You are on page 1of 14

34

VII. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi
dan diseminasi bakteri Salmonella typhii dan/atau Salmonella paratyphii dengan
karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi ini melibatkan
pembesaran plak peyer dan limfenodi mesenterikus (Pegues dan Miller, 2011).

B. ETIOLOGI
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii dan/atau S.
paratyphii A, S. paratyphii B dan S. paratyphii C. Serotipe S. typhii dan S.
paratyphii hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora. Secara
biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada fermentasi glukosa dan
mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi sitokrom oksidase (Haraga et al.,
2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhii dan paratyphii sejatinya merupakan bagian dari spesies
Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium. Serotipe/serovar
dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O (antigen lipopolisakarida
pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya ditemukan pada S. typhii dan S.
paratyphii C), serta antigen flagella H. Dalam serum penderita demam tifoid akan
terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut (Haraga et al., 2008;
Pegues dan Miller, 2011). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif
anaerob. Kuman ini mati pada suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air
dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang
mengandung garam empedu. (Widoyono, 2008).
35

C. FAKTOR RISIKO
1. Karakteristik Individu
a. Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam tifoid
ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa muda
dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup gerak yang
tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan diluar
rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya
(Maria, 2007).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak ditemukan
pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006). Penelitian yang
dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013) menyatakan bahwa jenis
kelamin berhubungan dengan kejadian demam tifoid. Laki-laki lebih
beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih banyak
mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang biasanya
banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang belum
terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak makanan sendiri
sehingga lebih memperhatikan kebersihan makanannya. Kebiasaan ini
menyebabkan pria lebih rentan menderita penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
c. Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial ekonomi rendah
berisiko menderita demam tifoid 8,8 kali lebih besar dibandingkan
penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan
tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status ekonomi.
36

Penghasilan seseorang dapat digunakan untuk memperoleh pelayanan


kesehatan dan perbaikan lingkungan sehingga membantu mencegah
penyakit. Selain itu, penduduk kota berpenghasilan rendah lebih
mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu yang
rendah dan tidak terjamin keamanannya sehingga lebih mudah terjangkit
penyakit menular seperti demam tifoid (Artanti, 2013).
d. Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga penyakit ini erat
hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Seseorang
berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang untuk berperilaku
bersih dan sehat akan meningkatkan risiko orang tersebut untuk terpapar
bakteri Salmonella typhii. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprapto
tahun 2012 menunjukkan bawa penderita yang memiliki pengetahuan
yang kurang mengenai penularan demam tifoid berisiko 3.8 kali untuk
menderita demam tifoid dibandingkan responden yang memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai penularan demam tifoid di RSUP Dr.
Kariadi Semarang (Suprapto, 2012).
2. Faktor Perilaku
a. Kebiasaan mencuci tangan
Salah satu media utama penularan kuman Salmonella typhii adalah
melalui tangan. Mencuci tangan sebelum makan dengan sabun diikuti
dengan pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang terdapat
pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai pembersih,
penggosokan dan aliran air akan menghanyutkan partikel kotoran yang
banyak mengandung mikroba. Kuman Salmonella pada tangan carrier
convalescent dapat hilang dengan mudah melalui cuci tangan pakai sabun
dan air (Kurniasih, 2011). Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk tahun
2009 menunjukkan bahwa orang yang tidak mencuci tangan dengan sabun
37

sebelum makan berisiko 2,625 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan dengan orang yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun sebelum makan (Rakhman et al., 2009).
Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan setelah
buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika BAB benar-
benar mengandung Salmonella typhii yang hidup dan dapat bertahan, serta
dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan kuman tersebut benar-
benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman et al., 2009).
b. Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang memiliki
kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko menderita demam
tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak pernah jajan di
warung atau pinggir jalan (Santoso, 2007). Penularan demam tifoid dapat
terjadi ketika seseorang makan di tempat umum dan makanannya
disajikan oleh carrier tifoid yang kurang menjaga kebersihan saat
memasak, mengakibatkan penularkan bakteri Salmonella typhii pada
pelanggannya. Selain itu, makanan di tempat-tempat umum biasanya
terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan.
Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella typhii dengan cara lalat
yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid
kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi (Artanti, 2013).
c. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci terlebih
dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan mentah yang
tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, dapat
dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara penularan demam
tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan
38

kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi (Suprapto,


2012). Orang yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci bahan makanan
mentah langsung konsumsi berisiko 5,200 kali lebih besar menderita
demam tifoid dibandingkan orang yang memiliki kebiasaan mencuci
bahan makan mentah langsung konsumsi (Risani et al., 2015).
3. Faktor Lingkungan
a. Sumber air bersih
Feses manusia yang terinfeksi S. Typhii dan dibuang secara tidak
layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran tanah dan sumber-sumber air. Hal ini menyebabkan bakteri S.
typhii sering ditemukan di sumur-sumur penduduk yang telah
terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi oleh kuman tifoid.
Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk (2009) menunjukkan bahwa
orang yang menggunakan sumber air bersih bukan dari penyediaan
PDAM berisiko menderita demam tifoid sebesar 1,74 kali dibandingkan
dengan orang yang di rumahnya menggunakan penyediaan air bersih dari
PDAM (Rakhman et al., 2009).
Jarak antara sumber air bersih dengan septic tank juga
mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat minimal sumber air bersih
dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur merupakan sumber air yang
sering digunakan di masyarakat secara luas. Jarak sumur dengan septic
tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi kualitas air. Rembesan air
dari septic tank dapat mencemari air tanah di sekitarnya termasuk air
sumur yang digunakan untuk kebutuhan minum dan memasak sehari-hari
sehingga dapat menjadi sumber penularan demam tifoid. Hasil penelitian
yang dilakukan tahun menunjukkan bahwa responden yang menggunakan
sumber air bersih dari sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari
septic tank berisiko 2,613 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan dengan sumur yang berjarak lebih dari 10 meter dari septic
tank (Kristina et al., 2015).
39
40

b. Kepemilikan jamban keluarga


Seseorang yang tidak mempunyai jamban berisiko menderita
demam tifoid 1,867 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
mempunyai jamban. Setiap rumah tangga harus memiliki jamban sendiri
yang digunakan untuk buang air besar dan buang air kecil karena untuk
menjaga lingkungan yang bersih, sehat dan tidak berbau, tidak mencemari
sumber air yang ada disekitarnya, tidak mengundang datangnya lalat atau
serangga yang dapat menjadi penularan diare, kolera, disentri, tifoid,
kecacingan dan penyakit infeksi saluran pencernaan. Selain itu juga harus
memelihara agar jamban tetap sehat dengan cara membersihkan lantai
jamban, membersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban
dalam keadaan bersih, di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat,
tidak ada seranga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran serta
tersediannya alat pembersih (Depkes RI, 2006).
c. Pengelolaan sampah dan air limbah
Pengelolaan sampah dan air limbah merupakan masalah untuk
kesehatan lingkungan karena sampah berkaitan erat dengan kesehatan
masyarakat, sehingga dari sampah tersebut akan hidup berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), dan juga binatang
serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vektor). Seseorang
yang sanitasinya buruk dalam pengelolaan sampah berisiko 3,1 kali lebih
besar menderita demam tifoid (Wulan, 2013).
Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga
atau institusi yang menghasilkan sampah, sehingga masyarakat harus
membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan
sampah dan kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah
tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah,
dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Kemudian adanya
pemusnahan dan pengolahan sampah terutama untuk sampah padat dapat
41

dilakukan melalui berbagai cara antara lain pemusnahan sampah dengan di


tanam atau menimbum dalam tanah, memusnahkan sampah dengan jalan
membakar didalam tungku pembakaran, dan pengolahan sampah yaitu
sampah dapat dijadikan sebagai pupuk kompos (Notoatmodjo, 2007).
4. Riwayat demam tifoid pada keluarga
Orang yang dalam keluarganya pernah menderita demam tifoid
berisiko untuk menderita demam tifoid 2,244 kali lebih besar dibandingkan
orang yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita demam tifoid dalam
3 bulan terakhir. Penderita yang baru sembuh dari demam tifoid masih terus
mengekskresi S. typhii dalam tinja dan air kemih sampai tiga bulan (fase
konvalesen) dan hanya 3% penderita yang mengekskresi lebih dari satu tahun.
Hal inilah yang menyebabkan penularan demam tifoid ke anggota
keluarganya (Widodo, 2009; Rakhman et al., 2009).
5. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang antara lain karena akses ke fasilitas kesehatan yang jauh,
kurang aktifnya kader kesehatana dalam melakukan tindakan promotif dan
preventif terhadap demam tifoid kepada masyarakatnya (Kristina et al., 2015).

D. PATOMEKANISME
Bakteri Salmonella typhii dan paratyphii masuk ke dalam tubuh melalui
ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang dibutuhkan adalah
103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang dapat menurunkan keasaman
gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi antasida, dan penyakit aklorhidrik),
mengganggu integritas usus (misalnya inflammatory bowel disease, riwayat
operasi gastrointestinal, perubahan keseimbangan flora usus akibat konsumsi
antibiotik) dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Salmonella (Grassl
dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, maka akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M) yang
42

berada di dalam plak peyer. Salmonella dapat memicu pembentukan lipatan


membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan tersebut menyelimuti
bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut sebagai proses bacteria-
mediated endocytosis (BME). Proses BME tergantung kepada penyajian protein
Salmonella secara langsung pada sitoplasma epitel usus melalui sekresi bakteri
tipe III. Protein bakteri tersebut memiliki efek merubah aktin sitoskeleton yang
dibutuhkan untuk endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008;
Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan difagositosis oleh
makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag melalui kemampuannya
dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang berbahaya. Berkat kemampuan
tersebut, bakteri ini mampu memodifikasi lipopolisakarida dan mengubah
ekspresi protein membran luar sehingga ia dapat bertahan melawan aktivitas
mikrobisidal serta dapat pula mengubah proses signalling sel fagosit. Sistem
sekresi tipe III yang dimiliki oleh Salmonella mampu menyajikan protein bakteri
melewati membran fagosom menuju sitoplasma makrofag, sehingga sistem
sekresi tersebut akan memicu remodeling vakuola berisi bakteri, dalam rangka
menunjang keberlangsungan hidup dan replikasi bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju seluruh
tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian berkolonisasi di
jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi, dan sum-sum tulang).
Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum muncul tanda dan gejala yang
dirasakan pasien. Demam dan nyeri abdomen mulai muncul saat makrofag dan sel
epitel mulai memproduksi sitokin, akibat terstimulasi oleh produk bakteri dalam
jumlah besar, karena sejumlah produk bakteri tersebut mulai memicu rangsang
imun bawaan. Hepatosplenomegali mulai muncul sebagai akibat sekunder
rekrutmen sel mononuklear dan aktivasi respon imun yang dimediasi sel, sebagai
respon kolonisasi bakteri Salmonella. Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear
dan limfosit tambahan menuju plak Peyer terjadi beberapa minggu setelah
43

infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen tersebut dapat menyebabkan pembesaran dan


nekrosis plak peyer, sebagai akibat dari produk proapoptotik dari bakteri maupun
dari respon inflamasi tubuh (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues
dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non tifoid (NTS)
memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel leukosit
polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari sekresi IL-8 oleh sel
usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan translokasi protein bakteri pada
sitoplasma sel inang. Degranulasi dan pelepasan zat toksik neutrofil menyebabkan
kerusakan mukosa usus yang menyebabkan diare inflamatorik pada NTS.
Sedangkan, Salmonella tifoid hanya melibatkan sel mononuklear dan usus halus
(Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam. Demam pada penyakit
ini umumnya muncul malam hari, dengan kisaran suhu 38,8-40,5oC. Demam
berkisar antara seminggu hingga 4 minggu apabila dibiarkan tanpa terapi.
Waktu inkubasi S. typhii umumnya sekitar 10-14 hari. Selain kedua gejala
tersebut, dapat pula muncul gejala sistemik seperti nyeri kepala, batuk,
menggigil, arthralgia, dan myalgia. Gejala gastrointestinal yang timbul antara
lain anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare atau bahkan
konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam hari,
tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu kedua
dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam makulopapular
kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor, splenomegali, nyeri tekan
44

abdomen dan gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium dan
psikosis (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik, diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis
banding yang dapat dipikirkan adalah malaria, hepatitis, enteritis bakterial,
demam dengue, infeksi rickettsia, leptospirosis, abses hepar amoebik, dan
infeksi HIV akut (Pegues dan Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas untuk
penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang positif. Kultur
dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam kulit, feses, dan
sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi.
Spesimen feses dan urin diambil pada minggu ke II dan minggu-minggu
seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya 40-80% akibat penggunaan
antibiotik yang tinggi di daerah endemik maupun akibat jumlah bakteri di
darah yang terlalu sedikit (<15 organisme per mL) (Depkes RI, 2006; Pegues
dan Miller, 2011).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat mengarahkan
diagnosis yaitu:
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%, sedangkan
leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak, terutama pada
10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus atau infeksi sekunder
(Pegues dan Miller, 2011).
b. Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen aglutinogen
(reagen S. typhii) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat dalam darah.
Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk
menggantikan kultur sebagai standar baku emas. Batas titer yang dijadikan
diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan pada suatu daerah. Sebagian
45

besar pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis


demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dianggap pasti adalah apabila
didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari (Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
c. PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhii dalam darah, namun masih
belum digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan klinis (Depkes
RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet lunak, tim dan nasi biasa
(Depkes RI, 2006).
c. Cairan yang cukup kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan
harian (Depkes RI, 2006).
2. Medikamentosa
Terapi simptomatik yang dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita (Depkes RI, 2006):
a. Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin
atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), trimetoprim-
sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai
tidak efektif dapat diganti dengan antibiotik yang lain atau dipilih
antibiotik lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk tifoid adalah ceftriaxon,
46

cefixime (efektif untuk anak), quinolone (tidak dianjurkan untuk anak <18
tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

Tabel 7.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-14
hari dibagi 4 dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10 hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefiksim - Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari
Thiamfenikol - Dewasa 4x500 mg/hari
- Anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas panas

b. Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi febris pada pasien (Widoyono, 2008).
c. Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat yang biasa
digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
d. Roboransia/vitamin
47

G. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhii
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo,
2009).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo, 2009):
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhii pada pasien demam tifoid asimptomatik,
karier dan akut
Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi
sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan dan petugas
kebersihan.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhii akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhii.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya
yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.

You might also like