You are on page 1of 16

TUGAS MATA KULIAH

MANAJEMEN INFRASTRUKTUR
DOSEN PEMBINA : Dr. ISHAK KADIR, ST, MT.

INOVASI UNTUK MENGATASI MASALAH BANJIR ROB


DI BELANDA

OLEH:
TAZIRUDDIN
NIM. G2T1 17029

PROGRAM PASCA SARJANA


PROGRAM STUDI MANAJEMEN REKAYASA
UNIVERSITAS HALUOLEO
TAHUN 2018
DAFTAR ISI

Kata Pengantar

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………….... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………….. 5
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………… 5
1.4 Sistematika Penulisan ……………………………………………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Banjir Rob ……………………………………………. 6
2.2 Pengertian inovasi banjir rob di Belanda …………………….…. 6

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Sistem Polder di Rotterdam Belanda ………………………..….. 7
3.2 Sistem Polder Di Semarang Indonesia …………………………. 9

BAB IV KESIMPULAN ………………………………………………… 11

BAB V DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….. 12


Kata Pengantar

Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakaatu, Alhamdulillah Segala


puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat ALLAH Tuhan semesta alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Manajemen Infrastruktur dengan judul ”INOVASI UNTUK
MENGATASI MASALAH BANJIR ROB DI BELANDA”.

Dalam penyusunan ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari


berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dosen Pembina, Orang tua, keluarga, dan segenap teman-
teman penulis yang memberikan semangat sehingga tugas manajemen
infrastruktur ini dapat selesai. Diharapkan dengan tugas ini dapat diketahui
inovasi apa saja yang dapat mengatasi masalah rob dan diadaptasi oleh Negara
kita supaya kita bebas dari masalah tersebut.

Kendari, 13 Januari 2018


Penyusun

Taziruddin
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Belanda memiliki beberapa julukan antara lain negara dam,


negara kincir angin, negara kanal, negara tulip, dan negara yang terkenal dengan
sepatu kayunya. Memiliki luas wilayah 41. 526 km2 (lebih luas provinsi Jawa
Timur yang mencapai 47.922 Km2.) dimana 20% wilayahnya berada di bawah
permukaan laut. Kota-kota yang memiliki ketinggian di bawah permukaan air laut
yaitu Amsterdam, Rotterdam, dan Zeeland. Elevasi daratan terendah di negara
ini berada di Rotterdam dengan ketinggian 6.76 meter (22.2 feet) berada di
daerah Nieuwerkerk aan den Ijssel (bendungan terakhir yang dibangun di
provinsi Zuid Holland). Daerah tertinggi berada di Vaalserberg provinsi Limburg
dengan ketinggian 321 meter di atas permukaan laut.
Negara ini memiliki 21% populasi berada di bawah permukaan laut dan
50% tanahnya kurang dari satu meter di atas permukaan air laut. Belanda
memiliki 12 kawasan administrasi yang disebut provinsi(Gremeente) yakni
Groningen, Friesland, Drenthe, Overijssel, Utrech, Flevoland, Gelderland,
Noord-Holland, Zuid Holland, Noord Brabant, Zeeland, dan Limburg. Friesland
terkenal dengan ternak sapi Fries, Utrech dengan pusat transportasi stasiun
terbesar di Belanda, Rotterdam kota Pelabuhan, Zuid Holland dengan
bendungan Ijssel, dan Groningen dengan natural gasnya.
Belanda merupakan negara dengan hampir separo area wilayahnya
berada di bawah permukaan air laut. Nama Netherlands pun sejatinya berasal
dari kata Belanda “nieder” yang berarti rendah dan “land” yang berarti tanah.
Persoalan geografis ini membuat pusing rakyat Belanda. Mereka pun
melakukan adaptasi dengan kondisi alam yang kurang bersahabat itu.
Prioritas utama yang harus dilakukan adalah mencegah tumpahnya air
laut ke daratan. Oleh karena itu, Belanda segera membuat pematang raksasa
berbentuk bukit pasir yang membentang di wilayah utara Belanda. Di dalam
pematang itu lantas ditanami berbagai jenis rumput, belukar dan pohon yang
dimaksudkan sebagai perekat. Setelah sekian lama, tanah pasir yang ini pun
menjadi daratan. Namun, masih ada sisa kumpulan air dalam danau-danau
kecil, berbentuk telaga. Sisa air ini kemudian dikeringkan dengan jalan
memompa airnya keluar. Hasilnya, luas daratan makin bertambah (Kompasiana,
25 Maret 2010).
Upaya berikutnya adalah membangun pelindung berupa ratusan tanggul
besar dan kecil yang dilengkapi kincir yang membentang di pinggir laut dan
sungai yang tanahnya rendah. Tanggul membentang dari Belgia hingga Provinsi
Frisland dan Groningen di Utara Belanda. Ketinggian tanggul disesuaikan
dengan tinggi rendahnya letak tanah di pinggir sungai atau kanal masing-
masing. Belanda juga membangun dam di antara dua daratan yang dinilai rawan
dan berbahaya. Sebagian dana untuk mengapungkan daratan Belanda itu
disedot dari sumber daya alam nusantara yang dibawa VOC pada abad ke-17
sampai ke-19.
Belanda sudah berjuang nyata melawan laut yang terus merangsek ke
daratan. Namun, apa daya, banjir tetap datang juga. Bahkan, menggebrak
hampir di setiap abad. Beberapa bencana banjir pun diabadikan untuk dikenang,
di antaranya The Saint Aechtens’s Day Flood (1288), The Saint Elizabeth’s Day
Flood (1404 dan 1421), The Saint Felix’s Day (1530), All Saints’s Day Flood
(1570), dan yang masih segar dalam ingatan adalah banjir 1953.
Pada malam musim dingin yang nahas itu, 31 Januari 1953, kekuatan
alam menggila. Langit suram, ombak mendidih bergejolak, dan angin menderu-
deru ke segala arah. Permukaan Laut Utara naik sampai 30 meter. Tanpa
ampun, air bah yang hampir membeku menghajar daratan Zeeland, provinsi di
ujung selatan Belanda. Dampaknya sungguh memilukan. Ada 1.835 nyawa
melayang, 110 ribu penduduk diungsikan, 200 hektare lahan pertanian hancur
total, 47 ribu bangunan luluh-lantak, 67 tanggul jebol tanpa daya, dan dua desa
hilang dari peta.
Banjir besar yang disebut sebagai bencana terburuk di Eropa itu membuat
warga Belanda bertekad tak ingin lagi diterjang banjir. Untuk mewujudkannya,
tak lama setelah bencana 1953, dibuatlah rencana pembangunan sejumlah
bendungan yang dikenal dengan Proyek Delta.
Secara bertahap, tiga belas bendungan raksasa dibangun dalam tempo 39
tahun. Bendungan pertama selesai dibangun pada 1958 di Sungai The
Hollandse Ijssel, sebelah timur Rotterdam. Setelah itu, dibangun bendungan
The Ooster Dam (The Oosterschelde Stormvloedkering). Bendungan ini
membentengi seluruh daratan Zeeland yang langsung berhadapan dengan
seluruh lengan Laut Utara. Tanggul ini sungguh luar biasa. Begitu rumit
konstruksinya sehingga ia disebut sebagai bendungan dengan rancang bangun
paling kompleks yang pernah dibuat manusia. The Economist pun menjulukinya
sebagai ”Miracle of the Netherlands”.
Panjang tanggulnya hampir mencapai 11 kilometer Terdapat 64 dermaga di
sepanjang tanggul. Setiap dermaga berukuran seperti gereja katedral dan
beratnya setara dengan 180 ribu mobil. Lantas, ada 62 pintu air yang
menggantung kolosal di setiap dermaga total ada 3.968 pintu air yang bisa
dibuka-tutup berdasar kebutuhan. Bukan hanya dahsyat dalam soal ukuran.
Bendungan Ooster dirancang dengan hati-hati dan ketelitian penuh. Konstruksi
Bendungan Ooster dibuat sedemikian rupa sehingga diharapkan mampu
mencegah banjir hebat yang kemungkinannya terjadi sekali dalam empat ribu
tahun.
Setiap dermaga dan pintu air dibangun dalam sebuah ruangan (dok)
khusus. Ketika pembangunan dermaga dan pintu air untuk Ooster rampung, dok
sengaja dibanjiri dengan air laut. Setiap milimeter diamati agar jangan sampai
ada keretakan sekecil apa pun. Langkah hati-hati ini punya satu motivasi.
”Karena rakyat kami telah bersumpah tak boleh lagi ada bencana banjir 1953,”
demikian keterangan resmi yang tercantum dalam situs Provinsi Zeeland.
Sebuah dinding di lorong tanggul seperti didekasikan untuk korban banjir 1953.
Dinding itu dipenuhi nama ribuan korban banjir sebelum The Ooster Dam
dibangun. Memang, Bendungan Ooster adalah dam yang terpanjang dalam
rangkaian Proyek Delta ini (Tempo, 20 Desember 2004).
Bendungan terakhir yang selesai dibangun adalah The Maeslantkering
pada 1997. Maeslantkering dibangun di muara Nieuwe Waterweg, kanal yang
menjadi gerbang masuk ke Pelabuhan Rotterdam. Tanggul ini terdiri dari dua
lengan raksasa dengan panjang masing-masing 300 meter. Jika diberdirikan,
satu lengan setara dengan tinggi menara Eiffle di Perancis (Kompas, 29
November 2008). Bendungan ini membentengi seluruh daratan Zeeland yang
langsung berhadapan dengan seluruh lengan Laut Utara. Tanggul ini sungguh
luar biasa. Begitu rumit konstruksinya sehingga ia disebut sebagai bendungan
dengan rancang bangun paling kompleks yang pernah dibuat manusia. The
Economist pun menjulukinya sebagai ”Miracle of the Netherlands”.
Kedua lengan raksasa Maeslantkering ini bisa dibuka-tutup. Komputer secara
otomatis akan menutup gerbang ini jika ada badai dari Laut Utara dengan
ketinggian di atas tiga meter. Sejak dibangun, dam ini hanya ditutup sekali pada
8 November 2007. Selebihnya, dam ini menjadi obyek wisata dan pendidikan.
kasus banjir dapat diselesaikan dengan baik, dan malah membuat Belanda
memiliki Proyek Delta yang mampu menanggulangi banjir dan air pasang (rob).
Secara bertahap, tiga belas bendungan raksasa dibangun dalam tempo 39
tahun. Tetapi, lebih dari itu, konstruksi ini adalah bukti keseriusan Pemerintah
Belanda dalam memberi rasa aman kepada warganya. Ini juga bukti kerja keras
Belanda untuk memahami dan menyiasati alam, yang sebenarnya tak terlalu
bersahabat terhadap mereka karena sepertiga daratan di Belanda lebih rendah
dari muka air laut.
Proyek Delta dikonstruksi hampir selama 5 dekade dan menjadi salah
satu upaya pembangunan terbesar dalam sejarah peradaban manusia.
American Society of Civil Engineers pun menetapkannya sebagai salah satu dan
tujuh keajaiban modern. Terkait dengan pencapaian tersebut, dapat dirasakan
bahwa semangat membangun dan berinovasi Belanda sangat tinggi. Inovasi
adalah instrumen utama dalam pembangunan Belanda menjadi sebuah bangsa
yang sejahtera secara ekonomi, kaya akan budaya dan memiliki reputasi tinggi
dalam pengetahuan ekonomi (knowledge economy).
Hingga kini, Belanda terus berjuang melawan air. Khususnya, kenaikan
permukaan air laut yang terus bertambah akibat pemanasan global. Alam
sebenarnya bukan masalah. Tetapi, manusia mesti belajar beradaptasi dengan
alam. Dalam hal ini, Belanda adalah contoh negara yang gigih menghadapi
tantangan alamnya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana inovasi untuk mengatasi banjir rob di belanda dibandingkan
dengan Indonesia.
2. Apa saja yang dipelajari dan diaplikasikan di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Menjelaskan inovasi untuk mengatasi banjir rob di belanda
dibandingkan dengan Indonesia.
2. Menjelaskan hal yang dapat dipelajari dan diaplikasikan di Indonesia

1.4 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan terdiri dari : Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan
penelitian. Bab II Tinjuan Pustaka terdiri dari : Pengertian banjir rob,
Pengertian inovasi banjir rob di Belanda. Bab III Pembahasan terdiri dari :
Inovasi dalam mengatasi banjir rob di Belanda, Inovasi dalam mengatasi
banjir rob di Indonesia. Bab IV Kesimpulan. Bab V Daftar Pustaka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Banjir Rob


Banjir rob adalah banjir air laut atau naiknya permukaan air laut.
Rob adalah banjir yang diakibatkan oleh air laut yang pasang yang
menggenangi daratan, merupakan permasalahan yang terjadi di daerah
yang lebih rendah dari muka air laut.
Pemanasan global diindikasikan merupakan penyebab kenaikan
muka air laut ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga
menghangat sehingga volumenya akan membesar dan menaikan tinggi
permukaan laut (Arnould Molenaar,2008).
Perubahaan tinggi muka laut mempengaruhi kehidupan di daerah
pantai dan dapat menenggelamkan beberapa daratan melalui muara,
jaringan sungai dan drainase Penyebab lain terjadi banjir air pasang di
Kota Semarang adalah penurunan tanah (land subsidence). Berdasarkan
pengukuran dan analisis didapat penurunan tanah di daerah sekitar
Pelabuhan Tanjung Emas rata-rata 6,5 cm per tahun (Wahyudi, 2003).

2.2 Pengertian inovasi banjir rob di Belanda


Air adalah sumber kehidupan. Jika berhasil mengelolanya dengan
baik, maka manusia dapat hidup dengan laik, namun sebaliknya air dapat
menjadi musuh karena menyebabkan bencana akibat ketidakmampuan
manusia dalam mengelolanya. Hal ini dibuktikan oleh negara Belanda
dimana pengelolaan air menjadi prioritas. Air berhubungan erat dengan
kondisi sosioekonomi masyarakat dan keamanan negara Belanda. Air juga
merupakan sumber kedaulatan pangan dan energi terbarukan sehingga
mereka selalu menjaga kuantitas dan kualitasnya. Guna menghadapi
tantangan perubahan iklim, Belanda melakukan inovasi dan menciptakan
teknologi baru khususnya pada bidang sumberdaya air (Bijlsma, 2011).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sistem Polder di Rotterdam Belanda.

Fenomena land subsidence (penurunan tanah) dan kenaikan muka air


laut sebagai dampak dari pemanasan global terjadi di kawasan Rotterdam
Belanda. Kondisi tersebut dapat diketahui saat tidak terjadi hujan di beberapa
wilayah pantai tergenang air laut pada saat air laut pasang. Masyarakat sering
menyebut dengan rob. Semakin serius dan meningkat dari waktu ke waktu yaitu
kerusakan infrastruktur,lingkungan kemacetan lalu lintas, banyak lahan tidak
bisa lagi digunakan dan gangguan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut.
Kota Rotterdam merupakan kota terbesar di Belanda setelah Amsterdam,
dengan surface (luas): 33.700 ha, inhabitants (jumlah penduduk): 730.000,
municipalities (wilayah administrasi): 15, companies (perusahaan): 18.000,
deepest point below sea level (elevasi darat terendah dari muka laut): -7 m NAP.
Wilayah ini ada di tepi Sungai Rhine yang merupakan sungai besar lintas negara
dimana hulunya melintas negara Swiss dan Jerman.
Elevasi muka tanah di Rotterdam jauh ada di bawah muka air laut (Sungai
Rhine). Muka air Sungai Rhine dikendalikan +2,2 SWL (Sea Water Level).
Sedangkan elevasi darat ditunjukkan dalam gambar 4. Berdasar gambar
tersebut elevasi darat terendah mencapai -7 m SWL, sehingga selisih muka air
laut dan darat 9,2 m. Air yang ada dalam polder area tidak dapat mengalir secara
gravitasi, bahkan pada saat kondisi air laut surut. Untuk itu metode pembuangan
air digunakan pompa saat ini. Pada masa lalu metode untuk membuang air dari
darat ke sungai/laut menggunakan kincir angin (Helmer et al., 2009).
Sistem Polder adalah suatu cara penanganan banjir dengan bangunan
fisik, yang meliputi sistem drainase, kolam retensi, tanggul yang mengelilingi
kawasan, serta pompa dan/pintu air, sebagai satu kesatuan pengelolaan tata air
tak terpisahkan (Pusair, 2007). Pembangunan sistem polder tidak dapat
dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan perlu direncanakan dan
dilaksanakan secara terpadu, disesuaikan dengan rencana tata ruang wilayah
dan tata air secara makro. Kombinasi kapasitas pompa dan kolam retensi harus
mampu mengendalikan muka air pada suatu kawasan polder dan tidak
menimbulkan dampak negatif terhadap sistem drainase secara makro.
Kelengkapan sarana fisik untuk sistem polder antara lain: tanggul untuk isolasi
dengan air laut, saluran air, kolam retensi (tampungan) dan pompa (Rosdianti,
2009).
Kelembagaan pengelolaan air di Belanda memiliki kedudukan yang tinggi.
Badan pengelola air (water board) memiliki kedudukan yang setara dengan
municipality (Walikota) gambar mempresentasikan strata kedudukan dari
pemerintah Kerajaaan Belanda, provinsi kota dan water board. Ketua dari badan
tersebut diangkat oleh kerajaan sama dengan walikota
Badan pengelola air sudah ada sejak abad 13 dan dikenal organisasi
demokratis tertua di belanda pada Tahun 1850 jumlah distrik ada 3500, tahun
1950 berkurang menjadi 2500 dan sekarang disederhanakan menjadi 27 distrik
badan pengelola. Organisasi ini tujuan utamanya adalah Together fighting
against the water(berjuang bersama melawan air) strutktur tugas dari badan
pengelola air di Rotterdam adalah operasional dan pemeliharaan, peraturan
perundangan dan penegakan hukum, pengawasan, menguji, persiapan
menghadapi perubahan iklim dan perencanaan tata ruang serta pembayaran
pajak air.
Banjir Rob terjadi karena fenomena kenaikan muka air laut sebagai
dampak dari pemanasan global dan penurunan tanah di Rotterdam Belanda.
Model penaganan yang dipilih adalah sistem polder untuk mengisolasi aliran air
laut dan mengendalikan elevansi air dengan pompa,saluran kolam,tanggul dan
bendung atau pintu gerak,selain penangananya secara teknis juga sangat
penting adalah kelembagaan pengelolaan utamanya pada tahap operasional
dan pemeliharaan untuk itu Belanda sangat sukses dalam pengelolaan air dan
patut dicontoh oleh Indonesia
3.2 Rencana Sistem Polder Di Semarang Indonesia
Permasalahan sistem drainase Kota Semarang yang utama adalah
karena kenaikan muka air laut sebagai dampak dari pemanasan global dan
gejala penurunan elevasi tanah (Land subsidence). Di samping itu juga karena
menurunnya kapasitas saluran drainase/banjir yang disebabkan sedimentasi,
sampah, bangunan liar, meningkatnya beban drainase akibat alih fungsi lahan
yang tidak dikuti dengan pengembalian fungsi resapan dan tampungan,
operasi dan pemeliharaan yang kurang optimal dan penegakan hukum (law
inforcement) masih lemah (Nik Sutiyani et al., 2010).
Karena Semarang bawah datar dan sebagian elevasi darat lebih
rendah dari laut, maka area ini menerima aliran air hujan dari hulu, hujan
setempat dan air pasang laut. Beberapa sistem polder sederhana sudah
diaplikasikan di Kota Semarang diantaranya sub-sistem Bulu drain, Tanah
Mas dan Tawang. Namun sistem tersebut belum optimal berfungsi
diantaranya karena permasalahan daya tampung kolam retensi, kondisi
saluran dan kapasitas pompa, serta kelembagaan pengelolaan sistem polder
tersebut.
Kota Semarang dari waktu ke waktu elevasi tanah semakin lebih
rendah dari elevasi air laut. Sehingga mengalami banjir air pasang (banjir rob).
Untuk menanggulangi bencana tersebut sungai yang membawa air dari
wilayah atas disalurkan langsung ke laut dengan talud sungai yang relatif
tinggi. Sedangkan sungai yang mengalirkan air dari dalam kota secara
gravitasi tidak dapat menuju ke laut pada saat air laut pasang. Untuk itu sungai
tersebut di tutup dan diisolasi dari aliran dari air laut, sehingga memerlukan
sistem polder.

Aliran air dari wilayah atas Kota Semarang dialirkan melalui sungai
yang membatasi pusat kota Semarang yaitu sungai Banjir Kanan barat (west
floodway) dan Banjir kanal timur (est floodway). Kemudian sistem drainase
antara kedua sungai tersebut merupakan sungai dalam sistem polder. Sungai
principal drainase kota semarang yang direncanakan dan dikonstruksi adalah
Sungai Semarang dengan rencana sistem polder dengan stasiun pompa
(Semarang Pumping Station) dengan kapasitas 30 m3/s. Sedangkan sistem
polder yang juga dalam perencanaan dan konstruksi adalah sistem polder Kali
Banger dengan stasiun pompa 6 m3/s.
Kelembagaan untuk mengelola kawasan polder diperlukan Badan
Pengelola Polder, Badan ini merupakan organisasi berbasis stakeholder.
Dalam pelaksanaan operasional dan pemeliharaan, Badan ini perlu pelaksana
harian. Badan Pengelola Polder kali Banger, sudah dibentuk melalui SK
Walikota Semarang yang kemudian dinamakan BPPB SIMA.

Tugas dari badan ini bekerja sesuai tahapan manajemen konstruksi.


Pada tahap perencanaan supaya dapat mendampingi untuk mendapatkan
hasil perencanaan yang terpadu, satu kawasan satu perencanaan. Pada
tahap pengambilan keputusan supaya dilakukan bersama antara perwakilan
masyarakat, pemerintah dan sektor usaha. Pada tahap pembangunan,
mendampingi agar sesuai dengan perencanaan dan mengakomodasi
kepentingan masyarakat. Dan tugas utama Badan ini adalah saat operasional
dan pemeliharaan baik secara teknis, non-teknis dan pendanaan. Dengan
mengupayakan pendanaan dari pemerintah dan menggali pendanaan dari
masyarakat di kawasan Polder diantaranya untuk kepedulian.

Bidang pengelolaan pada tahap operasional secara teknis dapat dibagi


menjadi 3 yaitu: pengelolaan sampah dan sedimen, pengelolaan elevasi air
melalui pompa dan pengelolaan tanggul. Dalam pelaksanaan operasional dan
pemeliharaan ini BPPB SIMA memerlukan pelaksana harian.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Banjir Rob terjadi karena fenomena kenaikan muka air laut sebagai
dampak dari pemanasan global dan penurunan tanah.

2. Model penanganan dipilih adalah sistem polder untuk mengisolasi aliran


air laut dan mengendalikan elevasi air dengan pompa, saluran, kolam,
tanggul dan bendung atau pintu gerak.

3. Selain penanganan secara teknis, juga sangat penting adalah


kelembagaan pengelolaan utamanya pada tahap operasional dan
pemeliharaan untuk itu di perlu dibentuk Badan Pengelola Polder.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Ida, Diany. 2013. Best of Belanda. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Besamusca Emmeline, Verheul Jaap. 2010. Discovering the Dutch on Culture


and Society of the Netherlands. Amsterdam: Amsterdam University
Press

Arnoud Molenaar. 2008. Rotterdam Waterplan Transition In Urban Water


Management. Rotterdam: Public Works, Water Management Dept.,
March.

Helmer Johan et al., 2009. Rotterdam Polder System and Plan of K.


Banger Polder in Semarang. Waterboard HHSK Rotterdam

Herman Mondeel. 2010. “Development Banger Pilot Banger Semarang”.


Makalah Seminar Pencanangan Banger Pilot Polder, Semarang

MF. Niam, Radianta T., dan Nizam. 2002. “Simulasi Fluidisasi Dasar pada
Saluran dengan Aliran Permukaan untuk Perawatan Muara dan Alur
Pelayaran”. Tesis, Program Studi Teknik Sipil, Pascasarjana UGM

Nik Sutiyani, dkk. 2010. Pencanangan Banger Pilot Polder. Pemerintah Kota
Semarang.

Pusair. 2007. “Sistem Polder untuk Perkotaan Rawan Air”. Makalah Semiloka
Pusair.

Rosdianti, Isma. 2009. ”Banjir dan Penerapan Sistem Polder.” (online) http://
www.bencanaalam.wordpress.com

Triatmadja R. 2001. “Fluidisasi Dasar sebagai Alternatif Metoda Perawatan


Muara Sungai dan Alur Pelayaran”. Prosiding Seminar Nasional Teknik
Pantai, PSIT-UGM, pp. 94
Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai ,
Cet.I.Yogyakarta: Beta Offset

Wahyudi, S. Imam, dkk. 1999. “Evaluasi Penurunan Tanah di Areal Pelabuhan


Tanjung Emas Semarang”. J. Pondasi,

Wahyudi, S. Imam, dkk. 2001. “Studi Penanggulangan Rob


Kota Pekalongan”. Bappeda Kota Pekalongan
Wahyudi, S. Imam. 2001. “Uji Hipotesis terhadap Faktor Penyebab Banjir Rob
Kota Semarang”. Prosiding Seminar Nasional ITS, ISBN, 979-96565-
08, p.A13-1 s/d A13-6

Wahyudi, S. Imam. 2009. “Model Penanganan Kenaikan Muka Air Laut Akibat
Global Warming”. Laporan Penelitian, Hibah Kompetensi, DP2M,
DIKTI.

Weisman, R. N., et al. 1988. “Experiment on Fluidization in Unbounded


Domain”. Journal of Hydraulic Engineering, Vol. 114, No. 5, pp. 502

Weisman, R. N., Lennon, G. P. 1994. “Design ofFluidizer System for Coastal


Environment”. Journal of Waterway – Port - Coastal and Ocean
Engineering, Vol. 120, No. 5, pp. 468.

You might also like