You are on page 1of 28

ASUHAN KEBIDANAN NEONATUS, BAYI, BALITA DAN

ANAK PRA SEKOLAH

ASUHAN NEONATUS DENGAN JEJAS PERSALINAN

Dosen Pembimbing : Supiati, S.SiT, M.Kes


Kelompok 7
Nama kelompok
1. Novi Anjeng Fatmawati
2. Novia Candra Kartika
3. Nunien Farikatul Umayah

PROGRAM STUDI DIV KEBIDANAN


ALIH JENJANG REGULER
POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat
dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Asuhan Neonatus Dengan Jejas Persalinan”. Makalah ini merupakan salah satu
tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan Anak pra
Sekolah di program studi DIV Kebidanan Alih jenjang Reguler tahun akademik
2018/2019 Surakarta.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu Supiati, S.SiT, M.Kes selaku
dosen pembimbing mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, Balita dan
Anak pra Sekolah yang telah memberikan bimbingan dan saran pada tugas
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan.
Maka dari itu penulis sangat menghargai masukan dari semua pihak. Semoga
makalah ini memberikan manfaat bagi pembaca.

Klaten, 5 September 2018

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................................

B. Rumusan Masalah .........................................................................................

C. Tujuan ...........................................................................................................

D. Manfaat .........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................

Pengertian Jejas Persalinan ........................................................................

Macam macam Jejas Persalinan .................................................................

BAB III PENUTUP ...................................................................................

A. Kesimpulan .....................................................................................

B. Saran ...............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Survey Demografi kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,
angka kematian bayi di Indonesia 26 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan
angka kematian bayi di jawa tengah sebesar 12 per 1.000 per kelahiran hidup
(Kemenkes RI, 2013). Kejadian kematian bayi dan balita tertinggi terjadi
pada masa neonatus.
Persalinan adalah proses traumatis yang rawan terutama kelahiran
intravaginal dan banyak bayi mengalami cedera. Cedera yang sering dialami
diakibatkan karena pengaruh manuver saat persalinan, adanya guncangan,
dan perengangan yang menyebabkan kerusakan pada anggota tubuh bayi.
Trauma lahir adalah trauma mekanis yang disebabkan karena persalinan.
Trauma dapat terjadi sebagai akibat keterampilan atau perhatian medik yang
tidak diperhatikan, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan
kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh.
Insidensi trauma pada kelahiran diperkirakan sebesar 2-7 per 1000
kelahiran hidup. Walaupun insiden telah menurun pada tahun-tahun belakang
ini, sebagian karena kemajuan di bidang teknik dan penilaian obstektrik,
trauma lahir masi merupakan permasalahan pentiang, karena walaupun hanya
trauma yang bersifat sementara sering tampak nyata oleh orang tua dan
menimbulkan cemas serta keraguan yang memerlukan pembicaraan yang
bersifat suportif dan informatif. Beberapa trauma pada awalnya dapat bersifat
laten, tetapi akan menimbulkan penyakit atau akibat sisa yang berat. Trauma
lahir merupakan salah satu faktor penyebab utama kematian perinatal. Di
Indonesia angka kematian perinatal 44 per 1000 kelahiran hidup dan 9,7%
diantanya sebagai dari akibat dari trauma lahir.
Dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat makalah
tentang “Asuhan Neonatus Dengan Jejas Persalinan”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan Kebidanan Neonatus yang diberikan pada Jejas
Persalinan?
C. Tujuan
1. Mengetahui Asuhan Kebidanan Neonatus yang diberikan pada Jejas
Persalinan.
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mengetahui tentang asuhan neonatus pada jejas persalinan
yang sesuai dengan teori dan dapat menerapkannya ketika praktik dilahan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Jejas Persalinan


Jejas lahir merupakan istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang
dapat dihindari atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialami
bayi selama kelahiran dan persalinan.

B. Jenis Jenis Jejas Persalinan

1. Caput Succedaneum

a. Pengertian

Caput succedaneum adalah edema kulit kepala anak yang terjadi


karena tekanan dari jalan lahir kepada kepala anak. Atau pembengkakan
difus, kadang-kadang bersifat ekimotik atau edematosa, pada jaringan
lunak kulit kepala, yang mengenai bagian kepala terbawah, yang terjadi
pada kelahiran verteks. Karena tekanan ini vena tertutup, tekanan dalam
vena kapiler meninggi hingga cairan masuk ke dalam jaringan longgar
dibawah lingkaran tekanan dan pada tempat yang terendah. Dan
merupakan benjolan yang difus kepala, dan melampaui sutura garis
tengah. (Obstetri fisiologi, UNPAD.1985)

Caput succedaneum ini ditemukan biasanya pada presentasi kepala,


sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut
terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah.
Caput succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya
menghilang setelah 2-5 hari.(Sarwono Prawiroharjo.2014). Kejadian caput
succedaneum pada bayi sendiri adalah benjolan pada kepala bayi akibat
tekanan uterus atau dinding vagina dan juga pada persalinan dengan
tindakan vakum ekstraksi.(Sarwono Prawiroharjo.2014)
b. Etiologi

Banyak hal yang menjadi penyebab terjadinya caput succedaneum


pada bayi baru lahir(Obstetri fisiologi,UNPAD, 1985, hal 254), yaitu :

1. Persalinan lama : dapat menyebabkan caput succedaneum karena


terjadi tekanan pada jalan lahir yang terlalu lama, menyebabkan
pembuluh darah vena tertutup, tekanan dalam vena kapiler meninggi
hingga cairan masuk kedalam cairan longgar dibawah lingkaran
tekanan dan pada tempat yang terendah.
2. Persalinan dengan ekstraksi vakum : pada bayi yang dilahirkan vakum
yang cukup berat, sering terlihat adanya caput vakum sebagai edema
sirkulasi berbatas dengan sebesar alat penyedot vakum yang
digunakan.

c. Patofisiologi

Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika
memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan
limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstra vaskuler.
Benjolan caput ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan
sedikit darah. Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya
tulang kepala di daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah
satu upaya bayi untuk mengecilkan lingkaran kepalanya agar dapat
melalui jalan lahir. Umumnya moulage ini ditemukan pada sutura sagitalis
dan terlihat segera setelah bayi lahir. Moulage ini umumnya jelas terlihat
pada bayi premature dan akan hilang sendiri dalam satu sampai dua hari.

d. Manifestasi Klinis

Menurut Nelson dalam Ilmu Kesehatan Anak (Richard E,


Behrman.dkk.2000), tanda dan gejala yang dapat ditemui pada anak
dengan caput succedaneum adalah sebagi berikut :
1. Adanya edema dikepala
2. Pada perabaan teraba lembut dan lunak
3. Edema melampaui sela-sela tengkorak
4. Batas yang tidak jelas
5. Biasanya menghilang 2-3 hari tanpa pengobatan

e. Pemeriksaan Diagnostik

Sebenarnya dalam pemeriksaan caput succedaneum tidak perlu


dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut melihat caput succedaneum
sangat mudah untuk dikenali. Namun juga sangat perlu untuk melakukan
diagnosa banding dengan menggunakan foto rontgen (X-Ray) terkait
dengan penyerta caput succedaneum yaitu fraktur tengkorak, koagulopati
dan perdarahan intrakranial. (Meida.2009)

f. Penatalaksanaan

Berikut adalah penatalaksanaan secara umum yang bisa diberikan


pada anak dengan caput succedaneum :

1. Bayi dengan caput succedaneum diberi ASI langsung dari ibu tanpa
makanan tambahan apapun, maka dari itu perlu diperhatikan
penatalaksanaan pemberian ASI yang adekuat dan teratur.
2. Bayi jangan sering diangkat karena dapat memperluas daerah edema
kepala.
3. Atur posisi tidur bayi tanpa menggunakan bantal
4. Mencegah terjadinya infeksi dengan :

1) Perawatan tali pusat

2) Personal hygiene baik

5. Berikan penyuluhan pada orang tua tentang :


1) Perawatan bayi sehari-hari, bayi dirawat seperti perawatan bayi
normal.

2) Keadaan trauma pada bayi , agar tidak usah khawatir karena


benjolan akan menghilang 2-3 hari. Berikan lingkungan yang
nyaman dan hangat pada bayi. Awasi keadaan umum bayi.

1. Cephal Hematom

2.1. Pengertian

Cephal hematom adalah perdarahan subperiosteal akibat kerusakan jaringan


poriesteum karena tarikan atau tekanan jalan lahir. Dan tidak pernah melampaui
batas sutura garis tengah. Tulang tengkorak yang sering terkena adalah tulang
temporal atau parietal ditemukan pada 0,5 – 2 % dari kelahiran hidup.
(Prawiraharjo,Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan)

Menurut Abdul Bari Saifudin, cephal hematoma adalah pendarahan sub


periosteum akibat keruasakan jaringan periosteum karena tarikan/tekanan jalan
lahir dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah.(Ika Nugroho.2011)

2.2. Klasifikasi

Menurut letak jaringan yang terkena ada 2 jenis yaitu(Ika Nugroho.2011) :

1. Subgaleal

Galea merupakan lapiasan aponeurotik yang melekat secara longgar pada sisi
sebelah dalan periosteum. Pembuluh-pembuluh darah vena di daerah ini dapat
tercabik sehingga mengakibatkan hematoma yang berisi sampai sebanyak 250 ml
darah. Terjadi anemia dan bisa menjadi shock. Hematoma tidak terbatas pada
suatu daerah tertentu (Oxorn, Harry, 1996).
Penyebabnya adalah perdarahan yang letaknya antara aponeurosis epikranial dan
periosteum. Dapat terjadi setelah tindakan ekstraksi vakum. Jarang terjadi karena
komplikasi tindakan mengambil darah janin untuk pemeriksaan selama
persalinan, risiko terjadinya terutama pada bayi dengan gangguan hemostasis
darah.

Sedangkan untuk kadang-kadang sukar didiagnosis, karena terdapat edema


menyeluruh pada kulit kepala. Perdarahan biasanya lebih berat dibandingkan
dengan perdarahan subperiosteal, bahaya ikterus lebih besar.

1. Subperiosteal

Karena periosteum melekat pada tulang tengkorak di garis-garis sutura, maka


hematoma terbatas pada daerah yang dibatasi oleh sutura-sutura tersebut. Jumlah
darah pada tipe subperiosteal ini lebih sedikit dibandingkan pada tipe subgaleal,
fraktur tengkorak bisa menyertai.

Gambaran Klinis : kulit kepala membengkak. Biasanya tidak terdeteksi samapai


hari ke 2 atau ke 3. Dapat lebih dari 1 tempat. Perdarahan dibatasi oleh garis
sutura, biasanya di daerah parietal.

Perjalanan Klinis dan Diagnosis : Pinggirnya biasanya mengalami klasifikasi.


Bagian tengah tetap lunak dan sedikit darah akan diserap oleh tubuh. Mirip fraktur
depresi pada tengkorak. Kadang-kadang menyebabkan ikterus neonatorum.

2.3. Etiologi

Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, cephal hematom


dapat terjadi karena :

1. Persalinan lama

Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis
ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya pembuluh darah.
1. Tarikan vakum atau cunam

Persalinan yang dibantu dengan vacum atau cunam yang kuat dapat
menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.

1. Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.

2.4. Patofisiologi

Kadang-kadang, cephal hematom terjadi ketika pembuluh darah pecah selama


persalinan atau kelahiran yang menyebabkan perdarahan ke dalam daerah antara
tulang dan periosteum. Cedera ini terjadi paling sering pada wanita primipara dan
sering berhubungan dengan persalinan dengan forsep dan ekstraksi vacum. Tidak
seperti kapu suksedaneum, cephal hematoma berbatas tegas dan tidak melebar
sampai batas tulang. Cephal hematom dapat melibatkan salah satu atau kedua
tulang parietal. Tulang oksipetal lebih jarang terlibat, dan tulang frontal sangat
jarang terkena. Pembengkakan biasanya minimal atau tidak ada saat kelahiran dan
bertambah ukuranya pada hari kedua atau ketiga. Kehilangan darah biasanya tidak
bermakna.(Wong, 2008)

Menurut FK. UNPAD. 1985 dalam Obstetri Fisiologi Bandung, peroses


perjalanan penyakit cephal hematom adalah : cephal hematom terjadi akibat
robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang kepala ke jaringan poriosteum.
Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada persalinan lama. Akibat
pembuluh darah ini timbul timbunan darah di daerah sub periosteal yang dari luar
terlihat benjolan. Bagian kepala yang hematoma bisanya berwarna merah akibat
adanya penumpukan daerah yang perdarahan subperiosteum.

2.5. Manifestasi Klinis

Berikut ini adalah tanda-tanda dan gejala Cephal hematom.(Menurut


Prawiraharjo, Sarwono.2002.Ilmu Kebidanan):
1. Adanya fluktuasi
2. Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah bayi
lahir .
3. Adanya cephal hematom timbul di daerah tulang parietal. Berupa benjolan
timbunan kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih teraba. Sebagian
benjolan keras sampai umur 1-2 tahun.

2.6. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan X-Ray tengkorak dilakukan bila dicurigai adanya fraktur (mendekati


hampir 5% dari seluruh cephal hematom). Dan pemeriksaan darah lengkap untuk
menilai kadar bilirubin, hematokrit, dan hemoglobin.(Alpers, ann.2006)

2.7. Penatalaksanaan

Tidak diperlukan penanganan untuk cephal hematom tanpa komplikasi.


kebanyakan lesi diabsorbsi dalam 2 minggu sampai 3 bulan. Lesi yang
menyebabkan kehilangan darah hebat ke daerah tersebut atau yang melibatkan
fraktur tulang di bawahnya perlu evaluasi lebih lanjut. Hiperbilirubinemia dapat
tejadi selama resolusi hematoma ini. Infeksi lokal dapat terjadi dan harus dicurigai
bila terjadi pembengkakan mendadak yang bertambah besar.(Wong.2008)

Menurut Ida Bagus Gde Manuaba 1998, cephal hematoma umumnya tidak
memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami resolusi khusus sendiri
dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya benjolan. Namun apabila
dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama menghilang (1-3 bulan)
dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :

1. Menjaga kebersihan luka.


2. Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan cephal hematoma.
3. Pemberian vitamin K.
4. Bayi dengan cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya
karena pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih.
5. Pemantauan bilirubinia, hematokrit, dan hemoglobin.
6. Aspirasi darah dengan jarum suntik tidak diperlukan.

III. Trauma Fleksus Brachialis

3.1. Pengertian

Trauma lahir pada pleksus brachialis dapat dijumpai pada persalinan yang
mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran
presentasi verteks yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi
penarikan balik cukup keras ke lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus
brachialis. Trauma lahir ini dapat pula terjadi pada kelahiran letak sungsang yang
mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.

Gejala klinis trauma lahir pleksus brachialis berupa gangguan fungsi dan posisi
otot ekstremitas atas. Gangguan otot tersebut tergantung dari tinggi rendahnya
serabut syaraf pleksus braklialis yang rusak dan tergantung pula dari berat
ringannya kerusakan serabut syaraf tersebut. Paresis atau paralisis akibat
kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat temporer atau permanen. Hal ini
tergantung kerusakan yang terjadi pada serabut syaraf di pangkal pleksus
brachialis yang akut berupa edema biasa, perdarahan, perobekan atau tercabutnya
serabut saraf.

Sesuai dengan tinggi rendahnya pangkal serabut saraf pleksus brachialis, trauma
lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi paresis/paralisis (1) paresis/paralisis
Duchene-Erb (C.5-C.6) yang tersering ditemukan (2) paresis/paralisi Klumpke
(C.7.8-Th.1) yang jarang ditemukan, dan (3) kelumpuhan otot lengan bagian
dalam yang lebih sering ditemukan dibanding dengan trauma Klumpke. Anatomi
dari anyaman ini, dibagi menjadi : Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan Branches
maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan cacat/trauma yang
berbeda-beda.

1. Roots : berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1
2. Trunks : dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks
3. Divisions : dari 3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6division
4. Cords : 6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords
5. Branches : cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu :
n.musculocutaneus, n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris

Trauma pada pleksus brachialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas
dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis
dapat terjadi pada seluruh lengan. Trauma pleksus brachialis sering terjadi pada
penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu
pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala
pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.

Luka pada pleksus brachialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan
bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan,
gerakan terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa
terjadi kapan saja, banyak cedera pleksus brachialis terjadi selama kelahiran. Bahu
bayi mungkin menjadi dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf
pleksus brachialis untuk meregang atau robek. Secara garis besar macam-macam
plesksus brachialis yaitu :

1. Paralisis Erb-Duchene

Kerusakan cabang-cabang C5 – C6 dari pleksus brachialis menyebabkan


kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan
keluar serta hilangnya refleks biseps dan morro. Gejala pada kerusakan fleksus
ini, antara lain hilangnya reflek radial dan biseps, refleks pegang positif. Pada
waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat lengan akan jatuh lemah di samping badan
dengan posisi yang khas.

Pada trauma lahir Erb, perlu diperhatikan kemungkinan terbukannya pula serabut
saraf frenikus yang menginervasi otot diafragma. Secara klinis di samping gejala
kelumpuhan Erb akan terlihat pula adanya sindrom gangguan nafas. Terjadi
waiters-tip position yaitu rotasi medial pada sendi bahu menyebabkan telapak
tangan mengarah ke posterior.

Lesi pada kelumpuhan Erb terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks
superior pleksus brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat
tarikan kepala ke lateral, sehingga dengan tajam memfleksikan pleksus tersebut ke
arah salah satu bahu. Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk
melahirkan bahu pada presentasi verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi
pada persalinan yang terlihat mudah. Karena itu, dalam melakukan ekstraksi
kedua bahu bayi, harus berhati-hati agar tidak melakukan flaksi lateral leher yang
berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus dengan persentasi kepala, janin
yang menderita paralisis ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar, yaitu
denga berat 4000 gram atau lebih.

Penanganan pada kerusakan fleksus ini, antara lain meletakkan lengan atas dalam
posisi abduksi 900 dalam putaran keluar, siku dalam fleksi 900 dengan supinasi
lengan bawah dan ekstensi pergelangan tangan, serta telapak tangan menghadap
depan. Kerusakan ini akan sembuh dalam waktu 3-6 bulan. Penanganan terhadap
trauma pleksus brachialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan serabut
saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan komplikasi lain seperti kontraksi
otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan imobilisasi pada posisi tertentu
selama 1 – 2 minggu yang kemudian diikuti program latihan. Pada trauma ini
imobilisasi dilakukan dengan cara fiksasi lengan yang sakit dalam posisi yang
berlawanan dengan posisi karakteristik kelumpuhan Erb.

1. Paralisis Klumpke

Kerusakan cabang-cabang C7 – Th1 pleksus brachialis menyebabkan kelemahan


lengan otot-otot fleksus pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal. Secara
klinis terlihat refleks pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah,
sedangkan refleksi biseps dan radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut
terkena, maka akan terlihat sindrom Horner yang ditandai antara lain oleh adanya
gejalaprosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya keringat di daerah kepala dan
muka homolateral dari trauma lahir tersebut. Penanganan pada kerusakan fleksus
brachialis adalah melakukan fisioterapi. Kerusakan akan sembuh dalam waktu 3-6
minggu. Ibu dari bayi harus diingatkan agar berhati-hati ketika mengangkat bayi
sehingga trauma tidak bertambah parah. Dalam minggu pertama, membalut
lengan untuk mengurangi rasa nyeri. Bila ibu dapat merawat bayinya dan tidak
ada masalah lain, bayi bisa dipulangkan dan menganjurkan ibu untuk kunjungan
ulang 1minggu lagi untuk melihat kondisi bayi dan latihan pasif. Melakukan
tindak lanjut setiap bulan dan menjelaskan bahwa sebagian besar kasus sembuh 6-
9 bulan.

3.2. Etiologi

Etiologi trauma fleksus brakhialis pada bayi baru lahir. Trauma fleksus brakhialis
pada bayi dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain:

1) Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi ganda, letak sunsang, distosia


bahu, malpresentasi, bayi kurang bulan

2) Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit), umur ibu yang
sudah tua, adanya penyulit saat persalinan

3) faktor penolong persalinan : tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat
menolong kelahiran bahu pada presentasi kepala, tarikan yang berlebihan pada
bahu pada presentasi bokong.

3.3. Patofisiologis

Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed
pada prevertebral fascia dan mid fore armakan melukai pleksus. Traksi dan
kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah.
Cedera pleksus brachialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan
diterapkan pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu,
penggunaan traksi yang berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat
ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi
janin selama proses persalinan untuk menentukan cedera pada pleksus brachialis.
Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu, namun lengan posterior
biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang kuat
diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri
dapat menyebabkan cedera, cedera pleksus brakiali. Kompresi yang berat dapat
menyebabkan hematome intraneural,dimana akan menjepit jaringan saraf
sekitarnya.

3.4. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala trauma fleksus brachialis antara lain :

1. gangguan motorik pada lengan atas


2. paralisis atau kelumpuhan pada lengan atas dan lengan bawah
3. lengan atas dalam keadaan ekstensi dan abduksi
4. jika anak diangkat maka lengan akan lemas dan tergantung
5. reflex moro negative
6. tangan tidak bisa menggenggam
7. reflex meraih dengan tangan tidak ada

3.5. Penanganan terhadap trauma fleksus brakhialis

Penanganan atau penatalaksanaan kebidanan meliputi rujukan untuk membebat


yang terkena dekat dengan tubuh dan konsultasi dengan tim pediatric. Penanganan
terhadap trauma pleksus brachialis ditujukan untuk mempercepat penyembuhan
serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan komplikasi lain seperti
kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan cara :

1) Pada trauma yang ringan yang hanya berupa edema atau perdarahan ringan
pada pangkal saraf, fiksasi hanya dilakukan beberapa hari atau 1 – 2 minggu
untuk memberi kesempatan penyembuhan yang kemudian diikuti program
mobilisasi atau latihan.

2) Immobilisasi lengan yang lumpuh dalam posisi lengan atas abduksi 90 derajat,
siku fleksi 90 derajat disertai supine lengan bawah dan pergelangan tangan dalam
keadaan ekstensi

3) Beri penguat atau bidai selama 1 – 2 minggu pertama kehidupannya dengan


cara meletakkan tangan bayi yang lumpuh disebelah kepalanya.

4) Rujuk ke rumah sakit jika tidak bisa ditangani.

Penatalaksanaan dengan bentuk kuratif atau pengobatan. Pengobatan tergantung


pada lokasi dan jenis cedera pada pleksus brachialis dan mungkin termasuk terapi
okupasi dan fisik dan dalam beberapa kasus, pembedahan. Beberapa cedera
pleksus brachialis menyembuhkan sendiri. Anak-anak dapat pulih atau sembuh
dengan 3 sampai 4 bulan.

1. Fraktur Humerus dan Fraktur Klavikula

4.1. Fraktur humerus

Fraktur humerus adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang


humerus (Mansjoer, Arif, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidayat (2004)
Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh
benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung.

Fraktur humerus adalah Kelainan yang terjadi pada kesalahan teknik dalam
melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan
lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak
dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi tersebut menghilang.

Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan
tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit
merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran
presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan
keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya
berupa greenstick atau fraktur total.

4.1.1. Klasifikasi fraktur humerus

Fraktur atau patah tulang humerus terbagi atas :

1. Fraktur Suprakondilar humerus. Jenis fraktur ini dapat dibedakan menjadi


:
2. Jenis ekstensi yang terjadi karena trauma langsung pada humerus distal
melalui benturan pada siku dan lengan bawah pada posisi supinasidan
lengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan terfikasi
3. Jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan
dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam
posisi sedikit fleksi
4. Fraktur interkondiler humerus : fraktur yang sering terjadi pada anak
adalah fraktur kondiler lateralis dan fraktur kondiler medialis humerus
5. Fraktur batang humerus : fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung
yang mengakibatkan fraktur spiral (fraktur yang arah garis patahnya
berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi)
6. Fraktur kolum humerus : fraktur ini dapat terjadi pada kolum antomikum
(terletak di bawah kaput humeri) dan kolum sirurgikum (terletak di bawah
tuberkulum)

4.1.2. Etiologi

Fraktur tulang humerus umumnya terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan
tangan menjungkit ke atas. Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit
merupakan penyebab terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran
presentasi kepala dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan
keras dan langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya
berupa greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling
sering sekunder akibat kesulitan pelahiran (misalnya makrosemia dan disproporsi
sefalopelvik, serta malpresentasi).

4.1.3. Gejala

1. Berkurangnya gerakan tangan yang sakit


2. Refleks moro asimetris
3. Terabanya deformitas dan krepotasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
4. Terjadinya tangisan bayi pada gerakan pasif

4.1.2. Gejala klinis

1. Diketahui beberapa hari kemudian dengan ditemukan adanya gerakan kaki


yang berkurang dan asimetris.
2. Adanya gerakan asimetris serta ditemukannya deformitas dan krepitasi
pada tulang femur.
3. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan radiologik.

4.1.3. Penanganan

 Imobilisasi lengan pada sisi bayi dengan siku fleksi 90 derajat selama 10
sampai 14 hari serta control nyeri. Daya penyembuhan fraktur tulang bagi
yang berupa fraktur tulang tumpang tindih ringan dengan deformitas,
umumnya akan baik. Dalam masa pertumbuhan dan pembentukkan tulang
pada bayi, maka tulang yang fraktur tersebut akan tumbuh dan akhirnya
mempunyai bentuk panjang yang normal

4.2. Fraktur Tulang Klavikula

Fraktur tulang klavikula merupakan trauma lahir pada tulang yang tersering
ditemukan dibandingkan dengan trauma tulang lainnya. Trauma ini ditemukan
pada kelahiran letak kepala yang mengalami kesukaran pada waktu melahirkan
bahu, atau sering pula ditemukan pada waktu melahirkan bahu atau sering juga
terjadi pada lahir letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas.

Jenis fraktur pada trauma lahir ini umumnya jenis fraktur freenstick, walaupun
kadang-kadang dapat juga terjadi suatu fraktur total, fraktur ini ditemukan 1 – 2
minggu kemudian setelah teraba adanya pembentukan kalus.

4.2.1. Gejala Klinis

Yang perlu diperhatikan terhadap kemungkinan adanya trauma lahir klavikula


jenis greenstick adalah :

1. Gerakan tangan kanan-kiri tidak sama


2. Refleks moro asimotris
3. Bayi menangis pada perabaan tulang klavikula
4. Gerakan pasif tangan yang sakit disertai riwayat persalinan yang sukar.

4.2.2. Pengobatan trauma lahir fraktur tulang kavikula

1. Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat


pembentukan kalus.
2. Lengan difiksasi pada tubuh anak dalam posisi abduksi 600 dan fleksi
pergelangan siku 900.
3. Umumnya dalam waktu 7 – 10 hari rasa sakit telah berkurang dan
pembentukan kalus telah terjadi.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Caput Suksedaneum
a) Pengertian
Caput Suksedaneum merupakan pembengkakan kulit kepala
setempat yang terbentuk dari efusi serum (Harry Oxorn, 2010). Caput
suksedaneum ini ditemukan biasanya pada presentasi kepala. Pada
bagian tersebut terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran serum dari
pembuluh darah. Caput succedaneum tidak memerlukan pengobatan
khusus dan biasanya menghilang setelah 2-5 hari (Sarwono
Prawiroharjo, 2014).
b) Etiologi
1) Terjadi karena adanya tekanan yang kuat pada kepala saat
memasuki jalan lahir, sehingga terjadi bendungan sirkulasi perifer
dan limfe yang disertai dengan pengeluaran cairan tubuh kecairan
ekstravaskular. Caput suksedaneum dapat terjadi pada partus lama
dan vaccun ekstraksi
2) Akibat sekunder dari tekanan uterus atau dinding vagina pada
kepala bayi sebatas kaput (Rustam Mochtar,2010)
c) Tanda Klinis
1) Tampak benjolan caput berisi cairan serum dan sering bercampur
sedikit darah.
2) Benjolan secara klinis sering ditemukan didaerah presentasi lahir.
3) Pada perabaan teraba benjolan lunak, berbatas tidak tegas, tidak
berfluktuasi tetapi bersifat edema tekan
4) Udema dikepala
5) Terasa lembut dan lunak pada perabaan
6) Udema melampaui tulang tengkorak
7) Permukaan pada kulit berwarna ungu atau kemerahan (Kemenkes
RI, 2010)
d) Penatalaksanaan
1) Palpasi Kepala
2) Inspeksi bentuk dan ukuran kepala
3) Perawatan bayi caput suksedaneum sama dengan perawatan bayi
normal.
4) Pengawasan keadaan umum bayi.
5) Berikan lingkungan yang baik, adanya ventilasi dan sinar matahari
yang cukup.
6) Pemberian ASI yang adekuat
7) Pencegahan infeksi harus dilakukan untuk menghindari adanya
infeksi pada benjolan.
8) Berikan konseling pada orang tua, tentang:
i. Keadaan trauma yang dialami oleh bayi
ii. Jelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya
selama 3-4 hari tanpa pengobatan
iii. Perawatan bayi sehari-hari
iv. Manfaat dan tehnik pemberian ASI (Rustam Mochtar,2010).

2. Cephalhematoma
a) Pengertian
Cephalhematome adalah perdarahan yang terjadi dibawah
periosteum satu atau lebih tulang tulang tengkorak kepala (Rustam
Mochtar,2010).

b) Etiologi
1) Tekanan pada kepala yang lama pada serviks, perineum atau os.
pubis
2) Kerusakan yang disebabkan oleh daun daun forceps
(Cunningham,2013).
c) Tanda –tanda Klinis
1) Tampak benjolan lunak tanpa lekukan
2) Berbatas tegas
3) Terbatas pada satu tulang, tidak melewati batas
4) Tetab ditempat semula
5) Timbul setelah beberapa jam dan baru hilang setelah berminggu
minggu atau berbulan bulan (Sarwono Prawiroharjo, 2014).
d) Penatalaksanaan
1) Menjaga kebersihan lika
2) Tidak boleh menekan / melakukan masase pada benjolan
3) Melakukan observasi pada bayi (Kemenkes RI, 2010)

3. Trauma pada Fleksus Brachialis


a) Pengertian
Trauma pada Fleksus Brachialis yaitu trauma yang terjadi pada
pangkal dari serabut-serabut saraf yang berasal dari medula spinalis
yang mempersarafi ekstremitas superior(Cunningham,2013).
b) Etiologi
1) Bayi besar
2) Bayi letak sungsang yang lahir normal
3) Distosia bahu
4) Tarikan yang terlalu kuat pada daerah kepala saat persalinan (Harry
Oxorn, 2010).
c) Tanda –tanda Klinis
1) Deformitas tulang yang progesif
2) Atrofi otot
3) Kontraktur sendi
4) Terganggunya pertumbuhan anggota gerak
5) Kelemahan bahu
d) Penatalaksanaan
1) Imobilisasi parsial
2) Penempatan posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan
kontraktus (Kemenkes RI, 2010)

4. Fraktur Klavikula
a) Pengertian
Fraktur Klavikula adalah terputusnya hubungan tulang Klavikula
yang disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada posisi
lengan terputus atau tertarik keluar (Harry Oxorn, 2010).
b) Etiologi
1) Distosia bahu
2) Bayi besar (Harry Oxorn, 2010).
c) Tanda –tanda Klinis
1) Kelemahan pada bahu
2) Reflek Morro hilang
d) Penatalaksanaan
1) Imobilisasi sendi bahu
2) Reposisi abduksi 600 fleksi 90 0(Rustam Mochtar,2010).

5. Fraktur Humerus
a) Pengertian
Fraktur Humerus adalah salah satu bentuk fraktur tulang
panjang (long bone) yang terjadi ditulang humerus (Harry Oxorn,
2010).
b) Etiologi
1) Bayi lahir sungsang dengan tangan menjungkit ke atas
2) Adanya tekanan keras dan langsung pada tulang humerus oleh
pelvis pada saat persalinan normal
c) Tanda –tanda Klinis
1) Berkurangnya gerakan tangan yang sakit
2) Krepitasi di daerah fraktur disertai rasa sakit
3) Reflek Morro asimetris
4) Bayi sering menangis dan gerakan lemah (Kemenkes RI, 2010).
d) Penatalaksanaan
1) Imobilisasi sendi bahu selama 2-4 minggu dengan fiksasi bidai
2) Reposisi abduksi 600 fleksi 90 0 (Cunningham,2013).
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penulisan makalah ini dapat disimpilkan bahwa jejas lahir
merupakan istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat dihindari
atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialami bayi selama
kelahiran dan persalinan. Adapun macam macam dari Jejas persalinan yaitu
Caput Suksedaneum, Cephalhematoma, Trauma Pada Fleksus Brachialis,
Fraktur Klavikula, Fraktur Humerus.

B. SARAN
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat menerapkan asuhan neonatus pada
jejas persalinan yang sesuai dengan teori ketika praktik dilahan.
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. 2015. Profil Kesehatan Indonesi Tahun 2014. Jakarta:


Kemenkes RI
Cunningham,dkk. 2013. Obstetri Williams. Jakarta: EGC
Kemenkes RI. 2010. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial.
Jakarta: Kemenkes RI
Mochtar Rustam. 2012.Sinopsis Obtetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi.
Jakarta: EGC
Oxorn Hari. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan. Jakarta:
Yayasan Essentia Medica

You might also like