Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Umat Islam merayakan hari raya Idul Adha setiap tahun. Pada hari raya tersebut
umat Islam yang mampu secara ekonomi biasanya melaksanakan ibadah kurban sebagai
wujud pembuktian kecintaan dan keikhlasan umat kepada Allah SWT. Ibadah kurban
adalah ibadah yang dilakukan dengan menyembelih hewan ternak seperti kerbau, sapi,
domba, dan kambing. Penyembelihan hewan kurban biasanya dilakukan di rumah, mesjid,
sekolah, pesantren, dan kantor.
Hewan yang disembelih untuk berkurban adalah hewan yang memenuhi kriteria
tertentu. Hewan kurban harus layak untuk dikonsumsi dan memenuhi kriteria kesehatan
hewan yaitu hewan harus sehat, tidak cacat (tidak pincang, tidak buta, daun telinga tidak
rusak, tanduk tidak patah, dan tidak kurus), berjenis kelamin jantan, cukup umur (kerbau
dan sapi minimal berumur 2 tahun, domba dan kambing minimal berumur 1 tahun) yang
ditandai oleh tumbuhnya sepasang gigi tetap.
Tanda-tanda hewan sehat secara fisik dapat dinilai dengan pemeriksaan
antemortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih. Tanda-tanda fisik
tersebut adalah berbadan tegap, mata bersinar dan tanpa kotoran mata (belekan), hidung
basah (bukan basah karena ingus/pilek), bulu bersih mengkilap, tidak kotor atau gimbal,
tidak ada cacat pada anggota badan, hewan aktif bergerak dan tidak loyo. Hewan yang
sehat tidak mengeluarkan cairan (darah) dari lubang hidung, telinga, mulut, mata, ataupun
anus. Hewan sehat memiliki kuku yang sempurna (tidak terlepas atau luka).
87
Untuk menjamin daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) maka dilakukan
pula pemeriksaan postmortem yaitu pemeriksaan kesehatan hewan setelah disembelih.
Hewan sehat atau sakit dapat ditentukan berdasarkan ada tidaknya kelainan-kelainan yang
ditemukan pada daging, dan jeroan. Hewan kurban tidak boleh disembelih apabila
menderita penyakit ingus jahat, blue tongue, tetanus, dan anthrax. Berdasarkan uraian
tersebut maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini difokuskan pada penjelasan
tentang kesehatan hewan kurban kepada masyarakat yang terlibat langsung pada
pelaksanaan kurban di desa Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini berhubungan dengan kesehatan masyarakat
veteriner, dimana hewan kurban serta produk-produknya yang berkaitan dengan kesehatan
manusia atau sebaliknya.
88
yang berkaitan dengan kesehatan manusia atau sebaliknya. Pelaksanaan pengabdian
mengikuti tahap-tahap pemeriksaan antemortem, penyembelihan hewan kurban,
pemeriksaan postmortem, dan pembagian daging hewan kurban.
89
per satu tumpukan daging dimasukkan ke dalam kantung plastik dan dibagikan kepada
penduduk yang telah ditentukan oleh panitia kurban.
Hasil pemeriksaan umur pada 7 ekor sapi sebagai hewan kurban berdasarkan kondisi
gigi ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pemeriksaan umur hewan kurban berdasarkan kondisi gigi
No Gigi tetap Keterangan umur
1 + > 2 tahun
2 + > 2 tahun
3 + > 2 tahun
4 + > 2 tahun
5 + > 2 tahun
6 + > 2 tahun
7 - < 2 tahun
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang
terdapat pada daerah kepala ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala
Organ Hasil Pemeriksaan Keterangan
90
Kepala Pembengkakan karena bisul, tumor, luka, benjolan Negatif
Mata Merah Negatif
Telinga Luka Negatif
Hidung Lendir berlebihan Negatif
Mulut Luka Negatif
Lidah Luka, lepuh, sariawan, bengkak, pendarahan Negatif
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ yang
terdapat pada jeroan ditunjukkan pada Tabel 4.
Hasil pemeriksaan antemortem pada tujuh ekor sapi menunjukkan bahwa semua sapi
tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda kondisi sakit (Tabel 1). Berdasarkan kondisi gigi
menunjukkan bahwa 6 ekor sapi telah tumbuh gigi permanen, sedangkan satu ekor sapi
belum tumbuh gigi permanen. Hal ini berarti sapi yang belum tumbuh gigi permanen
belum mencapai umur dua tahun (Tabel 2). Pemeriksaan postmortem pada bagian kepala
tidak ditemukan pembengkakan karena bisul, tumor, luka, ataupun benjolan. Mata terlihat bersinar
dan tidak ada eksudat. Mulut dan lidah terlihat bersih dan tidak ditemukan lepuh-lebuh ataupun
luka. Hidung terlihat basah dan tidak ada lendir yang berlebihan. Telinga terlihat bersih dan tidak
ada ekto parasit (Tabel 3).
Pemeriksaan postmortem pada bagian jeroan ditunjukkan pada Tabel 4. Pemeriksaan
trakhea dan esofagus tidak ada corpus aleonum, luka, lepuh, darah, dan busa normal.
Pemeriksaan paru menunjukkan bahwa tidak ditemukan bisul, tumor, benjol, bintik merah, dan
warna normal. Pada jantung juga tidak ditemukan bisul, benjolan, dan cacing. Warna
perut/usus adalah normal yaitu putih bersih, dan mengkilap. Pada limpa dan ginjal tidak
ditemukan tumor, benjolan, ataupun bengkak. Tekstur daging normal yaitu liat berwarna
merah, tidak ada memar, bintik darah, bisul.
Pemeriksaan postmortem ditujukan untuk: (1) Mengenali kelainan atau abnormalitas
pada daging, isi dada dan isi perut, sehingga hanya daging hewan kurban yang baik yang
akan dibagikan atau dikonsumsi. (2) Menjamin bahwa proses penyembelihan dilaksanakan
dengan baik. (3) Meneguhkan hasil pemeriksaan antemortem. (4) Menjamin kualitas dan
keamanan daging. Apabila pada pemeriksaan postmortem tidak ditemukan kelainan, maka
daging boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan ada kelainan lokal (sedikit), maka daging
boleh dikonsumsi, tetapi bagian yang “mengalami kelainan” harus dibuang (disayat).
Apabila ditemukan banyak kelainan (ada penyakit berbahaya) semua bagian tidak boleh
dikonsumsi. Daging yang tidak sehat (karena hewan sakit) jika dikonsumsi maka akan
mengganggu kesehatan tubuh manusia (misalnya akan menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh, tubuh mudah sakit, mengganggu pertumbuhan pada anak, menyebabkan sakit
perut, pusing-pusing, demam, diare atau bahkan jika parah dapat menyebabkan kematian.
Beberapa penyakit dapat diamati melalui pemeriksaan postmortem. Perubahan yang
khas dan menciri pada berbagai organ tubuh menjadi penunjang diagnosa. Corner et al.
91
(1990) menyatakan penyakit tuberculosis pada sapi lebih signifikan dapat diamati melalui
nekropsi postmortem ditandai dengan lesi paru. Kaneene et al. (2006) melaporkan bahwa
salah satu metode program pengendalian dan eradikasi tuberculosis di Amerika Serikat
adalah melalui pemeriksaan rutinitas ante- dan postmotem. Radunz (2006) menyatakan
bahwa keberhasilan eradikasi brucellosis dan tuberculosis di Australia didukung oleh
kerjasama antara industri dan pemerintah yang mendanai program surveilens ante- dan
postmortem sehingga mengurangi infeksi pada saat penanganan daging. McMahon et al.
(1987) menyatakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing parasitik yaitu kasus
fasciolosis pada sapi sering dideteksi pada empat Abotoir (tempat pemotongan) di
Australia.
Pemeriksaan daging berfungsi menjamin daging bermutu yaitu yang aman, sehat dan
utuh untuk perelindungan kesehatan manusia. Selain itu, dapat membantu mengawasi
kejadian penyakit hewan dan melindungi kesehatan hewan lainnya. Daging masih
boleh dikonsumsi apabila pada pemeriksaan antemortem hewan dinyatakan sehat dan pada
pemeriksaan postmortem tidak ada kelainan yang ditemukan (daging bermutu tinggi).
Apabila ditemukan bisul (yang tidak menyebar ke seluruh bagian), patah tulang,
pembengkakan persendian atau kelainan-kelainan bersifat lokal (setempat) maka daging
boleh dikonsumsi. Apabila ditemukan cacing, tetapi tidak menyebar rata di seluruh bagian
tubuh, maka daging boleh dikonsumsi setelah cacing atau bagian yang rusak karena cacing
tersebut dibuang. Daging tidak boleh dikonsumsi apabila banyak mengandung darah,
banyak kelainan yang ditemukan (misalnya, banyak terdapat bisul atau bisul yang
menyebar, banyak mengandung cacing atau parasit lain.
Untuk mendapatlan daging hewan kurban yang ASUH dan menjaga kesejahteraan
hewan, maka hewan diistirahatkan minimal 12 jam sebelum disembelih. Hal ini dilakukan
mengingat pengangkutan hewan atau transportasi hewan menyebabkan hewan tersebut
letih, lemah dan kekurangan tenaga. Jika hewan yang letih dan lemah tersebut disembelih,
maka akan menghasilkan daging yang tidak bermutu. Hewan diistirahatkan agar
memulihkan kondisi/kesegaran tubuh hewan, sehingga akan menghasilkan daging yang
bermutu.
Pada saat penyembelihan, darah hewan kurban harus dikeluarkan secara sempurna.
Jika darah dari hewan yang disembelih tidak dikeluarkan sebanyak mungkin, maka darah
tersebut akan tertahan didalam daging atau daging masih mengandung banyak darah.
Daging yang masih banyak mengandung darah, maka daging tersebut sangat cepat menjadi
busuk. Daging yang busuk (banyak mengandung kuman) akan mengeluarkan bau busuk
dan daging menjadi tidak sehat (kandungan gizi berkurang).
Hasil pemeriksaan kondisi postmortem hewan kurban yang diamati pada organ hati
ditunjukkan pada Tabel 5.
92
Pemeriksaan postmortem pada tujuh hati sapi tidak ditemukan tumor, bisul ataupun
benjolan-benjolan, tetapi pada tiga hati sapi ditemukan adanya bagian-bagian parenkim
hati yang mengalami nekrosa yang diganti oleh jaringan ikat membentuk sarang-sarang
cacing F. gigantica. Hal ini berarti bahwa tiga (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban positif
terinfeksi oleh cacing F. gigantica (Tablel 5).
Pada sapi infeksi cacing F. gigantica berlangsung asymptomatic. Kelainan patologi
yang ditimbulkan oleh fasciolosis biasanya tergantung kepada jumlah metaserkaria yang
tertelan pada suatu periode tertentu dan kerentanan hewan.Infeksi yang berat pada sapi
menunjukkan tidak ada gejala klinis yang nyata, tetapi dapat menimbulkan pengurangan
produksi. Kasus fasciolosis kronis terjadi pada semua musim dan gejala klinik termasuk
anemia, berat badan berkurang, penurunan produksi susu, udema submandibula.
Infeksi alami pada inang definitif terjadi manakala inang definitif menelan
tumbuhan atau kadang-kadang ketika meminum air yang terkontaminansi metaserkaria.
Ketika tertelan, cacing muda mengalami encyst pada usus halus, melakukan penetrasi ke
dinding usus, dan menuju rongga abdominal. Cacing muda yang berhasil menerobos
mukosa usus membentuk kista pada dinding usus, melewati rongga abdomen untuk
mencapai kapsul dan memasuki jaringan hati. Cacing muda bermigrasi ke parenkim hati
selama 6 – 8 minggu sebelum melanjutkan ke kantung empedu sebagai tempat
pendewasaan dan mulai bertelur.
Setelah 6-8 minggu bermigrasi ke dalam jaringan hati, cacing muda melanjutkan
kehidupannya pada kantung empedu. Aktivitas cacing menghisap darah menyebabkan
iritasi pada kantung empedu sehingga menimbulkan respons inflamasi, dan berasosiasi
dengan kehilangan darah menyebabkan anemia. Iritasi dan obstruksi kantung empedu
menyebabkan fibrosis hati. F. gigantica yang mampu mencapai hati adalah cacing muda
yang berhasil melawan respons imunitas inang definitif.
Kesimpulan
Masyarakat Dusun Ateuk Pahlawan Kecamatan Baiturrahman yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan kurban telah diberi penyuluhan tentang kelayakan dan kesehatan hewan
kurban. Satu dari tujuh ekor sapi belum tumbuh gigi permanen sehingga tidak memenuhi
syarat umur dua tahun sebagai sapi kurban. Pemeriksaan kesehatan ante- dan postmortem
menunjukkan tujuh ekor sapi dinyatakan sehat. Pada organ hati sapi ditemukan cacing F.
gigantica yang menginfeksi tiga ekor sapi (42,86%) dari tujuh ekor sapi kurban. Organ hati
masih layak dikonsumsi setelah sarang-sarang cacing F. gigantica disingkirkan.
Saran
Kepada pelaksana kurban disarankan agar memisahkan antara daging dan jeroan,
terutama rumen dan usus hewan. Rumen dan usus adalah bagian tubuh hewan yang
berhubungan langsung dengan tinja sehingga masih ada sisa-sisa kotoran yang melekat
pada organ tersebut. Sisa kotoran adalah media yang cocok untuk pertumbuhan mikroba
yang dapat menurunkan kualitas daging hewan kurban.
DAFTAR PUSTAKA
Corner L, Melville L, McCubbin K, Small KJ, McCormick BS, Wood PR, Rothel JS.
1990. Efficiency of inspection procedures for the detection of tuberculous lesions
in cattle. Aust Vet J. 67(11):389-92. Availeble at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2085291
93
Fries R. 2000. Procedures in abattoirs and meat inspection. State of the discussion on the
implementation of alternative systems. Berl Munch Tierarztl Wochenschr.
113(1):1-8. Availeble at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10684177
Kaneene JB, Miller R, Meyer RM. 2006. Abattoir surveillance: the U.S. experience. Vet
Microbiol. 112(2-4):273-82. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16326037
McMahon J., Kahn S., Batey R., Murray J.G., Moo D., and Sloan C. 1987. Revised post-
mortem inspection procedures for cattle and pigs slaughtered at Australian
abattoirs. Aust Vet J. 1987, 64(6):183-7. Availeble at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3632501
Radunz B. 2006. Surveillance and risk management during the latter stages of eradication:
experiences from Australia. Vet Microbiol. 112(2-4):283-90. Availeble at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16321479
Schnöller A. 2006. Guidelines for animal and meat inspection procedures in the
slaughterhouse. Rev Sci Tech. 25(2):849-60. Availeble at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17094716
94