You are on page 1of 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronis ( Chronic Renal Failure) adalah kerusakan
ginjal progresif yang berakibat fatal bagi tubuh, sehingga tubuh
tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme
cairan dan elektrolit (Nursalam, 2006)
Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara
yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur
45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada
kelompok umur =75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan
menengah bawah masing-masing 0,3 persen (Riskesdas, 2013)
Kelainan tersebut dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal
dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. Pasien mungkin merasa
nyeri, mengalami gangguan berkemih, dan lain-lain. Terkadang pasien
penyakit ginjal tidak merasakan gejala sama sekali. Pada keadaan
terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika tidak menjalani
hemodialisis (cuci darah) berkala atau transplantasi ginjal untuk
menggantikan organ ginjalnya yang telah rusak parah.
Terapi pengganti pada pasien GGK untuk dapat mempertahankan
hidup adalah hemodialisis (HD), yang bertujuan menghasilkan fungsi
ginjal sehingga dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan
memperbaiki kualitas hidup pada penderita GGK. Terapi hemodialisis
adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia
seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-
zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan
cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan
ultra filtrasi (Sukandar, 2006).
Sampai saat ini sebagian besar orang beranggapan bahwa
hemodialisa merupakan suatu hal yang menakutkan dan dianggap sebagai
suatu hal yang menunjukkan bahwa hidup seseorang yang hemodialisa
tidak lama lagi.Pada penderita gagal ginjal kronik mereka tidak bisa hidup
tanpa mesin-mesin dialisa sepanjang hidupnya karena mesin-mesin dialisa
tersebut yang menunjang hidupnya hingga saat ini. Hal ini menyebabkan
penderita dituntut untuk menyesuaikan diri secara terus menerus sepanjang
hidupnya, akibatnya banyak penderita yang mengalami kecemasan bahkan
depresi terhadap apa yang dihadapinya. Kecemasan pada penderita
senantiasa timbul bukan karena hanya hemodialisa menandakan umur
hidupnya tidak akan lama lagi tapi ditimbulkan karena beberapa aspek
meliputi biologis, psikososial,sosiologis dan spiritual.
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang
mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan serta dalam menemukan identitas diri dan arti kehidupan.
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan
kehati - hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak
menyenangkan. Kecemasan seringkali disertai dengan gejala fisik seperti
sakit kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit perut, atau
tidak tenang dan tidak dapat duduk diam. Gejala - gejala kecemasan yang
muncul dapat berbeda pada masing - masing orang (Widuri, 2007).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiyono (2013) tentang
aroma terapi inhalasi sebagai evidence based nursing pada pasien GGK
yang menjalani hemodialisa untuk mengurangi kecemasan menunjukkan
bahwa 13 responden tidak mengalami cemas, 10 responden berikutnya
mengalami cemas ringan, 7 responden selanjutnya masuk dalam kategori
cemas sedang. Respon pasien setelah diberikan aromaterapi inhalasi lemon
melaporkan merasa lebih tenang dan nyaman saat akan dilakukan
pemasangan invasif jarum fistula dialisis, dan mampu mengurangi gejala
mual dan muntah efek HD.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Icha Violet (2017) tentang
evektifitas pendidikan kesehatan dan booklet terhadap kecemasan pasien
GGK yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal.
Pada masing-masing kelompok sebanyak 13 responden setelah dilakukan
tindakan pemberian pendidikan kesehatan dan booklet memiliki nilai
0,000 pada masing-masing kelompok setelah di uji dependent t-tes.
Dilanjutkan uji dependent t-test antara pendidikan kesehatan dan booklet
menunjukkan selisih mean kelompok pendidikan kesehatan lebih besar
daripada selisih mean kelompok booklet sebesar 11.3846 yang berarti
pendidikan kesehatan lebih efektif dibanding dengan booklet terhadap
tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan diperlukan metode dalam
mengurangi tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa. Sebagian pasien masih memiliki kecemasan
terhadap terapi hemodialisa yang dilakukan karena bebrapa faktor. Oleh
karena itu, akan dijabarkan penerapan metode apakah yang paling efektif
untuk mengurangi kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut “Metode apakah yang paling efektif dalam menurunkan
tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisa?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dibuatnya rancangan ini adalah untuk mengetahui
metode apakah yang paling efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan
pada pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisa
Fitri Fauziah & Julianty Widuri. (2007). Psikologi Abnormal Klinis
Dewasa. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

You might also like