Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
dr. Iqbal Fahmi
Pendamping:
dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Penelitian Mini Project ini yang disusun
dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat dalam pelaksanaan Program Dokter
Internship di Puskesmas Banjar I Buleleng.
Karya tulis ini dapat tersusun dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya atas bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, antara lain kepada:
1. drg. I Putu Novara Sona selaku Kepala Puskesmas Banjar 1 Buleleng atas ijin
penelitian yang diberikan
2. dr. Ni Ketut Wenny Christiyanti selaku pembimbing doter internship atas kritik, saran
dan bimbingannya.
3. Pemegang program rabies
4. Seluruh staf Puskesmas Banjar I Buleleng
Demikian pengantar dari penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan kesehatan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas Banjar I Buleleng, terutama mengenai pengendalian rabies.
Penulis,
Iqbal Fahmi
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul .................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 4
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................................................... 4
iii
3.5 Teknik Pengambilan Data ...................................................................................... 14
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Distribusi Kasus Kematian Akibat Rabies pada Manusia Tahun
2014 – 2016 Menurut Provinsi ....................................................................................... 1
Tabel 2. Jumlah Kasus GHPR per Bulan di Puskesmas Banjar I Buleleng ........... 15
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
Tabel 1. Tabel Distribusi Kasus Kematian Akibat Rabies pada Manusia Tahun 2014-2016
Menurut Provinsi
Berdasarkan tabel tersebut terlihat provinsi dengan kasus kematian akibat penyakit
rabies tertinggi selama tiga tahun berturut-turut yaitu Sulawesi Utara. Pada tahun 2016,
hampir seperempat kasus terjadi di provinsi tersebut.
Bali dinyatakan positif terjangkit rabies sejak tahun 2008. Kondisi tersebut dinyatakan
dalam Peraturan Gubernur Bali No 88/2008; Peraturan Mentri Pertanian N0 1637/2008 (1
Desember 2008). Sebelumnya, Bali merupakan suatu wilayah keresidenan di Indonesia yang
bebas rabies (Depkes, 2016).
Di Bali, kasus rabies pada anjing pertama kali dilaporkan terjadi di Desa Kedonganan,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, dan kasus pada manusia dilaporkan terjadi pada bulan
November tahun 2008 di Desa Ungasan, Kecamatan Kuta. Berdasarkan kajian kasus rabies
pada manusia dan hewan, diperkirakan penyakit rabies masuk ke Semenanjung Bukit,
2
Kabupaten Badung pada bulan April 2008 (Putra et al., 2009). Penyakit rabies saat itu terus
menyebar menular secara cepat hingga bulan Juni 2010 di seluruh kota dan kabupaten di
Bali. (Putra, 2010).
Bali sebagai daerah tujuan wisata baik nasional dan internasional, adanya kejadian
dapat memberikan dampak yang sangat luas baik dari aspek kesehatan, ekonomi, sosial dan
budaya sampai keamanan dan ketertiban masyarakat. Penyakit rabies mengakibatkan
menurunnya jumlah kunjungan wisatawan asing, yang berdampak buruk bagi pendapatan
masyarakat, karena sebagian besar masyarakat di Bali perekonomiannya sangat bergantung
dari sektor pariwisata (Novianti, 2018).
Banyaknya penularan rabies oleh anjing, karena sistem pemeliharaan anjing yang ada
di Bali seperti anjing peliharaan yang dibebasliarkan, tidak divaksin dan juga kurangnya
pemahaman masyarakat terhadap penyakit rabies itu sendiri (Batan et al., 2014). Faktor –
faktor resiko penyakit rabies di Bali menurut Dibia et al., (2015) adalah jumlah anjing yang
dipelihara, kontak dengan anjing, status vaksinasi rabies, pemeriksaan kesehatan anjing.
Peningkatan kasus rabies di Buleleng diikuti pula dengan bertambahnya jumlah desa yang
tertular di Kabupaten Buleleng yakni pada tahun pertama penyebaran rabies jumlah desa
yang tertular 20 desa, hingga saat ini sudah hampir semua daerah di Kabupaten Buleleng
positif rabies (Novianti, 2018).
3
Puskesmas Banjar I Buleleng terletak di Desa Banjar, Kecamatan Banjar, Kabupaten
Buleleng, Provinsi Bali. Puskesmas Banjar I Buleleng mewilayahi 11 desa yang ada di
Kecamatan Banjar. Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Banjar I Buleleng pada
tahun 2017 adalah 57.022 jiwa. Di Desa Kaliasem terdapat 7 dusun dengan jumlah penduduk
6.709 jiwa. Sementara, di Desa Tigawasa terdapat 9 dusun dengan jumlah penduduk 5.735
jiwa (Profil Puskemas Banjar I Buleleng, 2017). Indikator yang digunakan untuk memantau
upaya pengendalian rabies antara lain, kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus
yang divaksinasi dengan Vaksin Anti Rabies (VAR), dan kasus kematian akibat rabies
berdasarkan uji Lyssa. Oleh karena itu, dibutuhkan studi tentang kasus gigitan hewan penular
rabies (Kemenkes, 2016).
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengetahui distribusi kasus GHPR
(Gigitan Hewan Penular Rabies), membuat program pencegahan penularan rabies dan
mengambil keputusan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
b. Bagi Masyarakat
c. Bagi Penulis
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dalam Bahasa Latin, rabies berarti “gila”. Rabies merupakan penyakit yang sudah ada
sejak zaman dahulu dan merupakan penyakit zoonosis yang paling sering terjadi (WHO,
2013). Virus rabies dapat ditularkan melalui Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), yaitu
anjing, kucing, monyet, atau musang. Infeksi virus rabies menyerang system saraf pusat
dengan sangat progresif dan dapat menyebabkan ensefalomielitis yang berakibat fatal
(Knobel, 2005).
2.2 Epidemiologi
Meski dengan kemajuan teknologi dan vaksinasi saat ini, rabies masih menjadi infeksi
yang fatal bagi manusia dan hewan (Pal, 2007). Kejadian rabies pada hewan maupun manusia
hampir selalu diakhiri kematian dengan case fatality rate hampir 100%. Sampai sekarang
belum ada obat yang efektif untuk pengobatan penyakit rabies. Sekitar 55.000 orang di
seluruh dunia meninggal akibat rabies. Kejadian sebenarnya kemungkinan lebih besar karena
tingginya angka under-reporting. Sistem pelaporan data yang lebih baik dan akurat sangat
diperlukan (Kemenkes, 2016).
Menurut WHO, anjing rumahan merupakan reservoir paling umum dari virus rabies.
Lebih dari 95% kasus kematian rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing, diikuti
dengan monyet dan kucing. Sekitar 40% kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)
adalah anak anak usia di bawah 15 tahun (Kemenkes, 2014). Di wilayah Asia Timur-Selatan
(South-East Asia Region/SEAR), lebih dari 1,4 miliar orang di wilayah Asia Timur dan
Selatan berisiko terinfeksi rabies. Di Asia Timur dan Selatan, setiap tahun, sekitar 23.000-
25.000 orang meninggal (SEARO WHO, 2012).
Sementara, penyakit rabies di Indonesia dikenal pertama kali pada tahun 1884 oleh
Esser. Saat itu dilaporkan seekor kerbau menderita rabies dan pada 1894 pertama kali
dilaporkan rabies pada manusia oleh E.V.de Haan (WHO, 2001). Penyebaran rabies di
Indonesia bermula dari 3 provinsi, yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan
5
sejak sebelum dimulainya Perang Dunia II. Hingga saat ini, hanya 9 provinsi di Indonesia
yang dinyatakan bebas rabies (SEARO WHO, 2012) Pada tahun 2016, total dilaporkan
80.403 Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dan 86 orang dilaporkan meninggal dunia
(Kemenkes, 2016).
2.3 Etiologi
Rabies disebabkan oleh Rabies virus (RABV) dan spesies Lyssavirus lainnya dalam
famili Rhabdovirida, ordo Mononegavirales (Albertini, 2011). Lyssavirus merupakan virus
RNA yang memiliki 5 protein: nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), protein matriks (M),
glikoprotein (G), dan protein besar/large protein (L) yang merupakan RNA polimerase.
Partikel Lyssavirus berbentuk seperti peluru dengan ukuran panjang 100-300 nanometer dan
diameter 75 nanometer (Ge, 2010). Glikoprotein adalah yang berperan dalam patogenesisnya
(Lafon, 1994). RABV sangat sensitive dengan perubahan lingkungan dan dapat hancur
dengan cepat jika terpapar sinar matahari langsung, ultraviolet, panas, pelarut lemak (alcohol
70% atau eter), natrium deoksikolat, tripsin, dan deterjen (Awoyomi, 2007).
2.4 Patogenesis
Virus rabies sangat bersifat neurotropik dan menyebabkan ensefalitis yang fatal jika
masuk ke dalam system saraf pusat (Madhusudana, 2010). Transmisi Lyssavirus paling sering
melalui luka gigitan hewan yang terkontaminasi air liur hewan yang terinfeksi virus rabies
(Frymus, 2009). Virus rabies tidak dapat masuk menembus kulit yang intak (Ugolini, 2010).
Cara penularan yang lebih jarang terjadi adalah melalui kontak air liur dengan mukosa (mata,
hidung, dan mulut), transmisi melalui udara, dan transplantasi kornea (Alabama Department
of Public Health, 2010).
Ketika masuk ke dalam tubuh, virus kemudian menginfeksi neuron sensoris dan
motoris lokal, bereplikasi di sel otot rangka atau menempel langsung pada ujung neuron,
yaitu pada reseptor asetilkolin nikotinik pada motor-end plates (Warrel, 2004). Setelah
menginfiltrasi saraf perifer, virus kemudian bermigrasi secara retrograd melalui akson dengan
arah sentripetal menuju sistem saraf pusat (WHO, 2013). Neuron yang terinfeksi akan
6
mengeluarkan badan inklusi eosinofilik pada sitoplasma yang disebut Badan Negri. Badan
Negri paling jelas terlihat pada neuron yang besar, seperti sel Purkinje (Rossiter, 2007).
Saat mencapai sistem saraf pusat, virus kembali bereplikasi dengan masif di dalam
akson. Kemudian virus berpindah perlahan secara sentrifugal ke ventral roots ganglia dan
perifer. Pada akhirnya, virus mencapai dorsal root ganglia dan menginfeksi serabut otot,
kulit, folikel rambut, dan jaringan lainnya, seperti kelenjar air liur, otot jantung, paru-paru,
dan organ dalam abdomen melalui inervasi saraf sensorisnya (Hemachudha, 2013).
Infiltrasi virus pada ganglion spinal, baik dorsal maupun ventral, akan berujung pada
paralisis. Sementara, masuknya virus ke dalam otak akan mengiritasi pusat fungsi luhur
mengakibatkan munculnya perilaku maniak, yang hampir selalu menetap hingga kematian.
Selain itu, ganguan pada sistem saraf pusat juga mengakibatkan konvulsi dan agitasi.
Manifestasi klinis lain seperti salivasi, pika, paralisis kandung kemih dan anus, serta
peningkatan libido mengindikasikan keterlibatan sistem saraf otonom, termasuk kelenjar
endokrin. Pada akhirnya, kematian biasanya disebabkan oleh paralisis pernapasan (Radostits,
2007).
7
Setelah stadium ini, hewan bisa memasuki stadium eksitasi, paralisis, atau langsung
mati (Ogunkoya, 2007).
Stadium eksitasi (furious) ditandai dengan agrisivitas yang meningkat. Hewan
cenderung suka menggigit benda yang tidak bergerak atau hewan lain. Hewan juga
dapat hilang atau pergi ke tempat yang jauh. Stadium ini lebih sering terlihat pada
rabies di anjing dan kucing (Knobel, 2005).
Sementara, stadium paralisis/dumb ditandai dengan paralisis yang progresif.
Tenggorokan dan otot masseter mengalami paralisis, membuat hewan tidak bisa
menelan dan mengeluarkan air liur terus menerus. Rahang bawah akan terjatuh,
sehingga hewan terlihat selalu menganga. Selanjutnya, koordinasi gerakan memburuk
dan terjadi ataksia. Akhirnya, kematian akan terjadi dalam 2-6 hari karena kegagalan
napas (The Center for Food Security and Public Health, 2009).
8
2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis mudah dilakukan pada kasus dengan manifestasi klinis yang khas
disertai dengan riwayat paparan atau gigitan hewan. Namun, jika tanpa gejala yang khas atau
tanpa riwayat yang jelas, diagnosis klinis sangat sulit dilakukakan dan dibutuhkan
pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium untuk
rabies bertujuan untuk mendeteksi antigen, antibodi, dan RNA virus, serta mengisolasi virus
rabies. (WHO, 2013). Namun, pemeriksaan laboratorium kurang bermakna untuk diagnosis
antemortem (Kemenkes, 2014). Penegakan diagnosis pastinya dilakukan pada kondisi
postmortem (WHO, 2013).
9
2.7 Tata Laksana
Tidak ada penanganan khusus untuk hewan ketika tanda-tanda klinis sudah muncul.
Pemberian profilaksis pasca pajanan (post-exposure prophylaxis/PEP) tidak dianjurkan
karena justru akan meningkatkan risiko paparan pada manusia. Bahkan, di Amerika Serikat
dan banyak negara Eropa, pemberian PEP sudah dilarang (The Center for Food Security and
Public Health, 2012).
Tatalaksana gigitan hewan penular rabies diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Prinsip tatalaksana kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) adalah
pembersihan luka dan vaksinasi. Luka gigitan harus segera dicuci dengan deterjen selama 5-
10 menit dan dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement, dan diberikan desinfektan,
seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii, atau larutan ephiran. Jika terkena mukosa seperti
mata, hidung, atau mulut, pencucian dilakukan lebih lama.
Selanjutnya, tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala
rabies. Pasien yang secara klinis dicurigai terinfeksi rabies harus diisolasi segera untuk
menghindari rangsangan yang dapat menimbulkan spasme otot dan mencegah penularan.
Penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal
napas. Prognosis rabies pada umumnya sangat buruk, dengan angka kematian mencapai
100% jika virus sudah mencapai sistem saraf pusat.
2.8 Pencegahan
Pencegahan rabies pada hewan sangat penting. Rabies pada hewan dapat dicegah
dengan pemberian vaksin pada hewan rumahan dan menghindari kontak dengan hewan liar
(The Center for Food Security and Public Health, 2009). Cara paling mudah dan murah
adalah dengan vaksinasi massal untuk anjing. Tujuannya adalah untuk memvaksinasi
sebanyak mungkin anjing. Namun, herd immunity akan tercapai jika cakupan vaksinasi
mencapai 90% (WHO, 2013). Hewan penular rabies divaksinasi pada usia tiga bulan, satu
tahun kemudian, dan selanjutnya direvaksinasi tiap tiga tahun (David, 2001). Hewan yang
belum divaksin dan terpajan hewan rabies harus dibunuh secepatnya atau diisolasi ketat
selama 6 bulan (Hanlon, 2002).
10
Pada manusia, walaupun angka kematian rabies mencapai 100% jika mencapai sistem
saraf pusat, penyakit ini dapat dicegah 100% dengan perawatan awal luka yang baik dan
pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR). Dosis pemberian SAR
heterolog yang berasal dari serum kuda adalah 40 IU/kgBB. Suntikan diberikan secara
infiltrasi sebanyak mungkin pada luka dan sisanya disuntikkan secara IM setelah dilakukan
skin test. Sedangkan serum homolog, diberikan sebanyak 20 IU/kgBB dengan cara yang
sama.
Pemberian VAR dilakukan dalam 10 hari pasca pajanan yang disebut dengan post-
exposure prophylaxis (PEP). VAR diberikan secara intramuskular pada otot deltoid atau
anterolateral paha. Ada dua regimen VAR, yaitu regimen Essen yang direkomendasikan oleh
WHO dan regimen Zagreb yang direkomendasikan oleh Depkes RI. Regimen Essen
diberikan sebanyak 0,5 ml pada hari ke 0, 3, 7, 14, dan 28. Sementara regimen Zagreb
diberikan sebanyak 0,5 ml pada hari ke 0, 7, dan 21. Pada orang yang sudah mendapat vaksin
lengkap dalam waktu 5 tahun terakhir, jika tergigit kembali, vaksin cukup diberikan dua dosis
pada hari ke-0 dan ke-3. Namun, diberikan lengkap bila gigitan berat.
Pada luka gigitan yang berat, seperti gigitan pada daerah leher ke atas, jari tangan,
atau area genital, diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Diberikan dengan cara setengah
dosis disuntikkan pada luka dan setengahnya secara IM pada lokasi yang berbeda dengan
lokasi suntikan VAR. Pemberiannya dilakukan bersamaan dengan pemberian VAR.
Edukasi keluarga juga penting untuk membantu mengawasi gejala yang dialami
kerabatnya. Jika ada kerabat yang digigit HPR atau mengalami gejala rabies harus segera
dibawa ke fasilitas kesehatan untuk segera ditangani (Kemenkes, 2014).
2.9 Kebijakan
Tujuan dari kebijakan ini adalah mengeliminasi rabies pada manusia pada tahun 2020
dengan sasaran cakupan 100% untuk pemberian profilaksis pra- dan pasca-pajanan. Strategi
terpadu dilakukan dengan cara advokasi, sosialisasi, penguatan kebijakan, peningkatan
kapasitas petugas, imunisasi massal dan manajemen HPR (terutama anjing), penguatan
surveilans, penelitian, dan kemitraan dengan LSM, tokoh agama, perusahaan, dan masyarakat
secara umum (Kemenkes, 2014).
Kebijakan ini juga sejalan dengan komitmen negara-negara ASEAN yang telah
menandatangani deklarasi ASEAN Bebas Rabies 2020 pada tahun 2012 di Laos (ASEAN,
2012). Pada tahun 2015, WHO juga rencana strategis global untuk mengeliminasi rabies pada
tahun 2030 (WHO, 2015).
12
BAB III
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif kuantitatif dan
rancangan penelitian retrospective cross sectional study.
Populasi penelitian merupakan seluruh pasien kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR) yang memeriksakan diri ke Puskesmas Banjar I Buleleng selama periode September
2017 – Agustus 2018.
Kriteria inklusi dalam peneltian ini adalah pasien kasus GHPR yang mengalami
gigitan di Desa Kaliasem dan Desa Tigawasa dan memeriksakan diri ke Puskesmas Banjar I
Buleleng selama periode September 2017 – Agustus 2018.
Sementara, kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang mengalami
gigitan GHPR di luar Desa Kaliasem dan Desa Tigawasa serta pasien dengan data yang tidak
lengkap.
13
3.5 Teknik Pengambilan Data
14
BAB IV
Gambar 1. Distibusi Daerah Lokasi Gigitan Kasus GHPR di Buleleng. Jumlah ini diperkirakan
Puskesmas Banjar I Buleleng Periode September 2017 – berada di bawah angka kejadian
Agustus 2018
sebenarnya karena masih ada
masyarakat yang belum mengerti akan pentingnya pelaporan dan pengobatan pada kasus
gigitan hewan penular rabies (Fridolina, 2008). Dari 11 desa dalam wilayah kerja Puskesmas
Banjar I Buleleng, jumlah kasus GHPR paling banyak terjadi di Desa Banjar dengan total 95
15
kasus (16,52%). Desa Kaliasem berada di urutan kedua terbanyak kasus GHPR dengan total
79 kasus (13,74%). Sementara, Desa Tigawasa di urutan ketujuh terbanyak dengan 26 kasus
(4,52%). Selain faktor kepadatan penduduk dan kepadatan HPR, kondisi ini diperkirakan
disebabkan oleh faktor geografis. Daerah yang lebih dekat dengan fasilitas kesehatan
cenderung memiliki lebih banyak kasus yang dilaporkan (Pebrianty, 2012).
Pada Gambar 2 dapat dilihat jumlah kasus GHPR per bulan yang terjadi di Desa
Kaliasem dan Tigawasa. Setiap bulannya selama satu tahun selalu terjadi kasus GHPR di
kedua desa. Puncak kasus GHPR berbeda antara dua desa. Di Desa Kaliasem, puncak
frekuensi kasus terjadi pada bulan November 2017, yaitu sebanyak 17 kasus (21,52%).
Sementara, di Desa Tigawasa frekuensi kejadian kasus GHPR cenderung sama sepanjang
tahun dengan puncak pada bulan September 2017, yaitu sebanyak 5 kasus (19,23%). Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pada bulan-bulan tersebut merupakan musim kawin HPR
sehingga hewan menjadi semakin agresif (Ira, 2013).
Gambar 2. Jumlah Gigitan HPR di Desa Kaliasem dan Desa Tigawasa Periode September 2017 –
Agustus 2018
16
4.2 Distribusi Jenis Kelamin
Dilihat dari jenis kelamin pasien, frekuensi kasus GHPR pada laki-laki dan
perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang banyak seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Di Desa Kaliasem, berturut-turut jumlah kasus GHPR pada laki-laki dan perempuan yaitu
sebanyak 37 (46,84%) dan 42 (53,16%) kasus. Sementara, di Desa Tigawasa Temuan ini
menunjukkan bahwa faktor usia pasien tidak berpengaruh dengan kerentanan terhadap gigitan
hewan penular rabies (HPR) (Ira, 2013).
Gambar 3. Distribusi Jenis Kelamin Kasus Gigitan HPR Periode September 2017 – Agustus 2018
17
4.3 Distribusi Usia Korban
Gambar 4. Distribusi Usia Kasus Gigitan HPR Periode September 2017 – Agustus 2018
Distribusi usia kasus GHPR menunjukkan pola serupa di kedua desa. Gambar 4
menunjukkan distribusi kasus GHPR di kedua desa terbanyak terjadi pada rentang usia
dewasa (17-60 tahun), yaitu sebanyak 40 kasus (50,63%) di Desa Kaliasem dan 16 kasus
(61,54%). Temuan serupa didapatkan oleh Iffandi dan Suatha. Pada penelitian tahun 2013,
didapatkan bahwa gigitan anjing rabies pada manusia di Provinsi Bali paling banyak terjadi
pada usia dewasa, yaitu 40-51 tahun (Iffandi, 2013; Suatha, 2015). Sementara, usia anak-anak
(0-17 tahun) merupakan yang terbanyak kedua dengan frekuensi kasus di Desa Kaliasem dan
Desa Tigawasa berturut-turut sebanyak 31 (39,24%) kasus dan 8 (30,77%) kasus. Temuan ini
serupa dengan yang dilaporkan WHO bahwa sekitar 40 kasus gigitan HPR terjadi pada anak
anak (WHO, 2016). Anak-anak lebih berisiko mengalami gigitan HPR karena anak-anak
lebih aktif bergerak dan kecenderungan anak-anak yang lebih senang bermain di luar rumah,
berinteraksi atau mengganggu hewan, dan cenderung tidak bisa meghindar atau melawan jika
diserang hewan (Pebrianty, 2012; Sriaroon, 2006; Charkazi, 2013). Usia di atas 60 tahun
paling sedikit dengan 7 (8,86%) kasus di Desa Kaliasem dan 2 (7,69%) kasus di Desa
Tigawasa.
18
4.4 Distribusi Jenis Hewan Penular Rabies (HPR)
Gambar 5 menunjukkan distribusi jenis HPR pada kasus GHPR di Desa Kaliasem
dan Desa Tigawasa. Jenis HPR yang paling dominan di kedua adalah anjing, baik anjing
peliharaan (rumahan) maupun anjing liar (free-ranging). Anjing liar meliputi anjing tanpa
pemilik yang berkeliaran di luar dan anjing yang dibiarkan berkeliaran oleh pemiliknya
(Putra, 2011). Bahkan, seluruh kasus GHPR di Desa Tigawasa disebabkan oleh gigitan anjing
dengan rincian 20 kasus (76,92%) gigitan anjing peliharaan dan 6 kasus (23,08%) gigitan
anjing liar (free-ranging). Sementara, di Desa Kaliasem tercatat 34 kasus (43,04%) gigitan
anjing peliharaan dan 24 kasus (30,38%) gigitan anjing liar (free-ranging). Kucing dan
monyet berada di urutan kedua dan ketiga, berturut-turut dengan total 18 kasus (22,78%) dan
3 kasus (3,80%).
Gambar 5. Distribusi Jenis HPR pada Gigitan HPR Periode September 2017 – Agustus 2018
Temuan ini sesuai dengan laporan Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 bahwa
anjing, monyet, dan kucing merupakan hewan utama dalam penularan rabies. Anjing
merupakan hewan utama yang tertular rabies dan seluruh kematian manusia akibat rabies di
Bali berkaitan dengan gigitan anjing (Putra, 2011). Di Indonesia, anjing memiliki potensi
untuk menularkan rabies lebih tinggi dibandingkan hewan lain, seperti kucing atau monyet.
Hal ini dikarenakan anjing mempunyai kebiasaan menggigit dan hidupnya sangat dekat
19
dengan manusia, baik sebagai hewan peliharaan atau hewan untuk bekerja, seperti menjaga
rumah atau kebun (Ira, 2013). Dengan demikan, tindakan pemberantasan rabies harus
diutamakan terhadap anjing (Putra, 2011).
Daerah kaki atau anggota tubuh bawah merupakan daerah yang paling mudah
dijangkau oleh anjing dibanding bagian tubuh lainnya (Pebrianty, 2012). Bahkan, pernah
dilaporkan bahwa 78% kasus gigitan terjadi pada daerah kaki (Depkes RI, 2008). Daerah
gigitan sangat berkaitan dengan usia orang dan ketinggian kepala anjing. Pada anak-anak,
selain kaki, gigitan HPR juga banyak terjadi pada wajah (Sriaroon, 2006).
21
Gambar 8. Distribusi Lokasi Anatomi Gigitan HPR di Desa Kaliasem Periode
September 2017 – Agustus 2018
22
BAB V
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari data distribusi kasus GHPR di Desa Kaliasem
dan Desa Tigawasa periode September 2017 – Agustus 2018 antara lain
1. Jumlah kasus GHPR di Desa Kaliasem lebih banyak dibanding Desa Tigawasa. Jarak
desa dengan fasilitas kesehatan, luas wilayah, dan populasi HPR kemungkinan
mempengaruhi jumlah kasus GHPR yang dilaporkan.
2. Puncak kasus terjadi pada bulan November 2017 di Desa Kaliasem (17 kasus) dan
bulan September 2017 di Desa Tigawasa (5 kasus).
4. Distribusi usia kasus GHPR paling banyak pada usia 17-60 tahun.
5.2 Saran
23
5. Sebagai indikator yang digunakan untuk memantau upaya pengendalian rabies,
diperlukan penelitian tentang kasus yang divaksinasi dengan Vaksin Anti Rabies
(VAR) dan kasus kematian akibat rabies berdasarkan uji Lyssa. Perlu pendataan yang
lebih lengkap mengenai hewan yang mati.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, S.S., Kakkar, M. 2013. System Thinking Need for Rabies Control. The Lancet,
381:200.
Ajoke, M.E., Ikhide, O.E. 2014. Rabies-its previous and current trend as an endemic disease
of humans and mammals in Nigeria. Journal of Experimental Biology and
Agricultural Sciences, 2: 144.
Alabama Department of Public Health. 2010. Rabies: control and bite. Division of
Epidemiology, Branch. Tersedia di: www.adph.org/epi/assets/rabiesbitemanual.pdf.
Diakses pada tanggal 11 September 2018. Hal. 6-28.
Albertini, A.A., Ruigrok, R.W., Blondel, D. 2011. Rabies Virus Transcription and
Replication. Adv. Virus Res., 79:1-22.
Awoyomi, O., Adeyemi, I.G., Awoyomi, F.S. 2007. Socio-economic Factors Associated with
Non-vaccination of Dogs against Rabies in Ibadan, Nigeria. Nig. Vet. J., 28: 59-63.
Bernard, K.W. 1984. Clinical Rabies in Humans. Di: Rabies Concept for Medical
Professionals. Miami: Meriuex Institute, 5: 45-50.
Bourhy, H., et al. 1989. Comparative Field Evaluation of the Fluorescent-Antibody Test,
Virus Isolation from Tissue Culture, and Enzyme Immunodiagnosis for Rapid
Laboratory Diagnosis of Rabies. J. Clin. Microbiol., 27(3):519-23.
CDC. 2011. Rabies around the World. Morbidity and Mortal Weekly Report, 412: 152-170.
Charkazi, A., et al. 2013. Epidemiology of Animal Bite I Aq-Qala City, Northern of Iran. J.
Educ. Health Promot., 2:13.
David, M.K., Peter, M.K., Diane, E.G., Roberand, A.L., Malcom, A.M. 2001. Field of
Virology, 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikings, 1: 1245-1258.
Dimaano, E.M., Scholand, S.J., Alera, M.T., Belandres, D.B. 2011. Clinical and
Epidemiological Features of Human Rabies Cases in the Philippines: a review from
1987 to 2006. Int. J. Infect. Dis., 15: 495-499.
Ehizibolo, D.O., et al. 2009. Comparison of the Fluorescent Antibody Test and Direct
Microscopic Examination for Rabies Diagnosis at the National Veterinary Institute,
Vom, Nigeria. African Journal of Biomedical Research, 12:73-6.
Fridolina et al. 2008. Survei Data Dasar Kasus Rabies di Pulau Flores Propinsi Nusa
Tenggara Timur Tahap I. Loka Penelitian dan Pengembangan P2B2 Waikabubak,
Sumba Barat.
Frymus, T., et al. 2009. Feline Rabies: guidelines on prevention and management. J. Feline.
Med. Surg., 11: 585-593.
Gardre, G., et al. 2010. Rabies Viral Encephalitis: clinical dterminants in diagnosis with
special reference to paralytic form. J. Neurol., Neurosurg. Psych., 81: 812-20.
Ge, P., Tsao, J., Green, T.J., Luo, M., Zhou. 2010. Cryo-electron Microscope Model of the
Bullet-shaped Vesicular Stomatitis Virus. Science, 327:689-693.
Hanlon, C.A., Niezgoda, M.N., Rupprecht, C.E. 2002. Post-exposure prophylaxis for
prevention of rabies in dogs. Am. J. Vet. Res., 63: 1096-1100.
Iffandi, C., Widyastuti, S.K., Batan, I.W. 2013. Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing
Diduga Rabies pada Manusia di Bali. Indonesia Medicus Veterinus, 3(1): 126-131.
Ira, I.P.B.S., Fridolina, M. 2013. Distribusi Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) dan
Kasus Rabies di Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ekologi
Kesehatan, 12(3): 206-212.
Kemenkes. 2014. Situasi dan Analisis Rabies: strategi eliminasi rabies 2020. Infodatin Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
26
Kemenkes. 2016. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes. 2016. Situasi Rabies di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
Knobel, D.L., Cleaveland, S., Fevre, E.M., Meltzer, M.I. 2015. Re-evaluating the Burden of
Rabies in Africa and Asia. WHO Bull., 83:360-368.
Louisiana Office of Public Health. 2010. Infectious Disease Epidemiology Section. Tersedia
di:http://dhh.lousiana.gov/assets/oph/centerphch/centerch/infectious-
epi/epimanual/rabiesmanual.pdf. Diakses pada tanggal 5 September 2018. Hal. 2-4.
Madhusudana, S.N., Sundaramoorthy, S., Ullas, P.T. 2010. Utility of Human Embryonic
Kidney Cell Line HEK-293 for Rapid Isolation of Fixed and Street Rabies Virus:
comparison with Neuro-2 and BHK-21 cell lines. Int. J. Infect. Dis., 14: 1067-1071.
Maine Center for Disease Control and Prevention. 2012. Infectious Disease Epidemiology
Program, 3rd Ed. Tersedia
di:https://www1.maine.gov/dhhs/mecdc/infectiousdisease/epi/zoonotic/rabies/docum
ents/mainerabiesmanagementguide.pdf. Diakses pada tanggal 5 September 2018.
Hal. 9-10.
Novianti, S. 2018. Pemetaan dan Analisis Kejadian Rabies di Kabupaten Buleleng Tahun
2010-2016. Indonesia Medicus Veterinus, Hal. 150-157.
Ogunkoya, A.B. 2007. Clinical Rabies in Animal and Man. Di: Rabies-basic concepts,
problems and prospects of its control in Nigeria. Nigeria: Oreofe Publishers
Nigeria, Limited. Hal. 24-38.
27
Pebrianty, Amiruddin, R., Thaha, I.L.M. 2012. Pemetaan Korban Gigitan Anjing Rabies di
Kabupaten Tana Toraja Tahun 2009-2011. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011
tentang Pengendalian Zoonosis.
Putra, A.A.G. 2010. Tinjauan Ilmiah Upaya Pemutusan Rantai Penularan Rabies Dalam
Rangka Menuju Indonesia Bebas Rabies 2015. Buletin Veteriner, XXI (75): 43-51.
Putra, A.A.G. 2011. Epidemiologi Rabies di Bali: analisis kasus rabies pada “semi free-
ranging dog” dan signifikansinya dalam siklus penularan rabies dengan pendekatan
ekosistem. Buletin Veteriner, XXIII (78): 45-55.
Radostits, O.M., Gay, C.C., Hinchcliff, K.W., Constable, P.D. 2007. Veterinary Medicine, a
textbook of the disease of cattle, horse, sheep, pigs, and goats, 10th Ed. Amerika
Serikat: Sounders. Hal. 1384-1393.
Reeta, S.M., Shampur, N.M. 2013. Review-Article Laboratory Diagnosis of Human Rabies:
recent advances. Scientific World Journal, Hal.1-4.
Rossiter, J.P., Jackson, A.C. 2007. Rabies, 2nd Ed. London: Elsevier Academic Press. Hal.
383-409.
SEARO WHO. 2012. Rabies in the South-East Asia Region. World Health Organization,
Regional Office for South-East Asia. New Delhi, India.
Shankar, S.K., et al. 2012. Rabies Viral Encephalitis with Probable 25 Year Incubation
Period. Ann. Indian Acad. Neurol., 15: 221-223.
Slate, D.F., Algeo, T.D., Nelson, K.M. 2009. Oral Rabies Vaccination in North America:
opportunities, complexities, and challenges. PloS Negl. Trop. Dis., 3: 1-9.
Sriaroon, C., et al. 2006. Retrospective: animal attack and rabies exposure in Thailand
children. Travel. Med. Infect. Dis., 4: 270-274.
Suatha, I.K., et al. 2015. Lokasi Gigitan Secara Anatomi dan Waktu Kematian Pascagigitan
ANjing Rabies pada Korban Manusia di Bali. Jurnal Veteriner, 16(1): 31-37.
28
The Center for Food Secutity and Public Health. 2009. Rabies. Iowa State University,
College of Veterinary Medicine. Tersedia di: www.cfsph.iastate.edu. Diakses pada
tanggal 10 September 2018. Hal. 1-6.
The Center for Food Secutity and Public Health. 2012. Rabies and Rabies-related Lyssavirus.
Iowa State University, College of Veterinary Medicine. Hal. 1-6.
Warrel, M.J., Warrel, D.A. 2004. Rabies and Other Lyssavirus Disease. The Lancet, 363:
959-969.
WHO. 2013. World Health Organization Expert Consultation on Rabies, 2nd Report.
Technical Report Series 982. Geneva, Swiss. Hal.8-67.
Yousaf, Z.M. 2012. Rabies Molecular Virology, Diagnosis, Prevention, and Treatment. J.
Virol., 9: 50.
29