You are on page 1of 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pelayanan kesehatan merupakan bagian penting dalam meningkatkan
derajat kesehatan. Dengan adanya sistem kesehatan ini tujuan pembangunan dapat
tercapai efektif, efisien, dan tepat sasaran. Keberhasilan sistem pelayanan kesehatan
bergantung pada berbagai komponen yang ada baik dana, fasilitas penunjang maupun
sumber daya manusia yang ada, dalam hal ini perawat, dokter, radiologi, ahli
fisioterapi, ahli gizi, dan tim kesehatan lain (Mubarak dan Chayatin, 2009).
Seluruh bidang pelayanan kesehatan sedang mengalami perubahan dan tidak
satupun perubahan yang berjalan lebih cepat dibandingkan yang terjadi pada bidang
perawatan. Perawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap
individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan. Pelayanan
yang diberikan adalah upaya mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai
dengan potensi yang dimiliki oleh perawat dalam menjalankan kegiatan di bidang
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan
(Nursalam, 2001).
Perawat memberikan bantuan baik untuk pasien maupun keluarga yang
menghadapi penyakit atau cidera. Hal ini memberikan suatu tantangan yang sangat
menyenangkan dan nyata bagi perawat (Doengos, 2000).
Indonesia dan latar belakangnya saat ini Indonesia tengah mengalami surplus
tenaga keperawatan. Sejak tahun 90-an pendidikan keperawatan di Indonesia telah
selangkah lebih baik daripada periode sebelumnya. Ini ditunjukkan dengan data yang
saat ini komposisi perawat terbanyak adalah SPK (60%), diikuti oleh diploma (39%)
dan sarjana keperawatan (1%). Sebagai perawat umum mereka memiliki izin untuk
bekerja di rumah sakit atau berbagai pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat
(Muthalib, 2010).
Perawat yang menangani pasien kritis berbeda dengan perawat bagian lain. Tingkat
pekerjaan dan pengetahuan perawat kritis lebih kompleks dibandingkan dengan perawat
bagian lain di rumah sakit, karena bertanggung jawab mempertahankan homeostasis
pasien untuk berjuang melewati kondisi kritis atau terminal yang mendekati kematian.
Perawat kritis yang bekerja di ruang ICU atau IGD dituntut mempunyai keahlian dan
intelektual yang lebih. Namun merawat pasien dengan kondisi kritis juga membutuhkan
kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, sosial, dan spiritual selain
dukungan fisik karena pasien diruang ICU atau IGD kemungkinan lebih merasa
ketakutan, lebih kesepian, lebih bingung dan cemas. Dengan memberikan pelayanan
yang penuh kasih, ikhlas, dan kesungguhan, maka perawat dapat menunjukan perhatian
dan dukungan pada pasien dan keluarga (Hudak, 1997).
Di masyarakat, seorang perawat atau Ners perlu mengetahui perawatan klien
trauma muskuloskletal terutama perawatan klien dengan kondisi kritis yang mungkin
akan banyak dijumpai, baik dijalan maupun selama melakukan asuhan keperawatan di
rumah sakit. Selain itu, perawat perlu mengetahui dasar-dasar penanggulan suatu
trauma yang menimbulkan masalah pada sistem muskuloskletal dengan melakukan
penanggulangan awal dan merujuk ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko
yang lebih besar.
Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin
meningkatnya usia. Perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut
pada semua organ dan jaringan tubuh. Keadaan demikian itu tampak pula pada semua
sistem muskuloskeletal dan jaringan lainnya. Banyak kasus umum pada sistem
muskuloskeletal yang sering dijumpai pada pasien, diantaranya kasus fraktur, dislokasi,
arthitis rheumatoid, kanker tulang, syndrome kompartemen, gouth atritis, osteomyelitis,
osteoporosis, osteoarthritis, spondylitis ankilosis, bursitis, osteosarcoma, scoliosis,
sprain dan strain, kontusio muskulo, osteomalacia, sindrom karpal tunnel, tendonitis,
tendon robek, istrofi otot, dan osteogenesis imperfect.
Pada makalah ini, kelompok akan membahas asuhan keperawatan kritis yang
terjadi pada sistem muskuloskeletal. Adapun kasus-kasus asuhan keperawatan yang
akan dibahas oleh kelompok diantaranya: asuhan keperawatan dengan kasus fraktur,

1.2 Rumusan Masalah


Dengan latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah :

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Makalah ini dibuat agar mahasiswa mengerti dan memahami tentang Konsep
Dasar Sistem Muskuloskeletal dan Asuhan Keperawatan Kritis.

1.3.2 Tujuan Khusus


Agar mahasiswa mampu memahami dan mengerti tentang :
1) Konsep Dasar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sistem Muskuloskeletal


Sistem muskuloskeletal adalah sistem organ yang memberikan kemampuan pada
mansuia untuk bergerak menggunakan sistem rangka dan otot untuk menggerakan
tubuhnya. Sistem musculoskeletal juga memberikan bentuk, dukungan, stabilitas, dan
gerakan pada tubuh. Sistem ini terdiri dari tulang-tulang kerangka, otot, sendi, tulang
rawan, tendon, ligament dan jaringan-jaringan ikat lainnya yang menyangga dan
mengikat jaringan serta organ ( Reeves, 2001).
Sendi menghubungkan tulang-tulang dan memungkinkan tubuh melakukan geraka.
Sementara tulang rawan berfungsi menjaga agar bagian-bagian ujung tulang tidak
saling bergesekan (Brunner & Suddart, 2001).
Sistem skeletal terdiri dari tulang-tulang yang menjaga keseimbangan tubuh.
Tugasnya mirip dengan tiang-tiang penyangga konstruksi beton. Sementara itu, otot
menjaga agar tulang tetap berada di tempatnya sekaligus memegang peran dalam
pergerakan tulang-tulang tersebut. Kerjasama terpadu antara sendi, tulang dan otot-otot
kerangka menghasilkan pergerakan yang jelas seperti berjalan dan berlari. Otot-otot
kerangka (skeletas muscles) juga menghasilkan gerakan yang lebih halus misalnya
ekspresi wajah, gerakan mata dan pernapasan.
Selain pergerakan, kontruksi otot juga memenuhi beberapa fungsi penting tubuh,
seperti postur (misalnya duduk dan berdiri), keseimbangan sendi, dan produksi panas
tubuh. Otot-otot kerangka terus menerus menciptakan penyesuaian sehingga mampu
mempertahankan posisi tubuh. Tendon pada semua otot memanjang hingga ke
persendian, dengan demikian keseimbangan persendian terjag. Hal ini terlihat jelas
pada sendi lutut dan bahu. Di kedua area itu, otot-otot tendon adalah faktor utama
dalam menyeimbangkan persendian, sementara itu, metabolisme otot menghasilkan
panas yang dapat menjaga suhu tubuh. Hampir 85% panas tubuh di produksi sebagai
hasil dari kontraksi otot.

2.2 Anatomi Fisiologi Organ-Organ dalam Sistem Muskuloskeletal


Muskuloskeletal terdiri atas :
• Muskuler/Otot : Otot, tendon, dan ligamen
• Skeletal/Rangka : Tulang dan sendi
1. Muskuler/Otot
a. Otot
a) Definisi
Semua sel-sel otot mempunyai kekhususan yaitu untuk berkontraksi.
Terdapat lebih dari 600 buah otot pada tubuh manusia. Sebagian besar otot-
otot tersebut dilekatkan pada tulang-tulang kerangka tubuh oleh tendon, dan
sebagian kecil ada yang melekat di bawah permukaan kulit.
b) Fungsi Sistem Muskuler/Otot:
• Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut
melekat dan bergerak dalam bagian organ internal tubuh.
• Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka
dan mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat
duduk terhadap gaya gravitasi.
• Produksi panas. Kontraksi otot-otot secara metabolis menghasilkan
panas untuk mepertahankan suhu tubuh normal.
c) Ciri-Ciri Sistem Muskuler/Otot:
• Kontrakstilitas. Serabut otot berkontraksi dan menegang, yang dapat atau
tidak melibatkan pemendekan otot.
• Eksitabilitas. Serabut otot akan merespons dengan kuat jika distimulasi
oleh impuls saraf.
• Ekstensibilitas. Serabut otot memiliki kemampuan untuk menegang
melebihi panjang otot saat rileks.
• Elastisitas. Serabut otot dapat kembali ke ukuran semula setelah
berkontraksi atau meregang.
d) Jenis-Jenis Otot
1. Otot rangka, merupakan otot lurik, volunter, dan melekat pada rangka.
• Serabut otot sangat panjang, sampai 30 cm, berbentuk silindris
dengan lebar berkisar antara 10 mikron sampai 100 mikron.
• Setiap serabut memiliki banyak inti yang tersusun di bagian perifer.
• Kontraksinya sangat cepat dan kuat.
Struktur Mikroskopis Otot Skelet/Rangka :
• Otot skelet disusun oleh bundel-bundel paralel yang terdiri dari
serabut-serabut berbentuk silinder yang panjang, disebut myofiber
atau serabut otot.
• Setiap serabut otot sesungguhnya adalah sebuah sel yang mempunyai
banyak nukleus ditepinya.
• Cytoplasma dari sel otot disebut sarcoplasma yang penuh dengan
bermacam-macam organella, kebanyakan berbentuk silinder yang
panjang disebut dengan myofibril.
• Myofibril disusun oleh myofilament-myofilament yang berbeda-beda
ukurannya: yang kasar terdiri dari protein myosin, dan yang halus
terdiri dari protein aktin/actin.
2. Otot Polos, merupakan otot tidak berlurik dan involunter. Jenis otot ini
dapat ditemukan pada dinding berongga seperti kandung kemih dan
uterus, serta pada dinding tuba, seperti pada sistem respiratorik,
pencernaan, reproduksi, urinarius, dan sistem sirkulasi darah.
• Serabut otot berbentuk spindel dengan nukleus sentral.
• Serabut ini berukuran kecil, berkisar antara 20 mikron (melapisi
pembuluh darah) sampai 0,5 mm pada uterus wanita hamil.
• Kontraksinya kuat dan lamban.
Struktur Mikroskopis Otot Polos :
• Sarcoplasmanya terdiri dari myofibril yang disusun oleh myofilamen-
myofilamen.
Jenis Otot Polos :
Ada dua kategori otot polos berdasarkan cara serabut otot distimulasi
untuk berkontraksi.
1) Otot polos unit ganda, ditemukan pada dinding pembuluh darah besar,
pada jalan udara besar traktus respiratorik, pada otot mata yang
memfokuskan lensa dan menyesuaikan ukuran pupil dan pada otot
erektor pili rambut.
2) Otot polos unit tunggal (viseral), ditemukan tersusun dalam lapisan
dinding organ berongga atau visera. Semua serabut dalam lapisan
mampu berkontraksi sebagai satu unit tunggal. Otot ini dapat
bereksitasi sendiri atau miogenik dan tidak memerlukan stimulasi
saraf eksternal untuk hasil dari aktivitas listrik spontan.
3. Otot Jantung, merupakan otot lurik disebut juga otot seran lintang
involunter. Otot ini hanya terdapat pada jantung. Bekerja terus-menerus
setiap saat tanpa henti, tapi otot jantung juga mempunyai masa istirahat,
yaitu setiap kali berdenyut.
Struktur Mikroskopis Otot Jantung:
• Mirip dengan otot skelet
Gambar 1
Jenis-Jenis Otot

Otot Rangka Otot Polos Otot Jantung

e) Kerja Otot
• Fleksor (bengkok) >< Ekstentor (meluruskan)
• Supinasi (menengadah) >< Pronasi (tertelungkup)
• Defresor (menurunkan) >< Lepator (menaikkan)
• Sinergis (searah) >< Antagonis (berlawanan)
• Dilatator(melebarkan) >< Konstriktor (menyempitkan)
• Adduktor(dekat) >< Abduktor (jauh)
b. Tendon
Tendon adalah tali atau urat daging yang kuat yang bersifat fleksibel, yang
terbuat dari fibrous protein (kolagen). Tendon berfungsi melekatkan tulang
dengan otot atau otot dengan otot.
Gambar 2
Tendon

c. Ligamen
Ligamen adalah pembalut/selubung yang sangat kuat, yang merupakan
jaringan elastis penghubung yang terdiri atas kolagen. Ligamen membungkus
tulang dengan tulang yang diikat oleh sendi.
Beberapa tipe ligamen :
1. Ligamen Tipis
Ligamen pembungkus tulang dan kartilago. Merupakan ligament kolateral
yang ada di siku dan lutut. Ligamen ini memungkinkan terjadinya
pergerakan.
2. Ligamen jaringan elastik kuning
Merupakan ligamen yang dipererat oleh jaringan yang membungkus dan
memperkuat sendi, seperti pada tulang bahu dengan tulang lengan atas.
Gambar 3
Ligamen
2. Skeletal
a. Tulang/ Rangka
Skeletal disebut juga sistem rangka, yang tersusun atas tulang-tulang. Tubuh
kita memiliki 206 tulang yang membentuk rangka. Bagian terpenting adalah
tulang belakang.
1) Fungsi Sistem Skeletal :
• Memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis
• Membentuk kerangka yang yang berfungsi untuk menyangga tubuh
dan otot-otot yang
• Melekat pada tulang
• Berisi dan melindungi sum-sum tulang merah yang merupakan salah
satu jaringan pembentuk darah
• Merupakan tempat penyimpanan bagimineral seperti calcium
daridalam darah misalnya
• Hemopoesis
2) Struktur Tulang
• Tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara material tidak hidup
(matriks).
• Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang).
• Osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam
mineral.
• Jika pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan
dibentuk.
• Jika tulang telah dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel
tulang dewasa).
• Sel tulang yang telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan
tulang).
Jaringan tulang terdiri atas :
• Kompak (sistem harvesian  matrik dan lacuna, lamella intersisialis)
• Spongiosa (trabecula yang mengandung sumsum tulang dan pembuluh
darah)
3) Klasifikasi Tulang berdasarkan penyusunnya
a. Tulang Kompak
• Padat, halus dan homogen
• Pada bagian tengah terdapat medullary cavity yang mengandung
“yellow bone marrow”.
• Tersusun atas unit : Osteon  Haversian System
• Pada pusat osteon mengandung saluran (Haversian Kanal) tempat
pembuluh darah dan saraf yang dikelilingi oleh lapisan konsentrik
(lamellae).
• Tulang kompak dan spongiosa dikelilingi oleh membran tipis yang
disebut periosteur, membran ini mengandung:
a) Bagian luar percabangan pembuluh darah yang masuk ke
dalam tulang
b) Osteoblas
b. Tulang Spongiosa
 Tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut trabekula.
 Struktur tersebut menyebabkan tulang dapat menahan tekanan.
 Rongga antara trebakula terisi ”red bone marrow” yang
mengandung pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang.
 Contoh, tulang pelvis, rusuk,tulang belakang, tengkorak dan pada
ujung tulang lengan dan paha.
4) Klasifikasi Tulang berdasarkan Bentuknya
1. Tulang panjang, contoh: humerus, femur, radius, ulna
2. Tulang pendek, contoh: tulang pergelangan tangan dan pergelangan
kaki
3. Tulang pipih, contoh: tulang tengkorak kepala, tulang rusuk dan
sternum
4. Tulang tidak beraturan, contoh: vertebra, tulang muka, pelvis
5) Pembagian Sistem Skeletal
1. Axial / rangka aksial, terdiri dari :
 Tengkorak kepala / cranium dan tulang-tulang muka
 Columna vertebralis / batang tulang belakang
 Costae / tulang-tulang rusuk
 Sternum / tulang dada
2. Appendicular / rangka tambahan, terdiri dari :
1) Tulang extremitas superior
 Korset pectoralis, terdiri dari scapula (tulang berbentuk
segitiga) dan clavicula (tulang berbentuk lengkung).
 Lengan atas, mulai dari bahu sampai ke siku.
 Lengan bawah, mulai dari siku sampai pergelangan tangan.
 Tangan
2) Tulang extremitas inferior: korset pelvis, paha, tungkai bawah,
kaki.
b. Sendi
Persendian adalah hubungan antar dua tulang sedemikian rupa, sehingga
dimaksudkan untuk memudahkan terjadinya gerakan.
1. Synarthrosis (suture)
Hubungan antara dua tulang yang tidak dapat digerakkan, strukturnya
terdiri atas fibrosa. Contoh: Hubungan antara tulang di tengkorak.
2. Amphiarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang sedikit dapat digerakkan, strukturnya
adalah kartilago. Contoh: Tulang belakang.
3. Diarthrosis
Hubungan antara dua tulang yang memungkinkan pergerakan, yang terdiri
dari struktur sinovial. Contoh: sendi peluru (tangan dengan bahu), sendi
engsel (siku), sendi putar (kepala dan leher), dan sendi pelana (jempol/ibu
jari).
Gambar 4
Sendi

2.3 Low Back Region


1. Struktur
Ruas tulang punggung dikelompokkan menjadi:
a. Cervical/leher 7 ruas
b. Thoracalis/punggung 12 ruas
c. Lumbalis/pinggang 5 ruas
d. Sakralis/kelangkang 5 ruas
e. Koksigeus/ekor 4 ruas
2. Fungsi
Low back region berfungsi untuk menegakkan/menopang postur struktur tulang
belakang manusia. Postur tegak juga meningkatkan gaya mekanik struktur tulang
belakang lumbrosakral

Gambar 5
Tulang belakang dan lekukuannya
Antar tulang belakang diikat oleh intervertebal, serta oleh ligamen dan otot.
Ikatan antar tulang yang lunak membuat tulang punggung menjadi fleksibel.
Sebuah unit fungsi dari dua bentuk tulang yang berdekatan diperlihatkan dari
gambar di bawah ini.
Gambar 6
Fungsi dasar tulang punggung

3. Komponen Punggung
1) Otot Punggung
Ditunjang oleh punggung, perut, pinggang dan tungkai yang kuat dan fleksibel.
Semua otot ini berfungsi untuk menahan agar tulang belakang dan diskus tetap
dalam posisi normal.
2) Diskus
Merupakan bantalan tulan rawan yang berfungsi sebagai penahan goncangan.
Terdapat diantara vertebrae sehingga memungkinkan sendi-sendi untuk
bergerak secara halus. Tiap diskus mengandung cairan yang mengalir ke dalam
dan keluar diskus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas sehingga
memungkinkan punggung bergerak bebas. Diskus bersifat elastis, mudah
kembali ke bentuk semula jika tertekan diantara kedua vertebra.
4. Otot-Otot Punggung
1) Spina erektor, terdiri dari massa serat otot, berasal dari belakang sakrum dan
bagian perbatasan dari tulang inominate dan melekat ke belakang kolumna
vertebra atas, dengan serat yang selanjutnya timbul dari vertebra dan sampai ke
tulang oksipital dari tengkorak. Otot tersebut mempertahankan posisi tegak
tubuh dan memudahkan tubuh untuk mencapai posisinya kembali ketika dalam
keadaan fleksi.
2) Lastimus dorsi, adalah otot datar yang meluas pada belakang punggung. Aksi
utama dari otot tersebut adalah menarik lengan ke bawah terhadap posisi
bertahan, gerakan rotasi lengan ke arah dalam, dan menarik tubuh menjauhi
lengan pada saat mendaki. Pada pernapasan yang kuat menekan bagian posterior
dari abdomen.
5. Otot-Otot Tungkai
Gluteus maksimus, gluteus medius, dan gluteus minimus adalah otot-otot dari
bokong. Otot-otot tersebut semua timbul dari permukaan sebelah luar ilium,
sebagian gluteus maksimus timbul dari sebelah belakang sacrum. Aksi utama otot-
otot tersebut adalah mempertahankan posisi gerak tubuh, memperpanjang
persendian panggul pada saat berlari, mendaki, dan saat menaiki tangga, dalam
mengangkat tubuh dari posisi duduk atau membungkuk, gerakan abduksi dan rotasi
lateral dari paha.

2.4 Invertebral Disc


Pada makhluk hidup vertebrata (memiliki ruas tulang belakang) terdapat sebuah
struktur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra (vertebral body).
Pada setiap dua ruas vertebra terdapat sebuah bantalan tulang rawan berbentuk cakram
yang disebut dengan Intervertebral Disc. Pada tubuh manusia terdapat 24 buah
Intervertebral disc. Tulang rawan ini berfungsi sebagai penyangga agar vertebra tetap
berada pada posisinya dan juga memberi fleksibilitas pada ruas tulang belakang ketika
terjadi pergerakan atau perubahan posisi pada tubuh.

Gambar 7
Bagian-Bagian Invertebral Disc

Susunan tulang rawan ini terbagi menjadi 3 bagian:


1. Nucleus pulposus, memiliki kandungan yang terdiri dari 14% Proteoglycan, 77%
Air, dan 4% Collagen.
2. Annulus fibrosus, mengandung 5% Proteoglycan, 70% Air, dan 15% Collagen.
3. Cartilage endplate, terdiri dari 8% Proteoglycan, 55% Air, dan 25% Collagen.
2.5 Neck
Tulang leher terdiri dari tujuh ruas, mempunyai badan ruas kecil dan lubang
ruasnya besar. Pada taju sayapnya terdapat lubang tempat lajunya saraf yang disebut
foramen tranvertalis. Ruas pertama vertebra serfikalis disebut atlas yang
memungkinkan kepala mengangguk. Ruas kedua disebut prosesus odontois (aksis)
yang memungkinkan kepala berputar ke kiri dan ke kanan. Ruas ketujuh mempunyai
taju yang disebut prosesus prominan. Taju ruasnya agak panjang.

Gambar 8
Tulang Leher

Tulang-tulang yang terdapat pada leher:


1. Os. Hyoideum adalah sebuah tulang uang berbentuk U dan terletak di atas cartylago
thyroidea setinggi vertebra cervicalis III.
2. Cartygo thyroidea
3. Prominentia laryngea, dibentuk oleh lembaran-lembaran cartylago thyroidea yang
bertemu di bidang median. Prominentia laryngea dapat diraba dan seringkali terlihat.
4. Cornu superius, merupakan tulang rawan yang dapat diraba bilamana tanduk disis
yang lain difiksasi.
5. Cartilagocricoidea, sebuah tulang rawan larynx yang lain, dapat diraba di bawah
prominentia laryngea.
6. Cartilagines tracheales, teraba dibagian inferior leher.
7. Cincin-cincin tulang rawan kedua sampai keempat tidak teraba karena tertutup oleh
isthmus yang menghubungkan lobus dexter dan lobus sinister glandulae thyroideae.
8. Cartilage trachealis I, terletak tepat superior terhadap isthmus.

2.6 Otot Leher


Otot bagian leher dibagi menjadi tiga bagian:
1. Muskulus platisma, yang terdapat di bawah kulit dan wajah. Otot ini menuju ke
tulang selangka dan iga kedua. Fungsinya menarik sudut-sudut mulut ke bawah dan
melebarkan mulut seperti sewaktu mengekspresikan perasaan sedih dan takut, juga
untuk menarik kulit leher ke atas.
2. Muskulus sternokleidomastoideus terdapat pada permukaan lateral proc.mastoidebus
ossis temporalis dan setengah lateral linea nuchalis superior. Fungsinya
memiringkan kepala ke satu sisi, misalnya ke lateral (samping), fleksi dan rotasi
leher, sehingga wajah menghadap ke atas pada sisi yang lain; kontraksi kedua sisi
menyebabkan fleksi leher. Otot ini bekerja saat kepala akan ditarik ke samping.
Akan tetapi, jika otot muskulus platisma dan sternokleidomastoideus sama-sama
bekerja maka reaksinya adalah wajah akan menengadah.
3. Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis.
Fungsinya adalah laterofleksi dan eksorositas kepala dan leher ke sisi yang sama.

Ketiga otot tersebut terdapat di belakang leher yang terbentang dari belakang
kepala ke prosesus spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang dan
menggelengkan kepala.

Gambar 9
Otot Leher

2.7 Elbow
Siku adalah suatu titik yang sangat komplek di mana terdapat tiga tulang yaitu
humerus, radius dan ulna. Ketiga tulang tersebut bekerja secara bersama-sama dalam
suatu gerakan flexi, extensi dan rotasi.
Gambar 10
Siku
2.8 Shoulder (Bahu)
1. Tulang Bahu
Gambar 11
Tulang Bahu

Tulang- tulang pada bahu terdiri dari:

1) Clavicula (tulang selangka), merupakan tulang berbentuk lengkung yang


menghubungkan lengan atas dengan batang tubuh. Ujung medial (ke arah tengah)
clavicula berartikulasi dengan tulang dada yang dihubungkan oleh sendi
sternoclavicular, sedangkan ujung lateral-nya (ke arah samping) berartikulasi
dengan scapula yang dihubungkan oleh sendi acromioclavicular. Sendi
sternoclavicular merupakan satu-satunya penghubung antara tulang extremitas
bagian atas dengan tubuh.
2) Scapula (tulang belikat), merupakan tulang yang berbentuk segitiga. Tulang ini
berartikulasi dengan clavicula dan tulang lengan atas. Ke arah lateral scapula
melanjutkan diri sebagai acromioclavicular yang menghubungkan scapula dengan
clavicula.
3) Sendi glenohumeral, merupakan penghubung antara tulang lengan atas dengan
scapula.
2. Otot Bahu
Gambar 12
Otot Bahu

Otot bahu hanya meliputi sebuah sendi saja dan membungkus tulang pangkal lengan dan
scapula.

1) Muskulus deltoid (otot segi tiga), otot ini membentuk lengkung bahu dan berpangkal
di bagian lateral clavicula (ujung bahu), scapula, dan tulang pangkal lengan. Fungsi
dari otot ini adalah mengangkat lengan sampai mendatar.
2) Muskulus subkapularis (otot depan scapula). Otot ini dimulai dari bagian depan
scapula, menuju tulang pangkal lengan. Fungsi dari otot ini adalah menengahkan dan
memutar humerus (tulang lengan atas) ke dalam.
3) Muskulus supraspinatus (otot atas scapula). Otot ini berpangkal di lekuk sebelah atas
menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsi otot ini adalah untuk mengangkat lengan.
4) Muskulus infraspinatus (otot bawah scapula). Otot ini berpangkal di lekuk sebelah
bawah scapula dan menuju ke tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan
keluar.
5) Muskulus teres mayor (otot lengan bulat besar). Otot ini berpangkal di siku bawah
scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya bisa memutar lengan ke dalam.
6) Muskulus teres minor (otot lengan bulat kecil). Otot ini berpangkal di siku sebelah
luar scapula dan menuju tulang pangkal lengan. Fungsinya memutar lengan ke luar.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL

3.1 Asuhan Keperawatan Klien dengan Fraktur


1. Definisi Fraktur
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam
buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa fraktur adalah
rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan
dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar (Kapita selekta, 2000). Pendapat lain
menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena
kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

2. Etiologi Fraktur
1) Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
melintang atau miring.
2) Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan Akibat Tarikan Otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

3. Patofisiologi Fraktur
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito,
Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta
saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fraktur


1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang. (Ignatavicius, Donna D, 1995)

5. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
1. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.
2. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit.
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur
1. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
 Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
 Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
 Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f. Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1. 1/3 proksimal
2. 1/3 medial
3. 1/3 distal
g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
i. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan
ancaman sindroma kompartement.

6. Tanda dan Gejala Fraktur


a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal

7. Penanganan Fraktur
1. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi  dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
a. Pembersihan luka
b. Exici
c. Hecting situasi
d. Antibiotik
2. Fraktur Tertutup
a. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis (Brunner, 2000).
c. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk
mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan
untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur,
dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara
gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan
menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi
fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus
pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan
untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang (Gbr. 64-3); alat tersebut
menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator
eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis.
pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah
ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai
pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri,
termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi
dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi
lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur,
menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan,
dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

8. Penatalaksanaan Kritis
• Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan, bingung, tidak menyadari
adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila
dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera
sebelum pasien dipindahkan.
• Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum
dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
• Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
• Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh
fragmen tulang.
• Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
• Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkat bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atau lengan
dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling.
• Peredaran didistal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi
jaringan perifer.
• Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengah pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah
bidai sesuai yang diterangkan di atas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.

9. Komplikasi Fraktur
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut.
Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf,
dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena
aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
(Black, J.M, et al, 1993)

10. Asuhan Keperawatan


1) Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
A. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur
dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik
dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D,
1995).

g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

2) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit.
C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji
adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena
ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D,
1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
B. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis).
Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada
kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang
lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.

b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan).
Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
a) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
b) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
c) Cape au lait spot (birth mark).
d) Fistulae.
e) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
f) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
g) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
h) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya
ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,
baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time  Normal 3 – 5.
a) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
b) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan
ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini
menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
(Reksoprodjo, Soelarto, 1995).

C. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu
diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu
disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya
seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur
saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-
5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat
pada tahap penyembuhan tulang.
c) Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
7) (Ignatavicius, Donna D, 1995)
2) Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa
untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya
dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian
ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

3) Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual
maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam
mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi
keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah
kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.
a. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
Intervensi Rasional

1. Pertahankan tirah baring dan 1. Meningkatkan stabilitas,


imobilisasi sesuai indikasi. meminimalkan gangguan akibat
perubahan posisi.

2. Bila terpasang gips/bebat, sokong 2. Mencegah gerakan yang tak perlu


fraktur dengan bantal atau akibat perubahan posisi.
gulungan selimut untuk
mempertahankan posisi yang
netral.

3. Evaluasi pembebat terhadap 3. Penilaian kembali pembebat perlu


resolusi edema. dilakukan seiring dengan
berkurangnya edema

4. Bila terpasang traksi, pertahankan 4. Traksi memungkinkan tarikan


posisi traksi (Buck, Dunlop, pada aksis panjang fraktur tulang
Pearson, Russel) dan mengatasi tegangan otot
untuk mempercepat reunifikasi
fragmen tulang

5. Yakinkan semua klem, katrol dan 5. Menghindari iterupsi


tali berfungsi baik. penyambungan fraktur.

6. Pertahankan integritas fiksasi 6. Keketatan kurang atau berlebihan


eksternal. dari traksi eksternal (Hoffman)
mengubah tegangan traksi dan
mengakibatkan kesalahan posisi.
7. Kolaborasi pelaksanaan kontrol 7. Menilai proses penyembuhan
foto. tulang.
b. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Intervensi Rasional

1. Pertahankan imobilasasi bagian 1. Mengurangi nyeri dan


yang sakit dengan tirah baring, mencegah malformasi.
gips, bebat dan atau traksi
2. Meningkatkan aliran balik
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang vena, mengurangi edema/nyeri.
terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak 3. Mempertahankan kekuatan


pasif/aktif. otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk 4. Meningkatkan sirkulasi umum,


meningkatkan kenyamanan menurunakan area tekanan
(masase, perubahan posisi) lokal dan kelelahan otot.

5. Ajarkan penggunaan teknik 5. Mengalihkan perhatian


manajemen nyeri (latihan napas terhadap nyeri, meningkatkan
dalam, imajinasi visual, aktivitas kontrol terhadap nyeri yang
dipersional) mungkin berlangsung lama.

6. Lakukan kompres dingin selama 6. Menurunkan edema dan


fase akut (24-48 jam pertama) mengurangi rasa nyeri.
sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik 7. Menurunkan nyeri melalui


sesuai indikasi. mekanisme penghambatan
rangsang nyeri baik secara
sentral maupun perifer.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, 8. Menilai perkembangan


petunjuk verbal dan non verval, masalah klien.
perubahan tanda-tanda vital)
c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Intervensi Rasional

1. Dorong klien untuk secara rutin 1. Meningkatkan sirkulasi darah


melakukan latihan menggerakkan dan mencegah kekakuan sendi.
jari/sendi distal cedera.
2. Mencegah stasis vena dan
2. Hindarkan restriksi sirkulasi sebagai petunjuk perlunya
akibat tekanan bebat/spalk yang penyesuaian keketatan
terlalu ketat. bebat/spalk.

3. Pertahankan letak tinggi 3. Meningkatkan drainase vena dan


ekstremitas yang cedera kecuali menurunkan edema kecuali pada
ada kontraindikasi adanya adanya keadaan hambatan aliran
sindroma kompartemen. arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.

4. Berikan obat antikoagulan 4. Mungkin diberikan sebagai


(warfarin) bila diperlukan. upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.

5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran 5. Mengevaluasi perkembangan


kapiler, warna kulit dan masalah klien dan perlunya
kehangatan kulit distal cedera, intervensi sesuai keadaan klien.
bandingkan dengan sisi yang
normal.

d. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,


perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)
Intervensi Rasional

1. Instruksikan/bantu latihan napas 1. Meningkatkan ventilasi alveolar


dalam dan latihan batuk efektif. dan perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan 2. Reposisi meningkatkan drainase


posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti
klien. paru.

3. Kolaborasi pemberian obat 3. Mencegah terjadinya pembekuan


antikoagulan (warvarin, heparin) darah pada keadaan
dan kortikosteroid sesuai indikasi. tromboemboli. Kortikosteroid
telah menunjukkan keberhasilan
untuk mencegah/mengatasi
emboli lemak.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, 4. Penurunan PaO2 dan peningkatan


kalsium, LED, lemak dan trombosit PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia,
hipokalsemia, peningkatan LED
dan kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering
berhubungan dengan emboli
lemak.

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan 5. Adanya takipnea, dispnea dan


upaya bernapas, perhatikan adanya perubahan mental merupakan
stridor, penggunaan otot aksesori tanda dini insufisiensi pernapasan,
pernapasan, retraksi sela iga dan mungkin menunjukkan terjadinya
sianosis sentral. emboli paru tahap awal.

e. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,


terapi restriktif (imobilisasi)
Intervensi Rasional

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas 1. Memfokuskan perhatian,


rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan rasa kontrol
kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga diri, membantu
keadaan klien. menurunkan isolasi sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif 2. Meningkatkan sirkulasi darah


aktif pada ekstremitas yang sakit muskuloskeletal,
maupun yang sehat sesuai keadaan mempertahankan tonus otot,
klien. mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan
mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.

3. Berikan papan penyangga kaki, 3. Mempertahankan posis fungsional


gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas.
indikasi.
4. Bantu dan dorong perawatan diri 4. Meningkatkan kemandirian klien
(kebersihan/eliminasi) sesuai dalam perawatan diri sesuai
keadaan klien. kondisi keterbatasan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai 5. Menurunkan insiden komplikasi


keadaan klien. kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)

6. Dorong/pertahankan asupan cairan 6. Mempertahankan hidrasi adekuat,


2000-3000 ml/hari. men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.

7. Berikan diet TKTP. 7. Kalori dan protein yang cukup


diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-
pertahankan fungsi fisiologis
tubuh.

8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi 8. Kerjasama dengan fisioterapis


sesuai indikasi. perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi
klien dan program imobilisasi. 9. Menilai perkembangan masalah
klien.

f. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,


kawat, sekrup)
Intervensi Rasional

1. Pertahankan tempat tidur yang 1. Menurunkan risiko kerusakan/


nyaman dan aman (kering, bersih, abrasi kulit yang lebih luas.
alat tenun kencang, bantalan bawah
siku, tumit).
2. Meningkatkan sirkulasi perifer dan
2. Masase kulit terutama daerah meningkatkan kelemasan kulit dan
penonjolan tulang dan area distal otot terhadap tekanan yang relatif
bebat/gips. konstan pada imobilisasi.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah 3. Mencegah gangguan integritas kulit
perianal dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.

4. Observasi keadaan kulit, penekanan 4. Menilai perkembangan masalah


gips/bebat terhadap kulit, insersi klien.
pen/traksi.
g. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
Intervensi Rasional

1. Lakukan perawatan pen steril dan 1. Mencegah infeksi sekunderdan


perawatan luka sesuai protocol mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan klien untuk 2. Meminimalkan kontaminasi.


mempertahankan sterilitas insersi
pen.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika 3. Antibiotika spektrum luas atau


dan toksoid tetanus sesuai indikasi. spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau mengatasi
infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.

4. Analisa hasil pemeriksaan 4. Leukositosis biasanya terjadi pada


laboratorium (Hitung darah lengkap, proses infeksi, anemia dan
LED, Kultur dan sensitivitas peningkatan LED dapat terjadi pada
luka/serum/tulang) osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab
infeksi.

5. Observasi tanda-tanda vital dan 5. Mengevaluasi perkembangan masalah


tanda-tanda peradangan lokal pada klien.
luka.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan


b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan
kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Intervensi Rasional

1. Kaji kesiapan klien mengikuti 1. Efektivitas proses pemeblajaran


program pembelajaran. dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.

2. Diskusikan metode mobilitas dan 2. Meningkatkan partisipasi dan


ambulasi sesuai program terapi kemandirian klien dalam perencanaan
fisik. dan pelaksanaan program terapi fisik.
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang
memerluka evaluasi medik (nyeri 3. Meningkatkan kewaspadaan klien untuk
berat, demam, perubahan sensasi mengenali tanda/gejala dini yang
kulit distal cedera) memerulukan intervensi lebih lanjut.

4. Persiapkan klien untuk mengikuti 4. Upaya pembedahan mungkin diperlukan


terapi pembedahan bila diperlukan. untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi
klien.

3.2 Asuhan Keperawatan Klien dengan Osteomielitis

1. Defenisi Osteomielitis
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan
daripada infeksi jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan
terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum
(pembentukan tulang baru di sekeliling jaringan tulang mati). Osteomeilitis dapat
menjadi masalah kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau
mengakibatkan kehilangan ekstremitas. Beberapa ahli memberikan defenisi
terhadap osteomyelitis sebagai berikut :
 Osteomyelitis adalah infeksi Bone marrow pada tulang-tulang panjang yang
disebabkan oleh staphylococcus aureus dan kadang-kadang Haemophylus
influensae (Depkes RI, 1995).
 Osteomyelitis adalah infeksi tulang (Carpenito, 1990).
 Osteomyelitis adalah suatu infeksi yang disebarkan oleh darah yang disebabkan
oleh staphylococcus (Henderson, 1997)
 Osteomyelitis adalah influenza Bone Marow pada tulang-tulang panjang yang
disebabkan oleh staphyilococcus Aureus dan kadang-kadang haemophylus
influenzae, infeksi yang hampir selalu disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Tetapi juga Haemophylus influenzae, streplococcus dan organisme lain dapat
juga menyebabkannya osteomyelitis adalah infeksi lain.

2. Etiologi Osteomielitis
Infeksi bisa disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fokus
infeksi di tempat lain (mis. Tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi
saluran nafas atas). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi
ditempat di mana terdapat trauma dimana terdapat resistensi rendah kemungkinan
akibat trauma subklinis (tak jelas).
Osteomielitis dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak
(mis. Ulkus dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi
langsung tulang (mis, fraktur ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang
(mis. Fraktur terbuka, cedera traumatik seperti luka tembak, pembedahan tulang.
Pasien yang beresiko tinggi mengalami osteomielitis adalah mereka yang
nutrisinya buruk, lansia, kegemukan atau penderita diabetes. Selain itu, pasien
yang menderita artritis reumatoid, telah di rawat lama dirumah sakit, mendapat
terapi kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi
sekarang atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani
pembedahan ortopedi lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami
nekrosis insisi marginal atau dehisensi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma
pascaoperasi.

3. Patofisiologi Osteomielitis
Staphylococcus aurens merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
Organisme patogenik lainnya sering dujumpai pada osteomielitis meliputi Proteus,
Pseudomonas dan Ecerichia coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resisten
penisilin, nosokomial, gram negatif dan anaerobik.
Awitan osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan
pertama (akut fulminan stadium I) dan sering berhubungan dengan penumpukan
hematoma atau infeksi superfisial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara
4 sampai 24 bulan setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3)
biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah
pembedahan.
Respons inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan
Vaskularisas dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombosis pada pembuluh darah
terjadi pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang
sehubungan dengan peningkatan dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi
di sekitarnya, kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan
terbentuk abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan; namun yang lebih
sering harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk
dalam dindingnya terbentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga abses
pada umumnya, jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan
mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang
terjadi pada jaringan lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan
mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan,
namun sequestrum infeksius kronis yang tetap rentan mengeluarkan abses
kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan osteomielitis tipe kronik.

4. Manifestasi Klinis Osteomielitis


Jika infeksi dibawah oleh darah, biasanya awitannya mendadak, sering terjadi
dengan manifestasi klinis septikemia (mis. menggigil, demam tinggi, denyut nadi
cepat dan malaise umum). Gejala sismetik pada awalnya dapat menutupi gejala
lokal secara lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks
tulang, akan mengenai periosteum dan jaringan lunak, dengan bagian yang
terinfeksi menjadi nyeri, bengkak dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan
nyeri konstan berdenyut yang semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan
dengan tekanan pus yang terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau
kontaminasi langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah infeksi
membengkak, hangat, nyeri dan nyeri tekan.
Pasien dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir
keluar dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan
dan pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah dapat menjadi pada jaringan parut
akibat kurangnya asupan darah.

5. Klasifikasi Osteomielitis
Menurut kejadiannya osteomyelitis ada 2 yaitu :
1. Osteomyelitis Primer : Kuman-kuman mencapai tulang secara langsung
melalui luka.
2. Osteomyelitis Sekunder : Adalah kuman-kuman mencapai tulang melalui
aliran darah dari suatu focus primer ditempat lain (misalnya infeksi saluran
nafas, genitourinaria furunkel).
Sedangkan osteomyelitis menurut perlangsungannya dibedakan atas :
1. Osteomyelitis akut
 Nyeri daerah lesi
 Demam, menggigil, malaise, pembesaran kelenjar limfe regional
 Sering ada riwayat infeksi sebelumnya atau ada luka
 Pembengkakan lokal
 Kemerahan
 Suhu raba hangat
 Gangguan fungsi
 Laboratorium : anemia, leukositosis
2. Osteomyelitis kronis
 Ada luka, bernanah, berbau busuk, nyeri
 Gejala-gejala umum tidak ada
 Gangguan fungsi kadang-kadang kontraktur
 Lab : LED meningkat
Osteomyelitis menurut penyebabnya adalah osteomyelitis biogenik yang
paling sering :
 Staphylococcus (orang dewasa)
 Streplococcus (anak-anak)
 Pneumococcus dan Gonococcus

6. Pencegahan Osteomielitis
Sasaran utamanya adalah Pencegahan osteomielitis. Penanganan infeksi lokal
dapat menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan
lunak pada mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatian
terhadap lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden
osteomielitis pascaoperasi.
Antibiotika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang
memadai saat pembedahan dan selama 24 jam sampai 48 jam setelah operasi akan
sangat membantu. Teknik perawatan luka pascaoperasi aseptik akan menurunkan
insiden infeksi superfisial dan potensial terjadinya osteomielitis.

7. Penatalaksanaan Osteomielitis
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan
dan mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama
20 menit beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran daerah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi,
Kultur darah dan swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi
organisme dan memilih antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh
lebih dari satu patogen.
Begitu spesimen kultur telah diperoleh, dimulai pemberian terapi antibiotika
intravena, dengan asumsi bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka
terhadap penisilin semi sintetik atau sefalosporin. Tujuannya adalah mengentrol
infeksi sebelum aliran darah ke daerah tersebut menurun akibat terjadinya
trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus sesuai waktu sangat penting
untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus menerus tinggi.
Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang diberikan bila
telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah terkontrol,
antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk
meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibiotika, tulang yang
terkena harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik diangkat dan
daerah itu diiringi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Tetapi
antibitika dianjurkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen
bedah. Dilakukan sequestrektomi (pengangkatan involukrum secukupnya supaya
ahli bedah dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan
tulang untuk memajankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal
(saucerization). Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat
supaya dapat terjadi penyembuhan yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau
dipasang tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting
dikemudian hari. Dapat dipasang drainase berpengisap untuk mengontrol
hematoma dan mebuang debris. Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama
7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi samping dengan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dengan graft tulang kanselus untuk
merangsang penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi
dengan transfer tulang berpembuluh darah atau flup otot (dimana suatu otot
diambil dari jaringan sekitarnya namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik
bedah mikro ini akan meningkatkan asupan darah; perbaikan asupan darah
kemudian akan memungkinkan penyembuhan tulang dan eradikasi infeksi.
Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk menyakinkan
penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, kemudian
memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat penyokong
eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.

8. Asuhan Keperawatan Osteomielitis


1) Pengkajian
 Pasien yang datang dengan awitan gejala akut (mis. Nyeri lokal,
pembengkakan, eritema, demam) atau kambuhan keluarnya pus dari sinus
disertai nyeri, pembengkakan dan demam sedang.
 Kaji adanya faktor risiko (mis. Lansia, diabetes, terapi kortikosteroid jangka
panjang) dan cedera, infeksi atau bedah ortopedi sebelumnya.
 Pasien selalu menghindar dari tekanan didaerah tersebut dan melakukan
gerakan perlindungan.
 Pada osteomielitis akut, pasien akan mengalami kelemahan umum akibat
reaksi sistemik infeksi.
 Pemeriksaan fisik memperlihatkan adanya daerah inflamasi, pembengkakan
nyata, hangat yang nyeri tekan. Cairan purulen dapat terlihat. Pasien akan
mengalami kelemahan umum akibat reaksi sistemik infeksi.
 Pasien akan mengalami peningkatan suhu tubuh.
 Pada osteomielitis kronik, peningkatan suhu mungkin minimal, yang terjadi
pada sore dan malam hari.

2) Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan pasien dengan
osteomielitis dapat meliputi yang berikut :
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi
dan keterbatasan beban berat badan
3. Risiko terhadap penyebaran infeksi, pembentukan abses tulang
4. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan

3) Intervensi Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan
a. imobilisasikan bagian yang terkena dengan bidai untuk mengurangi nyeri
dan spasme otot.
b. Sendi diatas dan dibawah bagian yang terkena harus dibuat sedemikian
sehingga masih dapat digerakkan sesuai rentangnya namun dengan
lembut. Lukanya sendiri kadang terasa sangat nyeri dan harus ditangani
dengan hati-hati dan perlahan.
c. Tinggikan bagian yang terkena untuk mengurangi pembengkakan dan
ketidaknyamanan yang ditimbulkannya.
d. Pantau status neurovaskuler ekstremitas yang terkena.
e. Lakukan teknik manajemen nyeri seperti massage, distraksi, relaksasi,
hipnotik untuk mengurangi persepsi nyeri dan kolaborasi dengan medis
untuk pemberian analgetik.

2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri, alat


imobilisasi dan keterbatasan beban berat badan
a. Program pengobatan dengan membatasi aktivitas.
b. Lindungi tulang dengan alat imobilisasi dan hindarkan stres pada tulang
karena tulang menjadi lemah akibat proses infeksi.
c. Berikan pemahaman tentang rasional pembatasan aktivitas.
d. Partisipasi aktif dalam kehidupan sehari-hari dalam batas fisik tetap
dianjurkan untuk mempertahankan rasa sehat secara umum.

3. Risiko terhadap penyebaran infeksi, pembentukan abses tulang


a. Pantau respons pasien terhadap terapi antibiotika.
b. Observasi tempat pemasangan infus tentang adanya flebitis atau infiltrasi.
c. Bila diperlukan pembedahan, harus dilakukan upaya untuk meyakinkan
adanya peredaran darah yang mewadai (pengisapan luka untak mencegah
penumpukan cairan, peninggian daerah untuk memperbaiki aliran balik
vena, menghindari tekanan pada daerah yang di-graft) untuk
mempertahankan imobilitas yang dibutuhkan, dan untuk memenuhi
pembatasan beban berat badan.
d. Pantau kesehatan urnum dan nutrisi pasien.
e. Berikan diet protein seirnbang, vitamin C dan vitamin D dipilih untak
meyakinkan adanya keseimbangan nitrogen dan merangsang
penyembuhan.

4. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan


a. Pasien harus dalam keadaan stabil secara medis dan telah termotivasi, dan
keluarga harus mendukung. Lingkungan rumah harus bersifat kondusif
terhadap promosi kesehatan dan sesuai dengan program terapeutik.
b. Pasien dan keluarganya harus memahami benar protokol antibiotika.
c. Ajarkan cara teknik balutan secara steril dan teknik kompres hangat.
Pendidikan pasien sebelum pemulangan dari rurnah sakit dan supervisi
serta dukungan Yang memadai dari perawatan di rumah sangat penting
dalam keberhasilan penatalaksanaan osteomielitis di rumah.
d. Pantau dengan cermat mengenai bertambahnya daerah nyeri atau
peningkatan suhu yang mendadak. Pasien diminta. untuk melakukan
observasi dan melaporkan bila terjadi peningkatan suhu, keluarnya pus,
bau, dan bertambahnya inflamasi.

3.3 Asuhan Keperawatan Ostesarkoma


1. Definisi Osteosarkoma
Osteosarkoma adalah tumor tulang ganas dan paling sering ditemukan pada
anak-anak. Umumnya penyakit ini baru terdiagnosis pada umur 15 tahun.
Meskipun kasus osteosarkoma pada anak laki-laki dan anak perempuan seimbang,
akan tetapi pada masa remaja, kasus ini lebih sering terjadi pada remaja pria
(Smeltzer,2001; Wong, 2003).

2. Penyebab Osteosarkoma
Penyebab pasti ostesarkoma belum diketrahui, meski demikian kemungkinan
besar penyakit ini diturunkan. Kemungkinan penyebab lain adalah faktor gaya
hidup, sama seperti kanker lain secara umum. Oleh karena itu keluarga perlu
memberi anak lingkungan yang aman sejak dalam kandungan. Misalnya,
menciptakan lingkunganbebas asap rokok, memberi nutrisi seimbang, menjaga
berat badan, aktif berolahraga, dan gaya hidup sehat lainnya. (Smeltzer,2001).

3. Gejala Osteosarkoma
Pasien osteosarkoma menunjukan gejala bervariasi, atau bahkan tidak
menunjukan gejala apapun. Gejala umum meliputi nyeri ringan hingga berat,
pertumbuhan tulang abnormal. Kehilangan berat badan, atau demam.
Osteosarkoma kadang baru terdiagnosasis saat ketika terjadinya patah tulang
patologik. Sejalan dengan pertumbuhan tumor pembengkakan mungkin bisa terjadi
disertai dengan pergerakan terbatas. Tumor tungkai menyebabkan penderita
berjalan timpang, sedangkan tumor dilengan mnimbulkan nyeri ketika lengan
digunakan untuk mengangkat benda. Pada area pembengkakan terasa hangat dan
agak memerah.

4. Jenis-jenis Osteosarkoma
a. Osteosarkoma Primer
Osteosarkoma primer merupakan kanker yang bermula dari tulang. Jenis-
jenis yang termasuk dalam kanker tulang primer adalah mieloma multipel,
osteosarkoma, fibrosarkoma dan histiositoma fibrosa maligna, kondrosarkoma,
tumor ewing, limfoma tulang maligna.
b. Osteosarkoma Sekunder
Osteosarkoma sekunder (metastatik) merupakan kanker tulang yang
berawal dari organ lain dan menyebar ke tulang. Dengan kata lain, kanker
tersebut tidak bermula dari tulang. Contohnya kanker paru yang menyebar ke
tulang. Dalam kasus ini, sel-sel kanker lebih menyerupai sel paru, bukan sel
tulang.

5. Penatalaksanan Medis Osteosarkoma


Pengobatan osteosarkoma biasanya merupakan kombinasi dari :
a. Kemoterapi. Kombinasi beberapa jenis kemoterapi memberikan efek yang
lebih kuat dan tingkat toksisitas yang rendah. Selain itu, kemungkinan
resistensi terhadap obat juga dapat diturunkan.
b. Terapi penyinaran tumor
c. Radiasi. Biasa dilakukan apabila tumor bersifat radio sensistif. Prosedur ini
bertujuan mempertahankan ekstremitas yang sakit, dengan demikian ketahan
dan kualitas hidup merupakan pertimbangan penting.
d. Terapi pembedahan. Sasaranya aalah menghancurkan atau mengangkat tumor.
Pengangkatan tumor lewat terapi pembedahan ini seringkali membutuhkan
amputasi ekstremitas yang sakit, namun tetap tergantung terhdap lokasi dan
penyebaran tumor.

6. Komplikasi Osteosarkoma
a. Efek pembedahan
Komplikasi berkaian dengan pembedahan antara lain infeksi, kekambuhan
kanker dan luka pada jaringan-jaringan sekelilingnya. Oleh karena itu,
beberapa jaringan normal yang mengelilingi seringkali juga diangkat, seperti
beberapa bagian tulang, otot, saraf atau pembuluh darah. Kondisi ini dapat
menimbulkan kelemahan, kehilangan sensasi, dan risiko patah tulang yang
tersisa.
b. Efek kemoterapi
Proses kemoterapi menggunakan obat-obatan yang sangat kuat agara
dapat membunuh sel-sel kanker. Efek sampingnya, beberapa sel normal juga
bisa terbunuh selama proses pemberian obat. Efek samping lain, misalnya
mual dan muntah, kerontokan rambut, infeksi dan kelelahan.
Untungnya efek-efek samping biasanya menghasilkan setelah pross
kemoterapi selesai. Nutrisi yang baik penting agar tubuh dapat
melawankanker. Oleh karena itu, pasien biasanya dirujuk pada ahli nutrisi,
terutama jika mengalami ual dan kehilangan nafsu makan.
c. Kecatatan
Proses pengangkatan kanker melalui amputasi organ berisiko kecatatan
pasien. Kanker tulang biasanya juga dapat menimbulkan patah tulang, disebut
fraktur patologis.
7. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a.) Identitas data pasien
b.) Keluhan : Biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri di daerah kaki
atau tangan yang mengalami pembengkakan. Pembengkakan kebanyakan
terjadi pada daerah tulang panjang.
c.) Riwayat Kesehatan Sebelumnya : Sebagai contoh, tumor metastatik dapat
merupakan hasil manifestasi dari tumor primer yang pernah terjadi di
organ lain, misalnya payudara, prostat, paru dan ginjal
d.) Riwayat Kesehatan Sekarang : Pasien mungkin mengalami pembengkakan
pada tulang, demam, nyeri progresif, kelemahan, parestesia, paraplegia,
retensi urin, dan anemia.
 Tumor pada tungkai menyebabkan penderita berjalan timpang,
sedangkan tumor pada lengan menimbulkan nyeri ketika lengan
digunakan untuk mengangkat benda.
 Apabila pembengkakan diraba akan terasa hangat dan warnanya agak
merah.
 Pasien mungkin menderita patah tulang (fraktur patologis),
leukositosis, malaise, anoreksia, vomiting, atau penyakit infeksi
tertentu seperti flu, streptococcus aureus, dan lain-lain.
e.) Riwayat Kesehatan Keluarga : Kemungkinan ada anggota keluarga yang
pernah menderita kanker tulang tumor.

b. Diagnosa Keperawatan
a.) Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
(amputasi).
b.) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
muskuloskeletal, nyeri, dan amputasi.
c.) Kerusakan integritas kuliat atau jaringan berhubungan dengan penekanan
pada daerah tertentu dalam waktu yang lama.
d.) Risiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka kerusakan jaringan
lunak

c. Intervensi Keperawatan
a) Dx: Nyeri akut berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
(amputasi).
Tujuan : nyeri teratasi seluruhnya setelah tindakan keperawatan selama
3x24 jam
Kriteria Hasil Intervensi
1. Pasien mengatakan nyeri 1. Catat dan kaji lokasi dan intensitas
hilang dan terkontrol nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan
karakteristik nyeri untuk mengetahui
respons dan sejauh mana tingkat nyeri
pasien.
2. Berikan tindaknaan kenyamanan
2. Pasien tampak lebih rileks, (contoh ubah posisi sering, pijatan
tidak terlihat menahan sakit, lembut) untuk mencegah pergeseran
dan mampu istirahat/tidur tulang dan penekanan pada jaringan
dengan baik. yang luka
3. Pasien memahami nyeri akut 3. Berikan dukungan pada ekstremitas
dan metode untuk yang luka untuk meningkatkan vena
menghilangkannya. return, menurunkan edema, dan
mengurangi nyeri,
4. Berikan lingkungan yang tenang agar
pasien dapat beristirahat dan mencegah
timbulnya stress
5. Kolaborasi dengan dokter tentang
pemberian analgetik, kaji efektifitas
dari tindakan penurunan rasa nyeri
untuk mengurangi rasa sakit/nyeri.

b) Dx: Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan


muskuloskeletal, nyeri, dan amputasi.
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik teratasi seluruhnya setelah tindakan
keperawatan selama 3x24 jam.
Kriteria Hasil Intervensi
1. Pasien menyatakan 1. Kaji tingkat imobilitas yang disebabkan
pemahaman situasi indiviual, oleh edema dan persepsi pasien tentang
program pengobatan, dan imobilisasi tersebut. Pasien mungkin
tindakan keamanan akan membatasi gerak karena salah
2. Pasien tampak ikut serta dalam persepsi (persepsi tidak proporsional).
program latihan/menunjukan 2. Dorong partisipasi dalam aktivitas
keinginan berpatisipasi dalam rekreasi (menonton TV, membaca dan
aktivitas lain-lain)untuk memberi kesempatan
3. Paisen menunjukan untuk mengeluarkan energi,
teknik/perilaku yang memusatkan perhatian, meningkatkan
memampukan tindakan perasaan kontrol diri pasien dan
beraktivitas membantu dalam mengurangi isolasi
4. Pasien tampak sosial.
mempertahankaan koordinasi 3. Anjurkan pasien untuk melakukan
dan mobilitas sesuai tingkat latihan pasif dan aktif pada cedera
opimal. maupun yang tidak untuk
meningkatkan aliran darah otot dan
tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan mobilitas sendi,
mencegah kontraktur/atropi dan
reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
4. Bantu pasien dalam perawatan diri
untuk meningkatkan kekuatan dan
sirkulasi otot, meningkatkan pasien
dalam mengontrol situasi,
meningkatkan kemauan pasien untuk
sembuh.
5. Berikan diet tinggi protein dan kalori,
vitamin dan mineral untuk
mempercepat proses pemnyembuhan,
mmencegah penurunan BB, karena
pada imobilisasi biasanya terjadi
penurunan BB.
6. Kolaborasi dengan bagiuan fisioterapi
untuk menentukan program latihan

c) Kerusakan integritas kuliat atau jaringan berhubungan dengan penekanan


pada daerah tertentu dalam waktu yang lama.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah
kerusakan integritas kulit dan jaringan teratasi seluruhnya.
Kriteria Hasil Intervensi
1. Pasien menunjukan perilaku/ 1. Kaji adanya warna kulit untuk
teknik untuk mencegah mengetahui sirkulasi kulit
kerusakan kulit agar tidak 2. Pertahankan tempat tidur kering dan
berlanjut. bebas kerutan untuk menurunkan
tekanan pada area yang peka risiko
kerusakan kulit lebih lanjut.
3. Ubah posisi dengan sesering mungkin
untuk mengurangi tekanan konstan
pada area yang sama dan
meminimalkan risiko keruskan kulit.
4. Beri posisi yang nyaman kepada pasien.
Posisi yang tidak tepat dapat
menyebabkan cedera kulit / kerusakan
kulit.
5. Kolaborasi dengan tim kesehatan dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi
terjadinya kerusakan integritas kulit.

d) Risiko infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam masalah
risiko infeksi tidak terjadi
Kriteria Hasil Intervensi
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi 1. Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit)
2. Leukosit dalam batas normal, terhadap edema, rubor, kalor, dolor,
dan fungsi laesa untuk mengetahui tanda-
3. Tanda-tanda vital dalam batas tanda infeksi.
normal 2. Anjurkan pasien untuk tidak memegang
bagian yang luka untuk meminimalkan
terjadinya kontraksi
3. Rawat luka dengan menggunakan teknik
aseptik untuk mencegah kontaminasi dan
kemungkinan infeksi silang.
4. Mewaspadai adanya keluhan nyeri
mendadak, keterbatasan gerak, edema
lokal, eritema pada daerah luka.
Keluhan-keluhan tersebut merupakan
indikasi osteomilitis.
5. Kolaborasi pemeriksaan darah. Leukosit
yang meningkat artinya sudah terjadi
infeksi.

3.4 Asuhan Keperawatan Sprain and Strain


1. Definisi Spinal Cors Injury
Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang
mengenai servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang (Mutttaqin, 2008). Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai
cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya yang dapat
menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury merupakan trauma pada medulla spinalis yang merupakan
susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebra dan menjulur dari
foramen magnum ke bagian atas region lumbalis, trauma dapat bervariasi dari
trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak
sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medulla spinal dengan
quadriplegia.
Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi
spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan
lunak, dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma
berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan
sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral
(fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang
aktual maupun potensial (Price, 2005).
Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 33 tulang, antara lain: 7 buah tulang
servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus
intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot
ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan
memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai
pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan
mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000).

2. Etiologi Spinal Cors Injury


Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara lain:
a. Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)
b. Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk
merusak kord spinal serta kauda ekuina
c. Olahraga
d. Menyelam pada air yang dangkal
e. Luka tembak atau luka tikam
f. Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis
akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang
disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi maupun
kompresi; dan penyakit vascular

3. Patofisiologi Spinal Cors Injury


Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah
satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien
paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi
pada cidera medulla spinalis akut.
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik
pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat
pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan
dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini
cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera.
Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron
lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi
ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada spinal
cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran untuk
sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium dan saluran
untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium efflux telah
diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan neuron
berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron
disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-
carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates,
serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium,
dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera neurologis
sekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-endorphin,
leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa, mu, dan
delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI. Perawatan
dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan fungsi yang
lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane
phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam arakidonat
dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh siklooksigenase
terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan aktivitas enzimatik
oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid. Lebih spesifik, level
tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI eksperimental, dimana rasio
tromboksan terhadap prostasiklin meningkat abnormal hingga 18 jam.
Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera sekunder oleh karena
terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model eksperimental aliran darah pada
spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level kontrol. Penggunaan steroid dan
analognya dapat meningkatkan pemulihan, kemungkinan berhubungan dengan
inhibisi oleh substansi tersebut terhadap peroksidasi lipid atau supresinya terhadap
pelepasan asam amino eksitasi. Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan
lokasi cedera, antara lain:
a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak
ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah
transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2
dan C3 membutuhkan perhatian penuh karena ketergantungan terhadap
ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung semua aktivitas kebutuhan
sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator
mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan.
Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan
aktivitas seperti mandi, menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai
koordinasi tangan dan mulut yang lebih baik
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari
tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi
duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi
duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus
mampu hidup mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian,
mengemudikan mobil, merawat rumah, dan perawatan diri
b. Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi
pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari
otot adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan
sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari
tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat
12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian
bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.
Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:
a.) T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
b.) T3 Aksilla
c.) T5 Putting susu
d.) T6 Prosesus xifoid
e.) T7, T8 Margin kostal bawah
f.) T10 Umbilikus
g.) T12 Lipat paha

c. Cedera Lumbal
Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
a) L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian
belakang dari bokong
b) L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
c) L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
d) L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
e) L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan
area sadel

d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum,
area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

4. Klasifikasi Berdasarkan Keparahan


a. Klasifikasi Frankel
Grade A : Motoris (-), sensoris (-)
Grade B : Motoris (-), sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : Motoris (+) normal, sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)
Grade A : Motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : Hanya sensoris (+)
Grade C : Motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : Motoris dan sensoris normal.

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang timbul antara lain:
a. Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b. Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia
c. Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :
a) Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan
motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah
mengalami paralisis sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng
kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan
darah diawali dengan resistensi vascular perifer.
b) Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri:
Masalah pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi
peranpasan, beratnya bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang
berperan dalam pernapasan adalah abdominal, interkostal (T1-T11) dan
diafragma. Pada cedera medulla spinalis servikal tinggi, kegagalan
pernapasan akut adalah penyebab utama kematian (Smeltzer, 2001).
Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma:
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah;kehilangan refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi
sikumasih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
h. Cauda equine
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and
hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal
total atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain
total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).

6. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera medulla
spinalis :
a. Syok Spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla
spinalis (areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang
disarafin oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi
parlisis kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah
menurun. Karena ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas,
pernapasan pada otot aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi masalah
pernapasan : penurunan kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan tekanan
parsial karbondioksida, penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan edema
pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien
cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal
(EP) dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek, dan nilai
gas darah abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius,
pernapasan, dan local pada tempat pin).

7. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
a. X-Ray spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
b. CT Scan
Untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural
c. MRI
Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika
faktorpatologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi)
e. Foto rongent thorak
Mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan padadiafragma, atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus
/ototinterkostal)
g. AGD: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi (Batticaca,
2008).

8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis :
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam
posisi lurus:
a) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan
pasien
b) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaanCrutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak
c) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikalstabil ringan
d) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x
ditemui spinal tidak aktif.Tindakan-tidakan untuk mengurangi
pembengkakan pada medula spinalis denganmenggunakan glukortiko
steroid intravena
b. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapatidefisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi
b) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
c) Pemeriksaan diagnostik Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation)
c. Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)
a) Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih
lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis
b) Lakukan resusitasisesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan
kestabilan kardiovaskuler
c) Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medela
d) Tindakan Respiratori
Berikan oksigen untuk mempertahankan PO arterial yang tinggi
Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau
eksistensileher bila diperlukan inkubasi endrotakeal Pertimbangan alat pacu
diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien denganlesi servikal
yang tinggi

9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
a) Aktifitas /Istirahat
Tanda: Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi
Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).

b) Sirkulasi
Gejala: Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
Tanda: Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan
pucat
c) Eliminasi
Tanda: Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena,
emisis berwarna seperti kopi tanah / hematemesis
d) Integritas Ego
Gejala: Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda: Takut, cemas, gelisah, menarik diri
e) Makanan /cairan
Tanda: Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus
paralitik)
f) Higiene
Tanda: Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
(bervariasi)
g) Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flaksid
h) Tanda :
- Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan
pada syok spinal)
- Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok
spinalsembuh)
- Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam
- Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yangterkena karena pengaruh trauma spinal
i) Nyeri /Kenyamanan
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot, hiperstesia tepat di atas daerah trauma.
Tanda: Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral
j) Pernapasan
Gejala : Nafas pendek, kekeurangan oksigen, sulit bernafas
Tanda : Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi
napas, ronki, pucat, sianosis
k) Keamanan
Gejala: Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar)
l) Seksualitas
Gejala : Keinginan untuk kembali berfunfsi normal
Tanda : Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur
(Bastticaca, 2008).

b. Diagnosa Keperawatan
a.) Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
atau paralisisotot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan
untuk membersihkan sekresi
b.) Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto
servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
c.) Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neurovascular
d.) Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
penurunan immobilitas, penurunan sensorik.

c. Intervensi Keperawatan
Dx: Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
atau paralisis otot- otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam pola nafas kemabali efektif
Kriteria Hasil: RR dalam bats normal (12-20 x/mnt), tidak ada tanda-tanda
sianosis, analisa gas darahdalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru
normal.
Intervensi Rasionalisasi
Observasi fungsi pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan tanda vital
catat frekuensi pernapasan, terjadi akibat stress fisiologi dapat menunjukkan
dispnea, atau perubahan tanda- terjadinya spinal syok
tanda vital
Pertahankan perilaku tenang, Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia,
bantu klien untuk kontrol diri yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan
dengan menggunakan
pernapasan lebih lambat dan
dalam
Pertahankan jalan nafas; posisi Membantu mencegah aspirasi/ mempertahankan
kepala tanpa gerak jalan nafas
Observasi warna kulit Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan
yang memerlukan tindakan segera
Kaji distensi perut dan spasme Kelainan penuh pada perut disebabkan karena
otot kelumpuhan diafragma
Lakukan pengukuran Menentukan fungsi-fungsi otot pernapasan,
kapasitas vital, kekeuatan medeteksi adanya kegagalan pernapasan
pernapasan
Pantau Analisa Gas Darah Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi
(AGD) pertukaran gas sebagai contoh hiperventilasi
PaO2 rendah dan PaCo2 meningkat
Berikan oksigen dengan cara Metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi
yang tepat pernapasan
Letakkan kantung resusitasi di Berguna mempertahankan fungsi pernapsan jika
samping tempat tidur dan terjadi gangguan pada alat ventilator secra
manual ventilasi sewaktu- mendadak.
waktu dapat digunakan
Dx: Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame otot
servikal sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang atau
beradaptasi.
Kriteria Hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
skala nyeri 0-4, dapat mengidentifikasi aktivitas yang menurunkan atau
meningkatkan nyeri.

Intervensi Rasionalisasi
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- dan nonfarmakologi lainya telah
ivasif menunjukkan keefektifan dalam mengurangi
nyeri
Istirahatkan leher, atir posis fisiologis dan Posisi fifiologis akan menurunkan kompresi
pasang ban leher saraf leher, pemasangan fiksasi kolar
servikal dapat menjaga kestabilan dalam
melakukan mobilisasi leher.
Lakukan massase pasa sekitar otot leher, Meningkatkan aliran darah dan memebatu
tetapi tidak pada bagian yang sakit suplai darah dan oksigen ke area nyeri leher
akibat spasme otot
Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam pada Meningkatkan asupan oksigen sehingga
saat nyeri muncul akan menurunkan nyeri sekunder dari
iskemia
Memanajemen lingkungan : lingkungan Lingkungan tenag akan menurunkan
yang tenag dan batasi pengunjung stimulus nyeri eksternal dan menganjurkan
klien beristirahat dan pembatasan
pengunjung akan memebantu meningkatkan
oksigen dalam ruangan
Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Mengalihkan nyeri dengan peningkatan
produksi hormone endorphin dan enkefalin
yang dapat memblok nyeri
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengetahuan akan memebanu mengurangi
dan menghubungkan berapa lama nyeri nyeri.
akan berlangsung
Kolaborasi dalam pemberian analgetik Membantu menurnkan nyeri

Dx: Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neurovascular


Tujuan: Dalam waktu 3x 24 jam klien mampu mobilisasi secara perlahan maupun
mandiri.
Kriteria Hasil: Tidak ada kontraktur otot, tidak ada ankilosis sendi, dan tidak ada
penyusutan otot.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji fungsi motorik dan sensorik dengan Lobus frontal dan parietal berisi saraf-
mengobservasi setiap ekstremitas secara saraf yang mengatur fungsi motorik dan
terpisah dengan kekuatan dan gerakan otot, sensorik dan dapat dipengaruhi ileh
serta respon terhadap rangsangan ik=skemia dan peningkatan tekanan
darah
Ubah posisi setiap 2 jam Mencegah terjadinya luka tekan akibat
tidur terlalu lama pada satu sisi
sehingga tertekan dan kekurangan
nutrisi yang dibawa oleh oksigen
Lakukan latihan secara teratur dan letakkan Mencegah deformitas dan komplikasi
telapak kaki klien di lantai saat duduk di kursi seperti foodrop
atau papan penyangga saat tidur di tempat
tidur
Topang kaki saat mengubah posisi dengan Dapat terjadi dislokasi panggung jika
meletakkan bantal di satu sisi saat membalik meletakkan kaki terkulai dan jatuh
klien
Jaga lengan dalam posisi sedikit fleksi Mencegah kontraktur fleksi
Lakukan latihan gerakan berpindah (ROM) Lengan dapat menyebabkan
4x sehari ketidakseimbangan sehingga perlu
dibantu untuk keselamatan dan
keamanan

Dx: Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan


penurunanimmobilitas, penurunan sensorik.
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam diharapkan kerusakan integitas kulit tidak terjadi,
perbaikan integritas kulit.
Kriteria Hasil: Kemerahan tidak ata, dekubitus tidak ada
Intervensi Rasionalisasi
Kaji faktor resiko terjadinya gangguan Salah satunya yaitu immobilisasi,
integritas kulit hilangnya sensasi, Inkontinensia
bladder /bowel
Kaji keadaan pasien setiap 8 jam Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus
Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa) Mengurangi tekanan
Pertahankan kebersihan dan kekeringan Lingkungan yang lembab dan kotor
tempat tidur dan tubuh pasien mempermudah terjadinya kerusakan kulit
Lakukan perawatan kulit pada daerah yang Mempertahankan integritas kulit dan proses
lecet / rusak setiap hari penyembuhan
Kaji status nutrisi pasien dan berikan Mempercepat penyembuhan
makanan dengan tinggi

You might also like