Professional Documents
Culture Documents
Dr Riswanda
Facts
Predict
counts? lenses
Situation
Assumptions
Assumptions shape the way policy makers formulate or implement public Sterman, J.D. (2000). Business Dynamics: Systems3thinking
policy for a problematic world. Boston: Irwin-McGraw-Hill.
Complexity of a policy solution
Decisions
Environment
Goals of
other agents
Actions of
others Sterman, J.D. (2000). Business Dynamics: Systems thinking
for a problematic world. Boston: Irwin-McGraw-Hill.
4
What-how-why-in whose
opinion??
‘System’
'Facts’ 'Values’
Sumber: ‘The eternal triangle’ of boundary judgments, facts and values oleh Ulrich (2000, hal. 252)
Facts and values
interconnectedness
Sumber: Table of boundary categories dari Ulrich (1983, hal. 258; 1996, hal. 43; 2000, hal. 256).
12 Critically heuristic boundary questions: ‘is’
& ‘ought’ mode (example)
‘is’ ‘ought’
1) Siapa atau pihak mana yang secara
faktual menjadi pemangku kepentingan 1) Siapa atau pihak mana yang
pada sebuah permasalahan kebijakan?;
Pihak mana, dalam lingkup permasalahan
seharusnya menjadi pemangku
tersebut, yang suara — kepentingannya kepentingan dari kebijakan untuk di-
mewakili atau terwakili oleh kelompok formulasi-kan atau dikaji-ulang?.
tertentu dalam masyarakat, termasuk di
dalamnya memuat nilai-nilai, tujuan, dan Segaris dengan pertanyaan diatas,
keinginan per individu maupun argumen yang sama dapat
golongan?;Kepentingan pihak mana yang digunakan pada ‘ought mode’ poin
sebetulnya terlayani/ terfasilitasi/ terwakili/
tercermin dalam sebuah produk kebijakan?
satu: Siapa atau pihak mana yang
— baik berupa Undang-Undang (UU), seharusnya secara faktual menjadi
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan pemangku kepentingan pada
Daerah (Perda) dan seterusnya. Pihak sebuah permasalahan kebijakan?;
mana di masyarakat, dalam lingkup
kelompok target kebijakan, yang mungkin Pihak mana, dalam lingkup
tidak merasakan manfaat dari keputusan/ permasalahan tersebut, yang suara
produk kebijakan tersebut, namun — kepentingannya mewakili atau
menanggung dampak eksekusi ataupun
memiliki potensi untuk menanggung ekses
terwakili […]
dampak-nya.
Boundary judgment example on research
Applying ‘the boundary idea’ to the case
Values
Values
Differing
interpretation of
Inclusion of commonly
stakeholders accepted socio-
and issues religious values
Domineering
government
view of the Barring other linked issues
Exclusion of
issue Boundary & other stakeholders’ views
stakeholders and in the policy making
issues
In this study, the ‘boundary’ is the limitation of the prostitution policy-making. New
approaches ought to be aware of systemic dimensions that affect the lives of women and
children in particular. The socio economic facts of some women prostituting themselves in
order to survive, to support their life and their family’s life are being set below the
dominant values in the public and moral order so as to become the basis of policy making
praxis on prostitution. This value judgment of shame and disgust to prostitutes drives
boundary judgment, which marks who is included and excluded according to the
perceptions of policy-makers. The prostitution policy shows unawareness of the policy
Adapted from ‘The boundary idea’, Richardson, K.A &Midgley, G (2007) ‘Systems theory and complexity: part 4 the evolution of systems thinking’, E: CO, vol.
9, no. 1-2, p. 169, as cited in Riswanda (2015). Perceptions of prostitution: a critical ethnographic case study of urban and regional areas in Indonesia.
Unpublished PhD thesis, Flinders University, South Australia
Summing up
Critical systemic thinking lebih tepat untuk dipahami sebagai sebuah proses untuk
berdialektika, berdiskursi, serta melakukan refleksi pada pencarian ‘meanings’
alternatif diantara kemajemukan, dan pada sisi lain diantara penyekatan asumsi, nilai
dan sudut pandang dalam konteks penelitian kualitatif.
Sinergi dari penyajian critical systemic thinking discourse dalam studi kualitatif
kebijakan publik adalah pada konstruksi argumen penelitian. Yaitu dengan menolak
isolasi validitas argumen yang dibangun diatas rasionalitas tunggal. Kebijakan publik
di sektor manapun pada dasarnya membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan lintas
komunitas.
Meskipun mengunggulkan validitas ‘argumen diatas argumen’, critical systemic
thinking justru memberikan apresiasi pada kedalaman argumen yang digali dari,
menggunakan frase Ulrich, ketidaksempurnaan rasionalitas (imperfect rationality)
yang keluar dari tipikal realitas keseharian masyarakat sesuai konteks
keberadaannya. Paduan depth-interviewing, narrative-reflection, critical ethnography,
dan case study approaches membantu analis kebijakan saat berhadapan dengan
permasalahan publik fenomenal, menuai pro-kontra dan memiliki efek meluas.
Kreatifitas peneliti dalam memadukan teknik galian data kualitatif dalam meneliti
permasalahan kebijakan dengan karakter tersebut seharusnya mampu mengatasi
gap atau celah antara faktualitas yang terlalu abstrak maupun abstraksi realitas yang
terlampau faktual.