Professional Documents
Culture Documents
Agama Buddha
Mahāyāna
Negara
India • Cina • Jepang
Korea • Vietnam
Taiwan • Mongolia
Tibet • Bhutan • Nepal
Ajaran
Bodhisattva • Upāya
Samādhi • Prajñā
Śunyatā • Trikāya
Sūtra Mahāyāna
Prajñāpāramitā Sūtras
Sutra Teratai
Sūtra Nirvāṇa
Sūtra Saṃdhinirmocana
Sūtra Avataṃsaka
Sūtra Laṅkāvatāra
Mazhab Mahāyāna
Mādhyamaka
Yogācāra
Pure Land • Zen
Tiantai • Nichiren
Sejarah
Jalur Sutra • Nāgārjuna
Asaṅga • Vasubandhu
Bodhidharma
Portal
Bagian dari serial
Agama Buddha
Sejarah
Garis waktu
Dewan-dewan Buddhis
Ajaran inti
Tiga Corak Umum
Samsara · Kelahiran kembali · Sunyata
Paticcasamuppada · Karma
Tokoh penting
Siddharta Gautama
Siswa utama · Keluarga
Tingkat-tingkat Pencerahan
Buddha · Bodhisattva
Empat Tingkat Pencerahan
Meditasi
pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga
dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai. [3]
Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk
kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana.
Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama
Buddha Mahayana dan Theravada.
Walaupun asal-usul keberadaan Mahayana mengacu pada Buddha Gautama, para sejarawan
berkesimpulan bahwa Mahayana berasal dari India pada abad ke 1, , atau abad ke 1 SM. Menurut
[4] [5][6]
sejarawan, Mahayana menjadi gerakan utama dalam Agama Buddha di India pada abad ke 5, mulai masa
tersebut naskah-naskah Mahayana mulai muncul pada catatan prasasti di India. Sebelum abad ke 11
[7]
(ketika Mahayana masih berada di India), Sutra-sutra Mahayana masih berada dalam proses perbaikan.
Oleh karena itu, beragam sutra dari sutra yang sama mungkin muncul. Terjemahan-terjemahan ini tidak
dianggap oleh para sejarawan dalam membentuk sejarah Mahayana.
Dalam perjalanan sejarahnya, Mahayana menyebar keseluruh Asia Timur. Negara-negara yang menganut
ajaran Mahayana sekarang ini adalah Cina, Jepang, Korea dan Vietnamdan penganut Agama Buddha
Tibet (etnis Himalaya yang diakibatkan oleh invasi Cina ke Tibet). Aliran Agama Buddha Mahayana
sekarang ini adalah "Pure Land", Zen, Nichiren, Singon, Tibetan dan Tendai. Ketiga terakhir memiliki
aliran pengajaran baik Mahayana maupun Vajrayana.
Daftar isi
1 Latar Belakang
2 Persamuan Agung Pertama
3 Persamuan Agung Kedua
4 Persamuan Agung Ketiga
5 Munculnya Mahayana
6 Mahayana dan Theravada
7 Tiga jenis Kebuddhaan
8 Referensi
9 Lihat pula
Latar Belakang
Buddha lahir pada abad ke-6 SM. Setelah mencapai Penerangan Sempurna pada umur 35 sampai
Mahaparinibbana pada umur 80, Dia menghabiskan seumur hidupnya untuk berkhotbah dan menyebarkan
ajarannya. Selama 44 tahun, beliau mengajar dan berkhotbah siang dan malam, hanya tidur 2 jam sehari.
Buddha berbicara dengan semua kalangan manusia: raja dan pangeran, brahmana, petani, pengemis, kaum
terpelajar dan orang biasa. Ajarannya disesuaikan dengan pengalaman, tingkat pemahaman dan kapasitas
mental pendengarnya. Apa yang diajarkannya dinamakan Buddha Vacana. Saat itu tidak dikenal dengan
apa yang dinamakan Theravada atau Mahayana.
Setelah terbentuknya persekutuan Biku dan Bikuni, Buddha menggariskan aturan-aturan disiplin tertentu
yang disebut Vinaya sebagai pedoman bagi persekutuan tersebut. Semua ajarannya disebut Dhamma,
termasuk juga wacana, sutra, khotbah kepada Biku, Bikuni dan orang biasa.
Hanya dua ajaran tersebut – Dhamma dan Vinaya – yang dibawakan dalam Persamuan Pertama.
Walaupun tidak ada perbedaan pendapat mengenai Dhamma (tidak termasuk Abhidhamma), terdapat
beberapa diskusi mengenai aturan-aturan Vinaya. Sebelum Buddha parinibbana, beliau memberitahu
Ananda bahwa apabila Sangha ingin memperbaiki atau mengubah beberapa aturan tidak mendasar,
mereka dapat melakukannya. Akan tetapi pada saat itu, Ananda sedang sangat berduka karena Buddha
akan segera parinibbana sehingga Ia tidak menanyakan kepada Buddha aturan-aturan mana yang
dimaksudnya tersebut. Karena anggota-anggota dari persamuan tidak mencapai kata sepakat mengenai
apa yang dimaksud dengan aturan-aturan tidak mendasar, Maha Kassapa akhirnya menetapkan bahwa
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Buddha tidak diubah dan tidak ada aturan baru yang
ditambahkan. Tidak ada alasan-alasan yang diberikan untuk itu. Maha Kassapa mengatakan sesuatu,
bahwa: “ Bila kita mengubah aturan-aturan, orang-orang akan berkata bahwa pengikut Yang Mulia
Gautama telah mengubah aturan-aturan bahkan sebelum api pemakaman dinyalakan”.
Dalam persamuan, Dhamma terbagi atas beberapa bagian dan masing-masing bagian diserahkan kepada
pengikut senior dan murid-muridnya untuk dihafalkan. Kemudian, Dhamma diajarkan oleh guru kepada
murid-muridnya secara lisan. Dhamma dibaca setiap hari oleh sekelompok murid yang sering memeriksa
ulang satu sama lain untuk meyakinkan tidak ada yang terlewatkan atau ditambahkan. Para ahli sejarah
sepakat bahwa tradisi penuturan lisan lebih akurat daripada tulisan yang dibuat oleh seseorang menurut
apa yang diingatnya setelah beberapa tahun kejadian.
Setelah persamuan ketiga, anak Asoka, Biku Mahinda, membawa Tripitaka beserta penjelasan yang telah
dibahas dalam persamuan ketiga ini ke Sri Lanka. Teks yang dibawa ini masih tersimpan sampai saat ini
di Srilanka tanpa kehilangan satu halaman-pun. Teks tersebut ditulis dalam Pali. Teks ini berpedoman
pada bahasa Magadhi yang digunakan Buddha. Belum dikenal dengan apa yang dinamakan Mahayana
hingga periode ini.
Beberapa sumber mengatakan bahwa diadakan persamuan Agung tandingan di pihak aliran bakal calon-
Mahayana. Namun faktanya aliran tersebut di kemudian hari termasuk ke dalam aliran-aliran yang
"kurang" mendukung Mahayana, bahkan dapat dikatakan bersaing dengan Mahayana di India utara.
Munculnya Mahayana
Antara abad 1 SM hingga 1 M, kedua istilah Mahayana dan Hinayana muncul di Sutra Saddharma
Pundarika atau Sutra Teratai Ajaran Kebajikan.
Kira-kira pada abad ke-2 M, Mahayana barulah didefinisikan secara jelas. Nagarjuna mengembangkan
filosofi “kekosongan” Mahayana dan membuktikan bahwa segala sesuatunya adalah “Kosong” dalam
buku kecil “Madhyamika-karika”. Kira-kira pada abad ke-4, Asanga dan Vasubandhu banyak menulis
buku-buku Mahayana. Setelah abad ke-1 M, kaum Mahayana meneguhkan pendiriannya dan setelahnya
istilah Mahayana dan Hinayana mulai dikenal.
Pada abad ke-7, bhiksu asal Cina, I-Tsing, menggambarkan situasi di India saat itu dengan kata-kata, "...
Siapapun yang memuja Bodhisattva dan mempelajari sutra Mahayana disebut Mahayanist, sedangkan
yang tidak disebut Hinayanist..." sedemikian sederhananya. Maka pada dasarnya dapat kita simpulkan
bahwa istilah Hinayana tidak merujuk pada suatu aliran tertentu.
Hinayana dan Theravada bukanlah suatu istilah yang sama. Theravada mengacu pada Buddhisme yang
masuk ke Sri Lanka menjelang abad ke-3 SM di saat belum ada Mahayana pada masa itu. Aliran
Hinayana dikembangkan di India dan terlepas eksistensi dari aliran Buddhisme yang ada di Sri Lanka.
Saat sekarang tidak ada lagi aliran Hinayana di belahan dunia manapun. Oleh karena itu, pada tahun 1950
World Fellowship of Buddhists yang dibentuk di Kolombo secara mutlak memutuskan bahwa istilah
Hinaya harus dikeluarkan bila mengacu pada Buddhisme yang ada sekarang di Sri Lanka, Thailand,
Myanmar, Kamboja, Laos, dan lainnya. Inilah sejarah singkat mengenai Theravada, Mahayana dan
Hinayana.
Terdapat beberapa hal yang membuat keduanya berbeda. Banyak yang mengatakan bahwa Mahayana
adalah untuk mencapai Bodhisattva yang membuka jalan menuju Kebuddhaan, di mana Theravada adalah
untuk mencapai Arahat. Perlu digarisbawahi bahwa Buddha adalah juga seorang Arahat. Pacceka Buddha
juga adalah Arahat. Seseorang pengikut bisa juga menjadi Arahat. Teks Mahayana tidak pernah
menggunakan istilah Arahant-yana, jalan Arahat. Tetapi menggunakan tiga istilah: Boddhisattvayana,
Prateka-Buddhayana dan Sravakayana. Dalam tradisi Theravada, ketiganya dikenal sebagai Bodhi.
Ada yang berpendapat bahwa Theravada adalah egois karena mengajarkan orang untuk menyelamatkan
diri sendiri. Apakah orang egois bisa mencapai Penerangan? Kedua aliran sama-sama menganut tiga yana
atau bodhi tetapi menganggap Boddhisattva sebagai pencapaian tertinggi. Mahayana menciptakan
Bodhisattva-Bodhisattva sedangkan Theravada menganggap seorang Bodhisattva adalah salah satu di
antara kita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencapai kesempurnaan, yang tujuan utamanya
adalah Penerangan Sempurna untuk kebahagiaan mahluk di dunia. Teks-teks Mahayana sendiri
menyebutkan bahwa tujuan para Bodhisattva ialah mencapai ke-Buddha-an demi menolong semua
mahkluk, karena hanya dengan menjadi Buddha yang sempurna maka seseorang memiliki kemampuan
mencerahkan mahkluk lain. Tanpa diri sendiri mencapai pencerahan terlebih dahulu, bagaimana mungkin
dapat mencerahkan mahkluk lain?
Dengan makin terbukanya informasi, saat ini makin banyak teks-teks Pali yang dapat diakses. Dan
terbukti dalam tradisi Pali pun dapat ditemukan teks-teks mengenai jalan Bodhisattva dalam kumpulan
cerita Jataka dan kitab komentar yang menyebutkan mengenai berbagai jenis Bodhi. Jadi, Theravada juga
mengenal jalan Bodhisatta, jalan Sammasambodhi, setidaknya dalam bentuk kisah penyempurnaan 10
Parami. Ketidakpopuleran ide sammasambodhi ini tidaklah serta merta berarti Theravada tidak mengenal
jalan Bodhisatta.
Para guru besar berbagai aliran saat ini juga mengajarkan bahwa semua aliran Buddhis memiliki
pendekatan berbeda, tetapi pada akhirnya akan mencapai realisasi yang sama. Bila debat filosofis terus
dilanjutkan tentu semua aliran akan terus berpegang pada pandangan masing-masing. Akan tetapi saat
semua melihat ke dalam realita, pengalaman langsung yang didapat dari praktik meditasi, maka semua
akan mengalami realita yang demikian tak terbantahkan, anicca-anatta, pandangan terang yang
mengakhiri dukkha.
Beberapa orang berpikiran bahwa “Kosong” atau Sunyata yang diajarkan oleh Nagarjuna adalah murni
ajaran Mahayana. Ide ini pada dasarnya muncul dari konsep Anatta atau “Tanpa-Aku”, dalam
Patticasamuppada atau Sebab Musabab Yang Saling Bergantungan, yang ditemukan dalam teks asli Pali
Theravada. Suatu ketika Ananda bertanya kepada Buddha, “Orang-orang mengatakan kata Sunya.
Apakah Sunya itu?” Buddha menjawab, ”Ananda, artinya adalah tiada aku, atau apapun yang
berhubungan dengan aku di dunia ini. Oleh karena itu, dunia adalah kosong.” Ajaran ini diambil oleh
Nagarjuna ketika beliau menulis karya luar biasanya, “Madhyamika Karika”. Di samping ajaran Sunyata
adalah konsep penyimpanan-kesadaran dari Mahayana yang berakar dari teks Theravada. Kaum
Mahayana telah mengembangkannya ke dalam psikologi dan filosofi yang dalam.
Penelusuran teks-teks karya Nagarjuna menunjukkan bahwa motivasi Nagarjuna mengembangkan ajaran
Sunyata adalah demi menegaskan kembali ajaran Buddha. Ajaran Sunyata Nagarjuna disebut juga filosofi
Jalan Tengah (Madhyamika), karena Nagarjuna menekankan bahwa Sunyata (Anatta) itu bebas dari
ekstrim pandangan nihilisme dan eternalisme. Nagarjuna mengajarkan pentingnya memahami Sunyata
dan Patticasamuppada sebagai satu kesatuan dalam filosofi Dua Kebenaran yang tak terpisahkan, yaitu
kebenaran relatif dan mutlak.
Referensi
1. ^ (Inggris)Harvey, Introduction to Buddhism, Cambridge University Press, 1990, page 94
2. ^ (Inggris) The Mahayana, 'Great Vehicle' or 'Great Carriage' (for carrying all beings to nirvana), is also,
and perhaps more correctly and accurately, known as the Bodhisattvayana, the bodhisattva's
vehicle. Indian Buddhism, A. K. Warder, 3rd edition, 1999, p.338
3. ^ Peter Harvey, "An Introduction to Buddhist Ethics." Cambridge University Press, 2000, page 123.
4. ^ (Inggris) The Mahayana movement claims to have been founded by the Buddha himself. Scholars
however, think that it originated in South India in the 1st century CE’ – Indian Buddhism, AK Warder,
3rd edition, 1999, p. 335.
5. ^ (Inggris)Buddhist Saints in India, Reginald A. Ray, 1994, p.404
6. ^ (Inggris)A History of Indian Buddhism - Hirakawa Akira (translated and edited by Paul Groner) -
Motilal Banarsidass Publishers, Delhi, 1993, p. 252
7. ^ (Inggris)Certainly, we have for this period an extensive body of inscriptions from virtually all parts of
India. ... But nowhere in this extensive body of material is there any reference, prior to the fifth century, to
a named Mahayana. There are, on the other hand, scores of references to what used to be called
Hinayana groups — the Sarvastivadins, Mahasamghikas, and so on. From this point of view, at least, this
was not “the period of the Mahayana,” but “the period of the Hinayana.”, Macmillan Encyclopedia of
Buddhism, 2004, page 493