You are on page 1of 21

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

TUNA DAKSA

A. Definisi
Secara etimologis, gambaran seseorang yang diidentifikasikan mengalami
ketunadaksaan, yaitu seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota
tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, yang
mengakibatkan penurunan kemampuan untuk melakukan gerakan – gerakan tubuh tertentu.
Secara definitif pengertian kelainan fungsi anggota tubuh (tunadaksa) adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal, akibat
luka, penyakit atau pertumbuhan tidak sempurna (Suroyo,1977). Layanan khusus diperlukan
dalam pembelajaran anak tuna daksa (Kneedler, 1984).
Tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yan menetap pada alat gerak
(tulang, sendi, otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Jika mereka mengalami gangguan gerakan karena kelayuhan pada fungsi syaraf otak disebut
dengan cerebral palsy (CP).
Pengertian Tunadaksa bisa dilihat dari segi fisiknya dan dari segi anatominya. Dari segi
fungsi fisik, tunadaksa diartikan sebagai seseorang yang fisik dan kesehatannya mengalami
masalah sehingga menghasilkan kelainan di dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya
dan untuk meningkatkan fungsinya di program layanan khusus.
Istilah kelianan fisik (physical disability) sebenarnya tidak digunakan. Istilah yang
digunakan dalam undang – undang adalah kelainan ortopedi (orthopedic impairment) dan
kelainan kesehatan lain (other health impairment).
Istilah ini didefinisikan sebagai berikut dalam Federal Register : kelainan ortopedi berarti
suatu keadaan penurunan fungsi ortopedik yang mempunyai efek merugikan pada prestasi
pembelajaran anak. Istilah ini meliputi gangguan yang disebabkan kelainan bawaan
(misalnya hilang salah satu anggota tubuh).
Kelainan / gangguan yang disebabkan oleh penyakit (misalnya poliomyelitis, TBC tulang
dll) dan kelainan oleh penyebab lain (misalnya cerebral palsy, amputasi, patah tulang atau
terbakar yang menyebabkan kontraktur).
Kelainan kesehatan lain berarti memiliki keterbatan kesehatan, vitalitas atau
kewaspadaan yang disebabkan oleh masalah – masalah kesehatan yang akut misalnya
penyakit jantung, tuberculosis, reumatik, radang ginjal, keracunan tubuh, leukemia atau
diabetes yang mengaakibatkan merugikan pada prestasi pendidikan anak (federal register,
1990)

B. Etiologi
Ada beberapa macam sebab yang dapat menimbulkan kerusakan pada anak sehingga
menjadi tunadaksa. Kerusakan tersebut ada yang terletak di jaringan otak, jaringan sumsum
tulang belakang, serta pada sistem muskulo skeletal. Terdapat keragaman jenis tunadaksa,
dan masing-masing timbulnya kerusakan berbeda-beda. Dilihat dari waktu terjadinya,
kerusakan otak dapat terjadi pada masa sebelum lahir, saat lahir, dan sesudah lahir.
1. Sebelum lahir (fase prenatal)
Kerusakan terjadi pada saat bayi saat masih dalam kandungan
disebabkan:
a. Infeksi atau penyakit yang menyerang ketika ibu mengandung sehingga menyerang
otak bayi yang sedang dikandungnya.
b. Kelainan kandungan yang menyebabkan peredaran terganggu, tali pusar tertekan,
sehingga merusak pembentukan syaraf-syaraf di dalam otak.
c. Bayi dalam kandungan terkena radiasi yang langsung mempengaruhi sistem syarat
pusat sehingga struktur maupun fungsinya terganggu.
d. Ibu yang sedang mengandung mengalami trauma yang dapat mengakibatkan
terganggunya pembentukan sistem syaraf pusat. Misalnya, ibu jatuh dan perutnya
terbentur dengan cukup keras dan secara kebetulan mengganggu kepala bayi, maka
dapat merusak sistem syaraf pusat.
2. Saat kelahiran (fase natal/perinatal)
Hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan otak bayi pada saat bayi dilahirkan
antara lain:
a. Proses kelahiran yang terlalu lama karena tulang pinggang yang kecil pada ibu
sehingga bayi mengalami kekurangan oksigen. Hal ini kemudian menyebabkan
terganggunya sistem metabolisme dalam otak bayi sehingga jaringan syaraf pusat
mengalami kerusakan.
b. Pemakaian alat bantu berupa tang ketika proses kelahiran yang mengalami kesulitan
sehingga dapat merusak jaringan syaraf otak pada bayi.
c. Pemakaian anestesi yang melebihi ketentuan. Ibu yang melahirkan karena operasi
dan menggunakan anestesi yang melebihi dosis dapat mempengaruhi sistem
persyarafan otak bayi sehingga otak mengalami kelainan struktur ataupun fungsinya.
3. Setelah proses kelahiran (fase post natal)
Fase setelah kelahiran adalah masa di mana bayi mulai dilahirkan sampai masa
perkembangan otak dianggap selesai, yaitu pada usia lima tahun. Hal-hal yang dapat
menyebabkan kecacatan setelah bayi lahir adalah:
a. Kecelakaan/trauma kepala, amputasi
b. Infeksi penyakit yang menyerang otak.

C. Tanda dan Gejala


Banyak jenis dan variasi anak tuna daksa, sehingga untuk mengidentifikasi
karakteristiknya diperlukan pembahasan yang sangat luas. Berdasarkan berbagai sumber
ditemukan beberapa karakteristik umum bagi anak tuna daksa, diantara lain sebagai berikut :
1. Karakteristik Kepribadian
2. Mereka yang cacat sejak lahir tidak pernah memperoleh pengalaman, yang demikian ini
tidak menimbulkan frustasi.
3. Tidak ada hubungan antara pribadi yang tertutup dengan lamanya kelainan fisik yang
diderita.
4. Adanya kelainan fisik tidak memperngaruhi kepribadian atau ketidak mampuan individu
dalam menyesuaikan diri.
5. Anak cerebal-pakcy dan polio cenderung memiliki rasa takut daripada yang mengalami
sakit jantung.
6. Karakteristik Emosi-sosial
7. Kegiatan-kegiatan jasmani yang tidak dapat dijangkau oleh anak tuna daksa dapat
berakibat timbulnya problem emosi, perasaan dan dapat menimbulkanfrustasi yang berat.
8. Keadaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu mereka menyingkirkan diri dari keramaian.
9. Anak tuna daksa cenderung acuh bila dikumpulkan bersama anak-anak normal dalam
suatu permainan.
10. Akibat kecacatanya mereka dapat mengalami keterbatasan dalam berkomunikasi dengan
lingkunganya.
11. Karakteristik Intelegensi
12. Tidak ada hubungan antara tingkat kecerdasan dan kecacatan, tapi ada beberapa
kecenderungan adanya penurunan sedemikian rupa kecerdasan individu bila kecacatanya
meningkat.
13. Hasil penelitian ternyata IQ anak tuna daksa rata-rata normal.
14. Karakteristik Fisik
15. Selain memiliki kecacatan tubuh, ada kecenderungan mengalami gangguan-gangguan
lain, misalnya: sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara
dan sebagainya.
16. Kemampuan motorik terbatas dan ini dapat dikembangkan sampai pada batas-batas
tertentu.
Adanya berbagai karakteristik tersebut bukan berarti bahwa setiap anak tuna daksa
memiliki semua karakteristik yang diungkapkan, namun bisa saja terjadi salah satunya tidak
dimiliki.
Dari karakteristik tersebut menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif. Dari
dampak negatif timbul masalah-masalah yang muncul yang berkaitan dengan posisi siswa
disekolah. Permasalahan tersebut dapat digolongkan menjadi beberapa masalah, yaitu:
1. Masalah kesulitan belajar
Terjadinya kelainan pada otak, sehingga fungsi fikirnya terganggu persepsi. Apalagi
bagi anak tuna daksa yang disertai dengan cacat-cacat lainya dapat menimbulkan
komplikasi yang secara otomatis dapat berpengaruh terhadap kemampuan menyerap
materi yang diberikan.
2. Masalah sosialisasi
Anak tuna daksa mengalami berbagai kesulitan dan hambatan dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi karena kelainan jasmani, sehingga
mereka tidak diterima oleh teman-temannya, diisolasi, dihina, dibenci, dan bahkan tidak
disukai sama sekali kehadiranya dan sebagainya.
3. Masalah kepribadian
Masalah kepribadian dapat berwujud kurangnya ketahanan diri bahkan tidak adanya
kepercayaan diri, mudah tersinggung dan sebagainya.
4. Masalah ketrampilan dan pekerjaan
Anak tuna daksa memiliki kemampuan fisik yang terbatas, namun di lain pihak bagi
mereka yang memiliki kecerdasan yang normal ataupun yang kurang perlu adanya
pembinaan diri sehingga hidupnya tidak sepenuhnya menggantungkan diri pada orang
lain. Karena itu dengan modal kemampuan yang dimilikinya perlu diberikan kesempatan
yang sebanyak-banyaknya untuk dapat mengembangkan lewat latihan ketrampilan dan
kerja yang sesuai dengan potensinya, sehingga setelah selesai masa pendidikan mereka
dapat menghidupi dirinya, tidak selalu mengharapkan pertolongan oranglain. Di lain
pihak dianggap perlu sekali adanya kerja sama yang baik dengan perusahaan baik negeri
maupun swasta untuk dapat menampung mereka.
5. Masalah latihan gerak
Kondisi anak tuna daksa yang sebagian besar mengalami gangguan dalam gerak.
Agar kelainanya itu tidak semakin parah dan dengan harapan supaya kondisi fungsional
dapat pulih ke posisi semula, dianggap perlu adanya latihan yang sistematis dan
berlanjut.misalnya terapi-fisik (fisio-therapy), terapi-tari (dance-therapy), terapi-bermain
(play-therapy), dan terapi-okupasional (occupotional-therapy).

D. Patofisiologi
Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, pada dasarnya kelainan pada anak tunadaksa
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) kelainan pada sistem serebral
( Cerebral System), dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka ( Musculus Skeletal System)
1. Kelainan pada sistem serebral ( cerebral system disorders)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelainan sistem serebral ( cerebral)
didasarkan pada letak penyebab kelahiran yang terletak di dalam sistem syaraf pusat
(otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada sistem syaraf pusat mengakibatkan
bentuk kelainan yang krusial karena otak dan sumsum tulang belakang merupakan pusat
dari aktivitas hidup manusia. Di dalamnya terdapat pusat kesadaran, pusat ide, pusat
kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris dan lain sebagainya. Kelompok kerusakan
bagian otak ini disebut Cerebral Palsy (CP). Cerebral Palsy dapat diklasifikasikan
menurut:
a. Penggolongan menurut derajat kecacatan
Menurut derajat kecacatan, cerebal palsy dapat digolongkan atas: golongan
ringan, golongan sedang, dan golongan berat.
- Golongan ringan adalah mereka yang dapat berjalan tanpa menggunakan alat,
berbicara tegas, dapat menolong dirinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka dapat hidup bersama-sama (dalam hal ini mengikuti aktivitas sehari-hari)
anak normal lainnya. Kelainan yang dimiliki oleh kelompok ini tidak mengganggu
kehidupan dan pendidikannya.
- Golongan sedang adalah mereka yang membutuhkan treatment atau latihan
khusus untuk bicara, berjalan, dan mengurus dirinya sendiri. Golongan ini
memerlukan alat-alat khusus untuk membantu gerakannya, seperti brace untuk
membantu penyangga kaki, kruk atau tongkat sebagai penopang dalam berjalan.
Dengan pertolongan secara khusus, anak-anak kelompok ini diharapkan dapat
mengurus dirinya sendiri.
- Golongan berat adalah mereka yang memiliki cerebral palsy. Golongan ini yang
tetap membutuhkan perawatan dalam ambulansi, bicara, dan menolong dirinya
sendiri. Mereka tidak dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat.
b. Penggolongan menurut topografi
Dilihat dari topografi yaitu banyaknya anggota tubuh yang lumpuh, Cerebral
Palsy dapat digolongkan menjadi enam golongan, yaitu:
- Monoplegia
Hanya satu anggota gerak yang lumpuh, misalnya kaki kiri. Sedangkan kaki kanan
dan kedua tangannya normal
- Hemiplegia
Lumpuh anggota gerak atas dan bawah pada sisi yang sama,
misalnya tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan kaki kiri.
- Paraplegia
Lumpuh pada kedua tungkai kakinya.
- Diplegia
Lumpuh kedua tangan kanan dan kiri atau kedua kaki kanan dan kiri
(paraplegia).
- Triplegia
Tiga anggota gerak mengalami kelumpuhan, misalnya tangan kanan dan
kedua kakinya lumpuh, atau tangan kiri dan kedua kakinya lumpuh.
- Quadriplegia
Anak jenis ini mengalami kelumpuhan seluruhnya anggota
geraknya. Mereka cacat pada kedua tangan dan kedua kakinya,
quadriplegia disebutnya juga tetraplegia.
c. Penggolongan menurut fisiologi
Dilihat dari fisiologi, yaitu segi gerak, letak kelainan terdapat di
otak dan fungsi geraknya (motorik), maka anak Cerebral Palsy dibedakan atas:
- Spastik
Tipe spastik ini ditandai dengan adanya gejala kekejangan atau kekakuan pada
sebagian ataupun seluruh otot. Kekakuan itu timbul ketika akan bergerak sesuai
dengan kehendak. Dalam keadaan ketergantungan emosional, kekakuan atau
kekejangan itu akan makin bertambah, sebaliknya dalam keadaan tenang, gejala
itu menjadi berkurang. Pada umumnya, anak CP jenis spastik ini memiliki tingkat
kecerdasan yang tidak terlalu rendah. Di antara mereka ada yang normal bahkan
ada yang di atas normal.
- Athetoid
Pada tipe ini tidak terdapat kekejangan atau kekakuan. Otot-ototnya dapat
digerakkan dengan mudah. Ciri khas tipe ini terdapat pada sistem gerakan.
Hampir semua gerakan terjadi di luar kontrol dan koordinasi gerak.
- Ataxia
Ciri khas tipe ini adalah seperti kehilangan keseimbangan. Kekakuan hanya dapat
terlihat dengan jelas saat berdiri atau berjalan. Gangguan utama pada tipe ini
terletak pada sistem koordinasi dan pusat keseimbangan pada otak. Akibatnya,
anak tipe ini mengalami gangguan dalam hal koordinasi ruang dan ukuran.
Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat makan mulut
terkatup terlebih dahulu sebelum sendok berisi makanan sampai ujung mulut.
- Tremor
Gejala yang tampak jelas pada tipe tremor adalah gerakan-gerakan kecil dan terus
menerus berlangsung sehingga tampak seperti bentuk getaran-getaran. Gerakan itu
dapat terjadi pada kepala, mata, tungkai, dan bibir.
- Rigid
Pada tipe ini dapat dijumpai kekakuan otot – tidak seperti pada tipe spastik – di
mana gerakannya tampak tidak ada keluwesan.
- Tipe campuran
Anak pada tipe ini menunjukkan dua ataupun lebih jenis gejala CP sehingga
akibatnya lebih berat bila dibandingkan dengan anak yang hanya memiliki satu
tipe CP.
2. Kelainan pada sistem otot dan rangka ( musculus scelatel system)
Penggolongan anak tuna daksa ke dalam kelompok sistem otot dan rangka didasarkan
pada letak penyebab kelainan anggota tubuh yang mengalami kelainan yaitu: kaki, tangan
dan sendi, dan tulang belakang. Jenis-jenis kelainan sistem otak dan rangka antara lain
meliputi
a. Poliomylitis
Penderita polio ini mengalami kelumpuhan otot sehingga otot akan mengecil dan
tenaganya melemah. Peradangan akibat virus polio ini menyerang sumsum tulang
belakang pada anak usia dua tahun sampai enam tahun.
b. Muscle Dystrophy
Anak mengalami kelumpuhan pada fungsi otot. Kelumpuhan pada penderita muscle
dystrophy sifatnya progresif, semakin hari semakin parah. Kondisi kelumpuhannya
bersifat simetris, yaitu pada kedua tangan saja atau kedua kaki saja, atau pada kedua
tangan dan kaki. Penyebab terjadinya muscle distrophy belum diketahui secara pasti.
Gejala anak menderita muscle dystrophy baru kelihatan setelah anak berusia tiga
tahun, yaitu gerakan-gerakan yang lambat, di mana semakin hari keadaannya semakin
mundur. Selain itu, jika berjalan sering terjatuh. Hal ini kemudian mengakibatkan
anak tidak mampu berdiri dengan kedua kakinya dan harus duduk di atas kursi roda.
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboraturium dan Penunjang yang dapat dilakukan pada anak tuna daksa
(dalam hal ini cerebral’s palsy) meliputi:
1. Pemeriksaan pendengaran ( untuk menentukan status pendengaran )
2. Pemeriksaan penglihatan ( untuk menentukan status fungsi penglihatan )
3. Pemeriksaan serum, antibody : terhadap rubela, toksoplasmosis dan herpes
4. MRI kepala / CT scan menunjukkan adanya kelainan struktur maupun kelainan bawaan :
dapat membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran / letak vertikal.
5. EEG : mungkin terlihat gelombang lambat secara fokal atau umum ( ensefalins ) /
volsetasenya meningkat ( abses )
6. Analisa kromosom
7. Biopsi otot
8. Penilaian psikologik
F. Pathway
G. Penatalaksanaan
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membantu anak dengan kelainan fisik,
antara lain :
1. Bina Mandiri :
a. Kenali kondisi anak. Kondisi anak dapat dikenali dengan melakukan diagnosa dan
perawatan yang tepat. Dengan mengenali kondisi anak, guru dapat menentukan
perlakuan yang tepat sesuai kekurangan pada fisik anak.
b. Bersikap positif. Selalu memberi dukungan dan pengertian pada anak tetapi tidak
memberi harapan palsu.
c. Selalu memberi cinta. Cinta dan kasih sayang orang di sekeliling menjadi kekuatan
terbesar bagi anak untuk mengatasi kekurangannya. Tunjukkan rasa cinta tanpa pamrih
melalui pelukan, ciuman, genggaman tangan, meluangkan waktu untuk meberi
bantuan.
d. Menghadirkan keadaan normal. Selalu menciptakan kegiatan yang normal. Kegiatan
yang disusun tidak terlalu memanjakan atau melindungi anak, karena akan
menghambat perkembangan anak.
e. Selalu menghargai anak melalui kata-kata maupun tindakan. Memberitahu kelebihan
anak yang dapat digunakan untuk menghadapi permasalahan anak.
f. Memberikan fasilitas berupa berbagai alat bantu untuk menambah dan mempermudah
anak beraktivitas.
g. Membantu anak berinteraksi. Bagaimana menghadapi dan menerima kehadiran anak
lain. Melibatkan anak secara aktif pada berbagai kegiatan.
2. Rehabilitasi medik :
a. Fisioterapi : relaksasi, terapi manipulasi, latihan keseimbangan, latihan koordinasi,
latihan mobilisasi, latihan ambulasi dan latihan Bobath dengan
b. Teknik inhibisi, fasilitasi dan stimulasi latihan dapat diberikan ditempat tidur, di
gymnasium, di kolam renang.
c. Terapi Okupasi :
- Latihan diberikan dalam bentuk aktifitas permainan, dengan menggunakan
plastisin, manik-manik, puzzle; dengan berbagai bentuk gerakan, ketepatan arah,
permainan yang memerlukan keberanian.
- Aktifitas kehidupan sehari-hari : berpakaian, makan minum, penggunaan alat
perkakas rumah tangga dan aktifitas belajar.
- Seni dan ketrampilan : menggunting, menusuk, melipat, menempel dan
mengamplas.
d. Terapi Wicara : pada anak dengan gangguan komunikasi/bicara dengan latihan dalam
bahasa pasif : anggota tubuh, benda-benda di dalam/diluar rumah dan disekolah dan
dalam bahasa konsonan, suku kata, kata dan kalimat dengan pengucapan huruf
hidup/vokal.
e. Terapi Musik : tujuannya menumbuhkembangkan potensi-potensi pada anak yang
berkelainan baik fisik, mental intelektual maupun sosial emosional sehingga mereka
akan berkembang menjadi percaya diri sendiri. Pelayanan tersebut dengan cara melatih
: ritme, nada dan irama, interfal, tarian, drama, cerita, senam, pengenalan alat musik,
pengenalan lagu, latihan baca sajak/puisi.
f. Psikolog : pemeriksaan kecerdasan, psikoterapi, edukasi pada orang tua dan keluarga
agar dapat menghadapi anak dengan kelainan tersebut.
g. Sosial Medik : memberikan pelayanan mencari data keluarga, sosial, ekonomi,
pendidikan, lingkungan tempat tinggal, dsb. Yang dapat bermanfaat bagi para dokter
dan terapis dalam menyusun program rehabilitasi. Selain itu pelayanan yang
berhubungan dengan Yayasan-yayasan sosial lainnya, Kantor Departemen sosial,
Rumah sakit, Sekolah, sehingga dapat terjalin hubungan erat dengan berbagai instansi
yang sangat penting untuk keberhasilan program rehabilitasi.
h. Ortotik Prostetik : memberikan pelayanan pembuatan alat-alat bantu; misal brace,
tongkat ketiak, kaki tiruan, kursi roda.
3. Koreksi operasi
Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis,
menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering
dilakukan pada tipe spastic dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada
anggota gerak bawah disbanding dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf
motorik, tendon, otot atau pada tulang.
4. Obat – obatan
Pemberian obat-obatan bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-
motorik dan untuk mengontrol serangan kejang. Pada penderita CP yang kejang
pemberian obat anti kejang memamerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi
pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Pada penderita dengan kejang
diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya,
misalnya luminal, dilatin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, otot
golongan benzodiazepine, misalnya : valium, Librium atau mogadon dapat dicoba. Pada
keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan
depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 – 10 mg
pada pagi hari dan 2,5 – 5 mg pada waktu tengah hari.

H. Pengkajian
Anak berkebutuhan khusus, tuna daksa mengalami kesulitan dalam bergerak yang diikuti
juga oleh kesulitan-kesulitan lain seperti gangguan persepsi, konsentarsi, penyesuaian diri
dan lain – lain. Kesulitan-kesulitan itu mengakibatkan terhambatnya perkembangan kognitif,
untuk itu perlu pengkajian khusus untuk mengetahui kondisi anak tersebut. Data yang
diperoleh dari pengkajian meliputi :
1. Identitas data umum
a. Umur : Menyerang anak di usia tumbuh kembang
b. Status ekonomi :Nutrisi yang kurang merupakan salah satu penyebab dari
gangguan motorik kasar
c. Pendidikan :Suatu kebiasaan yang biasanya ada satu larangan
mengkonsumsi makanan pada masa tumbuh kembang.
2. Keluhan utama
3. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Prenatal : Kurang asupan nutrisi, terserang penyakit selama hamil
Intra natal : Bayi terlalu lama di jalan lahir, terjepit di jalan lahir, bayi menderita
caput sesodonium, bayi menderita cepal hematom.
Post natal : Kurang asupan nutrisi, bayi menderita penyakit infeksi, asfiksia, dan
ikterus.
4. Riwayat masa lampau
a. Penyakit waktu kecil
b. Pernah dirawat di Rumah sakit
c. Obat – obat yang digunakan
d. Tindakan operasi
e. Alergi
f. Kecelakaan
g. Imunisasi
5. Riwayat keluarga
6. Riwayat kesehatan lingkungan
a. Lingkungan tempat tinggal
b. Pola sosialisasi anak
c. Kondisi rumah
7. Riwayat psikososial- spiritual
a. Yang mengasuh
b. Hubungan dengan anggota keluarga
c. Hubungan dengan teman sebaya
d. Pembawaan secara umum
e. Pelaksanaan ke suatu spiritual
Pengkajian menggunakan KMS, KKA, dan DDST :
1. Pertumbuhan
a. Kaji BBL
b. BB normal 3-12 bulan : Umur ( bulan ) + 9
2
c. BB normal 1-6 tahun : Umur ( tahun ) x 2 + 8
d. BB normal 6-12 tahun : Umur ( tahun ) x 7 – 5
2
e. LL dan luka saat lahir dan kunjungan
2. Perkembangan
a. Lahir kurang bulan : Belajar mengangkat kepala , mengikuti objek dengan
mata, mengoceh
b. Usia 3 – 6 bulan : Mengangkat kepala 90º belajar meraih benda, tertawa dan
menagis, meringis
c. Usia 6-9 bulan : Duduk tanpa dibantu, tengkurap, berbalik sendiri, merangkak,
meraih benda, memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lain dan
mengeluarkan kata – kata tanpa arti
d. Usia 9-12 bulan : Dapat berdiri sendiri, mengeluarkan kata-kata, mengerti ajakan
sederhana dan larangan, berpartisipasi dalam bermain
e. Usia 12- 18 bulan : engeksplorasi rumah dan sekelilingnya, menyusun 2-3 kata
,dapat mengatakan 3-10 kata, rasa cemburu/ bersaing.
f. Usia 18-24 bulan : Naik turun tangga, menyusun 6 kata ,menunjukkan mata dan
hidung, belajar makan sendiri, menggambar garis, memperhatikan minat pada
anak lain, dan bermain dengan mereka.
g. Usia 2-3 tahun : Belajar melompat, memajat, buat jembatan dengan 3 kotak,
menyusun kalimat
h. Usia 3-4 tahun : Belajar sendiri berpakaian, menggambar, bebicara dengan baik,
menyebut nama dan menyayangi saudara
i. Usia 4-5 tahun : Melompat, menari, menggambar orang, dan menghitung

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang biasa muncul pada anak tuna daksa yaitu :
1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan : Motorik, verbal b.d kerusakan cerebral
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
3. Gangguan sensori persepsi : penglihatan b.d kerusakan neurologi
4. Gangguan sensori persepsi : pendengaran b.d kerusakan neurologi
5. Defisit perawatan diri (self care) b.d kelemahan fisik
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan dan meningkatnya
aktivitas
7. Kurang pengetahuan b.d perawatan dirumah dan kebutuhan terapi
8. Resiko cidera b.d gangguan pada fungsi motorik
9. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d pertahanan primer tubuh tidak adekuat
J. Perencanaan (tujuan, renpra, rasional)
Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
Gangguan Setelah dilakukan tindakan Parent Education : Adolescent
pertumbuhan dan keperawatan, resiko keterlam- - Tanyakan pada orang tua tentang - Mengidentifkasi sejauh mana
perkembangan : batan perkembangan dapat ter- karakteristik anak orang tua mengenal anak,
Kognitif / atasi dengan kriteria hasil :
termasuk kelebihan dan ke-
Motorik b.d
kerusakan kurangannya terutama dalam
Indikator AT
cerebral perkembangan kognitif dan
Anak mampu melaku- motorik
- Diskusikan pola asuh yang biasa
kan kebiasaan sesuai
dilakukan pada anak. - Pola asuh mempengaruhi
dengan umur
Kemampuan kognitif perkembangan anak, misalkan
anak sesuai dengn usia pada pola asuh dictator anak
tumbuh kembang cenderung takut bersosialisasi
Kemampuan motorik dan cenderung menyendiri
anak sesuai dengan usia - Monitor perasaan orang tua sehingga tugas perkebangannya
tumbuh kembang terhadap anak ada yang terlambat
- Mengidentifikasi adanya
Keterangan :
1. Keluhan ekstrim penolakan orang tua terhadap
- Ajarkan pada orang tua tentang kehariran anak di tengah
2. Keluhan berat metode komunikasi yang tepat pada
3. Keluhan sedang keluarganya
anak sesuai dengan karakteristik
4. Keluhan ringan anak. - Komunikasi yang baik ialah
5. Tidak ada keluhan komunikasi dua arah dimana
Developmental Enhancement : orang tua juga mempertim-
Adolescent bangkan keinginan / pandangan
- Informasikan pada orang tua anak terhadap sesuatu.
tentang perkembangan anak yang
seharusnya telah dipenuhi.
- Identifikasi perkembangan masalah
klien - Menambah pengetahuan orang
tua bahwa anaknya harusnya
sudah memenuhi tugas
perkembangan pada usianya
- Rencanakan untuk kegiatan sekarang, dan mengidentifikasi
stimulus perkembangan anak. apakah terdapat keterlambatan
- Lakukan stimulasi tingkat atau tidak
perkembangan sesuai dengan usia - Stimulus diberikan sesuai tahap
klien perkembangan anak yang
- Lakukan rujukan ke lembaga seharusnya sudah terpenuhi.
pendukung stimulasi pertumbuhan
dan perkembangan (Puskesmas /
Posyandu) - Stimulasi diperlukan untuk
mengejar keterlambatan
- Pertahankan keberlanjutan program perkembangan anak dalam
stimulasi pertumbuhan dan aspek motorik, bahasa dan
perkembangan anak dengan personal/sosial
memberdayakan sistem pendukung - Stimulus harus diberikan secara
yang ada terus-menerus, biasanya
disediakan oleh lembaga
pendukung seperti puskesmas
atau poli tumbuh kembang di
rumah sakit.

Kerusakan Setelah dilakukan asuhan Exercise Therapy : Ambulation


mobilitas fisik keperawatan diharapkan - Kaji kemampuan pasien dalam - Mengetahui apa yang sudah bisa
b.d kerusakan mobilitas fisik klien dipertahan- mobilisasi pasien lakukan/ pergerakan apa
neuromuskuler kan dengan kriteria hasil: saja yang bisa dan apa yang
terbatas. Pada pasien dengan tuna
Mobility Level daksa (cacat fisik) terutama
Indikator AT ekstremitas, biasanya kemam-
puan mobilisasinya terganggu.
Klien meningkat dalam Pengkajian diperlukan untuk
aktivitas fisik menentukan terapi apa yang bisa
Mengerti tujuan dari diterapkan.
peningkatan mobilitas - Mengidentifikasi kemampuan
Memverbalisasikan pemenuhan kebutuh an aktivitas
- Kaji kemampuan Pasien dalam pasien secara mandiri
perasaan dalam
melakukan aktivitas - Mengidentifikasi respon tubuh
meningkatkan kekuatan
dan kemampuan terhadap aktivitas
- Monitoring vital sign sebelum /
berpindah
Memperagakan sesudah latihan dan lihat respon - Meminimalkan atrofi otot,
penggunaan alat Bantu pasien saat latihan meningkatkan sirku-lasi,
untuk mobilisasi - Mulailah melakukan latihan membantu mencegah kontraktur.
(walker) rentang gerak aktif dan pasif pada Menurunkan risiko terjadinya
semua ekstremitas (ROM) hiperkalsiura dan osteoporosis
Keterangan : jika masalah utamanya adalah
1. Keluhan ekstrim perdarahan. Catatan : Stimulasi
2. Keluhan berat yang berlebihan dapat menjadi
3. Keluhan sedang pencetus adanya perdarahan
4. Keluhan ringan berulang.
5. Tidak ada keluhan - Meningkatkan harapan terhadap
perkembangan/ peningkatan dan
- Anjurkan pasien untuk membantu memberikan perasaan
pergerakan dan latihan dengan kontrol/kemandirian
menggunakan ekstremitas yang - Melatih kemampuan pasien
tidak sakit. secara terus-menerus hingga
- Konsultasikan dengan ahli terbiasa dan mampu melakukan
fisioterapi secara aktif, latihan pemenuhan kebutuhan sehari-hari
resistif, dan ambulasi pasien. secara mandiri
- Ajarkan pasien atau tenaga
kesehatan lain tentang teknik - Mengoptimalkan kemampuan
ambulasi berjalan pasien secara bertahap
- Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
- Dampingi dan Bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs pasien.
- Berikan alat Bantu jika Pasien
memerlukan.

Defisit Setelah dilakukan asuhan Self Care assistane : ADLs


perawatan diri keperawatan diharapkan klien - Monitor kemampuan klien untuk - Dengan menggunakan inter-
(self care) b.d dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri (mandi, berpakaian vensi langsung dapat menen-
Kelemahan fisik perawatan diri dengan kriteria dan makan) yang mandiri. tukan intervensi yang tepat
hasil: untuk klien
- Monitor kebutuhan pasien untuk - Mengidentifikasi batas kemam-
Self care assistance: ADLs alat-alat bantu untuk kebersihan puan pasien dalam perawatan
(mandi, berpakaian, makan, diri, berpakaian, berhias, toileting diri mandiri. intervensi
toileting) dan makan. pembedahan membuat pasien
terbatas dalam melakukan
Indikator AT aktivi-tas, termasuk pemenuhan
kebutuhan perawatan
Makan
mandirinya.
Berpakaian - Bantu klien dalam posisi duduk, - Posisi duduk membantu proses
Toileting yakinkan kepala dan bahu tegak menelan dan mencegah aspirasi
Mandi selama makan dan 1 jam setelah
Berhias makan)
Kebersihan diri - Hindari kelelahan sebelum makan, - Untuk meningkatkan nafsu
Kebersihan mulut mandi dan berpakaian. makan
Berjalan - Dorong klien untuk tetap makan - Konservasi energy meningkat-
Pergerakan kursi roda sedikit tapi sering. kan toleransi aktivitas dan
Berpindah - Dorong klien untuk melakukan peningkatan kemampuan
Memposisikan diri aktivitas sehari-hari yang normal perawatan diri
sesuai kemampuan yang dimiliki.
Keterangan : - Dorong untuk melakukan secara
1. Keluhan ekstrim mandiri, tapi beri bantuan ketika
2. Keluhan berat klien tidak mampu melakukannya.
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, Arvin, 1999. Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15 Nelson, Jakarta :
EGC.
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014.
(M. Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa
medis dan NANDA NIC-NOC (Jilid 2 ed.). Yogyakarta: Med Action Publishing.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed.,
Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: EGC.
Soemantri, Sutjihati. (1996). Psikologi Anak Luar Biasa. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : ECG.
Soetomenggolo, Taslim S, 1999. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Wong, Donna L. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC

You might also like