You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker usus besar atau kanker kolorektal adalah salah satu dari penyakit kanker dengan
prevalensi yang cukup tinggi. Kanker kolorektal merupakan keganasan atau pertumbuhan sel
abnormal pada area usus besar dan rektum. Jumlah penderita kanker usus besar dan rektum
cukup banyak di Indonesia, khususnya di perkotaan. Kanker usus besar merupakan jenis kanker
ketiga terbanyak di Indonesia menurut Depkes dengan jumlah kasus 1,8 dalam 100.000
penduduk (RS Dharmais, n.d). Rahmianti (2013) menuliskan, sekitar 608.000 orang di dunia
meninggal akibat kanker kolorektal setiap tahun menurut World Healh Organization (WHO),
sedangkan di Indonesia sendiri, pada setiap tahunnya sekitar 1.666 orang meninggal akibat
kanker kolorektal.
Kanker kolorektal menjadi penyakit ketiga terbanyak yang ada di ruang perawatan lantai
5 Bedah RSPAD Gatot Soebroto Jakarta pada bulan Mei 2013. Contoh lain, yaitu pada negara
Amerika, setiap individu dinyatakan memiliki resiko terkena kanker kolorektal sebanyak kurang
lebih 6% (Zhang, 2008). Faktor resiko kanker kolorektal lebih sering terdapat pada gaya hidup
masyarakat di perkotaan, diantaranya ialah obesitas, diet tinggi lemak, konsumsi daging merah,
konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, merokok
dan kurangnya olahraga secara teratur dan terukur (Newton, 2009).
Penatalaksanaan pada kanker kolorektal meliputi penatalaksanaan medis, bedah dan
keperawatan. Penatalaksanaan bedah dilakukan tergantung pada tingkat penyebaran dan lokasi
tumor itu sendiri. Salah satu tindakan bedah yang dilakukan adalah dengan pembentukan
kolostomi. Simanjuntak & Nurhidayah (2007) menyebutkan bahwa alasan paling sering
dilakukannya tindakan kolostomi adalah adanya karsinoma pada kolon dan rektum dimana
karsinoma adalah tumor ganas yang tumbuh dari jaringan epitel. Kolostomi memungkinkan feses
tetap keluar dari kolon meskipun terjadi obstruksi pada kolon yang diakibatkan oleh massa
tumor.
Kolostomi merupakan pembuatan stoma atau lubang pada kolon atau usus besar
(Smeltzer & Bare, 2002). Indonesian Ostomy Association (INOA) mengatakan bahwa jumlah
kasus yang menggunakan stoma terus meningkat, dan penyebab tersering di Indonesia sendiri
adalah karena keganasan (Indonesian Ostomy Association, 2010). Kurnia (2012) memaparkan,
1
sekitar 100.00 orang yang dilakukan indikasi pemasangan stoma pada umumnya disebabkan oleh
kanker kolorektal, kanker kandung kemih, kolitis ulseratif, penyait Crohn, diverticulitis,
obstruksi, inkontinensia urin dan fekal, dan trauma. Indikasi pemasangan kolostomi pada
neonatus dan dewasa tentu berbeda. Lukong, Jabo, dan Mfuh (2012) melakukan penelitian
terhadap 38 neonatus, dan indikasi pemasangan kolostomi yang ditemukan adalah karena
malformasi anorektal (97,4%) dan atresia kolon (2,6%).
Penyebab terbanyak dari indikasi pembuatan kolostomi adalah karena kanker atau
keganasan. The Union for International Cancer Control (UICC) mengumumkan adanya hari
kanker sedunia pada tahun 2005, seiring dengan tingginya angka kejadian kanker di dunia. Jenis
kanker, menurut UICC kebanyakan dapat dicegah dengan cara menjaga gaya hidup sehat
masyarakat perkotaan, yaitu menjaga pola makan sehat dan berat badan ideal, melakukan
olahraga secara rutin, teratur dan terukur, serta mengurangi asupan alkohol (Anna, 2011).
Simanjuntak & Nurhidayah (2007) mengatakan bahwa pembentukan stoma atau
kolostomi dapat berdampak pada perubahan peran, harga diri, body image, seksual dan hubungan
sosial. Penelitian yang dilakukan Mckenzie (2006) juga menunjukkan bahwa 50% pasien merasa
tubuh mereka berada di luar kontrol, 45% merasakan bahwa stoma mengatur hidup mereka, 47%
merasa hilang rasa percaya diri, dan 55% merasa bahwa tidak ada seorang pun yang dapat
merasakan bagaimana memiliki stoma (Kurnia, 2012). Klien dengan kolostomi akan beresiko
untuk mengalami gambaran diri negatif. Oleh karena itu selama perawatan, perawat perlu
memberikan dukungan agar pasien dapat menyesuaikan diri dalam pencapaian gambaran diri
yang positif.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merawat klien dengan kolostomi ialah
terkait perubahan pada eliminasi BAB klien, meliputi perubahan konsistensi serta frekuensi BAB
klien. Klien akan merasakan adanya perubahan tersebut, dan disinilah fungsi perawat sebagai
edukator untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut agar klien dapat menerima dengan
baik. Edukasi yang diberikan tidak hanya berupa cara perawatan kolostomi, namun juga meliputi
apa yang harus dilakukan klien terkait dietnya agar pengeluaran fesesnya tidak mengganggu
kegiatannya. Selain sebagai edukator, fungsi care giver juga dapat dijalankan terkait
mengembalikan pola eliminasi BAB klien seperti sedia kala, salah satunya dengan irigasi
kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan sebuah tindakan dimana sejumlah cairan dimasukkan
melalui stoma untuk mengosongkan usus besar. Irigasi dapat mengosongkan kolon dari gas,
2
mukus, dan feses sehingga klien dapat beraktivitas dengan nyaman sesudahnya (Smeltzer &
Bare, 2002). Makalah ini akan membahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
kolostomi khususnya pada penderita kanker kolorektal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Teori dari Kanker Kolorectal?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Paliatif pada Kanker Kolorektal?
1.3 Tujuan
1. Mampu menggambarkan konsep Teori dari Kanker Kolorectal
2. Mampu menjelaskan Asuhan Keperawatan Paliatif pada Kanker Kolorektal
1.4 Manfaat
Peran perawat sebagai edukator dalam hal ini terkait pengetahuan tentang penyakit kanker
kolorektal, dan perawatan kolostomi, untuk kemudian disampaikan kepada klien dan
keluarga sebagai pendidikan kesehatan.
Peran perawat sebagai care giver dalam hal ini terkait asuhan keperawatan mengembalikan
pola eliminasi BAB klien dengan melakukan irigasi kolostomi.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kanker adalah sebuah proses penyakit yang ditandai dengan adanya sel abnormal yang
ditransformasikan oleh mutasi genetik dari sel DNA (Smeltzer & Bare, 2002). Kanker
kolorektal adalah kanker yang terdapat pada kolon dan rektum. Zhang (2008) mengatakan
kanker kolorektal merupakan bentuk malignansi yang terdapat pada kolon asending,
transversal, desending, sigmoid dan rektal. Kanker kolorektal dapat didefinisikan sebagai
keganasan atau pertumbuhan sel abnormal pada area usus besar (kolon) dan rektum.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Penyebab pasti dari kanker kolorektal belum diketahui secara pasti (Black & Hawks, 2009).
Kejadian kanker kolorektal pada pria ataupun wanita tidak memiliki perbedaan yang signifikan,
begitupun dengan etnik. Black & Hawks dalam bukunya memaparkan, memang terjadi
prevalensi dan tingkat mortalitas tinggi pada keturunan Amerika dan Afrika, namun ini
mungkin disebabkan karena mayoritas dari mereka melakukan diet tinggi lemak, makanan
olahan dan kurangnya asupan buah dan sayuran.
Mutasi gen dipercaya menjadi salah satu etiologi dari kanker kolorektal yang dapat
diturunkan, yang biasa disebut sebagai Inherited Familial Colorectal Cancer Syndromes.
Sindrom ini terdiri dari dua tipe, yakni Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary
Nonpolyposis Cancer Colorectal Cancer (HNPCC). FAP memiliki karakteristik berupa
kecenderungan dalam pertumbuhan polip kolon secara multipel (bahkan ratusan). Sembilan
puluh persen dari pasien yang memiliki FAP yang belum mendapat perawatan akan mengalami
kanker kolorektal pada usia 45 tahun (Zhang, 2008). Hereditary Nonpolyposis Cancer
Colorectal Cancer atau HNPCC menurut Black (2009) dapat menyebabkan kanker kolorektal
karena adanya lesi atau luka pada kolon. Berbeda dengan FAP, biasanya individu dengan
HNPCC dapat mengalami kanker kolon pada usia 20 tahun, dengan rerata kejadian pada usia
48 tahun (mendapat diagnosa kanker kolorektal).
Inflamasi usus, khususnya Ulcerative Colitis (UC) ataupun penyakit Crohn adalah
etiologi atau faktor resiko yang juga terdapat pada kanker kolorektal. Penyakit inflamasi usus
adalah kumpulan penyakit kronik (UC dan Crohn’s disease) yang menyebabkan terjadinya
inflamasi dan atau ulserasi pada usus besar, yang menimbulkan nyeri pada perut, diare, demam
4
dan penurunan BB (Smeltzer & Bare, 2002). Individu yang terkena UC selama 10 hingga 20
tahun, akan mendapat resiko atau kemungkinan terjadinya kanker kolorektal 0,5% per
tahunnya, dan 1 persen per tahun setelah 20 tahun setelah munculnya UC (Zhang, 2008). Empat
puluh tahun setelah munculnya UC, kemungkinan untuk terjadinya kanker kolorektal
meningkat menjadi 30%. Penyakit Crohn juga menunjukkan faktor resiko yang serupa dengan
UC pada kejadian kanker kolorektal.
Kondisi gaya hidup masyarakat perkotaan sebagian besar menjadi faktor resiko dari
penyakit kanker kolorektal. Hal ini disebabkan karena gaya hidup masyarakat perkotaan dan
modern meliputi konsumsi tinggi lemak, makanan olahan, konsumsi protein hewan dan rendah
serat, serta kurangnya aktivitis atau olahraga fisik yang teratur dan terukur (Ruddon, 2007).
Faktor resiko kanker kolorektal lebih sering terdapat pada gaya hidup masyarakat di perkotaan,
diantaranya ialah gaya hidup masyarakat, obesitas, diet tinggi lemak, konsumsi daging merah,
konsumsi makanan olahan, kurangnya konsumsi buah dan sayur, konsumsi alkohol, merokok
dan kurangnya olahraga secara teratur dan terukur (Newton, 2009). Beberapa penelitian bahkan
memaparkan bahwa kurangnya konsumsi buah dan sayuran merupakan faktor resiko utama dari
kanker kolorektal (Ruddon, 2007).
2.3 Patofisiologi
Keberadaan sel kanker pada seseorang tidak hanya berasal dari efek karsinogen
seseorang, baik yang didapat dari luar ataupun dari dalam tubuh manusia itu sendiri. Kanker
kolorektal khususnya, memiliki hubungan terhadap kondisi feses dari individu, serta riwayat
penyakit yang diderita, dimana kondisi tersebut merupakan dampak dari faktor resiko yang ada
pada individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kanker pada kolon dan rektum dapat diawali dengan adanya riwayat polip pada individu.
Polip merupakan massa dari jaringan yang menonjol pada lumen usus (Smeltzer & Bare, 2002).
Polip yang tidak diatasi atau dilakukan intervensi, dapat berubah menjadi maligna. Polip yang
telah berubah menjadi ganas tersebut akan menyerang dan menghancurkan sel yang normal dan
meluas di jaringan sekitarnya.
Manusia pada dasarnya memiliki zat karsinogen atau zat pemicu kanker pada tubuh. Efek
karsinogen akan semakin meningkat apabila mendapat penyebab kanker dari luar. Zat
karsinogen juga berpotensi untuk menyebabkan proliferasi sel kanker. Corwin (2001)
menyatakan, kurangnya asupan antioksidan dengan minimnya konsumsi buah dan sayuran yang
5
mengandung antioksidan (seperti vitamin E, vitamin C, dan beta karoten) dapat mengurangi
perlindungan sel terhadap efek karsinogen. Buah dan sayuran yang segar memiliki enzim aktif
yang dapat memelihara dan meningkatkan pertumbuhan sel yang sehat.
Kondisi feses yang kurang baik juga dapat memicu terjadinya kanker kolon. Aktivitas
atau olahraga yang kurang teratur dan terukur dapat mengakibatkan feses menjadi lebih lama
berada di kolon atau rektum, terlebih jika individu melakukan diet rendah serat. Kondisi ini
dapat mengakibatkan toksin yang terdapat dalam feses mencetuskan pertumbuhan sel kanker
(Corwin, 2001). Feses yang mengandung banyak lemak juga dapat memicu sel kanker.
Tingginya lemak dalam feses diakibatkan oleh konsumsi tinggi lemak seperti daging. Feses
yang mengandung banyak lemak dapat mengubah flora dalam feses menjadi bakteri Clostrida
& Bakteriodes yang mempunyai enzim 7-alfa dehidrosilase yang mencerna asam menjadi asam
Deoxycholi dan Lithocholic (yang bersifat karsinogenik) meningkat dalam feses.
Massa kanker yang terdapat pada kolon ataupun rektum akan menyebabkan adanya
sumbatan atau obstruksi, yang mengakibatkan evakuasi feses yang terhambat atau tidak
lengkap setelah defekasi. Akibat lebih lanjutnya ialah konstipasi, distensi atau nyeri
abdomen,hingga feses berdarah. Apabila massa kanker ini tidak dideteksi sejak dini dan
dibiarkan, maka besar kemungkinan sel kanker akan melakukan metastasis. Metastasis pada sel
kanker kolorektal terdiri dari penyebaran langsung, penyebaran limfogen, dan hematogen.

6
Kurangnya aktivitas Diet tinggi lemak, Kurang asupan Riwayat polip
fisik : olahraga teratur protein hewani, buah dan serat
dan terukur daging (rendah serat )

Motilitas usus Kadar lemak dalam fases Polip menjadi ganas


zat antioksidan

Merusak jaringan
Mengubah flora menjadi Perlindungan
Fases tertahan normal dan
bakteri clostridia dan sel dari efek meluas
bakteriodes karsinogenik
Mendorong toksin
dalam tinja untuk Ekskresi enzim 7-alfa dehidrosilase
mencetuskan kanker

Mencerna asam menjadi asam


yang memiliki efek karsinogenik

Pertumbuhan sel abnormal pada kolon atau rektum

Sel kanker melakukan metastase

Penyebaran langsung ke organ rektum Penyebaran limfogen Penyebaran hematogen

Metastase ke vesica urinaria, Metastase melalui kelenjar Metastase melalui pembuluh


uterus, vagina, prostat parailaka , mesentrium dan darah hepatikum dan intra
para aorta abdominal

Sumber : Corwin, 2001 ; Smeltzer & Bare, 2002 ; Zhang, 2008

7
2.4 Pemeriksaan dan Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan abdomen dan colok dubur.
Pemeriksaan abdomen dapat dilakukan dengan palpasi abdomen (tumor kecil atau tahap dini
akan sulit teraba). Palpasi abdomen dapat juga untuk memeriksa adanya manifestasi klinis
konstipasi, distensi dan nyeri tekan abdominal. Pemeriksaan colok dubur dilakukan untuk
mengetahui langsung adanya massa pada rektum. Pemeriksaan ini biasanya akan terasa nyeri
pada pasien, oleh karena itu pada saat pemeriksaan baiknya disertai dengan teknik relaksasi
napas dalam pada pasien.
Prosedur diagnostik yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan kanker kolorektal adalah
pengujian darah samar pada feses, foto kolon dengan enema barium atau kontras ganda,
proctosigmoideoscopy (pemeriksaan rektum dan sigmoid dengan memasukkan selang
berlampu melalui anus), dan kolonoskopi (pemeriksaan dengan serat optik). Smeltzer & Bare
(2002) merekomendasikan pemeriksaan untuk individu dewasa dengan usia 50 tahun ke atas
agar melakukan pemeriksaan kolonoskopi setiap 5-10 tahun serta pemeriksaan feses. Biopsi
atau pengambilan sampel jaringan juga dapat dilakukan sebagai deteksi. Enam puluh persen
dari kasus kolorektal dapat diidentifikasi melalui biopsi atau pengujian feses (Smeltzer & Bare,
2002).
Pemeriksaan lain untuk deteksi kanker ialah pemeriksaan Carcinoembryogenic Antigen
(CEA). Carcinomryogenic antigen dapat menjadi indikator untuk mendiagnosis kanker kolon,
namun perlu diketahui bahwa tidak semua lesi pada kanker mensekresikan CEA (Corwin,
2001). Sel tumor ataupun kanker pada kolon dapat menyebabkan peningkatan level CEA,
dimana normalnya akan kembali normal dalam 48 jam.
2.5 Penentuan Stadium Keganasan pada Kanker Kolorectal

Stadium Derajat Hispatologi


Dukes TNM Derajat
A T1N0M0 I Kanker terbatas pada mukosa / submukosa
B1 T2N0M0 I Kanker mencapai muskularis
B2 T2N0M0 II Kanker cenderung melewati lapisan serosa
C TXN1M0 III Invasi kedalam lapisan limfe / KGB
D TXNXM1 IV Metastasis tahap lanjut dan penyebaran yang luas

Keterangan :
8
 Tumor primer (T)
- T0 : Tidak ada bukti tumor primer
- T1 : Tumor ≤2 cm dalam dimensi terbesarnya
- T2 : Tumor ≥2 cm tapi tidak >5 cm dalam dimensi terbesarnya
- T3 : Tumor > 5 cm dalam dimensi terbesarnya
 Nodus limfe regional (N)
- N0 : Tidak ada metestasis nodus limfe regional
- N1 : Metastasis ke nodus limfe yang dapat digerakkan
 Metastasis jauh (M)
- M0 : Tidak ada metastasis yang jauh
- M1 : Metastasis jauh
Sumber : Sudoyo, dkk , 2006

2.6 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal


Penatalakasanaan pada pasien dengan kanker kolorektal meliputi penatalaksanaan medis, bedah
dan keperawatan. Penatalaksanaan medis meliputi kemoterapi dan terapi radiasi. Kemoterapi
merupakan terapi modalitas untuk mengeliminasi sel kanker. Idealnya, agen kemoterapi akan
menyerang dan menghentikan pertumbuhan sel tumor, namun pada kenyataannya sel yang
sehat juga ikut dimatikan. Efek ini akhirnya menimbulkan rasa mual, muntah dan rambut
rontok. terapi medis yang kedua yaitu terapi radiasi. Terapi radiasi menggunakan radiasi
terionisasi seperti sinar-X atau gamma (g). Terapi radiasi memiliki tingkat penyembuhan yang
tinggi untuk kasus kanker. Sinar radiasi yang dikirimkan akan diabsorbsi oleh sel, sehingga
akan terjadi kehancuran pada mutasi DNA. Dosis dari radiasi biasanya dihitung dengan jumlah
energi yang diserap per unit massa dangan standar unit atau satuan gray (Gy), atau satu joule
per kilogram (Zhang, 2008).
Ketika sampai pada sel tumor, dosis pada radiasi akan terbatas pada kerusakan di sel sehat yang
ada di sekitar area radiasi. Seseorang yang mendapat terapi radiasi harus menjaga agar kulit
pada area yang di radiasi tidak terkena dengan air karena dapat merusak kulit tersebut. Reaksi
tidak langsung antara molekul air dengan ion pada sinar radiasi akan menjadi tidak stabil.
Elektron yang mengelilingi atom hidrogen dan oksigen akan terpental keluar dari orbitnya,

9
membuat molekul OH kekurangan elektron, menjadi OH- dan atom hidrogen menjadi
kelebihan elektron (H+) (Tjokronagoro, 2004). Ion ini bersifat tidak stabil dan berubah menjadi
H radikal dan OH radikal. Ion-ion radikal ini bersifat menyebabkan kerusakan pada inti sel
yang berujung pada kematian sel.
Penatalaksanaan bedah terhadap pasien kanker kolorektal meliputi reseksi segmental dan
pembuatan kolostomi. Reseksi segmental dengan anastomosis dibutuhkan untuk mengangkat
tumor dan sebagian kolon yang terkena pertumbuhan tumor, berikut dengan pemuluh darah dan
limfanya. Pengangkatan rektum (yang terkena kanker) tanpa merusak anus disebut sebagai Low
anterior Resection (LAR). Pada operasi ini,setelah pengangkatan, kolon proksimal akan
dihubungkan dengan bagian rektum. Operasi ini biasa dilakukan pada pasien dengan kanker
kolorektal stadium II atau III pada ½ bagian atas rektum (dekat perbatasan dengan kolon).
Pembedahan lain yaitu pembedahan kolostom. Pembedahan kolostomi dapat berupa kolostomi
sigmoid dan pengangkatan sebagian sigmoid, rektum dan sfingter ani. Pada pasien palliative
care, kolostomi ataupun ileostomi permanen biasanya dibuat dengan tanpa mengangkat organ
yang terkena kanker.
Penatalaksanaan keperawatan terhadap pasien kanker kolorektal meliputi pemenuhan
kebutuhan dasar pasien. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah (Smeltzer & Bare,
2002):
a. Mempertahankan eliminasi pasien
b. Mempertahankan atau meningkatkan kenyamanan
c. Meningkatkan toleransi aktivitas d Membantu pemberian nutrisi optimal
d. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
e. Melakukan perawatan kulit, luka dan kolostomi (pasca bedah)

10
2.7 Asuhan Keperawatan Pasien dengan Kolostomi
a. Perawatan Kolostomi
Kolostomi akan mulai berfungsi optimal sekitar 3-6 hari pasca pembedahan (Smeltzer &
Bare, 2002). Perawatan kolostomi yang rutin akan dilakukan oleh pasien ataupun care giver
baik di rumah sakit ataupun di rumah ialah mengganti kantong kolostomi dan membersihkan
stoma. Kantong kolostomi adalah wadah untuk menampung feses yang keluar dari stoma.
Kantong kolostomi dibuat dari material disposable atau digunakan hanya sekali, lalu
dibuang. Jenis kantong kolostomi saat ini cukup beragam.
Kantong kolostomi yang biasa digunakan ialah kantong kolostomi one-piece tertutup
yang jika terisi harus segera dibuang dan diganti. Kantong kolostomi one-piece drainable
memungkinkan pasien untuk membuang feses yang ada dalam kantong dengan membuka
lubang yang ada di bawah kantong.
Perawatan kolostomi yang pertama ialah cara mengganti kantong kolostomi dan
membersihkan area stoma. Kantong kolostomi sebaiknya dikosongkan atau diganti ketika
kantong sudah terisi 1/3 bagian agar pasien tetap nyaman dengan kantong kolostominya.
Kantong kolostomi yang dapat dikosongkan, dibersihkan dan digunakan kembali adalah
jenis kantong kolostomi two-piece system atau kantong yang memiliki lubang drainase di
bawahnya. Truven Health Analytics Inc. (2012) memaparkan, kantong kolostomi harus
dikosongkan jika sudah 1/3 atau 1/2 penuh. Kantong kolostomi yang penuh akan menjadi
berat dan dapat merusak perlengketan kantong kolostomi dengan kulit abdomen, selain itu
kantong akan beresiko untuk robek atau rusak karena beban dalam kantong meningkat.
Kantong kolostomi yang penuh juga akan membuat benjolan di balik pakaian dan dapat
mengganggu penampilan. Kantong kolostomi drainable dapat dikosongkan dengan menekan
bagian bawah kantong, kemudian mengeluarkan feses langsung ke dalam toilet. Kemudian
kantong dapat dibersihkan atau dibilas.
Burch (2013) menyatakan mayoritas pasien dengan kolostomi mengganti kantong
kolostominya 3 kali sehari hingga 3 kali seminggu, dengan rata-rata penggantian kolostomi
secara rutin selama satu hari sekali. Ketika akan mengganti dengan kantong yang baru,
perhatikan ukuran dari lubang kantong kolostomi. Ukuran lubang kantong kolostomi harus
sesuai dengan stoma, beri kelonggaran sekitar 1/8 inci atau sekitar 0,3 cm (Canada Care
Medical, n.d). Penggantian kantong kolostomi dimulai dengan melepaskan perlekatan
11
kantong kolostomi dengan kulit abdomen secara perlahan sambil sedikit menekan kulit
abdomen yang menempel dengan kantong, kemudian bersihkan stoma. Stoma dibersihkan
dengan air, jika ingin menggunakan sabun, gunakan sabun yang tidak mengandung minyak
ataupun parfum karena dapat mengiritasi (Truven Health Analytics Inc, 2012). Kulit di
sekitar stoma harus dijaga agar tetap kering.
Perawatan kolostomi erat kaitannya dengan perawatan kulit. Perawatan kulit di sekitar
stoma dilakukan bersamaan dengan penggantian kantong kolostomi. Beberapa orang
menggunakan air hangat saat melepaskan kantong stoma dari kulit abdomen, agar lebih
mudah dan nyaman pada kulit. Terkadang kulit akan terlihat kemerahan atau lebih gelap
segera setelah perekat kantong kolostomi dilepaskan, namun akan segera normal beberapa
menit (WOCN Society, 2008). Hal ini dimungkinkan karena terjadi penekanan pada area
kulit selama kantong terpasang, atau kantong kolostomi dilepaskan secara cepat dari kulit
abdomen.
Pasien ataupun care giver dapat sekaligus mengobservasi stoma setiap mengganti
kantong kolostomi. Stoma yang normal akan terlihat merah atau pink terang, lembap, tidak
mengerut dan tampak seperti membran mukosa oral (Borwell, 2011). Stoma normal akan
memiliki produksi feses, tidak ada sumbatan serta tidak ada nyeri. Stoma yang tidak sehat
atau mengalami nekrosis ditunjukkan dengan warna hitam atau biru kehitaman. Permukaan
stoma yang tidak sehat akan tampak kering, terdapat darah yang terus keluar, stoma
menonjol atau masuk ke dalam sebanyak 5 cm, ujung stoma mengerut, sedikit atau tidak ada
produksi feses dan terdapat nyeri pada area stoma.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam perawatan kolostomi ialah terkait perubahan
eliminasi BAB. Pasien dengan kolostomi tidak dapat mengontrol BAB sehingga akan
beresiko mengalami gangguan eliminasi BAB. Tindakan perawatan yang dapat dilakukan
adalah irigasi kolostomi. Irigasi kolostomi merupakan suatu cara untuk mengeluarkan isi
kolon (feses), yang dilakukan secara terjadwal dengan memasukkan sejumlah air dengan
suhu yang sama dengan tubuh (hangat) (Putri, 2011). Irigasi memungkinkan pasien untuk
menjadwalkan pengeluaran feses dari stomanya. Pergerakan bowel baiknya dalam keadaan
regular dan bebas dari masalah saat akan dilakukan irigasi kolostomi.
Irigasi kolostomi tidak dapat dilakukan bila pasien mengalami iritasi pada ususnya,
prolaps stoma, hernia peristomal ataupun komplikasi stoma lainnya (Putri, 2011). Irigasi
12
stoma juga tidak dapat dilakukan pada stoma yang terdapat pada kolon asenden dan
tranversal. Alat yang dapat digunakan untuk proses irigasi kolostomi meliputi kontainer atau
wadah air, tube (selang untuk mengalirkan cairan), cone dan plastic sleeve (Burch, 2013).
Plastic sleeve berguna untuk mengalirkan keluaran feses dan cairan irigasi ke dalam toilet.
Cara melakukan irigasi adalah sebagai berikut (Burch, 2013; Putri, 2011; Smeltzer &
Bare, 2002):
1. Isi wadah dengan air hangat, tinggikan setinggi bahu (posisi duduk di toilet)
2. Alirkan cairan irigasi hingga ke ujung selang (membuang udara yang ada di sepanjang
selang)
3. Posisikan kantong stoma (plastic sleeve) ke toilet
4. Olesi pelumas atau pelicin cone (jelly) sebelum masuk ke stoma
5. Masukkan cone kedalam stoma dengan perlahan, kemudian alirkan cairan sebanyak
300-500cc
6. Untuk hasil yang maksimal, alirkan kembali 500cc-1000cc, tahan selama 10 detik
setelah cairan mengalir
7. Biarkan feses, cairan dan flatus keluar dari stoma menuju toilet melalui sleeve selama
10-15 menit.
8. Tutup kantong atau ganti kantong dengan kantong kolostomi biasa dan bereskan alat.
Setelah irigasi selesai dilakukan, pasien dapat melakukan aktivitas, meskipun selama 30-
45 menit akan tetap ada pengeluaran baik feses, cairan ataupun flatus. Setelah bersih,
kantong kolostomi dapat diganti kembali seperti biasa. Burch (2013) mengatakan ketika
irigasi selesai dilakukan, small cap untuk stoma dapat digunakan untuk memungkinkan
pasien terbebas dari pengeluaran feses dan flatus hingga irigasi selanjutnya.
b. Diet Nutrisi
Pasien dengan kolostomi tidak dapat mengontrol pengeluaran feses dan flatus, oleh
karena itu edukasi terkait nutrisi perlu diberikan kepada pasien agar terhindar dari gangguan
odor ataupun konsistensi feses yang tidak normal. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
terkait nutrisi pada pasien dengan kolostomi ialah (Gutman, 2011) :
1. Mengurangi makanan yang menimbulkan bau, yaitu kubis, kol, keju, telur, ikan, kacang
polong, bawang, jengkol, pete

13
2. Mengurangi makanan yang mengandung gas seperti dengan brokoli, kubis, bawang,
timun, jagung dan lobak, serta makan secara perlahan dengan mulut tertutup untuk
meminimalkan udara yang masuk ke dalam sistem pencernaan.
3. Menambah makanan yang mengandung potassium seperti pisang, daging (non lemak),
jeruk, tomat, kentang jika mengalami diare. Kurangi konsumsi keju, selai kacang, dan
susu.
4. Mengatasi konstipasi (jika terjadi) dengan menambah makanan tinggi serat
5. Makan tiga kali sehari penting untuk meningkatkan aktivitas usus dan mencegah produksi
gas
6. Gangguan pada pencernaan dapat juga berasal dari tekanan emosional, stress, atau
kurangnya aktivitas fisik
c. Toleransi Aktivitas
Individu dengan kolostomi dapat beraktivitas sebagaimana individu lainnya. Hanya saja
dalam pemilihan jenis olahraga, hindari olahraga yang membutuhkan kontak fisik yang
keras yang mungkin dapat menyebabkan cedera pada abdomen (khususnya stoma).
Ostomate juga dapat melakukan olahraga renang dengan memilih desain baju renang yang
menutupi kantong kolostomi yang terpasang pada abdomen, serta desain baju yang sedikit
ketat agar lebih nyaman saat berenang. Kantong kolostomi harus tetap terpasang saat
berenang untuk menjaga kebersihan stoma. Perekat waterproof dapat ditambahkan untuk
lebih merekatkan kantong kolostomi pada kulit abdomen, jika dibutuhkan. Kantong
kolostomi baiknya dikosongkan sesaat sebelum berenang, kemudian hindari makan berat
atau banyak sebelum melakukan olahraga renang.
Ostomate dapat melakukan traveling, tentunya dengan persiapan penggantian kantong
kolostomi yang cukup. Bagi ostomate yang melakukan irigasi secara rutin, tetap harus
berhati-hati dalam penggunaan air untuk irigasi. Apabila air yang ada di lokasi travelling
mungkin dinyatakan tidak aman untuk dikonsumsi, maka jika ingin digunakan untuk
kolostomi, air tersebut harus direbus terlebih dahulu, kemudian di diamkan dalam
temperatur ruangan dan dapat digunakan untuk irigasi.
d. Support Sosial
Individu yang baru memiliki stoma biasanya akan ragu dan bertanya, bagaimana mereka
dapat hidup dengan stoma pada tubuhnya, apakah mereka masih dapat menjalin hubungan
14
dengan keluarga, relasi ataupun partner kerja, serta apa yang akan terjadi bila tiba-tiba
kantong kolostomi yang sedang terpasang robek (Burch, 2013). Ketidakyakinan ini dapat
diantisipasi dengan adanya kehadiran perawat spesialis ataupun support group (Burch,
2013). Berbagi pada orang yang dipercaya, teman, keluarga, perawat, guru spiritual, serta
orang lain yang juga memiliki stoma dapat mengurangi ketidaknyamanan tersebut. Selain
support sosial, ostomate juga harus memiliki pandangan positif terhadap hidupnya,
kesabaran dan sensasi humor untuk menghadapi setiap situasi sosial yang dirasakan terkait
kolostominya.

15
PENGKAJIAN
1. Aktivitas/istirahat
Pasien dengan kanker kolorektal biasanya merasakan tidak nyaman pada abdomen
dengan keluhan nyeri, perasaan penuh, sehingga perlu dilakukan pengkajian terhadap pola
istirahat dan tidur.
2. Sirkulasi
Gejala: Palpitasi, nyeri dada pada pergerakan kerja. Kebiasaan: perubahan pada tekanan
darah.
3. Integritas ego
Faktor stress (keuangan, pekerjaan, perubahan peran) dan cara mengatasi stress (misalnya
merokok, minum alkohol, menunda mencari pengobatan, keyakinan religius/ spiritual).
Masalah tentang perubahan dalam penampilan misalnya, alopesia, lesi, cacat, pembedahan.
Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak merasakan,
rasa bersalah, kehilangan. Tanda : Kontrol, depresi. Menyangkal, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Adanya perubahan fungsi kolon akan mempengaruhi perubahan pada defekasi pasien,
konstipasi dan diare terjadi bergantian. Bagaimana kebiasaan di rumah yaitu: frekuensi,
komposisi, jumlah, warna, dan cara pengeluarannya, apakah dengan bantuan alat atau tidak
adakah keluhan yang menyertainya. Apakah kebiasaan di rumah sakit sama dengan di
rumah.
Pada pasien dengan kanker kolerektal dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan
observasi adanya distensi abdomen, massa akibat timbunan faeces.
Massa tumor di abdomen, pembesaran hepar akibat metastase, asites, pembesaran
kelenjar inguinal, pembesaran kelenjar aksila dan supra klavikula, pengukuran tinggi badan
dan berat badan, lingkar perut, dan colok dubur.
5. Makanan/cairan
Gejala: kebiasaan makan pasien di rumah dalam sehari, seberapa banyak dan komposisi
setiap kali makan adakah pantangan terhadap suatu makanan, ada keluhan anoreksia, mual,
perasaan penuh (begah), muntah, nyeri ulu hati sehingga menyebabkan berat badan
menurun. Tanda: Perubahan pada kelembaban/turgor kulit; edema
6. Neurosensori
16
Gejala: Pusing; sinkope, karena pasien kurang beraktivitas, banyak tidur sehingga
sirkulasi darah ke otak tidak lancar.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Tidak ada nyeri, atau derajat bervariasi misalnya ketidaknyamanan ringan sampai
nyeri berat (dihubungkan dengan proses penyakit)
8. Pernapasan
Gejala: Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seorang perokok)
9. Keamanan
Gejala: Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen. Pemajanan matahari lama/berlehihan.
Tanda: Demam. Ruam ku1it, ulserasi
10. Seksualitas
Gejala: Masalah seksual misalnya dampak pada hubungan perubahan pada tingkat
kepuasan. Multigravida lebih besar dari usia 30 tahun. Multigravida, pasangan seks multipel,
aktivitas seksual dini, herpes genital.
11. Interaksi sosial
Gejala: Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
12. Riwayat perkawinan (berkenaan dengan kepuasan di rumah, dukungan, atau bantuan)
Masalah tentang fungsi/ tanggungjawab peran penyuluhan/pembelajaran. Gejala: Riwayat
kanker pada keluarga misalnya ibu atau bibi dengan kanker payudara. Sisi primer: penyakit
primer, tangga ditemukan didiagnosis. Penyakit metastatik: sisi tambahan yang terlibat; bila
tidak ada, riwayat alamiah dari primer akan memberikan informasi penting untuk mencari
metastatik.
13. Riwayat pengobatan
Pengobatan sebelumnya untuk tempat kanker dan pengobatan yang diberikan.
14. Pengkajian Psikologi, Sosio, Spritual, Budaya
Psikologis : Perasaan klien setelah mengalami masalah ini adalah gelisah. Cara mengatasi
gelisahnya klien dihibur keluarga. Dukungan yang diberikan oleh keluarga sangat baik,
keluarga memberikan semangat kepada klien agar klien selalu berdo’a supaya cepat sembuh.
Rencana klien setelah masalah terselesaikan adalah istirahat di rumah. Klien juga
mengatakan sedikit cemas dengan penyakitnya. Klien takut akan perubahan status
kesehatannya.
17
Sosial : Aktivitas atau peran di masyarakat adalah sebagai anggota RT. Kebiasaan
lingkungan yang tidak disukai adalah lingkungan yang kotor. Cara mengatasinya dengan
melakukan kegiatan kerja bakti.
Budaya : Budaya yang diikuti klien adalah budaya jawa. Kebudayaan yang dianut tidak
merugikan kesehatannya.
Spiritual : Aktivitas ibadah sehari-hari sholat 5 waktu. Kegiatan keagamaan yang biasa
dilakukan adalah yasinan. Keyakinan klien tentang masalah kesehatan yang sekarang sedang
dialami : klien yakin akan dirinya pasti sembuh.
15. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
a. Darah rutin :kadar Hb, Ht, leukosit, trombosit, Laju Endap Darah, MCV, MCH, MCHC
b. Kimia klinik : SGPT, SGOT, ureum, kreatinin, Na, K, Cl
c. Albumin, protein serum, BUN
d. Radiologi : rontgen colon / histopatologi, colonoskopi, MSCT Scan Abdomen

18
Rencana Asuhan Keperawatan dengan diagnosa yang muncul
1. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 x 24 jam, klien menunjukkan tanda-
tanda:
- Klien menghabiskan satu porsi makan pagi, siang dan malam setiap harinya
- Klien tidak mengalami penurunan BB
-Adanya penambahan BB, IMT dalam batas normal
a. Intervensi Mandiri
1. Timbang BB serta hitung IMT berkala.
Rasional: Mengidentifikasi status nutrisi klien berdasarkan perhitungan IMT
2. Awasi anoreksia, mual, muntah dan catat kemungkinan hubungan dengan terapi dan
obat. Awasi frekuensi, volume dan konsistensi feses.
Rasional: mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah
untuk meningkatkan pemasukan nutrisi
3. Dorong dan berikan periode istirahat yang sering.
Rasional: Membantu menghemat tenaga, dan menurunkan kebutuhan metabolic
4. Motivasi oral hygiene.
Rasional: Meningkatkan nafsu makan
5. Ciptakan suasana makan yang menyenangkan, makan bersama keluarga yang
menunggu / berkunjung, atau pasien lain di ruangan.
Rasional: Membuat kondisi makan yang lebih menyenangkan dan dapat meningkatkan
masukan nutrisi
b. Intervensi kolaborasi:
1. Rujuk ke ahli gizi untuk penentuan komposisi diet.
Rasional: Memberi bantuan perencanaan diet dengan nutrisi adekuat
2. Berikan medikasi anti emetic sesuai indikasi.
Rasional: mengurangi rasa mual
3. Awasi pemeriksaan lab seperti BUN, protein serum, albumin.
Rasional: nilai yang rendah menunjukkan adanya malnutrisi.
2. Kerusakan Integritas Kulit
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5 x 24 jam klien menunjukkan tanda-tanda:
19
- Integritas kulit membaik: kulit dalam kondisi lembap dan tidak kering, tidak ada kulit yang
mengelupas dan kemerahan
- Tidak terjadi lecet atau luka baru pada kulit
a. Intervensi mandiri:
1. Pantau kondisi kulit, area yang terkena terapi radiasi serta kulit di sekitar kantong
kolostomi.
Rasional: Mengidentifikasi kondisi integritas kulit untuk menentukan terapi yang
diberikan.
2. Beri perawatan kulit dengan sering, minimalkan kelembapan akibat ekskresi dari
stoma.
Rasional: terlalu kering atau lembap, dapat merusak kulit dan menciptakan kondisi
bagi mikroorganisme untuk mempercepat kerusakan (terutama dalam kondisi lembap)
3. Pantau kondisi stoma, edukasi klien terkait karakteristik stoma yang sehat dan tidak
sehat, dan cara membersihkannya.
Rasional: Membantu klien mengenali tanda awal luka atau infeksi, infeksi pada stoma
akan berpengaruh pada kulit di sekitar stoma
b. Intervensi Kolaborasi:
1. Beri & oleskan cream radiasi pada kulit yang terkena radiasi serta lotion untuk kulit
yang menjadi tempat perekatan dengan katong kolostomi, berikan bedak bila perlu.
Rasional: menjaga kelembapan kulit dan mencegah tumbuhnya jamur pada skin
barrier kantong kolostomi.
3. Nyeri Akut
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5 x 24 jam klien menunjukkan tanda-tanda:
- Skala nyeri berkurang menjadi 0-1 pada area selangkangan, skala 0-1 pada luka di pinggiran
stoma
- Klien dapat melakukan teknik relaksasi tarik napas dalam dengan baik dan benar
Intervensi mandiri:
1. Observasi dan catat lokasi nyeri, berat (skala 0-10), frekuensi dan presipitasi nyeri.
Rasional: Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang
kemajuan/perbaikan luka, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.

20
2. Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk relaksasi dengan meredupkan lampu,
mengurangi tingkat kebisingan, membatasi pengunjung, anjurkan klien untuk istirahat
dengan posisi yang nyaman menurut klien.
Rasional: Memberikan rasa nyaman pada klien.
3. Anjurkan menggunakan teknik relaksasi latihan napas dalam.
Rasional: Menggunakan istirahat, memusatkan kembali perhatian dapat meningkatkan
koping
4. Inkontinensia Alvi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5 x 24 jam klien menunjukkan tanda-tanda:
- Pengeluaran feses dapat dikendalikan, 1-2x sehari
-Terbentuknya kebiasaan defekasi rutin yang teratur
a. Intervensi mandiri:
1. Kaji pola BAB klien setiap hari.
Rasional: mengetahui pola eleminasi klien serta respon klien
2. Edukasi dan demonstrasi cara irigasi kolostomi sederhana.
Rasional: mengajarkan cara melakukan irigasi sederhana, agar klien dapat melakukan
irigasi meskipun tidak berada di RS
3. Evaluasi respon klien setelah dilakukannya irigasi sederhana.
Rasional : mengetahui perasaan klien terhadap proses irigasi dan tindak lanjut selanjutnya
yang diinginkan klien
4. Bantu lakukan irigasi kolostomi teratur setiap hari jika memungkinkan.
Rasional: membantu klien dalam membiasakan diri melakukan irigasi kolostomi sebelum
dirinya mampu secara mandiri
5. Gangguan Eliminasi Urin
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 5 x 24 jam klien menunjukkan tanda-tanda:
- Klien tidak mengeluhkan terkait frekuensi BAKnya
- Kebutuhan cairan klien terpenuhi dengan baik
Intervensi mandiri:
1. Monitor intake dan output cairan.
Rasional: deteksi dini ketidakseimbangan cairan tubuh akibat peningkatan frekuensi
BAK
21
2. Monitor frekuensi, jumlah dan karakteristik urin saat BAK.
Rasional: membantu mengidentifikasi status keseimbangan cairan tubuh klien.
3. Motivasi klien untuk menekan atau menahan urinasi semampu klien.
Rasional: Mempertahankan kemampuan kandung kemih dan sfingter uretra untuk
menahan urin
4. Edukasi klien untuk minimalkan minum sebelum tidur di malam hari.
Rasional: Meminimalkan gangguan untuk tidur
5. Edukasi klien terkait penyebab gangguan pola eliminasi BAK.
Rasional: Memberikan ketenangan pada klien, agar klien tidak merasa terganggu
dengan kondisi saat ini.

22
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan konsep teori asuhan keperawatan paliatif yang telah dilakukan pada klien
yang memiliki kolostomi dengan kanker kolorektal didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Faktor risiko kanker kolorektal meliputi riwayat polip, gaya hidup yang kurang
olahraga serta pola makan tinggi lemak dan rendah serat serta sumber antioksidan, yang juga
merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat
2. Tindakan pembedahan kolostomi bertujuan untuk mempertahankan eliminasi BAB klien,
dimana prosedur penanganan kanker dijalankan dengan terapi radiasi dan kemoterapi
3. Masalah keperawatan yang muncul adalah kerusakan integritas kulit, ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh serta inkontinensia alvi

3.2 Saran
Bagi Penulis diharapkan dapat:
1. Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien
dengan kolostomi, terutama dengan etiologi kanker kolorektal
2. Senantiasa meningkatkan semangat belajar dan critical thingking sehingga dapat terus
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan menerapkan inovasi di bidang keperawatan
Bagi masyarakat diharapkan dapat:
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai kanker kolorektal meliputi definisi, faktor risiko,
manifestasi klinis, dan komplikasinya
2. Meningkatkan pengetahuan mengenai kolostomi meliputi definisi, jenis, cara perawatan dan
komplikasinya
3. Menjauhkan diri dari kebiasaan hidup yang berisiko menimbulkan penyakit kanker kolorektal
Bagi Instansi Rumah Sakit
1. Meningkatkan pelayanan keperawatan khususnya pada klien dengan kolostomi
2. Mendukung penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat tercipta kualitas
pelayanan asuhan keperawatan yang lebih baik di rumah sakit.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anna, L., K. (2011). Dunia masih perang melawan kanker. 16 Juni 2013.

Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009) Medical–surgical nursing. Clinical management for positive

outcomes. 8th edition. St. Louis : Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.

Borwell, B. (2011). Stoma management and palliative care. Journal of Community Nursing:

25(4), 4-10. http://search.proquest.com/docview/873626096?accountid=25704

Burch, J. (2013). Care of patients with a stoma. Nursing Standard: 27(32): 49-56. 9 Juni 2013.

http://search.proquest.com/docview/1346147256?accountid=25704

Corwin, E. J. (2001). Handbook of pathophysiology. (Pendit, B. U., Penerjemah). Philadelphia:

Lippincott-Raven Publisher. (Buku asli diterbitkan 1996)

Gutman, N. (2011). Colostomy guide. 20 Mei

2013.http://www.ostomy.org/ostomy_info/pubs/ColostomyGuide.pdf

Indonesian Ostomy Association. (2009). Informasi organisasi Indonesian ostomy association. 27

Juni 2013). http://indonesianostomate.blogspot.com/2009/01/ info-organisasi.html

Kurnia, D., A. (2012). Kolostomi, manajemen dan kualitas hidup untuk pasien. 27 Juni 2013.

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/12/21/kolostomi-manajemen-dan-kualitas-hidup-

untuk-pasien-512846.html.

Manggarsari. (2013). Asuhan Keperawatan Kolostomi Pada Ny. R Dengan Kanker Kolorektal Di

Lantai 5 Bedah RSPAD Gatot SoebrotoI. Jakarta : Universitas Indonesia

Newton, S. (2009). Oncology nursing advisor comprehensive guide to clinical practice. St.

Louis: Mosby

Putri, R., H. (2011). Irigasi kolostomi. 25 Juni 2013. http://www.perawatluka.com/irigasi-

kolostomi/

24
Rahmianti, D. (2013). Bahaya kanker kolorektal. 16 Juni 2013.

Ruddon, R., W. (2007). Cancer biology. 4th ed. New York: Oxford Iniversity Press, Inc.

Simanjuntak, P & Nurhidayah R., E. (2007). Kemampuan self care dan gambaran diri pasien

kolostomi di RSUP H. Adam Malik Medan. Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara: 2 (2).

65-69. 20 Mei 2013. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21173/1/ruf-nov2007-

2%20%284%29.pdf

25

You might also like