You are on page 1of 60

LAPORAN KLINIK

RS WAHIDIN SUDIROHUSODO
PERIODE III (10 DESEMBER 2018 – 04 JANUARI 2019)

“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN


MOTOR FUNCTION HEMIPARESE DEXTRA ET CAUSA
NON HEMORAGIK STROKE”

Oleh :

Nama : FATMAWATI
Kelas : IV. B
Nim : PO714241151058

PROGRAM STUDI D.IV FISIOTERAPI


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus praktek klinik di Poliklinik Fisioterapi/Rehabilitasi Medik di Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo mulai tanggal 10 Desember 2018 sampai dengan 4 Januari

2019 dengan judul kasus “Gangguan Motor Function Hemiparese Dextra Et Causa

Non Hemoragik Stroke” telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical Instructur) dan

Preceptor (Dosen).

Makassar, 4 Januari 2019

Clinical Instruktur Preceptor

______________________________ ____________________________

NIP. NIP.
BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab cacat nomor satu dan kematian nomor dua di dunia.

Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan global dan semakin memprihatinkan, lebih

dari dua pertiga stroke terjadi di negara-negara yang sedang berkembang (Feigin, 2006).

Stroke menurut WHO (World Health Organisation) adalah gangguan otak fokal ataupun

global secara mendadak yang disebabkan oleh gangguan vaskuler dan dapat menyebabkan

kematian yang berlangsung selama 24 jam atau lebih. Di Indonesia, diperkirakan setiap

tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang

meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung

terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga

dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif hal ini akibat pola hidup masyarakat

yang tidak sehat, seperti malas bergerak, makanan berlemak dan kolesterol tinggi, serta

factor-faktor lain yang menjadi pemicu timbulnya serangan stroke.

Stroke menyebabkan problematika pada tingkat impairment berupa gangguan

motorik, gangguan sensorik, gangguan memori dan kognitif, gangguan koordinasi dan

keseimbangan. Pada tingkat functional limitation berupa gangguan dalam melakukan

aktifitas fungsional sehari-hari seperti perawatan diri, transfer dan ambulasi. Serta pada

tingkat participation restriction berupa keterbatasan melakukan pekerjaan, hobi maupun

bermasyarakat di lingkungannya.

Penderita stroke perlu penanganan yang baik untuk mencegah kecacatan fisik dan

mental. Sebesar 30% - 40% penderita stroke dapat sembuh sempurna bila ditangani dalam
waktu 6 jam pertama (golden periode), namun apabila dalam waktu tersebut pasien stroke

tidak mendapatkan penanganan yang maksimal maka akan terjadi kecacatan atau

kelemahan fisik seperti hemiparese. Penderita stroke post serangan membutuhkan waktu

yang lama untuk memulihkan dan memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal.

Terapi dibutuhkan segera untuk mengurangi cedera cerebral lanjut, salah satu program

rehabilitasi yang dapat diberikan pada pasien stroke yaitu mobilisasi persendian dengan

latihan range of motion (Levine, 2008).

Hemiparesis adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,

progesif cepat, berupa defisit neurologis yang berlangsung 24 jam atau lebih langsung

menimbulkan kematian dan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic.

Kelemahan tangan maupun kaki pada pasien stroke akan mempengaruhi kontraksi otot.

Berkurangnya kontraksi otot disebabkan karena berkurangnya suplai darah ke otak

belakang dan otak tengah, sehingga dapat menghambat hantaran jaras-jaras utama antara

otak dan medula spinalis. Kelainan neurologis dapat bertambah karena pada stroke terjadi

pembengkakan otak (oedema serebri) sehingga tekanan didalam rongga otak meningkat hal

ini menyebabkan kerusakan jaringan otak bertambah banyak. Oedema serebri berbahaya

sehingga harus diatasi dalam 6 jam pertama (Golden Periode).

Dengan adanya fisioterapi penderita hemiparese post stroke dapat ditangani dengan

Stimulasi Elektris dan Terapi Latihan. Adapun beberapa metode terapi latihan antara lain

Propioceptif Neuromuscular Facilitation (PNF), Brunstrom, Bobath, Motor Relearning

Programme (MRP), serta banyak lagi metode lain yang bisa digunakan. Electrical

Stimulation merupakan modalitas yang dipakai oleh fisioterapi untuk mengontrol fungsi

motorik pada pasien hemiparese dan sebagai re-edukasi dan memfasilitasi otot-otot yang
mengalami kelemahan. PNF merupakan metode yang spesifik dengan pemberian

pendekatan tersendiri serta mempunyai cara sendiri dalam mengevaluasi pasien (Dumilah,

1992).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus

1. Anatomi Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf pusat adalah bagian dari sistem saraf yang terdiri dari otak dan sumsum

tulang belakang. Sistem ini adalah salah satu dari dua bagian utama dari sistem saraf, yang

lainnya adalah sistem saraf perifer yang berada di luar otak dan sumsum tulang belakang.

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling berhubungan

dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak terdiri dari sel-sel otak

yang disebut neuron (Leonard, 1998). Otak merupakan organ yang sangat mudah

beradaptasi meskipun neuron-neuron di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan

adaptif atau plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat

mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan

baru. Ini merupakan mekanisme paling penting yang berperan dalam pemulihan stroke

(Feigin, 2006).

Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem

saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf

disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan

informasi bolak balik antara SSP dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2005).
Gambar 2.1 Bagian-bagian otak manusia

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen bagiannya

adalah:

1) Cerebrum

Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer

kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan

girus (Ganong, 2003). Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:

a) Lobus frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih

tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di

hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi. Bagian ini mengandung pusat

pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer) dan

terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah
broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,

perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2004).

b) Lobus temporalis

Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang

berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura parieto-

oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal,

visual, pendengaran dan berperan dlm pembentukan dan perkembangan emosi.

c) Lobus parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus

postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran (White,

2008).

d) Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi

penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus

optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori

(White, 2008).

e) Lobus Limbik

Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori emosi

dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas

susunan endokrin dan susunan otonom (White, 2008).


Gambar 2.2 Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan smping. (Sumber : White, 2008)

2) Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron

dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang penting dalam

fungsi motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya

40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri dari tiga bagian fungsional

yang berbeda yang menerima dan menyampaikan informasi ke bagian lain dari sistem

saraf pusat.

Cerebellum merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.

Mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara optimal. Bagian-bagian dari

cerebellum adalah lobus anterior, lobus medialis dan lobus fluccolonodularis (Purves,

2004).
Gambar 2.3 Cerebellum, dilihat dari belakang atas. (Sumber : Raine, 2009)

3) Brainstem

Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan

yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis

dibawahnya. Strukturstruktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden

dan desenden traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak,

anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf cranial.

Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan

medulla oblongata.
Gambar 2.3 Brainstem. (Sumber : White, 2008)

Gambar 2.4 Brainstream. (Sumber : White, 2008)

Fisiologi Peredaran Darah Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang diperlukan bagi

fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga

aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan

suatu jalinan pembuluhpembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu

dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel.

1) Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan arteri

karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk circulus willisi. Arteri
karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri

serebri anterior dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari

pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan

arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi

yang sama. Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata,sedangkan

arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki

tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata.

Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris.

2) Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater, suatu saluran

pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater. Sinus-sinus duramater tidak

mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex

superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang berada di medial. Dua

buah vena cortex yang utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam

sinus longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus

transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari basal ganglia

(Wilson, et al., 2002).


Gambar 2.5 Circulus Willisi (Sumber : swaramuslim. Stroke, 2009)

2. Definisi

a. Definisi Stroke

Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskuler yang berpengaruh

terhadap arteri utama yang berada di otak, stroke terjadi ketika pembuluh

darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi menuju otak pecah atau

terblokir oleh bekuan sehingga pasokan darah ke otak tiba-tiba berhenti,

oksigen dan glukosa tidak dapat dikirim ke otak sehingga otak tidak

mendapat darah yang dibutuhkannya. Jika kejadian berlangsung lebih

dari 10 detik akan menimbulkan kerusakan permanen otak (Soeharto,

2004).

Terhambatnya penyediaan oksigen dan nutrisi ke otak menimbulkan

masalah kesehatan yang serius karena dapat menimbulkan hemiparese


bahkan kematian. Stroke merupakan penyabab kematian ketiga tersering

setelah penyakit jantung koroner dan kanker. Lima belas orang di seluruh

dunia terserang stroke setiap tahun, lima juta meninggal dan lima juta

lainnya menderita kecacatan (Price & Wilson, 2006).

b. Definisi Hemiparese

Hemiparese adalah kelemahan otot - otot lengan dan tungkai pada

satu sisi. Pada hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan

lebih ringan daripada hemiplegi. Penyebab tersering hemiparesis pada

orang dewasa yaitu infark serebral atau perdarahan. Hemiparase yang

terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang

traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai

darah, kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi, ataupun penekanan

langsung dan tidak langsung oleh massa hematoma, abses, dan tumor.

Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada

traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota

gerak atas dan bawah.

3. Etiologi Stroke Non Hemoragik

a) Aterosklerosis

Terbentuknya aterosklerosis berawal dari endapan ateroma (endapan

lemak) yang kadarnya berlebihan dalam pembuluh darah. Selain dari

endapan lemak, aterosklerosis ini juga mungkin karena arteriosklerosis,

yaitu penebalan dinding arteri (tunika intima) karena timbunan kalsium


yang kemudian mengakibatkan bertambahnya diameter pembuluh darah

dengan atau tanpa mengecilnya pembuluh darah.

b) Infeksi

Peradangan juga menyebabkan menyempitnya pembuluh darah,

terutama yang menuju ke otak.

c) Obat-obatan

Ada beberapa jenis obat-obatan yang justru dapat menyebabkan

stroke seperti: amfetamin dan kokain dengan jalan mempersempit lumen

pembuluh darah ke otak.

d) Hipotensi

Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan

berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang

pingsan. Stroke bisa terjadi jika hipotensi ini sangat parah dan menahun.

4. Tanda dan Gejala

Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) stroke menyebabkan berbagai defisit

neurologis, tergantung pada lesi atau pembuluh darah mana yang tersumbat

dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang rusak tidak

dapat membaik sepenuhnya. Defisit neurologi pada stroke antara lain:

a. Defisit motorik

Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu sisi

atau hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal

tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang

atau menurunnya refleks tendon dalam atau penurunan kekuatan otot


untuk melakukan pergerakkan, apabila refleks tendon dalam ini muncul

kembali biasanya dalam waktu 48 jam, peningkatan tonus disertai

dengan spastisitas atau peningkatan tonus otot abnormal pada

ekstremitas yang terkena dapat dilihat.

b. Defisit komunikasi

Difungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal

berikut :

1) Kesulitan dalam membentuk kata (disartria), ditunjukkan dengan

bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot

yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.

2) Bicara defektif atau kehilangan bicara (disfasia atau afasia), yang

terutama ekspresif atau reseptif

3) Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari

sebelumnya (apraksia) seperti terlihat ketika penderita mengambil

sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

c. Defisit persepsi sensori

Gangguan persepsi sensori merupakan ketidakmampuan untuk

menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke

meliputi:

1) Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer

diantara mata dan korteks visual. Kehilangan setengah lapang

pandang terjadi sementara atau permanen (homonimus

hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh


yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh yang sakit

dan cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi

tersebut yang disebut dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini

penderita hanya mampu melihat makanan pada setengah nampan,

dan hanya setengah ruangan yang terlihat.

2) Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan

dua atau lebih objek dalam area spasial sering terlihat pada

penderita dengan hemiplegia kiri. Penderita tidak dapat memakai

pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan

pakaian ke bagian tubuh.

3) Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan

ringan atau berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu kemampuan

untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan

dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

d. Defisit fungsi kognitif dan efek psikologi

Disfungsi ini ditunjukkan dalam lapang pandang terbatas, kesulitan

dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan

penderita ini menghadapi masalah stress dalam program rehabilitasi.

e. Defisit kandung kemih

Kerusakan kontrol motorik dan postural menyebabkan penderita

pasca stroke mengalami ketidakmampuan menggunakan urinal,

mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi. Tonus otot


meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat,

dan spastisitas kandung kemih dapat terjadi.

5. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi

Stroke non hemoragik erat hubungannya dengan plak arterosklerosis yang

dapat mengaktifkan mekanisme pembekuan darah sehingga terbentuk trombus

yang dapat disebabkan karena hipertensi (Muttaqin, 2011). Trombus dapat

pecah dari dinding pembuluh darah dan akan terbawa sebagai emboli dalam

aliran darah mengakibatkan terjadinya iskemia jaringan otak dan menyebabkan

hilangnya fungsi otak secara akut atau permanen pada area yang teralokasi

(Guyton & Hall, 2007).

Iskemia pada otak akan merusak jalur motorik pada serebrum (Potter &

Perry, 2005). Iskemia pada otak juga mengakibatkan batang otak yang

mengandung nuclei sensorik dan motorik yang membawa fungsi motorik dan

sensorik mengalami gangguan sehingga pengaturan gerak seluruh tubuh dan

keseimbangan terganggu (Guyton & Hall, 2007).

Area di otak yang membutuhkan sinyal untuk pergerakkan dan koordinasi

otot tidak ditrasmisikan ke spinal cord, saraf dan otot sehingga serabut motorik

pada sistem saraf mengalami gangguan untuk mengontrol kekuatan dan

pergerakan serta dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan pada pasien stroke

(Frasel, Burd, Liebson, Lipschick & Petterson, 2008). Iskemia pada otak juga

dapat mengakibatkan terjadinya defisit neurologis (Smeltzer & Bare, 2010).

Salah satu gangguan utama dan paling sering terjadi dari semua manifestasi

klinis hemiparese post stroke adalah problem motorik yang diakibatkan oleh
kerusakan korteks motorik. Pada awalnya pasien terlihat dalam keadaan tonus

otot rendah atau fleccid. Otot fleccid dapat menurungkan kemampuan untuk

membangkitkan kontraksi otot dan memulai gerakan. Kondisi tonus otot yang

relative rendah ini biasanya bersifat sementara, dan secepat mungkin

berkembang pola karakteristik pasien berupa hipertonik atau spastisitas.

Spastisitas adalah gangguan motoric dengan ciri khas adanya reflex deef tendon

yang berlebihan ddan tonus otot yang meningkat. Secara klinis, pasien dengan

spastilitas akan memiliki peningkatan tahanan terhadap pasif stretching pada

otot yang terlibat, hyperrefleks pada reflex deep tendo, postur dari ekteremitas

dalam keadaan fleksi atau ektensi, kontraksi otot, dan pola gerakan stereotip

yang disebut dengan sinergis (Suzenne and Mary, 2007).

B. Tinjauan Tentang Assessment dan Pengukuran Fisioterapi

1) Tinjauan Tentang Assessment Fisioterapi

Nama : Tn. G Umur : 79 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Kondisi/penyakit : Hemiparese Dextra et causa Non Hemoragic Stroke

History Taking :
Pulang dari jalan-jalan pagi pasien tiba-tiba merasakan mata kanan terlihat lebih
gelap dibanding dengan mata kirinya dan badan sisi kanan terasa lebih lemah.
Kemudian pasien dilarikan ke Rumah Sakit Siloam selama 5 hari, lalu pasien
pulang ke Jogja dan diperiksa kembali oleh dokter dan dirujuk ke fisioterapi
untuk ditangani.

Inspeksi :
Statis : tangan kanan pasien ke arah pola sinergis yaitu fleksi elbow, adduksi
shoulder dan palmar fleksi.
Dinamis : pasien berjalan dengan menggunakan alat bantu tripod
Pemeriksaan fisik

Palpasi : tidak Tes koordinasi : Tes spastisiotas dengan Kekuatan otot dengan Tes
ada spasme Finger to finger : skala ASWORTHN : MMT : kemampuan
otot, tidak ada tidak bisa dilakukan fleksor shoulder : 0 fleksor dan ekstensor fungsional
nyeri tekan, Finger to nouse : ekstensor shoulder : 0 shoulder : 1 ADL: jumlah
dan suhu lokal bisa dilakukan abductor shoulder : 0 abductor dan adductor skor 65
pasien dalam Finger to therapis adductor shoulder : 1 shoulder : 2 (ketergantung
batas normal finger : bisa fleksor elbow :2 fleksor dan ekstensor an sedang)
dilakukan Alternate ekstensor elbow : 0 elbow : 2
Tes Sensorik heel to knee, heel to fleksor dan ekstensor hip : untuk ekstremitas
Tajam/tumpul toe : bisa dilakukan 0 inferior semua nilainya
dan tes rasa adductor hip : 1 4
sakit : lengan Tes reflex abductor hip : 0
dan tungkai Biceps: Normal
terasa Triceps:Normal Tes kognitif :
KPR dan komunikasi kurang
APR:Hiporeflex baik

Diagnosa ICF :
Gangguan Motor Function Hemiparese Dextra et causa Non Hemoragic
Stroke

2) Tinjauan Tentang Pengukuran Fisioterapi

1. Pemeriksaan spastisitas dengan skala Asworth

Grade Keterangan

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan

minimal pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai adanya pemberhentian gerakan


pada pertengahan ROM dan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM

3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjan sebagian besar ROM, tapi

sendi masih mudah digerakkan

4 Penigkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerakan pasif sulit

dilakukan

5 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstens

2. Pengukuran kekuatan otot (MMT)

No Nilai Keterangan

1 Nilai 0 Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi

2 Nilai 1 Adanya kontraksi otot dan tidak ada pergerakan sendi

3 Nilai 2 Adanya kontraksi otot dan adanya pergerakan sendi full ROM

4 Nilai 3 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM dan mampu

melawan gravitasi

5 Nilai 4 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM, mampu melawan

gravitasi dan tahanan minimal

6 Nilai 5 Mampu melawan tahanan maksimal

3. Penilaian kemampuan aktivitas fungsional menggunakan Indeks Barthel

Pengukuran kemampuan fungsional dengan Indeks Barthel menggunakan 10

aktivitas sehari-hari dengan poin nilai masing-masing. Indeks Barthel digunakan


untuk mengukur kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta

dapat digunakan sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien

pasca stroke. Indeks Barthel sudah dikenal luas memiliki kehandalan dan kesahihan

yang tinggi, karena dengan pengamatan yang berulang dari orang yang berbeda akan

menghasilkan kesesuaian yang sangat memadai (Sugiarto, 2005). Intepretasi hasil

penilaiannya adalah sebagai berikut:

Nilai 0 - 20 ketergantungan penuh

Nilai 21 - 61 ketergantungan berat

Nilai 62 - 90 ketergantungan moderat

Nilai 91 - 99 ketergantungan ringan

Nilai 100 mandiri

C. Tinjauan Tentang Intervensi Fisioterapi

1. Infra red (IR)

Infra Red adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang 7.700 – 4 juta Amstrong. Berdasarkan panjang gelombang maka infra

red dapat diklasifikan menjadi :

a. Gelombang panjang (non – penetrating)

Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai dengan 150.000 A, daya

penetrasi sinar ini hanya sampai kepada lapisan superficial epidermis, yaitu

sekitar 0,5 mm.


b. Gelombang Pendek

Panjang gelombang antara 7.700 – 12.000 A. daya penetrasi lebih dalam dari

yang gelombang panjang, yaitu sampai sub cutan kira – kira dapat

mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh

darah lymphe, ujung – ujung saraf dan struktur lain dibawah kulit.

Efek teraupetik yang diperoleh dari infra red antara lain :

a. Relief of pain ( mengurangi rasa sakit)

Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme pengurangan rasa nyeri, yaitu:

1) Ikut terbuang sehingga rasa nyeri berkurang.

2) Rasa nyeri bisa juga karena adanya pembengkakan, sehingga dengan

pengaruh pemberian mild heating, maka terjadi pengurangan nyeri

disebabkan oleh adanya efek sedative pada superficial sensory nerve

ending.

3) Apabila diberi stronger heating, maka akan terjadi counter irritation

yang menimbulkan penguranga nyeri

4) Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi sisa – sisa hasil

metabolisme yang disebut zat “p” yang menumpuk dalam jaringan.

Dengan adanya sinar infra red akan memperlancar sirkulasi darah, maka

pengurangan odema (bengkak) akan berkurang seiring dengan

pengurangan nyeri.
b. Muscle relaxation (relaksasi otot)

Relaksasi akan lebih mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan

hangat dan rasa nyeri tidak ada. Oleh karena itu, suhu tubuh yang

meningkatkan akan menghilangkan spasme dan membuat rileksasi otot.

c. Meningkatkan supply darah

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi sehingga

terjadi peningkatan supply darah ke jaringan setempat yang bermanfaat

untuk penyembuhan luka dan pencegahan infeksi pada jaringan superficial.

d. Menghilangkan sisa – sisa metabolism

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula gudoifera

(kelanjar keringat) di seluruh tubuh, maka akan terjadi peningkatan

pembuangan sisa metabolism melalui keringat.

Indikasi dari sinar infra red antara lain :

a. Kondisi setelah peradangan sub – akut, seperti sprain, muscle strain, contusio

b. Arthritis seperti : Rheumatoid arthritis, osteoarthritis, mialgia, neuritis

c. Gangguan sirkulasi darah seperti : tromboplebitis, Raynold’s disease

d. Penyakit kulit seperti : folliculitis, wound

Kontra Indikasi sinar infra red antara lain :

a. Daerah insufisiensi darah

b. Gangguan sensibilitas

c. Adanya kecenderungan terjadi perdarahan


2. Stimulasi Elektris

Stimulasi elekstris atau Electrical Stimulation adalah salah satu modalitas

fisioterapi dengan menggunakan arus listrik untuk mengontraksikan salah satu otot

ataupun grup otot (Inverarity, 2005). Jenis alat listrik yang bisa digunakan

Interrupted Direct Current, Interferensi dan TENS (Kuntono, 2007).

Sistem saraf pusat mempunyai kemampuan yang sangat progress untuk

penyembuhan dari cidera atau injury melalui proses collateral sprouting dan

synaptic reclamation. Neural plasticity merupakan hal yang yang penting untuk

mendidik kembali fungsi otot dan aplikasi fasilitasi. Pada stroke dengan spastisitas,

electrical stimulation akan mengurangi spastisitas melalui mekanisme reciprocal

inhibition, yaitu kemampuan otak untuk memodifikasi dan mereorganisasi fungsi

yang mengalami cidera atau injury atau kerusakan disebut dengan neural plasticity.

Pada fase ini adalah awal perbaikan fungsional neurology berupa perbaikan primer

oleh penyerapan kembali oedema di otak dan membaiknya sistem vaskularisasi.

Kemampuan otak beradaptasi untuk memperbaiki, mengatasi perubahan

lingkungannya (bahaya-bahaya) melalui penyatuan neural kembali yang

dikelompokkan menjadi :

a. Collateral Sprouting

Merupakan respon neuron daerah yang tidak mengalami cedera dari sel-sel

yang utuh ke daerah yang denervasi setelah cedera. Perbaikan sistem saraf

pusat dapat berlangsung beberapa bulan atau tahun setelah cedera dan

dapat terjadi secara luas di otak.


b. Unmasking

Dalam keadaan normal banyak akson dan sinaps yang tidak aktif. Apabila

jalur utama mengalami kerusakan maka fungsinya akan diambil oleh akson

dan sinaps yang tidak aktif tadi. Menurut Wall dan Kabat, jalur sinapsis

mempunyai mekanisme homeostatik, dimana penurunan masukan akan

menyebabkan naiknya eksitabilitas sinapsnya.

c. Diaschisia (Dissipation of diachisia)

Diaschisia (Dissipation of diachisia) keadaan dimana terdapat hilangnya

kesinambungan fungsi atau adanya hambatan fungsi dari traktus-traktus

sentral di otak.

Tujuan pemberian electrical stimulation pada pasien stroke adalah sebagai mucle

re-edukasi dan facilitation. Stimulasi elektris pada prinsipnya harus menimbulkan

kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon dan muscle spindle.

Rangsangan pada muscle spindle dan golgi tendon akan diinformasikan melalui

afferent ke susunan saraf pusat sehingga akan mengkontribusikan fasilitasi dan

inhibisi. Rangsangan elektris yang berulang-ulang akan memberi informasi ke

supraspinal sehingga terjadi pola gerak terintegrasi dan menjadi gerakan-gerakan

pola fungsional. Selain itu juga memberikan fasilitasi pada otot yang lemah dalam

melakukan gerakan (Kuntono, 2007).

3. Terapi Latihan

Terapi latihan atau exercise therapy merupakan salah satu usaha pengobatan

dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya mengunakan latihan gerakan tubuh

baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Dengan di berikan terapi latihan
dapat menjaga dan meningkatkan kekuatan otot, menjaga dan meningkatkan

lingkup gerak sendi, mencegah kontraktur, mencegah atrofi otot, serta memajukan

kemampuan penderita yang telah ada untuk dapat melakukan gerakan-gerakan yang

berfungsi serta bertujuan, sehingga dapat beraktifitas normal.

Dalam praktek terapi latihan dapat dilakukan dengan cara pasif maupun aktif.

Dua cara tersebut dapat di bagi atas beberapa kriteria lagi, yaitu :

a. Gerakan aktif

Gerakan aktif adalah latihan yang dilakukan oleh otot-otot yang

bersangkutan dengan melawan gravitasi. Tujuan dari latihan ini adalah

melatih elastisitas otot, meningkatkan sirkulasi darah, meningkatkan

kekuatan otot, serta mengembangkan koordinasi dan keterampilan untuk

aktivitas fungsional. Gerakan aktif dibagi menjadi 2, yaitu gerak yang tidak

disadari (involuntary movement) dan gerak yang disadari (voluntary

movement). Gerak yang disadari (voluntary movement) di bagi menjadi 3

yaitu :

1) Free active movement yaitu pasien diminta untuk menggerakkan

persendiannya tanpa bantuan terapis.

2) Active assisted movement yaitu pasien diminta untuk menggerakkan

persendiannya semampunya lalu terapis memberi bantuan.

3) Active resisted movement yaitu pasien diminta untuk menggerakkan

persendiannya tanpa bantuan terapis sambil melawan tahanan yang

diberikan oleh terapis.


b. Gerakan pasif

Tujuan dari gerakan pasif ini adalah untuk mengetahui end feel,

mencegah atrofi, memperlancar sirkulasi darah, mencegah kontraktur, serta

memfasilitasi otot. Gerakan ini dibagi menjadi 3 yaitu:

1) Relax passive movement yaitu terapis menggerakkan persendian pasien

tanpa perlu tenaga yang berlebih.

2) Force passive movement yaitu terapis meggerakkan persendian pasien

dengan sedikit penguluran (stretching).

3) Terapi manipulasi yaitu gerak pasif yang dilakukan pada pasien yang

tidak sadar maupun koma.

4. PNF (Propioceptif Neuromuscular Facilitation)

PNF adalah fasilitasi pada sistem neuromuscular dengan merangsang

propioceptif (reseptor sendi). Metode ini berusaha memberikan rangsangan-

rangsangan yang sesuai dengan reaksi yang dikehendaki, yang pada akhirnya akan

dicapai kemampuan atau gerakan yang terkoordinasi. Dengan pola gerakan aktivitas

yang bersifat spiral dan diagonal. Gerakan ini menyerupai atau sesuai dengan

gerakan-gerakan yang digunakan dalam olah raga dan aktivitas sehari-hari. Sifat

spiral dan diagonal tersebut juga sesuai dengan karakteristik susunan system

skeletal, sendi-sendi, dan struktur ligament yang sifatnya juga spiral dan memutar.

Tiap diagonal terdiri dari pola-pola yang saling berlawanan satu dengan yang lain.

Tiap pola mempunyai komponen besar yaitu flexi dan extensi (Kuntono,2002).
Teknik-teknik yang digunakan adalah Rhythmical Initiation, Timing For Emphasis,

dan Slow Reversal.

a. Rhythmical Initiation

Teknik yang dipakai untuk agonis yang menggunakan gerakan-gerakan

pasif, aktif, dan degan tahanan. Tujuan diberikan latihan ini :

1) Untuk normalisasi kecepatan gerak

2) Untuk sebagai permulaan gerak atau mengarahkan gerak.

3) Untuk perbaikan koordinasi gerak dan rasa gerak.

Untuk relaxasi dan belajar tentang gerak

b. Timing For Emphasis

Bentuk gerakan dimana bagian yang lemah dari gerakan mendapat ekstra

stimulasi bagian yang lebih kuat. Tujan diberi latihan ini adalah untuk

penguatan otot bagian dari satu pola gerak dan untuk mobilisasi

c. Slow Reversal

Teknik dimana kontraksi isotonic dilakukan bergantian antara agonis dan

antagonis tanpa terjadi pengendoran otot. Tujuan diberikan latihan ini:

1) Untuk perbaikan mobilisasi.

2) Untuk menaikkan tingkat relaxasi.

3) Untuk memperbesar kekuatan kontraksi.

4) Untuk belajar gerakan,

5) Untuk perbaikan koordinasi.

6) Untuk meningkatkan daya tahan.


5. Latihan Ambulasi dan Transfer

1. Duduk diatas tempat tidur

Tujuan :

a) Melatih keseimbangan duduk pasien saat beraktifitas

b) Mobilisasi thoraks

Teknik :

a) Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan

b) Posisi pasien terlentang

c) Pindahkan semua bantal

d) Regangkan kedua kaki fisioterapis dengan kaki paling dekat ke kepala

tempat tidur di belakang kaki yang lain

e) Tempatkan tangan yang lebih jauh dari pasien di bawah bahu pasien,

sokong kepalanya dan vetebra cervikal

f) Tempatkan tangan pasien yang lain pada permukaan tempat tidur

g) Angkat pasien ke posisi duduk dengan memindahkan berat badan

fisioterapis dari depan kaki ke belakang kaki

h) Dorong melawan tempat tidur dengan tangan di permukaan tempat tidur

2. Duduk di tepi tempat tidur

Tujuan :

a) Melatih keseimbangan duduk pasien saat beraktifitas

b) Mobilisasi thoraks

c) Sebagai self asisted untuk lengan atas pasien


Teknik :

a) Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan

b) Tempatkan pasien pada posisi miring, menghadap fisioterapis di sisi

tempat tidur tempat ia akan duduk

c) Pasang pagar tempat tidur pada sisi yang berlawanan

d) Tinggikan kepala tempat tidur pada ketinggian yang dapat ditoleransi

pasien

e) Berdiri pada sisi panggul pasien yang berlawanan

f) Balikkan secara diagonal sehingga fisioterapis berhadapan dengan pasien

dan menjauh dari sudut tempat tidur

g) Regangkan kaki fisioterapis dengan kaki paling dekat ke kepala tempat

tidur di depan kaki yang lain

h) Tempatkan lengan yang lebih dekat ke kepala tempat tidur di bawah bahu

pasien, sokong kepala dan lehernya

i) Tempat tangan fisioterapis yang lain di atas paha pasien

j) Pindahkan tungkai bawah pasien dan kaki ke tepi tempat tidur

k) Tempatkan poros ke arah belakang kaki, yang memungkinkan tungkai atas

pasien memutar ke bawah

l) Pada saat bersamaan, pindahkan berat badan fisioterapis ke belakang

tungkai dan angkat pasien

m) Tetap didepan pasien sampai mencapai keseimbangan

n) Turunkan tinggi tempat tidur sampai kaki menyentuh lantai


3. Transfer dari tempat tidur ke kursi

Tujuan :

a) Melatih keseimbangan pasien

b) Mengajarkan cara duduk yang benar kepada pasien

Teknik :

a) Bantu pasien ke posisi duduk di tepi tempat tidur. Buat posisi kursi pada

sudut 450 terhadap tempat tidur. Jika menggunakan kursi roda, yakinkan

bahwa kusi roda dalam posisi terkunci

b) Regangkan kedua kaki fisioterapis

c) Fleksikan panggul dan lutut fisioterapis, sejajarkan lutut fisioterapis

dengan pasien

d) Gapai melalui aksila pasien dan tempatkan tangan pada scapula pasien

e) Angkat pasien sampai berdiri pada hitungan 3 sambil meluruskan panggul

dan kaki, pertahankan lutut agak fleksi.

f) Pertahankan stabilitas kaki yang lemah atau sejajarkan dengan lutut

fisioterapis

g) Berporos pada kaki yang lebih jauh dari kursi, pindahkan pasien secara

langsung ke depan kursi

h) Instruksikan pasien untuk menggunakan penyangga tangan pada kursi

untuk menyokong

i) Fleksikan panggul fisioterapis dan lutut saat menurunkan pasien ke kursi


BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Data – Data Medis

1. Diagnose medis : Stroke Non Hemoragik

2. No. rekam medis : 865656

B. Identitas Umum Pasien

1. Nama : Tn.M.R

2. Usia : 73 Tahun

3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Pensiun

6. Alamat : BTN Mutiara Permai

C. Anamnesis Khusus

1. Keluhan utama : kelemahan anggota gerak

2. Lokasi Keluhan : lengan dan tungkai sebelah kanan

3. Lama keluhan : satu minggu yang lalu (tanggal 9 Desember 2018)

4. Sifat Keluhan : kelemahan

5. Penyebab keluhan : post stroke non hemoragik

6. RPP : sekitar satu minggu yang lalu ketika pasien pulang dari

mengambil gaji. Pasien tiba-tiba merasa lemah pada seluruh badannya. Kemudian

pasien di bawa ke Rumah Sakit Wahidin

7. Riwayat Penyakit Penyerta : Kardiomegali dan Hipertensi


D. Pemeriksaan Vital Sign

1. Tekanan darah : 130/80 mmHg

2. Denyut Nadi : 81x/menit

3. Suhu : 360C

4. Pernafasan : 20 x/menit

D. Inspeksi/Observasi

Statis :

1. Bahu asimetris, kepala sedikit miring ke sisi yang lemah

2. Pasien selalu tampak murung

Dinamis :

1. Pasien sulit menggerakkan tangan dan kaki kanannya

2. Keseluruhan aktivitas masih mendapatkan bantuan dari orang lain

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

1) Tes Kognitif : pasien diajak berbicara dengan memberikan berbagai pertanyaan

Hasil : pasien kadang merespon jika diajak berbicara dan cara berbicaranya pun

tidak jelas

Interpretasi : komunikasi, atensi, motivasi dan emosi mengalami gangguan

2) Palpasi :

a. Tonus otot lengan dan tungkai sebelah kanan : hypotonus

b. Suhu : normal

c. Kontur kulit : normal

d. Odema : tidak ada


3) Tes Tonus otot (menggunakan skala Asworth)

Grade Keterangan

0 Tidak ada peningkatan tonus otot

1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terusnya tahanan minimal

pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi

2 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian

gerakan pada pertengahan ROM dan adanya tahanan minimal sepanjang sisa

ROM

3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM tapi sendi

masih mudah digerakkan

4 Peningkatan tonus otot sangat nyata sepanjang ROM, gerak pasif sulit

dilakukan

5 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi

Prosedur : fisioterapi melakukan gerakan pasif pada lengan dan tungkai pasien dan

merasakan tonus otot pasien

Hasil : Tonus otot lengan dan tungkai sebelah kanan 1

Interpretasi : belum ada peningkatan tonus otot

4) MMT

No Nilai Keterangan

1 Nilai 0 Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi

2 Nilai 1 Adanya kontraksi otot dan tidak ada pergerakan sendi


3 Nilai 2 Adanya kontraksi otot dan adanya pergerakan sendi full ROM

4 Nilai 3 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM dan mampu

melawan gravitasi

5 Nilai 4 Adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi full ROM, mampu melawan

gravitasi dan tahanan minimal

6 Nilai 5 Mampu melawan tahanan maksimal

Otot bagian superior

Otot Kanan

Fleksor Shoulder 3

Ekstensor Shoulder 3

Abductor Shoulder 3

Adductor Shoulder 3

Fleksor elbow 3

Ekstensor elbow 3

Palmar Fleksor wrist 3

Dorsal Fleksor wrist 3

Otot bagian inferior

Otot Kanan

Fleksor hip 1

Ekstensor hip 1
Abductor hip 1

Adductor hip 1

Fleksor knee 1

Ekstensor knee 1

Plantar Fleksor Ankle 1

Dorsal Fleksor Ankle 1

Interpretasi :

1. Otot bagian superior : adanya kontraksi otot, adanya pergerakan sendi dan

mampu melawan gravitasi

2. Otot bagian inferior : adanya kontraksi otot dan tidak ada pergerakan sendi

5) Tes Refleks

a. Reflex Fisiologis

1. Biceps

Fisioterapi memegang lengan pasien yang di semiflexikan sambil

menempatkan ibu jari di atas tendon m. Biceps, lalu ibu jari diketuk

Hasil : hyporefleks

2. Triceps

Fisioterapi memegang lengan bawah pasien yang di semiflexikan. Setelah

itu, ketuk pada tendon m. Triceps yang berada sedikit di atas olekranon.

Hasil : hyporefleks
3. Knee Pess Reflex

Tungkai diflexikan dan digantungkan, lalu ketuk pada tendon m

Quadriceps Femoris (dibawah patella pada tuberositas tibia)

Hasil : hyporefleks

4. Achilles Pess Reflex

Tungkai bawah diflexikan sedikit, kemudian Fisioterapi memegang kaki

pada ujungnya untuk memberikan sikap dorsoflexi ringan pada kaki

setelah itu tendon Achilles di ketuk

Hasil : hyporefleks

b. Reflex Patologis

1. Babinsky

Pasien dalam posisi tidur terlentang, kemudian tarik garis dari tumit ke

sepanjang arah lateral kaki ke arah jari-jari kaki dengan cepat.

Hasil : positif

2. Refleks Chaddock

Rangsang diberikan dengan cara menggoreskan bagian lateral maleolus.

Hasil : positif

3. Refleks Schaefer

Memencet (mencubit) tendon achilles.

Hasil : positif
6) Tes Koordinasi

1. Finger to finger

Kedua shoulder abduksi 90°, elbow ekstensi, minta pasien membawa kedua

lengannya ke horizontal abduksi & menyentuhkan kedua ujung jari telunjuk

satu terhadap yang lain

Hasil : tidak dapat dilakukan

2. Finger to nouse

Abd shoulder 90° dengan elbow ekstensi. Minta pasien untuk menyentuhkan

ujung jari telunjuknya ke ujung hidungnya. Tes dilakukan dalam gerakan cepat

& lambat, ulangi beberapa kali hitungan dengan mata terbuka lalu dengan mata

tertutup. Normal gerakan tetap tidak berubah dengan mata tertutup. Ulangi dan

bandingkan dengan tangan satunya

Hasil : tidak dapat dilakukan

3. Finger to therapist finger

Pasien & terapis saling berhadapan. Jari telunjuk terapis diluruskan menunjuk

ke atas dihadapan pasien.Minta pasien menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke

jari telunjuk terapis.Selama pemeriksaan berlangsung posisi jari terapis diubah-

ubah dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan merubah jarak, arah dan

kekuatan gerakan

Hasil : tidak dapat dilakukan

4. Alternate heel to knee, heel to toe

Posisi pasien lying, minta pasien menyentuh lutut dan ibu jari kakinya secara

bergantian menggunakan tumit kaki yang satunya


Hasil : tidak dapat dilakukan

7) Tes sensorik

1. Tes tajam/ tumpul

Fisioterapi menyentukan/menggoreskan benda tajam/tumpul pada ekstremitas

bawah pasien

Hasil : lengan dan tungkai sebelah kanan tidak terasa

2. Tes rasa sakit

Fisioterapi mencubit pada ekstremitas superior dan inferior pasien

Hasil : lengan dan tungkai sebelah kanan tidak terasa

8) Tes Kemampuan Fungsional ADL dengan Barthel Index

Kategori Skor Nilai

Feeding (Makan dan minum)

 Tidak dapat dilakukan sendiri 0

 Membutuhkan bantuan dalam beberapa hal 5 0

 Dapat melakukan sendiri atau mandiri 10

Bathing (Mandi)

 Bergantung sepenuhnya 0 0

 Dapat melakukan sendiri atau mandiri 5

Grooming (Dandan)

 Membutuhkan bantuan perawatan personal 0

 Mandiri (membersihkan wajah, merapikan rambut, 5 0


menggosok gigi, mencukur, dll)

Dressing (Berpakaian)

 Bergantung sepenuhnya 0

 Memerlukan bantuan, tapi tidak sepenuhnya 5 0

 Mandiri (ternasuk mengancing baju, memakai ritsleting, 10

mengikat tali sepatu)

Fecal (Buang Air Besar)

 Inkontinensi (atau perlu diberikan pencahar) 0

 Kadang terjadi inkontinensi 5 0

 Bisa mengontrol agar tidak inkontinensi 10

Urinary (Buang Air Kecil)

 Inkontinensi atau memerlukan katerisasi 0

 Kadang terjadi inkontinensi 5 0

 Bisa mengontrol agar tidak inkontinensi 10

Toileting (Ke kamar kecil atau WC)

 Bergantung sepenuhnya 0

 Memerlukan bantuan, tapi tidak sepenuhnya 5 0

 Mandiri (termasuk membuka dan menutup, memakai 10

pakaian, membersihkan dengan lap)

Transferring (dari bed ke kursi dan kembali ke bed)

 Tidak mampu, tidak ada keseimbangan duduk 0

5
 Memerlukan bantuan satu atau dua orang, dapat duduk 10 0

 Memerlukan bantuan minimal (verbal atau fisik) 15

 Mandiri sepenuhnya

Walking (pada semua level permukaan)

 Immobile atau <50 yard 0

 Menggunakan kursi roda secara mandiri, termasuk 5

mendatangi orang >50 yard

 Berjalan dengan bantuan seseorang (verbal atau fisik) > 50 10 0

yard

 Mandiri sepenuhnya (tidak membutuhkan bantuan,

termasuk tongkat) >50 yard 15

Climbing Strairs (menaiki anak tangga)

 Tidak mampu 0

 Memerlukan bantuan (verbal, fisik dengan alat bantu) 5 0

 Mandiri sepenuhnya 10

Hasil : jumlah skor 0 (ketergantungan penuh)

Parameter index barthel

Skor 100 : mandiri

Skor 91 – 99 : ketergantungan ringan

Skor 62 – 90 : ketergantungan sedang

Skor 21 – 61 : ketergantungan berat

Skor 0 – 20 : ketergantungan penuh


9) Pemeriksaan Penunjang

pemeriksaan CT Scan Kepala aksial tanpa kontras

Hasil :

a. Kontur kepala dan soft tissue normal

b. Tulang-tulang intaks, densitas normal

c. Subcalvaria cranil tak tampak lesi patologik

d. Tampak lesi hipodens kecil pada paraventrikel dextra densitas 17 HIJ

e. Tidak tampak pergeseran garis tengah

f. Tampak sulci melebar dan gyrii cerebrum prominent

g. System ventrikel, sisterna dan ruang subarachnoid baik

h. Tampak klasifikasi fisiologis pada plexus choroideus ventrikel lateralis

kanan dan kiri

i. Cerebellum dan pons densitas normal ; CPA, sela dan parasela normal
j. Tampak concha nasalis kanan dan kiri menebal disertai deviasi septum nasi

ke kiri

k. Sinus paranasalis yang terscan dan air cells mastoid dalam batas normal

Kesan :

1) Lacunar infarks cerebri dextra

2) Proses atrofi cerebri

3) Hipertrofi concha nasalis bilateral (rhinitis ?) disertai deviasi septum nasi

ke kiri

I. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

Kondisi/Penyakit :
Gangguan Motor Function Hemiparese Dextra Et
Causa Non Hemoragik Stroke

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and function) - Tidak mampu balik kanan  Hambatan dalam
- Terjadi kelemahan pada melakukan aktivitas atau
atau kiri secara mandiri
kegiatan baik di rumah
3. tungkai kanan
tangan dan
- Sulit makan, minum dan maupun di lingkungan
- Gangguan koorinasi sekitar
mengganti pakaian sendiri
- Gangguan ADL

J. Perencanaan Fisioterapi

Tujuan Jangka Pendek

a. Meningkatkan kekuatan otot


b. Mencegah kontraktur pada ekstremitas
c. Melatih koordinasi
d. Memperbaiki ADL duduk, berdiri dan berjalan
Tujuan Jangka Panjang
a. Meningkatkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien agar pasien
tidak bergantung dengan orang lain

K. Program Intervensi Fisioterapi

a. Infra Red

Tujuan : Untuk meningkatkan proses metabolisme dengan adanya kenaikan

temperature proses metabolisme menjadi lebih baik karena menimbulkan

vasodilatasi pembuluh darah sehingga membantu rileksasi juga

meningkatkan kemampuan otot untuk berkontaksi.

Teknik : posisikan pasien senyaman mungkin, kemudian fisioterapis

menggerakkan alat ke bagian tangan dan tungkai sebelah kanan pasien

Time : 10 menit

b. Stimulasi Elektris (Electrical Stimulation)

Tujuan : mereduksi otot yang mengalami kelemahan

Teknik : Pasien dalam posisi tidur terlentang senyaman mungkin. Pad atau

elektroda yang diletakkan oleh fisioterapis pada lengan dan tungkai yang

lemah, kedua pad diletakkan pada origo dan insertion masing-masing otot.

Time : 10 menit

c. Passive ROM Exercise

Tujuan : untuk memelihara ROM dan meningkatkan kekuatan otot

Teknik : posisi tidur terlentang, kemudian fisioterapis melakukan latihan

pasif pada extremitas superior dan inferior dextra


Time : setiap hari (6 kali repetisi)

d. Bridging Exercise

Tujuan :

1. Meningkatkan kekuatan otot dasar panggul

2. Sebagai metode latihan keseimbangan

3. Persiapan latihan ambulasi posisi duduk- berdiri

Teknik : posisikan pasien senyaman mungkin, tekuk kedua lutut pasien.

Kemudian fisioterapis meminta pasien untuk mengangkat pantatnya.

Time : tahan hingga 10 detik

e. PNF

Tujuan : Untuk mengajarkan gerakan, menambah kekuatan otot,

memperbaiki koordinasi dan menambah ROM

Teknik : Posisi pasien tidur terlentang, fisioterapis memberikan latihan

sesuai dengan pola-pola gerakan lengan dan tungkai

Time : 10 – 20 kali repetisi

f. Latihan ambulasi dan transfer

1. Duduk diatas tempat tidur

Tujuan :

a. Melatih keseimbangan duduk pasien saat beraktifitas

b. Mobilisasi thoraks

Teknik :

a. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan


b. Posisi pasien terlentang

c. Pindahkan semua bantal

d. Regangkan kedua kaki fisioterapis dengan kaki paling dekat ke

kepala tempat tidur di belakang kaki yang lain

e. Tempatkan tangan yang lebih jauh dari pasien di bawah bahu pasien,

sokong kepalanya dan vetebra cervikal

f. Tempatkan tangan pasien yang lain pada permukaan tempat tidur

g. Angkat pasien ke posisi duduk dengan memindahkan berat badan

fisioterapis dari depan kaki ke belakang kaki

h. Dorong melawan tempat tidur dengan tangan di permukaan tempat

tidur

2. Duduk di tepi tempat tidur

Tujuan :

a. Melatih keseimbangan duduk pasien saat beraktifitas

b. Mobilisasi thoraks

c. Sebagai self asisted untuk lengan atas pasien

Teknik :

a. Jelaskan pada pasien prosedur yang akan dilakukan

b. Tempatkan pasien pada posisi miring, menghadap fisioterapis di sisi

tempat tidur tempat ia akan duduk

c. Pasang pagar tempat tidur pada sisi yang berlawanan


d. Tinggikan kepala tempat tidur pada ketinggian yang dapat ditoleransi

pasien

e. Berdiri pada sisi panggul pasien yang berlawanan

f. Balikkan secara diagonal sehingga fisioterapis berhadapan dengan

pasien dan menjauh dari sudut tempat tidur

g. Regangkan kaki fisioterapis dengan kaki paling dekat ke kepala

tempat tidur di depan kaki yang lain

h. Tempatkan lengan yang lebih dekat ke kepala tempat tidur di bawah

bahu pasien, sokong kepala dan lehernya

i. Tempat tangan fisioterapis yang lain di atas paha pasien

j. Pindahkan tungkai bawah pasien dan kaki ke tepi tempat tidur

k. Tempatkan poros ke arah belakang kaki, yang memungkinkan

tungkai atas pasien memutar ke bawah

l. Pada saat bersamaan, pindahkan berat badan fisioterapis ke belakang

tungkai dan angkat pasien

m. Tetap didepan pasien sampai mencapai keseimbangan

n. Turunkan tinggi tempat tidur sampai kaki menyentuh lantai

3. Transfer dari tempat tidur ke kursi

Tujuan :

a. Melatih keseimbangan pasien

b. Mengajarkan cara duduk yang benar kepada pasien


Teknik :

a. Bantu pasien ke posisi duduk di tepi tempat tidur. Buat posisi kursi

pada sudut 450 terhadap tempat tidur. Jika menggunakan kursi roda,

yakinkan bahwa kusi roda dalam posisi terkunci

b. Regangkan kedua kaki fisioterapis

c. Fleksikan panggul dan lutut fisioterapis, sejajarkan lutut fisioterapis

dengan pasien

d. Gapai melalui aksila pasien dan tempatkan tangan pada scapula

pasien

e. Angkat pasien sampai berdiri pada hitungan 3 sambil meluruskan

panggul dan kaki, pertahankan lutut agak fleksi.

f. Pertahankan stabilitas kaki yang lemah atau sejajarkan dengan lutut

fisioterapis

g. Berporos pada kaki yang lebih jauh dari kursi, pindahkan pasien

secara langsung ke depan kursi

h. Instruksikan pasien untuk menggunakan penyangga tangan pada

kursi untuk menyokong

i. Fleksikan panggul fisioterapis dan lutut saat menurunkan pasien ke

kursi
L. Evaluasi Fisioterapi

NO. HARI/TANGGAL PROBLEMATIK INTERVENSI EVALUASI

1. Senin, 17 Desember 1. Kelemahan otot 1. IR Nilai kekuatan

2018 2. Gangguan 2. Electrical otot tetap

koordinasi Stimulation

3. Gangguan ADL 3. Passive ROM

Exercise

4. Bridging

Exercise

5. PNF

2. Selasa, 1. Kelemahan otot 1. IR Nilai kekuatan

18 Desember 2018 2. Gangguan 2. Electrical otot tetap

koordinasi Stimulation

3. Gangguan ADL 3. Passive ROM

Exercise

4. Bridging

Exercise

5. PNF

3. Jum’at, 1. Kelemahan otot 1. IR Nilai kekuatan

21 Desember 2018 2. Gangguan 2. Electrical otot meningkat

koordinasi Stimulation

3. Gangguan ADL 3. Passive ROM


Exercise

4. Bridging

Exercise

5. PNF

Setelah pasien melakukan fisioterapi 3 kali terdapat peningkatan yaitu nilai otot meningkat

menjadi 3 untuk bagian superior.

M. Edukasi / Home Program

Menganjurkan dan memberikan contoh kepada pasien untuk mengulang latihan


yang diberikan atau diajarkan oleh fisioterpais di rumah seperti mengerakkan lengan dan
tungkai sisi kanan.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Stroke dapat menyebabkan problematika pada tingkat impairment berupa
gangguan motorik, gangguan sensorik, gangguan memori dan kognitif, gangguan
koordinasi dan keseimbangan. Pada tingkat functional limitation berupa gangguan
dalam melakukan aktifitas fungsional sehari-hari seperti perawatan diri, transfer dan
ambulasi. Serta pada tingkat participation restriction berupa keterbatasan dalam
melakukan pekerjaan, hobi dan bermasyarakat di lingkungannya.
Hemiparesis adalah suatu penyakit sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak,
progesif cepat, berupa defisit neurologis yang berlangsung 24 jam atau lebih langsung
menimbulkan kematiandan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic.
Kelemahan tangan maupun kaki pada pasien stroke akan mempengaruhi kontraksi otot.
Berkurangnya kontraksi otot disebabkan karena berkurangnya suplai darah ke otak
belakang dan otak tengah. Kelainan neurologis dapat bertambah karena pada stroke
terjadi pembengkakan otak (oedema serebri) sehingga tekanan didalam rongga otak
meningkat hal ini menyebabkan kerusakan jaringan otak bertambah banyak. Oedema
serebri berbahaya sehingga harus diatasi dalam 6 jam pertama = Golden Periode
(Gorman, M et.,al, 2012).
Dengan adanya fisioterapi penderita hemiparese post stroke dapat ditangani
dengan Stimulasi Elektris dan Terapi Latihan. Adapun beberapa metode Terapi Latihan
antara lain Propioceptif Neuromuscular Facilitation (PNF), Brunstrom, Bobath dan
Motor Relearning Programme (MRP).
DAFTAR PUSTAKA

MMT (Manual Muscle Testing) by Hj.Hasnia Ahmad

Djohan , Aras. Hasnia ,Ahmad .Andy , Ahmad. 2016/12/01“ the new concep of test and
measurement in patient care physitherapy” .makassar:physiocare publishing

Suharto, RPT,M.Kes. Instrumen Pengukuran Fisioterapi. Poltekkes Makassar. 2005.

https://www.academia.edu/31553379/STROKE_NON_HEMORAGIC diakses tanggal 24

Desember 2018

https://enggarlistyani.files.wordpress.com/2017/06/isi-for-merge.pdf diakses tanggal 24

Desember 2018

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/46022/Chapter%20II.pdf;sequence=

4 diakses tanggal 24 Desember 2018

file:///C:/Users/ICHAL/Pictures/1390361019-3-BAB%20II.pdf diakses tanggal 24

Desember 2018

https://www.scribd.com/upload-

document?archive_doc=340464258&escape=false&metadata=%7B%22context%22%3A%

22archive_view_restricted%22%2C%22page%22%3A%22read%22%2C%22action%22%

3A%22download%22%2C%22logged_in%22%3Atrue%2C%22platform%22%3A%22web

%22%7D diakses tanggal 24 Desember 2018


LEMBAR ALGORHITMA ASSESSMENT

Nama : Tn. M.R Umur : 73 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Kondisi/penyakit : Hemiparese Dextra et causa Non Hemoragic Stroke

History Taking :
sekitar satu minggu yang lalu ketika pasien pulang dari mengambil gaji. Pasien
tiba-tiba merasa lemah pada seluruh badannya. Kemudian pasien di bawa ke
Rumah Sakit Wahidin

Inspeksi :
Statis : bahu asimetris, kepala sedikit miring ke sisi yang lemah, pasien selalu
tampak murung
Dinamis : pasien sulit menggerakkan tangan dan kaki kanannya, keseluruhan
aktivitas masih mendapatkan bantuan dari orang lain

Pemeriksaan fisik

Tes kognitif : Palpasi : Tonus Tess spastisitas Kekuatan otot Tes Rfeleks
komunikasi, otot lengan dan dengan skala dengan MMT : a. Reflex Fisiologis
atensi, motivasi tungkai sebelah ASWORTH : Otot bagian Biceps:
dan emosi kanan hypotonus, tonuss otot lengan superior : 3 hyporefleks
mengalami suhu : normal, dan tungkai Otot bagian Triceps:
gangguan kontur kulit : sebelah kanan 1 inferior : 1 hyporefleks
normal, odema : KPR : hyporefleks
tidak ada APR : hyporefleks
Tes Tes koordinasi : b. Reflex Patologis
kemampuan Finger to finger : tidak Babinsky : positif
fungsional Tes sensorik bisa dilakukan Chaddock : positif
ADL: jumlah Tes tajam/tumpul : lengan Finger to nouse : bisa Schaefer : positif
skor 0 dan tungkai sebelah kanan dilakukan
(ketergantunga tidak terasa Finger to therapis finger :
n penuh) Tes rasa sakit : lengan dan bisa dilakukan Alternate
tungkai sebelah kanan heel to knee, heel to toe :
tidak terasa bisa dilakukan

Diagnosa ICF :
Gangguan Motor Function Hemiparese Dextra et causa Non Hemoragic
Stroke
Makassar, 4 Januari 2019

Clinical Instruktur

_________________________
LEMBAR BAGAN ICF

Nama Pasien : Tn. M.R


Umur : 73 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki

Kondisi/Penyakit :
Gangguan Motor Function Hemiparese Dextra Et
Causa Non Hemoragik Stroke

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and function) - Tidak mampu balik kanan  Hambatan dalam
- Terjadi kelemahan pada melakukan aktivitas atau
atau kiri secara mandiri
tangan dan tungkai kegiatan baik di rumah
4. kanan
- Sulit makan, minum dan maupun di lingkungan
- Gangguan koorinasi sekitar
mengganti pakaian sendiri
- Gangguan ADL

Makassar, 4 Januari 2019

Clinical Instruktur

__________________________
LEMBAR INTERVENSI FISIOTERAPI
Nama Pasien : Tn. M.R

Umur : 73 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Diagnosa Fisioterapi : Hemiparese Dextra Et causa Non Haemoregik Stroke

Rekomendasi Internvensi Fisioterapi Berdasarkan EBP dan CR

Jenis Intervensi Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Infra Red Untuk melancarkan peredaran Dapat merangsang otot yang mengalami
darah gangguan dan meningkatkan ROM agar
kembali ke fungsi normalnya efek panas yang
ditimbulkan akan menimbulkan kenaikan
temperature. adanya kenaikan temperatur akan
menimbulkan vasodilatasi sehingga terjadi
peningkatan supply darah ke jaringan setempat
Kenaikan temperatur disamping membantu
proses rileksasi juga akan meningkatkan
kemampuan otot untuk berkontraksi

Electrical Untuk memberi rangsangan kepada Dengan rangsangan listrik dapat meningkatkan
stimulation otot untuk membantu memperkuat kekuatan otot,kontraksi otot juga dapat
otot yang lemah meningkatkan suplai darah ke daerah yang
lemah ini dapat membantu perbaikan otot

Passive exercises Mempertahnkan integritas sendi Dapat merangsang otot yang mengalami
dan jaringan lunak, meminimalkan gangguan dan meningkatkan ROM agar
efek terjadinya kontraktur, kembali ke fungsi normalnya
mempertahankan elastisitas
mekanik otot, menurunkan nyeri
dan membantu mempertahankan
kesadaran gerak pasien
Bridging Exercise Untuk meningkatkan kekuatan otot Dengan melakukan bridging exercise maka
dasar panggul, sebagai metode akan menembah kekuatan otot yang berfungsi
latihan keseimbangan dan untuk keseimbangan tubuh
persiapan latihan ambulasi posisi
duduk- berdiri

PNF Untuk mengajarkan gerakan, PNF dapat merangsang saraf motorik untuk
menambah kekuatan otot, melakukan kontraksi sehingga dapat menambah
memperbaiki koordinasi dan kekuatan otot
menambah ROM

Latihan ambulasi Melatih keseimbangan duduk Dengan pemberian latihan ambulasi dan
dan transfer pasien saat beraktifitas, untuk transfer akan meningkatkan sirkulasi darah
mobilisasi thoraks, sebagai self yang akan memicu penurunan nyeri dan
asisted untuk lengan atas pasien penyembuhan luka lebih cepat serta untuk
dan mengajarkan cara duduk yang meningkatkan kemampuan aktivitas mandiri
benar kepada pasien pasien

Makassar, 4 Januari 2019

Clinical Instruktur

__________________________
_
LEMBAR INTERVENSI FISIOTERAPI
Nama Pasien : Tn. G

Umur : 79 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Diagnosa Fisioterapi : Hemiparese Dextra Et causa Non Haemoregik Stroke

Rekomendasi Internvensi Fisioterapi Berdasarkan EBP dan CR

Jenis Intervensi Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Infra Red Untuk melancarkan peredaran Dapat merangsang otot yang mengalami
darah gangguan dan meningkatkan ROM agar
kembali ke fungsi normalnya efek panas
yang ditimbulkan akan menimbulkan
kenaikan temperature. adanya kenaikan
temperatur akan menimbulkan vasodilatasi
sehingga terjadi peningkatan supply darah
ke jaringan setempat Kenaikan temperatur
disamping membantu proses rileksasi juga
akan meningkatkan kemampuan otot untuk
berkontraksi

Electrical stimulation Untuk memberi rangsangan Dengan rangsangan listrik dapat


kepada otot untuk membantu meningkatkan kekuatan otot,kontraksi otot
memperkuat otot yang lemah juga dapat meningkatkan suplai darah ke
daerah yang lemah ini dapat membantu
perbaikan otot

Passive exercises Mempertahnkan integritas Dapat merangsang otot yang mengalami


sendi dan jaringan lunak, gangguan dan meningkatkan ROM agar
meminimalkan efek terjadinya kembali ke fungsi normalnya
kontraktur, mempertahankan
elastisitas mekanik otot,
menurunkan nyeri dan
membantu mempertahankan
kesadaran gerak pasien

PNF Untuk merileksasikan otot dan Dengan melakukan gerakan PNF dapat
jaringan tendon sekaligus meningkatkan fleksibilitas otot hamstring
pembuluh darah dan karena respon autogenic inhibition dan
mengurangi nyeri dan kombinasi pasif stretching
mengurangi spasme

Makassar, 4 Januari 2019

Clinical Instruktur Preceptor

_____________________________ _________________________

You might also like