You are on page 1of 37

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS KELOMPOK KHUSUS DEWASA

DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI RT 002 DAN RT 003, RW 001


KELURAHAN LANGENSARI KECAMATAN UNGARAN BARAT
KABUPATEN SEMARANG

OLEH :
DESTI JULFITRIAH

NIM. 070117B020

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin
meningkat, karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya yang terjadi pada
masyarakat. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan masalah yang sangat
substansial, mengingat pola kejadian sangat menentukan status kesehatan di suatu
daerah dan juga keberhasilan peningkatan status kesehatan di suatu negara. PTM
menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Perubahan
pola struktur masyarakat dari agraris ke industri dan perubahan pola fertilitas gaya
hidup dan sosial ekonomi masyarakat diduga sebagai hal yang melatar belakangi
prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM), sehingga kejadian penyakit tidak menular
semakin bervariasi. Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang sifatnya
tidak ditularkan dari orang ke orang. Perhatian terhadap penyakit tidak menular
semakin hari semakin meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi
kejadiannya pada masyarakat di berbagai negara termasuk indonesia. Di antaranya
penyakit yang tidak menular pada wanita adalah Kanker Payudara dan Hipertensi
(Riskesdas, 2013).
Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, menunjukan bahwa penyakit hipertensi
usia ˃ 18 tahun (25,8%), PJK umur ≥ 15 tahun (1,5%), gagal jantung (0,3%), gagal
ginjal kronik (0,2%), batu ginjal (0,6%), rematik (24,7%), stroke (12,1‰), cedera
semua umur (8,2%), asma (4,5%), PPOK umur ≥ 30 tahun(3,8%), Kanker (1,4‰),
diabetes melitus (2,1%), hyperthyroid umur ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis (0,4%),
proporsi cedera akibat transportasi darat (47,7%), laki-laki obese umur ˃ 18 tahun
(19,7%), perempuan obese (32,9%), obesitas sentral (26,6%), penyakit sendi di
indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 11,9% dan berdasarkan
diagnosis dan gejala sebesar 24,7%. Sedangkan prevalensi penyakit kanker payudara
di indonesia pada tahun 2013 sebesar 0.5%. Kanker payudara merupakan keganasan yang
menyerang hampir sepertiga dari seluruh keganasan yang dijumpai pada wanita. Kanker
payudara juga merupakan penyebab kematian kedua setelah kanker leher rahim pada
wanita serta menempati insiden tertinggi dari seluruh keganasan. Setiap tahun, lebih
dari satu juta kasus baru kanker payudara didiagnosa di seluruh dunia dan hampir
400.000 orang akan meninggal akibat penyakit tersebut. Sampai tahun 2003, kanker
payudara merupakan kanker dengan insidens tertinggi No.2 di Indonesia dan terdapat
kecenderungan dari tahun ke tahun insidens ini meningkat; seperti halnya di negara
barat. Angka kejadian kanker payudara di Amerika Serikat 92/100.000 wanita
pertahun dengan mortalitas yang cukup tinggi 27/100.000 atau 18% dari kematian
yang dijumpai pada wanita. Di Indonesia berdasarkan“Pathological Based
Registration” kanker payudara mempunyai insidens relatif 11,5%. Diperkirakan di
Indonesia mempunyai insidens minimal 20.000 kasus baru pertahun, dengan
kenyataan bahwa lebih dari 50% kasus masih berada dalam stadium lanjut.
Peran perawat komunitas dalam penanganan penyakit tidak menular yaitu
memberikan keperawatan langsung (kepada individu, keluarga, kelompok),
penyuluhan pendidikan kesehatan masyarakat dalam rangka merubaha perilaku
individu, perawat sebagai konsultasi pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi,
melaksanakan rujukan apabila penyakit tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dewasa
1. Definisi Dewasa
Secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood)
ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. (Dariyo, 2003).
Batasan usia menurut Depkes RI (2009), yaitu yang tergolong dewasa awal
adalah usia 26-35 tahun dan yang tergolong dewasa akhir adalah usia 36-45 tahun.
Masa dewasa dapat dibedakan menjadi beberapa fase, yaitu :
a. Fase Dewasa awal
Fase dewasa awal (20/21-24 tahun), seorang mulai bekarya dan mulai
melepaskan ketergantungan kepada orang lain. Tugas-tugas perkembangan
pada masa dewasa awal yaitu.
1) mereka mendapat pengawasan dari orang tua
2) mereka mulai mengembangkan persahabatan yang akrab dan
hubungan yang intim di luar.
3) mereka membentuk seperangkat nilai pribadi
4) mereka mengembangkan rasa identitas pribadi
5) mereka mempersiapkan untuk kehidupan kerja
b. Fase Dewasa tengah
Fase dewasa tengah (25-40 tahun) ditandai sikap mantap memilih
teman hidup dan membangun keluarga. Dewasa tengah menggunakan energy
sesuai kemampuannya untuk menyesuaikan konsep diri dan citra tubuh
terhadap realita fisiologis dan perubahan pada penampilan fisik. Harga diri
yang tinggi, citra tubuh yang bagus dan sikap posiif terhadap perubahn
fisiologis muncul jika orang dewasa mengikuti latihan fisik diet yang
seimbang, tidur yang adekuat dan melakukan hygiene yang baik.
Teori-teori tentang masa dewasa tengah
1) Teori Erikson
Menurut teori perkembangan Erikson, tugas perkembangan yang utama
pada usia baya adalah mencapai generatifitas (Erikson, 1982).
Generatifitas adalah keinginan untuk merawat dan membimbing orang
lain. Dewasa tengah dapat mencapai generatifitas dengan anak-anaknya
melalui bimbingan dalam interaksi sosial dengan generasi berikutnya. Jika
dewasa tengah gagal mencapai generatifitas akan terjadi stagnasi. Hal ini
ditunjukkan dengan perhatian yang berlebihan pada dirinya atau perilaku
merusak anak-anaknya dan masyarakat.
2) Teori Havighurst
Perkembangan Pencapaian tanggung jawab social orang dewasa untuk
orang dewasa tengah (Havighurst, 1972). Tugas perkembangan tersebut
meliputi:
a) Menetapkan dan mempertahankan standar kehidupan
b) Membantu anak-anak remaja tanggung jawab dan bahagia
c) Mengembangkan aktivitas luang
d) Berhubungan dengan pasangannya sebagai individu
e) Menerima dan menyesuaikan perubahan fisiologis pada usia
pertengahan
f) Menyesuaikan diri dengan orang tua yang telah lansia.
g) Tahap-tahap perkembangan
Perubahan ini umumnya terjadi antara usia 40-65 tahun. Perubahan
yang paling terlihat adalah rambut beruban, kulit mulai mengerut dan
pinggang membesar. Kebotakan biasanya terjadi selama masa usia
pertengahan, tetapi juga dapat terjadi pada pria dewasa awal.
Penurunan ketajaman penglihatan dan pendengaran sering terlihat pada
periode ini.
 Perkembangan kognitif
Perubahan kognitif pada masa dewasa tengah jarang terjadi kecuali
karena sakit atau trauma. Dewasa tengah dapat mempelajari
keterampilan dan informasi baru. Beberapa dewasa tengah
mengikuti program pendidikan dan kejuruan untuk mempersiapkan
diri memasuki pasar kerja atau perubahan pekerjaan
 Perkembangan psikosial
Perubahan psikososial pada masa dewasa tengah dapat meliputi
kejadian yang diharapkan, perpindahan anak dari rumah, atau
peristiwa perpisahan dalam pernikahan atau kematian teman.
Perubahan ini mungkin mengakibatkan stress yang dapat
mempengaruhi seluruh tingkat kesehatan dewasa.
c. Fase dewasa akhir
Fase dewasa akhir (41-50/55tahun) ditandai karya produktif, sukses-
sukses berprestasi dan puncak dalam karier. Sebagai patokan, pada masa ini
dapat dicapai kalau status pekerjaan dan sosial seseorang sudah mantap.
Masalah-masalah yang mungkin timbul yaitu:
1) Menurunnya keadaan jasmaniah
2) Perubahan susunan keluarga
3) Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan baru dalam bidan
pekerjaan atau perbaikan kesehatan yang lalu
4) Penurunan fungsi tubuh
Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi pegawai
menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya ada PPS ( Post
Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat kemudian tidak, rasanya
ada perasaan down sindrom
Faktor – faktor yang mempengaruhi pengawasan tugas
perkembangan ini, individu mengalami PPS. Misalnya penghalangnya adalah:
1) Tingkat perkembangan yang mundur
2) Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan
3) Tidak ada motivasi
4) Kesehatan yang buruk
5) Cacat tubuh
6) Tingkat kecerdasan yang rendah
7) Tingkat adaptasi yang jelek
Selain itu, masa dewasa akhir adalah masa pensiun bagi bagi pegawai
menghadapi sepi dan masa masamemasuki pensiun. Biasanya ada PPS ( Post
Power Sindrom) misalnya biasa seseorang menjabat kemudian tidak, rasanya
ada perasaan down sindromAdanya penyakit kronis Tingkat ketidakmampuan
dan persepsi klien pada penyakit dan ketidakmampuan menentukan sampai
mana perubahan gaya hidup akan terjadi.
1) Tingkat kesejahteraan
Perawat mengkaji status kesehatan pada klien dewasa tengah. Pengkajian
tersebut member arah untuk merencanakan asuhan keperawatan dan
berguna dalam mengevaluasi keefektifan intervensi keperawatan.
2) Membentuk kebiasaan sehat yang positif
Kebiasaan adalah sikap atau perilaku seseorang yang biasa dilakukan. Pola
perilaku ini didorong oleh seringnya pengulangan sehingga menjadi cara
perilaku individu yang biasa.
Tugas perkembangan masa dewasa awal :
1) Memilih pasangan hidup
2) Belajar hidup dengan suami atau istri
3) Memulai kehidupan berkeluarga
4) Membimbing dan merawat anak
5) Mengolah rumah tangga
6) Memulai suatu jabatan
7) Menerima tanggung jawab sebagai warga negara
8) Menemukan kelompok sosial yang cocok dan menarik

B. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi merupakan salah satu
penyakit yang paling sering muncul di negara berkembang seperti Indonesia.
Seseorang dikatakan hipertensi dan berisiko mengalami masalah kesehatan
apabila setelah dilakukan beberapa kali pengukuran, nilai tekanan darah tetap
tinggi nilai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg
(Prasetyaningrum, 2014).
Hipertensi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu
kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah tinggi (tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) yang menetap
(WHO, 2015).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005)
2. Klasifikasi
Secara klinis derajat hipertensi dapat dikelompokkan sesuai dengan
rekomendasi dari “The Sixth Report of The Join National Committee,
Prevention, Detection and Treatment of High Blood Pressure “ (JNC – VI,
1997) sebagai berikut :

No Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg


1. Optimal <120 <80
2. Normal 120 – 129 80 – 84
3. High Normal 130 – 139 85 – 89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Grade 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Grade 3 (berat) 180 – 209 100 – 119
Grade 4 (sangat berat) >210 >120

a. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan penyebab:


1) Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa
kelainan dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan
hipertensi essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium,
kepekaan terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap
vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang
termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stress
emosi, obesitas dan lain-lain. Pada sebagian besar pasien, kenaikan
berat badan yang berlebihan dan gaya hidup tampaknya memiliki
peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi. Kebanyakan pasien
hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian pada
berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang
berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena
hipertensi primer ( Kemenkes RI, 2014).
2) Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal
akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah
penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara
langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah ( Kemenkes
RI, 2014).
b. Berdasarkan bentuk Hipertensi
Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi campuran
(sistol dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik (isolated systolic
hypertension).
3. Etiologi
a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
1) Keturunan

Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa seseorang mempunyai


orang tua atau salah satunya menderita hipertendi maka orang tersebut
mempunyai resiko lebih besar untuk terkena hipertensi dari pada orang
yang kedua orang tuanya normal ( tidak menderita hipertensi). Adanya
riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung secara
signifikan akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi pada
perempuan dibawah 65 tahun dan laki-laki dibawah 55 tahun (Julius,
2008).

2) Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana
pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita,
dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik.
Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan
tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006).
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi
pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi
pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang
diakibatkan faktor hormonal. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)
menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%).
Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita
hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun,
sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang
menderita hipertensi (Depkes, 2008).
3) Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata tebukti bahwa
semakin tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan
darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah
semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian besar
hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55
tahun tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Setelah umur 65 tahun tekanan darah pada perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki. Dengan demikian, resiko hipertensi bertambah
dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005).
4) Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor
keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada
hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga
dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan
seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan
metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut
Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya
yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-
anaknya (Depkes, 2006).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
1) Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan
menaikkan tekanan darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa
merokok dapat meningkatkan tekan darah. Nikotin yang terdapat
dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat
meningkatkan pengumpulan darah dalam pembuluh darah dan dapat
menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin
bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah baik sistolik maupun diastolikknya, denyut jantung
bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2
bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi
pada pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
2) Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat
kaitannya dengan hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah
tergantung pada besarnya penambahan berat badan. Peningkatan
resiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi pada
penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua obesitas
dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing-masing individu.
Peningkatan tekanan darah diatas nilai optimal yaitu >120/ 80 mmHg
akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
3) Stres
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,
dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut
lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.
Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan
patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit
maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang
kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan
orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit
hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).
4) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh
dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot
membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk
mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner
melalui mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah,
penurunan tonus simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner,
sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High
Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density
Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja
secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun
kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung
pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan serta
menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).
5) Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah
dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol
masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan
dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan
hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol
dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat
apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap
harinya (Depkes, 2006).
6) Konsumsi garam berlebih
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena
menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus
hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah
dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan
garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).
7) Hiperlipidemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan
peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau
penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan
faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan
peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah
meningkat.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada hipertensi dibedakan menjadi :
a. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
b. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai
hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya
ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang
mencari pertolongan medis. Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi
klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
1) Mengeluh sakit kepala, pusing
2) Lemas, kelelahan
3) Sesak nafas
4) Gelisah
5) Mual
6) Muntah
7) Epistaksis
8) Kesadaran menurun
5. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh
darah terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat
vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke
korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis
di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam
bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia
simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang
akan merangsang serabut saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana
dengan dilepaskannya norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh
darah (Brunner, 2002).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap
norpinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut
bisa terjadi (Corwin, 2005). Pada saat bersamaan dimana sistem saraf
simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi,
kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol dan steroid lainnya
yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah.
Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal dapat
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air
oleh tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi (Brunner, 2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi
pada lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya
elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah yang menyebabkan penurunan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Akibat hal tersebut, aorta dan arteri besar mengalami
penurunan kemampuan dalam mengakomodasi volume darah yang
dipompa oleh jantung (volume sekuncup) sehingga mengakibatkan
penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin, 2005).
6. Komplikasi
Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari
stroke, infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan
pregnancy- included hypertension (PIH) (Corwin, 2005).
a. Stroke

Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global


akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak
dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke dengan
defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia
atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusifokal
pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan
glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003).

Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak


atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak yang terpajan
tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan
menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi
berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat
melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma
(Corwin, 2005).

b. Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium
atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui
pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel,
maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi
dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian
juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia
jantung dan peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).
c. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal
yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya
pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme terjadinya
hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan
air atau sistem renin angiotensin aldosteron (RAA). Menurut Arief
mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih besar terhadap
kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak
mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).
d. Ensefalopati (Kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan
saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps yang dapat
menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga koma serta
kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak dengan
hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita hipertensi (Corwin,
2005).
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hemoglobin / hematokrit Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel
terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat mengindikasikan factor
– factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
b. Glukosa Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi )
dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin ( meningkatkan
hipertensi ).
c. Kalium serum Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron
utama ( penyebab ) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
d. Kalsium serum Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan
hipertensi.
e. Kolesterol dan trigliserid serum Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler ).
f. Pemeriksaan tiroid Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi
dan hipertensi.
g. Kadar aldosteron urin/serum Untuk mengkaji aldosteronisme primer
(penyebab).
h. Urinalisa Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
atau adanya diabetes.
i. Asam urat Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko
hipertensi.
j. Steroid urin Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme.
k. Foto dada Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub,
perbesaran jantung.
l. CT scan Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
m. EKG Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan,
gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda
dini penyakit jantung hipertensi
8. Penatalaksanaan
Berdasarkan Depkes (2006), penatalaksanaan pada hipertensi
adalah sebagai berikut :
a. Pengendalian faktor risiko
Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat
saling berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada
faktor risiko yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :
1) Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi
prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif
untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan sesorang yang badannya normal.
Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33%
memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan demikian,
obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai
kelebihan berat badan lebih dari 20% dan hiperkolestrol
mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi.
2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan
kebiasaan makan penderita. Pengurangan asupan garam secara
drastis akan sulit dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5
gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak.
3) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis
dapat mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan
darah.
4) Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama
30-45 menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat
menambah kebugaran dan memperbaiki metabolisme tubuh yang
akhirnya mengontrol tekanan darah.
5) Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah
sehingga dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun
seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap melalui rokok
yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak jaringan endotel
pembuluh darah arteri yang mengakibatkan proses arterosklerosis
dan peningkatan tekanan darah. Merokok juga dapat meningkatkan
denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot
jantung. Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin
meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.
6) Mengurangi komsumsi alkohol
Hindari komsumsi alkohol berlebihan Laki-laki : Tidak
lebih dari 2 gelas per hari dan wanita : Tidak lebih dari 1 gelas per
hari
b. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk
mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi
dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas
hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa
kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya
mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan perjalanan terapi.
Pemilihan obat atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan
penyakit dan respon penderita terhadap obat antihipertensi.
a) Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain
mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi
perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat
penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos
pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini
terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang
menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya
diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan
kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini
diduga akibat penurunan resistensi perifer (Nafrialdi, 2007).
b) Golongan Tiazid
Terdapat bererapa obat yang termasuk golongan tiazid antara
lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi,
2007).
c) Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu
diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi,
2007).
d) Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2007).
2) Penghambat Adrenergik
a) Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.
Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan
di otak (Nafrialdi, 2007).
b) Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α
1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif
kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2
(α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan
norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis (Nafrialdi, 2007).
3) Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi
otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena
itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi
refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard yang
meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan
angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang
mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin plasma,
menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak
diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan
penyekat-β (Nafrialdi, 2007).
4) Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor)
menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor
angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal,
jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2007).
5) Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1
(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama
di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di
ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek
fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular.
Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP,
hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2007).
6) Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion
kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan
sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas
jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam
jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi
otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang
bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2007).
7) Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf
simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang
termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa,
klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia
hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah),
gangguan fungsi hati dan terkadang menyebabkan penyakit hati kronis.
Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006).
PENGKAJIAN KELOMPOK DEWASA PADA TANGGAL 17-19 MEI 2018 DI RT
002 dan RT 003, RW 001 KELURAHAN LANGENSARI KECAMATAN UNGARAN
BARAT KABUPATEN SEMARANG

Hasil pengkajian kelompok Dewasa pada tanggal 17-19 Mei di RT 002 dan RT 003,
di RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang

A. Dewasa
1. Karakteristik Dewasa
Gambar 1.1 Distribusi Frekuensi Dewasa Berdasarkan Umur di RT 002 dan RT 003,
RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang

No Kategori Umur Frekuensi Presentase


1 Dewasa awal (21-40) 15 24%
2 Dewasa Akhir (41-59) 47 76%
Jumlah 62 100%

Kategori Umur

24%
Dewasa awal
Dewasa Akhir
76%

Berdasarkan diagram diatas diketahui bahwa umur dewasa awal yaitu


antara 21- 40 tahun sebanyak 15 orang (24%) dan 41-59 tahun sebanyak 47
orang (76%).

2. Jenis Kelamin
Gambar 2.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Dewasa di RT 002 dan RT 003,
RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang
No Jenis Kelamin Frekuensi Presentase

1 Laki-laki 34 55%

2 Perempuan 28 45%

Jumlah 62 100%

Jenis Kelamin

45% Laki-laki
55% Perempuan

Berdasarkan diagram diatas, jenis kelamin usia dewasa di RT 002 dan


RT 003, RW 001 Kelurahan Langensari yaitu 55% laki-laki dan 45%
perempuan.

3. Pernah Dirawat di RS
Gambar 3.1 Distribusi Frekuensi Dewasa yang Pernah Dirawat di RS di RT 002
dan RT 003, RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang

No Pernah Dirawat di RS Frekuensi Presentase

1 Ya 21 34%

2 Tidak 41 66%

Jumlah 62 100%
Pernah dirawat di RS

34%
Ya
Tidak
66%

Berdasarkan diagram diatas, dewasa yang pernah dirawat di RS di RT


002 dan RT 003, RW 001 Kelurahan Langensari 34% pernah dirawat dan 66
% tidak pernah dirawat di RS.

4. Pernah Mendapat Penkes


Gambar 4.1 Distribusi Frekuensi Dewasa yang Pernah Mendapat Penkes di RT
002 dan RT 003, RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang

No Pernah Mendapat Penkes Frekuensi Presentase

1 Ya 13 21%

2 Tidak 49 79%

Jumlah 62 100%

Pernah Mendapat Penkes

21%
Ya
Tidak
79%

Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001


Kelurahan Langensari yang pernah mendapat penkes sebanyak 21% dan yang
tidak pernah mendapat penkes sebanyak 79%.
5. Jenis Penyakit
Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Jenis Penyakit Dewasa di RT 002 dan RT 003,
RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang

No Jenis Penyakit Frekuensi Presentase


1 Hipertensi 14 23%
2 Asam Urat 9 14%
3 Diabetes Mellitus 5 8%
4 ISPA 13 21%
5 TBC 1 2%
6 Tidak Bermasalah 20 32%
Jumlah 62 100%

Jenis Penyakit

Hipertensi
23% Asam Urat
32%
Diabetes Mellitus

14% ISPA
TBC
2% 21% 8%
Tidak Bermasalah

Berdasarkan diagram diatas, jenis penyakit dewasa di RT 002 dan RT


003, RW 001 Kelurahan Langensari yaitu Hipertensi sebanyak 23%, Asam
Urat sebanyak 14%, Diabetes mellitus sebanyak 8%, ISPA sebanyak 21%,
TBC sebanyak 2%, dan tidak bermasalah sebanyak 32% .

6. Pekerjaan
Gambar 6.1 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Dewasa di RT 002 dan RT 003 RW
001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang
No Pekerjaan Frekuensi Presentase
1 PNS 1 1%
2 Buruh 10 16%
3 Wiraswasta 21 34%
4 Tidak Bekerja 6 10%
5 Pegawai Swasta 11 18%
6 Petani 1 2%
7 IRT 12 19%
Jumah 62 100%

Pekerjaan
1%
PNS
Buruh
19% 16%
2% Wiraswasta
Tidak Bekerja
18%
Pegawai Swasta
34%
10% Petani
IRT

Berdasarkan diagram diatas, pekerjaan dewasa di RT 002 dan RT 003,


RW 001 Kelurahan Langensari yaitu PNS sebanyak 1%, Buruh sebanyak
16%, Wiraswasta sebanyak 34%, Tidak Bekerja sebanyak 10%, Pegawai
Swasta sebanyak 18%, Petani sebanyak 2% dan IRT sebanyak 19%.

7. Prilaku Hidup Sehat


Gambar 7.1 Distribusi Frekuensi Prilaku Hidup Sehat Dewasa di RT 002 dan RT
003, RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang

No Prilaku Hidup Sehat Frekuensi Presentase

1 Ya 18 29%

2 Tidak 44 71%

Jumlah 62 100%
Prilaku Hidup Sehat

29%
Ya
Tidak
71%

Berdasarkan diagram diatas, prilaku hidup sehat dewasa di RT 002 dan


RT 003, RW 001 Kelurahan Langensari, yaitu yang memiliki pola hidup sehat
sebanyak 29%, dan yang memiliki pola hidup sehat sebanyak 71%.

8. Ikut Kegiatan Masyarakat


Gambar 8.1 Distribusi Frekuensi Dewasa yang Ikut Kegiatan Masyarakat di RT
002 dan RT 003 RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat
Kabupaten Semarang

No Ikut Kegiatan Masyarakat Frekuensi Presentase


1 Ya 58 94%
2 Tidak 4 6%
Jumlah 62 100%

Ikut Kegiatan Masyarakat


6%

Ya
Tidak
94%

Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001


Kelurahan Langensari yang ikut kegiatan masyarakat sebanyak 94% dan yang
tidak ikut kegiatan masyarakat sebanyak 6%.
9. Berkumpul dengan Keluarga
Gambar 9.1 Distribusi Frekuensi Dewasa yang memiliki kebiasaan Kumpul
dengan Keluarga di RT 002 dan RT 003 RW 001 Kelurahan Langensari
Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang
No Berkumpul dengan Keluarga Frekuensi Presentase
1 Ya 62 100%
2 Tidak 0 0%
Jumlah 62 100%

Berkumpul dengan Keluarga


0%

Ya
Tidak
100%

Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001


Kelurahan Langensari yang memiliki kebiasaan kumpul dengan keluarga
sebanyak 100%.
10. Batuk Selama > 2 Bulan
Gambar 10.1 Distribusi Frekuensi Dewasa Batuk Selama > 2 Bulan di RT 002 dan
RT 003 RW 001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten
Semarang

No Batuk Selama > 2 Bulan Frekuensi Presentase


1 Ya 1 2%
2 Tidak 61 98%
Jumlah 62 100%

Batuk Selama > 2 Bulan


2%

Ya
Tidak
98%

Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001


Kelurahan Langensari yang batuk selama > 2 bulan sebanyak 2% dan yang tidak
batuk selama > 2 bulan sebanyak 98%.
11. Riwayat Penyakit Keluarga
Gambar 11.1 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Dewasa di RT 002 dan RT 003 RW
001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang

No Riwayat Penyakit Keluarga Frekuensi Presentase


1 Ya 42 32%
2 Tidak 20 68%
Jumlah 62 100%

Riwayat Penyakit Keluarga

32% Ya
68% Tidak

Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001


Kelurahan Langensari yang memiliki riwayat pennyakit keluarga sebanyak 68%
dan yang tidak ikut kegiatan masyarakat sebanyak 32%.
12. Konsumsi Makanan Setiap Hari
Gambar 12.1 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Dewasa di RT 002 dan RT 003 RW
001 Kelurahan Langensari Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang

Konsumsi Makanan Setiap


No Hari Frekuensi Presentase
1 Masak sendiri 60 97%
2 Membeli makanan langsung jadi 2 3%
Jumlah 62 100%

Konsumsi Makanan Setiap Hari


3%

Masak sendiri

Membeli makanan
97% langsung jadi
Berdasarkan diagram diatas, dewasa di RT 002 dan RT 003, RW 001
Kelurahan Langensari yang masak sendiri sebanyak 97% dan yang membeli
makanan langsung jadi sebanyak 3%.

ANALISA DATA

NO DATA MASALAH KEPERAWATAN


1 Data Angket : Defisiensi kesehatan komunitas
Dari hasil kuisioner yang telah dibagikan berhubungan dengan ketidakcukupan
kepada beberapa KK dan telah diisi oleh sumber daya (pengetahuan tentang
warga, terdapat 14 orang (23%) dari 62 penyebab, cara pencegahan dan cara
warga dewasa yang pernah menderita penanganan penyakit) Domain : 1,
penyakit Hipertensi. kelas: 2, kode: 00215

Data Wawancara :
Berdasarkan hasil wawancara yang sudah
kami lakukan sambil menyebar kuisioner
sambil membantu warga mengisi kuisioner,
ada sebagian besar warga (79%) yang
mengatakan tidak mengetahui penyebab
hipetensi dan tidak mengetahui cara
pencegahan dan penanganannya.
PERENCANAAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA TUJUAN & RENCANA IMPLEMEN EVALUASI


KEPERAWATAN KRITERIA INTERVENSI TASI PROSES
KOMUNITAS HASIL
Defisiensi kesehatan Setelah Pencegahan primer : Kognitif 90% warga
komunitas dilakukan Proses kelompok memahami
berhubungan dengan tindakan 1. Anjurkan warga tentang
ketidakcukupan keperawatan untuk penyebab
sumber daya selama 3x tatap membersihkan area hipertensi
(pengetahuan muka warga sekitar rumah
tentang penyebab, dewasa yang 2. Anjurkan warga 80% warga
cara pencegahan dan memiliki kurang untuk menyiram dewasa
cara penanganan pengetahuan halaman yang dengan
penyakit) Domain : tentang penyakit berdebu dengan air. hipertensi
1, kelas: 2, kode: hipertensi Empowerment Psikomotor mengetahui
00215 diharapkan 1. Gunakan strategi cara
mampu : utuk meningkatkan pencegahan
a. Pengetahuan pemahaman (seperti dan
warga tentang menyebarkan penatalaksan
penyebab undangan untuk aan untuk
penyakit baik diadakan pendidikan hipertensi
b. Pengetahuan kesehatan kepada
warga tentang warga dewasa). 60% warga
mencegah dan 2. Gunakan beberapa yang hadir
mengatasi alat komunikasi menjaga
penyakit (seperti telepon dan kebersihan,
hipertensi lain-lain). tempat
baik Partnership Kognitif tinggal dan
1. Bekerja sama lingkungan
dengan bidan dan sekitar
kader kesehatan
dalam pelaksanaan
pendidikan
kesehatan, senam
anti hipertensi dan
pijat refleksi setiap 1
bulan sekali
Pendidikan kesehatan
1. Pendidikan
kesehatan penyebab,
pencegahan dan
penatalaksanaan
penyakit Hipertensi
2. Ajarkan pijat
refleksi untuk
mengatasi hipertensi
3. Bagikan leaflet
tentang pijat refleksi
kepada warga
penderita Hipertensi

PLAN OF ACTION

Masalah Kegiatan Sasaran Waktu Tempat Dana Penang


Kesehatan gung
Jawab
Defisiensi Pencegahan primer : Warga dewasa 3 Juni Bengkel Dari Desti
kesehatan Proses kelompok hipertensi yang 2018 pak Kelompo Julfitria
komunitas 1. Anjurkan warga kurang Sodikin k 03 h
berhubungan untuk pengetahuan RT 02
dengan membersihkan area tentang
ketidakcukup sekitar rumah penyakit
an sumber 2. Anjurkan warga
daya untuk menyiram
(pengetahuan halaman yang
tentang berdebu dengan
penyebab, air.
cara Empowerment
pencegahan 1. Gunakan strategi
dan cara untuk
penanganan meningkatkan
penyakit) pemahaman
Domain : 1, (seperti
kelas: 2, menyebarkan
kode: 00215 undangan untuk
diadakan
pendidikan
kesehatan kepada
warga dewasa).
2. Gunakan beberapa
alat komunikasi
(seperti telepon
dan lain-lain).
Partnership
1. Bekerja sama
dengan bidan dan
kader kesehatan
dalam
pelaksanaan
pendidikan
kesehatan, senam
anti hipertensi
dan pijat refleksi
setiap 1 bulan
sekali
Pendidikan kesehatan
1. Pendidikan
kesehatan
penyebab,
pencegahan dan
penatalaksanaan
penyakit
Hipertensi
2. Ajarkan pijat
refleksi untuk
mengatasi
hipertensi
3. Bagikan leaflet
tentang pijat
refleksi kepada
warga penderita
Hipertensi
EVALUASI HASIL KEPERAWATAN KOMUNITAS
DI RW 07 KENANGASARI KELURAHAN GENUK

No Kegiatan Waktu dan Hasil


tempat Respon Faktor
masyarakat Pendukung Penghambat
1 Proses kelompok Bengkel pak 1. Jumlah 1. Saat 1. Beberapa
1. Anjurkan warga Sodikin RT warga yang penyuluhan warga yang
untuk 02 menderita ditunjang tidak bisa
membersihkan Tanggal 3 hipertensi dengan hadir saat
area sekitar Juni 2018 yang adanya acara
rumah Jam 09.00 mengikuti power point penyuluhan
2. Anjurkan warga WIB-Selesai kegiatan dan karena ada
untuk menyiram penyuluhan dilengkapi kegiatan
halaman yang adalah dengan lain
berdebu dengan sebanyak 23 video 2. Acara
air. orang. demonstrasi penyuluhan
2. Warga yang dilakukan
Empowerment
sangat mendukung pada bulan
1. Gunakan strategi
antusias 2. Tersedianya ramdahan
untuk
mengikuti leaflet yang
meningkatkan
kegiatan dibagikan
pemahaman
penyuluhan yang
(seperti
dan bertujuan
menyebarkan
demonstrasi untuk dibaca
undangan untuk
pijat refleksi kembali oleh
diadakan
hipertensi masyarakat
pendidikan
3. Warga 3. Tersedianya
kesehatan kepada
berharap tempat dan
warga dewasa).
lebih sering waktu untuk
2. Gunakan
ada mengadakan
beberapa alat
penyuluhan penyuluhan
komunikasi
kesehatan
(seperti telepon
dan
dan lain-lain). kegiatan-
kegiatan
Partnership
kesehatan
1. Bekerja sama
lainnya.
dengan bidan dan
kader kesehatan
dalam
pelaksanaan
pendidikan
kesehatan, senam
anti hipertensi
dan pijat refleksi
setiap 1 bulan
sekali

Pendidikan
kesehatan
1. Pendidikan
kesehatan
penyebab,
pencegahan dan
penatalaksanaan
penyakit
Hipertensi
2. Ajarkan pijat
refleksi untuk
mengatasi
hipertensi
3. Bagikan leaflet
tentang pijat
refleksi kepada
warga penderita
Hipertensi
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M, dkk. 2015. Nursing Interventions Classification (NIC). Jakarta :


Elsevier
Corwin E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Profil Kesehatan 2005. Jakarta.
Depkes, 2010. Hipertensi penyebab kematian nomor tiga. (Online).
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/810-hipertansi-
penyebabkematian-nomor-tiga.html, diakses tanggal 22 Mei 2018.
Gray, et al., 2005, Hipertensi. Lecturer Notes Kardiologi, Edisi ke-4, Jakarta:
Erlangga
Herdman,T.H & Kamitsuru,S. 2015. NANDA International DiagnosaKeperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC
Kemenkes, RI. 2014. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI. HIPERTENSI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2010. (diakses pada tanggal 22 Mei 2018). Marrelli. 2008.
Buku Saku Dokumentasi Keperawatan Ed. III. Jakarta: EGC.
Moorhead, Sue, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC). Jakarta: Elsevier
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi
Edisi Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Prasetyaningrum Y.I. 2014. Hipertensi bukan untuk Ditakuti. Jakarta: Fmedia.
Sheps, S. G. (2005). Mayo clinic hipertensi; mengatasi tekanan darah tinggi.
Jakarta:Intisari Mediatama.
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
WHO. 2015. Q&As on Hypertension. (diakses pada 22 Mei 2018)

You might also like