penduduk; angka kesakitan
malaria 45 per 1.000 penduduk; angka kesembuhan tuberculosa (TB)
tercatat sekitar 85 persen; dan angka kematian diare pada balita 2,3
per 1.000 balita.

Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai


penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA), diare, penyakit kulit dan kecacingan masih tinggi dan hal
tersebut terkait dengan kondisi lingkungan yang belum memadai.
Beberapa gerakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan seperti
Gerakan Jum’at Bersih, Pekan Sanitasi, Kota Sehat, Kali Bersih
merupakan hal yang positif dan perlu dilestarikan.

Dalam kegiatan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan,


telah dilakukan upaya untuk menjaga kesinambungan pelayanan
rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berbagai upaya yang dilakukan antara lain pembangunan 2 RS
propinsi dan kabupaten, dan 39 RS swasta. Selain itu, telah
dilaksanakan peningkatan kelas RS dari kelas D ke kelas C sebanyak
1 RS, dan peningkatan dari kelas C ke kelas B non pendidikan
sebanyak 2 RS pada tahun 2000 dan 5 RS pada tahun 2001.
Sedangkan akreditasi RS pada tahun 2000 s/d 2001 dilakukan
terhadap 55 RS. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga

VII - 16
kesehatan di RS, pada tahun 2000 – 2001 telah dilakukan
penempatan dokter ahli (4 keahlian pokok dan keahlian lainnya)
sebanyak 174 orang.

Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan rumah sakit telah


ditetapkan 13 rumah sakit menjadi perusahaan jawatan (Perjan).
Langkah pertama menetapkan Direksi dan struktur Rumah Sakit.
Direncanakan rumah sakit yang telah ditetapkan menjadi Perjan akan
mulai beroperasi pada tahun 2002.

Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor


VIII/MPR/2000, khususnya mengenai pelayanan kesehatan di daerah
pengungsi, telah dilakukan upaya pelayanan kesehatan dan gizi
antara lain melalui program jeda kemanusiaan di Propinsi DI Aceh,
program akselerasi pembangunan kesehatan di Irian Jaya, Maluku
dan Maluku Utara, dan penanganan pengungsi di Jawa Timur.
Pelayanan kesehatan dan gizi yang diberikan antara lain meliputi:
surveilans epidemiologi, perbaikan kualitas air bersih, pengadaan
obat-obatan, penggantian vaksin yang rusak, penyemprotan fokus
demam berdarah, penanganan penderita gawat darurat, operasi
katarak dan bibir sumbing, khitanan massal, bantuan uang lauk pauk
dan beras, pengadaan peralatan RS, peralatan pelayanan dasar bagi
puskesmas, pengadaan kapal untuk transportasi daerah terpencil,
pendayagunaan tenaga pelayanan kesehatan seperti Dokter Spesialis,
Dokter Umum, Dokter Gigi dan Paramedis.

Hasil pencapaian program upaya kesehatan pada tahun 2001


antara lain: persentase rujukan pelayanan kesehatan dasar ke rumah
sakit mencakup sekitar 15 persen; pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 68,5 persen; cakupan antenatal sekitar 78,5
persen, postnatal dan neonatal sekitar 76,5 persen (Tabel VII-2) .

1.3 Program Perbaikan Gizi Masyarakat

Tujuan umum program ini adalah untuk meningkatkan


intelektualitas dan produktivitas sumber daya manusia, sedangkan
tujuan khusus adalah: (1) meningkatkan kemandirian keluarga dalam
upaya perbaikan status gizi; (2) meningkatkan pelayanan gizi untuk

VII - 17
mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi
kurang dan gizi lebih; (3) meningkatkan penganekaragaman
konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan ketahanan pangan
tingkat rumah tangga. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai
tujuan tersebut antara lain: (1) meningkatkan penyuluhan gizi
masyarakat; (2) menanggulangi gizi kurang dan menekan kejadian
gizi buruk pada balita serta menanggulangi kurang energi kronik
(KEK) pada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan ibu nifas; (3)
menanggulangi gangguan akibat kurang yodium (GAKY); (4)
menanggulangi anemia gizi besi (AGB); (5) menanggulangi kurang
vitamin A (KVA); (6) meningkatkan penanggulangan kurang gizi
mikro lainnya (misalnya calsium, zink, dsb); (7) meningkatkan
penanggulangan gizi lebih; (8) melaksanakan fortifikasi dan
keamanan pangan; (9) memantapkan pelaksanaan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); (10) mengembangkan dan
membina tenaga gizi; (11) melaksanakan penelitian dan
pengembangan gizi; (12) melaksanakan perbaikan gizi institusi
(misalnya sekolah, RS, perusahaan, dan sebagainya); (13)
melaksanakan perbaikan gizi akibat dampak sosial, pengungsian, dan
bencana alam.

Peningkatan status gizi masyarakat, terutama pada wanita


dan anak balita terus dilakukan. Pada tahun 2000 penanggulangan
GAKY dilaksanakan di 272 kecamatan endemik berat (20
Kabupaten) dan 197 kecamatan endemik sedang (36
kabupaten/kota). Selain itu melalui program JPS-BK, khususnya
kegiatan perbaikan gizi, telah dilakukan pemberian makanan
tambahan berupa makanan pendamping (MP) ASI terhadap sekitar
401,3 ribu bayi berusia 6-11 bulan, 1 juta anak usia 12-23 bulan,
1,8 juta anak balita dan 383,7 ribu ibu hamil/ibu nifas Kurang
Energi Kronik (KEK). Peran serta masyarakat juga ditingkatkan
antara lain melalui kegiatan revitalisasi posyandu agar mampu
menunjang penyelenggaraan pemberian makanan tambahan bagi ibu
hamil, ibu nifas, bayi dan anak di bawah usia dua tahun.

Hasil pencapaian program perbaikan gizi pada tahun 2001


antara lain: persentase wanita usia subur dan anak sekolah di
kecamatan endemik yang mendapat kapsul yodium mencakup sekitar

VII - 18
40 persen; persentase ibu hamil yang mendapat tablet besi 49 persen;
persentase bayi dan balita yang mendapat vitamin A sebesar 65
persen; dan persentase keluarga yang mengkonsumsi garam
beryodium sekitar 65 persen (Tabel VII-3).

1.4 Program Sumber Daya Kesehatan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan jumlah, mutu


dan penyebaran tenaga kesehatan; (2) meningkatkan jumlah,
efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan; (3)
meningkatkan ketersediaan sarana, prasarana, dan dukungan logistik
pada sarana pelayanan kesehatan yang semakin merata, terjangkau,
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut,
kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) meningkatkan perencanaan
dan pendayagunaan tenaga kesehatan; (2) meningkatkan pendidikan
dan pelatihan tenaga kesehatan; (3) mengembangkan sistem
pembiayaan praupaya; (4) mengembangkan sarana, prasarana, dan
dukungan logistik pelayanan kesehatan.

Kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan


antara lain telah dilaksanakan melalui 18 jenis program pendidikan
tenaga kesehatan dengan jumlah institusi sebanyak 866 buah terdiri
dari 287 Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) dan 579 Jenjang
Pendidikan Tinggi (JPT).

Pada tahun 2000 jumlah lulusan tenaga kesehatan yang


dihasilkan mencapai sekitar 38,4 ribu orang, terdiri dari sekitar 20,8
ribu orang tenaga lulusan jenjang pendidikan tinggi (Diploma 3) dan
17,6 ribu orang tenaga lulusan dari jenjang pendidikan menengah.
Selain itu telah dilakukan akreditasi terhadap institusi pendidikan
tenaga kesehatan sebanyak 575 institusi. Upaya untuk meningkatkan
pendidikan tenaga guru/dosen dilakukan melalui tugas belajar dan
pelatihan fungsional.

Dalam menunjang pelaksanaan desentralisasi, telah dilatih


sebanyak 2.175 orang tenaga kesehatan, meliputi bidang manajemen
dan kepemimpinan 165 orang, teknis administrasi 900 orang, jabatan
fungsional 900 orang dan pelatihan bagi pelatih sebanyak 210 orang.

VII - 19
Dalam upaya mengembangkan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan dasar, telah dilakukan upaya peningkatan
pemeliharaan sarana kesehatan yang ada agar tetap dapat berfungsi
dengan baik. Dewasa ini terdapat sekitar 7,2 ribu puskesmas, 21
ribu puskesmas pembantu dan 6,8 ribu puskesmas keliling. Dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan puskesmas, sekitar 1,7 ribu
puskesmas telah ditingkatkan fungsinya menjadi puskesmas
perawatan dengan sarana tempat tidur. Puskesmas perawatan ini
terutama dikembangkan di lokasi-lokasi yang jauh dari Rumah Sakit,
jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan dan di daerah-daerah
atau pulau-pulau terpencil.

Pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui


puskesmas dan puskesmas pembantu makin efektif dengan
penempatan bidan di desa yang secara kumulatif sampai tahun 2000
bidan yang telah ditempatkan di desa berjumlah sekitar 67 ribu
orang. Upaya peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan dasar,
utamanya pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk imunisasi dan
perbaikan gizi juga ditunjang dengan dukungan peran serta
masyarakat dalam bentuk posyandu dan pondok persalinan desa
(polindes) yang sampai tahun 2000 telah berjumlah masing-masing
243,7 ribu posyandu dan 15,8 ribu polindes.

Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain:


jumlah Badan Pelaksana Sistem Pembiayaan Kesehatan Praupaya
yang berijin sebanyak 24 institusi; jumlah pendidikan dan pelatihan
kesehatan yang terakreditasi sebanyak 611 institusi; dan jumlah
tenaga kesehatan yang dilatih teknis fungsional mencapai sekitar 39,6
ribu orang (Tabel VII-4) .

1.5 Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya

Program ini bertujuan untuk: (1) melindungi masyarakat dari


bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika,
psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan bahan berbahaya yang lain;
(2) melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi,
makanan dan alat kesehatan (farmakes) yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan keamanan; (3) menjamin ketersediaan,

VII - 20
keterjangkauan, dan pemerataan obat yang bermutu yang dibutuhkan
masyarakat; dan (4) meningkatkan potensi daya saing industri
farmasi terutama yang berbasis sumber daya alam dalam negeri.
Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan kegiatan: (1)
meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan
kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan bahan
berbahaya lainnya; (2) meningkatkan pengamanan dan pengawasan
makanan dan bahan tambahan makanan (BTM); (3) meningkatkan
pengawasan obat, obat tradisional, kosmetika, dan alat kesehatan
termasuk pengawasan terhadap promosi/ iklan; (4) meningkatkan
penggunaan obat rasional; (5) menerapkan obat esensial; (6)
mengembangkan obat asli Indonesia; (7) membina dan
mengembangkan industri farmasi; (8) meningkatkan mutu pengujian
laboratorium pengawasan obat dan makanan (POM); (9)
mengembangkan standar mutu obat dan makanan; (10)
mengembangkan sistem dan layanan informasi POM.

Penyediaan obat esensial pada unit pelayanan kesehatan


dasar sejak tahun 2000 dilaksanakan oleh masing-masing
kabupaten/kota. Di tingkat pusat hanya disediakan obat dan alat
kesehatan sebagai buffer stock, yang digunakan pada keadaan
emergensi terutama untuk penanggulangan bencana, kerusuhan dan
pengungsi.

Untuk mempertahankan kesinambungan dalam penyediaan


dan ketersediaan obat generik dengan harga terjangkau selama masa
krisis agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka pada
tahun 2000 telah diberikan subsidi untuk pengadaan bahan baku obat
melalui mekanisme pemberian subsidi terhadap selisih kurs
pembelian bahan baku obat.

Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain:


persentase cakupan pemeriksaan sarana pelayanan kesehatan
mencapai 12,2 persen; proporsi kasus penyalahgunaan obat dan
NAPZA dengan tindak lanjut pengamanan sebesar 90 persen dan
persentase cakupan pemeriksaan sarana produksi distribusi farmakes
dalam rangka Good Manufacturing Practices (GMP) 40 persen.
Jumlah iklan yang berhasil diawasi sebanyak 1.600 iklan; jumlah

VII - 21
laboratorium pengujian obat dan makanan yang terakreditasi
sebanyak 8 unit; jumlah sarana produksi bahan baku farmasi
termasuk Obat Asli Indonesia yang dibina mencakup 10 persen, dan
jumlah kabupaten/kota yang kekurangan stok obat lebih dari 3 item
selama lebih dari 3 bulan menurun menjadi 10 persen (Tabel VII-5).

1.6 Program Kebijakan dan Manajemen


Pembangunan Kesehatan

Untuk penyelenggaraan upaya kesehatan sesuai dengan


tujuan, kebijakan, dan strategi yang telah ditetapkan dibutuhkan
kebijakan dan manajemen sumber daya yang efektif dan efisien yang
didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan sehingga
dapat tercapai pelayanan kesehatan yang merata dan
berkualitas.Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang
dilaksanakan adalah: (1) mengembangkan kebijakan program
kesehatan; (2) mengembangkan manajemen pembangunan kesehatan;
(3) mengembangkan dan menyempurnakan hukum kesehatan; (4)
mengembangkan sistem informasi kesehatan; (5) mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.

Dalam upaya mengembangkan hukum kesehatan, pada tahun


2000 telah dilakukan penyusunan 1 RUU, 1 RPP, 2 Keppres, 27
Permenkes/Kepmenkes, dan 7 SKB. Sedangkan, untuk
mengembangkan sistem informasi kesehatan nasional, telah
dilakukan kegiatan antara lain: (1) integrasi sistem-sistem informasi
kesehatan yang ada, (2) penyederhanaan dan integrasi pencatatan dan
pelaporan data, (3) peningkatan kemampuan daerah dalam
pengembangan sistem informasi kesehatan (SIK), (4) pengembangan
sumber daya, khususnya melalui penerapan dan pemeliharaan
teknologi informatika serta pengembangan tenaga pengelola SIK, dan
(5) pengembangan pelayanan data dan informasi baik untuk para
manajer maupun untuk masyarakat.

Dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan


teknologi kesehatan, telah dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan
pengembangan kesehatan. Selain itu, pada tahun 2001 telah
dilaksanakan Survai Kesehatan Nasional (Surkesnas) yang

VII - 22
merupakan kegiatan antar lembaga/ instansi dan berkesinambungan
tiap tahun (multi year and multi institution activities). Surkesnas
meliputi kegiatan pengembangan modul kesehatan dan pengumpulan
data kesehatan melalui Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas),
kegiatan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dengan
komponen studi morbiditas, studi mortalitas dan studi tindak lanjut
(follow up) ibu hamil dan kegiatan Survai Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) komponen kesehatan ibu dan anak.

Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain:


tersedianya sistem informasi kesehatan kabupaten/kota dan propinsi
pada 27 propinsi; 38 buah produk hukum bidang kesehatan yang
ditetapkan; dan 110 penelitian di bidang kesehatan (Tabel VII-6).

1.7 Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan


Sosial

Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan


kesadaran, kemampuan, tanggung jawab, dan peran aktif masyarakat
dalam menangani permasalahan sosial di lingkungannya, serta
memperbaiki kualitas hidup, dan kesejahteraan penyandang masalah
kesejahteraan sosial.

Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan


yang telah ditempuh adalah meningkatkan dan memperluas
pelayanan kesejahteraan sosial terutama bagi penduduk miskin, anak
dan lanjut usia terlantar, anak jalanan, penyandang cacat, tuna sosial,
serta korban bencana alam dan kerusuhan. Di samping itu, juga terus
dilakukan berbagai upaya untuk lebih meningkatkan partisipasi
masyarakat terutama dunia usaha untuk mendukung pelayanan baik
yang dilakukan oleh pemerintah utamanya pemerintah daerah
maupun masyarakat.

Pada tahun 2000 pelayanan sosial bagi anak terlantar telah


diberikan bagi 133.844 anak terlantar yang dilakukan antara lain
melalui pemberian santunan hidup dan pendidikan bagi anak dalam
panti, serta pemberian keterampilan dan modal usaha bagi anak
terlantar yang tinggal bersama keluarganya. Agar panti sosial milik

VII - 23
masyarakat dapat mempertahankan pelayanan sosialnya diberikan
pula bantuan biaya operasional yang dapat digunakan untuk biaya
pendidikan anak asuhnya maupun biaya operasional panti.

Meningkatnya jumlah anak jalanan di perkotaan, yang


merupakan bagian dari populasi anak terlantar, juga membutuhkan
prioritas penanganan. Penanganan anak jalanan diberikan melalui
media Rumah Singgah yang diselenggarakan bekerja sama dengan
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)/organisasi sosial, yang telah
memiliki pengalaman memberikan pelayanan serupa. Untuk itu, telah
diberikan pelayanan sosial bagi 31.635 anak jalanan di kota-kota
besar berupa bimbingan sosial dan budi pekerti, bantuan makanan,
beasiswa, pelayanan kesehatan, pelatihan keterampilan dan
pelayanan-pelayanan rujukan lain yang diperlukan. Pelayanan sosial
ini bertujuan untuk memberikan alternatif kegiatan bagi anak-anak
jalanan agar waktu yang dihabiskan di jalan semakin berkurang, dan
diharapkan dengan modal keterampilan yang dimiliki atau tetap
terpeliharanya kelangsungan pendidikan mereka, pada akhirnya anak-
anak tersebut dapat meninggalkan kehidupan di jalan dan hidup
kembali bersama keluarganya. Menyadari bahwa permasalahan
sebagian besar anak jalanan adalah ketidakmampuan orang tua
dalam memenuhi kebutuhan anak, maka sasaran pelayanan juga
menjangkau orang tua anak jalanan, melalui pemberdayaan orang
tua.

Dengan besarnya jumlah anak jalanan, anak yang


diperlakukan salah, dan pekerja anak, telah mulai dilaksanakan
sosialisasi tentang hak-hak anak meliputi tumbuh kembang,
kelangsungan hidup dan perlindungan di 13 propinsi.

Selanjutnya telah pula diberikan bantuan dan penyantunan


bagi 12.475 lanjut usia terlantar baik di dalam maupun di luar panti.
Bagi lanjut usia terlantar yang masih produktif, diberikan bantuan
modal usaha. Dana bantuan operasional diberikan pula secara
langsung bagi panti lanjut usia milik masyarakat yang mengalami
kesulitan pendanaan, agar kelangsungan penyelenggaraan pelayanan
sosial bagi lanjut usia terlantar dapat terpelihara.

VII - 24
Pelayanan dan rehabilitasi sosial juga diberikan kepada
12.887 orang penyandang cacat, baik yang berada di dalam panti
maupun di lingkungan keluarga. Bantuan pelayanan dan rehabilitasi
sosial tersebut ditujukan untuk memulihkan harga diri dan martabat
mereka sehingga mereka dapat melaksanakan peran dan fungsi
sosialnya secara wajar dan produktif. Selain itu, diupayakan pula
bagi mereka kemudahan untuk mengakses fasilitas umum. Sedangkan
pelayanan sosial bagi tuna sosial telah diberikan bagi 11.634 orang
termasuk bagi tuna susila, pengemis, gelandangan, eks narapidana,
penderita HIV/AIDS dan korban tindak pidana kekerasan.

Sementara itu, penanganan anak nakal dan korban


penyalahgunaan narkoba ditangani melalui upaya pencegahan,
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam panti
dan luar panti dengan sasaran tercegahnya, pulih dan berdayanya
para penyandang tersebut sehingga dapat menjadi sumber daya yang
berkualitas dan produktif. Jumlah korban penyalahgunaan narkoba
dan anak nakal yang ditangani sebanyak 3.380 orang.

Usaha pemberdayaan terhadap Komunitas Adat Terpencil


(KAT) terus diupayakan agar secara bertahap kualitas hidup mereka
dapat meningkat. KAT yang memperoleh pemberdayaan sebanyak
9.763 KK.

Salah satu upaya pencegahan terhadap terus berkembangnya


masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan seperti
keterlantaran dan tuna sosial dilakukan melalui pemberdayaan bagi
keluarga miskin (fakir miskin). Pemberdayaan keluarga sangat
miskin dilaksanakan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
bagi 5.072 KUBE atau 50.720 keluarga, dengan kegiatan antara lain
seleksi, bimbingan motivasi, pembentukan dan pemantapan KUBE,
dan pemberian bantuan sarana usaha yang sesuai dengan pelatihan
keterampilan yang telah diperoleh. Agar KUBE dapat berjalan
dengan baik, pendampingan bagi kelompok-kelompok tersebut
dilakukan oleh Petugas Sosial Kecamatan (PSK). Diharapkan
melalui penanganan yang menyeluruh dan terpadu, dapat dikurangi
timbulnya masalah-masalah seperti anak terlantar dan lanjut usia.

VII - 25
Dalam rangka penanganan pengungsi yang bersifat
konsepsional dan menyeluruh, bagi para pengungsi diberikan bantuan
tanggap darurat di lokasi pengungsian dan permukiman kembali para
pengungsi baik di tempat asal maupun baru sebagai bagian dari
pemberian jaminan sosial dan jaminan keamanan. Bantuan tanggap
darurat dilakukan dengan cara memberikan bantuan pangan berupa
beras dan lauk pauk bagi rata-rata 1.000.000 jiwa/bulan yang
tersebar di 19 propinsi. Selain itu, bagi para pengungsi juga
diberikan pelayanan kesehatan dasar termasuk pencegahan dan
pemberantasan penyakit, penyediaan sarana air bersih dan sanitasi,
serta perbaikan gizi melalui pemberian makanan tambahan.
Selanjutnya, penyediaan kesempatan belajar juga diberikan bagi
pengungsi anak melalui pendidikan umum dan alternatif di daerah
lokasi/daerah pengungsian, bantuan bahan ajar dan perlengkapan
siswa, serta paket pelatihan. Penanganan pengungsi ini dilakukan
bersama-sama antara pemerintah baik pusat dan daerah bersama-
sama masyarakat. Keseluruhan penanganan pengungsi dikoordinir
oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas
PB).

Dalam menanggulangi dampak sosial dari krisis


multidimensional, terutama bagi kelompok rentan, keberadaan
organisasi sosial (Orsos) menjadi sangat strategis. Orsos mampu
memberikan pelayanan atas dasar sikap ikhlas, pengabdian,
kepedulian dan penghargaan kepada sesama manusia yang bentuk
perwujudannya adalah upaya menolong dan membantu tanpa pamrih.
Motivasi seperti ini menumbuhkan kekuatan yang mengakar pada
masyarakat. Mereka tumbuh di tengah-tengah masyarakat, berusaha
memahami persoalan yang ada, mengerti yang dibutuhkan sehingga
mereka juga dapat memberikan pertolongan dan bantuan baik yang
bersifat penyelamatan maupun pemulihan kondisi kesejahteraan
sosial dalam suatu krisis. Orsos yang telah menerima bantuan
pemberdayaan berupa pelatihan dan paket-paket usaha agar kinerja
Orsos dapat terus ditingkatkan yaitu sebanyak 572 Orsos dan 1.561
Karang Taruna.

Dalam upaya memberikan kesejahteraan dan pemenuhan


jaminan sosial yang dapat menyentuh seluruh warga negara telah

VII - 26
dilakukan upaya penyempurnaan sistem jaminan sosial nasional
secara terpadu dan terkoordinasi agar setiap warga negara Indonesia
mendapat hak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya melalui
program sistem jaminan sosial yang menyeluruh terutama untuk
keluarga, masyarakat miskin, pekerja sektor informal, petani,
nelayan, masyarakat yang terkena musibah/bencana dan penyandang
masalah sosial lainnya melalui penelaahan, pengkajian dan
perumusan kebijakan dan langkah-langkah dalam rangka
penyelenggaraan program sistem jaminan sosial nasional yang
meliputi baik aspek kelembagaan, program, perundang-undangan,
pendanaan maupun aspek pelaksanaan lainnya. Khusus untuk sistem
jaminan dan asuransi kesejahteraan sosial telah dilakukan uji coba
dan penyusunan pedoman pelaksanaan sistem jaminan dan asuransi
kesejahteraan sosial.

1.8 Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan


Profesionalisme Pelayanan Sosial

Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan


profesionalisme pelayanan sosial melalui pengembangan alternatif-
alternatif intervensi di bidang kesejahteraan sosial, peningkatan
kemampuan dan kompetensi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan
sosial masyarakat, serta penetapan standardisasi dan legislasi
pelayanan sosial.

Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan


yang telah ditempuh adalah meningkatkan profesionalisme pelayanan
sosial baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan dunia
usaha terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial, serta
meningkatkan kualitas manajemen pelayanan sosial.

Dalam rangka meningkatkan mutu dan profesionalisme


pelayanan sosial telah dilakukan berbagai kegiatan antara lain
melalui pendidikan tugas belajar program S2 bagi 36 orang dan
program S3 sebanyak 5 orang pekerja kesejahteraan sosial untuk
bidang ilmu sosial, sosiologi pembangunan dan psikologi. Di
samping itu, telah dilakukan pula pelatihan teknis maupun

VII - 27
fungsional bagi 150 pegawai Dinas Sosial yang tersebar di 26
propinsi.

Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan kebijakan dan


program di bidang kesejahteraan sosial telah dilakukan beberapa
penelitian antara lain mengenai pengembangan standarisasi dan
pedoman kompetensi SDM dalam rangka meningkatkan kinerja
lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; sosialisasi Lembaga Sosial
Kemasyarakatan antaretnis dan pola hubungan antarkelompok etnis
dan penelitian tentang sistem penanggulangan kesenjangan sosial.
Selain itu, telah dilakukan pula penyusunan Standarisasi Panti Sosial
sebagai pedoman bagi penyelenggara Panti Sosial baik oleh
pemerintah maupun masyarakat.

Dalam upaya menciptakan landasan pelaksanaan


pembangunan kesejahteraan sosial yang semakin mantap dan mapan,
telah dilakukan penyusunan 3 naskah akademis peraturan perundang-
undangan di bidang kesejahteraan sosial antara lain naskah akademis
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Anak,
RUU tentang Pengentasan Fakir Miskin dan RUU tentang Undian.

1.9 Program Pengembangan Keserasian Kebijakan


Publik dalam Penanganan Masalah-masalah Sosial

Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian


kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial
masyarakat dan terlindunginya masyarakat dari dampak
penyelenggaraan pembangunan dan perubahan sosial yang cepat
melalui wadah jaringan kerja.

Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan


yang telah ditempuh adalah menyelesaikan masalah-masalah
mendesak yang dilakukan melalui koordinasi dengan instansi terkait
terutama untuk masalah pengungsi, kerusuhan, dan disintegrasi
bangsa.

Penanganan masalah disintegrasi bangsa menyangkut


berbagai aspek kehidupan manusia, dan penanganan secara

VII - 28
komprehensif memerlukan waktu yang panjang. Berkaitan dengan hal
tersebut telah selesai dirumuskan kebijakan pengembangan integrasi
bangsa di kalangan pelajar dan pemuda melalui pengenalan wawasan
nusantara dengan melibatkan berbagai unsur pemerintah, LSM dan
masyarakat termasuk dunia usaha.

Di samping itu, dalam upaya mendorong masyarakat dan


dunia usaha agar ikut serta menyelenggarakan pelayanan sosial yang
berkelanjutan untuk penanganan masalah-masalah kemasyarakatan,
telah selesai dirumuskan kebijakan mengenai sumbangan sosial
masyarakat melalui media massa dan tanggung jawab sosial dunia
usaha.

Untuk penanganan pengungsi akibat bencana alam dan


kerusuhan telah selesai dirumuskan kebijakan mengenai pola
penyelesaian masalah pengungsi dan perumusan kebijakan dasar
masalah pengungsi anak. Demikian pula untuk penanganan masalah
narkoba yang terus meningkat baik dilihat dari jumlah korbannya
maupun kualitas penyalahgunaannya telah dilakukan perumusan
kebijakan mengenai strategi penanggulangan penyalahgunaan
narkoba.

1.10 Program Pengembangan Sistem Informasi


Masalah-masalah Sosial

Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan


informasi yang diperlukan untuk bahan penentuan kebijakan
masalah-masalah sosial, membangun sistem informasi yang
diperlukan sebagai alat peringatan dini, dan meningkatkan fungsi dan
koordinasi jaringan informasi kelembagaan dalam upaya
pembentukan keterpaduan pengendalian masalah-masalah sosial.
Tujuan lain program ini adalah untuk menyediakan data dan
informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan
dunia usaha tentang: (1) perkembangan masalah menyangkut aspek
sosial, politik, ekonomi, dan budaya; (2) modal sosial yang dimiliki
masyarakat dan dunia usaha serta sumber daya ekonomi; dan (3)
perkembangan masalah-masalah sosial itu sendiri.

VII - 29
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan
yang telah ditempuh adalah membangun pusat informasi dan layanan
masyarakat antara lain untuk mengakomodasi masyarakat yang
makin berkembang.

Dalam rangka penyediaan data dan informasi masalah-


masalah kemasyarakatan masih terus dilanjutkan pengembangan
sistem informasi dan pengelolaan informasi masalah-masalah
kemasyarakatan. Selanjutnya, telah dilakukan juga pengkajian
berbagai masalah laten bangsa bekerja sama dengan berbagai
universitas dan lembaga penelitian.

1.11 Program Pengembangan dan Keserasian


Kebijakan Kependudukan

Program pengembangan dan keserasian kebijakan


kependudukan bertujuan untuk mewujudkan keserasian kebijakan
kependudukan di berbagai bidang pembangunan. Dalam rangka
mencapai tujuan program tersebut ditempuh langkah-langkah
kebijakan antara lain: (1) meningkatkan kualitas penduduk yang
meliputi peningkatan kualitas kehidupan beragama, pendidikan, kese-
hatan, ekonomi, sosial-budaya, dan peningkatan sektor terkait
lainnya; (2) mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk;
(3) melakukan pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk
sehingga penduduk tidak terkonsentrasi pada wilayah-wilayah
tertentu; dan (4) mengembangkan sistem administrasi kependudukan.
Kebijakan tersebut diselenggarakan melalui program pembangunan
lintas bidang dan lintas sektor serta pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintah daerah.

Hasil pelaksanaan yang dicapai pada tahun 2000 di bidang


kebijakan pengendalian kuantitas penduduk adalah penetapan jumlah,
struktur dan komposisi penduduk Indonesia tahun 2000–2005 serta
beberapa makalah kebijakan tentang pengendalian pertumbuhan
penduduk dan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan di bidang
kebijakan kualitas penduduk telah dicapai antara lain adalah:
pembakuan indikator kependudukan strategis yang dapat memberikan
bahan pertimbangan penentuan skala prioritas dalam perencanaan

VII - 30
pembangunan yang berwawasan kependudukan; pengembangan pola
asuh anak dalam keluarga; serta pedoman peningkatan kualitas anak
balita. Di samping itu, telah dirumuskan pula makalah kebijakan
mengenai peningkatan kesehatan reproduksi remaja, penurunan
morbiditas dan mortalitas bayi, balita, ibu hamil, dan ibu melahirkan.
Di bidang persebaran dan mobilitas penduduk telah dilaksanakan
beberapa kajian dan studi kebijakan persebaran dan mobilitas
penduduk, tata ruang, daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dalam upaya mendukung administrasi kependudukan yang tertib,
telah disusun RUU tentang Adminstrasi Kependudukan serta
pelaksanaan uji coba sistim pendaftaran dan pencatatan penduduk.

1.12 Program Pemberdayaan Keluarga

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan


ketahanan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat.
Langkah-langkah kebijakan dalam program ini diarahkan pada
penyadaran dan peningkatan kemampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan dasar, sosial dan psikologisnya. Langkah kebijakan
tersebut meliputi: (1) menyelenggarakan pelayanan advokasi,
komunikasi, edukasi, informasi (KIE) dan konseling mengenai
pengasuhan dan penumbuhkembangan anak serta akses sumber daya
ekonomi; (2) mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan
kewirausahaan bagi keluarga terutama keluarga Pra-KS dan KS I;
(3) menyelenggarakan pelayanan pembinaan ketahanan keluarga
khususnya bagi keluarga yang memiliki balita dan remaja; dan (4)
melakukan penataan dan melaksanakan pendataan keluarga.

Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2000


adalah jumlah keluarga terutama keluarga Pra-KS dan KS I yang
dapat mengakses informasi dan sumber daya ekonomi bagi
peningkatan kesejahteraan keluarga mencapai sekitar 12,6 juta
keluarga. Selain itu, langkah kebijakan ini juga telah menghasilkan
data keluarga.

1.13 Program Kesehatan Reproduksi Remaja

VII - 31
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi dalam
rangka meningkatkan derajat kesehatan reproduksinya dan
mempersiapkan kehidupan berkeluarga guna mendukung upaya
peningkatan kualitas generasi mendatang. Langkah-langkah
kebijakan yang ditempuh adalah: (1) melaksanakan promosi
kesehatan reproduksi bagi remaja, baik yang bersifat pencegahan
maupun penanggulangan; (2) melakukan advokasi, komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) dan konseling reproduksi bagi remaja,
keluarga dan masyarakat; (3) menyelenggarakan promosi
pendewasaan usia kawin; dan (4) melaksanakan perintisan konseling
kesehatan reproduksi bagi remaja termasuk bagi remaja yang hidup
dan bekerja di jalan.

Pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini mampu


meningkatkan kepedulian dan peran aktif remaja, masyarakat dan
dunia pers dalam aspek kesehatan reproduksi. Pusat-pusat konseling
kesehatan remaja juga semakin meningkat kualitas dan jumlahnya.
Pada tahun 2001 jumlah pusat konseling kesehatan reproduksi bagi
remaja mencapai 65 pusat.

1.14 Program Keluarga Berencana (KB)

Program KB bertujuan untuk memenuhi permintaan


pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang berkualitas serta
mengendalikan angka kelahiran yang pada akhirnya meningkatkan
kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga-keluarga kecil
berkualitas. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1)
mengintegrasikan program KB dalam kerangka pemenuhan hak-hak
reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta kesetaraan gender
termasuk diantaranya adalah promosi, advokasi, komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE), dan konseling tentang pemenuhan hak-
hak dan kesehatan reproduksi; (2) meningkatkan mutu pelayanan
program KB yang menuju pada pencapaian standar yang ditetapkan

VII - 32
dan berorientasi kepada kepuasan publik/klien, antara lain melalui
peningkatan kualitas lembaga pelayanan KB dan kesehatan
reproduksi dan peningkatan profesionalisme sumber daya manusia
pada lembaga pelayanan KB; (3) menyediakan alat dan obat serta
pelayanan KB yang bermutu termasuk kontrasepsi mantap bagi laki-
laki dan perempuan serta pencabutan alat kontrasepsi susuk secara
cuma-cuma bagi keluarga Pra-KS dan KS I; (4) menyediakan
jaminan dan perlindungan bagi peserta KB yang diprioritaskan pada
penanggulangan efek samping secara medis; (5) melakukan
pelatihan, pengkajian, dan penelitian operasional KB serta
mengembangkan sistim informasi manajemen program KB, dan (6)
melakukan penajaman segmentasi peserta KB yaitu kelompok peserta
KB dilayani secara luwes dengan memperhatikan aspek sosial
ekonomi, adat istiadat/agama, ciri-ciri demografis dan geografis.

Melalui pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini, pada


tahun 2000 program KB mampu memberikan pelayanan KB bagi
3.625.753 peserta KB baru dan 25.537.657 peserta KB aktif.
Dengan kemampuan pelayanan KB tersebut, persentase pasangan
usia subur (PUS) yang ingin menjadi peserta KB namun tidak
terlayani KB (unmet need) pada tahun 2001, diproyeksikan sebesar
8,7 persen.

1.15 Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan


KB

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan


sekaligus meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi. Langkah-langkah kebijakan dalam program ini
meliputi: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan KB dalam rangka
desentralisasi; (2) melaksanakan pelatihan dan bimbingan pelayanan
dan manajemen KB dan kesehatan reproduksi bagi institusi dan
lembaga berbasiskan masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan
KB; (3) menyediakan dukungan manajemen KB terutama di tingkat
desa dan kecamatan; (4) menyediakan dan melakukan pertukaran
informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi; (5)
menyelenggarakan pelatihan dan kerja sama internasional di bidang
KB dan kesehatan reproduksi; dan (6) menyelenggarakan promosi

VII - 33
kemandirian ber-KB bagi peserta KB dan peningkatan kemandirian
kelembagaan KB yang berbasis masyarakat.

Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2001


adalah jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah sebesar
46.756 yang diperkirakan mampu melayani 68 persen PUS peserta
KB Aktif. Hasil lainnya dalam program ini adalah persentase peserta
KB mandiri yang diperkirakan telah mencapai 30 persen PUS pada
tahun 2001.

2. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata

2.1 Kebudayaan

Di dalam GBHN 1999 pembangunan kebudayaan diarahkan


untuk mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa
Indonesia, mengembangkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya
dan mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian. Untuk
itu, kebijakan yang ditempuh adalah untuk menanamkan nilai-nilai
luhur budaya bangsa dalam rangka menumbuhkan pemahaman dan
penghargaan masyarakat pada budaya leluhur, keragaman budaya
dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat,
menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya, dan
memperkokoh ketahanan budaya. Langkah-langkah yang ditempuh
adalah: (1) meningkatkan pelestarian, pengembangan dan
pemanfaatan tradisi, peninggalan sejarah dan permuseuman; (2)
menciptakan iklim yang kondusif bagi timbulnya kreasi sastra, seni,
dan budaya; (3) membina dan mengembangkan kebahasaan dan
kesastraan; (4) mengembangkan kepustakaan dan budaya ilmiah; (5)
membina dan mengembangkan kesenian dan perfilman nasional; dan
(6) meningkatkan apresiasi masyarakat dalam seni dan budaya. Hasil
pelaksanaan langkah-langkah kebijakan tersebut diuraikan berikut
ini.

Dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang nilai-nilai


luhur budaya nasional, di bidang pendidikan umum mulai

VII - 34
ditingkatkan muatan lokal. Dengan adanya muatan lokal ini, siswa
berkesempatan untuk mempelajari dan memahami budaya daerahnya
masing-masing. Selanjutnya pengenalan dan pemahaman budaya
dilakukan pula melalui penyelenggaraan kemah budaya di tingkat
nasional. Untuk meningkatkan tersedianya informasi budaya lokal
dan mencari masukan untuk pemahaman ragam budaya nasional,
dilakukan pula lomba penulisan naskah kebudayaan daerah yang
diikuti oleh pengajar SLTA. Selain itu, dilakukan pula
pemberdayaan lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan nilai,
sikap dan kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan
masyarakat yang didukung dengan sarana dan prasarana yang
memadai.

Selanjutnya, upaya tersebut didukung pula dengan


penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan dan keterampilan untuk
membentuk sikap mandiri generasi muda. Pembinaan keolahragaan
juga mendorong sikap sportif bagi generasi muda. Semua upaya
tersebut diharapkan dapat meningkatkan pemahaman nilai budaya,
membentuk watak dan sikap mandiri serta sportif di masyarakat
khususnya generasi muda.

Untuk melestarikan peninggalan budaya-budaya tradisional,


terus ditingkatkan pembinaan terhadap museum baik ditingkat
nasional dan propinsi. Dengan adanya otonomi daerah, peran
pemerintah daerah dalam pembinaan museum dan warisan budaya
nasional di tiap-tiap propinsi akan semakin meningkat. Selanjutnya,
penemuan situs arkeologi dan benda-benda cagar budaya terus
dilakukan untuk memperkaya pemahaman masyarakat mengenai
budaya-budaya tradisional yang sudah punah. Sementara itu, situs-
situs cagar budaya yang ada terus dijaga kelestariannya dan dipugar
agar generasi muda dapat mempelajari kekayaan budaya tradisional
yang pernah ada.

Dalam upaya untuk menghidupkan seni budaya nasional baik


dalam bentuk seni tari, lukis, film dan bidang seni lain, terus
dilakukan pameran, pagelaran dan festival di tingkat pusat dan
daerah. Beberapa kegiatan tersebut berupa pekan komik dan animasi,
pameran terakota dan berbagai kerja sama dengan masyarakat dalam

VII - 35
pagelaran kesenian dan pameran kesenian lainnya. Selain itu, untuk
melindungi hasil karya cipta seniman telah berhasil diterapkan
pemberian royalty yang masih terbatas untuk pencipta lagu. Untuk
memperkenalkan kekayaan budaya nasional Indonesia, telah
dilakukan pula berbagai misi kesenian ke luar negeri diantaranya
Cina dan Kamboja. Selanjutnya, untuk mendorong pengembangan
kesenian nasional Indonesia terus mengikuti berbagai kegiatan yang
bersifat internasional baik di dalam maupun di luar negeri.
Kesempatan untuk bertukar informasi di bidang kesenian akan lebih
terbuka dengan penyelenggaraan Art Summit III di Jakarta tahun ini
yang diikuti oleh seniman dari berbagai negara.

2.2. Pariwisata

Mengenai pengembangan pariwisata diuraikan dalam Bab III


Pembangunan Ekonomi.

3. Pemberdayaan Perempuan

3.1 Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan

Langkah-langkah kebijakan dalam program peningkatan


kualitas hidup perempuan dilaksanakan melalui 17 program
pembangunan yang mencakup pembangunan hukum, ekonomi,
politik, pendidikan, serta sosial dan budaya. Hasil-hasil yang dicapai
diuraikan secara terpisah dalam setiap program pembangunan yang
berkaitan dengan pembangunan hukum, ekonomi, politik, pendidikan,
serta sosial dan budaya. Namun demikian, hasil-hasil yang cukup
menonjol dapat diuraikan sebagai berikut. Dalam pembangunan
hukum melalui pelaksanaan program pembentukan peraturan
perundang-undangan telah dan sedang dilakukan perubahan dan
penyempurnaan produk-produk hukum yang bias gender dan atau

VII - 36
diskriminatif terhadap perempuan, seperti Undang-undang
Perkawinan, Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang
Kesehatan, Undang-undang Kewarganegaraan, dan KUHP. Di
samping itu, berkat kerja sama yang baik antara pemerintah dan
LSM telah disusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan (RAN-PKTP) yang memuat berbagai upaya
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik yang
terjadi dalam keluarga, tempat kerja, maupun dalam masyarakat.
Khusus untuk menangani para korban tindak kekerasan, telah
dibentuk 163 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di 19 Polda, dan
bekerja sama dengan Rumah Sakit setempat, serta Crisis Center di
RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS Panti Rapih Yogyakarta.
Sementara itu, hasil yang dicapai dalam pembangunan ekonomi
melalui pelaksanaan program perluasan dan pengembangan
kesempatan kerja, program peningkatan kualitas dan produktivitas
tenaga kerja, dan program perlindungan dan pengembangan lembaga
tenaga kerja adalah telah dilakukannya penyempurnaan beberapa
peraturan perlindungan tenaga kerja yang selama ini belum
menguntungkan bagi tenaga kerja perempuan, penyempurnaan sistem
kredit usaha yang masih cenderung diskriminatif, dan peningkatan
kualitas dan jumlah pelatihan yang ditujukan untuk lebih
meningkatkan kualitas dan produktivitas tenaga kerja perempuan
sekaligus meningkatkan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan.
Dalam upaya memberikan perlindungan bagi pekerja perempuan
yang baru datang dari luar negeri, telah dibentuk Pusat Pelayanan
Informasi di empat bandara yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, dan
Batam. Dalam pembangunan pendidikan khususnya melalui
pelaksanaan program-program pendidikan dasar dan prasekolah,
pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pembinaan pendidikan
luar sekolah, melalui peningkatan pemberian beasiswa dengan
mengutamakan pada murid perempuan, maka jumlah penduduk
perempuan yang menikmati pendidikan semakin banyak. Selanjutnya,
dalam pembangunan politik yaitu melalui program perbaikan struktur
politik dan program pengembangan budaya politik telah dirintis
pembentukan kaukus perempuan di lembaga legislatif pusat serta
terus dilakukan kegiatan-kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi
(KIE) dan advokasi yang ditujukan untuk meningkatkan pendidikan
politik perempuan di lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan

VII - 37
yudikatif. Namun demikian upaya ini belum menunjukkan hasil yang
memuaskan, karena peningkatan jumlah perempuan yang menduduki
posisi pengambil keputusan dan atau jabatan struktural hanya terjadi
pada lembaga eksekutif saja, sedangkan pada lembaga-lembaga
legislatif dan yudikatif justru mengalami penurunan.

3.2 Program Pengembangan dan Keserasian


Kebijakan Pemberdayaan Perempuan

Dalam program pengembangan dan keserasian kebijakan


pemberdayaan perempuan yang bertujuan untuk mewujudkan
keserasian berbagai kebijakan pemberdayaan perempuan di berbagai
bidang pembangunan, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh
adalah: (1) mengintegrasikan kebijakan pembangunan pemberdayaan
perempuan ke dalam berbagai kebijakan-kebijakan pembangunan
lainnya secara terpadu, baik di tingkat nasional maupun daerah; (2)
melakukan pengkajian dan menyempurnakan hukum dan peraturan
perundangan-undangan yang masih diskriminatif terhadap
perempuan dan tidak berkeadilan jender; (3) melakukan pengkajian
kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dalam rangka
mencari alternatif-alternatif kebijakan yang lebih efektif; (4)
melaksanakan promosi, advokasi, sosialisasi, pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan
pemberdayaan perempuan; (5) melakukan penelitian dan
pengembangan masalah-masalah gender sesuai dengan kondisi sosial
budaya, agama, dan perkembangan masyarakat, termasuk
pemanfaatan dan pendayagunaan hasilnya bagi upaya penguatan
pengarusutamaan gender.

Hasil yang dicapai melalui pelaksanaan program ini adalah


telah diintegrasikannya kebijakan pembangunan pemberdayaan
perempuan ke dalam lima kebijakan pembangunan ketenagakerjaan,
pendidikan, hukum, pertanian, dan koperasi dan usaha kecil
menengah pada tingkat nasional. Untuk pembangunan daerah,
beberapa propinsi telah melakukan kegiatan serupa yaitu di propinsi
Sulawesi Selatan. Hasil lainnya adalah telah dikeluarkannya Inpres

VII - 38
Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional, serta telah disusun Panduan
Pelaksanaannya. Berbagai pengkajian juga dilakukan untuk
mengidentifikasi berbagai masalah gender, terutama yang
menyangkut pola pemberian kredit, kebijakan upah tenaga kerja,
kebijakan pengiriman tenaga kerja perempuan, perbaikan materi
bahan ajar SD, pemanfaatan perempuan dalam bisnis media, masalah
gender dilihat dari sudut pandang agama Islam, hak cuti melahirkan
bagi pekerja perempuan di sektor formal, kesehatan reproduksi
perempuan, kesempatan melanjutkan sekolah bagi siswi yang hamil,
dan jaminan sosial bagi pekerja perempuan di sektor informal.

3.3 Program Peningkatan Peran Masyarakat dan


Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan
Gender

Program peningkatan peran masyarakat dan pemampuan


kelembagaan pengarusutamaan gender yang bertujuan untuk
meningkatkan peran dan kemandirian lembaga-lembaga yang
memiliki visi pemberdayaan perempuan terutama organisasi
perempuan; memperkuat peran aktif masyarakat dalam upaya
pemberdayaan perempuan; meningkatkan kapasitas dan kemampuan
institusi-institusi pemerintah dalam melakukan pengarusutamaan
gender dalam setiap tahap dan proses pembangunan dilaksanakan
dengan serangkaian langkah-langkah kebijakan yang ditempuh
melalui: (1) melaksanakan KIE dan advokasi mengenai kesetaraan
dan keadilan gender (KKG) di lingkungan lembaga-lembaga
legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan Polri, dan masyarakat secara
keseluruhan; (2) mendorong terbentuknya komisi atau forum
kesetaraan dan keadilan gender; (3) meningkatkan kemampuan dan
kapasitas institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah untuk
melakukan pengarusutamaan gender dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan, antara lain
melalui peningkatan keterampilan dan keahlian serta pembentukan
unit pengarusutamaan gender di setiap instansi pemerintah; (4)
mengembangkan berbagai alat dan metode, termasuk
mengembangkan materi dan bahan KIE untuk pengarusutamaan
gender; (5) mengembangkan sistem informasi gender, antara lain

VII - 39
melalui penyediaan data dan informasi yang dibedakan menurut jenis
kelamin; (6) meningkatkan kemampuan dan kapasitas lembaga-
lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan,
termasuk organisasi-organisasi perempuan yang ada di tingkat
nasional dan daerah, melalui peningkatan keterampilan dan keahlian
untuk lebih dapat menemukenali dan mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi perempuan, serta bersama-sama
pemerintah merumuskan kebijakan dan program pembangunan; (7)
menciptakan hubungan kemitraan yang saling menguntungkan antara
pemerintah, masyarakat, pranata dan lembaga-lembaga masyarakat
yang memiliki visi pemberdayaan perempuan; dan (8) meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat media dalam mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender.

Hasil yang dicapai melalui pelaksanaan program ini adalah


telah disosialisasikannya KKG bagi 5 instansi pemerintah di pusat
dan 11 propinsi, anggota DPRD di 26 propinsi, perusahaan
swasta/BUMN/ BUMD di 3 kota besar Semarang, Makassar, dan
Medan, pimpinan media dan wartawan di Medan, Surabaya, dan
Makassar, dan ormas keagamaan. Forum KKG di tingkat pusat juga
telah terbentuk dan beranggotakan 12 Departemen/LPND. Di
samping itu, juga telah terbentuk lembaga pemberdayaan perempuan
di 22 propinsi. Selanjutnya juga telah dibentuk Kelompok Kerja
Nasional Pengarusutamaan Gender di tingkat nasional dan focal
point KKG di 14 Departemen/LPND dan Mabes Polri. Alat analisis
gender juga telah dikembangkan khususnya untuk perencanaan
pembangunan, yang dikenal dengan Gender Analysis Pathway
(GAP), dan diikuti dengan pengembangan Indikator Gender dan
Indeks KKG. Kegiatan perintisan untuk mengembangkan sistem
informasi gender juga telah dimulai melalui pengembangan
homepage dan web yang menyajikan data dan informasi gender.
Sebagai kelengkapan data dan informasi gender juga telah diterbitkan
Profil Gender dan Media Perempuan sejak tahun 2000.

VII - 40
4. Pemuda dan Olahraga

4.1 Program Pengembangan dan Keserasian


Kebijakan Olahraga

Tujuan program ini adalah untuk mewujudkan keserasian


kebijakan olahraga di berbagai bidang pembangunan. Untuk
mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah
ditempuh adalah: (1) melakukan pengkajian dan menyempurnakan
peraturan perundangan-undangan olahraga dan kesegaran jasmani;
(2) melakukan pengkajian dan merumuskan kebijakan pembangunan
olahraga tentang mekanisme koordinasi pembinaan olahraga,
pengembangan olahraga dan kesegaran jasmani, dan pengembangan
kelembagaan keolahragaan; dan (3) melaksanakan penelitian
olahraga dan kesegaran jasmani.

Hasil yang dicapai dalam program ini adalah terumuskannya


konsep kebijakan yang mendukung perkembangan olahraga nasional
dan pedoman mekanisme pembinaan olahraga dan kesegaran
jasmani.

4.2 Program Pemasyarakatan Olahraga dan


Kesegaran Jasmani

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kesegaran


jasmani masyarakat dan pelaksanaan kegiatan olahraga termasuk
olahraga masyarakat sehingga mendukung pelaksanaan paradigma
sehat dan melestarikan olahraga tradisional sebagai potensi budaya
nasional. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1)
menyelenggarakan KIE tentang pendidikan jasmani, olahraga
rekreasi dan pentingnya olahraga bagi kesegaran jasmani; (2)
melaksanakan lomba sekolah sehat dan pengembangan bahan
pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah; (3) melaksanakan
pembentukan dan pembinaan wadah olahraga yaitu klub olahraga
pelajar, dan kelompok berlatih olahraga (KBO); (4) melakukan
kegiatan olahraga ekstra kurikuler; (5) melaksanakan invitasi
olahraga tradisional; dan (6) meningkatkan peran masyarakat, dunia

VII - 41
usaha dan pemerintah daerah dalam mengembangkan sarana dan
prasarana olahraga.

Hasil yang dicapai dalam program ini antara lain adalah


tersusunnya 21 naskah tentang bahan pembelajaran pendidikan
jasmani. Bagi para guru dan pembina olahraga di sekolah juga telah
tersedia buku pembinaan olahraga SD. Selain itu, bagi sebanyak 234
orang telah diberikan pendidikan dan pelatihan Penjaskes SD dan
bagi sebanyak 820 orang juga diberikan pendidikan dan pelatihan
teknik pengelolaan kegiatan klub olahraga SD. Sementara itu, untuk
beberapa SD dan SMU juga telah tersedia perangkat olahraga dan
kesenian. Prasarana dan sarana bagi pengembangan olahraga juga
telah dimanfaatkan oleh sekitar 702 SD. Hasil lainnya dalam
program ini adalah terbentuknya 650 KBO. Khusus dalam olahraga
tradisional, sebanyak 645 orang mengikuti invitasi olahraga
tradisional.

4.3 Program Pemanduan Bakat dan Pembibitan


Olahraga

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan upaya


pemanduan bakat dan pembibitan olahraga sejak usia dini termasuk
bagi penyandang cacat terutama di sekolah. Untuk mencapai tujuan
tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1)
melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga pelajar dalam rangka
menanamkan disiplin dan nilai-nilai sportifitas; (2) melakukan
penelusuran minat dan bakat olahragawan daerah, serta
menyelenggarakan kejuaraan antar Pusat Pendidikan Latihan
Olahraga Pelajar (PPLP); (3) melaksanakan training camp dalam
rangka pembinaan dan pembibitan olahragawan pelajar berbakat; (4)
menyelenggarakan penataran olahraga bagi pembina dan pelatih
wasit; (5) melakukan pelatihan pemanduan bakat dan pembibitan
olahraga bagi guru pendidikan jasmani; (6) melakukan KIE dan
advokasi bagi olahragawan berbakat; dan (7) meningkatkan
kepedulian masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pendanaan
olahraga.

VII - 42
Hasil yang telah dicapai dalam program ini antara lain
adalah sebanyak 654 guru pendidikan jasmani telah diberikan
pelatihan tentang pemanduan bakat dan pembibitan olahraga serta
peningkatan mutu pemanduan bakat dan pembibitan olahraga. Selain
itu, sebanyak 120 orang olahragawan pelajar mengikuti training
camp dan 1.081 atlet pelajar ikut serta dalam kejuaraan antar Pusat
Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) yang merupakan
salah satu wadah untuk penelusuran minat dan bakat.

4.4 Program Peningkatan Prestasi Olahraga

Program ini bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga


termasuk olahraga bagi penyandang cacat. Untuk mencapai tujuan
tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1)
memantapkan prioritas cabang olahraga prestasi di tingkat daerah,
nasional, dan internasional; (2) melakukan pemberdayaan PPLP dan
SLTP/SMU dalam rangka pembinaan cabang olahraga prestasi
prioritas; (3) melakukan pendidikan dan pelatihan bagi atlet termasuk
atlet penyandang cacat, serta pelajar dan mahasiswa; (4)
menyelenggarakan kompetisi olahraga secara teratur, berjenjang dan
berkesinambungan bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat; (5)
melakukan pemberdayaan organisasi olahraga prestasi prioritas di
tingkat daerah dan tingkat nasional; (6) menyelenggarakan penataran
olahraga bagi pelatih dan wasit dalam rangka peningkatan jumlah
dan kualitasnya; (7) melakukan studi keolahragaan bagi peningkatan
iptek dan keahlian pelatih, peneliti, praktisi, dan teknisi olahraga; (8)
menyelenggarakan advokasi bagi dunia usaha dan masyarakat untuk
mendukung pembinaan olahraga prestasi.

Hasil yang dicapai dalam program ini antara lain adalah


sebanyak 2.083 atlet termasuk atlet penyandang cacat telah diberikan
bekal pengetahuan dan keahlian serta penempaan mental sebagai
upaya untuk meningkatkan prestasi mereka. Di samping itu,
sebanyak 128 pelatih dan wasit juga telah diberikan pengetahuan
sesuai dengan fungsinya. Dalam jangka panjang hasil-hasil ini akan
sangat berpengaruh terhadap peningkatan prestasi olahraga.

VII - 43
4.5 Program Pengembangan dan Keserasian
Kebijakan Kepemudaan

Tujuan program pengembangan dan keserasian kebijakan


kepemudaan adalah untuk mewujudkan keserasian kebijakan pemuda
di berbagai bidang pembangunan. Untuk mencapai program tersebut
langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1)
melakukan pengkajian kebijakan dan penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang mendukung upaya pemberdayaan pemuda
di bidang ekonomi dan bidang sosial budaya serta peraturan
perundang-undangan yang menghambat kesempatan berkreasi bagi
pemuda; (2) melakukan pengembangan berbagai materi KIE dan
advokasi bagi pemuda; (3) melakukan pengintegrasian kebijakan
pembangunan kepemudaan ke dalam berbagai kebijakan pemuda
lainnya secara terpadu baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pelaksanaan langkah kebijakan dalam program ini telah


menghasilkan 12 kajian kebijaksanaan pembangunan di bidang
kepemudaan meliputi antara lain kajian pengembangan sentra
pemberdayaan pemuda nasional, regional, dan lokal; evaluasi dan
pengembangan Sentra Pemberdayaan Pemuda; kajian kebijakan
penanggulangan kenakalan remaja dan tawuran pelajar; dan kajian
kebijakan penanggulangan penyalahgunaan narkoba, minuman keras,
dan HIV/AIDS. Hasil penelitian dan pengkajian tersebut merupakan
masukan dalam merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan
pemuda secara tepat, di samping merupakan informasi untuk
keperluan analisis dan penilaian pelaksanaan pembangunan pemuda
serta analisis kecenderungan perkembangan-perkembangan baru di
bidang kepemudaan.

4.6 Program Peningkatan Partisipasi Pemuda

Tujuan program ini adalah untuk memberi peluang yang


lebih besar kepada pemuda guna memperkuat jati diri dan potensinya
dengan berpartisipasi aktif dalam pembangunan termasuk upaya
penanggulangan berbagai masalah pemuda. Untuk mencapai tujuan
tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah dilakukan

VII - 44
dikelompokkan ke dalam tiga bidang, yaitu ekonomi, agama, dan
sosial budaya.

Di bidang ekonomi langkah-langkah kebijakan yang telah


ditempuh adalah: (1) melaksanakan pemberdayaan pondok pemuda;
(2) meningkatkan keterampilan pertanian terpadu di Pusat Latihan
Pengembangan Pemuda Rajabasalama di Lampung; (3)
melaksanakan magang usaha bagi pemuda; (4) mengembangkan
kelompok usaha pemuda produktif; (5) melakukan pelatihan
manajemen usaha pemuda; (6) melaksanakan pengerahan pemuda
terdidik ke perdesaan; (7) meningkatkan kemampuan pemuda dalam
komunikasi negosiasi dan kerja sama terutama yang menggunakan
bahasa asing; (8) meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran
produk unggulan dari berbagai usaha pemuda yang berorientasi
ekspor; (9) melaksanakan pendidikan dan pelatihan iptek dan
informatika bagi pemuda; (10) melaksanakan pelatihan pengelolaan
lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam.

Di bidang agama dan sosial budaya langkah-langkah


kebijakan yang telah ditempuh adalah: (1) memperluas kesempatan
dalam berorganisasi dan berkreasi bagi pemuda secara bebas dan
bertanggung jawab; (2) meningkatkan apresiasi seni dan budaya
bangsa di kalangan pemuda; (3) mengembangkan jaringan kerja sama
pemuda antardaerah dan antarbangsa; (4) melaksanakan penyuluhan
dan kampanye tentang dampak negatif budaya asing; (5)
melaksanakan pertukaran pemuda antarpropinsi dan penyelenggaraan
Kemah Kerja Pemuda; (6) meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA dan miras serta
penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual di
kalangan pemuda; (7) meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan kriminalitas termasuk di kalangan pelajar dan
pemuda; (8) memberikan pemahaman, penanaman nilai-nilai,
penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia
(HAM) bagi pemuda; dan (9) melatih tenaga pembina rohani
organisasi kepemudaan dan sarasehan agamawan muda.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan pemuda


di bidang ekonomi antara lain adalah sebanyak 215 pemuda telah

VII - 45
menjalani pengembangan kelompok usaha pemuda produktif, serta
sekitar 3.160 orang Sarjana Penggerak Pembangunan Perdesaan
telah mendapatkan pelatihan manajemen usaha, dan 1.090 orang
pemuda mendapatkan pelatihan ketrampilan manajeman usaha dan
bantuan modal usaha. Sebanyak 360 orang pemuda telah menerima
pendidikan dan pelatihan iptek dan informatika dalam upaya untuk
meningkatkan kesadaran pemuda akan manfaat dan penggunaan
iptek dan informatika di bidang ekonomi. Selain itu, 608 orang dari
propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Barat dan Nusa Tenggara Barat telah menjalani pembinaan kader
konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistem. Upaya-upaya tersebut akan turut memicu
dan memacu peran aktif pemuda dalam pembangunan ekonomi
secara menyeluruh.

Di bidang agama dan sosial budaya, hasil pembangunan


kepemudaan yang telah dicapai antara lain adalah sebanyak 174
rohaniawan muda dan tenaga pembina telah menjalani pelatihan
keagamaan. Sementara itu, sebanyak 894 pemuda telah berpartisipasi
dalam upaya peningkatan jaringan kerja sama pemuda antardaerah
dan antarnegara, dan sebanyak 3.894 pemuda bergabung dalam
upaya penguatan ketahanan budaya nasional terhadap pengaruh
negatif budaya asing, termasuk upaya penanggulangan masalah
penyalahgunaan narkoba dan miras serta pencegahan penyebaran dan
penanggulangan penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual
di kalangan pemuda.

C. Tindak Lanjut yang Diperlukan

1. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial

1.1 Kesehatan dan Gizi Masyarakat

Dalam rangka mewujudkan pembangunan di bidang


kesehatan sesuai dengan Program Pembangunan Nasional

VII - 46
(PROPENAS) 2000–2004, maka rencana pembangunan di bidang
kesehatan pada tahun 2002 terutama diarahkan untuk meningkatkan
mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama
bagi penduduk miskin. Upaya pelayanan kesehatan dasar antara lain
meliputi pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, perbaikan
gizi, pelayanan kesehatan ibu dan anak, penyediaan obat generik
esensial, promosi kesehatan, serta peningkatan hygiene dan sanitasi
dasar. Pelayanan kesehatan rujukan meliputi peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit rujukan melalui penyediaan sarana dan
prasarana. Selain itu, akan dilaksanakan kegiatan pengawasan obat,
makanan, dan bahan berbahaya lainnya. Upaya pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan tersebut didukung oleh peningkatan kualitas
sumber daya manusia bidang kesehatan.

Kegiatan pokok yang akan dilaksanakaan pada tahun 2002


pada program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan
masyarakat antara lain meningkatkan hygiene dan sanitasi dan
kegiatan promosinya, meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan
permukiman; meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja,
kawasan sehat; pengawasan kualitas air, limbah dan pencemaran;
serta meningkatkan standar kesehatan. Untuk meningkatkan perilaku
sehat dan pemberdayaan masyarakat akan dilaksanakan kegiatan
meningkatkan kepedulian terhadap perilaku bersih dan sehat,
memberdayakan keluarga, penanggulangan masalah narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA), kesehatan jiwa, memperkuat
sistem jaringan, advokasi, dan pengetahuan para provider dalam
analisis jender.

Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan pada program


upaya kesehatan antara lain adalah meningkatkan pemberantasan
penyakit menular dan imunisasi, meningkatkan pemberantasan
penyakit tidak menular, meningkatkan upaya penyembuhan penyakit
dan pemulihan, meningkatkan cakupan dan mutu pelayanan
kesehatan dasar, membina dan mengembangkan pengobatan
tradisional, meningkatkan pelayanan kesehatan matra,
mengembangkan surveilans epidemiologi, melaksanakan
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan, meningkatkan
kualitas dan akses informasi kesehatan, meningkatkan manajemen

VII - 47
pelayanan kesehatan rujukan, dan mengintegrasikan pelayanan
rumah sakit dalam sistem kesehatan kabupaten/kota.

Kegiatan pokok program perbaikan gizi masyarakat yang


akan dilaksanakan pada tahun 2002 antara lain meningkatkan
penyuluhan gizi masyarakat, menanggulangi gizi kurang, gizi buruk
dan gizi lebih serta menanggulangi kurang energi kronik (KEK),
gangguan akibat kurang yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB),
kurang vitamin A (KVA) dan kurang gizi mikro lainnya. Kegiatan
lainya meliputi meningkatkan penggunaan ASI, meningkatkan
kualitas Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) lokal,
mengembangkan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS), serta
fortifikasi dan keamanan pangan. Selain itu, pelaksanaan Sistem
Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) dan Usaha Perbaikan Gizi
Keluarga (UPGK) akan ditingkatkan. Kegiatan lain adalah
pengembangan tenaga gizi, penelitian, perbaikan gizi institusi dan
perbaikan gizi akibat dampak sosial, pengungsian dan bencana alam.

Program sumber daya kesehatan akan dilaksanakan dengan kegiatan


pokok meliputi pengembangan dan pemantapan perundang-undangan
dalam sistem pembiayaan praupaya, peningkatan perencanaan,
pendayagunaan, peningkatan pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan, serta pengembangan sarana, prasarana dan dukungan
logistik pelayanan kesehatan.

Untuk program obat, makanan, dan bahan berbahaya, akan


dilaksanakan upaya untuk meningkatkan pengamanan
penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif, dan bahan
berbahaya lainnya; pengawasan makanan dan bahan tambahan
makanan (BTM); pengawasan obat, obat tradisional, kosmetika, dan
alat kesehatan termasuk pengawasan terhadap promosi/iklan. Selain
itu, penggunaan obat rasional dan penerapan obat esensial, obat asli
Indonesia akan ditingkatkan sejalan dengan pembinaan industri
farmasi, peningkaan mutu pengujian laboratorium pengawasan obat
dan makanan (POM), serta pengembangan standar mutu obat dan
makanan.

VII - 48
Kegiatan pokok dalam program kebijakan dan manajemen
pembangunan kesehatan meliputi kebijakan program kesehatan,
manajemen pembangunan kesehatan, hukum bidang kesehatan,
termasuk penyempurnaan peraturan perundangan bidang kesehatan.
Sistem informasi kesehatan akan dikembangkan termasuk juga
penetapan standar pelayanan kesehatan.

1.2 Kesejahteraan Sosial

Sesuai dengan kerangka Program Pembangunan Nasional


(PROPENAS) 2000–2004, rencana pembangunan kesejahteraan
sosial pada tahun 2002 terutama diarahkan untuk meningkatkan dan
memperluas pelayanan kesejahteraan sosial terutama bagi penduduk
miskin, anak terlantar, anak jalanan, lanjut usia, penyandang cacat,
tuna sosial, serta korban bencana alam dan kerusuhan. Peningkatan
kesejahteraan sosial dilakukan antara lain melalui pemberdayaan,
pemberian santunan, rehabilitasi dan perlindungan sosial, pemberian
bantuan, dan peningkatan sumbangan sosial masyarakat.

Kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilaksanakan pada tahun


2002 pada program pengembangan potensi kesejahteraan sosial
antara lain melakukan penyebaran informasi tentang hak-hak anak
serta perlindungan sosial bagi anak terutama anak perempuan dan
lanjut usia yang diperlakukan salah, bagi masyarakat, lembaga
eksekutif dan legislatif di tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten/kota; memberdayakan anak terlantar termasuk anak
jalanan; memberikan pelayanan tempat penitipan anak (TPA) bagi
anak balita terlantar dan bagi anak balita yang ibunya bekerja.
Pemberian pelayanan sosial bagi lanjut usia (lansia) akan dilakukan
melalui pemberian santunan, sementara itu bagi penyandang cacat
diselenggarakan rehabilitasi dan perlindungan sosial. Kegiatan
rehabilitasi sosial direncanakan pula bagi anak nakal dan korban
penyalahgunaan narkotika; penyandang tuna sosial yaitu bagi wanita
tuna susila, gelandangan, pengemis dan bekas narapidana. Kegiatan
dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE) akan dilakukan
dalam rangka pemberdayaan perempuan rawan sosial ekonomi dan
komunitas adat terpencil, dan keluarga miskin. Di samping itu juga
akan dilakukan perbaikan rumah dan lingkungan kumuh di daerah

VII - 49
perkotaan. Bagi korban bencana, baik bencana alam maupun akibat
ulah manusia (pengungsi) akan diberikan bantuan termasuk bantuan
tanggap darurat. Dalam meningkatkan pelayanan sosial
kemasyarakatan dilakukan peningkatan kemampuan tenaga
kesejahteraan sosial masyarakat (TKSM), relawan sosial, LSM,
Karang Taruna, lembaga-lembaga perlindungan sosial, lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok tingkat
lokal serta akan dilaksanakan penyuluhan sosial bagi masyarakat dan
advokasi kepada dunia usaha; pemberian penghargaan bagi pihak-
pihak yang berperan aktif menyelenggarakan pelayanan sosial;
peningkatan sumbangan sosial masyarakat; serta pengembangan
program jaminan, perlindungan, dan asuransi kesejahteraan sosial.

Penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial,


perencanaan, pendayagunaan, pelatihan, dan pendidikan tenaga
kesejahteraan sosial termasuk penyelenggaraan forum komunikasi
bagi pekerja sosial merupakan kegiatan pokok pada program
peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan
sosial. Di samping kegiatan tersebut, melalui program ini akan
dilakukan sosialisasi standarisasi pelayanan sosial bagi masyarakat,
pemerintah daerah dan lembaga legislatif di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota peningkatan kualitas tenaga dan lembaga pelayanan
sosial. Dalam rangka penyediaan data dan informasi akan
dikembangkan sistem informasi kesejahteraan sosial. Melalui
program ini akan dilakukan pula pengembangan sistem legislasi
kesejahteraan sosial.

Kegiatan pokok program pengembangan keserasian


kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial yang
akan dilaksanakan pada tahun 2002 adalah melakukan inventarisasi
dan analisis data dan informasi masalah-masalah sosial dan
merumuskan besaran masalah-masalah sosial yang dihadapi. Di
samping itu akan dilakukan pengkajian dan perumusan kebijakan
publik tentang ketahanan sosial masyarakat; nilai-nilai keperintisan,
kepahlawanan, dan kejuangan. Pengembangan sistem jaminan sosial
masyarakat dan pengembangan sistem kesiapsiagaan menghadapi
bencana (alam dan ulah manusia) serta kesadaran berbangsa dan
bernegara dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

VII - 50
Berdasarkan hasil kajian akan disampaikan rekomendasi kebijakan
kepada instansi terkait. Dalam rangka meningkatkan ketahanan sosial
masyarakat; pelestarian nilai-nilai keperintisan; kepahlawanan, dan
kejuangan; jaminan sosial masyarakat; kesiapsiagaan menghadapi
bencana, dan kesadaran berbangsa dan bernegara akan dilakukan
sosialisasi dan pemantapan kebijakan lintas sektor. Pemantauan dan
evaluasi akan dilaksanakan agar pelaksanaan kebijakan penanganan
masalah-masalah sosial sesuai dengan yang diharapkan.

Pada program pengembangan sistem informasi masalah-


masalah sosial, kegiatan pokok yang akan dilaksanakan pada tahun
2002 adalah melakukan sosialisasi Sistem Informasi Masalah-
masalah Sosial; meningkatkan kapasitas dan kemampuan pengelola
serta perencana program dalam hal pengumpulan data, pengolahan
dan penyajian data dasar mengenai masalah-masalah sosial;
melakukan pengumpulan, pengolahan dan penyajian data dasar
masalah-masalah sosial; dan melakukan pengkajian masalah laten
bangsa.

1.3 Kependudukan

Permasalahan dan tantangan pembangunan kependudukan


semakin berat, khususnya bagi Indonesia yang dewasa ini sedang
menghadapi krisis multi-dimensi. Untuk itu, tindak lanjut
pembangunan kependudukan pada masa mendatang adalah terus
diupayakan pencapaian sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dalam
rangka peningkatan kualitas penduduk, pengendalian jumlah dan
pertumbuhan penduduk, mobilitas dan persebaran penduduk yang
lebih seimbang serta mengembangan administrasi kependudukan
yang dilaksanakan oleh berbagai bidang dan sektor pemerintah.
Demikian pula, upaya-upaya penyusunan program pembangunan
kependudukan agar diintegrasikan dalam penyusunan program-
program pembangunan lainnya. Selain itu, kebijakan desentralisasi
program pembangunan membawa konsekuensi logis untuk penataan
kelembagaan yang lebih mantap guna menyusun kebijakan,
pengaturan serta pelaksanaan teknis program dan kegiatan di bidang
kependudukan.

VII - 51
Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran program
pengembangan dan keserasian kebijakan kependudukan yang telah
ditetapkan PROPENAS 2000–2004, berbagai langkah kebijakan
akan terus dilanjutkan dan diperkuat dengan serangkaian kegiatan.
Beberapa kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui program
ini meliputi: melakukan pengembangan indikator kependudukan
strategis tingkat kabupaten/kota; melakukan pengkajian keserasian
kebijakan kependudukan lintas sektor, dan antar pusat-daerah;
menyempurnakan tipologi kependudukan berkaitan dengan keserasian
dinamika kependudukan dengan daya tampung dan daya dukung
wilayah; menyusun kebijakan pengarahan, penyeserasian komposisi
penduduk menurut sosial, ekonomi dan budaya; menyusun pedoman
kebijakan persebaran dan mobilitas penduduk termasuk kebijakan
pengelolaan migrasi perkotaan; melakukan pengembangan kebijakan
pengelolaan keserasian sosial; memantapkan kesepakatan
kebijaksanaan dan kerja sama dalam pengembangan sistim
pendaftaran penduduk; melakukan pengembangan Nomor Induk
Kependudukan; serta melaksanakan uji coba pengembangan sistim
informasi registrasi penduduk.

1.4 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga Berencana

Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam


PROPENAS 2000–2004 yang dijabarkan ke dalam Repeta,
langkah-langkah kebijakan yang ditempuh selama ini dalam program
pemberdayaan keluarga akan tetap diteruskan. Namun demikian,
langkah-langkah ini akan diperkuat dengan berbagai tindak lanjut
yaitu: menyelenggarakan pendampingan/magang bagi kader
kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera
(UPPKS) dan melaksanakan pemberdayaan Bina Keluarga Balita
(BKB), remaja, dan lanjut usia.

Dalam program kesehatan reproduksi remaja, tindak lanjut


yang akan dilakukan untuk memperkuat langkah kebijakan yang
ditempuh selama ini adalah: melakukan penyempurnaan dan
diseminasi bahan dan metode konseling serta komunikasi, informasi,
dan edukasi (KIE) kesehatan reproduksi remaja; memfasilitasi
pembentukan institusi pusat konseling kesehatan reproduksi remaja;

VII - 52
dan menyelenggarakan pelatihan tenaga inti konseling kesehatan
reproduksi remaja. Berbagai tindak lanjut ini ditujukan untuk lebih
meningkatkan kinerja program kesehatan reproduksi remaja agar
berbagai sasaran program yang telah ditetapkan dalam PROPENAS
dan Repeta dapat tercapai.

Berbagai langkah kebijakan yang telah ditempuh dalam


rangka mencapai tujuan dan sasaran program KB dalam
PROPENAS 2000–2004 dan Repeta akan terus dilanjutkan dan
diperkuat dengan serangkaian langkah tindak lanjut lainnya. Tindak
lanjut tersebut adalah: meningkatkan kualitas dan jangkauan
pelayanan KB terutama di perdesaan melalui Tim KB Keliling
(TKBK) dan bantuan operasional klinik KB; melaksanakan upaya
peningkatan peran aktif laki-laki dalam kesehatan reproduksi
terutama KB; meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
keluarga dalam persiapan dan perawatan kehamilan untuk
mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dengan
mengutamakan kesejahteraan ibu, bayi dan anak; dan
menyelenggarakan advokasi, konseling dan komunikasi, informasi,
dan edukasi tentang kelangsungan hidup ibu, bayi, dan balita.

Dalam upaya meningkatkan kinerja program penguatan


kelembagaan dan jaringan KB sehingga berbagai sasaran yang telah
ditetapkan dalam PROPENAS 2000-2004 dan Repeta dapat
tercapai, langkah kebijakan yang ditempuh selama ini akan ditindak
lanjuti dengan langkah kebijakan lainnya. Adapun tindak lanjut yang
akan dilakukan meliputi: meningkatkan kemandirian kelembagaan
KB yang berbasis masyarakat melalui pemberdayaan PPKBD, Sub-
PPKBD dan institusi masyarakat di perdesaan (IMP); dan
memfasilitasi sektor non-pemerintah terutama dunia usaha yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan KB untuk berperan aktif
dalam kemandirian KB.

VII - 53
2. Kebudayaan, Kesenian, dan Pariwisata

2.1 Kebudayaan

Untuk tahun mendatang masih perlu dilakukan upaya untuk:


terus meningkatkan pemahaman dan penanaman nilai luhur bangsa;
menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kebudayaan dalam upaya memberikan perlindungan hukum
terhadap karya cipta dan segala bentuk peninggalan budaya;
meningkatkan peran serta masyarakat sebagai pemilik budaya dalam
melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan;
menata kembali fungsi pemerintah pusat dan daerah dalam bidang
kebudayaan; meningkatkan kegiatan kebudayaan termasuk perfilman
baik di dalam maupun di luar negeri; dan meningkatkan kerja sama
budaya dengan negara lain.

2.2. Pariwisata

Mengenai pengembangan pariwisata diuraikan dalam Bab III


Pembangunan Ekonomi.

3. Pemberdayaan Perempuan

Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dalam


PROPENAS 2000–2004 yang dijabarkan ke dalam Repeta,
langkah-langkah kebijakan yang ditempuh selama ini dalam program
peningkatan kualitas hidup perempuan akan tetap diteruskan dan
semakin diperluas cakupannya. Namun demikian, langkah-langkah
ini akan diperkuat dengan tindak lanjut utama yaitu: memperbanyak
jumlah program pembangunan yang sebelumnya tidak responsif
gender menjadi responsif gender; dan meneruskan program-program
pembangunan yang khusus ditujukan bagi upaya pemberdayaan
perempuan di berbagai bidang pembangunan.

Dalam program pengembangan dan keserasian kebijakan


pemberdayaan perempuan, tindak lanjut yang akan dilakukan untuk

VII - 54
memperkuat langkah kebijakan yang ditempuh selama ini adalah:
mengintegrasikan kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan
ke dalam berbagai kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya secara
terpadu, terutama pada tingkat daerah; melakukan pengkajian dan
menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan yang
masih diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan
gender; melaksanakan promosi, advokasi, sosialisasi, pemantauan
dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan pemberdayaan perempuan; dan melakukan penelitian
dan pengembangan masalah-masalah gender di berbagai bidang
pembangunan.

Berbagai langkah kebijakan yang telah ditempuh dalam


rangka mencapai tujuan dan sasaran program peningkatan peran
masyarakat dan pemampuan kelembagaan pengarusutamaan gender
akan terus dilanjutkan dan diperkuat dengan serangkaian langkah
tindak lanjut yaitu: melaksanakan KIE dan advokasi mengenai
kesetaraan dan keadilan gender (KKG) di lingkungan lembaga-
lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, TNI dan Polri, dan
masyarakat secara keseluruhan; meningkatkan kemampuan dan
kapasitas institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah untuk
melakukan pengarusutamaan gender; mengembangkan sistem
informasi gender; meningkatkan kemampuan dan kapasitas lembaga-
lembaga masyarakat yang memiliki visi pemberdayaan perempuan,
termasuk organisasi-organisasi perempuan yang ada di tingkat
nasional dan daerah; dan meningkatkan kesadaran dan partisipasi
masyarakat media dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender.

VII - 55
4. Pemuda dan Olahraga

4.1 Olahraga

Beberapa upaya lanjutan dalam rangka pengembangan dan


keserasian kebijakan olahraga adalah: menyusun rancangan undang-
undang tentang Olahraga; menyusun pedoman tentang mekanisme
koordinasi pembinaan olahraga, pengembangan olahraga dan
kesegaran jasmani, dan pengembangan kelembagaan keolahragaan;
dan melaksanakan penelitian olahraga dan kesegaran jasmani

Dalam program pemasyarakatan olah raga dan kesegaran


jasmani, tindak lanjut yang akan dilaksanakan, yaitu:
menyelenggarakan KIE dan konseling tentang pendidikan jasmani,
olahraga rekreasi dan pentingnya olahraga bagi kesegaran jasmani;
melaksanakan lomba sehat dan bugar antar warga belajar di sekolah
dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas fisik;
melaksanakan pembentukan, pembinaan, dan pemberdayaan wadah
olahraga di persekolahan dan masyarakat; melakukan kegiatan
olahraga dan pendidikan jasmani di sekolah, masyarakat termasuk
kegiatan olahraga ekstra kurikuler; melaksanakan pelestarian dan
invitasi olahraga tradisional; dan mengembangkan jurnal ilmu
keolahragaan.

Tindak lanjut yang akan dilaksanakan oleh program


pemanduan bakat dan pembibitan olahraga yaitu: melakukan
pembinaan olahraga usia dini, kelas olahraga, klub olahraga pelajar,
klub olahraga mahasiswa, dan kelompok berlatih olahraga yang
berbasis masyarakat; melakukan bimbingan dan kompetisi olahraga
pelajar dalam rangka menanamkan disiplin dan nilai-nilai sportivitas;
melaksanakan fasilitasi dan bimbingan bagi daerah untuk melakukan
seleksi, penelusuran minat dan bakat olahragawan daerah, serta
menyelenggarakan kejuaraan antar Pusat Pendidikan Latihan
Olahraga Pelajar (PPLP); melaksanakan training camp dalam
rangka pembinaan dan pembibitan olahragawan pelajar berbakat;
menyelenggarakan penataran olahraga bagi pembina, pelatih, wasit,
dan penggerak olahraga di masyarakat; melakukan pelatihan
pemanduan bakat dan pembibitan olahraga bagi guru pendidikan

VII - 56
jasmani dan pelatih klub-klub olahraga; dan meningkatkan
kepedulian masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung pendanaan
olahraga.

Tindak lanjut dalam kaitannya dengan program peningkatan


prestasi olahraga adalah: memantapkan prioritas cabang olahraga
prestasi di tingkat daerah, nasional dan internasional; melakukan
pemberdayaan PPLP dan SLTP/SMU olahraga dalam rangka
pembinaan cabang olahraga prestasi prioritas; melakukan pendidikan
dan pelatihan bagi atlet termasuk atlet penyandang cacat, pelajar dan
mahasiswa; menyelenggarakan kompetisi olahraga secara teratur,
berjenjang dan berkesinambungan bagi pelajar, mahasiswa, dan
masyarakat; melakukan pemberdayaan dan peningkatan kualitas
manajemen organisasi olahraga prestasi prioritas di tingkat daerah
dan tingkat nasional; menyelenggarakan penataran olahraga bagi
pelatih dan wasit dalam rangka peningkatan jumlah dan kualitasnya;
melakukan studi dan advokasi keolahragaan untuk meningkatkan
penerapan dan pemanfaatan iptek bagi pelatih, peneliti, praktisi, dan
teknisi olahraga; dan advokasi bagi dunia usaha dan masyarakat
untuk mendukung pembinaan olahraga prestasi.

4.2 Kepemudaan

Tindak lanjut yang diperlukan dalam program


pengembangan dan keserasian kebijakan pemuda adalah: melakukan
pengkajian tentang pengembangan data dan informasi kepemudaan;
melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang
menghambat kesempatan berkreasi bagi pemuda; melaksanakan
kajian kebijakan tentang mekanisme koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan kepemudaan;
melakukan sinkronisasi kebijakan pembangunan kepemudaan baik di
tingkat nasional maupun daerah.

Tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka meningkatkan


partisipasi pemuda dikelompokkan ke dalam tiga bidang, yaitu
ekonomi, agama, dan sosial budaya.

VII - 57
Di bidang ekonomi tindak lanjut yang diperlukan adalah:
mengembangkan sentra pemberdayaan pemuda; meningkatkan
keterampilan pertanian terpadu di Pusat Latihan Pengembangan
Pemuda Rajabasalama di Lampung; melaksanakan magang usaha
bagi pemuda; mengembangkan kelompok usaha pemuda produktif
yang berskala kecil dan menengah; melakukan pelatihan manajemen
usaha pemuda; melaksanakan pengerahan pemuda terdidik ke
perdesaan; meningkatkan kemampuan pemuda dalam komunikasi,
negosiasi dan kerja sama terutama yang menggunakan bahasa asing;
meningkatkan kemampuan produksi dan pemasaran produk unggulan
dari berbagai usaha pemuda yang berorientasi ekspor; melaksanakan
pendidikan dan pelatihan iptek dan informatika bagi pemuda; dan
melaksanakan pelatihan pengelolaan lingkungan hidup dan
pelestarian sumber daya alam.

Di bidang agama dan sosial budaya, tindak lanjut yang


diperlukan adalah: meningkatkan kemampuan produksi dan
pemasaran produk unggulan dari berbagai usaha pemuda yang
berorientasi ekspor; melaksanakan pendidikan dan pelatihan iptek
dan informatika bagi pemuda; melaksanakan pelatihan pengelolaan
lingkungan hidup dan pelestarian sumber daya alam; melaksanakan
penyuluhan dan kampanye tentang dampak negatif budaya asing;
melaksanakan pertukaran pemuda antarpropinsi dan penyelenggaraan
Kemah Kerja Pemuda; meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan masalah penyalahgunaan NAPZA dan miras serta
penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular seksual di
kalangan pemuda; meningkatkan peran aktif pemuda dalam
penanggulangan kriminalitas termasuk di kalangan pelajar dan
pemuda; memberikan pemahaman, penanaman nilai-nilai,
penghormatan terhadap supremasi hukum dan hak asasi manusia
(HAM) bagi pemuda; dan melaksanakan pelatihan tenaga pembina
rohani organisasi kepemudaan dan sarasehan agamawan muda.

VII - 58

You might also like