You are on page 1of 20

PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN RESISTENSI HIPERTENSI: PILIHAN

TERAPI TERKINI

Abstrak
Hipertensi resisten (RHTN) adalah masalah klinis yang semakin sering muncul dan
seringnya memiliki keberagaman etiologi, faktor resiko, dan faktor komorbid. RHTN
didefinisikan sebagai tekanan darah yang tidak terkontrol dengan tiga agen antihipertensi
dalam dosis optimal, yang salah satunya adalah diuretik. Juga termasuk dalam definisi ini
adalah hipertensi terkontrol dengan menggunakan empat atau lebih agen antihipertensi.
Penelitian observasional terbaru telah mendorong karakter pasien-pasien dengan RHTN.
Pasien dengan RHTN memiliki jumlah kejadian kardiovaskular dan mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien dengan hipertensi yang mudah terkontrol. Penyebab
sekunder dari hipertensi, termasuk obstructive sleep apnea, aldosteronisme primer, penyakit
renovaskular, adalah hal umum pada pasien dengan RHTN dan seringnya muncul bersama
sama pada pasien yang sama. Sebagai tambahan, RHTN umumnya diperparah dengan
ketidakwajaran metabolisme. Pasien dengan RHTN membutuhkan evaluasi mendalam untuk
memastikan diagnosisnya dan memaksimalkan terapi, yang biasanya adalah kombinasi dari
modifikasi gaya hidup, dan terapi intervensi dan farmakologis. Terapi kombinasi termasuk
diuretik, calcium channel blocker kerja lambat, angiotensin-converting enzyme inhibitor,
beta blocker, dan antagonis reseptor mineralokortikoid yang merupakan regimen klasik untuk
pasien dengan hipertensi resisten. Antagonis reseptor mineralokortikoid seperti spironolakton
atau eplerenone telah menunjukkan bahwa mereka efektif pada pasien dengan RHTN, gagal
jantung, gagal ginjal kronis, dan aldosteronisme primer. Terapi intervensi novel, termasuk
aktivasi barorefleks dan renal denervation, telah menunjukkan bahwa kedua metode ini dapat
digunakan untuk menurunkan tekanan darah dengan aman, sehingga memunculkan pilihan
baru yang menarik untuk terapi RHTN.

1
PENDAHULUAN
Hipertensi resisten (RHTN) adalah masalah klinis yang semakin sering muncul dan
seringnya memiliki keberagaman etiologi, faktor resiko, dan faktor komorbid. Dikarenakan
terus meningkatnya prevalensi RHTN dan hubungannya dengan peningkatan resiko
kardiovaskular, muncul ketertarikan untuk mengetahui epidemiologi, patofisiologi, dan terapi
efektif untuk RHTN. RHTN didefinisikan sebagai tekanan darah (TD) yang tidak terkontrol ≥
140/90 mmHg pada tiga regimen obat antihipertensi dalam dosis optimal, idealnya termasuk
diuretik. Juga termasuk dalam definisi ini adalah hipertensi terkontrol dengan menggunakan
empat atau lebih agen antihipertensi, atau disebut juga “hipertensi resisten terkontrol”. Pada
penelitian ini, kami mereview literatur yang ada tentang konsep terkini termasuk strategi gaya
hidup, farmakologi, dan intervensional seperti renal sympathetic denervation dan terapi
aktivasi barorefleks.

INSIDENSI DAN PREVALENSI


Insidensi dan prevalensi pasti dari RHTN tidak diketahui karena tidak adanya
penelitian titrasi paksa yang diadakan untuk populasi hipertensi besar. Data prevalesi RHTN
diambil dari penelitian cross sectional dan analisis post hosc dari clinical trial, dan sekarang
diperkirakan 10% - 35% dari seluruh pasien RHTN, dalam terapi untuk hipertensi.
Insidensi RHTN baru-baru ini diinvestigasi dalam penelitian retrospektif besar yang
melibatkan 205.750 orang US dewasa di Kaiser Permanente Colorado dan Northern
California dengan menggunakan data pasien yang terkumpul dalam periode 4 tahun.
Analisisnya menunjukkan tingkat insidensi 1.9% untuk RHTN, dalam median 1.5 tahun
inisiasi terapi untuk hipertensi. Pasien dengan RHTN dalam penelitian kohort ini adalah
orang tua, lebih banyak laki-laki, dan punya prevalensi tinggi untuk diabetes mellitus tipe 2.
Di antara mereka yang memakai 3 atau lebih obat minimal selama 4 minggu, prevalensi
RHTN nya adalah 16.2%.
Data dari National Health and Nutrition Examination Survey (1988-2008)
menunjukkan bahwa prevalensi RHTN meningkat dari 5.5% pada 1988-1994 dan 8.5% pada
1999-2004 ke 11.8% pada 2005-2008. Pasien dengan RHTN memiliki prevalensi tinggi untuk
obesitas, gagal ginjal kronis, dan skor Framingham untuk resiko kardiovaskular dalam 10
tahun adalah > 20%. Data yang diambil dari ALLHAT (the Antihypertensive and Lipid
Lowering treatment fot the prevention of Heart Attack Trial) menunjukkan bahwa 27% pasien

2
membutuhkan tiga atau lebih obat-obatan untuk mengontrol TD secara adekuat di akhir
periode penelitian. Pada penelitian yang lebih baru, ACCOMPLISH (Avoiding
Cardiovascular event through COMbination therapy in Patients Living with Systolic
Hypertension), 25%-28% dari peserta tetap tidak terkontrol hipertensinya sepanjang
penelitian, walaupun sudah diberikan terapi intensif.

PROGNOSIS
Pasien dengan RHTN memiliki tingkat kematian, infark myokard, gagal jantung
kongestif, stroke, dan gagal ginjal kronis yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang
bisa mengontrol hipertensinya. Dengan meningkatnya umur dan prevalensi obesitas di
populasi Amerika, tambahan sebanyak 27 juta orang diperkirakan akan memiliki hipertensi
pada tahun 2030. Sebagai hasilnya, prevalensi RHTN, komplikasinya, dan biaya perawatan
terkait kemungkinan akan ikut meningkat dengan drastis. Maka dari itu, sangat penting bagi
dokter layanan primer dan spesialis untuk mengidentifikasi dan memberikan terapi untuk
pasien dengan RHTN.
Hipertensi pseudoresisten maksudnya adalah resistensi yang nyata terhadap terapi
yang dikarenakan teknik pengukuran tekanan darah yang buruk, kepatuhan yang buruk, dan
kemungkinan efek white coat hypertension. Pseudoresistance mungkin menyumbangkan
porsi yang cukup besar untuk RHTN dan harus dipertimbangkan apabila pasien tetap resisten
pada terapi antihipertensi. Prevalensi sebenarnya dari pseudoresistensi pada populasi RHTN
yang berbeda tidak diketahui. Dalam sebuah analisis dari daftar monitoring tekanan darah
orang Spanyol pada 68.045 orang pasien yang diterapi hipertensi, 12.2% nya memiliki
RHTN. Pada monitoring tekanan darah pada pasien rawat jalan, 37.5% pasien RHTN
memiliki pseudoresistensi. Pasien dengan RHTN murni memiliki profil resiko kardiovaskular
yang lebih buruk dan kerusakan target organ yang lebih hebat dibandingkan mereka yang
memiliki pseudoresistensi. Pada pasien dengan RHTN, faktor gaya hidup dan kemungkinan
penyebab yang berkaitan dengan obat obatan perlu untuk dipertimbangkan apabila memang
ada.

PENYEBAB SEKUNDER HIPERTENSI RESISTEN


Walaupun prevalensi pasti dari hipertensi sekunder tidak diketahui, pasien dengan RHTN
memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk hipertensi sekunder dibandingkan dengan
populasi hipertensi pada umumnya. RHTN lebih sering muncul pada orang dewasa dan pada

3
orang dengan gagal ginjal kronis, DM tipe 2, dan obesitas. Penyebab umum untuk hipertensi
sekunder termasuk obstructive sleep apnea, renal artery stenosis, gagal ginjal kronis, dan
hiperaldosteronisme primer. Penyebab tidak umum termasuk tumor sel catecholamine-
producing chromaffin (pheochromocytoma dan apraganglioma), koarksio aorta, cushing
syndrome, hiperparatiroidisme sekunder, dan hipertiroidisme. Kami mendiskusikan penyebab
umum hipertensi sekunder, termasuk obstructive sleep apnea, renal artery stenosis, dan
hiperaldosteronisme primer, pada detail penjelasan dibawah. Diskusi komprehensif mengenai
gagal ginjal kronis berada diluar lingkup penelitian ini.

Obstructive Sleep Apnea


Obstructive sleep apnea adalah penyakit pernafasan dalam tidur yang memiliki
gejala apnea-hipoapnea berulang selama tidur, bangun tengah malam yang sering, dan rasa
kantuk di siang hari. Hal ini umum terjadi pada orang Amerika dewasa dan berhubungan
dengan peningkatan mobiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam penelitian Winconsin
Sleep Cohort, prevalensi obstructive sleep apnea adalah 9% untuk wanita dan 24% untuk laki
laki. Obesitas dan jenis kelamin laki laki adalah prediktor independen untuk obstructive sleep
apnea. Prevalensi obstructive sleep apnea terutama tinggi pada pasien RHTN. Pada
penelitian dengan 71 orang pasien yang dirujuk ke klinik hipertensi universitas, 90% laki laki
dan 77% wanita memiliki indeks apnea-hipoapnea ≥5/jam, atau sama dengan obstructive
sleep apnea ringan. Pada penelitian cross sectional dengan 41 orang pasien dengan RHTN
yang dirujuk ke klinik hipertensi universitas, 96% laki laki dan 65% wanita memiliki indeks
apnea-hipoapnea ≥10, menunjukkan prevalensi tinggi dari obstructive sleep apnea ringan
pada pasien dengan RHTN.
Mekanisme pasti bagaimana obstructive sleep apnea berpengaruh terhadap
perkembangan hipertensi tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi bukti bukti menunjukkan
bahwa pasien dengan obstructive sleep apnea memiliki peningkatan aktivitas simpatis dan
tingkat aldosteron, begitu juga dengan peningkatan TD pada fase progresif dalam tidur.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa obstructive sleep apnea berhubungan secara signifikan
dengan peningkatan ekskresi aldosteron dan nampaknya ada hubungan yang signifikan antara
tingkat aldosteron dan derajat keparahan obstructive sleep apnea. Hipotesisnya bahwa retensi
cairan parapharyngeal kronis, dimediasi oleh kelebihan aldosteron dan pergeseran cairan
nokturnal rostral dari ekstremitas bawah, berkontribusi terhadap perburukan resistensi jalan
nafas karena berkurangnya diameter jalan nafas atas sehingga menambah keparahan

4
obstructive sleep apnea. Perubahan perubahan ini paling tidak dapat diredakan dengan
penggunaan continous positive airway pressure (CPAP). Respon terapi paling baik adalah
pada pasien dengan garis bawah sistolik yang tinggi, derajat keparahan obstructive sleep
apnea yang tinggi, dan kepatuhan CPAP yang lebih baik. Satu penelitian menunjukkan pada
pasien dengan RHTN yang menggunakan CPAP selama > 5.8 jam per malam, ada
pengurangan TD sistolik dan diastolik yang lebih besar dibandingkan dengan grup
konvensional dan grup yang menggunakan CPAP < 5.8 jam per malam. Penelitian
observasional jangka panjang menunjukkan adanya pengurangan kejadian kardiovaskular
fatal dan non fatal dengan penggunaan CPAP pada pasien dengan obstructive sleep apnea.
Hipotesis bahwa kelebihan aldosteron memperburuk derajat keparahan obstructive
sleep apnea didukung oleh penelitian prospektif yang menunjukkan adanya pengurangan
derajat keparahan tersebut setelah pasien dengan RHTN dan obstructive sleep apnea diterapi
dengan spironolakton selama 8 minggu.

Aldosteron dan hipertensi resisten


Pertama kali dideskripsikan oleh Jerome W Conn pada 1955, aldosteronisme primer
ditandai oleh produksi aldosteron otomatis oleh kelenjar adrenal beserta ditekannya produksi
renin oleh apparatus juxtaglomerular ginjal. Hal ini mengakibatkan ekspansi volume, sulitnya
mengontrol hipertensi, alkalosis metabolik, dan hipokalemia. Sedangkan sindrom Conn’s
terdiri dari adenoma adrenal yang memproduksi aldosteron, hipertensi, dan hipokalemia,
gambaran klinis dari hiperaldosteronisme primer adalah lebih bermacam macam.
(mikro)adenoma adrenal unilateral/bilateral atau hiperplasia adrenal ditemukan pada pasien
dengan hiperaldosteronisme primer sedangkan kasus hiperaldosteronisme primer lain yang
terbukti secara biochemical menunjukkan hasil imaging yang negatif dan tetap idiopatik.
Hipokalemia biasanya manifestasi lambat dari hiperaldosteronisme primer, dan
normokalemia biasa terjadi pada pasien-pasien ini. Hiperaldosteronisme primer adalah
penyebab endokrin yang paling umum dari hipertensi sekunder pada pasien dengan RHTN.
Prevalensi dari hiperaldosteronisme primer pada pasien dengan RHTN jauh lebih
tinggi dibanding dengan yang sebelumnya diperkirakan. Sebuah penelitian observasional
dengan 1.616 pasien dengan RHTN mengindikasikan adanya hasil positif pada tes screening
untuk hiperaldosteronisme primer di 20.9% dan confirmed diagnosis hiperaldosteronisme
primer pada 11.3%. Pada penelitian dengan 88 pasien yang dirujuk ke klinik hipertensi di
University of Alabama di Brimingham, 20% subyek telah terkonfirmasi hiperaldosteronisme

5
primer dengan prevalensi yang sama pada pasien Afrika-Amerika dan Kaukasia. Beberapa
penelitian prospektif lain juga melaporkan prevalensi tinggi yang serupa.
Peran nyata dari kelebihan aldosteron sebagai penyebab dari resistensi terapi juga
didukung oleh banyaknya penelitian yang menunjukkan efek antihipertensi signifikan ketika
ditambahkan antagonis reseptor mineralokortikoid, sebagaimana berikutnya digarisbawahi
oleh penelitian ini.
Penelitian terkini telah menunjukkan hubungan dari hiperaldosteronisme primer,
obesitas, dan obstructive sleep apnea, walaupun sebab dari kemungkinan hubungan ini belum
dapat dipastikan. Studi populasi prospektif menunjukkan bahwa pertambahan atau
pengurangan jaringan adiposa yang dihitung dari indeks massa tubuh menunjukkan
perubahan yang serupa pada tekanan darah. Baru-baru ini telah diteliti bahwa prevalensi
hiperaldosteronisme primer sebesar 20% pada pasien dengan RHTN. Hal ini sesuai dengan
epidemi obesitas di seluruh dunia, menunjukkan jalur mekanisme hitherto yang tidak
diketahui pada proses kedua penyakit ini. Sebuah penelitian pada orang dewasa normotensi
dengan diet tinggi garam menunjukkan bahwa indeks massa tubuh berkorelasi secara positif
dengan ekskresi aldosteron urin dan sekresi aldosteron yang dimediasi angiotensin II pada
orang dewasa normotensi. Pada 1.125 pasien hipertensi umum yang terdaftar di PAPY (the
Primary Aldosteronism Prevalence in hYpertension study), indeks massa tubuh berkorelasi
secara positif dengan konsentrasi aldosteron plasma tidak bergantung pada usia, jenis
kelamin, dan asupan sodium pada pasien dengan hipertensi esensial, tetapi tidak pada mereka
dengan hiperaldosteron primer. Pengurangan berat badan menyebabkan pengurangan tingkat
aldosteron, menunjukkan bahwa jaringan adiposa mungkin mempunyai peran dalam aktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron secara umum. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, konsentrasi aldosteron plasma berkorelasi secara positif dengan keparahan
obstructive sleep apnea, dan spironolakton tampaknya mengurangi efek tersebut. Mekanisme
pasti apakah adiposit dapat menyebabkan hiperaldosteronisme tidak dipahami sepenuhnya.
Bukti-bukti terkini menunjukkan bahwa obesitas mungkin menyebabkan aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron secara umum karena adiposit memiliki seluruh komponen untuk
jalur ini. Dalam penelitian eksperimental terbaru, mineralokortikoid/aktivitas pembuat
aldosteron dari sel adrenokortikal manusia meningkat tujuh kali lipat ketika diinkubasi
selama 24 jam dengan produk sekresi adiposit. Efek ini tidak bergantung dengan angiotensin
II dan bertahan dengan adanya antagonis reseptor angiotensin (AT)1, valsartan, menunjukkan
bahwa secretagogue turunan adiposit selain angiotensin II bertanggung jawab atas efek ini.

6
Dalam penelitian lainnya dengan kelompok yang sama, faktor turunan adiposit/adipokines
meningkatkan sensitivitas sel adrenokortikal manusia kepada stimulasi angiotensin II. Efek
ini dimediasi oleh extracellular signal-regulated kinate (ERK) 1/2 mitogen activated protein
(MAP) kinase-dependant stimulation dari protein pengatur steroidogenik akut, dan blokade
dari ERK ½ MAP kinase menghapuskan sekresi aldosteron yang diinduksi adipokin. Data-
data ini menunjukkan bahwa faktor turunan adiposit meningkatkan regulasi produksi
aldosteron, secara langsung ataupun tak langsung, dan peningkatan level aldosteron mungkin
salah satu faktor outcome kardiovaskular yang berhubungan dengan obesitas.

Penyakit renovaskular
Stenosis aterosklerotik arteri ginjal
Penyebab lain dari hipertensi sekunder adalah hipertensi renovaskular yang
disebabkan oleh lesi stenosis dalam arteri ginjal. Sesuai penyebab lain dari hipertensi
sekunder, RAS harus dicurigai ketika kontrol TD menjadi resisten terhadap terapi medis atau
apabila pasien datang dengan riwayat hipertensi terkontrol yang tiba-tiba menjadi resisten.
Pada beberapa pasien dengan RAS, insufisiensi renal atau penurunan fungsi ginjal mendadak,
proteinuria, atau sindroma nefrotik mungkin dapat ditemui.
Lebih dari 90% dari RAS awalnya adalah aterosklerotik. Kemungkinan Stenosis
aterosklerotik arteri ginjal (ARAS) meningkat pada pasien dengan faktor resiko
kardiovaskular klasik seperti usia, merokok, dislipidemia, dan diabetes. Sedangkan prevalensi
dari ARAS pada populasi pasien yang lebih tua dari 65 tahun adalah 7%, penelitian pada
pasien dengan RHTN menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dari penyakit renovaskular
yang sebelumnya tidak diketahui, terutama pada pasien dengan resiko tinggi. ARAS adalah
penemuan umum pada pasien hipertensi yang sedang melakukan kateter jantung. Pada 27
buah penelitian meta analisis dengan total pasien 30.092 yang sedang melakukan angiografi
koroner diagnostik untuk kecurigaan penyakit arteri koroner, prevalensi dari ARAS adalah >
50%, rata rata 8% dengan interval antara 3.1% - 22.9%. Dari semua pasien dengan ARAS,
ARAS bilateral yang signifikan ditemukan sebesar 20.3%. Prognosis ARAS telah diteliti
dalam kelompok pasien yang sedang melakukan angiografi koroner dan penelitian tersebut
menunjukkan bahwa adanya ARAS berhubungan dengan mortalitas, dengan tingkat
keselamatan terendah pada pasien dengan ARAS bilateral. Pada penelitian dengan total 3.987
pasien yang melakukan aortografi abdomen segera setelah angiografi koronal, dilakukanlah
analisis keselamatannya. Tingkat keselamatan selama 4 tahun untuk pasien dengan dan tanpa

7
ARAS yang signifikan adalah masing masing 57% dan 89% (P < 0.001). Pada sebuah model
multivariat, adanya ARAS menimbulkan rasio hazard sebesar 2.01 (interval kepercayaan
95% 1.51 – 2.67, P < 0.001). ARAS adalah prediktor independen yang kuat dari mortalitas
dan peningkatan keparahan ARAS memiliki efek pada probabilitas keselamatan.
ARAS unilateral atau bilateral harus dicurigai pada pasien dengan riwayat edema
pulmoner berulang cepat, terutama apabila ekokardiografi menunjukkan fraksi ejeksi sistolik
yang diawetkan. Baru baru ini diusulkan untuk menamai penemuan klinis ini dengan nama
Thomas G Pickering yang melaporkan 11 pasien hipertensi dengan ARAS bilateral dengan
riwayat episode edema pulmonal multipel pada tahun 1988, yang menginspirasi penelitian
lebih lanjut untuk topik ini.
Mekanisme bahwa RAS menyebabkan hipertensi dan edema pulmoner berulang,
atau disebut sindrom Pickering, diperkirakan adalah natriuresis defektif, sebuah peningkatan
akut dari beban hemodinamik, eksaserbasi dari disfungsi diastolik, dan kegagalan barrier
darah-udara kapiler pulmo. Tetapi, bagaimana ARAS nonakut dapat menyebabkan
maintenance dan progresi dari hipertensi dan juga percepatan kerusakan organ target, tidak
sepenuhnya dimengerti.
Imaging dari arteri ginjal adalah alat yang dapat diandalkan dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi tergantung dari teknik imaging nya. Ultrasound arteri ginjal duplex adalah
metode skrining lini pertama yang bermanfaat. Computed tomographic angiography dan
magnetic resonance angiography dengan gadolinimum memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi untuk menggambarkan stenosis daripada ultrasound arteri ginjal duplex.
Walaupun angiografi substraksi digital adalah tes invasif, dia dianggap sebagai referensi
standar dan dapat mewujudkan revaskularisasi bersamaan dengan angioplasti dan stent
placement selain fungsi diagnostik nya.
Pada pasien dengan edema pulmoner berulang cepat atau sindrom Pickering, bukti –
buktinya menunjukkan bahwa revaskularisasi perkutaneus adalah terapi pilihan utama dan
stenting tampak lebih superior daripada hanya dengan baloon angioplasty.
Pada pasien dengan ARAS unilateral nonakut, strategi yang optimal kurang jelas,
dan baik strategi medis dan revaskularisasi harus dipertimbangkan untuk mengontrol TD,
menjaga fungsi ginjal, dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular dan kematian.
Penelitian yang membandingkan pilihan pengobatan ini telah banyak yang meyakinkan.
Sampai saat ini, tiga percobaan acak dari stenting dibandingkan terapi medis telah
diterbitkan, yaitu, percobaan DRASTIC (Dutch Renal Artery STenosis Intervention

8
Cooperative), penelitian STAR (Stent Placement in Patients with Atherosclerotic Renal
Artery Stenosis and Impaired Renal Function), dan baru-baru ini diterbitkan percobaan
ASTRAL (Angioplasty and STenting for Renal Artery Lesions) yang melibatkan 806 pasien
dengan ARAS untuk menjalani revaskularisasi selain menerima terapi medis atau hanya
menerima terapi medis saja.
Semua tiga percobaan tersebut menyimpulkan bahwa revaskularisasi dengan
penempatan stent tidak memiliki manfaat klinis yang lebih dan ditemukan risiko yang
signifikan dari prosedur terkait komplikasinya. Namun, telah ada beberapa kritik terkait
dengan ukuran sampel, pemilihan pasien, metodologi, pilihan median, penilaian lesi, dan
verifikasi oleh laboratorium inti. Di satu sisi, percobaan acak yang disebutkan di atas tidak
menunjukkan manfaat meyakinkan dalam hal perbaikan dalam fungsi ginjal atau kontrol TD
dengan revaskularisasi dari RAS; di sisi lain, uji coba ini memiliki kelemahan besar dalam
rancangan penelitian.
Percobaan skala besar, dan acak terkait CORAL (Cardiovascular Outcomes in Renal
Atherosclerotic Lesions) baru saja diselesaikan dengan lebih dari 900 pasien dengan ≥ 60%
stenosis baik yang menjalani pengobatan medis saja maupun terapi medis yang optimal
ditambah stenting arteri ginjal. Hasil dari CORAL masih tertunda, tetapi harus memberikan
arahan apakah stenting arteri ginjal bermanfaat dalam populasi subyek penelitian atau tidak.
Sampai saat itu, revaskularisasi masih kontroversial karena kurang terkontrol dengan baik,
dirancang dengan baik, prospektif, randomisasi, dan pengobatan harus sesuai dengan kasus
masing-masing individu. Namun, pasien dengan RHTN, revaskularisasi dengan stenting
untuk ARAS umumnya direkomendasikan. Indikasi yang diterima saat ini untuk manajemen
endovaskular adalah pada RAS yang >70% dengan USG arteri ginjal dengan duplex atau
angiography digital menunjukan penurunan progresif atau akut pada fungsi ginjal dengan
atau tanpa pengenalan enzim angiotensin-converting (ACE) inhibitor, RHTN, ginjal soliter,
edema paru berulang, atau sindrom gangguan jantung lainnya.
Terapi medis untuk ARAS harus mencakup lebih dari satu kelas dari agen
antihipertensi. Pengobatan harus mencakup inhibitor ACE atau angiotensin II receptor
blocker (ARB), calcium channel blockers, dan jika perlu beta-blocker. Sementara banyak
dokter mempertahankan keberatan tentang menggunakan obat ARB pada pasien dengan
ARAS bilateral, dalam penelitian observasional prospektif, penghambat RAAS ditoleransi
pada 78,3% pasien dengan bilateral >60% ARAS. Namun, penggunaan inhibitor ACE harus
dievaluasi secara individual, dan serum kreatinin / laju filtrasi glomerulus dan kadar kalium

9
harus dipantau ketat ketika pengobatan dimulai. Selain untuk terapi kontrol TD, pengurangan
faktor risiko kardiovaskular seperti obat penurun lipid, agen antiplatelet, pengobatan diabetes,
dan gejala sisa dari penyakit ginjal kronis menurut pedoman saat ini, dianjurkan.

Displasia Arteri Renal Fibromuskular


Kurang dari 10% dari lesi arteri renal disebabkan oleh displasia arteri renal fibromuskular
(FMD), yaitu sebuah fibroplasia medial dengan subtipe yang berbeda menyebabkan kondisi
yang disebut string of beads (untaian manik-manik) di mana manik-manik lebih besar dari
kaliber arteri normal. Prevalensi FMD pada pasien dengan RHTN tidak diketahui. Data dari
Registry AS untuk FMD menunjukkan sejumlah median dari dua obat antihipertensi dengan
kisaran interkuartil dari 1-3, menduga RHTN pada beberapa pasien dengan FMD. Pada
pasien dengan RHTN onset baru atau RHTN, FMD harus dipertimbangkan sebagai penyebab
sekunder. FMD terutama ditemukan pada wanita dengan usia kurang dari 50 tahun, tetapi
juga dapat ditemukan pada lansia. Data terbaru dari Registry US menunjukkan usia rerata
pada gejala pertama adalah 47,2 ± 14,6 (kisaran 5-83) tahun dan usia rata-rata di diagnosis
klinis pertama 51,9 ± 13,4 tahun. Sementara data dari AS menunjukkan bahwa sekitar
sembilan dari sepuluh pasien yang didiagnosis dengan arteri renal FMD adalah perempuan
dan berkulit putih, peneliti dari Perancis baru-baru ini melaporkan bahwa pada 337 pasien
yang dirujuk untuk hipertensi dan arteri renal FMD , 17% -31% nya laki-laki. Karena arteri
renal FMD sekarang banyak terjadi pada orang tua, tidak jarang menemukan pasien dengan
kondisi aterosklerosis sekaligus FMD. Data dari Registry US menunjukkan bahwa di antara
337 pasien dengan pencitraan ginjal atau mesenterika dan pemeriksaan fisik epigastrium atau
bising pada panggul (flank), sebanyak 262 (77,7%) memiliki FMD. Sensitivitas dari bruit
epigastrium atau flank untuk mengidentifikasi FMD ginjal atau mesenterika adalah 63/262
(24,0%) dengan spesifitas 70/75 (93,3%). Dengan demikian, kehadiran bruit pada pasien
muda atau setengah baya harus meningkatkan kecurigaan dan memerlukan penyelidikan lebih
lanjut. Namun, temuan dari sebuah bruit perut memiliki spesifisitas tinggi untuk ARAS dan
FMD, tetapi tidak ditemukan pada setiap pasien dan tidak adanya bruit perut tidak dapat
mengesampingkan ARAS atau FMD.

TERAPI
Gaya Hidup
Diet Rendah Sodium

10
Diet rendah sodium telah menunjukan keefektivannya dalam menurunkan TD,
khususnya pada warga Afrika dan Amerika serta lansia. Baik penelitian observasional
maupun percobaan klinis telah menunjukkan bahwa tingginya konsumsi sodium berhubungan
dengan kenaikan TD, dan saat ini telah direkomendasikan bahwa konsumsi sodium harus
kurang dari 1500mg/hari pada pasen dengan hipertensi. Pada penelitian prospektif, crossover
terbaru pada pasien dengan RHTN, terapi rendah sodium dibandingkan dengan terapi tinggi
garam. 12 subyek dengan resistensi hipertensi diikutkan kedalam crossover randomisasi
untuk menilai diet rendah sodium (50 mmol/24 jam x 7 hari) dan tinggi sodium (250
mmol/24 jam x 7 hari), dibagi menjadi 2 minggu periode. Rerata ekresi sodium urin sekitar
46 mmol/24 jam selama konsumsi diet rendah sodium dan 252 mmol/24 jam selama
konsumsi diet tinggi sodium, konsumsi rendah sodium berhubungan dengan penurunan
bermakna pada TD (22.7/9.1 mmHg). Sebenarnya, efek penurunan TD yang terlihat dengan
pembatasan intake sodium setara dengan efek dari 2 obat antihipertensi, maka dari itu penting
untuk menerapkan diet rendah garam dalam perencanaan terapi RHTN.

Diet Tinggi Serat, Reandah Lemak


Diet sehari-hari yang kaya akan buah dan sayuran, potasium, magnesium, kalsium
dan susu rendah lemak dan rendah lemak jenuh (misalnya diet Dietary Approaches to Stop
Hypertension [DASH]) harus direkomendasikan untuk semua pasien hipertensi, termasuk
semua pasien RHTN. Pada penelitian prospektif dan randomisasi klinis, efek dari diet kontrol
(rendah buah, sayuran, dan produk susu, dengan kandungan lemak yang khas dari diet rata-
rata di AS), diet kaya buah dan sayuran, atau diet " kombinasi" yang kaya buah, sayuran, dan
produk susu rendah lemak dan dengan mengurangi lemak jenuh dan lemak total, dinilai pada
459 orang dewasa yang sehat dan hipertensi dengan rata TD awalnya 131,3 / 84,7 mmHg.
Intake sodium dan berat badan dipertahankan pada kadar yang stabil. Efek terbesar
terlihat pada pasien dengan hipertensi. Pada seluruh subyek ini, diet kombinasi menurunkan
TD sekitar 11.4/5.5 mmHg lebih tinggi daripada diet kontrol. Pada seluruh pasien tanpa
hipertensi, penurunan TD sekitar 3.5/2.1 mmhg. Hal ini menunjukan bahwa diet kaya buah,
sayuran, rendah susu dan rendah lemak jenuh dapat menjadi pendekatan nutrisi untuk
mencegah dan untuk terapi hipertensi.

Menurunkan Berat Badan

11
Kondisi obesitas telah menunjukan adanya hubungan dengan RHTN dan
meningkatkan penggunaan jumlah obat antihipertensi. Sesuai dengan pengamatan ini,
penelitian terkait penurunan BB menunjukan adanya penurunan TD yang efektif. Dalam
ulasan dari penelitian tentang penurunan BB, menunjukan sekitar 20 pon turunnya berat
badan berhubungan dengan penurunan TD sekitar 6/4,6 mmHg.

Aktivitas Fisik
Pada penelitian meta-analisis dan randomisasi tentang pasien normotensi dan
hipertensi, latihan aerobik rutin menurunkan rerata TD 4/3 mmHg. Pada kelompok kecil
penduduk laki-laki afrika-amerika dengan RHTN, 16 minggu aerobik dengan fruekensi rutin
tiga kali seminggu dapat menurunkan TD 7/5 mmhg. Penurunan TD diastolik dapat
dipertahankan setelah 32 minggu latihan bahkan jika obat antihipertensi dihentikan.
Penelitian RCT terbaru meneliti tentang efek kardiovaskular dari latihan aerobik.
Pada 50 subyek dengan RHTN secara acak mengikuti 8-12 minggu program latihan treadmil.
Latihan ini secara bermakna menurunkan TD rata-rata sebesar 6/3 mmHg (standar deviasi:
12/7 mmHg), p=0.03. Berdasarkan pengamatan efek penurunan TD ini, latihan daya tahan
harus termasuk dalam pendekatan terapi untuk pasien dengan RHTN.

Terapi Farmakologi
Salah satu masalah yang penuh tantangan dalam terapi RHTN adalah kombinasi
obat antihipertensi yang sesuai. Penelitian kohort retrospektif terbaru menjelaskan
penggunaan obat hipertensi pada pasien dengan RHTN. Obat antihipertensi yang paling
sering diresepkan adalah golongan ACE inhibitor dan atau ARB dengan presentasi 96,2%,
diuretik 932%, CCB 83.6% dan beta bloker 80%. Hanya 3.0% dan 5.9% pasien yang
menggunakan klortalidon atau antagonis reseptor mineral kortikoid. Penggunaan klortalidon
sebagian bermakna dan memiliki resiko kardiovaskular yang lebih baik. Selain itu kombinasi
dengan minimal efikasi seperti ACE inhibitor dan ARB, diresepkan dengan total 15.6%.
Penelitian kohort retrospeksi terbaru menunjukan bahwa pemberian golongan obat
antihipertensi yang berbeda, menurun setelah satu tahun didiagnosis RHTN. Di antara
penurunan yang paling menonjol pada resep obat antihipertensi adalah penurunan 12% dalam
penggunaan agen diuretik. Para penulis menemukan bahwa kurangnya kepatuhan pengobatan
secara bermakna dikaitkan dengan penurunan kontrol TD.

12
Salah satu penyebab RHTN adalah kelebihan beban volume yang signifikan, dan
terapi diuretik merupakan hal yang penting pada kelompok pasien ini. Baru-baru ini,
klortalidon dan antagonis reseptor mineralokortikoid telah ditekankan sebagai strategi
pengobatan untuk pasien dengan RHTN.

Diuretik
Sebuah studi prospektif mengevaluasi kegunaan parameter hemodinamik dalam
pemilihan dan titrasi obat antihipertensi. Para peneliti menemukan bahwa pasien dengan
RHTN sering memiliki ekspansi volume samar yang menjadi penyebab resistensi pengobatan
mereka, dan kontrol TD ditingkatkan terutama melalui titrasi paksa diuretik.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien dengan RHTN sering mengalami
peningkatan beban volume yang berkontribusi terhadap resistensi pengobatan dan
pengobatan dengan agen diuretik merupakan hal penting untuk pengurangan TD yang efektif.
Diuretik tiazide adalah agen antihipertensi yang efektif untuk sebagian besar pasien. Baru-
baru ini, beberapa percobaan penting telah menunjukkan bahwa klortalidon, diuretik long-
acting seperti tiazide, menurunkan TD dan yang lebih penting, juga menurunkan resiko
stroke dan resiko kardiovaskular lainnya. Dalam penelitian randomisasi, single-blind, 8-
minggu, pengobatan aktif, crossover yang membandingkan klortalidon 12,5 mg sekali sehari
(dititrasi sampai 25 mg sekali sehari) dan hidroklorotiazid 25 mg sekali sehari (dititrasi
sampai 50 mg sekali setiap hari) pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol dan tidak
diobati, 24 jam TD rawat jalan menunjukkan penurunan yang lebih besar dari TD awal
dengan klortalidon 25 mg sekali sehari daripada dengan hidroklorotiazid 50 mg sekali sehari
(rata-rata 24 jam 12,4 ± 1,8 mmHg vs 7,4 ± 1,7 mmHg; P = 0,054; rerata waktu malam 13,5 ±
1,9 mmHg vs -6,4 ± 1,8 mmHg; P = 0,009). Berdasarkan efek yang menguntungkan terhadap
kardiovaskular dengan potensi yang lebih tinggi, klortalidon seharusnya secara istimewa
digunakan pada pasien dengan RHTN dan laju filtrasi glomerulus 0,30 mL / min / 1.73m2.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 4 atau 5 (laju filtrasi glomerulus,
30 mL / menit / 1,73 m2), diuretik loop mungkin diperlukan untuk volume yang efektif dan
kontrol TD. Furosemid adalah diuretik loop jangka pendek dan membutuhkan dosis dua kali
sehari, dengan dosis kedua setelah 6-8 jam. Alternatifnya, torasemid, sebuah loop diuretic
jangka panjang, yang dapat digunakan sekali sehari untuk menyederhanakan pengobatan.
Pasien yang mengalami RHTN sering mengalami kondisi gagal jantung kongestif. Dalam
sebuah penelitian menunjukan bahwa pasien yang menjalani terapi torasemid lebih jarang

13
datang lagi ke rumah sakit untuk dirawat sebagai pasien gagal jantung kongestif atau
penyakit kardiovaskular lainnya, dan memiliki efek samping pusing yang lebih rendah
dibandingkan dengan furosemide.

Antagonis Reseptor Mineralkortikoid


Antagonis reseptor mineralkortikoid merupakan agen antihipertensi lini ke empat
yang telah menunjukan efektivitasnya pada pasien Afrikan Amerikan dan Kaukasia dengan
dan tanpa hiperaldosteronisme primer. Penelitian prospektif terbaru menunjukan efek
menurunkan TD pada spironolakton 25 mg per hari pada pasien dengan RHTN terhadap 4
golongan obat termasuk ACE-I atau ARB atau diuretik. Setelah 6 bulan, TD turun dengan
rerata sampai dengan 25/12 mmHg. Data serupa ditemukan pada ASCOT (Anglo-
Scandinavian Cardiac Outcome Trial), dengan 1.411 peserta yang mengalami penurunan TD
secara bermakna yaitu 22/10 mmHg setelah sekitar 1.3 tahun tindak lanjut dari pemberian
spironolakton 25 mg perhari sebagai terapi lini keempat. Baru-baru ini, sebuah penelitian
pada 175 pasien dengan RHTN secara prospektif menentukan penurunan TD dengan
menambahkan spironolaktone 25-100 mg setiap hari pada regimen standar yang ada. Setelah
7 bulan masa tindak lanjut, terdapat pengurangan TD rata-rata 16/9 mmHg.
Sebuah bukti-bukti hubungan aldosteron terhadap perkembangan dan kemajuan dari
beberapa proses penyakit kardiovaskular, termasuk gagal jantung kongestif, tidak tergantung
dari tingkat TD. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif dengan lebih dari 250 pasien dengan
RHTN menunjukkan bahwa bahkan pasien dengan kadar aldosteron normal atau rendah
memiliki bukti retensi cairan intravaskular yang lebih besar, seperti yang ditunjukkan oleh
kadar peptida natriuretik otak dan peptida natriuretik atrial yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Selain itu, parameter struktural dan hemodinamik, termasuk
hipertrofi ventrikel dan volume ventrikel kiri, ditentukan pada 3 bulan dan 6 bulan follow-up
pada pasien yang secara prospektif diobati dengan spironolakton 25 mg sekali sehari, dan jika
diindikasikan, dititrasi sampai 50 mg sekali sehari. Penurunan cepat yang signifikan pada TD
dan hipertrofi ventrikel kiri terlihat pada pasien dengan dan tanpa hiperaldosteronisme primer
hanya dalam waktu 3 bulan, dengan efek yang bertahan sampai 6 bulan. Pada pasien dengan
hiperaldosteronisme primer, selain penurunan yang signifikan dalam TD dan hipertrofi
ventrikel kiri, juga terdapat penurunan yang signifikan dari volume ventrikel kanan dan kiri
dan natriuretik peptida otak, mendukung adanya keadaan kelebihan volume relatif yang
mungkin menjadi penyebab resistensi pengobatan pada pasien dengan kelebihan aldosteron.

14
RALES (Randomized ALdactone Evaluation Study) mengindikasikan bahwa
penambahan spironolakton 25 mg per hari pada regimen, termasuk Ace-I pada pasien dengan
gagal jantung kongestif secara signifikan meningkatkan kesembuhan 30%. Hasil serupa
ditemukan pada EPHESUS (Eplerenone Post-Acute Myocardial Infarction Heart Failure
Efficacy and Survival Study) ketika elperenon ditambahkan pada ACE-I atau ARB, dan beta
bloker, angka keselamatan meningkan 31% pada pasien dengan disfunsi ventrikel kiri setelah
AMI. Dengan menunjukkan manfaat dengan langsung memblokir reseptor mineralokortikoid,
penelitian intervensi ini menunjukkan bahwa aldosteron dapat berkontribusi langsung dengan
perkembangan dan kemajuan penyakit kardiovaskular yang tidak bergantung pada TD.
Meskipun spironolakton secara umum ditoleransi dalam penelitian ini, nyeri
payudara terjadi pada sekitar 10% dari pasien laki-laki. Hal ini dapat dihindari dengan
penggunaan eplerenone, antagonis reseptor mineralokortikoid selektif yang telah terbukti
efektif menurunkan TD dan juga mungkin memiliki efek menguntungkan pada penyakit
ginjal. Dalam sebuah penelitian label terbuka, pasien yang menerima 50-100 mg eplerenon
sehari diikuti selama 12 minggu. Pemeriksaan TD di klinik dan 24 jam rawat jalan berkurang
masing-masing 18/8 mmHg dan 12/6 mmHg, dan efek penurunan TD tampaknya tidak
dipengaruhi oleh status aldosteron.
Amilorida, seperti antagonis reseptor mineralokortikoid, merupakan sebuah diuretik
hemat kalium yang secara tidak langsung bertindak sebagai inhibitor langsung dari regulasi
aldosteron saluran epitel natrium dalam nefron distal. Dalam penelitian prospektif,
randomisasi, terkontrol, plasebo, klinis double-blind pada 98 pasien Amerika Afrika dengan
hipertensi rendah renin tidak terkendali meskipun pengobatan yang dijalani termasuk diuretik
dan CCB, pengobatan dengan baik amilorida atau spironolakton menghasilkan pengurangan
tambahan yang sebanding dalam TD, dan efek sinergis terlihat dengan kombinasi kedua
golongan obat ini. Dalam sebuah penelitian, kadar plasma endotelin-1 yang diamati, menurun
secara signifikan setelah 3 minggu pengobatan pada kelompok spironolakton, menunjukkan
efek yang lebih luas daripada hanya menghambat saluran natrium epitel.
Penelitian menggunakan amilorida atau spironolakton atau kombinasi kedua diuretik
telah menunjukkan bahwa diuretik hemat kalium secara umum merupakan agen yang aman
dengan resiko hiperkalemia yang jarang meskipun penggunaan bersamaan dari inhibitor ACE
atau ARB dan beta-blocker. Namun bagaimanapun kadar kalium harus diawasi secara ketat,
terutama pada pasien usia lanjut dengan penyakit ginjal kronis dan / atau diabetes yang
berisiko tinggi mengalami hiperkalemia. Pada pasien ini, terapi spironolakton harus dimulai

15
dengan dosis rendah (12,5 mg per hari), obat anti-inflamasi dan suplemen kalium harus
dihentikan, dan fungsi ginjal harus dimonitor.

Terapi Kombinasi
Prinsip penting dari terapi antihipertensi pada pasien resistensi hipertensi adalah
bahwa pengurangan TD yang lebih besar dicapai dengan menggabungkan tiga obat dari kelas
yang berbeda pada dosis maksimal, dengan salah satu kelasnya, idealnya diuretik. Tambahan
untuk CCB dihidropiridin jangka panjang seperti amlodipin, obat antihipertensi lain biasanya
termasuk inhibitor ACE atau ARB. Namun, hanya ada sedikit data menilai kemanjuran
kombinasi spesifik tiga obat atau lebih pada pasien dengan RHTN. Dikemukakan bahwa
penggunaan kombinasi inhibitor ACE dan ARB atau dihidropiridin dan CCB
nondihidropiridin memberikan manfaat antihipertensi tambahan yang signifikan pada pasien
dengan hipertensi esensial.
Pada ONTARGET (Ongoing Telmisartan Alone and in combination with Ramipril
Global Endpoint Trial), kombinasi ACE-i dan ARB dinilai dan penelitian ini menunjukkan
bahwa subjek dengan usia ≥55 tahun dengan adanya penyakit vaskular aterosklerotik atau
dengan diabetes melitus tipe 2 dengan kerusakan organ mengalami penurunan lebih besar
pada proteinuria dibandingkan dengan monoterapi. Namun, secara keseluruhan, kombinasi
ACE-i dan ARB dapat memperburuk ginjal dan, meskipun terdapat penurunan TD, tidak ada
manfaat yang signifikan yang terlihat pada kejadian kematian akibat kardiovaskuler, infark
miokard, stroke, atau rawat inap karena gagal jantung kongestif , bahkan pada pasien berisiko
tinggi. Penelitian terbaru seperti dibahas di atas menunjukkan bahwa antagonis reseptor
mineralokortikoid sebagai agen antihipertensi tambahan lini keempat atau kelima mungkin
bermanfaat.
Dalam kondisi penyakit arteri koroner atau gagal jantung kongestif, kombinasi
alpha-beta blokade dianjurkan untuk meningkatkan kardiovaskular outcome, dan yang
disebut sebagai vasodilatasi beta-bloker mungkin bermanfaat pada pasien dengan RHTN
juga. Namun, perbandingan prospektif kepala-ke-kepala dari kohort besar dengan pasien
beragam dengan RHTN masih kurang. Pada akhirnya, dokter perlu menyeseuaikan regimen
obat untuk pasien dengan RHTN dengan masing-masing individu dan mempertimbangkan
efikasi dan komorbiditas sebelumnya, efek samping, dan dari segi keuangannya.

Terapi Alat Baru untuk Resistensi Hipertensi

16
Terapi Aktivasi Barorefleks dengan Stimulasi Karotis
Ada sebuah penelitian yang berimplikasi pada baroreseptor karotis yang telah
diaktifkan dengan tekanan mengarah pada penyesuaian kompensasi dalam sistem saraf
simpatis dan parasimpatis yang terlibat dalam regulasi kontrol TD. Stimulasi listrik dari
baroreseptor karotis telah terbukti mendapatkan respon depresor melalui penghambatan
simpatik. The Rheos® Hipertensi Therapy System ™ (Rheos, Minneapolis, MN, USA) adalah
perangkat implan terdiri dari pembangkit denyut dan dua lead elektroda yang ditempatkan
secara bilateral untuk mengaktifkan baroreseptor arteri karotis jangka panjang. Dalam Rheos
Provital Trial, perangkat terapi aktivasi barorefleks dari generasi pertama (CVRx, Rheos)
dievaluasi. Pada uji double-blind, acak, terkontrol plasebo ini terdapat 322 subyek dengan
RHTN, perangkat Rheos ditanamkan pada 265 subyek yang kemudian diacak untuk terapi
aktivasi barorefleks langsung untuk 6 bulan pertama atau ditangguhkan terapi aktivasi
barorefleks setelah 6 bulan. Ukuran hasil utama, yaitu penurunan yang signifikan dari TD
sistolik pada 6 bulan, respon dipertahankan selama 12 bulan, dan perangkat keamanan dinilai.
Pengobatan gagal menunjukkan penurunan yang signifikan dari 6 bulan. Namun,
menunjukkan keberhasilan yang signifikan pada 12 bulan dan aktivasi barorefleks terkait
terapi dan keselamatan yang berhubungan dengan perangkat. Menariknya, randomisasi
tersebut memiliki pembangkit denyut yang telah diaktifkan dalam waktu satu bulan
menunjukkan penurunan 40% "efek samping serius untuk hipertensi urgensi" pada 6 bulan.
Setelah 12 bulan, semua pasien telah mencapai penurunan tekanan darah sistolik hingga 35
mmHg dibandingkan dengan awalnya, dan tekanan darah sistolik mencapai ≤ 140 mmHg di
lebih dari 50% dari populasi penelitian. Secara rinci, perubahan pada 6 dan 12 bulan dari pra-
implan menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik 26 ± 30 mmHg untuk kelompok
dengan implan yang diaktifkan dan 17 ± 29 mmHg untuk kelompok tanpa implan yang
diaktifkan (P = 0,03) pada 6 bulan dan penurunan 35 ± 28 mmHg untuk kelompok A (BAT
untuk 6 bulan pertama) dan 33 ± 30 mmHg untuk kelompok B (inisiasi BAT tertunda setelah
kunjungan 6 bulan) (P = 0.57) pada 12 bulan. Pada 12 bulan, tekanan darah sistolik 81% dari
subyek telah turun setidaknya 10 mmHg dari pra-implan. Kelompok responden ini
mengalami penurunan TD sistolik rata-rata 44 mmHg, dan 63% dari subyek tersebut
mencapai tekanan darah sistolik ≤ 140 mmHg.
Percobaan gagal untuk menunjukkan keamanan prosedural karena penempatan lead
sinus karotis dan terlibat dalam transien (4,4%) atau cedera saraf permanen (4,8% dengan
beberapa efek residu) yang terjadi pada saat implan. Selain itu, ada 4,8% dari subyek dengan

17
komplikasi bedah umum dan 2,6% dengan baik keluhan pernafasan atau komplikasi luka
akibat implan. Mayoritas (76%) dari efek samping terkait prosedur diselesaikan sepenuhnya
dan tidak ada kematian terkait prosedur.
Barostim neo ™ (CVRx; Minneapolis, MN, USA) adalah perangkat generasi kedua
yang telah dirancang untuk memberikan terapi aktivasi barorefleks dengan perangkat implan
dan prosedur sederhana. Dalam penelitian single-arm, open-label, nonrandomisasi, 30
subyek dengan RHTN dari tujuh pusat di Eropa dan Kanada diikutsertakan untuk
mengevaluasi keamanan, khasiat, dan perubahan TD sistolik selama 6 bulan. Ada penurunan
yang signifikan dari TD yaitu sebesar 26 ± 4,4 / 12,4 ± 2,5 mmHg pada 6 bulan, konsisten
dengan penelitian generasi pertama. Meskipun menggembirakan, hasil dari penelitian yang
lebih besar diperlukan untuk menentukan apakah Barostim sistem neo ™ adalah perangkat
yang aman dan efisien. Untuk alasan ini, Barostim neo ™ saat ini melakukan penelitian pada
sekitar 300 subyek dengan RHTN di beberapa situs klinis di AS. Dalam percobaan
randomisasi, open-label ini, ukuran hasil utama adalah keamanan dan kemanjuran. ukuran
hasil sekunder adalah penurunan yang signifikan dari TD sistolik di klinik dan 24 jam TD
sistolik rawat jalan dari data awal dengan 12 bulan pasca-aktivasi.

Terapi Denervasi Renal


Sebuah teknik investigasional baru untuk pengobatan RHTN adalah denervasi
simpatik renal (RDN). Strategi terapi ini menggunakan frekuensi radio energi rendah yang
disampaikan melalui kateter yang dimasukkan secara perkutan untuk gangguan bilateral dari
saraf simpatik aferen dan eferen di adventisia dari arteri ginjal. SYMPLICITY HTN-1
merupakan penelitian kohort, multicenter, proof-of-principle untuk menunjukkan kelayakan,
khasiat, dan keamanan terapi RDN berbasis kateter pada pasien dengan RHTN. Dalam
penelitian ini, 45 pasien dengan RHTN dan rata-rata TD 177/101 mmHg yang mengkonsumsi
rata-rata 4,7 obat antihipertensi menjalani perawatan RDN. Penurunan tekanan darah masing-
masing sebanyak 21/11 mmHg saat 6 bulan dan 27/17 mmHg saat 12 bulan. MRI jantung
pada 12 bulan setelah prosedur menunjukkan penurunan massa ventrikel kiri sebesar 9%.
Sebuah studi lanjutan pada 24 bulan SYMPLICITY HTN-1 menunjukkan penurunan TD
sebesar 32/14 mmHg, yang berarti menunjukkan efek antihipertensi jangka panjang. Tidak
adanya kelompok kontrol juga membuat penelitian ini rawan akan efek Hawthorne serta
regresi terhadap rerata. Berikutnya percobaan SYMPLICITY HTN-2 merupakan percobaan
multicenter, prospective, randomized, controlled, open-label, follow-up yang

18
mengikutsertakan sebanyak 106 pasien yang diacak untuk terapi RDN dan manajemen medis
atau manajemen medis saja. Tujuan kemanjuran utama untuk penelitian ini adalah perubahan
TD klinik pada 6 bulan.
TD di klinik pada saat 6 bulan pada kelompok RDN berkurang 32/12 mmHg
sementara tidak ada perubahan pada kelompok kontrol. Dalam pengukuran TD 24 jam rawat
jalan menunjukkan penurunan yang signifikan yaitu 11/7 mmHg 6 bulan setelah treatment.
Satu tahun tindak lanjut dari kohort SYMPLICITY HTN-2 ditugaskan untuk RDN
menunjukkan bahwa penurunan rata-rata pada TD sistolik 12 bulan serupa dengan yang
diamati pada 6 bulan (28 versus 32 mmHg, P = 0,16). Sebuah crossover untuk kelompok
RDN diizinkan dalam mengontrol pasien. Pada 35 pasien yang menjalani crossover untuk
kelompok RDN, penurunan TD signifikan sebesar 24/8 mmHg diamati pada 6 bulan, dan
pengurangan TD mirip dengan yang ada pada kohort RDN asli selama 6 bulan. Keterbatasan
SYMPLICITY HTN-2, termasuk rancangan nonblinded dan hilangnya prosedur sham pada
kelompok kontrol, saat ini ditangani oleh SYMPLICITY HTN-3, yang merupakan penelitian
regulasi yang dirancang sebagai penelitian prospective, single-blind, randomized, controlled.
Pasien yang diobati secara aktif akan menjalani prosedur RDN dan terapi medis, sedangkan
kelompok kontrol akan menjalani angiografi ginjal saja sebagai prosedur sham, dengan
perawatan pasca-prosedur identik untuk mempertahankan blinding subjek. Ukuran hasil
utama adalah perubahan pada TD sistolik di klinis dari awal sampai 6 bulan pasca-
randomisasi dan ukuran hasil efektivitas utama adalah insidensi efek samping besar setelah
satu bulan pasca-randomisasi, termasuk RAS de novo atau perkembangan RAS yang sudah
ada yang diukur setelah 6 bulan. Ukuran hasil sekunder adalah perubahan rata-rata tekanan
darah sistolik 24-jam dengan monitoring TD rawat jalan.
Dalam SYMPLICITY HTN-1 dan SYMPLICITY HTN-2, angiografi ginjal dan
magnetic resonance angiography dilakukan pada subset dari pasien di 2-4 minggu pasca
prosedur menunjukkan bahwa tidak ada RAS yang tertunda dalam merespon RDN. Satu
diseksi arteri renal dan satu pseudoaneurisma femoralis terjadi di SYMPLICITY HTN-1,
sementara satu pseudoaneurisme femoralis terjadi di SYMPLICITY HTN-2. Semua
komplikasi berhasil diobati, sehingga membentuk keselamatan prosedur RDN. Data hasil
jangka panjang saat ini ditunggu dari dua kelompok SYMPLICITY.
Hasil yang menjanjikan dari studi SYMPLICITY telah menyebabkan perkembangan
kateter empat elektroda novel yang memberikan frekuensi radio secara bersamaan dan
dirancang untuk mengurangi waktu prosedur secara signifikan dibandingkan dengan

19
elektroda tunggal di ujung kateter. Penelitian yang menyelidiki kemanjuran dan keamanan
empat elektroda kateter radiofrekuensi yang disediakan oleh Medtronic dan St Jude sedang
berlangsung, yang terakhir menyelidiki tentang kardiovaskular outcome. Beberapa studi saat
ini sedang dilakukan untuk menyelidiki efek dari RDN tambahan untuk efek penurunan
tekanan darah pada berbagai faktor risiko kardiovaskular, penyebab sekunder, dan
komorbiditas. RDN mungkin merupakan pilihan yang potensial pada pasien yang kelelahan
terhadap modifikasi gaya hidup, pemeriksaan menyeluruh untuk penyebab sekunder, dan
pengobatan farmakologis untuk mengendalikan hipertensi.

KESIMPULAN
RHTN adalah masalah klinis umum yang dihadapi oleh internis dan spesialis. Pasien dengan
RHTN harus diskrining untuk penyebab hipertensi yang dapat sembuhkan, seperti RAS,
aldosteronisme primer, dan obstructive sleep apnea. Pasien harus diberi konseling tentang
faktor gaya hidup yang berpotensi untuk dapat diubah, seperti asupan natrium, penurunan
berat badan, diet, dan olahraga. Terapi kombinasi dengan kelas antihipertensi yang berbeda
sangat penting dalam pengobatan yang efektif RHTN. Idealnya harus mencakup diuretik
tiazide seperti seperti klortalidon karena durasi aksi yang lebih panjang dan khasiat
antihipertensi yang lebih baik. Peran aldosteron yang berlebihan dalam patogenesis RHTN
semakin diakui, dan penambahan antagonis reseptor mineralokortikoid sebagai agen
antihipertensi lini keempat dianjurkan. Uji klinis yang mengevaluasi keamanan dan
kemanjuran terapi baru termasuk terapi aktivasi baroreflex dan RDN saat ini sedang
berlangsung, dengan data awal yang menguntungkan. Teknik ini memiliki potensi untuk
menambah dimensi baru yang menarik dalam terapi antihipertensi.

20

You might also like