Professional Documents
Culture Documents
A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi
dan diseminasi bakteri Salmonella typhii dan/atau Salmonella paratyphii dengan
karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi ini melibatkan
pembesaran plak peyer dan limfenodi mesenterikus (Pegues dan Miller, 2011).
B. ETIOLOGI
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii dan/atau S.
paratyphii A, S. paratyphii B dan S. paratyphii C. Serotipe S. typhii dan S.
paratyphii hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora. Secara
biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada fermentasi glukosa dan
mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi sitokrom oksidase (Haraga et al.,
2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhii dan paratyphii sejatinya merupakan bagian dari spesies
Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium. Serotipe/serovar
dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O (antigen lipopolisakarida
pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya ditemukan pada S. typhii dan S.
paratyphii C), serta antigen flagella H. Dalam serum penderita demam tifoid akan
terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut (Haraga et al., 2008;
Pegues dan Miller, 2011). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif
anaerob. Kuman ini mati pada suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air
dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang
mengandung garam empedu. (Widoyono, 2008).
35
C. FAKTOR RISIKO
1. Karakteristik Individu
a. Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam tifoid
ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa muda
dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup gerak yang
tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan diluar
rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya
(Maria, 2007).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak ditemukan
pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006). Penelitian yang
dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013) menyatakan bahwa jenis
kelamin berhubungan dengan kejadian demam tifoid. Laki-laki lebih
beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih banyak
mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang biasanya
banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang belum
terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak makanan sendiri
sehingga lebih memperhatikan kebersihan makanannya. Kebiasaan ini
menyebabkan pria lebih rentan menderita penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
c. Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial ekonomi rendah
berisiko menderita demam tifoid 8,8 kali lebih besar dibandingkan
penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan
tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status ekonomi.
36
sebelum makan berisiko 2,625 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan dengan orang yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun sebelum makan (Rakhman et al., 2009).
Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan setelah
buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika BAB benar-
benar mengandung Salmonella typhii yang hidup dan dapat bertahan, serta
dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan kuman tersebut benar-
benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman et al., 2009).
b. Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang memiliki
kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko menderita demam
tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak pernah jajan di
warung atau pinggir jalan (Santoso, 2007). Penularan demam tifoid dapat
terjadi ketika seseorang makan di tempat umum dan makanannya
disajikan oleh carrier tifoid yang kurang menjaga kebersihan saat
memasak, mengakibatkan penularkan bakteri Salmonella typhii pada
pelanggannya. Selain itu, makanan di tempat-tempat umum biasanya
terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan.
Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella typhii dengan cara lalat
yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid
kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi (Artanti, 2013).
c. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci terlebih
dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan mentah yang
tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, dapat
dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara penularan demam
tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan
38
D. PATOMEKANISME
Bakteri Salmonella typhii dan paratyphii masuk ke dalam tubuh melalui
ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang dibutuhkan adalah
103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang dapat menurunkan keasaman
gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi antasida, dan penyakit aklorhidrik),
mengganggu integritas usus (misalnya inflammatory bowel disease, riwayat
operasi gastrointestinal, perubahan keseimbangan flora usus akibat konsumsi
antibiotik) dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Salmonella (Grassl
dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, maka akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M) yang
42
E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam. Demam pada penyakit
ini umumnya muncul malam hari, dengan kisaran suhu 38,8-40,5oC. Demam
berkisar antara seminggu hingga 4 minggu apabila dibiarkan tanpa terapi.
Waktu inkubasi S. typhii umumnya sekitar 10-14 hari. Selain kedua gejala
tersebut, dapat pula muncul gejala sistemik seperti nyeri kepala, batuk,
menggigil, arthralgia, dan myalgia. Gejala gastrointestinal yang timbul antara
lain anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare atau bahkan
konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam hari,
tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu kedua
dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam makulopapular
kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor, splenomegali, nyeri tekan
44
abdomen dan gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium dan
psikosis (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik, diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis
banding yang dapat dipikirkan adalah malaria, hepatitis, enteritis bakterial,
demam dengue, infeksi rickettsia, leptospirosis, abses hepar amoebik, dan
infeksi HIV akut (Pegues dan Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas untuk
penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang positif. Kultur
dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam kulit, feses, dan
sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi.
Spesimen feses dan urin diambil pada minggu ke II dan minggu-minggu
seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya 40-80% akibat penggunaan
antibiotik yang tinggi di daerah endemik maupun akibat jumlah bakteri di
darah yang terlalu sedikit (<15 organisme per mL) (Depkes RI, 2006; Pegues
dan Miller, 2011).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat mengarahkan
diagnosis yaitu:
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%, sedangkan
leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak, terutama pada
10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus atau infeksi sekunder
(Pegues dan Miller, 2011).
b. Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen aglutinogen
(reagen S. typhii) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat dalam darah.
Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk
menggantikan kultur sebagai standar baku emas. Batas titer yang dijadikan
diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan pada suatu daerah. Sebagian
45
F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet lunak, tim dan nasi biasa
(Depkes RI, 2006).
c. Cairan yang cukup kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan
harian (Depkes RI, 2006).
2. Medikamentosa
Terapi simptomatik yang dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita (Depkes RI, 2006):
a. Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin
atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), trimetoprim-
sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai
tidak efektif dapat diganti dengan antibiotik yang lain atau dipilih
antibiotik lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk tifoid adalah ceftriaxon,
46
cefixime (efektif untuk anak), quinolone (tidak dianjurkan untuk anak <18
tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).
Tabel 7.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-14
hari dibagi 4 dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10 hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefiksim - Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari
Thiamfenikol - Dewasa 4x500 mg/hari
- Anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas panas
b. Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi febris pada pasien (Widoyono, 2008).
c. Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat yang biasa
digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
d. Roboransia/vitamin
47
G. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhii
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo,
2009).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo, 2009):
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhii pada pasien demam tifoid asimptomatik,
karier dan akut
Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi
sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan dan petugas
kebersihan.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhii akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhii.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya
yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.