You are on page 1of 40

ABSTRAK

Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya


ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai
pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis
maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan
diantaranya mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi
anak yang diangkat. Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian penulis adalah
tentang wasiat wajibah terhadap anak angkat di kota Bengkulu. Dalam penelitian
ini akan membahas bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak pada masyarakat
kota Bengkulu dan bagaimana implementasi wasiat wajibah anak angkat pada
masyarakat kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan
pengangkatan anak pada masyarakat kota Bengkulu dan implementasi wasiat
wajibah anak angkat pada masyarakat kota Bengkulu. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan yuridis empiris. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami
bahwa hukum itu tidak semata-mata sebagai suatu seperangkat aturan
perundang-undangan yang bersifat normatif belaka akan tetapi hukum dipahami
sebagai perilaku masyarakat yang mengejala dalam kehidupannya. Metode
pendekatan kualitatif, dimana penelitian diharapkan menghasilkan data deskreptif
berupa data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengangkatan anak di kota Bengkulu
diiaksanakan secara kekeluargaan menurut kebiasaan masyarakat setempat tanpa
melalui proses persidangan. Hal ini dikarenakan proses persidangan yang dirasakan
oleh masyarakat cukup rumit dan memakan waktu. Menghindari proses inilah
maka pada umumnya pengangkatan anak di kota Bengkulu banyak terjadi secara
kekeluargaan saja tanpa mendapatkan penetapan dari pengadilan dan dalam
pembagian harta wasiat ataupun harta waris anak angkat kebiasaan masyarakat
dalam mengangkat anak melalui proses kekeluargaan berdasarkan aturan adat yang
berlaku adalah Hukum yang berlaku bagi masyarakat tersebut. Hal tersebut sesuai
dengan kaidah fiqh yang menyatakan adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai
Hukum (‫)العادة المحكمة‬
‫الملخص‬
‫في تنفيذ إزالة الطفل كان ال يزال هناك‬
‫نص قانوني التي ال تزال لم تكن موحدة‬
‫‪ .‬األحكام القانونية المتعلقة بالتبني‬
‫تنتشر في بعض القواعد القانونية ‪،‬‬
‫–سواء المكتوبة وغير المكتوبة ‪ .‬مثل‬
‫هذه الحالة بالتأكيد تثير قضايا‬
‫تتعلق األثر القانوني ل هذا اإلقرار ال‬
‫سيما بالنسبة لألطفال الذين تتم إزالة‬
‫‪ .‬في هذه الحالة يتم التركيز على‬
‫البحوث مقدم البالغ كان اقترض ضد‬
‫األطفال الذين تم تبنيهم في مدينة‬
‫بنجكولو ‪ .‬هذا البحث سوف نستكشف كيف‬
‫كان اقترض تنفيذ الطفل المتبنى تنفيذ‬
‫التبني في المجتمعات مدينة بنجكولو‬
‫وكيف في م–دينة بنجكولو ‪ .‬تهدف هذه‬
‫الدراسة إلى تحديد و تنفيذ اقترضت‬
‫اعتماد وتنفيذ مدينة بنجكولو الربيب‬
‫في مدينة بنجكولو ‪ .‬تستخدم هذه‬
‫الدراسة المنهج التجريبي القانونية ‪.‬‬
‫ويهدف هذا النهج أن نفهم أن القانون‬
‫ليس مجرد مجموعة من القواعد‬
‫القانونية التي هي المعيارية ولكن‬
‫القانون هو يفهم على السلوك العام‬
‫شارك في الحياة ‪ .‬نهج نوعي ‪،‬‬ ‫أن‬
‫والذي من المتوقع أن األبحاث إلنتاج شك‬
‫البيانات من بيانات مكتوبة أو‬ ‫وصف‬
‫شفهية من الناس والسلوكيات التي يمكن‬
‫مالحظتها ‪ .‬وخلصت هذه الدراسة إلى أن‬
‫اعتماد األطفال في مدينة بنجكولو‬
‫نفذت وديا وفقا للعادات المحلية دون‬
‫المرور عبر عملية المحاكمة ‪ .‬وذلك ألن‬
‫كان ينظر الدعوى من قبل الجمهور هو‬
‫مضيعة لل وقت و معقدة جدا ‪ .‬تجنب هذه‬
‫العملية عموما إزالة الطفل في مدينة‬
‫بنجكولو يحدث كثيرا في عائلة دون‬
‫الحصول على قرار المحكمة و تقسيم‬
‫الممتلكات في وصية أو عقارات عادات‬
‫المجتمع اعتمدت األطفال في األسرة‬
‫لتبني طفل من خالل عملية تستند إلى‬
‫القواعد المطبقة من القانون العرفي‬
‫ هذا هو وفقا‬. ‫المنطبق على الجمهور و‬
‫لل قواعد الفقهية التي تنص يمكن‬
( ‫تعريفها على أنها القانون العرفي‬
) ‫العادة المحكمة‬

vi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Kloning pada manusia merupakan prestasi besar dan menjadi berita
spektakuler sejak kemunculannya. Berbagai sudut pandang digunakan untuk
melihat permasalahan kloning, seperti sudut pandang biologi, medis, hukum,
moral, dan agama, yang kesemua itu menggambarkan betapa teknologi kloning
akan memiliki dampak yang sangat besar bagi masa depan peradaban manusia,
karena kemampuan manusia untuk melakukan rekayasa genetika yang radikal
terhadap perjalanan hidup manusia.
Melalui teknologi rekayasa genetika, yaitu kloning yang dilakukan pada
manusia telah memunculkan berbagai permasalahan, pertanyaan-pertanyaan etis,
serta tingkat kekhawatiran manusia yang sangat mencemaskan terhadap seluruh
perkembangannya. Upaya penerapan kloning pada manusia telah menimbulkan
reaksi pro dan kontra dari berbagai kalangan dan berbagai pandangan yang
dikeluarkan sama-sama memiliki alasan (argumen) yang kuat. Penerapan teknik
kloning pada manusia dalam posisi yang dilematis antara kajian tentang
manfaatnya bagi manusia dan kajian mengenai dampaknya bagi manusia itu
sendiri, lalu bagaimanakah Islam menjawab permasalahan ini.
1. Pandangan Islam terhadap Kloning yang Dilakukan pada Manusia
Pandangan Islam terhadap kloning yang dilakukan pada manusia dikaji
rnelaui al-Qur'an, Hadist, dan pendapat para ulama kontemporer yang diuraikan
secara lengkap sebagai berikut:
a) Menurut Al-Qur'an
Pengharaman penerapan kloning terhadap manusia yang terdapat
dalam Al-Qur'an sebagai berikut:
1) Q.S Ad. Dzariyat(51): 49
    
  
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah.

2) Q.S. An-Najm (53): 45-46


  
   
   
Artinya:Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan pria dan wanita. Dari air mani, apabila
dipancarkan
3) Q.S. Al-Qiyamah (75): 37-38
    
    
  
Artinya: Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke
dalam rahim), Kemudian mani itu menjadi segumpal darah,
lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya,
4) Q.S. AJ-Insan (76): 2
   
  
   
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes
mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia
mendengar dan melihat.

Berdasarkan keempat ayat di atas dapat disimpulkan bahwa di


dalam Islam, kelangsungan hidup manusia dilestarikan menurut
sunnatullah melalui pembentukan keluarga yang disahkan oleh syariat
Islam. Penciptaan manusia secara alamiah dilakukan melalui perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang tentunya sah dilakukan apabila sudah
menikah menurut syariat Islam. Jadi, pertemuan antara sel sperma
(spermatozoid) dengan sel telur (ovum) merupakan syarat bagi tercapainya
anak (keturunan) yang sempurna. Selain dengan cara tersebut, Allah SWT
tidak memberikan jaminan bagi produk yang dihasilkan. Cara alamilah
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk manusia dan dijadikan-Nya
sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak (keturunan). Dengan
menerapkan teknik kloning pada manusia, kelahiran
seorang bayi tidak lagi memerlukan sperma seorang ayah. Seorang ibu
sudah cukup secara teoritis untuk punya anak. Seorang laki-laki, apabila
ingin punya anak tidak memerlukan seorang istri lagi. Sebagai implikasi
dari kloning itu sendiri, maka lembaga perkawinan akan semakin tidak
dihargai dan pembentukan keluarga tidak mempunyai arti lagi bagi
manusia. Padahal keluarga dibentuk tidak hanya untuk memproduksi anak,
akan tetapi juga untuk memberikan perlindungan psikologis terhadap
anggota-anggotanya serta yang paling utama adalah dalam rangka ibadah
kepada Allah Azza Wajalla.

5) Q.S. Al-Mukminun (23): 13-14


Dalam hal ini Islam mengisyaratkan adanya campur tangan
(intervensi) manusia dalam proses produksi manusia. Sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya sebagai berikut:
   
   
  
  
  
  
    
  
 
Artinya: Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka
Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam


mengisyaratkan adanya campur tangan (intervensi) manusia dalam proses
produksi manusia dan Allah SWT menyempurnakannya dengan meniupkan
ruh (nyawa) ke dalam embrio (janin) yang tumbuh di dalam tubuh wanita
yang hamil tersebut. Oleh karena itu, penciptaan manusia terdiri atas 3
(tiga) unsur, yaitu jasad, nyawa (nafas), ruh (nyawa).
Dengan penerapan teknik kloning pada manusia, hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada campur tangan Allah SWT dalam penciptaan
makhluk hidup bam, karena pembuahan yang terjadi tidak secara alami di
dalam rahim, tetapi dilakukan pembuahan di luar rahim (ex vitro), sehingga
membentuk zygote, selanjutnya zygote tersebut ditanamkan dalam rahim,
biasanya wanita lain yang bertindak sebagai surrogate mother (wanita yang
mengandung embrio) bukanlah merupakan istri yang sch. Hal ini dilakukan
karena isteri tidak boleh mengandung karena suatu penyakit tertentu, seperti
kanker rahim dan sebagainya.

6) Q.S.A1-Hujurat(49): 13
  
  
 
 
  
  
    
 
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak hasil


kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), maka anak hasil
kloning tersebut tidak akan mempunyai ayah. Manusia yang tidak
mempunyai seorang ayah telah dijelaskan dalam Al-Qur'an hanya Nabi Isa
a.s atas kebesaran Allah SWT melalui pesan yang disampaikan melalui
Jibril kepada Siti Maryam dengan meniupkan ruh ke dalam rahimnya. Anak
hasil kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan sel telur yang
telah dipisahkan inti selnya (nucleus-nya) yang telah digabungkan dengan
inti sel tubuh (sel somatik) ke dalam rahim perempuan yang bukan pemilik
sei telur (ovum), maka anak hasil kloning tersebut tidak pula akan
mempunyai ibu. Manusia yang tidak mempunyai ibu tidak dijelaskan di
dalam Al-Qur'an, tetapi manusia terlahir yang tidak mempunyai ayah dan
ibu telah ditegaskan dalam Al-Qur'an hanya Nabi Adam a.s.
Rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur (rahim
donor) tersebut hanya menjadi penampung, tidak lebih dari itu. Hal ini
merupakan tindakan menyia-nyiakan manusia, karena secara genetis anak
yang di hasilkan dari teknik kloning tidak mempunyai ibu dan ayah.

7) Q.S. Al-Azhab (33): 5


  
     
 
  
   
  
   
   
  
Artinya: Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah,
dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka
(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang
kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
.
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak,
walaupun dia seorang anak angkat sangat dianjurkan dalam Islam dipanggil
berdasarkan nama bapaknya. Namnn, jika seorang anak dihasilkan dari
teknik kloning yang hanya melibatkan sel tubuh (sel somatik) dan sel telur
(ovum) dari istri saja atau donor saja, maka akan timbul kerancuan anak
tersebut akan dipanggil dengan sebutan apa, sementara dia tidak memiliki
bapak/ayah genetik. Hal ini menunjukkan bahwa menurut sunatullah, anak
yang sah menurut pandangan Islam adalah anak yang dihasilkan dari
hubungan seksual (hubungan suami-istri), sehingga anak yang dilahirkan
jelas merupakan anak dari kedua pasangan suami-istri tersebut. Di tengah
masyarakat, anak yang dihasilkan akan dipanggil berdasarkan nama
bapaknya.
8) Q.S. AJ-Isra' (17): 70
   
  
 
 
 
   
 
Artinya: Dan simgguh, Kami telah memuliakan anak cucii Adam, dan
Kami angkut mereka di darat dan di lant, dan kami beri
mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna.

9) Q.S. At-Tiin (95): 4


   
  
Artinya: Sungguh, Kami telah mendptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.

Berdasarkan kedua ayat di etas dapat disimpulkan bahwa Allah


SWT memuliakan anak cucu Adam a.s dengan memberikan berbagai
kelebihan dibandingkan makhluk hidup lainnya, artinya manusialah yang
paling sempurna dari segi bentuk (rupa) serta diberi kelebihan berupa akal
dan budi pekerti. Penciptaan manusia dari hasil kloning merupakan
penolakan terhadap kodrat yang telah digariskan oleh Allah SWT
(sunatullah). Jika sepasang suami istri tidak dapat memiliki anak karena
istri tidak boleh hamil dan melahirkan atau istri infertile (tidak subur), tidak
seharusnya menghasilkan anak dengan teknik kloning yang
mempertemukan sel tubuh (sel somatik) dengan sel telur (ovum) wanita lain
ataupun menggunakan rahim wanita tersebut. Pasangan suami-istri yang
tidak mempunyai anak, berarti Allah SWT tidak memberikan mereka rezki
berupa anak (keturunan), namun kepemilikan anak dapat dilakukan sesuai
dengan syariat Islam dengan mengadopsi anak dari sanak keluarga mereka
ataupun mengadopsi anak orang lain. Hal ini tentunya juga tidak melanggar
etika yang berkembang di tengah masyarakat kita yang masih awam dengan
teknologi kloning yang takutnya akan menimbulkan berbagai polemik di
tengah masyarakat.

10) Q.S Ar-Ruum (30): 21


   
  
 
  
    
  
 

Artinya: dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cendrung dan merasa tenteram
kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir".

11) Q.S. Ar-Ruum (30): 30


  
    
    
    
  
   

Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lams kepada agama
(Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah
menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Berdasarkan kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Allah


SWT telah menciptakan bagi laki-laki isteri-isteri dari jenis yang sama agar
mereka cenderung dan merasa tenteram di dekat, sehingga timbul rasa kasih
sayang di antara mereka. Akhirnya anak yang dihasilkan dari rasa kasih
sayang antara keduanya merupakan cara yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT, yaitu melalui persetubuhan yang wajar dan dihalalkan dalam Islam.
Penciptaan manusia sebagai fitrah yang telah digariskan oleh Allah SWT
harus melibatkan hubungan antara seorang laik-laki dan perempuan untuk
menghasilkan keturunan yang sempurna. Seorang anak merupakan hasil
kontribusi antara sel sperma dan sel telur, dimana masing-masing
komponen membawa substansi yang berbeda, sehingga hanya dari
keduanya bisa lahir seorang bayi yang sempurna, dalam artian semua
komponen tubuhnya berfungsi dengan normal.
Sampai saat ini pembuahan secara konvensional telah terbukti
kesempurnaannya (melalui hubungan suami isteri yang normal (hubungan
seksual)). Kalaupun ada bayi yang lahir dalam keadaan cacat, penyebabnya
bukan karena kesalahan metodenya. Bayi yang lahir dari teknik kloning
memiliki banyak sekali kelemahannya yang telah dibuktikan secara secara
ilmiah pada berbagai kasus, seperti kekurangan (dejisiensi) sistem imun
tubuh, dimana rata-rata usia hidup manusia hasil kloning lebih pendek
(singkat).

12) Q.S. Ali-Imran (3): 59


    
    
    
 
Artinya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah
seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah,
kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah"
(seorang manusia), maka jadilah dia.

13) Q.S. Ali-Imran (3): 45-47


  
   
  
  
   
 
 
  
  
   
    
   
   
    
   
 

Artinya: (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya


Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera
yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya,
namanya al-Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di
dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan
(kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian
dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara
orang-orang yang saleh. Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa
mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah
disentuh oleh seorang laki-lakipmf'. Allah berfirman:
u
Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.
Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah
hanya cukup berkata kepadanya: "Jadilah", lalu jadilah dia".
Berdasarkan kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia berkemungkinan akan
merusak keimanan manusia kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta.
Bagi kaum yang berpikir tentu saja ini hanya akan menjadi kesombongan
yang tiada arti, karena Allah SWT balikan telah mampu lebih dahulu
menciptakan Nabi Adam As tanpa ayah dan ibu dan Nabi 'Isa As tanpa
ayah. Segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, Allah SWT
menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa
bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem
umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Nabi Adam As dan 'Isa As.
Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas
kehendak Allah SWT. Jika manipulasi bioteknclogi (rekayasa genetika) ini
berhasil dilakukan, hal itu seharusnya tidak mengurangi keimanan kita
kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta, karena bahan-bahan utama yang
digunakan dalam teknik kloning manusia, yaitu sel tubuh dan sel telur yang
belum dibuahi semuanya merupakan benda ciptaan Allah SWT.

b) Menurut Hadist
Hukum mengenai kloning yang dilakukan pada manusia yang
menurut Hadist Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1) Hadist yang diriwayatkan dari Sa'id bin Abi Hilal r.a
Diriwayatkan dari Sa'id bin Hilal sesimggnhnya Nabi saw
bersabda: "Menikahlah kalian dan pzrbanyaklah keturunan,
sesungguhnya aku akan (bangga) menjadi umatyang terbesar dengan
(banyaknya keturvnan) kalian1.
2) Hadist yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a
Rasulullah saw telah bersabda: "Menikahlah kalian dengan
waniia-wanita yang subur (peranak) karena sesungguhnya aku akan
membanggakan (banyaknya) kalian pada Hari Kiamat nanti" (HR.

1
Imam Almundziri. 2003. Ringkasan Hadist Muslim: Edisi 2. Jakarta: Pustaka Amani, h. 119.
Ahmad)2.
Berdasarkan kedua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Nabi
Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dan
memperbanyak keturunan, karena beliau akan bangga memiliki umat yang
terbesar dari keturunan semua umatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa
anak (keturunan) yang dianjurkan adalah anak dari proses yang alami, yaltu
pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan, kemudian
menghasilkan anak dengan cara alami yang telah ditetapkan oleh Islam.
Jadi, anak yang dihasilkan dengan teknik kloning tidak dianjurkan oleh
Nabi Muhammad SAW.
Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah terbuahi diletakkan
dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri (surrogate mother). Begitu
pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan tersebut terjadi
antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri, meskipun sel telur
yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri. Haram juga
hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma bukan
suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya
diletakkan dalam rahim isteri.
3) Hadist Rasulullah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a
"Siapa sajayang menghubungkan nasab kepada orangyang bukan
ayahnya, atau (seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain
tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan
seluruh manusia" (HR. Ibnu Majah) 3.
4) Hadist Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a
"Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab
(seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan
mendapat apa pun dari Allah dan Allah tidak akan pernah
memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki yang
mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripanjnya,

2
Ibid,h. 121.
3
Ibid, h. 127.
maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan
perbvatannya itu di hadapan orang-orang yar.g terdahulu dan
kemudian (pada Hah Kiamat nantif (HR. Ad Darimi)4.

Berdasarkan kedua hadist di atas dapat disimpulkan bahwa kloning


manusia akan menghilangkan caris keturunan (nasab) seorang anak.
Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab, karena
implikasinya akan berhubungan dengan masalah-masalah lainnya yang
menyangkut syara’ , seperti pernikahan, kewarisan, dan sebagainya.

c) Menurut Kajian para Ulama-ulama Terkenal


Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer
(kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning
dibahas oleh para ulama. Oleh karena itu, rujukan yang dikemukakan
berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan
ulama kontemporer (masa kini). Hukum mengenai teknik kloning yang
dilakukan pada manusia menurut kajian para ulama kontemporer sebagai
berikut:
1) Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad
Jamil Hammud Al-'Amily
Sheikh Muhammad Thanthawi dan Sheikh Muhammad Jamil
Hammud Al-'Amily menyatakan bahwa "kloning dalam upaya
mereproduksi manusia terdapat pelecehan terhadap kehormatan
manusia yang mestinya dijunjung tinggi"5. Kloning mengarah kepada
goncangnya sistem kekeluargaan serta penghinaan dan pembatasan
peranan perempuan. Kloning bukan saja memutuskan lkatan
silaturahim, tetapi juga mengikis habis cinta antara laki-laki dengan
perempuan. Kloning akan mengubah ciptaan Allah SWT dan
bertentangan dengan sunatullah, karena itu merupakan pengaruh setan

4
Ibid, h. 135.
5
Halid Akaf, 2003. Kloning dan Bayi Tabung: Masulah dan Implikasinya, Jakarta: PB UIN, h. 4.
bahkan merupakan upayanya untuk menguasai dunia dan manusia. Bisa
saja dengan penemuan teknologi kloning akan menimbulkan
manusia-manusia serakah yang akan memanfaatkan hasil temuannya
untuk hal-hal yang bertentangan dengan agama.
2) Sheikh Muhammad Ali a!-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran Sunni)
Sheikh Muhammad Ali al-Juzu (Mufti Lebanon yang beraliran
Sunni) menyatakan bahwa kloning manusia akan mengakibatkan sendi
kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur, karena
manusia yang lahir melalui proses kloning tidak d-kenal siapa ibu dan
ayahnya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih,
sehingga tidak diketahui siapa ibunya. Jika kloning dilakukan secara
berulang-ulang, maka bagaimana kita dapat membedakan
seseorang dari yang lain yang juga mengambil bentuk dan
rupa yang sama. Artinya, penerapan kloning pada manusia
merupakan penemuan baru untuk menghasilkan replikasi (replikan)
manusia yang identik dengan manusia lainnya. Tentunya hal ini akan
dapat membuat buruk citra manusia yang asli, jika replikanya dibuat
oleh ilmuwan yang tidak bertanggungjawab dengan tujuan yang tidak
benar6.
3) Sheikh Farid Washil (mantan Mufti Mesir)
Sheikh Farid Washil (mantan Mufti Mesir) menolak kloning
reproduksi manusia karena dinilainya bertentangan dengan empat dari
lima Maqashid asy-Syar'iah, yaitu a) pemeliharaan jiwa, b) akal, c)
keturunan, dan d) agama. Dalam hal ini, akal dan jiwa manusia hasil
kloning akan mampu direkayasa melalui rekayasa genetika untuk
menghasilkan manusia dengan otak pintar atau manusia bertenaga
super, seperti mesin pembunuh (killer machine). Masalah keturunan dan
agama telah dijelaskan dalam banyak surat dalam Al-Qur'an7.
4) KH. Ali Yafie dan Armahaedi (Indonesia) dan Abdul Aziz Sachedina

6
Sahal Mahfudli, 2004. Solusi Problematilca Akhial Hukum Islam, Surabaya: LTN NU dan
Diantama, h. 544.
7
Ibid.,
dan
Imam Mohamad Mardani (Amerika Serikat)
KH. Ali Yafie dan Armahaedi Mahzar dari Indonesia dan Abdul
Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani dari Amerika Serikat
juga mengharamkan dengan alasan mengandung ancaman bagi
kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan
hancurnya lembaga keluarga. merosotnya nilai-nilai kemanusiaan,
menantang Allah SWT dengan bermain tuhan-tuhanan, karena mereka
mampu menciptakan manusia baru tanpa harus melalui hubungan
seksual, serta kehancuran moral, budaya, dan hukum8.
5) Tahfatul Muhtaj Syarah Al-Manhaj, Juz II

‫مرأن االستدخال كالوطء بشرط احترامه حالة االئزال ثم‬


‫ (تحفة المحتاج‬.‫حالة االستدخال بأن يكون لها شبه فيه‬
(300/8 ‫بشرح المنهاج‬
Artinya: "Sebagaimana telah dijelaskan bahwa memasukkan sperma
(inseminasi buatan) hukumnya sama seperti persetubuhan,
dengan syarat dalam keadaan terhormat (halal) ketika
mengeluarkan sperma dan ketika memasukkannya serupa
dengan ketika bersetubuh"9
6) Yas-alunaka 'anid Din wal Hayat, Juz II

‫وان عواطف االبوة واالمومة التتحقق فيما يتعلق بالنسل‬


‫اال اذا كان هذا النسل قد تكون وخرج الى الحياة با‬
‫ والتلقيح يؤدي الى كيان‬.‫لطريق الطبيعي المعلوف‬
‫ واالستحفاف بأصول الفضائل وأركان العقة‬...‫االسرة‬
( 219/2 ‫والشرف (يسئلونك عن الدين والحياة‬
Artinya: "Sesungguhnya perasaan kebapakan dan keibuan itu tidak
akan terwujud dalam hal yang terkait dengan keturunan,

8
Ibid., h. 555
9
Mahfud Zuhdi, 2008. Masil Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung, him. 303.
kecuali jika keturunan iersebut telah ada dan hidup dengan
cara yang alami. Perkawinan dapat menyebabkan
terbentuknya suatu kehiarga dan mempermudah perolehan
prinsip keutamaan dan kemuliaari".10

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa anak hasil


kloning yang dihasilkan dengan cara yang tidak alami, yaitu tidak melalui
persetubuhan (hubungan seksual) antara suami dengan istri, maka hal ini
akan mengakibatkan perasaan kebapakan dan keibuan tidak akan terwujud
dalam sebuah rumah tangga, karena tidak ada kontak bathin antara anak
dengan kedua orang tuanya yang dibawa oleh faktor genetis yang
diturunkan kepada anak-anaknya. Rasa sayang seorang ibu akan muncul
secara alami dengan segala kesulitan yang dialaminya selama mengandung
(hamil) anaknya yang memang merupakan hasil hubungan yang alami
antara dia dengan suaminya. Segala sesuatu yang tidak dilakukan dengan
cara yang telah ditetapkan/disyariatkan agama (Islam), maka manusia itu
scndiri yang akan merasakannya. Allah telah menetapkan segala sesuatu
demi kebaikan manusia itu sendiri.
Ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan
alasan sebagai berikut:
a. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dan pikiran
dalam memahami agama.
b. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu pengetahuan (dalam
hadits dinyatakan bahkan sampai ke negeri Cina sekalipun). Hal ini
sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW:
Artinya: Carilah ilmu sampai di negeri Cina
c. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang
belum mereka ketahui (Q.S. Al-'Alaq (87): 1-5).
  
  

10
Ibid., h. 219
  
  
  
 
  


Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang


menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhamulah Yang Maha Mulia. Yang
mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia
apa yang tidak diketahuinya.
d. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa
seizin Allah (Q.S. Al-Baqarah (2): 255).
     
   
    
   
     
  
   
   
   
  
    
 
   
  
 

Artinya: Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia
yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya);
tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di
langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi
Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di
hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya. KursiAllah meliputi langit dan bumi. dan
Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.

Dengan beberapa argumen di atas kita menyadari bahwa penemuan


kloning pada manusia merupakan bagian dari takdir (kehendak) Illahi yang
dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan
teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan
dalam Islam. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan
sebenarnya masih bersifat sementara (tentative), bahwa argumen para
ulama/ilmuan yang menolak penerapan kloning pada manusia hanya
melihatnya dari satu sisi, yaitu sisi implikasi praktis atau sisi penerapan ihnu
pengetahuan {applied science) dari teknik kloning.
Penerapan ilmu pengetahuan yang mempunyai implikasi sosial
praktis tentunya akan mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang
menyentuh sisi ilmu pengetahuan murni (pure science) juga punya dasar
pemikiran dan logika tersendiri pula. Ilmu-ilmu dasar dari teknik kloning
yang bisa berjalan terus di laboratorium, baik ada larangan maupun tidak.
Dalam mencari batas "keseimbangan" antara kemajuan IPTEK (Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi) dengan doktrin agama, pertanyaan yang dapat
diajukan adalah sejauh mana para ilmuan, budayawan, dan agamawan dapat
berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi
tersebut.
Secara keseluruhan berdasarkan pendapat menurut Al-Qur'an,
Hadits, dan pendapat para ulama terkenal mengenai kloning pada manusia
di atas tidak sejalan dengan tujuan agama, karena kloning tidak mampu
memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan dalam beberapa aspek
kehidupan terlihat pertentangannya. Hal ini karena dampak negatif
(mafsadat) yang ditimbulkannya dari kloning pada manusia sebagai
berikut:
a. Hilangnya hukum keanekaragaman (variasi) di alam raya
Dengan kloning akan meniadakan keanekaragaman tersebut,
karena secara tidak langsung menciptakan duplikat/replika
(penggandaan) dari satu orang, sehingga dari satu orang akan mampu
diciptakan orang yang sama dalam jumlah yang besar yang tentunya
bentuknya mirip dengan aslinya, namun akan dan sifatnya dapat diubah
dengan melakukan rekayasa genetika. Hal ini akan dapat merusak
kehidupan manusia dan tatanan sosial dalam masyarakat tersebut yang
dampaknya sebagian telah kita ketahui dan sebagian lainnya akan kita
ketahui pada masa mendatang. Lebih baik mencegah daripada
mengobati.
b. Kloning akan menghilangkan garis keturunan (nasab)
Kita akan kesulitan dalam menentukan garis keturunan (nasab)
anak hasil kloning tersebut. Selain itu, tidak menutup kemungkinan
hasil kloning dapat digunakan untuk kejahatan. Siapa yang bisa
menjamin jikalau diperbolehkan kloning tidak akan ada satu negara
yang mencetak ribuan orang yang digunakan sebagai prajurit militer
yang berfungsi menumpas negara lain, sehingga hal ini dapat memicu
dan menimbulkan pecahnya Perang Dunia ke-3 yang dibantu dengan
kemajuan teknologi dalam bidang kemiliteran.
c. Kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara'
(agama)
Dengan adanya hasil kloning, hukum-hukum syara' yang tidak
akan terlaksana dengan baik seperti hukum tentang perkawinan, garis
keturunan (nasab), nafkah, hak, dan kewajiban antara bapak dan anak.
waris, perawatan anak, hubungan kemahraman (muhrim), hubungan
'ashabah, dan sebagainya. Artinya, teknologi kloning yang diterapkan
pada manusia menimbulkan dampak negatif yang saling berkaitan satu
sama lain yang jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang dapat
diperoleh.
d. Hasil kloning akan dapat digunakan untuk tujuan yang salah (kejahatan)
Hasil kloning manusia berkemungkinan digunakan untuk
kejahatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Jika
penerapan kloning pada manusia diperbolehkan suatu negara dapat saja
mencetak ribuan atau bahkan jutaan orang yang akan digunakan sebagai
prajurit militer yang berfungsi sebagai mesin pembunuh (killer
machine) untuk menumpas negara lain atau untuk tujuan kejahatan
lainnya.
e. Kloning bertentangan dengan sunatullah untuk berpasang-pasangan
(menikah)
Anak-anak produk kloning dihasilkan melalui cara yang tidak
alarm. Padahal cara alami itulah yang telah ditetapkan Allah SWT untuk
manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan
anak (keturunan). Selain itu anak yang dihasilkan/dilahirkan dari proses
yang alami akan memiliki usia yang lebih panjang karena memiliki
sistem imun (kekebalan) yang baik.
f. Praktek kloning telah memasuki ranah kekuasaan Allah
SWT dalam penciptaan makhluk hidup baru
Penciptaan makhluk hidup baru merupakan hak prerogatif Allah
SWT. Jika praktek ini dilakukan oleh manusia, artinya manusia telah
memasuki ranah kekuasaan Allah SWT, padahal prestasi rekayasa
genetika berupa teknik kloning ini semuanya terjadi berdasarkan
kehendak-Nya. Penerapan teknik kloning lebih disarankan untuk
hal-hal yang berkenaan dengan transplantasi (pencangkokan) organ
tubuh sebagai penggantian organ tubuh yang rusak kepada pasien yang
mengalami kecelakaan, seperti patah tangan, kaki, ataupun organ tubuh
lainnya, dan untuk pengobatan (terapeutik).
2. Kewarisan Anak Hasil Kloning Rabim Donor dalam Perspektif Hukum
Islam
Anak hasil kloning rahim donor dalam perspektif hukum Islam
dihasilkan dari sel tubuh (sel somatik) suami dan sel telur (ovum) istri, namun
proses kloningnya menggunakan/meminjam/menyewa rahim donor (rahim dari
wanita lain (surrogate mother)). Peminjaman (penyewaan) rahim juga harus
memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Memastikan rahim kosong dari kehamilan, yaitu wanita yang dipinjam
rahimnya mengalami menstruasi sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut.
b. Suami dari surrogate mother (wanita yang mengandung embrio/janin)
tidak boleh menggaulinya selama masa penitipan embrio hingga selesai
masa persalinan (masa nifas).
c. Ada persetujuan suami secara lisan dan tulisan dari surrogate mother
(wanita yang mengandung embrio), karena selama masa penitipan, hak
bersenggama (hubungan suami istri) untuk suami tidak diberikan atau
ditunda. Penitipan embrio menjadi haram tanpa persetujuan suami, meski
sikap ketidaksetujuannya tanpa alasan.
d. Penitipan embrio itu harus terdaftar di Kantor Catatan Sipil setempat,
karena jika tidak akan berimbas pada hal-hal yang haram.11

Dalam prakteknya, ada 2 (dua) tipe sewa rahim yang diterapkan, yaitu
sewa rahim semata dan sewa rahim dengan keikutsertaan sel telur. Penjelasan
mengenai kedua praktek sewa rahim tersebut sebagai berikut:
a. Sewa rahim semata (gestational surrogacy). Embrio berasal dari hasil
pembuahan (fertilisasi) antara sel sperma suami dan sel telur istri yang
kemudian ditanamkan dalam rahim donor {surrogate mother).
b. Sewa rahim dengan keikutsertaan sel telur {genetic surrogacy). Sel telur
yang turut membentuk embrio adalah sel telur milik perempuan yang
rahimnya disewa itu, sedangkan sperma merupakan sperma milik
suami.12

Dalam kajian ini yang dijadikan telahan adalah peminjaman


(penyewaan) rahim semata {gestational surrogacy) tanpa melibatkan sel telur
dari wanita yang bukan istrinya tersebut. Jika anak yang dihasilkan dari
pertemuan antara sel tubuh (sel somatik) ayah dengan sel telur (ovum) milik
isteri, namun zygote yang dihasilkan selanjutnya ditanamkan dalam rahim
11
Al-Barzanji, Mundzir Thib dan al-'Adili, Syakir Ghani. 2001. 'Amaliyat Athfaal al-Andbib wa
al-Istinsakh al-Basyari fi Manzur al-Syari'ah al-Islamiyah, Libanon: Muassasah ar-Risa!ah (Bayi
Tabung dan Kloning Manusia dalam Perspektif Syariah Islam), [Terjemahan: Mushoffa, Eva].
Semarang: Aneka Ilmu. h. 102.
12
Ibid., h. 108
wanita lain yang bukan istrinya. sebenarnya hal ini tidak akan menimbulkan
kerancuan dalam garis keturunan (nasab), sehingga implikasi dari kloning
tersebut tidak akan mempengaruhi hak waris anak yang akan dilahirkan.
Walaupun anak hasil kloning hanya mempunyai DNA (Deoxyribose Nucleid
Acid), yaitu suatu protein yang berfungsi membawa sifat-sifat genetis dari
donor sel somatik saja. Sel somatik berasal dari suami (ayah si anak), maka
DNA yang ada dalam tubuh anak, namun tidak membawa DNA ibunya.
Implikasi dari tidak adanya DNA si ibu dalam tubuh si anak berkemungkinan
akan menyebabkan ibunya kurang atau bahkan tidak memiliki kecintaan dan
kasih sayang terhadap anaknya tersebut. Hal ini disebabkan hubungan (ikatan)
bathin yang erat antara anak dengan ibunya akan timbul jika seorang wanita
dengan susah payah mengandung anaknya sendiri dan melahirkannya. Dalam
perspektif hukum Islam anak yang dihasilkan dengan teknik kloning melalui
peminjaman (penyewaan) rahim dianggap sebagai tindakan perzinaan yang
hukumnya adalah haram, sehingga anak yang dihasilkan adalah anak haram.13
Jika ditinjau dari kelompok ahli waris dan faktor-faktor yang
memperbolehkan seseorang memperoleh harta warisan, maka anak hasil
kloning termasuk anak yang sah dari kedua orang tuanya, sehingga dia berhak
atas harta warisan dari kedua orang tuanya. Sebaliknya jika dikaji dari
faktor-faktor yang menyebabkan seseorang tidak memperoleh harta warisan
yang terdiri atas hamba (budak), pembunuh, murtad, dan kafir, maka anak hasil
kloning tidak termasuk ke dalam golongan ini. Artinya, anak hasil kloning
berhak menerima harta warisan dari kedua orang tuanya.

B. Pembahasan
1. Pandangan Islam terhadap Kloning yang Dilakukan pada Manusia
Penerapan kloning pada manusia adalah teknik membuat keturunan
dengan kode genetik yang sama dengan induknya berupa manusia. Hal ini
dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari tubuh
manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleus-nya), dan selanjutnya

13
Ibid,h. 111.
ditanamkan pada sel telur (ovum) wanita yang telah dihilangkan inti selnya.
Dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus listrik, inti sel
digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini terjadi, sel telur
yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke dalam rahim
seorang perempuan, biasanya rahim dari wanita lain (rahim donor) agar dapat
membelah diri, berkembang, berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin
sempurna. Setelah itu anak yang dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Anak
yang dihasilkan ini akan berkode genetik sama dengan induknya, yaitu orang
yang menjadi sumber inti sel tubuh (sel somatis) yang teJah ditanamkan pada
sel telur (ovum) perempuan.
Dalam fatwanya Majma' al-Buhuts al-Isldmiyyah yang berpusat di Kota
Kairo, Mesir menjelaskan bahwa dalam konsep hubungan suami-isteri, hukum
mengkloning manusia tergantung pada cara kloning yang dilakukan. Ada 4
(empat) cara yang bisa dilakukan dalam kloning manusia, yaitu:
a. Kloning dilakukan dengan mengambil inti sel (nucleus) “wanita lain
(pendonor sel telur)" yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita
kandidat yang nukleusnya telah dikosongkan.
b. Kloning dilakukan dengan menggunakan initi sel (nukleus) “ wanita
kandidat" itu sendiri, dari sel telur milik sendiri bukan dari pendonor.
c. Kloning dilakukan dengan menanamkan inti sel (nucleus) suami ke dalam
ovum wanita lain yang bukan merupakan isterinya yang sah yang telah
dikosongkan nukleusnya.
d. Kloning dilakukan dengan cara pembuahan (fertilisasi) ovum oleh sperma
(dengan tanpa hubungan seks) dengan proses tertentu. Seperti inseminasi
buatan dapat menghasilkan embrio-embrio kembar yang banyak14.
Untuk cara a dan b masih dibolehkan (mubah) untuk dilakukan, namun
cara ini jarang dilakukan oleh manusia. Motivasi utama yang mendorong
praktek kloning sampai saat ini adalah untuk menghasilkan keturunan karena
isteri tidak dapat/boleh hamil ataupun karena isteri mandul/tidak subur
(infertile) karena menderita suatu penyakit tertentu, seperti kanker rahim,

14
Mahfud Zuhdi, 2008. Masil Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung, him. 278.
kanker serviks (mulut rahim), dan penyakit liannya yang berkaitan dengan
rahim. Untuk cara c dan d mirip dengan kehamilan dan kelahiran melalui
perzinaan, hanya saja di dalam prosesnya tidak terjadi penetrasi penis ke dalam
vagina. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang menjalani proses
tersebut tidak dijatuhi sanksi bagi pezina (hadduz zina), akan tetapi dijatuhi
sanksi berupa ta'zir, yang besarnya diserahkan kepada kebijaksaan hakim
(qadli). Melalui teknik kloning anak yang dihasilkan tidak melalui proses yang
alami, yaitu hubungan suami-isteri (senggama), sehingga hal ini bertentangan
dengan sunatullah yang terdapat dalam surat Ad-Dzariyat ayat 49, surat
An-Najm ayat 45-46, surat Al-Qiyamah ayat 37-38, surat Al-Insan ayat 2, dan
surat Al-Mukminun ayat 13-14.
Ada satu hikmah penting dengan adanya inovasi baru tentang teknologi
kloning ini. Prestasi ilmu pengetahuan yang telah sampai pada penemuan
proses kloning ini sesungguhnya telah menyingkapkan sebuah hukum alam
yang ditetapkan Allah SWT. Pada sel-sel tubuh manusia dan hewan, karena
proses kloning telah menyingkap fakta bahwa pada sel tubuh manusia dan
hewan terdapat potensi menghasilkan keturunan, jika inti sel tubuh tersebut
ditanamkan pada sel telur perempuan yang telah dihilangkan inti selnya. Jadi,
sifat inti sel tubuh itu tak ubahnya seperti sel sperma laki-laki yang dapat
membuahi sel telur perempuan.
Selain itu, teknologi kloning ini telah memberikan kontribusi dalam
menunjukkan kebenaran salah satu akidah agama yang sangat prinsip, yaitu
tentang hari kebangkitan dan kehidupan kembali setelah mati untuk hisab
(perhitungan) di akhirat, yang diingkari oleh orang-orang musyrik terdahulu
(pada zaman nabi-nabi menyampaikan ajaran Islam) serta orang-orang
pengikut paham materialis saat ini. Fenomena kloning ini telah mendekatkan
manusia kepada keyakinan akan kebenaran akidah ini. Dengan menggunakan
sel tubuh (sel somatik) ataupun sel sperma yang digabungkan dengan sel lelur
(ovum), manusia bisa hidup kembali dengan bentuk yang lain. Jika manusia
mampu melakukan hal ini, maka tidaklah mustahil bagi Allah SWT
menghidupkan kembali manusia yang sudah mati dengan menggunakan tulang
ekornya yang tidak hancur, atau dengan cara lainnya, baik yang kita ketahui
maupun yang tidak. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat
dalam Q.S Ar-Ruum (30): 11 sebagai berikut:
   
  
 
Artinya: Allah yang memulai penciptaan (makhluk), kemudian
mengulanginya kembali, kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.
Walaupun penerapan kloning pada manusia berupa kloning reproduktif
haram hukumnya dalam Islam, namun kloning pada manusia dapat membawa
manfaat, antara lain rekayasa genetika lebih efisien dan manusia tidak perlu
khawatir akan kekurangan organ tubuh pengganti (jika memerlukan) yang
biasa diperoleh melalui donor. Melalui teknik kloning, seseorang tidak akan
lagi merasa kekurangan ginjal, hati, jantung, darah, dan sebagainya, karena
orang tersebut bisa mendapatkannya dari manusia hr-il teknologi kloning. Hal
ini menunjukkan bahwa manfaat yang dirasakan dari teknik kloning bagi
kehidupan manusia yang lebih baik berupa kloning yang untuk pengobatan
(kloning terapeutik).
Kloning terhadap manusia juga dapat menimbulkan dampak negatif
(mafsadat) yang tidak sedikit antara lain:
a. Menghilangkan garis keturunan [nasab) anak hasil kloning yang berakibat
hilangnya banyak hak anak dan terabaikannya sejumlah hukum syara' yang
timbul dari nasab tersebut, seperti hukum tentang perkawinan, nafkah, hak
dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan
anak, hubungan kemahraman, hubungan 'ashabah, dan sebagainya.
Artinya, dengan penerapan kloning pada manusia menghilangkan hak bagi
si anak dan kewajiban bagi kedua orang tuanya.
b. Institusi perkawinan yang telah disyari'atkan sebagai media untuk memiliki
keturunan secara sah, dalam hal ini yaitu KUA (Kantor Urusan Agama)
menjadi tidak diperlukan lagi untuk menikahkan laki-laki dengan
perempuan sebagai syarat sah untuk dapat melakukan hubungan seksual,
karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan
seksual (aseksual).
c. Lembaga keluarga (yang dibangun melalui perkawinan) akan menjadi
hancur, dan pada gilirannya akan terjadi pula kehancuran moral (akhlak)
manusia, budaya, hukum, dan syari'ah Islam lainnya. Istri yang
bersangkutan (yang sah) tidak melahirkan anaknya sebagaimana yang
dikodratkan, yaitu melalui kehamilan alami, sehingga tidak menutup
kemungkinan tipisnya atau bahkan hilangnya ikatan bathin antara si ibu
dengan si anak.
d. Tidak akan ada lagi rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara
laki-laki dan perempuan, karena untuk menghasilkan makhluk hidup baru
tidak memerlukan hubungan suami-isteri lagi melalui perkawinan. Hal ini
tentunya akan berpotensi membuat laki-laki ataupun perempuan akan
menjalani hidup tanpa harus membina rumah tangga. Selain itu
kloning akan memicu munculnya perbuatan jahiliyah dimasa lalu,
seperti homo (gay) pada zaman Nabi Luth as ataupun lesbi (lesbian).
e. Hilangnya maqask'd syari'ah dari perkawinan, baik maqashid awwaliyah
(utama) maupun moqashid tabi'ah (sekunder). Dalam kaidah
fiqhiyah dianjurkan untuk menghindarkan kerusakan (hal-hal yang negatif)
diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.
Perkembangan teknologi merupakan salah satu tanda kebesaran dan
kekuasaan Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Meskipun demikian
manusia harus berupaya menjaga keseimbangan antara batasan kemajemukan
IPTEK, biologi dan doktrin agama. Dengan kemajuan IPTEK harus tetap
berpegang pada norma syari'at, yaitu 5 (lima) syari'at yang diistimbatkan dari
ayat-ayat Al-Qur'an dan as-Sunah (hadits), yaitu:
a) Penghormatan terhadap keyakinan yang berkembang dalam masyarakat
(Hifzu al-Diri). Hal-hal yang berbau tabu akan menimbulkan berbagi
polemik yang dapat meresahkan masyarakat. Anak yang sah bagi
masyarakat awam adalah anak yang dihasilkan dari pernikahan yang sah
yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Melalui hubungan seksual,
maka si istri akan hamil dan melahirkan anak tersebut ke dunia. Artinya,
anak hasil kloning akan merusak keyakinan dan etika yang sela ini ada dan
berkembang di tengah masyarakat.
b) Penghormatan terhadap eksistensi dan keamanan perorangan baik diri
maupun martabat sebagai manusia (Hifzu al-Nafs). Bagi masyarakat
Indonesia yang masih awam dengan kemajuan teknologi rekayasa
genetika berupa kloning ini akan menganggap aneh anak yang dihasilkan
dari proses kloning, sehingga eksistensi anak tersebut di tengah
masyarakat akan menjadi perdebatan.
c) Penghormatan terhadap eksistensi dan kebebasan berpikir yang
merupakan
produk akal yang jujur. Kebebasan berpikir seyogyanya diarahkan kepada
hal-hal yang memberikan kemaslahatan bagi umat banyak dan sedapat
mungkin mengeliminir dampak negatif (mudharat) yang ditimbulkannya.
Penelitian dalam berbagai ilmu pengetahuan sangat dianjurkan di dalam
Islam, karena merupakan bagian dari tahap pembelajaran yang dilakukan
untuk menaikkan pola pikir, harkat dan martabat manusia yang mampu
menaikkan derajatnya dari manusia lainnya. Berbagai ayat dalam
Al-Qur'an dan Hadits, penerapan kloning pada manusia untuk
menghasilkan keturunan dinyatakan haram untuk dilakukan, sedangkan
yang diterapkan pada tumbuhan, hewan, dan untuk pengobatan
dibolehkan.
d) Penghormatan terhadap sistem kekeluargaan yang membuahkan
ketertiban silsilah keturunan yang berkembang dalam masyarakat
(Hifzu al-Nash). Dengan menerapkan kloning pada manusia, maka anak
yang dihasilkan akan memutus silsilah keturunan yang ada di keluarga
tersebut, karena kloning menimbulkan kerancuan mengenai statusnya
berdasarkan keturunan yang dihasilkan dari kelahiran yang sah dan alami
dari kedua orang tuanya.
e) Penghormatan terhadap kepemilikan kekayaan yang didapat secara halal
(Hifzu al-Mat). Kepemilikan kekayaan akan menjadi rancu dalam hal
pembagian harta warisan jika kedua orang tuanya meninggal dunia. Hal
ini tentunya akan menimbulkan perselisihan bagi anak dan saudara yang
ditinggalkan. Hal yang paling parah dari fenomena ini yaitu terjadinya
pertumpahan darah karena keserakahan (ketamakan) dalam
memperebutkan harta warisan jika tidak ada kebijaksanaan dari berbagai
pihak dalam hal pembagian harta warisan.

Kelima acuan di atas merupakan pengawasan terhadap penerapan


keilmuan manusia, agar perkembangan ilmu pengetahuan yang terus dipelajari
dan digali oleh manusia melalui berbagai penelitian (research), khususnya di
bidang rekayasa genetika tidak menyimpang dari norma-norma atau etika yang
ada dan moral agama yang memberikan keluasan untuk menetapkan suatu
hukum yang belum ditetapkan secara jelas dalam agama Islam. Walaupun
penerapan teknologi kloning terhadap manusia merupakan suatu kegiatan
ilmiah dan juga dapat dikatakan bisa membantu manusia untuk berbagai
keperluan seperti transplantasi (pencangkokan) dan pengobatan (terapeutik),
namun dari sekian banyak pertentangan pendapat yang muncul atas persoalan
tersebut dapat dipastikan lebih banyak ditekankan pada persoalan yang
berhubungan dengan etika, moral, hukum, dan agama. Oleh karena itu, perlu
disadari bahwa hal-hal penciptaan manusia adalah mutlak kekuasaan (hak
prerogatif) Allah SWT yang mustahil kiranya untuk dapat ditiru oleh ilmuan
sehebat atau sejenius apapun, kesadaran ini perlu ada dalam jiwa manusia agar
lebih arif dan bijaksana dalam menjelajahi ilmu pengetahuan.

2. Kewarisan Anak Hasil Kloning Rahim Donor dalam Perspektif Hukum


Islam
Sewa rahim merupakan fenomena yang masih baru di negara kita,
namun di luar negeri terutamanya Amerika dan Eropa fenomena ibu tumpang
rahim, sudah menjadi perkara biasa. Kadar permintaan ibu tumpang yang amat
tinggi di atas permintaan pelanggan pasangan yang kurang upaya mendapatkan
anak dan juga dari alasan lain. Teknologi sewa rahim biasanya dilakukan bila
istri tidak mampu dan tidak boleh hamil ayau melahirkan. Embrio dibesarkan
dan dilahirkan dari rahim perempuan lain bukan istri, walaupun bayi itu
menjadi milik (secara hukum) suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Untuk "jasa"nya tersebut, wanita pemilik rahim biasanya menerima bayaran
yang jumlahnya telah disepakati keluarga yang ingin menyewa rahimnya
tersebut, dan wanita itu harus menandatangi persetujuan untuk segera
menyerahkan bayi yang akan dilahirkannya itu ke keluarga yang telah
menyewa.
Pengetahuan dan kemampuan yang sudah dikuasai manusia dalam
berbagai teknologi reproduksi tersebut di muka, yaitu, inseminasi buatan, bayi
"tabung," dan sewa rahim, belum mengutak-atik unsur mikro dari proses
reproduksi seperti inti sel {nucleus) dan struktur yang lebih kecil lagi, seperti,
inti dari inti sel {nucleus), kromosom, dan gen, yang merupakan unsur-unsur
paling dasar yang menentukan keberadaan makhluk hidup. Tindakan
mengutak-atik unsur-unsur paling dasar ini sering dilabelkan sebagai
"mencampuri pekerjaan atau karya Illahi." Ternyata, walaupun belum
menyentuh unsur-unsur itu, berbagai teknologi reproduksi yang sudah dibahas
itu sudah sarat bermuatan bermacam potensi masalah etika, moral, agama,
sosial, dan hukum. Apakah ini kodrat yang tak terelakkan dari tiap kemajuan
teknologi, khususnya teknologi dalam bidang biologi? Walaupun kontroversial
kedengarannya, apakah berbagai masalah yang menyertai berbagai kemajuan
itu merupakan pertanda bahwa manusia tidak perlu, atau tidak boleh,
melakukan terobosan untuk menjadikan berbagai aspek dalam hidupnya lebih
terkontrol dan lebih menyenangkan?
Berbagai faktor, seperti perkembangan teknologi optika yang sangat
pesat dengan dikembangkannya berbagai mikroskop yang sangat kuat
pembesarannya, diciptakannya berbagai instrument presisi mikro yang sanggat
canggih untuk pekerjaan mikroskopik, pengetahuan yang makin berkembang
dan makin spesifik mengenai gen dan kromosom, dan tersedianya berbagai
bahan yang makin cocok untuk menunjang kehidupan di luar tubuh, sangat
membantu perkembangan teknologi reproduksi tingkat mikroskopik, seperti
kloning dan rekayasa genetik. Kedua teknologi ini memungkinkan ilmuan
untuk mengutak-atik unsur mikro dari proses reproduksi, yang merupakan
unsur paling fundamental dari eksistensi, wujud, ciri, dan sifat makhluk hidup.
Kegiatan ini, apalagi bila "dikerjakan" terhadap manusia, oleh sementara orang
dianggap "intervensi (campur tangan)" terhadap karya Illahi, karena
mencampuri kegiatan yang selama ini dianggap merupakan monopoli Allah
SWT, terlepas dari apakah memang secara tersurat ataupun tersirat tampak
adanya larangan di dalam kitab-kitab suci berbagai agama untuk melakukan
teknologi itu. Teknologi reproduksi tingkat mikroskopik itu biasanya dimulai
pada makhluk-makhluk paling sederhana (makhluk bersel satu, seperti bakteri
yang gennya direkayasa untuk menghasilkan vaksin terhadap penyakit
tertentu), kemudian beranjak ke makhluk yang lebih kompleks (kloning dan
rekayasa genetik tanaman pangan), ke hewan tingkat tinggi (kloning binatang
menyusui), dan akhirnya, ke manusia.
Anak hasil kloning rahim donor dalam perspektif hukum Islam yang
dihasilkan dari sel tubuh (sel somatik) milik suami dan sel telur (ovum) milik
istri, namun proses kloningnya menggunakan/meminjam/menyewa rahim
donor (rahim dari wanita Iain yang bukan merupakan isterinya (surrogate
mother)). Syarat dalam peminjaman (penyewaan) rahim wanita lain sebagai
berikut:
a. Memastikan rahim kosong dari kehamilan, yaitu wanita yang
dipinjam rahimnya (surrogate mother) mengalami menstruasi sebanyak 2
(dua) kali berturut-turut secara normal sebagai indikasi bahwa wanita tidak
mengalami kehamilan ataupun terjadinya pembuahan (fertilisasi) di dalam
rahim yang tidak diinginkan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa
rahim wanita lain (surrogate mother) tidak ada kemungkinan hamil dari
suaminya bagi yang telah bersuami ataupun oleh laki-laki lain (pacar) bagi
yang belum menikah. Artinya, potensi kehamilan dari penanaman sperma
ke dalam rahimnya menjadi lebih tinggi. Kepastian mengenai kondisi rahini
ini juga hams di bawah pengawasan pihak dokter yang akan melakukan
kloning pada surrogate mother (wanita yang mengandung embrio/janin).
b. Suami dari surrogate mother (wanita yang mengandung embrio/janin) tidak
boleh menggaulinya selama masa penitipan embrio hingga selesai masa
persalinan (masa nifas). Hal ini menunjukkan bahwa peminjaman
(penyewaan) rahim ini hams diketahui oleh suami dari surrogate mother,
karena implikasi dari peminjaman (penyewaan) rahim tersebut akan
hilangnya hak seorang untuk menggauli isterinya sampai anak yang
dikandung isterinya tersebut dilahirkan. Hilangnya hak seorang suami yang
sebagai akibat praktek kloning ini menjadi salah satu penyebab
pengharaman kloning dengan menggunakan rahim donor. Artinya,
penerapan teknik kloning dengan meminjam (menyewa) rahim wanita lain
yang bukan isteri yang sah telah merampas hak dan kewajiban dari
pasangan suami-isteri yang menyetujui perjanjian tersebut. Istri yang
bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban dengan baik untuk melayani
suaminya dari segi kebutuhan biologis.
c. Ada persetujuan suami secara lisan dan tuiisan dari surrogate mother
(wanita yang mengandung embrio), karena selama masa penitipan, hak
bersenggama (hubungan suami istri) untuk suami tidak diberikan atau
ditunda. Sesuatu yang telah dinyatakan haram untuk dilakukan, sebenarnya
tidak akan berpengaruh terhadap status pengharaman tersebut jika suami
wanita donor tidak ataupun menyetujui peminjaman (penyewaan) rahim
isterinya tersebut. Persetujuan dalam bentuk lisan dan tuiisan bertujuan
untuk memperlancar proses yang akan dilalui selama proses peminjaman
(penyewaan) itu berlangsung. Pernyataan persetujuan ini bertujuan agar
mengikat secara hukum dan agar suaminya tidak menggauli isterinya,
sehingga proses kloning yang akan dijalankan dapat berjalan dengan baik
dan berhasil. Persetujuan yang dibuat biasanya dilakukan dengan saksi yang
biasanya berasal dari pihak keluarga dari kedua belah pihak, dan untuk
semakin memperkuat ikatan hukumnya, sebagian menggunakan jasa
pengacara dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum).
d. Penitipan embrio itu harus terdaftar di Kantor Catatan Sipil setempat,
karena jika tidak didaftarkan, maka akan berimbas pada hal-hal yang
berkaitan dengan masalah administrasi kewarganegaraan si anak. Agar
memiliki kekuatan secara hukum terhadap status anak yang akan dilahirkan
dari proses kloning tersebut, maka embrio yang ditanamkan ke dalam rahim
donor harus didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil, sehingga adanya kejelasan
mengenai status anak yang dilahirkan merupakan anak dari pasangan
suami-isteri yang meminjam (menyewa) rahim surrogate mother dan bukan
anak dari wanita tersebut. Setelah ada kesepakatan antara kedua be1 ah
pihak, maka hasil kesepakatan tersebut diberitahukan kepada bagian
pencatatan di Kantor Catatan Sipil setempat.
Peminjaman (penyewaan) rahim biasanya dilakukan bila istri tidak
mampu dan tidak boleh hamil atau melahirkan karena suatu penyakit yang
dideritanya, misalnya kanker rahim, kanker serviks (mulut rahim), dan
sebagainya. Embrio dibesarkan dan dilahirkan dalam rahim perempuan lain
(rahim donor/surrogate mother) yang bukan istri yang sah, walaupun bayi itu
menjadi milik (secara hukum) suami-istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Untuk jasanya tersebut, wanita pemilik rahim (surrogate mother) biasanya
menerima bayaran yang jumlahnya telah disepakati keluarga yang ingin
menyewa rahimnya tersebut, dan wanita itu harus menandatangani persetujuan
untuk segera menyerahkan bayi yang akan dilahirkannya itu ke keluarga yang
telah menyewa. Jika terjadi konflik (perselisihan), dimana wanita yang
mengandung bayi tersebut tidak bersedia menyerahkan anak yang telah
dikandung dan dilahirkannya tersebut, maka pihak pasangan suami-isteri yang
telah menyewanya dapat menuntutnya secara hukum.
Dalam hal peminjaman (penyewaan) rahim donor mi, ada 2 (dua)
praktek yang diterapkan, yaitu sewa rahim semata dan sewa rahim dengan
keikutsertaan sel telur. Menurut pandangan Islam, kedua ripe sewa rahim ini
jika dilakukan dengan berbagai alasan apapun juga tetap merupakan tindakan
perzinaan.
a. Sewa rahim semata (gestational surrogacy). Embrio yang dihasilkan dari
pembuahan (fertilisasi) di luar tubuh (ex vitro), sehingga membentuk zygote
yang biasanya berasal dari sperma suami dan sel telur istri yang
dipertemukan melalui teknologi SCNT {Somatic Cell Nuclear Transfer),
yaitu teknologi transfer nuklir sel tubuh (sel somatik) 15 , kemudian
ditanamkan ke dalam rahim donor (surrogate mother) melalui teknik
inseminasi buatan dengan alat yang bernama inseminator. Dengan
menggunakan alat ini, maka proses pemasukan (penanaman) embrio ke
dalam rahim donor tidak melalui persetubuhan antara keduanya. Namun,
praktek ini tetap haram hukumnya, karena dianggap sebagai bentuk
tindakan perzinaan secara tidak langsung.
b. Sewa rahim dengan keikutsertaan sel telur (genetic surrogacy). Sel telur
yang turut membentuk embrio adalah sel telur milik perempuan yang
rahimnya disewa itu, sedangkan sperma merupakan sperma milik suami.
Walaupun pada perempuan pemilik rahim itu (surrogate mother) adalah
juga pemilik sel telur, dia tetap harus menyerahkan anak yang dikandung
dan dilahirkannya kepada suami-istri yang telah menyewanya melalui suatu
perjanjian (kesepakatan), karena secara hukum, jika sudah ada perjanjian,
dia bukanlah ibu dari bayi itu. Pertemuan sperma dan sel telur pada tipe ini
dapat dilakukan melalui inseminasi buatan yang bernama inseminator
(suatu alat yang berfungsi untuk memasukkan sel sperma ke dalam rahim
wanita, sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan (fertilisasi) di tuba
falopii (tempat terjadinya pembuahan di dalam rahim) tanpa melakukan
persetubuhan secara langsung. Namun, karena menggunakan sel telur
(ovum) wanita yang bukan merupakan isterinya yang sah, maka praktek
seperti ini nyata-nyata merupakan tindakan perzinaan yang hukumnya
adalah haram di dalam Islam
Persamaan dari kedua praktek pinjam (sewa) rahim di atas dalam
proses memasukkan (menanamkan) sel tubuh (sel somatik) ataupun sel sperma
milik suami ke dalam rahim wanita lain yang bukan merupakan isterinya yang
sah (surrogate mother), yaitu tidak terjadinya persetubuhan secara langsung
antara suami dengan wanita tersebut. Dalam perspektif hukum Islam kedua
praktek tersebut dianggap telah melakukan perzinaan dan hukumnya adalah
haram apabila dilakukan untuk memperoleh anak (keturunan). Islam

15
TW Sadler, 2000. Embriologi Kedokteran Langman, Bandung: Alfabeta, h. 33.
menganjurkan untuk menghasilkan keturunan dengan cara alami seperti yang
telah ditetapkan oleh sunatullah. Artinya kedua praktek kloning tersebut telah
bertentangan dengan sunatullah.
Melalui teknik peminjaman (penyewaan) rahim semata (gestational
surrogacy) tanpa melibatkan sel telur dari wanita yang bukan istrinya, maka
anak yang dihasilkan dari pertemuan antara sel tubuh (sel somatik) ayah dengan
sel telur (ovum) milik isteri, namun zygote yang dihasilkan selanjutnya
ditanamkan dalam rahim wanita lain yang bukan istrinya, sebenamya hal ini
tidak akan menimbulkan kerancuan dalam garis keturunan (nasab), sehingga
implikasi dari kloning tersebut tidak akan mempengaruhi hak waris anak yang
akan dilahirkan.
Anak hasil kloning tetap memperoleh hak warisnya jika kedua orang
tuanya nanti meninggal dunia. Hal ini dapat ditinjau dari faktor-faktor yang
memperbolehkan seseorang memperoleh harta warisan, yaitu:
a. Kekeluargaan, sebagaimana telah dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 7
dengan syarat dan ketentuan yang diperjelas melalui ayat lain.
b. Pernikahan.
c. Memerdekakan perbudakan.
d. Hubungan Islam.16
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang dapat menerima harta warisan dalam Islam, yaitu
faktor kekeluargaan, perkawinan, memerdekakan perbudakan, dan hubungan
keislaman, karena tidak mempunyai ahli waris. Artinya, anak hasil kloning
termasuk dalam kategori perkawinan.
Jika ditinjau dari faktor-faktor yang meyebabkan seseorang tidak
memperoleh karta warisan, maka anak hasil kloning tidak termasuk ke dalam
faktor-faktor ini yang terdiri atas:
a. Hamba (budak). Seseorang yang dijadikan budak/hamba sahaya/pembantu
tidak mempunyai hak waris dari majikamiya ataupun keluarganya. Hal ini
ditegaskan oleh Firman Allah SWT dalam surat An-Nahl: 75).

16
Sajuti Thalib, 2004. Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, h. 78
b. Pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak untuk
mewarisi harta peninggalan dari keluarganya yang dibunuh. Misahiya:
seorang anak yang membunuh orang tuanya untuk memperoleh atau
menguasai harta kedua orang tuanya lebih cepat. Sabda Nabi Muhammad
SAW: "Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya" (HR:
Nasa'i).
c. Murtad atau telah keluar dari agama Islam/berpindah agama. Orang yang
telah keluar/berpindah dari keyakinan agama Islam, tidak berhak
atas harta peninggalan keluarganya yang masih memeluk agama Islam.
Sebaliknya juga, orang yang memeluk Islam tidak dapat
menerima waris/pusaka dari keluarganya yang telah murtad. Sabda
Nabi Muhammad SAW: "Saya telah diutus oleh Rasullullah SA W kepada
seorang laki-laki yang menikah dengan istri bapaknya. Nabi menyuruh
supaya saya bunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta
rampasan, sedangkan laki-laki tersebut murtad" (HR: Abu Bardah).
d. Orang yang tidak beragama Islam (kafir). Orang kafir tidak berhak
menerima
warisan dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Demikian
pula sebaliknya, orang Islam tidak berhak menerima warisan dari
keluarganya yang tidak beragama Islam. Sabda Nabi Muhammad SAW:
"Tidak mewarisi orang Islam akan harta orang yang bukan Islam, demikian
pula yang bukan Islam tidak pula mewarisi harta orang Islam" (HR.
Mutafaqun Alaih).17
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan seseorang tidak dapat (berhak) menerima harta warisan dalam
Islam karena statusnya orang tersebut sebagai seorang budak, pembunuh (orang
yang membunuh keluarganya untuk memperoleh harta warisan), murtad, dan
kafir. Hal ini menunjukkan bahwa anak hasil kloning tidak termasuk kedalam
salah satu faktor di atas. Anak hasil kloning tetap berhak memperoleh harta
warisan dari kedua orang tuanya, karena mereka tetap dihasilkan dari

17
lbid,h. 81.
perkawinan.
Walaupun anak hasil kloning hanya mempunyai DNA (Deoxyribose
Nucleid Acid), yaitu suatu protein yang berfungsi membawa sifat-sifat genetis
dari donor sel somatik saja. Sel somatik berasal dari suami (ayah si anak), maka
DNA yang ada dalam tubuh anak, namun tidak membawa DNA ibunya.
Implikasi dari tidak adanya DNA si ibu dalam tubuh si anak berkemungkinan
akan menyebabkan ibunya kurang atau bahkan tidak memiliki kecintaan dan
kasih sayang terhadap anaknya tersebut. Hal ini disebabkan hubungan (ikatan)
bathin yang erat antara anak dengan ibunya akan timbul jika seorang wanita
dengan susah pavah mengandung anaknya sendiri dan melahirkannya.18

18
Ibid,h. 111

You might also like