You are on page 1of 20

STATUS PASIEN

Keterangan Umum
Nama : Tn. Saran
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 59 tahun
Pekerjaan : Buruh
Domisili : Tangerang
Tanggal masuk RS : Jumat, 27 April 2018

ANAMNESIS
• Keluhan Utama : Nyeri dan tegang di seluruh lapang perut
• Anamnesis Khusus :
Pasien datang dengan keluhan nyeri dan tegang di seluruh lapang
perut sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri perut dirasakan terus
menerus dan semakin nyeri ketika bergerak. Keluhan disertai dengan perut
kembung, mual tanpa disertai muntah, tidak bisa BAB dan flatus sejak 1
hari terakhir, terakhir BAB cair tanpa disertai lendir dan darah 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, keluhan disertai sesak yang terus menerus
dirasakan dan semakin bertambah berat, pasien tidur dengan 2 bantal,
sering terbangun karena sesak, tidak disertai keluhan saat beraktivitas,
pasien juga mengeluh batuk berdahak tanpa disertai darah sejak 2 minggu
SMRS disertai keringat malam, tidak disertai demam atau penurunan berat
badan. Keluhan pasien tidak disertai dengan nyeri ulu hati atau nyeri pada
perut kanan bawah sebelumnya.
2.1.1 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat pengobatan tuberkulosis paru tahun 2017 selama
6 bulan, dinyatakan sembuh. Riwayat tekanan darah tinggi tidak ada. Riwayat
diabetes melitus tidak ada, riwayat operasi tidak ada, riwayat gastritis tidak ada.

Riwayat Pengobatan
Riwayat mengonsumsi jamu tidak rutin, pasien jarang membeli obat-obatan bebas
di warung.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat tuberkulosis paru atau penyakit kronik lainnya dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial-Ekonomi Keluarga

Pasien terkadang berkerja sebagai buruh dan merokok setiap hari.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Tekanan Darah : 80/50 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Laju respirasi : 26 x/ menit
Suhu : 36,8°C

• Kepala : Konjungtiva anemis,


sklera tidak ikterik
• Leher : KGB tidak teraba membesar
• Thorax : Bentuk dan gerak asimetris
• Paru : Sonor, VBS kanan = kiri, ronkhi kedua lapang paru,
wheezing -/-
• Jantung : bunyi jantung murni reguler
• Extremitas : CRT memanjang, akral hangat

Status Lokalis
a/r abdomen :
Inspeksi : cembung, tegang,
Auskultasi : bising usus menurun, lemah
Palpasi : defans muskular +, nyeri tekan seluruh abdomen,
pembesaran hepar/lien suilt dinilai
Perkusi : dumb board phenomen, nyeri ketuk di seluruh lapang
abdomen, nyeri tekan lepas.
Rovsing sign, Psoas sign, Obturator sign sulit dinilai

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Penunjang
2.1.2 Laboratorium
DPL (27-4-2018)

Hemoglobin : 8,6
Leukosit : 19500
Trombosit : 838000
Gula darah sewaktu : 82
Na : 133
K : 4,5
Cl : 98
Ureum : 48
Creatinin : 1,5
Radiologi
Foto Toraks PA (28-4-18)
Foto abdomen 3 posisi PA (28-4-18)

Pemeriksaan EKG
DIAGNOSIS KERJA
1. Syok sepsis
2. Diffuse peritonitis ec susp. Tuberkulosis abdomen
3. Pneumonia
Tatalaksana
27-7-2018
Umum :
• Observasi Tanda vital
• Monitoring urin output
• IVFD NaCL Loading 2000 cc
• NGT
• Konsul Paru
• Konsul Penyakit Dalam

Khusus :
• Rencana operasi 29 April 2018
• Antibiotik : Ceftriaxone 1x2 gr i.v
• Ranitidin 2x1 amp
• Inhalasi Ventolin 3x1
• Ambroxol 3x1 tab
• Paracetamol 3x1 tab
• Paru (28/04/2018 via WA Pkl 20.00)

Advice terapi konsul paru (28/04/2018)


Diagnosis: pneumonia berdasarkan foto toraks
Levofloxacin 1x1
Rawat ICU
Periksa AGD

Penyakit Dalam (28/04/2018)


Diagosis: Sepsis
Advice Terapi:
Meropenem 3x1
Metronidazole 3x1
PROGNOSIS
• Quo ad vitam : dubia ad malam
• Quo ad Functionam : dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Peritoneum1
Peritoneum adalah sebuah membran serosa transparan yang berkilau dan melapisi
rongga abdominopelvikal serta meliputi visera organ
Peritoneum terbagi menjadi dua lapisan:
• Peritoneum parietalis yang melapisi bagian dalam dinding
abdominopelvikal
• Peritoneum viseralis yang meliputi visera seperti pada lambung
dan usus
Kedua lapisan peritoneum terdiri atas mesotelium, yang merupakan lapisan sel-sel
epitel skuamosa sederhana.
Peritoneum dan visera berada dalam rongga abdomen, yang berlanjut
sampai rongga pelvis. Di antara lapisan parietal dan viseral peritoneum terdapat
sebuah rongga potensial yang disebut rongga peritoneum. Tidak ada organ yang
terdapat dalam rongga peritoneum. Cairan peritoneum diabsorpsi oleh pembuluh
limfe yang berada di permukaan inferior dari difragma. Rongga peritoneum
tertutup sempurna pada laki-laki, sedangkan pada wanita terdapat saluran yang
menghubungkan rongga peritoneum dengan bagian luar tubuh melalui tuba uteri,
rongga uterus dan vagina. Saluran ini merupakan saluran yang potensial untuk
terjadinya infeksi dari luar tubuh. Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu:
gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum,
danappendix (intraperitoneum), pankreas, duodenum, kolon ascenden dan descenden, ginjal dan
ureter (retroperitoneum). Peritoneum terdiri atas mikrovili untuk memperluas permukaan
peritoneum yang berfungsi untuk keseimbangan cairan.
Terdapat cairan peritoneal yang disebut cairan serosa yang biasanya
berjumlah sedikit. Cairan ini berfungsi sebagai lubrikan pada visceral peritoneum
sehingga memudahkan pergerakan organ bebas pada rongga dan dinding
abdomen. Cairan ini terdiri dari air, protein, elektrolit dan plasma darah dari
pembuluh darah lokal. Cairan ini juga mengandung beberapa sel seperti
mesotelium yang terdeskuamasi, nomal peritoneal makrofag, sel mas, fibroblast,
limfosit, dan sel leukosit. Secara normal, rongga peritoneum tidak memiliki gas,
meskipun terdapat banyak cairan pada kondisi inflamasi.

2. Infeksi Intraabdominal
Infeksi intraabdominal adalah respon inflamasi pada peritoneum terhadap
mikroorganisme dan toksinnya yang menghasilkan eksudat purulen pada rongga
peritoneum. Gangguan ini dapat terjadi ketika apendiks, divertikulum, atau abses
ruptur; ketika dinding abdomen menjadi lemah karena iskemia, tumor atau
inflamasi, atau adanya proses inflamasi pada organ yang berdekatan, seperti
pankreatitis atau pelvic inflamatory disease, yang dapat menyebabkan bocornya
enzim atau organisme ke dalam rongga peritoneum.
Infeksi intraabdominal diklasifikasikan kedalam uncomplicated dan
complicated. Uncomplicated intraabdominal infection merupakan inflamasi yang
terjadi pada saluran GI tanpa disertai gangguan anatomi, tidak menyebar ke
rongga peritoneum dan hanya terjadi pada satu organ. Sedangkan, complicated
intraabdominal infection adalah perluasan infeksi yang terjadi hingga rongga
peritoneal. Pada complicated intraabdominal infection, terbagi menjadi localized
peritonitis dan diffuse peritonitis. Localized peritonitis biasanya bermanifestasi
sebagai abses dan jaringan debris, bakteri, neutrophil, makrofag dan cairan
eksudat pada kapsula fibrosa. Diffuse peritonitis dikategorikan sebagai primer,
sekunder, dan tersier.
 Peritonitis primer diketahui juga sebagai spontaneous bacterial peritonitis.
Peritonitis ini dihasilkan oleh translokasi bakteri dari dinding gastrointestinal
yang masih utuh. Diagnosis membutuhkan aspirasi cairan dengan hasil
karakteristik WBC > 500 cells/mm 3 , Laktat yang tinggi, dan kadar gula yang
rendah dan setelah itu dilakukan kultur. Biasa disebabkan oleh streptococcal,
enterococcal, dan staphylococcus aureus.
 Peritonitis sekunder disebabkan oleh mikroba contaminant dari perforasi,
laserasi, atau segmen nekrotik pada saluran gastrointestinal. Diagnosis
didasarkan oleh pemeriksaan klinis, dan anamnesis pasien. Konfirmasi
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiografi imaging seperti CT
scan dengan kontras. Pada penyebab kelainan billier dapat dilakukan
pemeriksaan USG.
 Peritonitis tersier merupakan infeksi rekuren yang terjadi setidaknya 48 jam
setelah dilakukan tatalaksana pada primary atau secondary peritonitis.2,3

3. ETIOLOGI

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi


dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi
organ berongga karena trauma abdomen.
a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok
Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk,
tepung).

4. Patofisiologi

Peritoneum terbagi membagi abdomen menjadi rongga peritoneal dan


retroperitoneal. Peritoneum terdiri dari lapisan mesotelium yang melapisi dinding
abdomen. Lapisan ini diinervasi oleh system saraf somatik. Hal ini menjelaskan
mengapa pasien mengalami nyeri tekan peritoneal terjadi setelah peradangan pada
rongga peritoneal. Secara fungsi, rongga ini seluas satu m2 dan mempunyai sekitar
100 ml cairan peritoneal yang terdiri dari makrofag dan limfosit. Peradangan
menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Tekanan negative yang terjadi akibat relaksasi diafragma menyebabkan
cairan peritoneal mengalir kebagian atas hingga sistem diafrgma fenestrae. Aliran
yang kuat meyebabkan banyaknya cairan yang didrainase ke system limfatik. Saat
terjadi infeksi, hal ini yang menyebabkan banyaknya mikroorganisme yang rapid
efflux ke dalam sistem vena melalui thoracic duct.
Perforasi yang menyebabkan masuknya bakteri merangsang terjadinya
respon inflamasi dan mengakibatkan terjadinya infeksi local. Terdapat beberapa
mekanisme tubuh dalam menangani infeksi pada bagian ini. Jaringan yang rusak
menstimulasi degradasi sel mast. Sel mast mendegranulasi pelepasan histamine,
kinins, leukotrienes, prostacyclines, dan radikal bebas. Faktor ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas vascular dan permeabilitas peritoneal yang berfungsi
agar komplemen dan kaskade koagulasi dapat masuk.2

5. GAMBARAN KLINIS

Diagnosis peritonitis biasanya didapatkan secara klinis. Umumnya semua


pasien hadir dengan keluhan berbagai derajat nyeri abdomen. Nyerinya dapat akut
maupun kronis. Umumnya nyerinya dalam bentuk nyeri tumpul dengan tidak
terlokalisasi dengan baik (peritoneum visceral) yang kemudian berkembang
menetap, makin parah dan makin terlokalisasi (peritoneum parietal). Jika proses
infeksi tidak terbendung, nyeri akan menjadi difus. Anoreksia dan nausea sering
muncul dan dapat mendahului perkembangan nyeri abdomen. Vomit dapat muncul
akibat proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder
akibat iritasi peritoneal.
Pada pemeriksan fisik, Demam dengan temperatur melebihi 38°C dapat
ditemukan, tapi pasien dengan sepsis berat dapat ditemukan dalam keadaan
hipotermia. Takikardi muncul akibat mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular
karena anoreksia dan vomit, demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal.
Dengan dehidrasi yang progresif, pasien akan menjadi hipotensi, yang
menunjukan penurunan output urin dan dengan peritonitis berat. Pada
pemeriksaan abdomen, pada dasarnya semua pasien menunjukan adanya
tenderness pada palpasi, (pada saat pemeriksaan pasien dengan suspect peritonitis
sebaiknya pasien sebaiknya berbaring dengan posisi lutut lebih tinggi agar pasien
dapat lebih relaksasi pada dinding abdomennya). Pada banyak pasien (baik pada
peritonitis dan nyeri abdomen difus yang berat) titik tenderness maksimal atau
atau referred rebound tenderness terletak pada tempat proses patologis. Pada
banyak pasien menunjukan adanya peningkatan rigiditas dinding abdomen.
Peningkatan tonus otot dinding abdomen dapat secara volunter akibat respon atau
antisipasi pada pemeriksaan abdomen atau secara involunter karena iritasi
peritoneal. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari banyak gerak dan
memfleksikan pinggulnya untuk mengurangi tekanan dinding abdomen. Abdomen
terkadang distensi, dengan suara usus hipoaktif hingga tidak
terdengar.Pemeriksaan rektal kerap mengakibatkan nyeri abdomen.

6. DIAGNOSIS

PEMERIKSAAN PENUNJANG4,5
Pemeriksaan Laboratorium
 Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell count. Namun
pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe
infeksi (seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak
ditemukan atau malah leukopenia

 PT, PTT dan INR

 Test fungsi hati jika diindikasikan

 Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis

 Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti


pyelonephritis, renal stone disease)

 Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari


pH dan glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH

Radiologi

 Foto polos
 USG
 CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous
leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
 Scintigraphy
 MRI

Peritonitis Organisme Penyebab


Terapi Antibiotik
Kelas Tipe Organisme (yang dianjurkan)
(Tipe)
E coli (40%)
K pneumoniae (7%)
Pseudomonas species (5%)
Gram-
Primary Proteus species (5%) Third-generation cephalosporin
negative
Streptococcus species (15%)
Staphylococcus species (3%)
Anaerobic species ( <5%)
E coli
Gram- Enterobacter species
negative Klebsiella species
Second-generation cephalosporin
Proteus species
Third-generation cephalosporin
Streptococcus species
Gram-positive Penicillins with anaerobic activity
Secondary Enterococcus species
Quinolones with anaerobic activity
Bacteroides fragilis
Quinolone and metronidazole
Other Bacteroides species
Aminoglycoside and metronidazole
Anaerobic Eubacterium species
Clostridium species
Anaerobic Streptococcus species
Enterobacter species Second-generation cephalosporin
Gram-
Pseudomonas species Third-generation cephalosporin
negative
Enterococcus species Penicillins with anaerobic activity
Gram-positive Staphylococcus species Quinolones with anaerobic activity
Quinolone and metronidazole
Tertiary
Aminoglycoside and metronidazole
Carbapenems
Fungal Candida species
Triazoles or amphotericin (considered
in fungal etiology)
(Alter therapy based on culture results.)

• CT-Scan abdomen dapat dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya cairan,


area inflamasi, dan kelainan GI tract
• Dapat dilakukan dengan kontras oral dan IV
• Kontras oral membantu melihan penumpukan cairan dan membantu
prosedur drainase
• Kontras IV untuk mengidentidikasi perdarahan dan dinding abses

• dapat dilihat adanya udara bebas dan bowel obstruksi. Pada penggunaan
kontras water-soluble dapat menampakan kebocoran
• Terdapat udara bebas dalam rongga abdomen

TATALAKSANA PERITONITIS6
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua
penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan :
o Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
o Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
o Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan
saluran cerna yang tidak teratasi.
o Pemeriksaan laboratorium.
o Drainase dapat dilakukan dengan tujuan untuk mengevakuasi purulent dan
cairan terkontaminasi. Hal ini dapat dilakukan secara perkutaneus atau
open surgical intervention. Drainase perkutaneus dapat dilakukan dengan
atau tanpa bantuan imaging seperti USG atau CT. Pada beberapa kondisi
seperti poor surgical candidates, yang kemungkinan mortalitasnya tinggi
jika dilakukan operasi pilihan perkutaneus drainase menjadi pilihan utama.
Open surgical drainage dilakukan pada pasien dengan generalized
peritonitis, atau ongoing gross contamination atau yang gagal setelah
dilakukan perkutaneus drainase.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :


o Mengeliminasi sumber infeksi.
o Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
o Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Terapi bedah pada peritonitis :
o Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan
luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan
infeksinya.
o Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
o Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
o Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi
o Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
o Pemberian antibiotic
o Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic
usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
o

MANAJEMEN KHUSUS PERITONITIS PRIMER


1. Lakukan kultur dari peritoneal fluid, sambil menunggu hasil kultur berikan
2. Third Generation Cephalosporin cefotaxime 2gr qdd1 atau Penicillin B-
lactamase combination piperacillin/tazobactam, 3,375 g q6h IV
3. Manajemen bisa dilakukan hingga kira-kira 5 hari.
4. Pencegahan kambuhnya Peritonitis Primer: Ciprofloxacin, 750 mg /
minggu atau norfloxacin 400 mg/hari) ataupun Trimethoprim-
sulfamethoxazole (dosis ganda tiap hari).

Tatalaksana sepsis7
1. Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsi berat harus dimasukan dalam ICU.tanda vital pasien harus di
pantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasokatif,
misalnya dopamine, dobutamin , dan norepinefrin.
2. Darah harus cepat di bersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empiric dengan antimicrobial, yang jika diberikan secara
dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sempel
di dapatkan dari pasien , di perlukan regimen antimicrobial dengan spektrum
aktivitas luas. Bila telah di temukan penyebab pasti, maka antimikroba di ganti
sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut.
Sebelum ada hsil kultur darah , di berikan kombinasi antibiotik yang kuat ,
misalnya antara golongan penisilin/penicillinase, bila resisten dengan penicillin
dengan gentamicin.
 Golongan penicillin

Prokain penicillin 50.000 IU/kgbb/ hari im, dibagi dua dosis


ampicillin 4-6 x 1 gram /hari iv selama 7 hari
 Golongan penicillinase-resistent penicillin

Kloksasilin (cloxacillin orbenin) 4x1 gram/hari iv selama7-10 hari sering di


kombinasikan dengan ampisilin, dalam hal ini masing-masing dosis obat di
turunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah
ada(ampiclox 4x1 gram/hari iv)
metisilin 4-6 1 gram/hari iv selama 7-14 hari
 Gentamycin

Gentamycin 5mg/kgbb/hari dibagi 3 dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap


efek nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan di sesuaikan. Beberapa
bakteri gram negative yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang di
anjurkan
Bakteri Antibiotik
1. E.coli Ampisilin/sefalotin
2. Klebsiella, Enterobacter Gentamicin
3. Proteus mirabilis Ampisilin/sefalotin
4. Bakteroides Kloramfenikol/klindamisin
5. Pseudomonas Gentamicin

 Dosis

- sefalotin : 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya dilarutkan dalam 50-100 ml cairan,
diberikan per-drip dalam 20-30 menit untuk menghindari flebitis.
- Klorampenikol : 6x 0,5 g/hari iv
- Klindamisin : 4x 0,5 g/hari iv

KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9
a.Komplikasi dini Septikemia dan syok septic, Syok hipovolemik, Sepsis intra
abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system,
Abses residual intraperitoneal, Portal Pyemia (misal abses hepar)
b.Komplikasi lanjutAdhesi, Obstruksi intestinal rekuren

PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen
Pada Peritonitis Spontan Primer, adanya rekurensi hingga 70%.

REFERENSI
1. Andersn DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, Pollock RE.
Schawartz’s Principles of Surgery. 10th ed. NY; McGraw-Hill: 2010.
2. Lopez N, Kobayashi L, Coimbra R. A comprehensive review of abdominal
infections. World Journal of emergency Surgery: 2011.
3. Peralta R. Peritonitis and Abdominal Sepsis. 2010; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/192329-overview.
4. Dennis L Kasper DFZ. Intraabdominal Infections And Abscesses. Harrison's
Principles of Internal Medicine2005. p. 749
5. Filippone A, Cianci R, Pizzi AD, Esposito G, Pulsone P, Tavoletta A, et al.
CT findings in acute peritonitis: a pattern-based approach. Turkish Society
of Radiology: 2015.
6. Bandy SM. Spontaneous Bacterial Peritonitis: Treatment & Medicatio. 2010;
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/789105-treatment.

7. Hermawan A.G 2007. Sepsis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang


Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus, Setiti, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit DalamJilid III Edisi IV. Jakarta: PusatPenertiban Departemen
Ilmu Penayakit Dalam FKUI. Pp:1840-3

You might also like