You are on page 1of 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Candida albicans

Menurut Ali (2008), Candida albicans diklasifikasikan sebagai berikut :


Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Famili : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans

Cendawan patogen C. albicans dapat tumbuh setidaknya dengan tiga


bentuk yang berbeda yaitu sel khamir, pseudohifa dan hifa (Sudbery et al. 2004).
Khamir merupakan mikroorganisme bersel satu, berbentuk bulat, dan berdinding
halus. Pseudohifa dan hifa merupakan satu kesatuan yang berbentuk filamen dari
suatu cendawan. C. albicans membentuk koloni berwarna putih. Candida albicans
merupakan cendawan dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua
bentuk yang berbeda, yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi
blastospora (sel khamir) dan sebagai hifa yang akan membentuk pseudohifa (Ali
2008). Fase-fase pertumbuhan dimorfik tersebut diperlihatkan pada Gambar 1 di
bawah ini.

Gambar 1 Pertumbuhan dimorfik Candida albicans (Molero et al. 1998)


4

Karakter Makroskopik dan Mikroskopik


C. albicans jika dibandingkan dari spesies Candida lainnya dapat
dibedakan dengan menggunakan dua tes morfologik sederhana, yaitu
pembentukan tabung kecambah (germ tube) dan khlamidospora. Sel-sel khamir C.
albicans akan mulai membentuk tabung kecambah (germ tube) setelah dilakukan
inkubasi dalam serum selama sekitar 90 menit pada suhu 37ºC (Magdalena 2009).
Sedangkan khlamidospora akan terbentuk saat keadaan lingkungan yang rendah
oksigen, cahaya, suhu dan nutrisi. Khlamidospora merupakan spora berbentuk
besar, dan berdinding tebal, serta memiliki kadar lemak dan karbohidrat yang
tinggi. Khlamidospora ini merupakan spora aseksual yang berperan sebagai
tempat sel penyimpanan (storage cell) (Citiulo et al. 2009). Kedua bentuk
morfologi ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 di bawah ini.

Gambar 2 Sel C. albicans yang membentuk tabung kecambah ketika


dibiakkan di dalam serum (Sudbery 2001)

Gambar 3 Khlamidospora dari C. albicans pada media Corn Meal Agar


(CMA) ( Sonneborn 1999)

C. albicans melakukan asimilasi karbohidrat untuk mendapatkan sumber


karbon dan energi untuk melakukan pertumbuhan sel. Candida albicans
menggunakan glukosa, maltosa, dan sukrosa melalui proses asimilasi ini. Selain
proses asimilasi, C. albicans juga melakukan proses fermentasi pada glukosa,
5

maltosa dan sukrosa (Tjampakasari 2006). Beberapa tahapan khusus untuk


pengidentifikasian terhadap C. albicans terpapar di Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Karakter makrobiologi dan mikrobiologi C. albicans


Metode identifikasi Karakter makrobiologi Karakter mikrobiologi
Candida albicans Candida albicans
Potato dextros agar Berbentuk bulat, Permukaan
halus, Berwarna putih -
Uji natif - Blastospora, Hifa,
Pseudohifa
Uji tabung - Tabung kecambah
kecambah
Sugar assimilation - Glukosa ( + )
medium - Sukrosa ( + )
- Maltosa ( + ) -
- Galaktosa ( + )
- Laktosa ( - )
Corn meal agar - Khlamidospora
Sumber: CMPT (2006); Marinho et al. (2010)

Habitat
Spesies C. albicans merupakan flora normal di saluran pernapasan bagian
atas, saluran pencernaan, saluran kelamin, kulit, kuku, ambing, serta membran
mukosa (mulut, vagina atau dubur) (Hanafi et al. 2010). Spesies ini umumnya
ditemukan sebagai organisme komensal yang dapat menginfeksi manusia dan
hewan. Dalam kondisi normal, bakteri dan cendawan C. albicans akan hidup
secara bersama. Akan tetapi, dalam kondisi yang tidak baik, seperti ketika
kurangnya nutrisi, spesies ini akan berubah bentuk dari bentuk khamir menjadi
filamen (hifa) yang akan membunuh bakteri (Hogan 2002).

Peranan dalam Kesehatan Hewan


Sejumlah khamir dapat menyebabkan berbagai penyakit, baik pada
manusia maupun hewan, seperti sariawan, kandidiasis disseminata, kriptokokosis,
6

dan mastitis (Asfour et al. 2009). Candida albicans dan spesies Candida lainnya
dapat menyebabkan kandidiasis saluran pencernaan pada hewan. Khamir ini
paling sering menginfeksi unggas dan menyebabkan lesi pada mukosa mulut,
esofagus, dan tembolok. Sedangkan pada babi dan anak kuda infeksi yang terjadi
sering menyebabkan luka (ulcer) pada usus (MVM 2005).
Saluran reproduksi pada hewan dapat menjadi sumber dari berbagai
khamir, seperti C. albicans dan Filobasidiella (Cryptococcus) neoformans.
Infeksi oleh kedua spesies ini pernah dilaporkan terjadi pada sapi perah, kerbau,
domba, dan kambing dalam bentuk pyometra, vaginitis, vulvovaginitis, servisitis,
dan endometritis (Osman dan Gabal 1977). Dalam bidang kedokteran hewan telah
tercatat bahwa C. albicans pernah diisolasi pada kasus aborsi pada sapi, mastitis
pada sapi, endometritis pada kuda (Givens dan Marley 2008; Kaszak et al. 2012).
Pada tahun 2002, C. albicans pertama kali dilaporkan menyebabkan terjadinya
endometritis pada kerbau yang memiliki riwayat aborsi. Kerbau yang terinfeksi
menunjukkan adanya tanda-tanda klinis berupa edema, hiperemi pada mukosa
serviks dan eksudat purulenta berwarna putih pada alat kelamin (Pal 2002).
Garoussi et al. (2007) melaporkan bahwa infeksi khamir dapat terjadi pada rongga
servikovaginal dari sapi Frisian Holstein (FH) dengan atau tanpa penyakit
reproduksi. Kejadian aborsi mikotik terjadi peningkatan sebanyak 21% dari semua
jumlah kasus aborsi pada sapi dan telah tercatat di Veterinary Diagnostic
Laboratory Surveys Amerika Serikat (Anderson 2007).
Genus Candida adalah patogen yang menyumbang sekitar 50 sampai 60%
dari semua Candida isolat kultur darah yang dapat menyerang dan merusak
berbagai macam jaringan inang (Wisplinghoff et al. 2004). Infeksi C. albicans
ditandai dengan adanya lesi dan hifa pada organ yang terinfeksi (O'Grady dan
Reade 1993). Infeksi Candida pernah terjadi pada kuda melalui servik maupun
secara hematogen dan dinyatakan sebagai plasentitis mikotik. Lesi yang
ditemukan berupa penebalan pada khorioalantois yang disertai dengan
terbentuknya eksudat. Infeksi ini dapat mengakibatkan terjadinya aborsi pada usia
kebuntingan 8-11 bulan dengan ditemukannya hifa pada plasenta, hati, paru-paru
dan lambung (Givens dan Marley 2008; Critz 2012).
7

Infeksi C. albicans pada Ternak Sapi Perah


Mastitis Mikotik
Mastitis adalah salah satu masalah paling serius dalam peternakan sapi
perah. Sebagian besar kasus mastitis disebabkan oleh bakteri. Tetapi, belum lama
ini telah terjadi peningkatan kasus mastitis mikotik yang umumnya disebabkan
oleh C. albicans dan F. neoformans (Elmagd et al. 2011). Kasus mastitis mikotik
yang disebabkan oleh C. albicans pada sapi di Tanzania mengalami peningkatan
prevalensi dari 1% pada tahun 1971 menjadi 17% pada tahun 2002 (Kivaria dan
Noordhuizen 2006). Lebih dari tiga perempat kasus dari mastitis mikotik
disebabkan oleh spesies Candida, seperti C. albicans, C. glabrata, C. kefyr, C.
tropicalis, C. krusei, dan C. parapsilosis (Lagneau et al. 1996; Tarfarosh dan
Purohit 2008). Belum banyak data mengenai kasus mastitis mikotik yang terjadi
di Indonesia. Hanya tercatat melalui penelitian yang dilakukan oleh Natalia dan
Hastiono (1985) dan Pribadi dan Pramono (1986) bahwa kejadian mastitis mikotik
pada sapi perah disebabkan oleh Candida.
Mastitis mikotik yang terjadi pada sapi perah tergantung pada faktor-faktor
predisposisi penggunaan antibiotika dan imunosupresan untuk jangka waktu yang
lama dan faktor sanitasi yang kurang diperhatikan. Galur khamir yang diisolasi
dari sekresi susu sapi yang didiagnosa sebagai mastitis klinis dan subklinis
memiliki aktivitas enzim leusin arylamilase dan asam fosfatase yang tinggi.
Aktivitas dan karakter kedua enzim ini menjadi faktor virulensi bagi khamir
ketika menginfeksi jaringan kelenjar mamae (Wawron et al. 2011).

Aborsi Mikotik
Aborsi mikotik pada sapi pertama kali dilaporkan pada tahun 1920 oleh
Theobald Smith. Sejak itu, telah terjadi peningkatan yang stabil dari laporan
tentang aborsi yang diakibatkan oleh cendawan Aspergillus fumigatus dengan
tingkat prevalensi sebesar 75% dari kasus aborsi mikotik. Sedangkan 25%
lainnya disebabkan oleh jenis cendawan dalam kelas Phycomycetes dan oleh
spesies dalam genus Candida.
Kasus aborsi pada sapi yang disebabkan oleh Candida spp. saat ini masih
bersifat sporadis. Infeksi ini biasanya terjadi selama musim dingin dan musim
8

semi. Hal ini dikarenakan ketika musim tersebut sapi sering ditempatkan di dalam
kandang yang berisi jerami-jerami yang telah tercemar (Djonne 2007). Penyebab
infeksi dapat masuk ke saluran pernafasan atau pencernaan, kemudian masuk ke
sirkulasi darah dan akhirnya menyebar ke plasenta. Aborsi umumnya dapat terjadi
saat usia kebuntingan antara 6 sampai 8 bulan. Tanda-tanda klinis yang terlihat
berupa retensi plasenta dan plasentitis (Givens dan Marley 2008). Penyebaran
kejadian ini telah dilaporkan terjadi di Inggris, Polandia, Hungaria, Jerman,
Selandia Baru, Israel, India, dan Amerika Serikat. Terisolasinya C. tropicalis
dari abomasum fetus menjadi laporan awal dari rangkaian empat kejadian aborsi
mikotik pada sapi yang disebabkan oleh C. parapsilosis. Rangkaian kejadian ini
telah tercatat pada dokumen New York State College of Veterinary Medicine
(NYSCVM) selama periode 5 tahun (Foley dan Schlafer 1987).

Penggunaan Anticendawan
Infeksi cendawan dapat diobati dengan beberapa obat anticendawan,
seperti ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, parkonazol, enilkonazol, ekonazol,
itrakonazol, flukonazol, griseofulvin, nistatin, ampoterisin B yang dapat diberikan
dalam bentuk krim atau tablet dan diberikan secara topikal ataupun sistemik
(Little et al. 1999). Obat-obat anticendawan tersebut memiliki cara kerja yang
berbeda-beda terhadap sel cendawan seperti yang terpapar di dalam Tabel 2.
Menurut Veen dan Kremer (1992), tidak terdapat bukti yang jelas tentang
efektivitas terapi antimikotik terhadap infeksi khamir pada sapi yang menderita
mastitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McDonald et al. (1980) yang
melakukan pemeriksaan in vitro terhadap sejumlah khamir yang diisolasi dari
kelenjar susu sapi, diperoleh bahwa sebanyak 91 isolat dinyatakan paling peka
terhadap klotrimazol yang diikuti dengan ketokonazol, nistatin, ampoterisin B,
dan mikonazol. Khamir yang paling sensitif adalah C. lusitaniae (85,7%) dan C.
rugosa (31,9%).
9

Tabel 2 Beberapa kelompok obat anticendawan dan sasaran kerja yang


dilakukannya
Kelas Obat* Target
Griseofulvin (o) Menghambat microtubule
sliding
Polyenes Ampoterisin B (iv, t, o) Fungsi membrane barrier
Natamicin (t)
Nistatin (t, o)

Azole Klotrimazol (t) Biosintesis ergosterol


Imidazol Ekonazol (t) 14α-demethylase
Enilkonazol (t)
Ketokonazol (t, o)
Mikonazol (t)
Parkonazol (o)

Triazol Flukonazol (o, iv)


Itrakonazole (o, iv)

Pyrimidin Flusitosin (o, iv) Sintesis DNA dan RNA


*o, oral; t, topical; iv, intravenous
Sumber: Bossche et al. (2003)

Sapi yang didiagnosa menderita mastitis yang disebabkan oleh Candida


spp. pernah dilakukan pengobatan menggunakan thiabendazol dan mikonazol.
Tingkat kesembuhan yang diperoleh mencapai 78-80% (Vandamme 1983).
Beberapa kejadian mastitis yang disebabkan oleh Candida, Cryptococcus,
Trichosporon, dan Torulopsis dapat diobati menggunakan nistatin dan klotrimazol
secara intramamari (Yeo et al. 1989).

Golongan Azol
Anticendawan azol diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu imidazol
(mikonazol dan ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol). Kerja
anticendawan ini menghambat biosintesis ergosterol dengan menghalangi kerja
enzim 14-α-demithilase, suatu enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 dan
dibutuhkan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol
menyebabkan ketidakstabilan membran sehingga menurunkan aktivitas enzim
yang berkaitan dengan membran dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
serta hambatan pertumbuhan dan perbanyakan sel (Ford 2004).
10

Ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil


farmakologik yang sama. Sedangkan untuk flukonazol memiliki struktur kimia
yang unik karena ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilitasnya yang lebih
rendah (Herman 1996). Struktur molekul masing-masing golongan azol tersebut
terpapar pada Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4 Struktur molekul golongan azol (Bossche et al. 2003)

- Ketokonazol
Saat ini kejadian infeksi cendawan sistemik telah meningkat seiring
dengan meningkatnya individu-individu immunocompromised (Nakayama et al.
2010). Menurut Fraser et al. (1992) dan Ozcan et al. (2006), spesies Candida
terlibat dalam kasus kandidiasis superfisial dan sistemik yang menerima
pemberian antibiotika spektrum luas, kortikosteroid dan obat imunosupresif.
Ketokonazol merupakan obat antimikotik sintetik berspektrum luas. Obat ini
membutuhkan lingkungan asam agar terjadi penyerapan yang optimal sehingga
H2-blocker atau antasid tidak boleh diberikan secara bersamaan. Biasanya
ketokonazol ini sering dikombinasikan dengan amfoterisin B untuk mengatasi
kasus kandidiasis sistemik yang serius (MVM 2005).

- Flukonazol
Flukonazol telah menjadi terapi untuk mengobati infeksi cendawan yang
disebabkan oleh spesies Candida, kecuali yang disebabkan oleh Candida krusei
(Tollemar et al. 1999). Pemberian flukonazol telah terbukti efektif menurunkan
11

infeksi akibat C. albicans, C. tropicalis, dan C. parapsilosis pada pasien yang


diikuti dengan jumlah neutrofil yang rendah (Tregan 2011).

- Itrakonazol
Itrakonazol adalah anticendawan triazol yang lebih baru dan memiliki
spektrum kerja luas. Tidak seperti flukonazol, obat ini memiliki aktivitas in vitro
terhadap berbagai macam spesies Candida, khususnya C. glabrata dan C. krusei
(Fidel et al. 1999). Itrakonazol telah menggantikan ketokonazol dalam pengobatan
mikosis karena memiliki spektrum yang lebih luas, potensi yang lebih besar, dan
efek samping yang lebih sedikit (MVM 2005).

Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotika kelompok makrolida polien yang
memiliki tujuh ikatan rangkap konjugasi pada posisi trans- dan 3-amino-3,6-
dideoksimanosa yang berhubungan melalui ikatan glikosida (Herman 1996),
sebagaimana terpapar pada Gambar 5 dibawah ini.

Gambar 5 Struktur molekul amfoterisin B (Bossche et al. 2003)

Amfoterisin B berikatan dengan ergosterol sehingga membran sel menjadi


rentan dan mengakibatkan rusaknya fungsi pelindung membran, hilangnya unsur-
unsur sel yang penting, mengganggu metabolisme dan juga kerusakan oksidatif
terhadap sel cendawan (Dumasari 2008). Kandidiasis invasif biasanya
memerlukan resep amfoterisin B yang diberikan secara intravena dan obat ini
dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dengan flusitosin melalui oral untuk
menambah efek pengobatan. Sedangkan pemakaian secara topikal hanya
bermanfaat pada kandidiasis kulit (Herman 1996; Magdalena 2009).
12

Nistatin
Nistatin merupakan anticendawan dari golongan polien yang aman
terhadap sel mamalia. Nistatin bekerja mengikat sterol (terutama ergosterol) pada
membran sel cendawan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ergosterol
berkompetisi dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari nistatin sehingga
menghasilkan perubahan permeabilitas membran sel cendawan, diikuti dengan
kebocoran dari komponen-komponen intraseluler dan mengakibatkan kematian
cendawan (Anonim 2009; Ridawati et al. 2011). Struktur molekul nistatin mirip
dengan amfoterisin B. Namun nistatin hanya memiliki enam ikatan rangkap
konjugasi, hal ini terpapar pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6 Struktur molekul nistatin (Bossche et al. 2003)

Griseofulvin
Griseofulvin merupakan golongan miscellaneous dari suatu anticendawan
dan menjadi satu-satunya obat dari jenis golongan ini (Ali 2008). Obat ini
mematikan sel cendawan muda yang bermetabolisme aktif dan hanya bersifat
menghambat pertumbuhan sel cendawan yang lebih tua. Perubahan morfologik
yang menonjol sebagai akibat kerja dari griseofulvin adalah produksi sel-sel inti
ganda saat obat menghambat mitosis sel cendawan dengan pemutusan berkas
mitotik melalui interaksi mikrotubulus terpolimerasi (Herman 1996).
Griseofulvin memiliki waktu paruh didalam plasma lebih kurang satu hari
dan sekitar 50% dari dosis yang diberikan secara oral dapat ditemukan di dalam
urin setelah lima hari dalam bentuk metabolitnya, yaitu 6-desmethyl-griseofulvin
(Dumasari 2008). Struktur molekul kimia dari griseofulvin ini dapat dilihat pada
Gambar 7 dibawah ini.
13

Gambar 7 Struktur molekul griseofulvin (Bossche et al. 2003)

Resistensi Spesies Candida terhadap Anticendawan


Beberapa tahun terakhir ini telah banyak laporan peningkatan resistensi
spesies Candida terhadap obat anticendawan. Secara umum, isolat spesies
Candida yang telah dianalisis menunjukkan resistensi terhadap flukonazol dan
itrakonazol sebesar 2,5% dan 9%. C. glabrata dan C. krusei pernah dilaporkan
tahan terhadap golongan azol secara in vitro dengan menunjukkan nilai MIC
sebesar 164 µg/mL. Selain itu, pada beberapa galur C. tropicalis juga
menunjukkan resistensi terhadap golongan azol yang diperlihatkan secara in vitro.
Sedangkan resistensi C. albicans terhadap flukonazol dan itrakonazol dapat
muncul jika telah terjadi pengobatan jangka panjang sebagai profilaksis.
Berdasarkan data dari Antifungal Surveillance Study (ARTEMIS ), telah terjadi
peningkatan resistensi C. glabrata terhadap flukonazol sebesar 9% pada rentang
waktu 1992-2001 menjadi 14% pada rentang waktu 2001-2007 (Perea dan
Patterson 2002; Michael dan Pfaller 2012).
Penelitian terbaru mengenai resistensi C. albicans dan C. glabrata
terhadap beberapa anticendawan golongan azol menunjukkan setidaknya ada tiga
mekanisme resistensi yang dikenal, yaitu perubahan pada enzim P-450 lanosterol
demethylase, perubahan ∆5-6-sterol desaturase, dan ketergantungan energy (energy
dependent) yang ada pada mekanisme efflux pumps (Pinjon et al. 2003).
Perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase terjadi saat adanya mutasi
pada gen ERG11 (kode untuk enzim 14-α-demethylase). Pengkodean gen pada
enzim ini mencegah terjadinya pengikatan pada bagian enzimatik sehingga
menyebabkan penurunan kadar obat pada sel sasaran. Ergosterol merupakan sterol
utama membran sel cendawan dan seringkali menjadi sasaran kerja bagi obat-obat
anticendawan. Resistensi terjadi karena komposisi sterol ini mengalami perubahan
sehingga menyebabkan berkurangnya penyerapan agen anticendawan ke dalam
14

sel. Energi yang ada pada mekanisme efflux pumps merupakan karakteristik
terjadinya resistensi pada bakteri, khamir, dan sel mamalia. Mekanisme ini
memberikan kemampuan untuk memompa azol keluar dari sel target (Kanafani
dan Perfect 2008; Pinjon et al. 2003).
Berbagai golongan obat anticendawan memiliki target kerja yang berbeda-
beda terhadap sel Candida seperti yang terpapar pada Gambar 8. Mekanisme yang
dapat mengembangkan resistensi tergantung pada cara kerja obat anticendawan,
termasuk saat berkurangnya penyerapan obat, keluarnya obat melalui efflux
pumps, dan berkurangnya afinitas pada target enzim (Shuter 1999).

Gambar 8 Diagram skematik dari sel C. albicans sebagai sasaran obat


anticendawan (Ali 2008)

Spesies Candida yang terpapar anticendawan telah menunjukkan


penurunan aktivitas fosfolipase secara signifikan. Penurunan aktivitas ini terjadi
pada C. albicans dan C. tropicalis terhadap anticendawan nistatin dan amfoterisin
B (Anil dan Samaranayake 2003). Cara yang terbaik untuk meningkatkan efek
terapi obat anticendawan adalah dengan meningkatkan sistem kekebalan inang,
Contohnya dengan melakukan kombinasi antara granulocyte macrophage colony-
stimulating factor (sitokin) dan anticendawan flukonazol (Kothavade et al. 2010).
Resistensi anticendawan dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu resistensi
klinis dan resitensi in vitro. Resistensi klinis menandakan kurangnya tanggap
klinis terhadap pemberian obat anticendawan yang digunakan. Kegagalan klinis
terjadi karena rendahnya tingkat obat dalam serum. Sedangkan resistensi in vitro
terjadi saat cendawan diuji secara in vitro yang dikelompokan lagi ke dalam
15

bentuk resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer dikenal sebagai
resistensi intrinsik atau bawaan yang terjadi ketika organisme tersebut secara
alami resisten terhadap anticendawan. Bentuk ini diperlihatkan oleh C. krusei
yang dikenal resisten terhadap flukonazol. Resistensi sekunder atau dapatan
terjadi ketika isolat yang awalnya tidak resisten menjadi resisten terhadap obat
anticendawan (Fidel et al. 1999).
Keadaan sistem imun yang kurang baik menjadi salah satu faktor khamir
tahan atau relatif tahan terhadap obat anticendawan. Ada banyak laporan kasus
yang menggambarkan adanya kolonisasi dan infeksi pada pasien
immunocompromised yang menggunakan obat anticendawan jangka panjang, hal
ini terjadi pada C. krusei dan C. glabrata yang telah resisten terhadap
anticendawan secara in vitro (Wingard 1995). Bahkan baru-baru ini dilaporkan
bahwa C. albicans, C. guilliermondi, dan F. neoformans resisten terhadap
ampoterisin B (Fidel et al. 1999). Selama ini, dalam beberapa kasus telah
dilaporkan resistensi primer secara in vitro terhadap flukonazol terjadi pada C.
krusei dan resistensi sekundernya paling umum terjadi pada C. glabrata.
Resistensi in vitro terhadap ketokonazol dan itrakonazol pada C. albicans dan C.
glabrata masih jarang terjadi, yakni hanya sekitar <15%. Demikian pula halnya
resistensi yang diperlihatkan oleh C. albicans terhadap flukonazol (Wingard 1994;
Rex et al. 1995).

You might also like