Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
Nim : G3A017218
Disahkan Pada:
Hari/Tanggal : Senin, 4 Juni 2018
Mahasiswa
Hasdiman Samania
NIM: G3A017218
Menyetujui:
A. KONSEP TEORI
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2001). Sedangkan
menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and
Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas
tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap oleh tulang.
Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000).
Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu
fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa
komplikasi (Handerson, M. A,1992).
2. Etiologi
Menurut Huda dan Kusuma (2016), fraktur disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi
dari ketiganya, dan penarikan.
3. Tanda Dan Gelaja
Menurut Huda dan Kusuma (2016), tanda dan gejala dari fraktur
adalah sebagai berikut :
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal
4. Patofisiologi
Menurut Apley, A. Graham (1995), Tulang bersifat rapuh namun
cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak
yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi
sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung
terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan
fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya
tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Huda dan kusuma (2016), pemeriksaan penunjang untuk
fraktur adalah sebagai berikut
a. Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnya
trauma, skan tulang, temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
b. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun.
c. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
6. Pathways
Jatuh, hantaman,
kecelakaan, dll
FRAKTUR
Kerusakan integritas
jaringan Hambatan
mobilitas fisik
Resiko syok
Resiko Infeksi Nyeri Akut hipovolemik
Ketidakefektifek perfusi
jaringan perifer
2. Diagnosa
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
c. Resiko infeksi b.d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
d. Nyeri akut b.d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
e. Kerusakan intergritas kulit b.d raktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
f. Resiko syok hipovolemik b.d perdarahan dan kehilangan cairan
berlebihan.
3. Intervensi
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan
kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara
aktif
Intervensi :
1) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
2) Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang
terlalu ketat.
R/ Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya
penyesuaian keketatan bebat/spalk.
3) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.
R/ Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali
pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan
penurunan perfusi.
4) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
R/ Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk
menurunkan trombus vena.
5) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan
kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang
normal.
R/ Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya
intervensi sesuai keadaan klien.
b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada
tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi
fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang
memampukan melakukan aktivitas
Intervensi :
1) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio,
koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.
R/ Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga
diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
2) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal,
mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.
3) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.
R/ Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
4) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai
keadaan klien.
R/ Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai
kondisi keterbatasan klien.
5) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
R/ Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan
(dekubitus, atelektasis, penumonia)
6) Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
R/ Mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.
7) Berikan diet TKTP.
R/ Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.
8) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
R/ Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.
9) Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.
R/ Menilai perkembangan masalah klien.
d. Nyeri akut b.d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan
menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individual.
Intervensi :
1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring,
gips, bebat dan atau traksi
R/ Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
R/ Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
R/ Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan
lokal dan kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas
dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
R/ Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.
R/ Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral maupun perifer.
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval,
perubahan tanda-tanda vital)
R/ Menilai perkembangan masalah klien.
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Jilid 1 dan 2. Fk UI.
Media Aesculapius : Jakarta.
Handerson, M.A. 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yayasan Essentia Medika :
Yogyakarta.
Apley. A. Graham. 1995. Buku Ajar ortopedi dan fraktur sistem apley. Widya
Medika : Jakarta.
Price, S.A. & Wilson, L.M. 2006. Pathophysiology: Clinical concept of disease
processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994
(Buku asli diterbitkan tahun 1992)
1. Identitas Klien
Nama : Tn. S
Umur : 29 tahun
3. Dasar Pemikiran
Fraktur atau patah tulang dapat menimbulkan gangguan pada fungsi
ekstremitas sebagai akibat dari adanya diskontinuitas tulang dan pergeseran
fragmen tulang yang mengakibatkan kerusakan pada mobilisasi fisik. Kondisi
patah tulang ini akan mempengaruhi terjadinya penurunan kemampuan
pergerakan dan apabila dilakukan pergerakan secara paksaan dan mendadak
akan memperparah kondisi dari patah tulang. Pergerakan yang terus-menerus
akan beresiko memperparah pergeseran fragmen tulang dan harus
meminimalisir pergerakan (imobilisasi) pada area patah tulang sekitarnya.
Imobilisasi dilakukan bertujuan untuk mempertahankan dan mengembalikan
fungsi status neurovaskular. Balut bidai merupakan penanganan umum
imobilisasi dari lokasi trauma dengan menggunakan penyangga. Sehingga
pemasangan balut bidai merupakan imobilisasi yang dapat membantu dalam
meminimalisir peningkatan pergeseran tulang.
4. Analisa Sintesa
Diskontinuitas tulang
6. Diagnosa Keperawatan
Hambatam mobilisasi fisik berhubungan dengan pergeseran fragmen tulang
dan gangguan neuromuskular.
7. Data Fokus
Tn. S, 29 tahun dibawa ke IGD setelah tertimpa jatuhan kaca dan terjadi patah
tulang pada tangan bagian kiri bawah dengan diagnosa medis sementara
Fraktus Lengan Terbuka. Klien mengatakan tangan kiri tidak bisa diangkat
tanpa bantuan dan sakit saat digerakkan. Klien meringis saat tangan kiri
diangkat, terdapat luka sayatan dan deformitas.
9. Tujuan Tindakan
a. Mengurangi/menghilangkan nyeri dengan cara mencegah pergerakkan
frakmen tulang sendi yang dislokasi dari jaringan lunak yang rusak
b. Mencegah kerusakan lebih lanjut jaringan (otot, medula spinalis, syaraf
perifer, pembuluh darah) akibat pergerakan ujung fragmen tulang
c. Mencegah laserasi kulit oleh ujung fragmen tulang (fraktur tertutup jadi
terbuka)
d. Mencegah gangguan aliran darah akibat penekanan ujung fragmen tulang
pada pembuluh darah
e. Mengurangi/menghentikan perdarahan akibat kerusakan jaringan lunak.
11. Evaluasi
S : Klien mengatakan lebih enakan setelah dipasangkan balut bidai
O : Luka tertutup oleh supratul dan kasa steril, pergerakan dibatasi
oleh balut bidai, resiko trauma berkelanjutan berkurang, resiko
infeksi menurun
A : Masalah disabilitas klien teratasi sebagian
P : Tetap batasi pergerakan agar tidak terjadi pergeseran fragmen
tulang yang dapat menyebabkan fraktur yang lebih parah serta
kemungkinan sobekan akibat fragmen tulang yang dapat
menyebabkan pendarahan