You are on page 1of 3

Untuk memulai catatan objektif komisariat dewasa ini, yang perlu untuk saya katakan adalah

bahwa kita mesti jujur sekaligus memberikan jalan keluar terhadap problematika yang terjadi
di Komisariat. Bahwa internalisasi nilai-nilai Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan berikut
paradigma PMII belum terselenggara secara baik. Sekalipun kemudian dilaksanakan, tetap
saja konsistensi belum dapat di jaga. Dilain sisi, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi
kondisi objektif internal komisariat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya opini-opini yang
berkembang dimasyarakat bahwa PMII adalah organisasi yang cenderung “apatis” terhadap
kondisi aktual bangsa saat ini.

Bicara soal kondisi objektif komisariat, tentu tidak terlepas dari proses tumbuh kembangnya
kaderisasi, baik formal, informal maupun non formal, dan persoalan tersebutlah yang dewasa
ini terjadi pada Komisariat asal saya, yaitu Komisariat Universitas Islam jakarta, Cabang
Jakarta Timur.

Tentunya kita tahu bahwa kaderisasi menjadi faktor yang sangat vital dalam proses
organIsasi, rasanya tanpa kaderisasi, PMII menjadi organisasi yang terbelakang. Oleh sebab
itu, yang patut kita perhatikan betul adalah kaderisasi. Kurang lebih itulah yang terjadi dalam
internal Komisariat Universitas Islam Jakarata.

Yang kedua, persoalan kepemimpinan yang memiliki peran penting dalam organisasi.
Kebijakan pemimpin dalam organisasi adalah penentu bagi berjalannya kaderisasi. Sehingga
antara kepemimipinan dan kaderisasi merupakan dua hal yang berbeda namun saling
berkesinambungan. Berikut uraian kongkrit terkait kondisi objektif.

Masalah Kaderisasi Di Komisariat Beserta Solusi

Masalah kadeirisasi yang ada di Komisariat hari ini sepanjang perhatian saya, bahwa
komisariat dalam hal ini sebagai ujung tombak kaderiasi masih belum maksimal dalam
menjalankan visi organisasi. Hal tersebut dapat terlihat dari para anggota dan kader yang
mengalami defisit kebanggaan terhadap organisasinya sendiri, senada dengan itu, mereka
juga tidak begitu memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam PMII sebagai refleksi dari
implementasi ke-organisasian.

Secara kaderisasi formal semacam MAPABA, pada tahun 2017 lalu, Komisariat Universitas
Islam Jakarta memecahka kebuntuan dengan merekrut sekurang-kurangnya sekitar delapan
puluh anggota baru (sekiranya bagi ukuran Jakarta Timut, angka tersebut termasuk relatif
besar). Memang, jika ingin dibandingkan pelaksanaan kaderisasi formal lebih relatif sulit
daripada kaderisasi non formal. Hal demikian tidak ditinjau dari segi teknisnya, melainkan
dari proses konsolidasinya. Bahwa mengumpulkan anggota dan kader untuk mengikuti
sebuah agende dipandang (-setidaknya menurut saya) lebih sulit. Apalagi tenggang waktu
dari kederisasi formal menuju kaderisasi non formal di laksanakan agak lama.

Bahwa sacara terang saya katakan bahwa proses follow up yang menjadi upaya
pengembangan basis intelektual anggoota dan kader belum maksimal, yang sebenarnya
merupakan efek domino dari faktor “defisit kebaggaan” tadi.

Sehingga dalam kesempatan ini saya merasa perlu untuk memberikan solusi terhadap
persoalan tersebut.

Pertama, persoalan tersebut berangkat dari penyusunan format kepengurusan Komisariat.


Dimana tiap-tiap kader yang ditempatkan pada posisinya sebagai pengurus seyogiyanya
memahami kinerjanya sesuai dengan jabatan yang di emban. Seragam dengan problematika
tersebut, secara terbuka dapat saya katakan—sebagai asumsi—bahwa yang menjadi jantung
persolan terletak dari Bidang Kajian Komisariat, bagaimana bisa kader yang domainnya
bukan pada soal kajian, yang diperparah dengan mereka yang belum melek literatur (yang
menjadi fondasi kajian) ditempatkan pada posisi yang bertentangan dengan basis
pemikirannya. Sehingga ababila upaya resafel dianggap terlalu ekstrim, maka pengalihan
tupoksi kinerja yang perlu untuk dilakukan. Contohnya, pengurus seberanarnya punya
kemampuan untuk mengakomodir kajian Komisariat bisa untuk secara sadar mengalihkan
perhatiannya untuk turut membantu telaksananya kajian dan atau follow up. Lebih dari itu
kader dan anggota, khusunya para pengurus Komisariat mesti (-wajib) mendalami produk
hukum PMII berikut stratak kaderisasi yang telah dikodifikasi secara terarah di dalam
AD/ART dan Peraturan Organisasi, kalau dimungkinkan perlu juga untuk memahami secara
kontekstual berdasarkan kondisi lokal Komisariat untuk kemudian disesuaikan dengan format
yang telah di rancang secara berkelanjutan oleh struktur organisasi di atas semacam Pengurus
Cabang (PC), Pengurus Kordinator Cabang (PKC) dan juga Pengurus Besar (PB).

Kedua, persoalan berikut ini saya secara pribadi maupun kelembagaan PMII cenderung keras
dalam menyikapinya, yaitu persoalan kepemimpinan Komisariat. Kita tahu, bahwa sistem
kaderisasi berjalan sekian persen, bahkan menurut peradigma beberapa orang seratus persen
bergantung pada gagasan serta kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin. Ibarat manusia, Ia
tidak akan bisa hidup tanpa kepala, ikan akan mengalami pembusukan dari kepala, di kepala
ada unsur-unsur vital. Mata sebagai unsur untuk melihat realistas, telinga agar mendengar
asumsi publik (-aspiratif), hidung untuk mencium indikasi yang dapat merusak proses
pelaksanaan kebijakan, mulut sebagai intrumen dalam menguraikan gagasan dan kebijakan,
serta yang lebih penting adalah kepala menyimpan identitas kedirian manusia, yaitu otak
sebagai intrumen refleksi kehidupan (-dalam organisasi, sebagai refleksi daripada realitas
organisasi).

Mengutip pendapat beberapa pendahulu Komisariat dalam menyikapi fenomena kepemimpin


Komisariat hari ini, bahwa Ketua Komisariat hari ini secara filosofis tidak memiliki karakter
kepemimpinan, walaupun pendapat tersebut bisa dikatakan hanya sebuah asumsi, saya
cenderung sepakat.

Lebih spesifik dapat dibaca bahwa kepemimipinanya sekarang mengalami dilema, singkatnya
apa yang menjadi prioritas (preferensi). Sebab, selain Ia sebagai Ketua Komisariat, Ia juga
sedang menjalankan tugas akhir (skripsi), artinya yang dipersoalkan adalah soal manajemen
waktu yang Ia jalani secara simultan.

Selain kepemimpinan ditafsirkan sebagai kepala, didalam internal Komisariat, kita memiliki
penafsiran sendiri terkait posisi kepemimpimpinan di dalam organisasi. Berangkat dari
beberapa fakta yang terjadi di internal komisariat membuktikan bahwa soeorang pemimipin
lebih cocok ditempatan (analogi) sebagai pinggang. Ia harus mendeduksikan dirinya
kebawah , artinya tidak mesti melulu mengkonsolidir dirinya untuk menyambung koneksi ke
atas, ke senior dst, dan untuk menyeimbangkan pola kaderisasinya, Ia juga menginduksikan
dirinya untuk memperhatikan pola serta konsepsi kaderisasi internal, yang pada giliranya
akan menjadi dasar implementatif.

You might also like