You are on page 1of 7

Menurut Kamus Medikal Dorland edisi 28, depresi didefinisikan suatu keadaan

mental karena perubahan mood dengan karakteristik seperti seperti rasa sedih, dan
perasaan putus asa. Depresi diklasifikasikan dalam gangguan mood, suatu istilah yang
sering digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit yang berkaitan dengan mood
seseorang. Gangguan mood dapat dibahagi kepada 2 jenis, yaitu gangguan unipolar
dan gangguan bipolar. Gangguan depresi mayor dan dysthymia termasuk dalam
golongan gangguan unipolar karena gangguan ini hanya terjadi dalam satu arah
sahaja, yaitu ke arah sedih dan putus asa. Sementara gangguan bipolar adalah suatu
gangguan mood di mana penderita mengalami perubahan episode mood yang
signifikan, daripada sangat tinggi (mania) kepada sangat rendah (depresi).

Cyclothymic personality termasuk dalam golongan gangguan bipolar (Bjornlund,


2010).

Gangguan Depresi Mayor

Gangguan Depresi Mayor atau Major Depression, suatu gangguan mood yang
paling sering dijumpai dan paling parah (Bjornlund, 2010). Kebanyakan dari kita pasti
pernah mengalami keadaan seperti ini sepanjang perjalanan hidup kita sebagai
seorang manusia. Namun begitu, gangguan depresi mayor secara klinis yang sebenar
adalah suatu gangguan mood di mana perasaan sedih, marah, kehilangan, atau frustasi
mengganggu kehidupan seharian seseorang untuk suatu jangka masa yang lama
(National Institute of Mental Health, 2008).

Etiologi Depresi

Kaplan menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab depresi, yaitu:

Faktor biologi

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,


seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal
pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi
adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi
(Kaplan, 2010). Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal
tersebut tampak pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti
respirin dan penyakit dengan konsentrasi dopamin menurun seperti Parkinson.
Kedua penyakit tersebut disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan
konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menurunkan
gejala depresi (Kaplan, 2010).
Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat pengaturan
aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung neurotransmiter
amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.
Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral.
Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis
hormon pertumbuhan. Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti
(Landefeld, 2004). Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan
gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi. Hipersekresi
yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik kortisol di
sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi
oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan
Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ utama pada sistem endokrin
dan fungsinya diatur oleh sistem limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang
menyebabkan peningkatan sekresi CRH (Landefeld, 2004).

Faktor genetik

Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara


anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat
(unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum.
Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar
monozigot (Kaplan, 2010).

Faktor psikososial

Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah


kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Faktor psikososial yang
mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan,
kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori kognitif, dan
dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan yang menyebabkan stres,
lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari episode selanjutnya.
Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan utama
dalam depresi. Klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan hanya
memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan
(Kaplan, 2010). Stresor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang
yang dicintai, atau stresor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung
lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan
depresi (Hardywinoto, 1999). Dari faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian
tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen, anankastik,
histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya depresi, sedangkan
kepribadian antisosial dan paranoid mempunyai resiko yang rendah (Kaplan, 2010).

Komplikasi
1. Serangan panik
2. Kecemasan sosial atau fobia yang memicu isolasi sosial
3. Kehilangan atau kelebihan berat badan
4. Nyeri dan penyakit fisik
5. Pikiran atau mencoba bunuh diri
6. Penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol
7. Terganggunya sistem imun
8. Mudah mendapat penyakit jantung dan dapat meninggal karena hal tersebut
9. Kelebihan berat badan atau obesitas, yang bisa mengarah ke penyakit
jantung dan diabetes
10. Keluhan nyeri atau fisik
11. Penyalahgunaan obat atau alkohol
12. Gangguan anxietas, panik ataupun social phobia
13. Konflik keluarga, kesulitan membina hubungan, dan permasalahan
pendidikan mauupun pekerjaan
14. Isolasi sosial
15. Perasaan ingin bunuh diri, percobaan bunuh diri, ataupun bunuh diri
sesungguhnya
16. Mutilasi diri sendiri, seperti menyayat tangan/anggota tubuh lain
17. Kematian prematur dari kondisi medis yang ada sebelumnya

Diagnosis Banding

1. Bereavement (Kehilangan teman atau keluarga karena kematian

Bereavement atau rasa kesedihan yang berlebihan karena putusnya suatu hubungan dapat
memperlihatkan gejala yang sama dengan episode depresi mayor. Tingkat keparahan dan
durasi dari gejala dan dampaknya pada fungsi sosial dapat membantu dalam menyingkirkan
antara kesedihan yang mendalam dan Major Depressive Disorder (MDD).

Tabel. Pembeda antara bereavement dan episode depresi mayor

Gejala Bereavement MDD

Waktu Kurang dari 2 bulan Lebih dari 2 bulan

Perasaan tidak Tidak ada Ada


berguna/tidak pantas
Ide bunuh diri Tidak ada Kebanyakan ada

Rasa bersalah, dll Tidak ada Mungkin ada

Perubahan psikomotor Agitasi ringan Melambat

Gangguan fungsi Ringan Sedang –Berat

2. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Kondisi Medis Umum


Gejala depresi dapat diperlihatkan dari efek fisiologis suatu kondisi
medis khusus yang terjadi sebelumnya. Sebaliknya, gejala fisik suatu
penyakit medis utama sulit untuk dapat didiagnosis yang
berkormorbid dengan MDD. The Hospital Anxiety and Depression
Scale (HADS) sangat berguna untuk alat deteksi pasien dengan
penyakit medis dimana digunakan pertanyaan yang memfokuskan
pada gejala kognitif dibandingkan dengan gejala somatiknya. MDD
sama banyaknya dengan penyakit kronis (Tabel 7), tetapi lebih umum
diabetes, penyakit tiroid, dan gangguan neurologis (penyakit Parkinson,
multiple sklerosis).

Tabel. Kondisi medis umum berhubungan dengan gejala depresi

Gangguan Neurologis Gangguan Endokrin

 Penyakit Alzheimer  Adrenal


Cushing
 Penyakit serebrovaskular
Addison
 Neoplasma cerebral
Hyperaldosteronisme
 Trauma cerebral
 Berhubungan dengan haid
 Infeksi SSP
 Penyakit paratiroid
 Dementia
 Penyakit tiroid
 Epilepsy
Penyakit Huntington B12/folat Vitamin C Niacin Thiamin
Hydrocephalus Gangguan lainnya
Migraine AIDS
Multiple sklerosis Kanker
Narcolepsy Sindrom klinefelter
Penyakit Parkinson Infak miokard
Supranuclear palsy progresif Porphyrias
Sleep apnea
Sebelum operasi
Penyakit Wilson
Gangguan Sistemik
Penyakit ginjal dan uremia
Infeksi virus dan bakteri Neoplasma sistemik
Inflamasi
Rheumatoid arthritis
Sindrom Sjogren
Systemic lupus erythematosus
Arteritis temporal

3. Gangguan Afektif Disebabkan Karena Zat


Efek samping obat (baik yang diresepkan atau tidak) dapat memperlihatkan gejala
depresi, jadi suatu zat yang dapat mempengaruhi gangguan mood harus dapat
dipertimbangkan dalam mendiagnosis banding MDD. . Bukti dari riwayat,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium digunakan untuk dapat menentukan
adanya suatu pengalahgunaan, ketergantungan, intoksikasi/keracunan, atau kondisi
putus obat yang secara fisoilogis akan menyebabkan suatu episode depresi. Selama gejala
depresi karena pengaruh obat dapat disembuhkan dengan menghentikan penggunaan
obat tersebut, gejala putus obat dapat berlangsung selama beberapa bulan.
Tabel. Obat yang umum disalahgunakan dan menyebabkan gangguan
mood yang dipengaruhi zat

Alcohol
Amfetamin
Anxiolitik
Kokain
Zat-zat halusinogen
Hipnotik
Inhalant
Opioid
Phencycline
Sedatif

4. Gangguan Bipolar

Sejarah adanya mania atau hipomania mengidentifikasikan adanya


gangguan bipolar, tetapi semenjak (1) gangguan bipolar sering
berawal dengan episode depresi, dan (2) pasien bipolar mengalami
episode depresi lebih lama dibandingkan dengan hipomania/mania,
hal ini penting untuk untuk mengeluarkan diagnosis bipolar ketika
sedang mendiagnosis MDD. Pada kenyataannya, 5-10% individu yang
mengalami episode depresi mayor akan memiliki episode hipomanik
atau manik didalam kehidupannya. Gejala depresi yang memperlihatkan
suatu gangguan bipolar termasuk didalamnya pemikiran yang kacau,
gejala psikotik, gambaran atipikal (pipersomnia, makan berlebihan),
onset usia dini, dan episode kekambuhan. Gangguan Bipolar II
(dengan hipomania) sulit untuk dikenali karena pasien tidak mengenali
hipomania sebagai suatu kondisi yang abnormal – mereka menerima
itu sebagai perasaan yang baik. Informasi yang mendukung dari
pasangan hidup, teman terdekat, dan keluarga sering menjadi hal yang
penting untuk dapat mendiagnosis. Pertanyaan-pertanyaan yang valid,
seperti kuesioner gangguan afektif, dapat membantu dalam
mengidentifikasi hipomania.

Prognosis

Gangguan depresi mayor adalah suatu penyakit yang mempunyai potensi


morbiditas dan mortalitas yang signifikan, karena depresi bisa menyumbang kepada
terjadinya kasus bunuh diri, salah guna obat, gangguan hubungan interpersonal, dan
kehilangan masa kerja. Suatu studi dari WHO dan WB menemukan gangguan depresi
mayor merupakan penyebab keempat terbanyak yang menyumbang kepada kecacatan
di seluruh dunia, dan angka ini dijangka meningkat menjadi penyebab kedua
terbanyak menyebabkan kecacatan pada tahun 2020 (Bjornlund, 2010).

Menurut National Alliance on Mental Illness, gangguan depresi mayor


merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan di Amerika Serikat dan beberapa
negara maju lainnya. Tetapi dengan terapi yang sesuai, 70-80% dari penderita
gangguan depresi mayor bisa mencapai pengurangan gejala secara signifikan,
walaupun masih kira-kira 50% dari penderita mungkin tidak memberi respon pada
permulaan terapi. 40% dari individu dengan gangguan depresi mayor yang tidak
diterapi selama 1 tahun akan terus termasuk dalam kriteria diagnosa, manakala 20%
lainnya akan mengalami remisi. Remisi parsial dengan atau adanya riwayat gangguan
depresi mayor kronis akan menjadi satu faktor resiko untuk terjadinya episode
rekuren dan resisten terhadap terapi. Hasil pengobatan biasanya baik, tetapi tidak
untuk semua penderita. gangguan depresi mayor adalah satu penyakit dengan angka
rekuren yang tinggi. Bagi penderita gangguan depresi mayor yang mengalami episode
depresi yang berulang, terapi cepat dan berterusan diperlukan untuk mengelak
terjadinya gangguan depresi mayor kronis dan berterusan, hingga bisa menyebabkan
seseorang penderita gangguan depresi mayor itu perlu berterusan diterapi
untuk jangka masa yang lama (National Institute of Mental Health, 2008).

You might also like