Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Makalah ini dibuat agar mahasiswa mengerti dan memahami tentang Konsep
Dasar Sistem Muskuloskeletal dan Asuhan Keperawatan Kritis.
e) Kerja Otot
• Fleksor (bengkok) >< Ekstentor (meluruskan)
• Supinasi (menengadah) >< Pronasi (tertelungkup)
• Defresor (menurunkan) >< Lepator (menaikkan)
• Sinergis (searah) >< Antagonis (berlawanan)
• Dilatator(melebarkan) >< Konstriktor (menyempitkan)
• Adduktor(dekat) >< Abduktor (jauh)
b. Tendon
Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang
terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang
dengan otot atau otot dengan otot.
Gambar 2
Tendon
c. Ligamen
Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan
jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus
tulang dengan tulang yang diikat oleh sendi.
Beberapa tipe ligamen :
1. Ligamen Tipis
Ligamen pembungkus tulang dan kartilago. Merupakan ligament kolateral
yang ada di siku dan lutut. Ligamen ini memungkinkan terjadinya
pergerakan.
2. Ligamen jaringan elastik kuning
Merupakan ligamen yang dipererat oleh jaringan yang membungkus dan
memperkuat sendi, seperti pada tulang bahu dengan tulang lengan atas.
Gambar 3
Ligamen
2. Skeletal
a. Tulang/ Rangka
Skeletal disebut juga sistem rangka, yang tersusun atas tulang-tulang. Tubuh
kita memiliki 206 tulang yang membentuk rangka. Bagian terpenting adalah
tulang belakang.
1) Fungsi Sistem Skeletal :
• Memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis
• Membentuk kerangka yang yang berfungsi untuk menyangga tubuh
dan otot-otot yang
• Melekat pada tulang
• Berisi dan melindungi sum-sum tulang merah yang merupakan salah
satu jaringan pembentuk darah
• Merupakan tempat penyimpanan bagimineral seperti calcium
daridalam darah misalnya
• Hemopoesis
2) Struktur Tulang
• Tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara material tidak hidup
(matriks).
• Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang).
• Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam
mineral.
• Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan
dibentuk.
• Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel
tulang dewasa).
• Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan
tulang).
Jaringan tulang terdiri atas :
• Kompak (sistem harvesian matrik dan lacuna, lamella intersisialis)
• Spongiosa (trabecula yang mengandung sumsum tulang dan pembuluh
darah)
3) Klasifikasi Tulang berdasarkan penyusunnya
a. Tulang Kompak
• Padat, halus dan homogen
• Pada bagian tengah terdapat medullary cavity yang mengandung
“yellow bone marrow”.
• Tersusun atas unit : Osteon Haversian System
• Pada pusat osteon mengandung saluran (Haversian Kanal) tempat
pembuluh darah dan saraf yang dikelilingi oleh lapisan konsentrik
(lamellae).
• Tulang kompak dan spongiosa dikelilingi oleh membran tipis yang
disebut periosteur, membran ini mengandung:
a) Bagian luar percabangan pembuluh darah yang masuk ke
dalam tulang
b) Osteoblas
b. Tulang Spongiosa
Tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut trabekula.
Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan.
Rongga antara trebakula terisi ”red bone marrow” yang
mengandung pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang.
Contoh, tulang pelvis, rusuk,tulang belakang, tengkorak dan pada
ujung tulang lengan dan paha.
4) Klasifikasi Tulang berdasarkan Bentuknya
1. Tulang panjang, contoh: humerus, femur, radius, ulna
2. Tulang pendek, contoh: tulang pergelangan tangan dan pergelangan
kaki
3. Tulang pipih, contoh: tulang tengkorak kepala, tulang rusuk dan
sternum
4. Tulang tidak beraturan, contoh: vertebra, tulang muka, pelvis
5) Pembagian Sistem Skeletal
1. Axial / rangka aksial, terdiri dari :
Tengkorak kepala / cranium dan tulang-tulang muka
Columna vertebralis / batang tulang belakang
Costae / tulang-tulang rusuk
Sternum / tulang dada
2. Appendicular / rangka tambahan, terdiri dari :
1) Tulang extremitas superior
Korset pectoralis, terdiri dari scapula (tulang berbentuk
segitiga) dan clavicula (tulang berbentuk lengkung).
Lengan atas, mulai dari bahu sampai ke siku.
Lengan bawah, mulai dari siku sampai pergelangan tangan.
Tangan
2) Tulang extremitas inferior: korset pelvis, paha, tungkai bawah,
kaki.
b. Sendi
Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga
dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan.
1. Synarthrosis (suture)
Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya
terdiri atas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak.
2. Amphiarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya
adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang.
3. Diarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri
dari struktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi
engsel (siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu
jari).
Gambar 4
Sendi
Gambar 5
Tulang belakang dan lekukuannya
Antar tulang belakang diikat oleh intervertebal, serta oleh ligamen dan otot.
Ikatan antar tulang yang lunak membuat tulang punggung menjadi fleksibel.
Sebuah unit fungsi dari dua bentuk tulang yang berdekatan diperlihatkan dari
gambar di bawah ini.
Gambar 6
Fungsi dasar tulang punggung
3. Komponen Punggung
1) Otot Punggung
Ditunjang oleh punggung, perut, pinggang dan tungkai yang kuat dan fleksibel.
Semua otot ini berfungsi untuk menahan agar tulang belakang dan diskus tetap
dalam posisi normal.
2) Diskus
Merupakan bantalan tulan rawan yang berfungsi sebagai penahan goncangan.
Terdapat diantara vertebrae sehingga memungkinkan sendi-sendi untuk
bergerak secara halus. Tiap diskus mengandung cairan yang mengalir ke dalam
dan keluar diskus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas sehingga
memungkinkan punggung bergerak bebas. Diskus bersifat elastis, mudah
kembali ke bentuk semula jika tertekan diantara kedua vertebra.
4. Otot-Otot Punggung
1) Spina erektor, terdiri dari massa serat otot, berasal dari belakang sakrum dan
bagian perbatasan dari tulang inominate dan melekat ke belakang kolumna
vertebra atas, dengan serat yang selanjutnya timbul dari vertebra dan sampai ke
tulang oksipital dari tengkorak. Otot tersebut mempertahankan posisi tegak
tubuh dan memudahkan tubuh untuk mencapai posisinya kembali ketika dalam
keadaan fleksi.
2) Lastimus dorsi, adalah otot datar yang meluas pada belakang punggung. Aksi
utama dari otot tersebut adalah menarik lengan ke bawah terhadap posisi
bertahan, gerakan rotasi lengan ke arah dalam, dan menarik tubuh menjauhi
lengan pada saat mendaki. Pada pernapasan yang kuat menekan bagian posterior
dari abdomen.
5. Otot-Otot Tungkai
Gluteus maksimus, gluteus medius, dan gluteus minimus adalah otot-otot dari
bokong. Otot-otot tersebut semua timbul dari permukaan sebelah luar ilium,
sebagian gluteus maksimus timbul dari sebelah belakang sacrum. Aksi utama otot-
otot tersebut adalah mempertahankan posisi gerak tubuh, memperpanjang
persendian panggul pada saat berlari, mendaki, dan saat menaiki tangga, dalam
mengangkat tubuh dari posisi duduk atau membungkuk, gerakan abduksi dan rotasi
lateral dari paha.
Gambar 7
Bagian-Bagian Invertebral Disc
Gambar 8
Tulang Leher
Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang terbentang dari belakang
kepala ke prosesus spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang dan
menggelengkan kepala.
Gambar 9
Otot Leher
2.7 Elbow
Siku adalah suatu titik yang sangat komplek di mana terdapat tiga tulang yaitu
humerus, radius dan ulna. Ketiga tulang tersebut bekerja secara bersama-sama dalam
suatu gerakan flexi, extensi dan rotasi.
Gambar 10
Siku
2.8 Shoulder (Bahu)
1. Tulang Bahu
Gambar 11
Tulang Bahu
Otot bahu hanya meliputi sebuah sendi saja dan membungkus tulang pangkal lengan dan
scapula.
1) Muskulus deltoid (otot segi tiga), otot ini membentuk lengkung bahu dan berpangkal
di bagian lateral clavicula (ujung bahu), scapula, dan tulang pangkal lengan. Fungsi
dari otot ini adalah mengangkat lengan sampai mendatar.
2) Muskulus subkapularis (otot depan scapula). Otot ini dimulai dari bagian depan
scapula, menuju tulang pangkal lengan. Fungsi dari otot ini adalah menengahkan dan
memutar humerus (tulang lengan atas) ke dalam.
3) Muskulus supraspinatus (otot atas scapula). Otot ini berpangkal di lekuk sebelah atas
menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsi otot ini adalah untuk mengangkat lengan.
4) Muskulus infraspinatus (otot bawah scapula). Otot ini berpangkal di lekuk sebelah
bawah scapula dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan
keluar.
5) Muskulus teres mayor (otot lengan bulat besar). Otot ini berpangkal di siku bawah
scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya bisa memutar lengan ke dalam.
6) Muskulus teres minor (otot lengan bulat kecil). Otot ini berpangkal di siku sebelah
luar scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan ke luar.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL
2. Etiologi Fraktur
1) Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
3. Patofisiologi Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito,
Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993).
5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
1. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur
1. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
i. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.
7. Penanganan Fraktur
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Fraktur Tertutup
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis (Brunner, 2000).
c. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara
gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi
fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus
pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang (Gbr. 64-3); alat tersebut
menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah
ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri,
termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur,
menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan,
dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
8. Penatalaksanaan Kritis
• Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan, bingung, tidak menyadari
adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila
dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera
sebelum pasien dipindahkan.
• Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum
dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
• Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
• Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh
fragmen tulang.
• Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
• Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkat bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atau lengan
dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling.
• Peredaran didistal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi
jaringan perifer.
• Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengah pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
9. Komplikasi Fraktur
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf,
dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan).
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
a) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
b) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
c) Cape au lait spot (birth mark).
d) Fistulae.
e) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
f) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
g) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
h) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 – 5.
a) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
b) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995).
C. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
7) (Ignatavicius, Donna D, 1995)
2) Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa
untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya
dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian
ditentukan masalah keperawatan yang timbul.
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah 3. Mencegah gangguan integritas kulit
perianal dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.
1. Defenisi Osteomielitis
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan
daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan
terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum
(pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomeilitis dapat
menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau
mengakibatkan kehilangan ekstremitas. Beberapa ahli memberikan defenisi
terhadap osteomyelitis sebagai berikut :
Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang
disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus
influensae (Depkes RI, 1995).
Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).
Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan
oleh staphylococcus (Henderson, 1997)
Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang
disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus
influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Tetapi juga Haemophylus influenzae, streplococcus dan organisme lain dapat
juga menyebabkannya osteomyelitis adalah infeksi lain.
2. Etiologi Osteomielitis
Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus
infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi
saluran nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi
ditempat di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah kemungkinan
akibat trauma subklinis (tak jelas).
Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak
(mis. Ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi
langsung tulang (mis, fraktur ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang
(mis. Fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak, pembedahan tulang.
Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang
nutrisinya buruk, lansia, kegemukan atau penderita diabetes. Selain itu, pasien
yang menderita artritis reumatoid, telah di rawat lama dirumah sakit, mendapat
terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi
sekarang atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani
pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami
nekrosis insisi marginal atau dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma
pascaoperasi.
3. Patofisiologi Osteomielitis
Staphylococcus aurens merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada osteomielitis meliputi Proteus,
Pseudomonas dan Ecerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten
penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.
Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama (akut fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan
hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara
4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3)
biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah
pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan
Vaskularisas dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada pembuluh darah
terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang
sehubungan dengan peningkatan dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi
di sekitarnya, kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan
terbentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih
sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk
dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga abses
pada umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan
mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang
terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan
mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan,
namun sequestrum infeksius kronis yang tetap rentan mengeluarkan abses
kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.
5. Klasifikasi Osteomielitis
Menurut kejadiannya osteomyelitis ada 2 yaitu :
1. Osteomyelitis Primer : Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung
melalui luka.
2. Osteomyelitis Sekunder : Adalah kuman-kuman mencapai tulang melalui
aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya infeksi saluran
nafas, genitourinaria furunkel).
Sedangkan osteomyelitis menurut perlangsungannya dibedakan atas :
1. Osteomyelitis akut
Nyeri daerah lesi
Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regional
Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka
Pembengkakan lokal
Kemerahan
Suhu raba hangat
Gangguan fungsi
Laboratorium : anemia, leukositosis
2. Osteomyelitis kronis
Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri
Gejala-gejala umum tidak ada
Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur
Lab : LED meningkat
Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang
paling sering :
Staphylococcus (orang dewasa)
Streplococcus (anak-anak)
Pneumococcus dan Gonococcus
6. Pencegahan Osteomielitis
Sasaran utamanya adalah Pencegahan osteomielitis. Penanganan infeksi lokal
dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan
lunak pada mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatian
terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden
osteomielitis pascaoperasi.
Antibiotika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang
memadai saat pembedahan dan selama 24 jam sampai 48 jam setelah operasi akan
sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik akan menurunkan
insiden infeksi superfisial dan potensial terjadinya osteomielitis.
7. Penatalaksanaan Osteomielitis
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan
dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama
20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran daerah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi,
Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi
organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh
lebih dari satu patogen.
Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika
intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka
terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol
infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya
trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting
untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi.
Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila
telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol,
antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk
meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang
terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan
daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi
antibitika dianjurkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen
bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya
ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan
tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal
(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting
dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol
hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama
7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi
dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik
bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah
kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi.
Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan
penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian
memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong
eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
2) Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pasien dengan
osteomielitis dapat meliputi yang berikut :
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi
dan keterbatasan beban berat badan
3. Risiko terhadap penyebaran infeksi, pembentukan abses tulang
4. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan
3) Intervensi Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
a. imobilisasikan bagian yang terkena dengan bidai untuk mengurangi nyeri
dan spasme otot.
b. Sendi diatas dan dibawah bagian yang terkena harus dibuat sedemikian
sehingga masih dapat digerakkan sesuai rentangnya namun dengan
lembut. Lukanya sendiri kadang terasa sangat nyeri dan harus ditangani
dengan hati-hati dan perlahan.
c. Tinggikan bagian yang terkena untuk mengurangi pembengkakan dan
ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
d. Pantau status neurovaskuler ekstremitas yang terkena.
e. Lakukan teknik manajemen nyeri seperti massage, distraksi, relaksasi,
hipnotik untuk mengurangi persepsi nyeri dan kolaborasi dengan medis
untuk pemberian analgetik.
2. Penyebab Osteosarkoma
Penyebab pasti ostesarkoma belum diketrahui, meski demikian kemungkinan
besar penyakit ini diturunkan. Kemungkinan penyebab lain adalah faktor gaya
hidup, sama seperti kanker lain secara umum. Oleh karena itu keluarga perlu
memberi anak lingkungan yang aman sejak dalam kandungan. Misalnya,
menciptakan lingkunganbebas asap rokok, memberi nutrisi seimbang, menjaga
berat badan, aktif berolahraga, dan gaya hidup sehat lainnya. (Smeltzer,2001).
3. Gejala Osteosarkoma
Pasien osteosarkoma menunjukan gejala bervariasi, atau bahkan tidak
menunjukan gejala apapun. Gejala umum meliputi nyeri ringan hingga berat,
pertumbuhan tulang abnormal. Kehilangan berat badan, atau demam.
Osteosarkoma kadang baru terdiagnosasis saat ketika terjadinya patah tulang
patologik. Sejalan dengan pertumbuhan tumor pembengkakan mungkin bisa terjadi
disertai dengan pergerakan terbatas. Tumor tungkai menyebabkan penderita
berjalan timpang, sedangkan tumor dilengan mnimbulkan nyeri ketika lengan
digunakan untuk mengangkat benda. Pada area pembengkakan terasa hangat dan
agak memerah.
4. Jenis-jenis Osteosarkoma
a. Osteosarkoma Primer
Osteosarkoma primer merupakan kanker yang bermula dari tulang. Jenis-
jenis yang termasuk dalam kanker tulang primer adalah mieloma multipel,
osteosarkoma, fibrosarkoma dan histiositoma fibrosa maligna, kondrosarkoma,
tumor ewing, limfoma tulang maligna.
b. Osteosarkoma Sekunder
Osteosarkoma sekunder (metastatik) merupakan kanker tulang yang
berawal dari organ lain dan menyebar ke tulang. Dengan kata lain, kanker
tersebut tidak bermula dari tulang. Contohnya kanker paru yang menyebar ke
tulang. Dalam kasus ini, sel-sel kanker lebih menyerupai sel paru, bukan sel
tulang.
6. Komplikasi Osteosarkoma
a. Efek pembedahan
Komplikasi berkaian dengan pembedahan antara lain infeksi, kekambuhan
kanker dan luka pada jaringan-jaringan sekelilingnya. Oleh karena itu,
beberapa jaringan normal yang mengelilingi seringkali juga diangkat, seperti
beberapa bagian tulang, otot, saraf atau pembuluh darah. Kondisi ini dapat
menimbulkan kelemahan, kehilangan sensasi, dan risiko patah tulang yang
tersisa.
b. Efek kemoterapi
Proses kemoterapi menggunakan obat-obatan yang sangat kuat agara
dapat membunuh sel-sel kanker. Efek sampingnya, beberapa sel normal juga
bisa terbunuh selama proses pemberian obat. Efek samping lain, misalnya
mual dan muntah, kerontokan rambut, infeksi dan kelelahan.
Untungnya efek-efek samping biasanya menghasilkan setelah pross
kemoterapi selesai. Nutrisi yang baik penting agar tubuh dapat
melawankanker. Oleh karena itu, pasien biasanya dirujuk pada ahli nutrisi,
terutama jika mengalami ual dan kehilangan nafsu makan.
c. Kecatatan
Proses pengangkatan kanker melalui amputasi organ berisiko kecatatan
pasien. Kanker tulang biasanya juga dapat menimbulkan patah tulang, disebut
fraktur patologis.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a.) Identitas data pasien
b.) Keluhan : Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri di daerah kaki
atau tangan yang mengalami pembengkakan. Pembengkakan kebanyakan
terjadi pada daerah tulang panjang.
c.) Riwayat Kesehatan Sebelumnya : Sebagai contoh, tumor metastatik dapat
merupakan hasil manifestasi dari tumor primer yang pernah terjadi di
organ lain, misalnya payudara, prostat, paru dan ginjal
d.) Riwayat Kesehatan Sekarang : Pasien mungkin mengalami pembengkakan
pada tulang, demam, nyeri progresif, kelemahan, parestesia, paraplegia,
retensi urin, dan anemia.
Tumor pada tungkai menyebabkan penderita berjalan timpang,
sedangkan tumor pada lengan menimbulkan nyeri ketika lengan
digunakan untuk mengangkat benda.
Apabila pembengkakan diraba akan terasa hangat dan warnanya agak
merah.
Pasien mungkin menderita patah tulang (fraktur patologis),
leukositosis, malaise, anoreksia, vomiting, atau penyakit infeksi
tertentu seperti flu, streptococcus aureus, dan lain-lain.
e.) Riwayat Kesehatan Keluarga : Kemungkinan ada anggota keluarga yang
pernah menderita kanker tulang tumor.
b. Diagnosa Keperawatan
a.) Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
(amputasi).
b.) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal, nyeri, dan amputasi.
c.) Kerusakan integritas kuliat atau jaringan berhubungan dengan penekanan
pada daerah tertentu dalam waktu yang lama.
d.) Risiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka kerusakan jaringan
lunak
c. Intervensi Keperawatan
a) Dx: Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
(amputasi).
Tujuan : nyeri teratasi seluruhnya setelah tindakan keperawatan selama
3x24 jam
Kriteria Hasil Intervensi
1. Pasien mengatakan nyeri 1. Catat dan kaji lokasi dan intensitas
hilang dan terkontrol nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan
karakteristik nyeri untuk mengetahui
respons dan sejauh mana tingkat nyeri
pasien.
2. Berikan tindaknaan kenyamanan
2. Pasien tampak lebih rileks, (contoh ubah posisi sering, pijatan
tidak terlihat menahan sakit, lembut) untuk mencegah pergeseran
dan mampu istirahat/tidur tulang dan penekanan pada jaringan
dengan baik. yang luka
3. Pasien memahami nyeri akut 3. Berikan dukungan pada ekstremitas
dan metode untuk yang luka untuk meningkatkan vena
menghilangkannya. return, menurunkan edema, dan
mengurangi nyeri,
4. Berikan lingkungan yang tenang agar
pasien dapat beristirahat dan mencegah
timbulnya stress
5. Kolaborasi dengan dokter tentang
pemberian analgetik, kaji efektifitas
dari tindakan penurunan rasa nyeri
untuk mengurangi rasa sakit/nyeri.
c. Cedera Lumbal
Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
a) L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian
belakang dari bokong
b) L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
c) L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
d) L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
e) L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan
area sadel
d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum,
area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang timbul antara lain:
a. Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b. Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia
c. Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :
a) Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah
mengalami paralisis sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng
kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan
darah diawali dengan resistensi vascular perifer.
b) Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri:
Masalah pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi
peranpasan, beratnya bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang
berperan dalam pernapasan adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan
diafragma. Pada cedera medulla spinalis servikal tinggi, kegagalan
pernapasan akut adalah penyebab utama kematian (Smeltzer, 2001).
Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma:
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah;kehilangan refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
h. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and
hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal
total atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain
total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).
6. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera medulla
spinalis :
a. Syok Spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla
spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang
disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi
parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah
menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas,
pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi masalah
pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan tekanan
parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan edema
pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien
cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal
(EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek, dan nilai
gas darah abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,
pernapasan, dan local pada tempat pin).
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis :
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam
posisi lurus:
a) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan
pasien
b) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaanCrutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak
c) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikalstabil ringan
d) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x
ditemui spinal tidak aktif.Tindakan-tidakan untuk mengurangi
pembengkakan pada medula spinalis denganmenggunakan glukortiko
steroid intravena
b. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapatidefisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi
b) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
c) Pemeriksaan diagnostik Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation)
c. Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)
a) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis
b) Lakukan resusitasisesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan
kestabilan kardiovaskuler
c) Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela
d) Tindakan Respiratori
Berikan oksigen untuk mempertahankan PO arterial yang tinggi
Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau
eksistensileher bila diperlukan inkubasi endrotakeal Pertimbangan alat pacu
diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien denganlesi servikal
yang tinggi
9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a) Aktifitas /Istirahat
Tanda: Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b) Sirkulasi
Gejala: Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
Tanda: Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan
pucat
c) Eliminasi
Tanda: Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah / hematemesis
d) Integritas Ego
Gejala: Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda: Takut, cemas, gelisah, menarik diri
e) Makanan /cairan
Tanda: Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus
paralitik)
f) Higiene
Tanda: Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
g) Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flaksid
h) Tanda :
- Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal)
- Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok
spinalsembuh)
- Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam
- Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yangterkena karena pengaruh trauma spinal
i) Nyeri /Kenyamanan
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot, hiperstesia tepat di atas daerah trauma.
Tanda: Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral
j) Pernapasan
Gejala : Nafas pendek, kekeurangan oksigen, sulit bernafas
Tanda : Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki, pucat, sianosis
k) Keamanan
Gejala: Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar)
l) Seksualitas
Gejala : Keinginan untuk kembali berfunfsi normal
Tanda : Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur
(Bastticaca, 2008).
b. Diagnosa Keperawatan
a.) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
atau paralisisotot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi
b.) Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto
servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
c.) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neurovascular
d.) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
c. Intervensi Keperawatan
Dx: Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
atau paralisis otot- otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam pola nafas kemabali efektif
Kriteria Hasil: RR dalam bats normal (12-20 x/mnt), tidak ada tanda-tanda
sianosis, analisa gas darahdalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru
normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan tanda vital
catat frekuensi pernapasan, terjadi akibat stress fisiologi dapat menunjukkan
dispnea, atau perubahan tanda- terjadinya spinal syok
tanda vital
Pertahankan perilaku tenang, Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia,
bantu klien untuk kontrol diri yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan
dengan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan
dalam
Pertahankan jalan nafas; posisi Membantu mencegah aspirasi/ mempertahankan
kepala tanpa gerak jalan nafas
Observasi warna kulit Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan
yang memerlukan tindakan segera
Kaji distensi perut dan spasme Kelainan penuh pada perut disebabkan karena
otot kelumpuhan diafragma
Lakukan pengukuran Menentukan fungsi-fungsi otot pernapasan,
kapasitas vital, kekeuatan medeteksi adanya kegagalan pernapasan
pernapasan
Pantau Analisa Gas Darah Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi
(AGD) pertukaran gas sebagai contoh hiperventilasi
PaO2 rendah dan PaCo2 meningkat
Berikan oksigen dengan cara Metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi
yang tepat pernapasan
Letakkan kantung resusitasi di Berguna mempertahankan fungsi pernapsan jika
samping tempat tidur dan terjadi gangguan pada alat ventilator secra
manual ventilasi sewaktu- mendadak.
waktu dapat digunakan
Dx: Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame otot
servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang atau
beradaptasi.
Kriteria Hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
skala nyeri 0-4, dapat mengidentifikasi aktivitas yang menurunkan atau
meningkatkan nyeri.
Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- dan nonfarmakologi lainya telah
ivasif menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
Istirahatkan leher, atir posis fisiologis dan Posisi fifiologis akan menurunkan kompresi
pasang ban leher saraf leher, pemasangan fiksasi kolar
servikal dapat menjaga kestabilan dalam
melakukan mobilisasi leher.
Lakukan massase pasa sekitar otot leher, Meningkatkan aliran darah dan memebatu
tetapi tidak pada bagian yang sakit suplai darah dan oksigen ke area nyeri leher
akibat spasme otot
Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam pada Meningkatkan asupan oksigen sehingga
saat nyeri muncul akan menurunkan nyeri sekunder dari
iskemia
Memanajemen lingkungan : lingkungan Lingkungan tenag akan menurunkan
yang tenag dan batasi pengunjung stimulus nyeri eksternal dan menganjurkan
klien beristirahat dan pembatasan
pengunjung akan memebantu meningkatkan
oksigen dalam ruangan
Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Mengalihkan nyeri dengan peningkatan
produksi hormone endorphin dan enkefalin
yang dapat memblok nyeri
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengetahuan akan memebanu mengurangi
dan menghubungkan berapa lama nyeri nyeri.
akan berlangsung
Kolaborasi dalam pemberian analgetik Membantu menurnkan nyeri