You are on page 1of 29

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

LEUKEMIA

Disusun oleh
EVAN FAISHAL MAHADINATA
1810029012

Pembimbing
dr.Dhini Karunia, Sp.A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK

LEUKEMIA

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :
Evan Faishal Mahadinata (1810029012)

Pembimbing

dr.Dhini Karunia, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Bronkopneumonia”.
Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Dhini Karunia, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Respirologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Desember 2018

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leukemia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak – anak,
yaitu sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak – anak yang berusia
dibawah 15 tahun. Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel – sel hematopoietik
yang menyebabkan peningkatan proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan
apoptosis sel darah sehingga pertumbuhan sel yang melebihi biasanya namun
bentuk dan fungsinya menjadi tidak normal dan menimbulkan gejala – gejala
leukemia. Akibatnya pada sumsum tulang dapat terjadi gangguan bahkan kegagalan
fungsi. Leukemia dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut dan Kronis,
Leukemia Mieloblastik Akut dan Kronis.

Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan


transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor
hemopoietik sumsum tulang dini (sel blas). Kegagalan sumsum tulang seperti
anemia, neutropenia dan trombositopenia adalah akibat dari akumulasi leukosit
ganas dalam sumsum tulang walaupun dapat juga terjadi infiltrasi melalui darah
menuju ke jaringan pada organ seperti hepar, lien, kelenjar getah bening, meninges,
otak, kulit atau testis. Apabila tidak diobati penyakit ini biasanya cepat bersifat
fatal, namun lebih mudah diobati dibandingkan dengan leukemia kronik yang
progresinya lebih lambat namun lebih sulit diobati.

Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan
perawatan suportif yang lebih baik, prognosis dari anak – anak dengan leukemia
telah meningkat secara bermakna. Kini lebih dari dua per tiga pasien dengan
Leukemia Limfoblasik Akut yang diberi pengobatan akan bebas gejala selama 5
tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus, pasien – pasien tersebut akan
sembuh.

Karena kemudahan dalam memperoleh sampel limfoblas melalui sumsum


tulang dan darah, pengetahuan mengenai prinsip biologi sel tumor banyak berasal
dari penelitian terhadap leukemia pada manusia. Selain itu, informasi uji klinis dari
pengobatan leukemia telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan dasar
pengobatan dari segala jenis kanker. Penemuan terbaru sitogenetik dan biologi
molekuler pada leukemia telah memicu penelitian yang serupa pada jenis
keganasan lainnya.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai “Leukemia”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti ujian stase
Ilmu Kesehatan Anak.
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien


Nama : MAF
Umur : 1 Tahun 8 Bulan
Jenis Kelamin : Laki – laki
Alamat : Sambutan

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Bp. MT Nama Ibu : Ny. ZI
Umur : 42 Tahun Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : Swasta

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 26 Desember 2018, di ruang Melati.
heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Perdarahan gusi

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan perdarahan gusi yang sudah berlangsung
selama 2 hari. Demam dirasakan pada pasien, demam naik turun, muntah – muntah
sejak 2 hari, BAB bisa tiap 2 hari.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien pernah di rawat di RS 2 tahun lalu karena DBD.

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada penyakit yang sama dalam keluarga.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 24 Desember 2018
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Berat Badan : 9 Kg
Tinggi Badan :-
Tanda Vital : Nadi 134x/menit
Pernafasan 24x/menit
Temperatur 37,8o C
Kepala/leher
Rambut : Warna hitam
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-), pupil isokor,
diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+), edema palpebra
(+/+)
Hidung : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : Terdapat perdarahan gusi, dan bekuan darah
Leher : Pembesaran KGB (-/-)

Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi
suprasternal (-)
Palpasi : Pelebaran ICS (-), gerakan napas simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis S
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 Tunggal Reguler. Murmur (-) Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), turgor kulit baik, pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), organomegali (-)

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik
Ekstremitas inferior : Akral hangat, edema (-/-). CRT <2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium 24 Desember 2018
Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal


dilakukan didapat
Leukosit 2.610/mm3 4.500 – 14.500/ mm3
Eritrosit 2.710.000/mm3 4.000.000 – 5.200.000/mm3
Hemoglobin 7,8 g/dl 12,0 – 16,0 g/dl
Hematokrit 22,1 % 35,0 – 45.0%
Trombosit 23.000/mm3 150.000 – 450.000/ mm3
MCV 81,4 Fl 81.0 – 99.0 Fl
MCH 28,8 pg 27.0 – 31.0 pg
MCHC 35,4 g/dL 33.0 – 37.0 g/dL

Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Berat Jenis 1.015 1.003-1.030
Ketone - Negatif
Nitrit - Negatif
Leuko - Negatif
Hemoglobin - Negatif
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6,0 4,8-7,8
Protein - Negatif
Glukosa - Negatif
Bilirubin - Negatif
Urobilinogen - Negatif
Sel epitel + Sedikit
Leukosit 0-1 0-1
Eritrosit 0-1 0-1
Silinder - Negatif
Kristal - Negatif
Bakteri - Negatif
Jamur - Negatif

- Foto Polos Dada

2.5 Diagnosis Kerja


Suspek Leukemia
2.6 Tatalaksana
- Hapusan darah tepi
- Nasal kanul ½ Liter / menit
- Transfusi PRC 45 cc setelah 12 jam 90 cc
- Transfusi TC 1 Kolf / 24 jam
- Bila Demam Ampicillin 10 mg/KgBB/hari

Lembar Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Terapi


24 S: Demam (-) edem (+) A:
Desember Pucat Susp Leukemia
2018 P:
O: KU sedang, IGD:
kesadaran CM, , Nadi  DL Post Transfusi
126x/i, RR 28x/i, Suhu  Rontgen Thorax
36,7oC, SpO2 98%  Urine Lengkap
 Inf DS ½ NS 500cc/hari
 Transfusi TC 95 CC (2hr)
 Inj Furosemid 10 cc IV Extra
 Monitor pengeluaran urine
25 S: Demam (-) pucat +, A:
Desember Anemis + Suspek Leukemia
2018 O: KU sedang, P:
kesadaran CM, Nadi  PRC 95 CC (2hr)
106x/i, , SpO2 98%  TC 95 CC (3x)
Hb : 7,8 L : 2600 Ht :
22% Trombosit : 23.000

26 S: Demam (-)Pucat (+) A:


Desember Anemis Edema (+) Suspek Leukemia
2018 P:
O: KU sedang,  Nasal kanul 2 lpm
kesadaran CM, , Nadi  Paracetamol 100 mg bila demam
102x/i, RR 52x/i, Suhu  Cefotaxim 2 x 500 mg IV
36,6oC,
27 Pasien Sesak, Saturasi A : Suspek Leukemia
Menurun
Desember
2018
P:
HDT : pansitopenia, DD
Resusitasi Jantung paru MOS
Suspek kegananasan
hematologi (suspek
Leukemia) adakah klinik
organomegali
Limphodenopati ? saran
BMP

Ro Thorax : Ground
glass opacity pada kedua
paru DD efusi pleura dan
pneumonia
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari
sumsum tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama kehamilan dan
pasca natal seperti kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan paparan lainnya, ditandai
oleh adanya akumulasi proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam sumsum tulang
dan darah, dapat menimbulkan komplikasi berupa sepsis, gangguan pembekuan
darah atau akibat kemoterapi, memiliki prognosis yang sulit ditentukan (Rudolph,
Hoffman, & Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2010).

3.2. Klasifikasi
Secara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital.
Leukemia akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama sakitnya
selama pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut dan kronis
dibedakan berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi
mengarah pada leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka
diklasifikasikan leukemia kronik, sedangkan kongenital bila leukemia didiagnosa
selama 4 minggu pertama setelah kelahiran (Kliegman, Bhermann, & Jenson,
2016).7
Pada anak – anak leukemia akut lebih sering terjadi dibandingkan kronik
dimana hanya sekitar 2%. Oleh karena itu, FAB mengklasifikasikan leukemia akut
berdasarkan morfologinya sebagai berikut (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016)3
:
1. Leukemia Limfoblastik Akut
L1 : sel – sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak tampak
dengan kromatin homogen
L2 : Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih kasar, satu
atau lebih anak inti
L3 : Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti banyak,
kromatin berbercak.
2. Leukemia Myeloid Akut
M0 : Diferensiasi minimal dari myeloid
M1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan Auer rods
M2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan Auer rods
M3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer rods
M4 : Myelomonoblastik
M5 : Monoblastik
M6 : Eritroleukemik atau eritroblastik
M7 : Megakaryoblastik

Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen pada


limfoid, dihasilkan klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B, transisional
pre-B, sel pre-B dan sel pre-B muda. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan
leukemia sesuai tahap maturasi normal (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016);
(Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak – anak, meskipun begitu
leukemia kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya
pada orang dewasa berusia 60 – 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana
berkisar 1 – 2% dari leukemia pada anak – anak.

Klasifikasi Leukemia Myeloid Kronik5 :

1. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia positif


2. Leukemia mieloid kronik, Philadelphia negative
3. Leukemia mieloid kronik juvenilis
4. Leukemia neutrofilik kronis
5. Leukemia eosinofilik
6. Leukemia mielomonositik kronik

3.3. Epidemiologi
Insidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 – 6 tahun,
terutama sekitar usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada
anak perempuan. Umumnya leukemia pada anak – anak dengan keadaan kromosom
yang abnormal. Pada anak kembar, bila salah satu anak menderita leukemia maka
resiko dari kembarannya jauh lebih besar daripada anak pada umumnya yaitu lebih
dari 70% bila anak yang pertama terdiagnosa kurang dari 1 tahun dan merupakan
kembar monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai
pada anak yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak, prevalensi menurun
ketika berusia lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%, maka dapat
disimpulkan pada anak lebih sering terjadi leukemia akut yaitu 97% dari seluruh
leukemia pada anak dimana leukemia kronik hanya 3% (Kliegman, Bhermann, &
Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam,
2010).5,6

3.4. Etiologi
Pada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan dengan leukemia pada
anak termasuk genetik, lingkungan dan keadaan imunodefisiensi. Anak – anak
dengan cacat genetik seperti sindrom Down dan keadaan ketidakstabilan kromosom
lebih beresiko menderita leukemia. Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak
menunjukkan peningkatan insidensi LLA meskipun kasusnya sangat sedikit. Pada
beberapa negara berkembang terdapat hubungan antara anak yang terkena leukemia
dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi dari sel progenitor limfoid.
Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu hamil ditentukan dari pola hidupnya
selama hamil seperti mengkonsumsi alkohol, obat terlarang maupun paparan
kimiawi lainnya (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016); (Rudolph, Hoffman, &
Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

3.5. Patogenesis
Pada LLA komponen progenitor sel limfoid mengalami perubahan dan disregulasi
proliferasi dengan ekspansi klonal. Sel limfoid yang bertransformasi
menggambarkan ekspresi gen yang berubah yang terlibat dalam perkembangan
normal sel B dan sel T. Beberapa studi menunjukkan bahwa sel punca leukemik
ada pada jenis tertentu dari LLA.

LMA pada umumnya berkaita dengan fusi gen yang menyebabkan translokasi
kromosom. Banyak tranlokasi merupakan karakteristik beberapa subtipe leukemia
akut dan terkadang membantu memprediksi prognosis. Sel leukemik yang tidak lagi
mengalami siklus hidup sel yang normal. Kehilangan kemampuannya untuk
apoptosis dan memiliki waktu hidup yang lebih lama serta mengalami proliferasi
tanpa batas sehingga berkompetisi dengan sel hemapoetik yang normal, hasilnya
adalah akumulasi sel abnormal dengan defek kualitatif. Penyebab utama morbiditas
dan mortalitas adalah defisiensi sel hematopoetik yang normal dibandingkan
dengan sel yang ganas.

3.6. Manifestasi Klinis


1. Leukemia Limfoblastik Akut
Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan singkat
bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi ketika melakukan
pemeriksaan rutin. Kebanyakan pasien mendapati keluhan seperti demam selama 3
– 4 minggu sebelum terdiagnosa, bersifat intermiten. Selain itu juga disertai keluhan
karena kegagalan sumsum tulang seperti :
a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea
b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya
c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan menoragia.

Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri
pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom
meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia) (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016); (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018).,5

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie,


limfadenopati dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak pucat
dan lesu, perdarahan kulit dapat pula berupa purpura ataupun ekimosis, perdarahan
pada mukosa. Keluhan nyeri tulang dan sendi dapat ditemukan adanya
pembengkakan sendi dan efusi terutama pada ekstremitas bawah. Keterlibatan
leukemia terhadap susunan saraf pusat jarang terjadi, meskipun ada dapat berupa
papil edema, perdarahan retina, kelumpuhan saraf kranial, paraplegia dan
paraparese. Tanda lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ lain berupa pembesaran
kelenjar saliva, pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal insufisiensi yang
ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan karena
anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa pembesaran
thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel T.4,6,7

2. Leukemia Mieloid Akut


Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL yaitu
karena penumpukan sumsum tulang akan sel – sel ganas yang menyebabkan
kegagalan sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan mempunyai gejala –
gejala yang ditemukan pada kegagalan sumsum tulang ALL juga. Terdapat
beberapa gejala pada LMA yang tidak muncul pada LLA yaitu nodul subkutan,
hipertrofi gusi karena infiltrasi leukosit dan pada LMA dapat terjadi disseminated
intravascular coagulation (DIC) dengan perdarahan yang serius, dapat juga
ditemukan tumor local atau kloroma (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).4,5

3. Leukemia Mieloid Kronik


Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat
juga terjadi pada anak – anak dan neonatus. Etiologi dan faktor predisposisi tidak
diketahui, pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada pemeriksaan
rutin anak sehat. Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti demam, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun, nyeri abdomen atau nyeri tulang dan
hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase kronis, fase akselerasi, dan krisis blas. Fase
kronis dapat berlangsung selama bertahun – tahun, hiperproliferasi elemen myeloid
matur, yang nantinya fakan masuk ke fase akselerasi dan fase blas, mengalami
leukemia yang nyata dimana secara morfologis ditemukan mieloblas namun dapat
juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai fase blas, jumlah darah meningkat
tajam dan tidak terkontrol dengan obat lagi, biasanya pasien akan meninggal pada
usia 3 – 4 tahun setelah onset (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016). 4,5

3.7. Pemeriksaan Penunjang


Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan sudah
sejauh mana progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya, diperlukan beberapa
pemeriksaan seperti :

1. Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung
meningkat meskipun bisa normal atau menurun. Jumlah leukosit adalah hasil yang
paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif hingga lebih
dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC
dan leukostasis. Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 – 50.000/mm3
pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat sampai diatas
100.000/mm3. Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus AML juga perlu
dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi


Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia
dimana terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai adanya
kelainan struktur atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT menunjukkan
ditemukannya sel blas dengan jumlah yang bervariasi. Khusus pada LMK
didapatkan jumlah basophil yang meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai,
namun ketika masuk fase krisis blas secara morfologis ditemukan mieloblas
meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi limfoblas.

3. Pemeriksaan sumsum tulang


Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang
akan memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih
dari 30%. Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas, hasil pemeriksaan sumsum
tulang akan menunjukkan hiperseluler dengan maturasi mieloid yang normal.

4. Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat
menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel
leukemia.
5. Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi
osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran thymus
dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.

6. Fungsi hati dan ginjal


Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai pengobatan.

7. Pemeriksaan biokimia darah


Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat
dehydrogenase serum yang meningkat, dan lebih jarang, hiperkalsemia. Keadaaan
hiperurisemia dapat mengarah kepada gagal ginjal akut.

8. Analisis sitogenetik darah


Pada kira – kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia myeloid
kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom ini berkaitan
dengan t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia akut bertujuan
untuk menentukan klasifikasi leukemia.

3.8. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai
untuk menegakkan diagnosis leukemia. Untuk diagnosis pasti harus dilakukan
aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan
penunjang yang telah disebutkan sebelumnya. Anemia dan trombositopenia sering
tampak pada sebagian besar pasien. Sel leukemia sering tidak tampak pada darah
perifer dalam pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia
tersebut sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal. Bila hasil analisis darah perifer
mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan
dengan tepat untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS dapat menentukan
derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut
leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi
SSP dan sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit >
50.000/mm3, massa mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1
minggu terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2010).
Diagnosis LMA dapat diawali sebagai prolonged preleukemia, yaitu
kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter,
neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan
leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas, biasanya hiperseluler, kadang
hiposeluler yang akan menjadi leukemia akut. Kondisi ini sering mengarah pada
sindrom mielodiplastik dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

3.9. Diagnosis Banding


Gejala klinis dan pemeriksaan fisik pada awal manifestasi leukemia sangat
tidak spesifik dan tidak khas sehingga banyak penyakit lain yang dapat dipikirkan
sebelum melakukan pemeriksaan penunjang dan menegakkan diagnosis leukemia.
Onset akut dari petekie, ekimosis dan perdarahan dapat mengarah pada
idiopatik trombositopenia dengan trombosit yang berukuran besar tanpa ada tanda
– tanda anemia. Demam dan pembengkakan sendi dapat menyerupai penyakit
rheumatologi seperti juvenile rheumatoid arthritis dan demam rematik, penyakit
kolagen vaskuler, atau osteomyelitis (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016;
Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018).
Baik pada leukemia atau anemia aplastic keduanya memiliki gambaran
pansitopenia dan komplikasinya sama – sama kegagalan sumsum tulang, namun
pada anemia aplastic hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak ditemukan, dan
tidak ada lesi osteolitik seperti pada leukemia. Biopsi atau aspirasi sumsum tulang
akan menegakkan diagnosis (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018).
Infeksi virus pada anak – anak seringkali membuat diagnose leukemia sulit
ditegakkan terutama infeksi yang berkaitan dengan trombositopenia atau anemia
hemolitik. Membedakannya yaitu dengan kehadiran limfosit atipikal dan titer virus
yang meningkat. Demam dengan onset akut dan limfadenopati pada mononucleosis
sangat perlu dicurigai, begitu pula dengan pertussis dan parapertusis dimana terjadi
peningkatan leukosit hingga 50.000 – 100.000/mm3 namun bukan sel limfosit
leukemik (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman, Bhermann, &
Jenson, 2016).
Penyakit keganasan lain yang bermetastasis menyerang sumsum tulang dan
menyebabkan kegagalan sumsum tulang antara lain neuroblastoma,
rhabdomyosarkoma, retinoblastoma dan Ewing sarcoma. Sel – sel pada keganasan
– keganasan ini biasanya berkelompok dan tumor primer dapat ditemukan
(Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).2
Leukemia pada anak sendiri harus dibedakan antara LLA, LMA, LMK dan
myelodisplasia. Gangguan mieloproliferatif juga menjadi diagnosis banding pada
bayi sindrom Down dengan leukositosis dan left shift (Rudolph, Hoffman, &
Rudolph, 2018).
Leukositosis akibat respons terhadap infeksi dapat menjadi berlebihan hingga
mencapai diatas 50.000/mm3. Jika leukosit bukan merupakan sel blas yang maligna,
sindrom ini disebut reaksi leukemoid, sering terdapat peningkatan myeloid imatur
atau prekursor limfoid di dalam darah perifer. Pada pemeriksaan sumsum tulang
secara khas menunjukkan hyperplasia myeloid dengan maturasi normal. Penyebab
lain reaksi leukemoid adalah penyakit granulomatosa, hemolysis berat, vaskulitis,
obat – obatan dan adanya tumor yang metastasis ke sumsum tulang.4

3.10. Tatalaksana
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase , diantaranya
ialah :
1. Fase remisi induksi
2. Fase intensif
3. Terapi susunan saraf pusat
4. Rumatan

Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari
sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak lagi
tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin setiap
minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya
98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien dengan resiko tinggi juga
diberikan daunomycin setiap minggu (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018);
(Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).

Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas <
5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12 g/dl
tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS normal. Tujuan pada
fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul resisten
hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi remisi dan intensif dilakukan
sampai 4 minggu (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman, Bhermann,
& Jenson, 2016).

Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps


leukemia terjadi di saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang
ditemukan sel leukemia pada pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan kemoterapi
injeksi metotreksat intratekal pada lumbal pungsi dan kemoterapi sistemik. Injeksi
intratekal metotreksat sering dikombinasi dengan infus berulang metotreksat dosis
sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2). Pada pasien dengan tanda klinis
leukemia SSP perlu pengobatan dengan radiasi otak dan medula spinalis
(Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena,
Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per
minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun (Rudolph, Hoffman, &
Rudolph, 2018).

Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling


efektif, terutama pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons dengan
pengobatan konvensional. Beberapa pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan
transplantasi pada remisi pertama tetapi masih diperdebatkan. Meskipun sangat
efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-host atau bahkan graft-versus-leukemia
(Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena,
Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 – 200


mg/m2/hari IV selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari. Pada
LMA jarang diberikan terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat. Pada LMA
tipe M3 pengobatan dengan asam retinoat yang dikombinasikan dengan
antracycline dilaporkan sangat responsive sehingga tidak diperlukan transplantasi
sumsum tulang pada remisi pertama (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016);
(Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien
dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat menurunkan
leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib. Mengingat bahaya
dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu – satunya pengobatan yang
dapat meradikasi sel leukemia (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016).

Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti


hidrasi, alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat
kemoterapi yang dapat membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering
menyebabkan mielosupresi sehingga kadang transfuse eritrosit dan trombosit juga
diperlukan. Antibiotik dapat diberikan bila terdapat infeksi, namun profilaksis harus
diberikan untuk mencegah infeksi sekunder khususnya pneumonia hingga beberapa
bulan setelah pengobatan selesai (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).

3.11. Komplikasi
Pada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang
lisis dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan
hiperfosfatemia ysang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena
infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang
disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak
rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau
terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa.
Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular
coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat menyebabkan
leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan intelektual pada
beberapa anak (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).
Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi
lebih dari 100.000/mm3. Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA
dan pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik. Tindakan antisipasi dimulai
saat jumlah leukosit 50.000/mm3 dengan peningkatan dosis kemoterapi yang
perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada LLA.
Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency oncology) karena
komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain3 :
1. Sindroma leukostasis
Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi
terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena ukuran
mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku. Leukostasis di
otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari pusing hingga peningkatan tekanan
intracranial. Leukostasis di paru menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas.
Pemberian leukoferesis dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti
dengan hidroksiurea (50-100 mg/kgBB). Oksigen adekuat dan koreksi jumlah
trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).

2. Sindroma lisis tumor


Akibat lisisnya sel leukemia setelah kemoterapi sehingga terjadi
hiperurisemia, hiperfosfatemia, azotemia dan hipokalsemia yang tidak bisa
diekskresi ginjal menimbulkan manifestasi gangguan metabolic. Sindroma lisis
tumor lebih sering terjadi pada LLA. Gagal ginjal dapat terjadi bila asam urat serum
lebih dari 20 mg/dl, perlu pemberian allopurinol, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dan hidrasi yang cukup. Natrium bikarbonat dihentikan bila pH urin >
7,5 karena bila berlebihan justru menciptakan suasana basa yang memudahkan
pengendapan kalsium fosfat sehingga terjadi hipokalsemia. Sementara
hiperfosfatemia terus terjadi selama lisis dari sel tumor, dapat diberikan insulin dan
glukosa sebagai bahan pengikat fosfat. Hiperkalemia > 7,5 mEq/L harus diatasi
segera dengan kayesalate (1 g/kg dicampur 50% sorbitol, per oral). Ini dapat terjadi
dari lisis sel tumor atau oliguria dari hiperurisemia yang berdampak aritmia jantung
sehingga perlu pemeriksaan EKG (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2010).

3.12. Prognosis
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa berdasarkan
faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA semakin baik bila
responsive terhadap pengobatan dimana dalam pengobatan 1 minggu sel blas sudah
tidak tampak pada darah tepi dan sumsum tulang. Faktor lain yang mempengaruhi
peningkatan prognosis LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia
diantara 1 – 15 tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA
hyperploid (>50 kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada
LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran splenomegaly,
adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2 tahun dan > 4 tahun dan
leukemia monoblastik (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Perjalanan Leukemia LLA dan LMA Pasien datang dengan keluhan
tidak spesifik dan berjalan singkat dari perdarahan gusi yang sudah
anamnesis dapat ditemukan berlangsung selama 2 hari. Demam
- Anoreksia dirasakan pada pasien, demam naik
- Kelelahan turun, muntah – muntah sejak 2 hari,
- Gelisah BAB bisa tiap 2 hari.
- Demam hilang timbul
- Nyeri tulang sendi
- Riwayat ISPA
- Pucat
- Fatigue
- Memar
- Mimisan
- Perdarahan

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
- Pemeriksaan fisik ditemukan tanda - Pada pasien ditemukan
klinis : - Perdararahan mukosa gusi
- Pucat - Pucat
- Lesu - Lesu
- Purpura - Edem Palpebra
- Petekie - Demam yang naik turun
- Perdarahan Membran Mukosa
- Limfadenopati
- Hepatomegali
- Spleomegali
- Pembekan sendi dan efusi pada
pasien yang efusi
- Masa Mediastinum
-

4.3 Pemeriksaan Penunjang


Teori Kasus
Pemeriksaan Penunjang didapatkan
 Darah lengkap
 Anemia
Darah lengkap :
 Trombositopenia
- Leukosit 2.610 /µL
 Leukosit < 10.000 / > 80.000
- Hemoglobin 7,8 g/dl
 Hapusan Darah tepi
- Hematokrit 22,1 %
 Anemia normositik normokrom
- MCV 81,4 fL
umumnya terjadi pada kasus leukemia - MCH 28,8 pg
dimana terjadi penurunan jumlah
- MCHC 35,4 g/dL
ertirosit yang dibentuk tanpa disertai - Trombosit 23.000 /µL
adanya kelainan struktur atau
Hapusan Darah Tepi
komponennya. Hasil pemeriksaan
 Pansitopenia
SADT menunjukkan ditemukannya sel
 Eritosit Normositik Normoblast
blas dengan jumlah yang bervariasi.
 Leukosit Jumlah menurun L >
Khusus pada LMK didapatkan jumlah
PMN, beberapa sel pleimorfik
basophil yang meningkat dan sel blas
suspek blas
tidak banyak dijumpai, namun ketika
 DD suspek keganasan
masuk fase krisis blas secara
Foto Thorax
morfologis ditemukan mieloblas
 Ground glass opacity pada
meningkat, tetapi dapat juga terjadi
kedua paru DD efusi pleura dan
transformasi limfoblas
pneumonia
 Foto Thorax
Pemeriksaan sinar X mungkin
diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi
osteolitik dan massa di mediastinum anterior
yang disebabkan pembesaran thymus
dan/atau kelenjar getah bening mediastinum
yang khas untuk LLA-T.
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Secara umum diagnosis dari pasien suspek leukemia sudah sesuai dengan apa
yang ada di teori. Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang
berasal dari sumsum tulang yang ditandai dengan akumulasi proliferasi leukosit dan
sel abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Penyebabnya tidak diketahui secara
pasti namun faktor resiko seperti genetic, lingkungan, radiasi, infeksi dan keadaan
imunosupresi memiliki hubungan dengan angka kesakitan leukemia. Leukemia
pada anak 97% adalah akut dimana 85% ialah LLA dan 17% LMA, sementara
leukemia kronik hanya 2% pada anak. Faktor tersebut akan mencetuskan modifikasi
nucleus DNA sehingga terbentuk clone yang abnormal dan terjadi kelainan
proliferasi, sitogenetik, morfologi dan diferensiasi. Manifestasi klinis yang timbul
berupa akibat dari kegagalan sumsum tulang dan infiltrasi leukosit ke organ
sehingga dapat ditemukan organomegali. Gejala sering tidak spesifik dan hanya
berupa demam. Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu beberapa
pemeriksaan penunjang dengan peningkatan jumlah leukosit, tampak sel leukemia
pada darah tepi, sumsum tulang dan LCS, dan pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis
pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan
memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari
30%.

Leukemia perlu dibedakan dengan reaksi leukemoid dimana hanya terjadi


peningkatan leukosit tanpa ada perubahan morfologi. Perlu juga disingkirkan
penyebab demam dan kegagalan sumsum tulang. Pengobatan dengan kemoterapi
bertujuan mengeradikasi sel blas dari darah dan sumsum tulang untuk mencapai
remisi, juga melakukan profilasis terhadap relaps di SSP yang dilanjutkan
kemoterapi rumatan selama 2 tahun. Transplantasi sumsum tulang bisa dilakukan
bila relaps gagal dengan terapi konvensional. Komplikasi yang timbul dapat akibat
dari penyakitnya atau terapinya. Prognosis dari pasien leukemia tergantung dari
respon terapi awal, jumlah leukosit awal, usia dan jenis kelamin.
Daftar Pustaka

Kliegman, M. R., Bhermann, R. E., & Jenson, H. B. (2016). Nelson Textbook of


Pediatrics. USA: ElSevier.

Parmono, B., Sutaryo, Ugrasena, I., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2010).
Buku Ajar Hematologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Rudolph, M. R., Hoffman, J., & Rudolph, C. (2018). Rudolph's Pediatrics. USA:
McGraw-Hill.

You might also like