You are on page 1of 58

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Visi Indonesia sehat 2020 yang pada hakekatnya adalah untuk mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang sehat di seluruh lapisan masyarakat merupakan
titik tolak di galakannya berbagai upaya kesehatan (Netty, 2009).
Seiring dengan kemajuan teknologi dan peningkatan status sosial ekonomi
yang semakin meningkat, masalah kesehatan juga muncul di masyarakat yang
disebabkan kurangnya pengetahuan terutama tentang pola hidup yang tidak sehat
sehingga menyebabkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran
pencernaan diantaranya penyakit appendiksitis (Netty, 2009).
Appendisitis merupakan penyakit bedah mayor yang paling sering terjadi.
Walaupun apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, namun paling sering terjadi
pada remaja dan dewasa muda. Angka kejadian penyakit ini tinggi sebelum era
antibiotik. Bila pembedahan dilakukan sebelum terjadi ruptur dan tanda
peritonitis, perjalanan pascabedah umumnya tanpa disertai penyulit. Pemberian
antibiotik biasanya diindikasikan. Waktu pemulangan pasien bergantung pada
seberapa dini penegakan diagnosis apendisitis, derajat inflamasi, dan penggunaan
metode bedah terbuka atau laparoskopi (Price & Wilson, 2006).
Appendisitis merupakan kedaruratan bedah abdomen yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat dengan lebih dari 250,000 appendiktomi dikerjakan
setiap tahunnya. Insiden appendisitis puncaknya pada dekade pertama dan kedua
kehidupan; jarang terjadi pada usia sangat muda atau tua. Namun, perforasi
sering terjadi pada anak-anak dan umur lanjut, dimana periode ini merupakan
angka tertinggi pada mortalitas. Pria dan wanita sama-sama dapat terkena, kecuali
pada antara umur pubertas dan umur 25 tahun, dimana pria dominan dengan rasio
3:2. Insiden appendisitis cenderung stabil di Amerika Serikat selama 30 tahun
terakhir, sementara insiden appendisitis lebih rendah pada negara berkembang dan
negara terbelakang, terutama negara-negara Afrika, dan lebih jarang pada
kelompok ekonomi rendah (Akbar, 2008).
2

Menurut Erita dalam Netty (2004), berdasarkan penelitian yang dilakukan


oleh Douglas et al terdapat 302 pasien yang terkena suspek appendiksitis setelah
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Dan untuk mengatasi appendiksitis tersebut
telah dilakukan apendiktomi dengan angka kegagalan sekitar 9 – 11%, dan 89%
berhasil untuk mengatasi apendiksitis. Dan penelitian lain yang dilakukan oleh
Zielke et al, sekitar 2000 pasien mengatakan, bahwa sekitar 6% ultrasonografi
mendetaksi appendiksitis
Laparatomi merupakan tindakan dengan memotong pada dinding abdomen
dan merupakan penataleksanaan pada appendisitis. Laporan Depkes RI (2007)
menyatakan laparatomi meningkat dari 162 pada tahun 2005 menjadi 983 kasus
pada tahun 2006 dan 1.281 kasus pada tahun 2007. Komplikasi pada pasien post
laparatomi adalah nyeri yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Post operasi
laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal setelah pasca bedah
dapat memperlambat penyembuhan dan menimbulkan komplikasi (Depkes,
2010).
Oeh karena itu perawatan luka post operasi harus memperhatikan prinsip
sterilisasi, dan dilakukan secara benar atau tepat sehingga komplikasi pasca bedah
dapat di minimalkan atau bahkan tidak ada.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menjadikan penyakit
Appendisitis sebagai makalah ilmiah, agar penulis lebih memahami bagaimana
proses keperawatan yang dilakukan pada klien dengan penyakit Appendisitis.

1.2 Tujuan penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melakukan Asuhan Keperawatan secara
komprehensif dan memiliki keterampilan dasar praktik klinik ”ganti
balutan” pada klien dengan appendicitis perporasi post op laparatomi
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
3

1.2.2 Tujuan Khusus


a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan Post Op
Laparatomi Ec App Perforasi
b. Mahasiswa mampu menentukan diagnosa keperawatan pada klien
dengan Post Op Laparatomi Ec App Perforasi
c. Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien
dengan Post Op Laparatomi Ec App Perforasi
d. Mahasiswa mampu melakukan implementasi pada klien dengan Post
Op Laparatomi Ec App Perforasi
e. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada klien dengan Post Op
Laparatomi Ec App Perforasi
f. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan keterampilan dasar praktik
klinik ”ganti balutan” pada klien dengan Post Op Laparatomi Ec App
Perforasi .

1.3 TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN


Tempat pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan demonstrasi
keterampilan dasar praktik klinik ”ganti balutan” pada klien dengan Post Op
Laparatomi Ec App Perforasi di ruang perawatan bedah Rumah Sakit
Umum Bayu Asih pada tanggal 17 Desember – 19 desember 2018

1.4 MANFAAT
1.4.1 Bagi RSUD Bayu asih
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dan acuan kepada para perawat dalam memberikan Asuhan
Keperawatan secara komprehensif pada pasien appendicitis perporasi post
op laparatomi.

1.4.2 Bagi Institut Medika drg Suherman


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang
berguna untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan serta
4

sebagai bahan pemikiran dan acuan bagi mahasiswa dalam memberikan


asuhan sejenis dimasa yang akan datang.

1.4.3 Bagi Mahasiswa


Hasil penelitian ini sebagai penerapan teori yang didapat dibangku
kuliah dan mengaplikasinya di lapangan yang kemudian berguna dan
bermanfaat serta dapat menambahkan wawasan dan pengetahuan.

1.5 Metode Penulisan


Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ilmiah ini menggunakan
metode deskritif, adapun pendekatan yang digunakan adalah studi kasus dengan
teknik :
a. Wawancara dengan melakukan pengkajian langsung melalui pertanyaaan
pada keluarga tentang masalah pasien.
b. Observasi dan pemeriksaan fisik dengan pengamatan secara langsung pada
klien tentang hal yang berkaitan dengan masalah pasien.
c. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara mencari sumber informasi yang
didapat dari status pasien dan hal yang berhubungan dengan masalah
pasien.
d. Studi literature (kepustakaan) yaitu dengan mempelajari buku, makalah
dan sumber-sumber lain untuk mendapatkan dasar-dasar ilmiah yang
berhubungan dengan Appendisitis sehingga dapat membandingkan antara
teori dengan pelaksanaan yang ada pada kasus nyata di Rumah Sakit.

1.5 Ruang Lingkup


Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi ruang lingkup pada
Asuhan Keperawatan Pada pasien Appendisitis . Ruang lingkup dalam laporan
ini adalah keperawatan medical bedah dan berfokus pada kasus Appendisitis pada
Ny.N di ruang Bedah Bougenvile Rumah Sakit Umum Bayu Asih Purwakarta,
Asuhan Keperawatan mulai dilakukan pada tanggal 17 desember 2018.
5

BAB II
KONSEP DASAR
6

2.1 LANDASAN TEORI


2.1.1 Pengertian
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).
Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah
penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga
abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.
Apendisitis merupakan indikasi tersering pengangkatan apendiks, walaupun
pembedahan ini dapat juga dilakukan untuk tumor, misalnya karsinoid atau
adenokarsinoma (Sylvia A. Price, 2006).
Apendiktomi adalah pembedahan dengan cara pengangkatan apendiks
Pembedahan adalah suatu penanganan medis secara invasif yang dilakukan
untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas tubuh
(LeMone & Burke, 2003).
Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi
pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering
terjadi.

2.1.2 Klasifikasi Appendisistis


Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).
1 Apendisitis akut.
Apendiksitis akut adalah jenis apendiksitis yang paling sering memerlukan
pembedahan dan paling sering menimbulkan kesukaran dalam memastikan
diagnosanya, karena banyak kelainan menunjukkan tanda –tanda seperti
apendiksitis akut. Terdapat tiga jenis apendiksitis akut, yaitu :
a. Apendiksitis akut fokalis (segmentalis) Peradangan biasanya terjadi pada
bagian distal yang berisi nanah. Dari luar tidak terlihat adanya kelianan,
7

kadang hanya hiperemi ringan pada mukosa, sedangkan radang hanya terbatas
pada mukosa.
b. Apendiksitis akut purulenta (supuratif), disertai pembentukan nanah yang
berlebihan.
c. apendiksitis ganggrenosa terjadi jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi
nekrosis dan pembusukan disebut.
Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya pada kecelakaan
atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun permukaan
apendiks. Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal.
Gajala apendisitis akut adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
2 Apendisitis kronik.
Gejala umumnya samar dan lebih jarang. Apendiksitis akut jika tidak
mendapat pengobatan dan sembuh dapat menjadi apendiksitis kronis. Terdapat
dua jenis apendiksitis, yaitu :
a. Apendiksitis kronik focalis, Peradangan masih bersifat local, yaitu
fibrosis jaringan sub mukosa, gejala klinis pada umumnya tidak tampak
b. Apendiksitis kronis obliteratif : Terjadi fibrosis yang luas sepanjang
apendiks pada jarigan mukosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya
lumen), terutama pada bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir
pada bagian itu
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik
apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama
dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.
8

Apendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks.


Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa apendiks
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak,
namun elasitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan ulaserasi mukosa.
Pada saat itu terjadi apendiksitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium.

2.2.3 Stadium Appendisitis


a. apendiksitis supuratif akut terjadi apabila sekresi mukus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan
obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
yang dapat menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah.
b. apendiksitis ganggrenosa, Apabila aliran arteri terganggu maka akan
terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti ganggren.
c. apendiksitis perforasi. dinding apendiks menjadi rapuh dan akan terjadi
perforasi.
d. infiltrat apendikularis. Terjadi apabila proses peradangan berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan
pada orang tua mudah terjadi karena ada gangguan pembuluh darah.

2.2.4 Anatomi Fisiologi


a. Anatomi Usus Besar
9

Gambar 1.1 anatomi usus besar

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah
sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu
tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka
untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau
pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus
halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang
memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus
dari yang ada pada usus halus dan tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat
kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder
yang memuat sela cangkir.
Usus besar terdiri dari :
1. Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup
ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit,
berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2. Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon
memiliki tiga bagian, yaitu :
a. Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b. Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke
tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.
c. Kolon desenden
10

Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rektum.
3. Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan
panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke
eksterior di anus.
b. Anatomi Apendiks

Gambar 2.1 anatomi letak apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4
inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup
ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan
posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan
pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun
demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari
cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri
11

apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X.


Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus.

c. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam
apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap
infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem
imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.
Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam
sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,
maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).

2.2.5 Etiologi dan Predisposisi


Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit,
tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab
lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang
berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya
apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).
12

2.2.6 Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus
tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus
terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren.
Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yangberdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
2.2.7 Manifestasi Klinik
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, nyeri kuadran
bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat
13

dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara
umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot
dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi
dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri
tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat
diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.
Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.
nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan
kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus
kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi
kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa
dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar.
Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.
Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau
proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia
mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada
lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan
tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

2.2.8 Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.
Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi aktivitas
fisik sampai pembedahan dilakukan (akhyar yayan, 2008 ), analgetik dapat
diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk
mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko
perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum umum atau
spinal, secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode
terbaru yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak
dipilih oleh para ahli bedah.
14

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi


dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam
observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai
32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum
terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C
atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang
kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

2.3 MENGGANTI BALUTAN (Universitas Andalas, 2012)


a. Pengertian Balutan
Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan
luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah
terjadinya infeksi.

b. Tujuan Balutan
1. Meningkatkan penyembuhan luka dengan mengabsorpsi dan menjaga
kebersihan luka
2. Melindungi luka dari kontaminasi
3. Rasa aman dan nyaman bagi klien dan orang lain di sekitarnya
4. Menutupi keadaan luka yang tidak menyenangkan

c. Balutan Luka
Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai pemahaman tentang
penyembuhan luka. Apabila balutan tidak sesuai dengan karakteristik luka,
maka balutan tersebut dapat mengganggu penyembuhan luka. Pilihan jenis
balutan dan metode pembalutan luka akan mempengaruhi kemajuan
penyembuhan luka. Karakteristik balutan luka yang ideal :
1. Dapat menyerap drainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat
15

2. Tidak melekat
3. Impermeable terhadap bakteri
4. Mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada luka
5. Penyekat suhu
6. Non toksik dan non alergenik
7. Nyaman dan mudah disesuaikan
8. Mampu melindungi luka dari trauma lebih lanjut
9. Biaya ringan
10. Awet
11.Pada luka operasi dengan penyembuhan primer, umumnya balutan
dibuka segera setelah drainase berhenti. Sebaliknya pada
penyembuhan skunder, balutan dapat menjadi sarana untuk
memindahkan eksudat dan jaringan nekrotik secara mekanik.

d. Memfiksasi Balutan
Perawat dapat menggunakan plester, tali atau perban, atau balutan
skunder dan pengikat kain untuk memfiksasi balutan pada luka. Pilihannya
tergantung dari ukuran luka, lokasi, ada tidaknya drainase, frekuensi
penggantian balutan, dan tingkat aktifitas pasien. Perawat paling sering
menggunakan plester untukmemfiksasi balutan jika klien tidak alergi
terhadap plester. Kulit yang sensitive terhadapplester perekat dapat
mengalami inflamasi dan ekskoriasi yang sangat berat dan bahkan dapat
terlepas dari kulit ketika plester diangkat.

e. Alat Dan Bahan


1. peralatam steril, dalam tempatnya: pinset anatomis, chirugis, gunting,
kapas lidi, kassa steril, deppers, kom, handscun, steril
2. perlalatan non steril : gunting verband, plester, wash bensin, dalam
tempatnya, bengkok, savlon obat-obat desinfektan dalamtempatnuya,
masker, barak (gawn), tempat sampah medis.

f. Persiapan Pasien
1. beri tahu informasi tentang rencana tindakan dengan komunoikasi
teurapetik
2. atur posisi pasien sesuai kebutuhan dengan memperhatikan
kenyamanan dan privacy klien.

g. Prosedur Kerja
16

1. Jelaskan prosedur pada klien


2. Cuci tangan
3. Gunakan sarung tangan steril
4. Plester dan balutan di buka dengan menggunakan pinset apabila luka
tertutup oleh balutan
5. Lakukan pembersiahn luka di mulai dengan kaji status luka , apabila
luka kotor atau bersih serta jenisnya :
- Perawatan luka kotor
Gunakan kasa steril yang di pegang dengan pinset , di celupkan
atau di berikan larutan savlon dan lakukan pembersih pada luka .
bila perlu bersihkan H2O2 (bila ada jaringan mati dan sulit di
angkat) . lanjutkan pembersihan dengan boorwater (BWC) hingga
bersih.
- Perawatan luka bersih
Gunakan kasa steril yang di pegang dengan pinset , celupkan/di
beri larutan NaCl o,9% atau BWC , kemudian bersihkan sampai
bersih dan lanjutkan dengan pengobatan luka menggunakan
betadine atau sejenisnya
6. Cuci tangan setelah prosedur di lakukan
7. Catat tindakan , respon pasien dan kondisi luka

h. Evaluasi
1. Mengevaluasi adanya tanda-tanda infeksi dan adanya cairan luka
2. Mengevaluasi respon serta toleransi klien selama dan sesudah
prosedur
3. Mengevaluasi adanya tanda-tanda alergi

2.4 Pengkajian Fokus


Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit
maupun selama pasien dirawat di rumah sakit.
1. Biodata
Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
suku/ bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.
2. Lingkungan
17

Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita
akan lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.
3. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi, bagaimana
sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul, keadaan apa yang
memperberat dan memperingan.

4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.
b. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri
bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka
juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg
(Blumberg sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak
apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah
pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.
d. Uji psoas dan uji obturator
Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang
meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat
hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
18

apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang


merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika (Akhyar Yayan,
2008 ).
5. Perubahan pola fungsi
Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000)
adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise.
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardi.
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang). Tanda :
Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan.
: Penurunan atau tidak ada bising usus.
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia. : Mual/muntah.
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang
meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney (setengah jarak
antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan,
bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba diduga
perforasi atau infark pada apendiks).
Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas (berhubungan dengan
lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati ; berbaring ke samping atau telentang
dengan lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak.
: Nyeri lepas pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal.
f. Pernapasan
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal.
g. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah).
6. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP).
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
19

Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada


pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.

7. Pathways
Apendiks

Hyperplasia folikel Benda asing Erosi mukosa Striktur Tumor


Limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung
Apendiks teregang
Tekanan intraluminal
Aliran darah terganggu
Ulserasi dan invasi bakteri pada dinding apendiks
Appendicitis

Ke peritoneum Thrombosis pada vena intramural


Peritonitis Pembengkakan dan iskemia
Perforasi

Pembedahan operasi
- Keterbatasaan Luka insisi Peningkatan paparan
Mobilitas fisik lingkungan patogen

Intoleransi aktifitas Jalan masuk kuman


Resiko infeksi
Stimulus nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serabut


saraf afferen (A-delta & C) ke medulla spinalis
melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansia gelatinosa (lamina II dan III)


20

Impuls melewati traktus spinothalamus.

Impuls masuk ke formation retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast pain

Slow pain

- Timbul respon emosi


- Respon otonom: TD meningkat, keringat dingin

J. Diagnosa yang mungkin muncul


1. Nyeri akut b/d terputusnya kontinuitas jaringan kulit.
2. Resiko Infeksi b/d Luka insisi.
3. Intoleransi aktifitas b/d keterbatasan aktivitas fisik.
21

K. Rencana Tindakan Teoritis


No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

a. Resiko Infeksi b/d luka insisi NOC : NIC :


 Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
Definisi : Peningkatan resiko  Knowledge : Infection control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
masuknya organisme patogen  Risk control  Pertahankan teknik isolasi
Kriteria Hasil :
 Batasi pengunjung bila perlu
Faktor-faktor resiko :  Klien bebas dari tanda dan gejala
 Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
- Prosedur Infasif infeksi
tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
- Ketidakcukupan pengetahuan  Mendeskripsikan proses penularan
meninggalkan pasien
untuk menghindari paparan penyakit, factor yang mempengaruhi
patogen penularan serta
 Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan

- Trauma penatalaksanaannya,  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan


- Kerusakan jaringan dan  Menunjukkan kemampuan untuk kperawtan
peningkatan paparan mencegah timbulnya infeksi  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
lingkungan  Jumlah leukosit dalam batas normal pelindung
- Ruptur membran amnion  Menunjukkan perilaku hidup sehat  Pertahankan lingkungan aseptik selama
- Agen farmasi (imunosupresan) pemasangan alat
- Malnutrisi  Ganti letak IV perifer dan line central dan dressing
- Peningkatan paparan sesuai dengan petunjuk umum
22

lingkungan patogen  Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan


- Imonusupresi infeksi kandung kencing
- Ketidakadekuatan imum buatan  Tingktkan intake nutrisi
- Tidak adekuat pertahanan
 Berikan terapi antibiotik bila perlu
sekunder (penurunan Hb,
Leukopenia, penekanan respon
Infection Protection (proteksi terhadap infeksi)
inflamasi)
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
- Tidak adekuat pertahanan tubuh
primer (kulit tidak utuh, trauma  Monitor hitung granulosit, WBC

jaringan, penurunan kerja silia,  Monitor kerentanan terhadap infeksi


cairan tubuh statis, perubahan  Batasi pengunjung
sekresi pH, perubahan  Saring pengunjung terhadap penyakit menular
peristaltik)
 Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
- Penyakit kronik
beresiko
 Pertahankan teknik isolasi k/p

 Berikan perawatan kuliat pada area epidema

 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap


kemerahan, panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah

 Dorong masukkan nutrisi yang cukup


23

 Dorong masukan cairan

 Dorong istirahat

 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai


resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi

 Laporkan kecurigaan infeksi

 Laporkan kultur positif


a. Nyeri akut b/d terputusnya NOC : Pain Management
kontinuitas jaringan.  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Definisi :  Pain control, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Sensori yang tidak menyenangkan  Comfort level kualitas dan faktor presipitasi
dan pengalaman emosional yang Kriteria Hasil :  Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
muncul secara aktual atau potensial  Mampu mengontrol nyeri (tahu  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
kerusakan jaringan atau penyebab nyeri, mampu mengetahui pengalaman nyeri pasien
menggambarkan adanya kerusakan menggunakan tehnik nonfarmakologi  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
(Asosiasi Studi Nyeri Internasional): untuk mengurangi nyeri, mencari  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
serangan mendadak atau pelan bantuan)
 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
intensitasnya dari ringan sampai  Melaporkan bahwa nyeri berkurang
tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
24

berat yang dapat diantisipasi dengan dengan menggunakan manajemen lampau


akhir yang dapat diprediksi dan nyeri  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
dengan durasi kurang dari 6 bulan.  Mampu mengenali nyeri (skala, menemukan dukungan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
Batasan karakteristik :  Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
- Laporan secara verbal atau non nyeri berkurang kebisingan
verbal  Tanda vital dalam rentang normal  Kurangi faktor presipitasi nyeri
- Fakta dari observasi  Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi,
- Posisi antalgic untuk non farmakologi dan inter personal)
menghindari nyeri  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
- Gerakan melindungi intervensi
- Tingkah laku berhati-hati  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
- Muka topeng  Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
- Gangguan tidur (mata sayu,
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
tampak capek, sulit atau
 Tingkatkan istirahat
gerakan kacau, menyeringai)
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan
- Terfokus pada diri sendiri
tindakan nyeri tidak berhasil
- Fokus menyempit (penurunan
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
persepsi waktu, kerusakan
nyeri
proses berpikir, penurunan
Analgesic Administration
interaksi dengan orang dan
25

lingkungan)  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat


- Tingkah laku distraksi, contoh : nyeri sebelum pemberian obat
jalan-jalan, menemui orang lain  Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
dan/atau aktivitas, aktivitas frekuensi
berulang-ulang)  Cek riwayat alergi
- Respon autonom (seperti  Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi
diaphoresis, perubahan tekanan dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
darah, perubahan nafas, nadi  Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
dan dilatasi pupil) beratnya nyeri
- Perubahan autonomic dalam  Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan
tonus otot (mungkin dalam dosis optimal
rentang dari lemah ke kaku)  Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
- Tingkah laku ekspresif (contoh : pengobatan nyeri secara teratur
gelisah, merintih, menangis,  Monitor vital sign sebelum dan sesudah
waspada, iritabel, nafas
pemberian analgesik pertama kali
panjang/berkeluh kesah)
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri
- Perubahan dalam nafsu makan
hebat
dan minum
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
Faktor yang berhubungan :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,
26

psikologis)
b. Intoleransi aktivitas b/d NOC : NIC :
keterbatasan aktivitas fisik  Energy conservation Activity Therapy
Definisi : Ketidakcukupan energu  Self Care : ADLs  Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik
secara fisiologis maupun psikologis Kriteria Hasil : dalammerencanakan progran terapi yang tepat.
untuk meneruskan atau  Berpartisipasi dalam aktivitas fisik  Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang
menyelesaikan aktifitas yang diminta tanpa disertai peningkatan mampu dilakukan
atau aktifitas sehari hari. tekanan darah, nadi dan RR  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
 Mampu melakukan aktivitas sehari yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
Batasan karakteristik : hari (ADLs) secara mandiri dan social
a. melaporkan secara verbal  Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan
adanya kelelahan atau sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang
kelemahan. diinginkan
b. Respon abnormal dari tekanan  Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
darah atau nadi terhadap seperti kursi roda, krek
aktifitas  Bantu untu mengidentifikasi aktivitas yang disukai
c. Perubahan EKG yang  Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu
menunjukkan aritmia atau luang
iskemia  Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
d. Adanya dyspneu atau kekurangan dalam beraktivitas
ketidaknyamanan saat  Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
27

beraktivitas. beraktivitas
 Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri
Faktor factor yang berhubungan : dan penguatan
 Tirah Baring atau imobilisasi  Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual
 Kelemahan menyeluruh
 Ketidakseimbangan antara Energy Management
suplei oksigen dengan  Observasi adanya pembatasan klien dalam
kebutuhan melakukan aktivitas
 Gaya hidup yang  Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
dipertahankan. terhadap keterbatasan
 Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
 Monitor nutrisi dan sumber energi tangadekuat
 Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
emosi secara berlebihan
 Monitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas
 Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
pasien
28

BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Pengkajian Data Dasar


Tgl masuk : 12- Desember- 2018
Tgl Operasi : 13- Desember- 2018
Tgl pengkajian : 17- Desember- 2018
Waktu Pengkajian : 08.00 Wib
Nama pengkaji Ima novianti

4.1.1 Identitas klien


Nama : Ny, N
Usia : 45 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : kp citalang rt 05 rw 01

Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : sunda
No RM : 505900

Sumber informasi : Suami dan Anak Pasien


Keluarga terdekat : Tn J
Status : Menikah
Alamat : Kp,citalang rt 05/01
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta

4.1.2 Riwayat kesehatan


a. Status penyakit saat ini
29

1. Keluhan Saat masuk rumah sakit


Keluarga mengatakan pasien mengeluh nyeri perut ± sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, nyeri hilang timbul menjalar ke pinggang,
dan perut terasa kembung. Klien tidak suka makanan yang pedas tapi klin
suka menahan kalo mau BAB.

2. Riwayat penyakit saat ini


Klien mengatakan nyeri didaerah perut atau luka operasi, nyeri
bertambah saat klien bergerak. Nyeri berkurang saat klien tidur, nyeri
seperti teriris iris hilang timbul dari daerah luka operasi menyebar
kedaerah sekitarnya, dengan skala nyeri 4 (0-10), dengan rentang waktu 1-
2 menit.luka klien masih terlihat basah dan panjang luka operasi kira kira
20 cm.tidak ada tanda tanda kemerahan dan bengkak pada luka operasi
klien,jenis anestesinya spinal.

b. Riwayat kesehatan terdahulu


1.Klien mempunyai riwayat hipertensi, keluarga klien tidak pernah
mengalami penyakit yang sama seperti yang klien alami saat ini.
2. kebiasaan Pasien sebelum sakit : kaji secara terperinci
(merokok,obat,nutrisi,aktifitas,istirahat tidur,pekerjaan dan sexualitas)
Klien mengatakan tidak merokok dan aktifitas klien disamping sebagai ibu
rumah tangga klien juga membantu suami bekerja sebagai tukang pijat.

C . Riwayat Keluarga
GENOGRAM
30

Keterangan
31

D. Aspek Psikososial ,Mekanisme Koping Dan aspek Spiritual


Klien mengatakan suka ikut pengajian rutinan di mesjid,klien mengatakan
suka solat 5 waktu.

4.1.3 Pengkajian Fisik

1. Data Umum
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis (Eye : 4, Verbal: 5 , Motorik : 6)
TD : 150/8-90 mmHg
RR : 24x/ Menit
N : 90x/ Menit
T : 36 0 C
Skala nyeri : 3 (0-10)
MK : Nyeri Akut

2. Sistem Respirasi
Frekuensi pernafasan 24 x/ menit dengan irama teratur dan bentuk dada
simetris, suara nafas vesikuler dan tidak ada suara nafas tambahan, tidak ada
nyeri dan suara paru sonor.
MK: Tidak ada masalah keperawatan

3. Sistem Kardiovaskuler
Frekuensi denyut nadi 90x /menit, irama teratur tidak terdapat mur-mur,
denyut nadi kuat dan CRT < 2 detik.
MK : tidak ada masalah keperawatan

4. Sistem Perkemihan
Volume urine 950 ml/ 24 jam tidak terdapat distensi bladder
MK : Tidak ada masalah Keperawatan.

5. Sistem Pencernaan
Insfeksi : Bentuk simetris terdapat luka operasi Apendiktomy luka
tertutup kain kasa dengan jahitan rapi,luka tampak masih basah tidak ada
nanah,kemerahan dan bengkak,panjang luka sekitar 20 cm.
Auskultasi : paristaltik usus 17x/mnt
Perkusi : Tympani
Palpasi : Tidak ada pembesaran hati tidak ada pembesaran ginjal
maupun limfa ,suhu sekitar luka hangat,tidak ada distensi kandung kemih.
MK : Nyeri Akut
32

6. Sistem Muskuloskeletal
R L
a. Pemeriksaan Fisik 5 5
4 4
ket:
1 Otot tidak mampu bergerak
2 Ada kontraksi namun tidak dapat bergerek
3 Dapat menggerakan otot dibagian yang lemah sesuai perintah
namun jika ditahan otot tidak mampu bergerak
4 Dapat menggerakan otot dengan tahanan minimal
5 Dapat bergerak dan dapat melawan hambatan yang ringan
6 Bebas bergerak dan dapat melawan tahanan yang setimpal
MK : Tidak Ada Masalah
7. Sistem Integumen
Terdapat luka bekas operasi di bagian abdomen dibalut perban, dan
adanya nyeri operasi pada garis tengah operasi.
MK : Resiko infeksi b.d Luka Insisi

8. Sistem Endokrin
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
MK : Tidak ada masalah
9. Sistem Neurobehaviour
a. Penglihatan
mata bersih , bentuk normal, lensa mata jernih
b. Pendengaran
Bentuk simetris kanan dan kiri. Tidak ada seruman. Lubang telinga
tampak bersih., Tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
c. Penghidu
Tidak terlihat akumulasi secret, bentuk hidung simetris
10. Pengkajian Psikososial
a. Persepsi klien terhadap klien :
b. Reaksi saat interaksi
Kooperatif ( +) Tidak kooperatif ( )
c. Status emosional
Tenang ( ) Cemas ( + ) Marah ( )
Menarik Diri ( ) Tidak Sabar ( ) dan lainnya ( )
33

4.1.4 Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium, Radiologi)


a. Hasil laboratorium tanggal 13
Desember 2018
No Nilai Hasil Nilai normal
Hemoglobin 13,4 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 6200 4000-11000/ Cmm
Trombosit 381.000 150.000-400.000
Sel/Mm3
Hematokrit 38,6% 40 – 48 %
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 3 1-3%
Batang 2 2-6%
Segmen 70 50-70%
Limfosit 20 20-40%
Monosit 5 2-8%

b. Hasil laboratorium tanggal 23 september


2015
No Nilai Hasil Nilai normal
Hemoglobin 12,9 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 7000 4000-11000/ Cmm
Trombosit 379.000 150.000-400.000
Sel/Mm3
Hematokrit 37 Lk 40 – 48 %
Pr 37-43%
Eosinofil 0 1-3%
Batang 2 2-6%
Segmen 66 50-70%
Limfosit 24 20-40%
Monosit 6 2-8%
Ureum 153 20-40mg/adl
Creatinin 3,8 1:0,9-1,3mg/adl

4.1.5 Terapi
34

Tanggal 17 Desember 2018 - Jam 14.00


No Jenis Indikasi Cara Dosis
pemberian
1. Metrodinazol Mencegah infeksi IVFD 500 mg
2. Ringer laktat Mengembalikan IVFD 500 mg
elektrolirt pada
dehidrasi
3. Inj. Ceftiaxone Mencegah infeksi IV 2x1 gr
pada intra abdomen
4. Inj. ranitidin Penataleksanaan IV 2x1
untuk mengatasi
dan mencegah rasa
panas perutyang
disebabkan oleh
tukak lambung
5. kaltropen Penataleksanaan supp 100 mg
nyeri jangka
pendek, Nyeri kaut,
sedang – berat
setelah operasi

4.2 Analisa Data

No Analisa data Etiologi Masalah


1 Data Subyektif : Stimulus nyeri menstimulasi Nyeri
nosiseptor di perifer
- klien mengatan nyeri di
daerah operasi.
- Rasanya seperti teriris iris
- Skala nyeri 3 Impuls nyeri diteruskan oleh serabut
- Klien mengatakan nyeri saraf afferen (A-delta & C) ke
bertambah ketika medulla spinalis

bergerak dengan rentang melalui dorsal horn

1-2 mnt
Data Obyektif : Impuls bersinapsis di substansia
35

- Saat pengkajian dari hasil gelatinosa (lamina II dan III)

observasi
- Klien tampak meringis
Impuls melewati traktus
ketika dibersihkan lukanya
- Kondisi luka masih basah spinothalamus.
- Tidak ada kemerahan
- Tidak ada nanah
- Tidak bengkak pada luka
Impuls masuk ke formation
operasi retikularis
- IVFD RL gtt 20x/Menit
- T: 37,40C.
- RR: 20x/m,
- Tekanan Darah: 150/90 Nyeri
- Nadi: 87x/m.
- Nyeri Skala 3 rentang dari
1 sampai 10

2 Data Subyektif : Pembedahan operasi Resiko Infeksi


- Klien mengatakan
terdapat terdapat luka
Luka Insisi
post laparatomi
- Rasanya seperti teriris iris
- Skala nyeri 3
- Klien mengatakan nyeri Peningkatan paparan patogen dari

bertambah ketika lingkungann

bergerak dengan rentang


1-2 mnt Jalan masuk Patogen
-
Data Obyektif :
- Saat pengkajian dari hasil Resiko Infeksi
observasi
- Klien tampak meringis
ketika dibersihkan lukanya
- Kondisi luka masih basah
- Tidak ada kemerahan
- Tidak bengkak pada luka
operasi
36

- Luka bekas Operasi daerah


abdomen.
- IVFD RL gtt 20x/Menit
- T: 37,40C.
- RR: 20x/m,
- Tekanan Darah: 150/90
- Nadi: 87x/m.
- Nyeri Skala 3

3 Data Subyektif : Pembedahan operasi

- Klien mengatakan lesu dan Intoleransi


lemas. aktivitas
Luka Insisi
Data Obyektif :
- Keadaan Umum : Lemah, os
Nampak tirah baring dan tirah baring dan nyeri abdomen

jarang bergerak.
- Kesadaran : Compos
Mentis (Eye : 4, Verbal: 5 intoleransi aktivitas

Motorik : 6)
- IVFD RL gtt 20x/Menit
- T: 37,40C.
- RR: 20x/m,
- Tekanan Darah: 140/90
- Nadi: 87x/m.
Tingkat ketergantungan : III
(Total care)
Skala ROM : 3 (Rentang 1-5)

4.3 Masalah keperawatan


1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cidera Biologis (luka Insisi).
2. Resiko Infeksi berhubungan dengan Insisi bedah
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan agens cidera
37

3.4 Prioritas masalah keperawatan


1. Nyeri Akut
2. Resiko Infeksi
3. Intoleransi aktivitas
3.5 Diagnosa keperawatan
1. Nyeri Akut berhubungan dengan Agens cidera Biologis (luka Insisi).
2. Resiko Infeksi Berhubungan dengan pasca operasi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keterbatasan aktivitas fisik.
38

3.6 Nursing Care Planning


No Diagnosa keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1. Nyeri akut b/d Agens cidera NOC : Pain Management


Biologis (luka Insisi).  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
Definisi :  Pain control, komprehensif termasuk lokasi,
Sensori yang tidak  Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
menyenangkan dan Kriteria Hasil : dan faktor presipitasi
pengalaman emosional yang  Mampu mengontrol nyeri  Observasi reaksi nonverbal dari
muncul secara aktual atau (tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
potensial kerusakan jaringan menggunakan tehnik  Kaji kultur yang mempengaruhi respon
atau menggambarkan adanya nonfarmakologi untuk nyeri
kerusakan (Asosiasi Studi mengurangi nyeri, mencari  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
Nyeri Internasional) bantuan) dan menemukan dukungan
 Melaporkan bahwa nyeri  Kontrol lingkungan yang dapat
berkurang dengan mempengaruhi nyeri
menggunakan manajemen  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
 Mampu mengenali nyeri personal)
39

(skala, intensitas, frekuensi  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk


dan tanda nyeri) menentukan intervensi
 Menyatakan rasa nyaman  Ajarkan tentang teknik non farmakologi
setelah nyeri berkurang  Berikan analgetik untuk mengurangi
 Tanda vital dalam rentang nyeri
normal  Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
 Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV untuk
pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
40

pemberian analgesik pertama kali


 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan
gejala (efek samping)
2. Resiko Infeksi b/d luka insisi NOC : NIC :
 Immune Status Infection Control (Kontrol infeksi)
Definisi : Peningkatan resiko  Knowledge : Infection control  Bersihkan lingkungan setelah dipakai
masuknya organisme patogen  Risk control pasien lain
Kriteria Hasil :  Batasi pengunjung bila perlu
Faktor-faktor resiko :  Klien bebas dari tanda dan  Instruksikan pada pengunjung untuk
- Prosedur Infasif gejala infeksi mencuci tangan saat berkunjung dan
- Ketidakcukupan  Mendeskripsikan proses setelah berkunjung meninggalkan pasien
pengetahuan untuk penularan penyakit, factor
menghindari paparan yang mempengaruhi  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
patogen penularan serta tindakan kperawtan
- Kerusakan jaringan dan penatalaksanaannya,  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
peningkatan paparan  Menunjukkan kemampuan pelindung
lingkungan untuk mencegah timbulnya  Pertahankan lingkungan aseptik selama
infeksi pemasangan alat
 Jumlah leukosit dalam batas
 Berikan terapi antibiotik.
41

normal
 Menunjukkan perilaku hidup Infection Protection (proteksi terhadap
sehat infeksi)
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik
dan lokal
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung terhadap penyakit
menular
 Partahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
 Pertahankan teknik isolasi k/p
 Berikan perawatan kuliat pada area
epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
 Inspeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong istirahat
42

 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan


gejala infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif

3. Intoleransi aktivitas b/d NOC : NIC :


keterbatasan aktivitas fisik.  Energy conservation Activity Therapy
Definisi : Ketidakcukupan  Self Care : ADLs  Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
energu secara fisiologis Kriteria Hasil : yangsesuai dengan kemampuan fisik,
maupun psikologis untuk  Berpartisipasi dalam psikologi dan social
meneruskan atau aktivitas fisik tanpa disertai  Bantu klien untuk membuat jadwal
menyelesaikan aktifitas yang peningkatan tekanan darah, latihan diwaktu luang
diminta atau aktifitas sehari nadi dan RR  Bantu pasien/keluarga untuk
hari.  Mampu melakukan aktivitas mengidentifikasi kekurangan dalam
sehari hari (ADLs) secara beraktivitas
Batasan karakteristik : mandiri  Sediakan penguatan positif bagi yang
4. melaporkan secara verbal aktif beraktivitas
adanya kelelahan atau  Bantu pasien untuk mengembangkan
kelemahan. motivasi diri dan penguatan
43

5. Respon abnormal dari  Monitor respon fisik, emoi, social dan


tekanan darah atau nadi spiritual
terhadap aktifitas
6. Perubahan EKG yang Energy Management
menunjukkan aritmia atau  Observasi adanya pembatasan klien
iskemia dalam melakukan aktivitas
7. Adanya dyspneu atau  Dorong anal untuk mengungkapkan
ketidaknyamanan saat perasaan terhadap keterbatasan
beraktivitas.  Kaji adanya factor yang menyebabkan
kelelahan
Faktor factor yang  Monitor nutrisi dan sumber energi
berhubungan : tangadekuat
a. Tirah Baring atau  Monitor pasien akan adanya kelelahan
imobilisasi fisik dan emosi secara berlebihan
b. Kelemahan menyeluruh  Monitor respon kardivaskuler terhadap
c. Ketidakseimbangan aktivitas
antara suplei oksigen  Monitor pola tidur dan lamanya
dengan kebutuhan tidur/istirahat pasien
d. Gaya hidup yang
44

dipertahankan.

IMPLEMENTASI & EVALUASI


4.1 Implementasi
45

Implementasi tanggal 17 Desember 2018


Jam Implementasi Respon No. Paraf
Diagnosa
08.00 1. Mengobservasi pasien 1. Klien mengeluh susah tidur 1
karena nyeri hilang timbul di
2. Memonitor vital sign
09.00 daerah operasi 1
2. TD: 150/100 mmhg RR:
3. Melakukan pengkajian nyeri
24x/M
4. Mengajarkan tentang teknik relaksasi nafas dalam 1
N: 79x/M T: 36
5. Mengganti balutan
09.10 3. Skala nyeri: 3 (rentang 0-10) 1
6. Memantau tanda dan gejala infeksi
4. Klien mampu melakukan
09.30 7. Memberikan order obat (metronidazole IVFD gtt 30x/
relaksasi Nafas dalam
menit)
5. Klien mampu mengontrol nyeri
10.00
dan tenang selama prosedur dan
setelah prosedur
6.

Implementasi 18 Desember 2018


Jam Implementasi Respon No. Paraf
Diagnosa
46

14.00 1. Mengobservasi klien 1. Klien mengeluh susah tidur karena 1


nyeri hilang timbul di daerah operasi
2. Memonitor vital sign
2. TD 140/90 mmhg RR: 22
14.10 2
3. Melakukan pengkajian Nyeri T:36 N: 74
2
4. Mengajarkan pasien tehnik relaksasi nafas dalam 3. Skala nyeri : 3 (rentang 0-10)
4. Klien mengerti dan mampu
14.20 melakukan relaksasi nafas dalam 2
5. Mengganti balutan
5. Klien mampu mengontrol nyeri dan
tenang selama prosedur dan setelah
14.30
6. Mengkaji tanda-tanda infeksi
prosedur
7. Mendorong keluarga untuk membantu pasien makan 2
6. Terdapat salah satu tanda infeksi
8. Observasi TTV/ 60 menit
Rubor (-), color(-), dolor (+),
15.00 tumor (-) 2
7. Keluarga membantu klien makan
8. Klien mengerti dan memahami
15,30
tujuan pemberian cairan.

1
47

Implementasi tanggal 19 Desember 2018


Jam Implementasi Respon No. Paraf
Diagnosa
08.00 1. Melakukan pengkajian nyeri 1. Skala nyeri: 3 (rentang 0-10) 1
2. Menganjurkan pasien untuk relaksasi nafas dalam saat 2. Klien mengerti tujuan dan manfaat
08.15
nyeri muncul. relaksasi nafas dalam.
10.00 1
3. Memonitor vital sign 3. TD: 150/100 mmhg RR: 24x/M
N: 79x/M T: 36
4. Klien mampu melakukan relaksasi
11.20 1
4. Mengajarkan tentang teknik relaksasi nafas dalam
Nafas dalam
11.35 1
48

4.2 Evaluasi
Evaluasi Tgl 17 Desember 2018 jam 08.00 s/d 14-00
No. Evaluasi
Diagnosa
1 S: klien mengatakan masih nyeri pada luka operasi
‘- nyeri seperti teriris iris diabdomen bawah
‘- klien mengatakan nyeri berkurang ketika napas dalam

O:
- Klien tampak menahan nyeri
- Klien tampak tirah baring
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Skala 3 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

2 Evaluasi
S: klien Mengatakan masih nyeri pada luka operasinya
49

O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Terdapat luka operasi diabdomen bawah
- Luka operasi kira kira 20 cm
- Tertutup kasa
- Luka operasi masih basah
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

Evaluasi Tgl 18 Desember 2018 jam 14.00 s/d 20,00


No DX Evaluasi
1 S: klien mengatakan nyeri berkurang
‘-nyeri seperti teriris iris
‘- klien mengatakan masih sedikit nyeri ketika bergerak
‘- klien mengatakan nyeri nya hilang timbul
O:
50

- Klien tampak meringis menahan nyeri


- IVFD RL terpasang Baik
- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
- Skala 3 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

2 Evaluasi
S: klien Mengatakan nyeri berkurang
O:
- Tidak terdapat tanda infeksi (kemerahan, pus)
- TD 130/90 mmhg
- RR: 22
- T:36
- N: 74
A: Masalah Belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
51

Evaluasi Tgl 19 Desember 2018jam 08.00 s/d 20.00


No DX Evaluasi
1 S: klien mengatakan nyeri berkurang
- IVFD RL terpasang Baik
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
- Skala 2 rentang dari 1 sampai 10
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan
- Anjurkan melakukan relaksasi nafas dalam jika nyeri muncul
- Kolaborasi pemberian analgesik
2 Evaluasi
S: klien Mengatakan nyeri berkurang
O:
- Terdapat salah satu tanda infeksi
Rubor (-), color(-), dolor (-), tumor (-)
- TD 150/100 mmhg
- RR: 24
- T:36
- N: 79
A: Masalah resiko infeksi teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
52

- Cara perawatan luka d


- Anjurkan pengunjung mencuci tangan sebelum dan setelah kunjungan
53

BAB IV
PEMBANDING DENGAN KASUS

5.1 Perbandingan antara teori dan praktik ganti balutan

Teori Praktik
Alat: Alat:
1. 1 gunting verban 1. 1 gunting verban
2. 1 gunting nekrotomi 2. 1 pinset anatomi steril
3. 1 pinset anatomi steril 3. 1 pinset sirugis steril
4. 1 pinset cherugis 4. 1 bak instrumen steril
5. 1 bak instrument steril 5. Kassa steril secukupnya
6. Kassa steril secukupnya 6. 1 pasang hanscone steril dan
7. Kassa penekan (deppers)
bersih
steril secukupnya 7. 1 bengkok
8. 1 pasang hanscone steril dan 8. Kom berisi betadin
9. Plester
bersih
10. Baki
9. Perlak pengalas
11. Kassa gulung
10. 2 bengkok
12. Bethadin 10%
11. Kom berisi betadin
13. Alcohol 70%
12. Baki dan alas baki
14. Nacl 0.9%
13. Plester
15. Perlak
14. Kassa gulung
16. Elastis perban
15. Bethadin 10%
16. Alcohol 70%
17. Nacl 0.9%
18. H2O2

Perbedaan alat pada prosedur ganti verban post operasi adalah:


1. Gunting nekrotomi
Gunting nekrotomi adalah gunting yang digunakan untuk
mengangkat jaringan mati, sedangkan pada praktinya ganti verban tidak
menggunakan gunting tersebut karena tidak terdapat jaringan yang mati.
2. Kassa penekan atau deppers.
Yaitu kassa yang digunakan untuk menekan luka, akan tetapi pada
praktinya kassa ini tidak digunakan karena mengganti balutan cukup
dengan kassa steril saja.
3. H2O2
54

Penggunaan H2O2 tidak dilakukan pada ganti verban luka bersih.

Perbedaan teori dan praktik pelaksanaan ganti verban


Teori Praktik
Pelaksanaan: Pelaksanaan:
1. Mengucapkan salam 1. Mengucapkan salam
2. Memperkenalkan diri dan 2. Jelaskan kepada pasien tentang
menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
3. Jelaskan kepada pasien 3. Dekatkan alat-alat ke pasien
4. Pasang masker dan hanscone
tentang tindakan yang akan
5. Atur posisi pasien sesuai
dilakukan
dengan kebutuhan
4. Menanyakan kesiapan pasien
6. Letakan perlak di bawah area
5. Dekatkan alat-alat ke pasien
6. Menjaga privasi pasien luka
7. Perawat cuci tangan 7. Buka balutan lama tanpa
8. Pasang masker dan hanscone
menyentuh luka secara
9. Atur posisi pasien sesuai
perlahan sambil menganjurkan
dengan kebutuhan
10. Letakan perlak di bawah area pasien menarik nafas dalam.
8. Siapkan larutan pencuci luka
luka
11. Buka balutan lama tanpa dan obat luka
9. Membersihkan luka dengan
menyentuh luka secara
Nacl
perlahan
10. Keringkan luka dengan kassa
12. Bila balutan melekat pada
kering
jaringan dibawah jangan
11. Berikan obat pada area luka
dibasahi tapi angkat balutan
sesuai dengan therapy
perlahan 12. Menutup luka dengan balutan
13. Siapkan larutan pencuci luka
basah kering
dan obat luka
14. Membersihkan luka dengan
Nacl
15. Lakukan nekrotomi jika ada
jaringan nekrotik
16. Keringkan luka dengan kassa
kering
17. Berikan obat pada area luka
sesuai dengan therapy
55

18. Menutup luka dengan balutan


kering, basah kering atau
basah-basah

Ada perbedaan pelaksanaan ganti balutan antara teori dan praktik, dimana
ada beberapa tahapan yang tidak dilakukan sesuai dengan tahapan teoritis,
1. Pada teori perawat harus menanyakan kesiapan pasien sebelum
melakukan tindakan, sedangkan pada pelaksanaan dilapangan,
mengingat tugas dan perbandingan jumlah perawat dengan pasien hal
ini jarang dilakukan.
2. Pada teori tidak dijelaskan mekanisme penanganan nyeri selama
prosedur, sedangkan pada praktek dilapangan perawat menganjurkan
pasien melakukan nafas dalam untuk meminimimalisir nyeri selama
prosedur.

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia
10 sampai 30 tahun. Apendiksitis terbagi menjadi 2 yaitu apendiksitis akut dan
apendisitis kronik. Apendiksitis akut dapat disebabkan oleh trauma, misalnya
pada kecelakaan atau operasi, tetapi tanpa lapisan eksudat dalam rongga maupun
permukaan apendiks. Apendiksitis kronik biasanya disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
apendiks mengalami bendungan.
Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
56

intra lumen. Oleh karena itu perlu perhatian khusus yang memiliki penyakit
apendisitis untuk Melakukan perawatan pada luka dengan cara mamantau keadaan
luka, melakukan penggatian balutan (ganti verban) dan mencegah terjadinya
infeksi. Penggunaan therapy antibiotic topical pada luka apendisitis seperti
metrodinazole sangat efektif untuk membunuh bakteri yang dapat menimbulkan
bau (Gitaraja, 2004).
Pembalut luka merupakan sarana vital untuk mengatur kelembaban kulit,
menyerap cairan yang berlebihan, mencegah infeksi, dan membuang jaringan mati
pada luka apendisitis. Diharapkan perawat memiliki kemampuan khusus dalam
merawat luka apendisitis.
Perawatan GV yang dilakukan pada Tn”A” yang bertujuan untuk
melindungi luka dari kontaminasi, meningkatkan penyembuhan luka dan menjaga
kebersihan luka dengan mengganti balutan yang kotor dengan balutan yang baru,
sehingga Tn”A” merasa nyaman dengan balutan yang bersih dan tidak takut akan
terjadinya kontaminasi.

6.2 Saran
6.2.1 Saran Bagi Mahasiswa
Bagi system keilmuan khususnya bagi ilmu keperawatan diharapkan dapat
meningkatkan ketersediaan teori-teori mengenai asuhan keperawatan pada klien
dengan luka apendisitis. Hal ini diharapkan dapat mrnjadi sumber informasi untuk
dijadikan pedoman bagi pelaksanaan asuhan keperawatan apendisitis perforasi
dan bermanfaat untuk meningkatkan mutu pelayanan keperwatan dimasa yang
akan datang.

6.2.2 Saran Bagi Pelayanan


Diharapkan dalam perawatan luka apendisitis perawat dapat
mengembangkan keterampilan kliniknya dalam melakukan asuhan keperwatan
khususnya apendisitis perforasi, pihak manajemen rumah sakit diharapkan juga
terus memfasilitasi pelaksanaan asuhan keperawatan dengan sarana dan prasarana
yang memadai, dan terus mendukung keterampilan perawat dengan meningkatkan
aktivitas pelatihan dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang dapat diikuti
perawat secara berjunjung dan berkesinambungan
57

DAFTAR PUSTAKA.

Baradero, M., Drayit, M. W., dan Siswandi, Y. S. (2009). Prinsip & Praktek
Keperawatan Perioperatif, Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan RI, 2013 “Riset Kesehatan dasar” Depkes.go.id diakses


tanggal 2 februari 2015

FK Universitas Andalas, 2012 “ Penuntun skill lab Gangguan Sistem Pencernaan


Revisi III” FIK Andalas: Padang

Masjoer, A. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI.

Potter, P. A. & Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan:


Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Vol 2. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat , R & Jong, W. D. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Ke 2.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanna C dan Bare, Brenda G.(2002), “Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah, Edisi 8, Vol.1,”. Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
58

You might also like