Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Candida albicans
Habitat
Spesies C. albicans merupakan flora normal di saluran pernapasan bagian
atas, saluran pencernaan, saluran kelamin, kulit, kuku, ambing, serta membran
mukosa (mulut, vagina atau dubur) (Hanafi et al. 2010). Spesies ini umumnya
ditemukan sebagai organisme komensal yang dapat menginfeksi manusia dan
hewan. Dalam kondisi normal, bakteri dan cendawan C. albicans akan hidup
secara bersama. Akan tetapi, dalam kondisi yang tidak baik, seperti ketika
kurangnya nutrisi, spesies ini akan berubah bentuk dari bentuk khamir menjadi
filamen (hifa) yang akan membunuh bakteri (Hogan 2002).
dan mastitis (Asfour et al. 2009). Candida albicans dan spesies Candida lainnya
dapat menyebabkan kandidiasis saluran pencernaan pada hewan. Khamir ini
paling sering menginfeksi unggas dan menyebabkan lesi pada mukosa mulut,
esofagus, dan tembolok. Sedangkan pada babi dan anak kuda infeksi yang terjadi
sering menyebabkan luka (ulcer) pada usus (MVM 2005).
Saluran reproduksi pada hewan dapat menjadi sumber dari berbagai
khamir, seperti C. albicans dan Filobasidiella (Cryptococcus) neoformans.
Infeksi oleh kedua spesies ini pernah dilaporkan terjadi pada sapi perah, kerbau,
domba, dan kambing dalam bentuk pyometra, vaginitis, vulvovaginitis, servisitis,
dan endometritis (Osman dan Gabal 1977). Dalam bidang kedokteran hewan telah
tercatat bahwa C. albicans pernah diisolasi pada kasus aborsi pada sapi, mastitis
pada sapi, endometritis pada kuda (Givens dan Marley 2008; Kaszak et al. 2012).
Pada tahun 2002, C. albicans pertama kali dilaporkan menyebabkan terjadinya
endometritis pada kerbau yang memiliki riwayat aborsi. Kerbau yang terinfeksi
menunjukkan adanya tanda-tanda klinis berupa edema, hiperemi pada mukosa
serviks dan eksudat purulenta berwarna putih pada alat kelamin (Pal 2002).
Garoussi et al. (2007) melaporkan bahwa infeksi khamir dapat terjadi pada rongga
servikovaginal dari sapi Frisian Holstein (FH) dengan atau tanpa penyakit
reproduksi. Kejadian aborsi mikotik terjadi peningkatan sebanyak 21% dari semua
jumlah kasus aborsi pada sapi dan telah tercatat di Veterinary Diagnostic
Laboratory Surveys Amerika Serikat (Anderson 2007).
Genus Candida adalah patogen yang menyumbang sekitar 50 sampai 60%
dari semua Candida isolat kultur darah yang dapat menyerang dan merusak
berbagai macam jaringan inang (Wisplinghoff et al. 2004). Infeksi C. albicans
ditandai dengan adanya lesi dan hifa pada organ yang terinfeksi (O'Grady dan
Reade 1993). Infeksi Candida pernah terjadi pada kuda melalui servik maupun
secara hematogen dan dinyatakan sebagai plasentitis mikotik. Lesi yang
ditemukan berupa penebalan pada khorioalantois yang disertai dengan
terbentuknya eksudat. Infeksi ini dapat mengakibatkan terjadinya aborsi pada usia
kebuntingan 8-11 bulan dengan ditemukannya hifa pada plasenta, hati, paru-paru
dan lambung (Givens dan Marley 2008; Critz 2012).
7
Aborsi Mikotik
Aborsi mikotik pada sapi pertama kali dilaporkan pada tahun 1920 oleh
Theobald Smith. Sejak itu, telah terjadi peningkatan yang stabil dari laporan
tentang aborsi yang diakibatkan oleh cendawan Aspergillus fumigatus dengan
tingkat prevalensi sebesar 75% dari kasus aborsi mikotik. Sedangkan 25%
lainnya disebabkan oleh jenis cendawan dalam kelas Phycomycetes dan oleh
spesies dalam genus Candida.
Kasus aborsi pada sapi yang disebabkan oleh Candida spp. saat ini masih
bersifat sporadis. Infeksi ini biasanya terjadi selama musim dingin dan musim
8
semi. Hal ini dikarenakan ketika musim tersebut sapi sering ditempatkan di dalam
kandang yang berisi jerami-jerami yang telah tercemar (Djonne 2007). Penyebab
infeksi dapat masuk ke saluran pernafasan atau pencernaan, kemudian masuk ke
sirkulasi darah dan akhirnya menyebar ke plasenta. Aborsi umumnya dapat terjadi
saat usia kebuntingan antara 6 sampai 8 bulan. Tanda-tanda klinis yang terlihat
berupa retensi plasenta dan plasentitis (Givens dan Marley 2008). Penyebaran
kejadian ini telah dilaporkan terjadi di Inggris, Polandia, Hungaria, Jerman,
Selandia Baru, Israel, India, dan Amerika Serikat. Terisolasinya C. tropicalis
dari abomasum fetus menjadi laporan awal dari rangkaian empat kejadian aborsi
mikotik pada sapi yang disebabkan oleh C. parapsilosis. Rangkaian kejadian ini
telah tercatat pada dokumen New York State College of Veterinary Medicine
(NYSCVM) selama periode 5 tahun (Foley dan Schlafer 1987).
Penggunaan Anticendawan
Infeksi cendawan dapat diobati dengan beberapa obat anticendawan,
seperti ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, parkonazol, enilkonazol, ekonazol,
itrakonazol, flukonazol, griseofulvin, nistatin, ampoterisin B yang dapat diberikan
dalam bentuk krim atau tablet dan diberikan secara topikal ataupun sistemik
(Little et al. 1999). Obat-obat anticendawan tersebut memiliki cara kerja yang
berbeda-beda terhadap sel cendawan seperti yang terpapar di dalam Tabel 2.
Menurut Veen dan Kremer (1992), tidak terdapat bukti yang jelas tentang
efektivitas terapi antimikotik terhadap infeksi khamir pada sapi yang menderita
mastitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh McDonald et al. (1980) yang
melakukan pemeriksaan in vitro terhadap sejumlah khamir yang diisolasi dari
kelenjar susu sapi, diperoleh bahwa sebanyak 91 isolat dinyatakan paling peka
terhadap klotrimazol yang diikuti dengan ketokonazol, nistatin, ampoterisin B,
dan mikonazol. Khamir yang paling sensitif adalah C. lusitaniae (85,7%) dan C.
rugosa (31,9%).
9
Golongan Azol
Anticendawan azol diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu imidazol
(mikonazol dan ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol). Kerja
anticendawan ini menghambat biosintesis ergosterol dengan menghalangi kerja
enzim 14-α-demithilase, suatu enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 dan
dibutuhkan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol
menyebabkan ketidakstabilan membran sehingga menurunkan aktivitas enzim
yang berkaitan dengan membran dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas
serta hambatan pertumbuhan dan perbanyakan sel (Ford 2004).
10
- Ketokonazol
Saat ini kejadian infeksi cendawan sistemik telah meningkat seiring
dengan meningkatnya individu-individu immunocompromised (Nakayama et al.
2010). Menurut Fraser et al. (1992) dan Ozcan et al. (2006), spesies Candida
terlibat dalam kasus kandidiasis superfisial dan sistemik yang menerima
pemberian antibiotika spektrum luas, kortikosteroid dan obat imunosupresif.
Ketokonazol merupakan obat antimikotik sintetik berspektrum luas. Obat ini
membutuhkan lingkungan asam agar terjadi penyerapan yang optimal sehingga
H2-blocker atau antasid tidak boleh diberikan secara bersamaan. Biasanya
ketokonazol ini sering dikombinasikan dengan amfoterisin B untuk mengatasi
kasus kandidiasis sistemik yang serius (MVM 2005).
- Flukonazol
Flukonazol telah menjadi terapi untuk mengobati infeksi cendawan yang
disebabkan oleh spesies Candida, kecuali yang disebabkan oleh Candida krusei
(Tollemar et al. 1999). Pemberian flukonazol telah terbukti efektif menurunkan
11
- Itrakonazol
Itrakonazol adalah anticendawan triazol yang lebih baru dan memiliki
spektrum kerja luas. Tidak seperti flukonazol, obat ini memiliki aktivitas in vitro
terhadap berbagai macam spesies Candida, khususnya C. glabrata dan C. krusei
(Fidel et al. 1999). Itrakonazol telah menggantikan ketokonazol dalam pengobatan
mikosis karena memiliki spektrum yang lebih luas, potensi yang lebih besar, dan
efek samping yang lebih sedikit (MVM 2005).
Amfoterisin B
Amfoterisin B merupakan antibiotika kelompok makrolida polien yang
memiliki tujuh ikatan rangkap konjugasi pada posisi trans- dan 3-amino-3,6-
dideoksimanosa yang berhubungan melalui ikatan glikosida (Herman 1996),
sebagaimana terpapar pada Gambar 5 dibawah ini.
Nistatin
Nistatin merupakan anticendawan dari golongan polien yang aman
terhadap sel mamalia. Nistatin bekerja mengikat sterol (terutama ergosterol) pada
membran sel cendawan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ergosterol
berkompetisi dengan kolesterol dan menjadi target kerja dari nistatin sehingga
menghasilkan perubahan permeabilitas membran sel cendawan, diikuti dengan
kebocoran dari komponen-komponen intraseluler dan mengakibatkan kematian
cendawan (Anonim 2009; Ridawati et al. 2011). Struktur molekul nistatin mirip
dengan amfoterisin B. Namun nistatin hanya memiliki enam ikatan rangkap
konjugasi, hal ini terpapar pada Gambar 6 dibawah ini.
Griseofulvin
Griseofulvin merupakan golongan miscellaneous dari suatu anticendawan
dan menjadi satu-satunya obat dari jenis golongan ini (Ali 2008). Obat ini
mematikan sel cendawan muda yang bermetabolisme aktif dan hanya bersifat
menghambat pertumbuhan sel cendawan yang lebih tua. Perubahan morfologik
yang menonjol sebagai akibat kerja dari griseofulvin adalah produksi sel-sel inti
ganda saat obat menghambat mitosis sel cendawan dengan pemutusan berkas
mitotik melalui interaksi mikrotubulus terpolimerasi (Herman 1996).
Griseofulvin memiliki waktu paruh didalam plasma lebih kurang satu hari
dan sekitar 50% dari dosis yang diberikan secara oral dapat ditemukan di dalam
urin setelah lima hari dalam bentuk metabolitnya, yaitu 6-desmethyl-griseofulvin
(Dumasari 2008). Struktur molekul kimia dari griseofulvin ini dapat dilihat pada
Gambar 7 dibawah ini.
13
sel. Energi yang ada pada mekanisme efflux pumps merupakan karakteristik
terjadinya resistensi pada bakteri, khamir, dan sel mamalia. Mekanisme ini
memberikan kemampuan untuk memompa azol keluar dari sel target (Kanafani
dan Perfect 2008; Pinjon et al. 2003).
Berbagai golongan obat anticendawan memiliki target kerja yang berbeda-
beda terhadap sel Candida seperti yang terpapar pada Gambar 8. Mekanisme yang
dapat mengembangkan resistensi tergantung pada cara kerja obat anticendawan,
termasuk saat berkurangnya penyerapan obat, keluarnya obat melalui efflux
pumps, dan berkurangnya afinitas pada target enzim (Shuter 1999).
bentuk resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer dikenal sebagai
resistensi intrinsik atau bawaan yang terjadi ketika organisme tersebut secara
alami resisten terhadap anticendawan. Bentuk ini diperlihatkan oleh C. krusei
yang dikenal resisten terhadap flukonazol. Resistensi sekunder atau dapatan
terjadi ketika isolat yang awalnya tidak resisten menjadi resisten terhadap obat
anticendawan (Fidel et al. 1999).
Keadaan sistem imun yang kurang baik menjadi salah satu faktor khamir
tahan atau relatif tahan terhadap obat anticendawan. Ada banyak laporan kasus
yang menggambarkan adanya kolonisasi dan infeksi pada pasien
immunocompromised yang menggunakan obat anticendawan jangka panjang, hal
ini terjadi pada C. krusei dan C. glabrata yang telah resisten terhadap
anticendawan secara in vitro (Wingard 1995). Bahkan baru-baru ini dilaporkan
bahwa C. albicans, C. guilliermondi, dan F. neoformans resisten terhadap
ampoterisin B (Fidel et al. 1999). Selama ini, dalam beberapa kasus telah
dilaporkan resistensi primer secara in vitro terhadap flukonazol terjadi pada C.
krusei dan resistensi sekundernya paling umum terjadi pada C. glabrata.
Resistensi in vitro terhadap ketokonazol dan itrakonazol pada C. albicans dan C.
glabrata masih jarang terjadi, yakni hanya sekitar <15%. Demikian pula halnya
resistensi yang diperlihatkan oleh C. albicans terhadap flukonazol (Wingard 1994;
Rex et al. 1995).