You are on page 1of 25

ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA KEPALA

ASUHAN KEPERAWATAN
CEDERA KEPALA

A. DEFINISI
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan (accelerasi) dan perlambatan (decelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor
dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak
sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Doenges, 1989). Kasan (2000) mengatakan
cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala menurut Suriadi & Rita (2001) adalah suatu trauma yang mengenai daerah
kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. Sedangkan menurut Satya (1998), cedera kepala adalah keadaan
dimana struktur lapisan otak dari lapisan kulit kepala tulang tengkorak, durameter, pembuluh
darah serta otaknya mengalami cidera baik yang trauma tumpul maupun trauma tembus.
B. KLASIFIKASI
Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul
Trauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan
saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus
Trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma
(GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Cedera kepala ringan
 GCS 13 - 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
 Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma
b. Cedera kepala sedang
 GCS 9 - 12
 Saturasi oksigen > 90 %
 Tekanan darah systole > 100 mmHg
 Lama kejadian < 8 jam
 Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Cedera kepala berat
 GCS 3 – 8
 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam
 Meliputi hematoma serebral, kontusio serebral
Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi
verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai
reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita
dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit kepala
Cedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk
infeksi intrakranial.

b. Fraktur Tengkorak
Fraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada
perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya
lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah
kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai
dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batle’s sign, lesi nervus
cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).
Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan
yang tidak menyebabkan sembelit.
2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril
(consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi
terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).
c. Cedera Otak
1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)
Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul
berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan
tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali,
pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien
tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak
terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan
lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
2) Contusio Cerebri (Memar Otak)
Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini
terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang
paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang
tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon
dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan
tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
3) Perdarahan Intrakranial
a) Epiduralis haematoma
adalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen
media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti
pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.
b) Subduralis haematoma
Subduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana
pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena
tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi
rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya
tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
c) ÿÿ0Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan
dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan
pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh
darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
d) Intracerebralis Haematoma
Terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.
Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga
terjadilah subduralis haematoma.
4. Berdasarkan Patofisiologi
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan
gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan
laserasi.
b. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia,
hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh
yang lain.
C. ETIOLOGI
1. Menurut Hudak dan Gallo (1996 : 108) mendiskripsikan bahwa penyebab cedera kepala adalah
karena adanya trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :

a. Trauma primer
Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselerasi dan deselerasi)
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia,
hiperkapnea, atau hipotensi sistemik.
2. Trauma akibat persalinan
3. Kecelakaan, kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan pada saat olahraga.
4. Jatuh
5. Cedera akibat kekerasan.
D. MANIFESTASI KLINIK
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing
7. Nyeri kepala hebat
8. Terdapat hematoma
9. Kecemasan
10. Sukar untuk dibangunkan
11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
E. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.
Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar
glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio
berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme
anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood
flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac
output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi
Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang
kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan
rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,
goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak
dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan
frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala
membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak.
Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak,
deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-
15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan
otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder
dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.
Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan
permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus.
Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom
intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,
pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar
secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera
ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan
tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran
makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan
menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu
menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural,
subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah
ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan
menyebabkan odema cerebral.
Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke
arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang
kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul
rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah
injuri.
2. MRI
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography
Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG (Elektroencepalograf)
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema),
fragmen tulang.
6. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Pungsi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat
peningkatan tekanan cairan serebrospinal.
9. ABGs
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit
Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
G. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrosa 5 %,
amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Terapi obat-obatan.
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat
ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau
gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran
dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak
terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 %
8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric
tube (2500 - 3000 TKTP).
6. Pembedahan bila ada indikasi.
H. KOMPLIKASI
1. Hemorrhagie
2. Infeksi
3. Edema serebral dan herniasi
I. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama,
suku, status perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat
b. Identitas Penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah
simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya
liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif.
Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
d. Pengkajian persistem
1). Keadaan umum
2). Tingkat kesedaran : composmetis, apatis, somnolen, sopor, koma
3). TTV
4). Sistem Pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas bunyi ronchi.
5). Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK, tekanan darah meningkat, denyut nadi bradikardi kemudian
takikardi.
6). Sistem Perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih
7). Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan selera
8). SistemMuskuloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9). Sistem Persarafan
Gejala : kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinitus, kehilangan pendengaran, perubahan
penglihatan, gangguan pengecapan .
Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, kehilangan
pengindraan, kejang, kehilangan sensasi sebagian tubuh.
a. Nervus cranial
N.I : penurunan daya penciuman
N.II : pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N.III, N.IV, N.VI : penurunan lapang pandang, refleks cahaya menurun, perubahan ukuran
pupil, bola mta tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
N.V : gangguan mengunyah
VII, N.XII :lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah
VIII : penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh
N.IX , N.X , N.XI jarang ditemukan

b. Skala Koma glasgow (GCS)


NO KOMPONEN NILAI HASIL
1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak tepat/tidak
nyambung dengan pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi membuka 1 Tidak berespon
mata (EYE) 2 Rangsang nyeri
3 Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4 Spontan
c. Fungsi motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional :
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

2. KEMUNGKINAN DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d akumulasi cairan


b. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat pernapasan di medula oblongata
c. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d hiposksia
d. Perubahan persepsi sensori b.d defisit neorologis.
e. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d peningkatan TIK.
f. Kerusakan mobilitas fisik b.d imobilitas.
g. Resti injury b.d kejang.
h. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak
i. Resti gangguan intregritas fisik b.d imobilitas
j. Resti kekurangan volume cairan b.d mual-muntah.
3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

N TUJUAN INTERVE RASIONAL


O. NSI
a. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Kaji - Ronki, mengi
diharapkan klien dapat mempertahanakan patensi napas dengan kepatenen menunjukan
kriteria hasil : jalan napas aktivitas sekret
a. Bunyi napas vesikuler 2. Beri posisi yang dapat
b. Tidak ada spuntum semifowler. menimbulkan
c. Masukan cairan adekuat. 3. Lakukan penggunaan
penghisapan otot-otot
lendir asesoris dan
dengan hati- meningkatkan
hati selama kerja
10-15 pernapasan.
menit. Catat - Membantu
sifat-sifat, memaksimalka
warna dan n ekspansi paru
bau sekret. dan
Lakukan menurunkan
bila tidak upaya
ada retak pernapasan.
pada tulang - Pengisapan
basal dan dan
robekan membersihkan
dural. jalan napas dan
4. Berikan akumulasi dari
posisi semi sekret.
pronelateral Dilakukan
/miring atau dengan hati-
terlentang hati untuk
setiap dua menghindari
jam. terjadinya
5. Pertahankan iritasi saluran
masukan dan reflek
cairan vagal.
sesuai - Posisi semi
kemampuan prone dapat
klien. membantu
6. Berikan keluarnya
bronkodilat sekret dan
or IV dan mencegah
aerosol aspirasi.
sesuai Mengubah
indikasi. posisi untuk
merangsang
mobilisi sekret
dari saluran
pernapasan.
- Membantu
mengencerkan
sekret,
meningkatkan
pengeluaran
sekret.
- Meningkatkan
ventilasi dan
membuang
sekret serta
relaksasi otot
halus/spsponsn
e bronkus.
b. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Pantau - Perubahan
diharapkan klien mempunyai pola pernapasan yang efektif frekuensi, dapat
dengan kriteria hasil: irama dan menandakan
a. Pola napas nomal (irama teratur, RR = 16-24 x/menit). kedalaman awitan
b. Tidak ada pernapasan cuping hidung. pernapasan. komplikasi
c. Pergerakan dada simetris. Catat pulmo atau
d. Nilai GDA normal. ketidakterat menandakan
PH darah = 7,35-7,45. uran luasnya
PaO2 = 80-100 mmHg. pernapasan. keterlibatan
PaCO2 = 35-45 mmHg. otak.
HCO3- = 22-26 m.Eq/L Pernapasan
lambat, periode
2. Catat aprea dapat
kompetensi menandakan
reflek GAG perlunya
dan ventilasi
kemampuan mekanis.
untuk - Kemampuan
melindungi mobilisasi
jalan napas penting untuk
sendiri. pemeliharaaan
jalan napas.
3. Tinggikan
Kehilangan
kepala
reflek batuk
tempat tidur
menandakan
sesuai
perlunya jalan
indikasi.
napas
4. Anjurkan buatan/intubasi
kllien untuk .
bernapas - Untuk
dalam dan memudahkan
batuk ekspansi paru
efektif. dan
menurunkan
5. Beri terapi adanya
O2 kemugkinan
tambahan. lidah jatuh
menutupi jalan
6. Pantau napas.
analisa gas - Mencegah atau
darah, menurunkan
tekanan atelektasis.
oksimetri. -
Memaksimalka
n O2 pada
darah arteri
dan membantu
dalam
mencegah
hipoksia.
- Menentukan
kecukupan
pernapasan,
keseimbangan
asam basa.
c. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Kaji status - Hasil dari
diharapkan klien mempunyai perfusi jaringan adekuat dengan neurologis pengkajian
kriteria hasil: yang dapat diketahui
a. Tingkat kesadaran normal (composmetis). berhubunga secara dini
b. TTV Normal. n dengan adanya tanda-
(TD: 120/80 mmHg, suhu: 36,5-37,50C, Nadi: 80-100 x/menit, RR: tanda-tanda tanda
16-24 x/m) peningkatan peningkatan
TIK, TIK sehingga
terutama dapat
CGS. menentukn
arah tindakan
2. Monitor selanjutnya
TTV; TD, serta manfaat
denyut nadi, untuk
suhu, menentukan
minimal lokasi,
setiap jam perluasan dan
sampai perkembangan
klien stabil. keruskan SSP.
- Dapat
3. Tingggikan mendeteksi
posisi secara dini
kepala tanda-anda
dengan peningkatan
sudut 15- TIK, misalnya
45o tanpa hilangnya
bantal dan autoregulasida
posisi pat mengikuti
netral. kerusakan
4. Monitor vaskularisasi
suhu dan selenral lokal.
Napas yang
atur suhu tidak teratur
lingkungan dapat
sesuai menunjukkan
indikasi. lokasi adanya
Batasi gangguan
pemakaian serebral.
selimut dan - Posisi kepala
kompres dengan sudut
bila de 15-45o dari
mam. kaki akan
5. Monitor meningkatkan
asupan dan dan
keluaran memperlancar
setiap aliran balik
delapan vena kepala
jam sekali. sehingga
mengurangi
6. Berikan O2
kongesti
tambahan
cerebrum, dan
sesuai
mencegah
indikasi.
penekanan
7. Berikan
pada saraf
obat-obatan
medula spinalis
antiedema
yang
seperti
menambah
manito,
TIK.
gliserol dan
- Deman
losix sesuai
menandakan
indikasi.
adanya
gangguan
hipotalamus:
peningkatan
kebutuhan
metabolik akan
meningkatkan
TIK.
- Mencegah
kelibahan
cairan yang
dapat
menambah
edema serebri
sehingga
terjadi
peningkatan
TIK.
- Mengurangi
hipokremia
yang dapat
meningkatkan
vasoditoksi
cerebri,
volume darah
dan TIK.
-
Manitol/glisero
l merupakan
cairan
hipertonis yang
berguna untuk
menarik cairan
dari
intreseluler dan
ekstraseluler.
Lasix untuk
meningkatkan
ekskresi
natrium dan air
yang berguna
untuk
mengurangi
edema otak.
d. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Kaji respon - Informasi yang
diharapkan klien mengalami perubahan persepsi sensori dengan sensori penting untuk
kriteria hasil: terhadap keamanan
a. Tingkat kesadaran normal. E4 M6V5. panas atau kllien , semua
b. Fungsi alat-alat indera baik. dingin, raba sistem sensori
c. Klien kooperatif kembali dan dapat berorientasi pada orang, atau dapat
waktu dan tempat. sentuhan. terpengaruh
Catat dengan adanya
perubahan- perubahan
perubahan yang
yang terjadi. melibatkan
2. Kaji kemampuan
persepsi untuk
klien, baik menerima dan
respon balik berespon
dan koneksi sesuai
kemampuan stimulus.
klien - Hasil
beroerientas pengkajian
i terhadap dapat
orang, menginformasi
tempat dan kan susunan
waktu. fungsi otak
3. Berikan yang terkena
stimulus dan membantu
yang berarti intervensi
saat sempurna.
penurunan - Merangsang
kesadaran. kembali
4. Berikan kemampuan
keamanan persepsi-
klien sensori.
dengan - Gangguan
pengamana persepsi
n sisi sensori dan
tempat buruknya
tidur, bantu keseimbangan
latihan jalan dapat
dan meningkatkan
lindungi resiko
dari cidera. terjadinya
5. Rujuk pada injury.
ahli
fisioterapi , - Pendekatan
terapi antar disiplin
deuposi, dapat
wicara, menciptakan
terapi rencana
kognitif. penatalaksanaa
n terintregasi
yang berfokus
pada
peningkatan
evaluasi, dan
fungsi fisik,
kognitif dan
ketrampilan
perseptual.
e. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam, nyeri1. Tentukan - Informasi akan
berkurang atau terkendali dengan kriteria hasil: riwayat memberikan
a. Pelaporan nyeri terkontrol. nyeri, data dasar
b. Pasien tenang, tidak gelisah. lokasi, untuk
c. Pasien dapat cukup istirahat. intensitas, membantu
keluhan dan dalam
durasi. menentukan
2. Monitor pilihan/keeferk
TTV. tifan
3. Buat posisi intervensi.
kepala lebih - Perubahan
tinggi (15- TTV
45o). merupakan
4. Ajarkan indikator nyeri.
latihan - Meningkatkan
teknik dan
relaksasi melancarkan
seperti aliran balik
latihan darah vena dari
napas kepala
dalam. sehingga dapat
5. Kurangi mengurangi
stimulus edema dan
yang tidak TIK.
menyenang - Latihan napas
kan dari dapat
luas dan membantu
berikan pemasukan O2
tindakan kebih banyak ,
yang terutama untuk
menyenang oksigenasi
kan seperti otot.
masase. - Respon yang
tidak
menyenangkan
menambah
ketegagngan
saraf dan
mamase akan
mengalihkan
rengsang
terhadap nyeri.
f.. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Periksa -
diharapkan klien mampu melakukan aktifitas fisik dan ADL kembali Mengidentifika
dengan kriteria hasil: kemampuan si
a. Klien mampu pulih kembali pasca akut dalam mempertahankan dan keadaan kemungkinan
fungsi gerak. secara kerusakan yang
b. Tidak terjadi komplikasi , seperti dekubitus, bronkopnemonia fungsional terjadi secara
tromboplebitis dan kontraktur sendi. pada fungsional dan
c. Mampu mempertahankan keseimbangan fungsi tubuh. kerusakan mempengaruhi
yang terjadi pilihan
intervensi yang
akan dilakukan
2. Kaji tingkat - Seseorang
kemampuan dalam setiap
mobilitas kategori
dengan mempunyai
skala 0-4 resiko
0: Klien kecelakaan,
tidak namun dengan
bergantung kategori nilai
orang lain. 2-4 menpunyai
1: Klien butuh resiko yang
sedikit terbesar untuk
bantuan. terjadinya
2: Klien butuh bahaya.
bantuan
sederhana.
3: Klien butuh
bantuan
atau
peralatan
yang - Dapat
banyak.
4: Klien butuh meningkatkan
sangat sirkulasi
bergantung seluruh tubuh
pada orang dan mencegah
lain. adanya tekanan
pada organ
yang menonjol.
3. Atur posisi
klien dan -
ubah posisi Mempertahank
secara an fungsi
teratur tiap sendi dan
dua jam mencegah
sekali bila resiko
tidak ada tromboplebitis.
kejang atau - Meningkatkan
setelah sirkulasi dan
empat jam meningkatkan
pertama. elastisitas kulit
4. Bantu klien dan
melakukan menurunkan
gerakan resiko
sendi secara terjadinya
teratur. ekskariasi kilit
-
5. Pertahankan Mempertahank
linen tetap an mobilisasi
bersih dan dan fungsi
bebas sendi/posisi
kerutan normal
ekstremitas dan
menurunkan
terjadinya vena
statis
- Meningkatkan
6. Bantu untuk
kesembuhan
melalukan
dan
latihan
membentuk
rentang
kekuatan otot
gerak
aktif/pasif

7. Anjurkan
klien untuk
tetap ikut
serta dalam
pemenuhan
kebutuhan
ADL sesuai
kemampuan

g Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Observasi - Mengetahui


diharapkan klien tidak mengalami cedera dengan kriteria hasil: tanda-tanda saat terjadinya
a. Pernyataan pemahaman faktor yang trlibat dalam kemungkinan kejang, kejang untuk
cedera. waktu antisipasi
b. Menunjukkan perilaku , gaya hidup untuk menurunkan faktor2. Pertahankan - Menurunkan
resiko dan melindungi dari cedera penghalang terjadinya
c. Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkatkan tempat tidur trauma
keamanan terpasang
3. Jauhkan - Menurunkan
benda- terjadinya
benda yang trauma
dapat
melukai
klien
4. Pertahankan - Menurunkan
agar lidah terjadinya
tidak trauma
tergigit
5. Berikan -
obat sesuai Mengendalikan
dengan kejang
indikasi,
misal
antikonvuls
an

h Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Pertahankan - Menurunkan


diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: teknik resiko
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi, rubor, kalor, dolor. aseptik dan terjadinya
b. Suhu tubuh 36,5-37,5 oC teknik cuci infeksi dan
c. Mencapai penyembuhan tepat waktu tangan yang kontaminasi
d. Berpartisipasi dalam intervensi dalam pencegahan infeksi tepat bagi silang
pasien,
pengunjung
maupun
staf.
2. Pantau suhu - Peningkatan
secara suhu
teratur merupakan
salah satu
indikator
terjadinya
infeksi
3. Ubah posisi - Mencegah
klien kerusakan kulit
dengan
sering.
Pertahankan
linen tetap
kering dan
bebas dari
kerutan.
4. - Menurunkan
Batasi/hinda resiko
ri prosedur kontaminasi
invansif
5. Beri -
antibiotik Mengidentifika
sesuai si infeksi
indikasi
i.. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Inspeksi - Kulit biasanya
diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: seluruh area cenderung
a. Mengidentifikasi faktor resiko individual. kulit. Catat rusak karena
b. Mengungkapkan pemahaman tentang kebutuhan tindakan adanya perubahan
c. Berpartisipasi pada tingkat kemampuan untuk mencegah kemerahan sirkulasi
kerusakan kulit. perifer,
tekanan
2. Lakukan - Meningkatkan
perubahan sirkulasi pada
posisi kulit dan
sesering mengurangi
mungkin tekanan pada
daerah tulang
yang menonjol
3. Pertahankan -
linen tetap mengurangi/m
kering, encegah
bersih dan adanya iritasi
bebas kulit
kerutan
4. Tinggikan - Meningkatkan
ekstremitas arus balik
bawah vena,
secara mencegah/men
periodik gurangi
pembentukan
edema
5. Masase - Meningkatkan
penonjolan sirkulasi ke
tulang jaringan,
dengan meningkatkan
lembut tonus vaskuler
menggunak dan
an mengurangi
krim/lotion edema jaringan
j. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3X24 jam,1. Ukur - Penurunan
diharapkan klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil: haluaran haluaran urin
a. dan BJ urin. dan BJ akan
TTV dalam batas normal Catat menyebabkan
ketidakseim hipovolemia.
TD 120/80 mmHg, nadi 60-100x/menit, suhu 36,5-37,5 oC, RR bangan
16-24x/menit input dan
b. Nadi perifer teraba kuat output.
c. Haluaran urin adekuat 2. Dorong - Memperbaiki
masukan kebutuhan
cairan cairan
peroral
sesuai
toleransi
3. Pantau - Pengurangan
tekanan dalam sirkulasi
darah dan volume cairan
denyut dapat
jantung mengurangi
tekanan darah,
mekanisme
kompensasi
awal takikardi
untuk
meningkatkan
curah jantung
dan tekanan
darah sistemik
4. Palpasi - Denyut yang
denyut lemah, mudah
perifer hilang dapat
menyebabkan
hipovolemi
5. Kaji - Merupakan
membran indikator dari
mukosa, kekurangan
turgor kulit, volume cairan
dan rasa dan sebagai
haus pedoman untuk
penatalaksaan
rehidrasi
6. Berikan - Memperbaiki
tambahan kebutuhan
cairan cairan
parenteral
sesuai
indikasi
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M. 1989. Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Car. 2 nd ed. Philadelpia : F.A.
Davis Company.
Long; B and Phipps W. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach.
St. Louis : Cv. Mosby Company.
Asikin, Z. 1991. Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita
dengan Alat Bantu Napas. Jakarta.
Harsono. 1993. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta : Gadjah Mada University Press
Saanin, S dalam Neurosurgeon. mailto:%20saanin@padang.wasantara.net.id
Cecily, L & Linda A. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hudak & Gallo. 1996. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC.
Iskandar. 2004. Cedera Kepala. Jakarta Barat: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto
Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC
Bajamal, A. 1999. Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. Surabaya.
Umar, K. 1998. Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Surabaya : Airlangga
Univ. Press.
Umar, K. 2000. Penanganan Cidera Kepala Simposium. Tretes : IKABI.
Vincent, J. 1996. Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxi.

You might also like