Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi RSUD Bayu asih
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan acuan kepada para perawat dalam memberikan Asuhan
Keperawatan secara komprehensif pada pasien appendicitis perporasi post
op laparatomi.
BAB II
KONSEP DASAR
6
kadang hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan radang hanya terbatas
pada mukosa.
b. Apendiksitis akut purulenta (supuratif), disertai pembentukan nanah yang
berlebihan.
c. apendiksitis ganggrenosa terjadi jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi
nekrosis dan pembusukan disebut.
Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya pada kecelakaan
atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun permukaan
apendiks. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gajala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
2 Apendisitis kronik.
Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Apendiksitis akut jika tidak
mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi apendiksitis kronis. Terdapat
dua jenis apendiksitis, yaitu :
a. Apendiksitis kronik focalis, Peradangan masih bersifat local, yaitu
fibrosis jaringan sub mukosa, gejala klinis pada umumnya tidak tampak
b. Apendiksitis kronis obliteratif : Terjadi fibrosis yang luas sepanjang
apendiks pada jarigan mukosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen), terutama pada bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir
pada bagian itu
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.
8
Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah
sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu
tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka
untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau
pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus
halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang
memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus
dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat
kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder
yang memuat sela cangkir.
Usus besar terdiri dari :
1. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup
ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit,
berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga bagian, yaitu :
a. Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b. Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke
tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.
c. Kolon desenden
10
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rektum.
3. Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan
panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke
eksterior di anus.
b. Anatomi Apendiks
c. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam
apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam
sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,
maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).
2.2.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus
terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yangberdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
2.2.7 Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
13
dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot
dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi
dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri
tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat
diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.
nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus
kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi
kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa
dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.
Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau
proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia
mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan
tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
2.2.8 Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan (akhyar yayan, 2008 ), analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak
dipilih oleh para ahli bedah.
14
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
b. Tujuan Balutan
1. Meningkatkan penyembuhan luka dengan mengabsorpsi dan menjaga
kebersihan luka
2. Melindungi luka dari kontaminasi
3. Rasa aman dan nyaman bagi klien dan orang lain di sekitarnya
4. Menutupi keadaan luka yang tidak menyenangkan
c. Balutan Luka
Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang
penyembuhan luka. Apabila balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka,
maka balutan tersebut dapat mengganggu penyembuhan luka. Pilihan jenis
balutan dan metode pembalutan luka akan mempengaruhi kemajuan
penyembuhan luka. Karakteristik balutan luka yang ideal :
1. Dapat menyerap drainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat
15
2. Tidak melekat
3. Impermeable terhadap bakteri
4. Mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada luka
5. Penyekat suhu
6. Non toksik dan non alergenik
7. Nyaman dan mudah disesuaikan
8. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut
9. Biaya ringan
10. Awet
11.Pada luka operasi dengan penyembuhan primer, umumnya balutan
dibuka segera setelah drainase berhenti. Sebaliknya pada
penyembuhan skunder, balutan dapat menjadi sarana untuk
memindahkan eksudat dan jaringan nekrotik secara mekanik.
d. Memfiksasi Balutan
Perawat dapat menggunakan plester, tali atau perban, atau balutan
skunder dan pengikat kain untuk memfiksasi balutan pada luka. Pilihannya
tergantung dari ukuran luka, lokasi, ada tidaknya drainase, frekuensi
penggantian balutan, dan tingkat aktifitas pasien. Perawat paling sering
menggunakan plester untukmemfiksasi balutan jika klien tidak alergi
terhadap plester. Kulit yang sensitive terhadapplester perekat dapat
mengalami inflamasi dan ekskoriasi yang sangat berat dan bahkan dapat
terlepas dari kulit ketika plester diangkat.
f. Persiapan Pasien
1. beri tahu informasi tentang rencana tindakan dengan komunoikasi
teurapetik
2. atur posisi pasien sesuai kebutuhan dengan memperhatikan
kenyamanan dan privacy klien.
g. Prosedur Kerja
16
h. Evaluasi
1. Mengevaluasi adanya tanda-tanda infeksi dan adanya cairan luka
2. Mengevaluasi respon serta toleransi klien selama dan sesudah
prosedur
3. Mengevaluasi adanya tanda-tanda alergi
Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita
akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana
sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang
memperberat dan memperingan.
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka
juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
18
7. Pathways
Apendiks
Obstruksi
Mukosa terbendung
Apendiks teregang
Tekanan intraluminal
Aliran darah terganggu
Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks
Appendicitis
Pembedahan operasi
- Keterbatasaan Luka insisi Peningkatan paparan
Mobilitas fisik lingkungan patogen
Slow pain
Dorong istirahat
psikologis)
b. Intoleransi aktivitas b/d NOC : NIC :
keterbatasan aktivitas fisik Energy conservation Activity Therapy
Definisi : Ketidakcukupan energu Self Care : ADLs Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
secara fisiologis maupun psikologis Kriteria Hasil : dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
untuk meneruskan atau Berpartisipasi dalam aktivitas fisik Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
menyelesaikan aktifitas yang diminta tanpa disertai peningkatan mampu dilakukan
atau aktifitas sehari hari. tekanan darah, nadi dan RR Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
Mampu melakukan aktivitas sehari yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
Batasan karakteristik : hari (ADLs) secara mandiri dan social
a. melaporkan secara verbal Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
adanya kelelahan atau sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
kelemahan. diinginkan
b. Respon abnormal dari tekanan Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
darah atau nadi terhadap seperti kursi roda, krek
aktifitas Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
c. Perubahan EKG yang Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
menunjukkan aritmia atau luang
iskemia Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
d. Adanya dyspneu atau kekurangan dalam beraktivitas
ketidaknyamanan saat Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
27
beraktivitas. beraktivitas
Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
Faktor factor yang berhubungan : dan penguatan
Tirah Baring atau imobilisasi Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
Kelemahan menyeluruh
Ketidakseimbangan antara Energy Management
suplei oksigen dengan Observasi adanya pembatasan klien dalam
kebutuhan melakukan aktivitas
Gaya hidup yang Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
dipertahankan. terhadap keterbatasan
Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien
28
BAB III
PEMBAHASAN
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : sunda
No RM : 505900
C . Riwayat Keluarga
GENOGRAM
30
Keterangan
31
1. Data Umum
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis (Eye : 4, Verbal: 5 , Motorik : 6)
TD : 150/8-90 mmHg
RR : 24x/ Menit
N : 90x/ Menit
T : 36 0 C
Skala nyeri : 3 (0-10)
MK : Nyeri Akut
2. Sistem Respirasi
Frekuensi pernafasan 24 x/ menit dengan irama teratur dan bentuk dada
simetris, suara nafas vesikuler dan tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
nyeri dan suara paru sonor.
MK: Tidak ada masalah keperawatan
3. Sistem Kardiovaskuler
Frekuensi denyut nadi 90x /menit, irama teratur tidak terdapat mur-mur,
denyut nadi kuat dan CRT < 2 detik.
MK : tidak ada masalah keperawatan
4. Sistem Perkemihan
Volume urine 950 ml/ 24 jam tidak terdapat distensi bladder
MK : Tidak ada masalah Keperawatan.
5. Sistem Pencernaan
Insfeksi : Bentuk simetris terdapat luka operasi Apendiktomy luka
tertutup kain kasa dengan jahitan rapi,luka tampak masih basah tidak ada
nanah,kemerahan dan bengkak,panjang luka sekitar 20 cm.
Auskultasi : paristaltik usus 17x/mnt
Perkusi : Tympani
Palpasi : Tidak ada pembesaran hati tidak ada pembesaran ginjal
maupun limfa ,suhu sekitar luka hangat,tidak ada distensi kandung kemih.
MK : Nyeri Akut
32
6. Sistem Muskuloskeletal
R L
a. Pemeriksaan Fisik 5 5
4 4
ket:
1 Otot tidak mampu bergerak
2 Ada kontraksi namun tidak dapat bergerek
3 Dapat menggerakan otot dibagian yang lemah sesuai perintah
namun jika ditahan otot tidak mampu bergerak
4 Dapat menggerakan otot dengan tahanan minimal
5 Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan
6 Bebas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal
MK : Tidak Ada Masalah
7. Sistem Integumen
Terdapat luka bekas operasi di bagian abdomen dibalut perban, dan
adanya nyeri operasi pada garis tengah operasi.
MK : Resiko infeksi b.d Luka Insisi
8. Sistem Endokrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
MK : Tidak ada masalah
9. Sistem Neurobehaviour
a. Penglihatan
mata bersih , bentuk normal, lensa mata jernih
b. Pendengaran
Bentuk simetris kanan dan kiri. Tidak ada seruman. Lubang telinga
tampak bersih., Tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
c. Penghidu
Tidak terlihat akumulasi secret, bentuk hidung simetris
10. Pengkajian Psikososial
a. Persepsi klien terhadap klien :
b. Reaksi saat interaksi
Kooperatif ( +) Tidak kooperatif ( )
c. Status emosional
Tenang ( ) Cemas ( + ) Marah ( )
Menarik Diri ( ) Tidak Sabar ( ) dan lainnya ( )
33
4.1.5 Terapi
34
1-2 mnt
Data Obyektif : Impuls bersinapsis di substansia
35
observasi
- Klien tampak meringis
Impuls melewati traktus
ketika dibersihkan lukanya
- Kondisi luka masih basah spinothalamus.
- Tidak ada kemerahan
- Tidak ada nanah
- Tidak bengkak pada luka
Impuls masuk ke formation
operasi retikularis
- IVFD RL gtt 20x/Menit
- T: 37,40C.
- RR: 20x/m,
- Tekanan Darah: 150/90 Nyeri
- Nadi: 87x/m.
- Nyeri Skala 3 rentang dari
1 sampai 10
jarang bergerak.
- Kesadaran : Compos
Mentis (Eye : 4, Verbal: 5 intoleransi aktivitas
Motorik : 6)
- IVFD RL gtt 20x/Menit
- T: 37,40C.
- RR: 20x/m,
- Tekanan Darah: 140/90
- Nadi: 87x/m.
Tingkat ketergantungan : III
(Total care)
Skala ROM : 3 (Rentang 1-5)
normal
Menunjukkan perilaku hidup Infection Protection (proteksi terhadap
sehat infeksi)
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
Monitor kerentanan terhadap infeksi
Batasi pengunjung
Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
Pertahankan teknik isolasi k/p
Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
Dorong istirahat
42
dipertahankan.
1
47
4.2 Evaluasi
Evaluasi Tgl 17 Desember 2018 jam 08.00 s/d 14-00
No. Evaluasi
Diagnosa
1 S: klien mengatakan masih nyeri pada luka operasi
‘- nyeri seperti teriris iris diabdomen bawah
‘- klien mengatakan nyeri berkurang ketika napas dalam
O:
- Klien tampak menahan nyeri
- Klien tampak tirah baring
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Skala 3 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
2 Evaluasi
S: klien Mengatakan masih nyeri pada luka operasinya
49
O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Terdapat luka operasi diabdomen bawah
- Luka operasi kira kira 20 cm
- Tertutup kasa
- Luka operasi masih basah
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
2 Evaluasi
S: klien Mengatakan nyeri berkurang
O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
51
BAB IV
PEMBANDING DENGAN KASUS
Teori Praktik
Alat: Alat:
1. 1 gunting verban 1. 1 gunting verban
2. 1 gunting nekrotomi 2. 1 pinset anatomi steril
3. 1 pinset anatomi steril 3. 1 pinset sirugis steril
4. 1 pinset cherugis 4. 1 bak instrumen steril
5. 1 bak instrument steril 5. Kassa steril secukupnya
6. Kassa steril secukupnya 6. 1 pasang hanscone steril dan
7. Kassa penekan (deppers)
bersih
steril secukupnya 7. 1 bengkok
8. 1 pasang hanscone steril dan 8. Kom berisi betadin
9. Plester
bersih
10. Baki
9. Perlak pengalas
11. Kassa gulung
10. 2 bengkok
12. Bethadin 10%
11. Kom berisi betadin
13. Alcohol 70%
12. Baki dan alas baki
14. Nacl 0.9%
13. Plester
15. Perlak
14. Kassa gulung
16. Elastis perban
15. Bethadin 10%
16. Alcohol 70%
17. Nacl 0.9%
18. H2O2
Ada perbedaan pelaksanaan ganti balutan antara teori dan praktik, dimana
ada beberapa tahapan yang tidak dilakukan sesuai dengan tahapan teoritis,
1. Pada teori perawat harus menanyakan kesiapan pasien sebelum
melakukan tindakan, sedangkan pada pelaksanaan dilapangan,
mengingat tugas dan perbandingan jumlah perawat dengan pasien hal
ini jarang dilakukan.
2. Pada teori tidak dijelaskan mekanisme penanganan nyeri selama
prosedur, sedangkan pada praktek dilapangan perawat menganjurkan
pasien melakukan nafas dalam untuk meminimimalisir nyeri selama
prosedur.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
10 sampai 30 tahun. Apendiksitis terbagi menjadi 2 yaitu apendiksitis akut dan
apendisitis kronik. Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya
pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun
permukaan apendiks. Apendiksitis kronik biasanya disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
apendiks mengalami bendungan.
Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
56
intra lumen. Oleh karena itu perlu perhatian khusus yang memiliki penyakit
apendisitis untuk Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan
luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah terjadinya
infeksi. Penggunaan therapy antibiotic topical pada luka apendisitis seperti
metrodinazole sangat efektif untuk membunuh bakteri yang dapat menimbulkan
bau (Gitaraja, 2004).
Pembalut luka merupakan sarana vital untuk mengatur kelembaban kulit,
menyerap cairan yang berlebihan, mencegah infeksi, dan membuang jaringan mati
pada luka apendisitis. Diharapkan perawat memiliki kemampuan khusus dalam
merawat luka apendisitis.
Perawatan GV yang dilakukan pada Tn”A” yang bertujuan untuk
melindungi luka dari kontaminasi, meningkatkan penyembuhan luka dan menjaga
kebersihan luka dengan mengganti balutan yang kotor dengan balutan yang baru,
sehingga Tn”A” merasa nyaman dengan balutan yang bersih dan tidak takut akan
terjadinya kontaminasi.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Bagi Mahasiswa
Bagi system keilmuan khususnya bagi ilmu keperawatan diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada klien
dengan luka apendisitis. Hal ini diharapkan dapat mrnjadi sumber informasi untuk
dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan apendisitis perforasi
dan bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperwatan dimasa yang
akan datang.
DAFTAR PUSTAKA.
Baradero, M., Drayit, M. W., dan Siswandi, Y. S. (2009). Prinsip & Praktek
Keperawatan Perioperatif, Jakarta: EGC.