You are on page 1of 7

Bayi suspek gangguan pendengaran

kongenital et causa german measles

Sulau Jalung

102013480

C6

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

sulau_j@yahoo.com

Pendahuluan

Dalam keadaan normal seorang ibu yang sehat pada waktu mengandung akan
melahirkan seorang bayi yang sehat pula yang dapat dilihat dari pemeriksaan fisik bayi baru
lahir maupun ketika usia bayi tersebut sudah besar akan terlihat baik. Lain halnya dengan
seorang ibu yang mengandung dan dipertengahan kehamilannya mendapatkan penyakit
infeksi yang sebagian besar banyak yang berdampak cacat pada bayi yang dikandungnya
nanti pada waktu lahir.

Pada skenario, seorang ibu melahirkan bayi laki-laki, lahir spontan, dengan APGAR
score 9. Riwayat kehamilan teratur ke dokter kandungan, pada saat usia kehamilan 2 bulan
ibu mengalami german measles. Dari sini kita dapat mempelajari lebih dalam lagi apa
masalah dari bayi baru lahir ini, apakah ada dampak dari riwayat kehamilan, perjalanan
penyakitnya, penanganan, hingga prognosis dari sakit tersebut. Kita dapat mempelajarinya
agar ini dapat bermanfaat bagi kita dalam kehidupan sehari-sehari sebagai seorang tenaga
medis.

Sasaran Pembelajaran
Sasaran pembelajaran dari skenario yang diperoleh antara lain: Untuk mengetahui dan
memahami tentang etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang), penatalaksaan, pencegahan dan prognosis dari
kasus yang ada.

Definisi

Gangguan pendengaran pada bayi biasanya adalah suatu kelainan kongenital yang
merupakan dampak dari kelainan atau gangguan infeksi pada saat ibu mengandung.
Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahsa,
kognitif, masalah sosial dan emosional. 1

Gangguan pendengaran dibedakan menjadi tuli sebagian (hearing impaired) dan tuli
total (deaf). Tuli sebagian (hearing empaired) adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang
namun masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu
dengar. Sedangkan tuli total (deaf) adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian
terganggunya sehingga tidak dapat berkomunkasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi. 2

Periode kritis perkembangan pendengaran dan berbicara dimulai dalam 6 bulan


pertama kehidupan dan terus berlanjut sampai usia 2 tahun. Beberapa faktor resiko pada
neonatus perlu diketahui untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya gangguan pendengran
kongenital atau didapat bayi dengan gangguan pendengaran bilateral yang diintervensi
sebelum usia 6 bulan, pada usia 3 tahun akan mempunyai kemampuan berbahasa dinormal. 1

Etiologi

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat terjadinya
gangguan pada masa pranatal, perinatal, dan postnatal.

Masa pranatal
 Genetik herediter
 Non genetik seperti gangguan/ kelainan pada masa kehamilan, kelainan struktur
anatomik dan kekurangan zat gizi.

Selama kehamilan, periode yang paling penting adalah trimester pertama sehingga
setiap gangguan atau kelainan yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan
ketulian pada bayi, infeksi bakteri maupun virus pada ibu hamil seperti Toksoplasmosis,
Rubela, cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis (TORCHS) dapat beraktibat buruk pada
pendengaran bayi yang akan dilahirkan.
Selain itu, beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi mengganggu
proses organogenesis dan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin,
streptomisin, gentamisin dan lainnya. Selain itu malformasi struktur telinga seperti
atresia liang telinga dan aplasia koklea juga akan menyebabkan ketulian. 2,3

Masa perinatal

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor resiko
terjadinya gangguan pendengaran / ketulian seperti prematur, berat badan lahir rendah (<
2500 gram), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak menangis).

Umumnya ketulian yang terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tuliyang
terjadi akibat faktor pranatal dan perinatal adalah tului sensorineural bilateral dengan
derajat ketulian berat atau sangat berat. 2,3

Masa postnatal

Adanya infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis, infeksi otak
(meningitis, ensefalitis), perdarahan pada telinga tengah, trauma temporal juga dapat
menyebabkan tuli saraf atau tuli konduktif. 2,3

Epidemiologi

Insidens gangguan pendengaran pada neonatus di Amerika berkisar 1-3 dari 1000
kelahiran hidup. Sedangkan US Preventive Services Task Force melaporkan bahwa
prevalensi gangguan pendengaran neonatus di Neonatal Intensive Care Unit (NICU) 10-20
kali lebih besar dari populasi neonatus. Di Indonesia sampai saat ini belum ada data, karena
belum dilakukan program skrining pendengaran. 1

Gejala klinis

Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf (tuli sensorineural) derajat berat
sampai sangat berat pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui karena
gangguan pendengaran ini tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya
gangguan pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum /
terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari kedua orang tua sangat bermanfaat untuk
mengetahui respons anak terhadap suara dilingkungan rumah, kemampuan vokalisasi dan
cara pengucapan kata. 4

Diagnosis

Untuk mendiagnosis seorang bayi bisa dilakukan tes pendengaran baik dari skrining
pendengaran yaitu OAE (otoacoustic emissions) ataupun ABR ( auditory brainstem respons).

Tujuan dilakukan skrining adalah untuk menemukan gangguan pendengaran sedini


mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang
optimal sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi. Skrining dilakukan untuk
menunjukan ada / tidaknya respons terhadap rangsangan dengan intensitas tertentu pada
pendengaran seseorang dan tidak mengukur beratnya gangguan pedengaran. Pada neonatus,
reaksi terhadap suara yang tiba-tiba dan terus menerus dapat menimbulkan respons berupa
refleks Moro, mata berkedip atau bayi terbangun. Sebaiknya jika mau skrining pendengaran
dilakukan EOAE atau AABR atau kombinasi keduanya untuk skrining pendengaran
neonatus. Sensitifitas OAE sebesar 100% dan spesifitasnya 82-87%, sedangkan sensitifitas
AABR 99,96% dan spesifitasnya 98,7%. 1,5

OAE

Dasar biologik OAE yaitu gerakan sel rambut luar koklea yang sangat kecil,
memproduksi energi mekanik yang diubah menjadi energi akustik sebagai respon terhadap
getaran dari organ ditelinga tengah. Sel rambut luar ini sangat rentan terhadap faktor
eksternal (suara berlebih), internal (bakteri, virus)dan kondisi (defek genetik).
Dibandingkan dengan ABR, OAE lebih cepat dan lebih nyaman karena tidak perlu
memasang elektroda dikulit kepala. Pemeriksaan OAE pada kedua telinga menghabiskan
waktu 7,2 menit sedangkan AABR 14 menit dan ABR konvensional 20 menit.

Pada pemeriksaan OAE sebaiknya bayi dalam keadaan tidur, untuk mengurangi
artefak akibat gerakan otot. Bising lingkungan juga akan menurunkan spesifitas OAE, bila
bisng lingkungan terlalu besar maka pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. 1,5

ABR

Auditory brainstem response (ABR), merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai


fungsi nervus VIII dan jalur pendengaran dibatang otak. Caranya dengan merekam
potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama menempuh perjalanan mulai telinga
dalam hingga nukleus tertentu dibatang otak. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan
prosesus mastoid atau lobulus telinga. Prinsip pemeriksaan ABR adalah menilai perubahan
potensial listrik diotak setelah pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsangan
bunyi yang diberikan melalui head phone akan menempuh perjalanan melalui koklea
(gelombang 1), nukleus koklearis (gelombang 2), nukleus olivarius (gelombang 3),
lemnikus lateraris (gelombang 4), kolikulus inferior (gelombang 5) kemudian menuju ke
korteks auditorius dilobus temporalis otak. Yang penting dicatat adalah gelombang 1, 3,
dan 5.

ABR tidak terpengaruh oleh debris diliang telinga luar dan telinga tengah namun
memerlukan bayi dalam keadaan tenang karena dapat timbul artefak akibat dari gerakan.
ABR dapat mendeteksi adanya tuli konduktif dan tuli sensorincural dan sensitifitasnya
5
100% dan spesifitasnya 97-98%.

AABR

Saat ini telah dikembangkan AABR ( automated auditory brainstem response) untuk
keperluan skrining pendengaran. Pemeriksaan ini tidak memerlukan interpretasi dari
audiologist. AABR hanya mencatat adanya response pada intensitas tertentu. AABR ini
merupakan modifikasi dari ABR konvensional, mengukur frekuensi >1000 Hz dengan
rangsangan berupa clicks pada masing-masing telinga, dengan intensitas hanya sampai 40
dB (ambang batas pendengaran bayi). Sama hlnya dengan ABR pada pemeriksaan AABR
ini memerlukan elektroda. 1

Timpanimanometri

Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran


timpanimanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negatif ditelinga tengah)
merupakan petunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.

Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE, dan bila


terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda sampai
telinga tengah normal. 2,5
Penatalaksanaan

Habilitasi pendengaran

Setelah diketahui seorang anak menderita ketulian, upaya habilitasi pendengaran


harus dilakukan sedini mungkin, karena usia kritis proses bicara dan mendengar adalah
sekitar 2-3 tahun. Bila terdapat tuli sensorineural derajat sedang maka harus dipasang alat
bantu dengar atau implan koklea. Proses habilitasi pasien tuli membutuhkan kerja sama
dari beberapa disiplin, antara lain dokter spesialis THT, dokter spesialis anak, audiologist,
ahli terapi wicara, psikolog anak dan keluarga pasien. 1

Apabila pendengaran semakin memburuk, sehingga memakai ABD tidak dapat


berkomunikasi dengan adekuat maka dilakukan psikoterapi untuk menerima keadaannya.
Latihan pendengaran agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara
efisien dan dibantu dengan membaca ucapan bibir, bahasa isarat, dan anggota gerak. 2

Prognosis

Prognosis buruk, kemungkinan pendengaran akan semula sangat kecil, sehingga


penderita bisa menderita seumur hidup dengan menggunakan ABD. 5

Pencegahan

Kehamilan

Untuk mencegah terjadinya kelainan kongenital khususnya gangguan pendengaran


kongenital pada bayi, ibu harus rutin untuk melakukan pemeriksaan kehamilan untuk
mendeteksi dini apakah ada kelainan dari ibu seperti infeksi TORCHS yang akan berdampak
pada kelahiran bayi cacat ataupun dari janin yang proses organogenesis belum maksimal.
Selain itu, tidak mengkonsumsi obat-obatan yang bersifat teratogenik yang berdampak pada
bayi nantinya. 1,3

Deteksi dini gangguan pendengaran

Untuk dapat melakukan deteksi dini pada seluruh bayi dan anak relatif sulit, karena
akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar. Program skrining sebaiknya
dilakukan pada bayi atau anak yang mempunyai resiko tinggi terhadap gangguan
pendengaran. 2
Kesimpulan

Berdasarkan kasus skenario seorang bayi laik-laki dilahirkan spontan oleh ibu yang
semasa usia kehamilan 2 bulan menderita German measles, anak tersebut tampak sehat
dengan APGAR score 9 dan dari pemeriksaan fisik didapatkan tidak didapatkan kelainan.
Tetapi, karena ibu pernah menderita German measles di usia kehamilan trimester 1, maka
bayi tersebut diduga suspek gangguan pendengaran kongenital et causa German measles.
Untuk itu dilakukan pemeriksaan skrining pendengaran untuk menilai sistem
pendengarannya.

Daftar pustaka

1. Rundjan L, Amir I. Sari pediatri. Vol 6. Jakarta: EGC; 2005


2. Arsyad E, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala
dan leher. Edisi 7. Jakarta: FKUI. 2012
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2011
4. Welsby PD, Qlintang S. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC, 2009
5. Lucente, Frank E. Ilmu THT esensial. Jakarta:EGC;2006

You might also like