You are on page 1of 127

Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-1

FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-1
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN: MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: MEMBANGUN KESADARAN DIRI SEBAGAI
PEMIKIR DAN ILMUAN
C.Kompetensi Standar: Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku
pemikir dan ilmuwan professional.
D.Kompetensi Dasar: Diharapkan setelah selesai perkuliahan ini Anda dapat:
 menjelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
 memberikan contoh pemikir sejati;

 menjelaskan hakikat pikiran sebagai pengobat rasa ingin tahu;

 menjelaskan hakikat pikiran sebagai tenaga keilmuan.

I. Komunitas yang Ingin Mencetak Jati diri dengan Mengerjakan Pikiran.


Mahasiswa adalah kelompok manusia atau komunitas akademis yang "secara aktual"
sedang senangnya mencari jati diri dengan pikirannya, untuk berusaha mencetakkan
baginya sebuah identitas baru sebagai "kaum pemikir". Filsafat Ilmu, karena itu,
pertama-tama berusaha menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan dalam diri
mahasiswa sebagai calon pemikiran sejati. Kesadaran diri selaku pemikir sejati,
mendorong Anda selaku mahasiswa untuk mengembangkan diri sebagai ilmuawan
sejati, dan calon professional yang sejati.
Memang, filsafat memandang manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens),
namun filsafat juga menegaskan bahwa tidak semua manusia, secara otomatis,
dapat memanusiakan diri sebagai pemikir sejati. Kesadaran diri sebagai makhluk
berpikir, merupakan langkah awal bagi manusia, khusunya mahasiswa dalam
menempatkan diri sebagai makhluk istimewa yang berbeda dari makhluk lainnya
dengan berusaha mengembangkan daya pemikiran atau kemampuan berpikirnya
secara baik, aktif, kreatif jujur, dan benar.
Jelas bahwa manusia, khusunya mahasiswa, tidak dapat membangun kehidupan,
mengembangkan diri, serta kehidupan kemahasiswaannya tanpa berpikir.
Mahasiswa, setiap saat seolah berada dalam sebuah kecemasan intelektual atau
kegelisahan pemikiran, dalam mengamati keadaan di sekitarnya. Mereka terdorong
untuk mengamati, menguji, mengkritisi, dan mengembangkan pemikiran-pemikiran
baru yang lebih jelas atau tajam dalam memecahkan realitas dimaksud. Mereka
tidak mau menerima sesuatu sebagai apa adanya, tetapi menghadapinya sebagai
obyek berpikir untuk mengerjakan pengertian-pengertian (konsep), keputusan-
keputusan intelektual yang khas. Mereka menguji setiap konsep, teori, atau
pandangan dalam dunia kenyataan dengan menciptakan bahasa sebagai alat untuk
mengkomunikasikan pikirannya. Pendeknya, mereka ingin memecahkan misteri
ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-pemikiran dari hal-hal yang telah ada
menuju pengetahuan baru, serta menciptakan pemikiran atau penemuan-penemuan
baru dalam bentuk ilmu,teknologi, dan industri.
Perhatikan gambar di bawah, yang seolah mengekprasikan seorang mahasiswa
dalam kegelisahan pemikiran, yang seolah-olah membuatnya di berpikir dalam dua
dunia. Di satu sisi, ia berkelana dengan pikirannya dalam berbagai teks pemikiran
yang seolah menggerogori alam pemikirannya, sementara di sisi lain ia berpikir
dalam dunia relitasnya dalam sebuah keprihatinan pemikiran (keprihatinan
intelektual), dengan mata pemikirannya yang melotot untuk mengamati, menguji,
mengkritisi, dan memecahkan permasalahan hidup yang terjadi di lingkungannya.

Gambar No.1. Mahasiswa yang berpikir dalam dua dunia.


Keterangan Gambar:
1. Gambar imaginer ini menunjukkan bahwa mahasiswa selalu berpikir dengan
dua kaki, yaitu satu kaki ditancapkan dalam dunia ide, yang tersaji secara
konseptual dalam bentuk teks (buku), sementara kaki yang lain ditancapkan
dalam dunia empiris yang dibimbing oleh mata inderawinya dalam sebuah
dunia pengalaman yang nyata.
2. Ciri berpikir dalam dunia ide diarahkan untuk mendapatkan legitimasi rasional
guna kepentingan teori keilmuan, sementara berpikir dalam dunia empiris
untuk mendapatkan legitimasi empiris untuk kepentingan aplikasi atau
penerapan keilmuan.

Mahasiswa, karena itu, hendak menegaskan bahwa, manusia sejak dari lahir sampai
matinya, tidak pernah berhenti dari berpikir. Manusia, hampir tidak ada masalah
menyangkut kehidupannya (baik yang remeh dan sederhana misalnya, sarapan pagi
sampai pada soal-soal yang paling asasi seperti sorga atau neraka), yang lepas dari
jangkuan berpikirnya. Baginya, manusia yang mengabaikan tugas melatih,
mendewasakan, dan mencerdaskan diri dan hidup dengan berpikir akan tergilas oleh
kehidupan itu sendiri, sehingga tidak berdaya menghadapi arus kehidupan yang
terus mengalir. Otak manusia bekerja seperti jantung yang tidak berhenti berdenyut,
siang malam, sejak masa kecil sampai tua renta. Otak manusia menyimpan berbagai
jaringan yang menyimpan serta mengalirkan berbagai juta, bahkan, bilyun ingatan,
kemampuan bicara, perhitungan, keinginan, kekuatan, pola, dan suara. Otak
manusia, membuat manusia mampu mengerjakan pengertian-pengertian (konsep),
keputusan-keputusan, menciptakan bahasa sebagai tanda kepribadian dan alat
komunikasi, memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-
pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan
pemikiran atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, dan
industri.
Baginya, banyak manusia yang memiliki potensi kecerdasan, tetapi bisa lalai, gagal,
atau salah dalam mengembangkan kecerdasannya, baik dalam membangun
kehidupan sehari-hari. Bahkan, banyak yang gagal mengembangkan potensi
kecerdasannya dalam meraih ilmu atau pengetahuan sebagai sarana kekuatan dan
kekuasaan manusia dalam alam. Akibatnya, mereka gagal meraih martabat diri dan
mengembangkan kehidupan sebagai makluk berpikir.
Melalui studi filsafat Ilmu, hendak ditegaskan bahwa martabat diri manusia
ditentukan oleh sejauh mana ia berpikir dan mengembangkan pikirannya. Filsuf
Rene Descartes, menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa: "karena berpikir
maka aku ada" (Cogito ergo sum). Implikasi pandangan tersebut adalah bahwa
karena manusia itu berpikir maka ia ada", sebab tanpa berpikir maka manusia tidak
pernah akan menyadari keberadaan aktualnya sebagai potensi "ada" dan
"mengada", atau mampu menempatkan diri sebagai "subyek pengada" bagi ada
lainnya (berupa pengetahuan, ilmu, atau penemuan lain) di dalam hidup ini. Tanpa
berpikir, manusia tidak memiliki perbedaan secara mendasar (essensial) dari
makhluk lainnya, dan mungkin, akan mudah dibatasi (dideterminasi) oleh kekuatan
alam atau makhluk lainnya.
II. Contoh Mahasiswa Sebagai Pemikir Sejati.
Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual, tetapi tanda keberadaan actual
sebagai pemikira sejati. Kesadaran diri dan pengembangan diri sebagai homo
sapiens membuat para mahasiswa bergerak dari sekedar sebuah "keberadaan
kodrati" atau "keberadaan potensial" menjadi "keberadaan aktual" sebagai pemikir
sejati yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu, kebudayaan, dan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pengembangan diri sebagai pemikir sejati,
mahasiswa mampu menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta
membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang
bermartabat serta berbudaya. Pikiran membuat manusia mampu melakukan
transendensi diri sehingga mampu membebaskan diri dari berbagai determinasi dan
represi, baik yang bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun "penyakit peradaban"
yang ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan sitematis.
Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens bukan sekedar sebuah
tanda keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the Power). Bahkan, lebih
daripada itu, bernilai pada dirinya sebagai "tenaga budaya". Mahasiswa sebagai
pemikir, hendak membuktikan bahwa manusia, dengan pikirannya, bukan saja
mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu menguasainya dan
"menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai "tenaga budaya" mampu
membangun berbagai sistem berpikir, sistem pengetahuan, dan sistem keilmuan
yang mampu menempatkannya sebagai aktor zaman. Manusia, dengan pikirannya,
mampu membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi manusia dan alam
lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia berpikir lah yang mampu membangun
sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi diri dan lingkungannya (bd.
Watloly: 2001: 21-37).
Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan otonomi dan kreatifitas
dirinya yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar, mencerap,
mengamati, mengingat, membayangkan, menganalisis, memahami, merasa,
membangkitkan emosi, menghendaki, melakukan sintesis, abstraksi, serta
mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo sapiens merupakan
sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam
konsep, putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser
pikirannya darai taraf-taraf hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf
pembuktian untuk menjadi teori, ilmu, teknologi, industri, dan sebagainya, serta
membuat manusia mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan secara efektif
dan sitematis.
Aristoteles, karena itu menganjurkan; "agar orang yang tidak mampu berpikir dan
tidak mau mengembangkan daya pikirannya harus dilenyapkan saja". Alasannya,
mereka adalah sama dengan orang yang cacat dan lemah yang tidak berguna dan,
karennya, akan menjadi beban bagi masyarakat atau negara. Aristoteles, dalam hal
ini, memandang pikiran sebagai kemampuan yang khas manusia untuk secara kritis
melakukan: pertama; pengamatan, kedua; menilai dan mengklasifikasi atau
mengkategorikan konsep-konsep, ketiga; menempatkan perbedaan dalam rangka
kombinasi dan hubungan, keempat; melakukan perhitungan-perhitungan
berdasarkan kemampuan membeda-perbedakan, mengklasifikasi, dan
mengkombinasi hubungan.
Pendeknya, mahasiswa adalah sebuah dunia actual dan fungsional yang ingin
mewujudkan kapasitasnya, sebagai komunitas baru yang berciri khas sebagai kaum
intelek atau "pemikir aktual". Para mahasiswa, karenanya, giat membangun struktur
perilaku, cara berkomunikasi, cara bergaul, cara berbahasa, serta bereksperimentasi
hidup dalam pola dan arus pemikiran yang khas dan dinamis. Mereka mengkritik
pikiran-pikiran, tradisi, dogma-dogma, ideologi, serta melakukan eksplorasi, analisis,
perbandingan, dan penyimpulan-penyimpulan yang progresif, berupa persetujuan-
persetujuan (affirmasi) atau penolakan-penolakan (negasi) untuk menunjukkan
kepiawaiannya sebagai "pemikir aktual". Jiwa mereka diliputi sebuah semangat yang
tunggi untu berusaha menyusun atau memformulasi pemikirannya sedemikian rupa
menjadi tanda kepribadian yang "memekarkan".
Mahasiswa, lebih daripada itu, ingin menampilkan diri sebagai "pemikir aktual",
penggagas seminar, aktivis kelompok diskusi, bedah pemikiran, dan "demonstran
intelektual". Tujuannya, ingin mendemontrasikan atau mengujicoba kekuatan
pemikirannya sebagai the power of logic untuk menyikapi realitas masyarakatnya,
sedemikian rupa, sehingga diakui atau dikenal luas sebagai pemikir sejati, komunitas
rasional, ilmuwan, dan kaum berpengetahun. Mereka, dengan itu, berusaha
menyakinkan masyarakat bahwa, pikiran dan kaum pemikir adalah "kekuatan" yang
mampu mengemansipasi masyarakatnya dari kemandegan hidup yang mengancam
serta kekuatan-kekuatan determinan berupa; represi, arogansi, dan candu
kekuasaan yang dianggapnya sebagai kepalsuan, absurditas, dan irasional yang
harus dilawan dengan pikiran sehat.
Mahasiswa adalah "calon pemikir", bukan dalam arti bahwa mereka, sebelumnya,
belum pernah berpikir atau belum terbiasa berpikir. Maksudnya, mereka di sini baru
berada pada sebuah periode khusus dalam hal memandang dan mengerjakan
pikiran itu sendiri secara kritis, terstruktur dan sistematis sebagai sebuah
keberadaan baru baginya. Mahasiswa, pada periode ini mulai terlatih untuk
bereksperimentasi pemikiran dalam rangka mengembangkan alam berpikirnya
secara filosofis logis, yang menjadi dasar bagi proses "berpikir keilmuan".
Mahasiswa, karena itu, harus mengolah pemikirannya secara teratur dan bertahap,
untuk mencapai tahap-tahap kepuasan inteketual yang dipersyaratkan dalam
mewujudkan dirinya selaku pemikir yang ilmuwan, bukan pemikir biasa. Mereka,
justru itu, harus membangun sebuah tradisi berpikir dalam hidup aktualnya, untuk
dapat mewujudkan jatidirinya selaku "master" berpikir. Mereka mengeksperimentasi
pemikiran dengan cara mengkritik, menganalisis, mengkaji, menggugat, serta
menguji pikiran dan pandangan, termasuk dalamnya, ideologi-ideologi, tradisi, atau
ajaran-ajaran yang ada, untuk mengambil keputusan-keputusan intelektual yang
baru, sebagai taha-tahap berpikir progresif menuju pencapaian pikiran atau
pengetahuan-pengetahuan baru di dalam hidupnya. Ciri berpikir yang dimaksud,
yaitu berpikir secara rasional (bukan subyektif-emosional), terstruktur, metodik, dan
logis untuk menghasilkan kategori-kategori pemikiran sehat, lurus, dan obyektif.
Melalui itu, mahasiwa akan melihat dirinya di dalam teater pemikirannya sendiri
dengan aneka penyiasatan hidup untuk mencapai kesuksesan.
III. Pikiran Mengobati "Rasa Ingin Tahu".
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri fundamental manusia sebagai Homo sapiens
ialah "ingin tahu". Namun, suasana atau semangat "ingin tahu" itu sendiri akan
menjadi beku dan mati tanpa hasil budaya apa pun, bila tidak ada pikiran yang
mampu membimbing manusia untuk mengobati kerinduan "rasa ingin tahu" itu.
Bahkan, kesadaran berpikir itu sendirilah yang telah memunculkan "rasa ingin tahu"
dimaksud sebagai tanda kesadaran (existencial consciousness) yang khas bagi
manusia. Pikiran mampu mengobati "rasa ingin tahu", sehingga manusia tidak
digerogoti atau terus dicemaskan oleh sebuah "keingintahuan" yang statis (kekanak-
kanakan).
Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia sedemikian rupa sehingga
manusia mendapat sebuah titik pangkal kesadaran untuk makin melangkah menuju
tahap kedewasaan dan kematangan hidup. Manusia, melalui pikirannya, tidak hanya
menterapi "rasa ingin tahu"-nya secara psikologis, tetapi mampu menempatkannya
pada sebuah realitas pembelajaran (diskursus) untuk mengisi ruang keinginannya itu
dengan kompetensi; pengetahuan, keilmuan, ketrampilan, etika, moralitas, dan
spiritualitas. Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkannya sebagai "tenaga budaya" dalam melakukan berbagai karya
budaya. Pikiran juga mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkanya sebagai "tenaga ilmu" dalam mengerjakan berbagai karya keilmuan
yang terus menyingkap misteri ketidaktahuan yang mencemaskan menjadi alam
penaklukkan yang mengasikkan.
Pikiran adalah sebuah daya atau "tenaga" yang mampu mengobati, mengubah, dan
mendinamisasi suasana keraguan, kesangsian atau kebingungan dan rasa
tetidaktahuan yang mencekam dalam diri manusia. Pikiran mampu menangani
gejolak kebathinan dimaksud menjadi semangat "keingintahuan" yang menyegarkan
eksistensi manusia, serta mencitrakan dirinya sebagai "kreator dunia". Sebagai
"tenaga budaya", pikiran telah membangkitkan dan menumbuhkan sebuah
kesadaran yang khas bagi manusia untuk memosisikan diri sebagai makhluk beradab
atau berbudaya yang mampu mengatasi kejahatan, kebiadaban, asosial, dan
mengembangkan peradaban diri dan dunianya menjadi diri pribadi dan dunia yang
berpribadi, beradab, dan bermartabat.
Pikiran memberikan sebuah martabat dan sekaligus beban tanggung jawab yang
menyuburkan bagi manusia. Melalui itu, manusia, bukan sekedar menjadi makhluk
pemikir (homo sapiens), namun akan terus mengembangkan diri menjadi makhluk
pekerja keras atau berbudaya (homo vaber), makhluk sosial (homo social), dan
makhluk beragama (homo religius). Pikiran membuat manusia membatasi,
mengarahkan, dan mengendalikan diri sebagai "aktor nilai" dengan norma atau
aturan (orde) kehidupan yang jelas.
Pikiran membuat manusia mampu berada (bereksistensi) dan berkarya (beraktivitas)
dalam tatanan (orde) atau sistem (ordo) kehidupan yang memadai bagi diri
kemanusiaannya maupun diri kesosialannya. Daya pemikiran dimaksud membuat
manusia mampu mengisi dan mengkreasi berbagai sistem kehidupan dalam
menyiasati tuntutan kehidupannya secara nyata, sehingga manusia memiliki sebuah
sistem keberadaan (Ordo essendi), sistem nilai atau pengetahuan (Ordo
Cognoscendi), sistem kerja (Ordo Fiendi), dan sistem niat pengabdian (Ordo Agendi)
untuk mewujudkan kapasitas diri secara nyata sebagai agen kehidupan bagi
dunianya. Semuanya itu hanya mungkin dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
berpikir.
Jelasnya, melalui pikiran, manusia mampu memahami dan "mengolah diri"
sedemikian rupa sehingga makin halus, makin peka, dan makin terbuka. Pikiran
sebagai "tenaga budaya" membuat manusia juga mampu berinspirasi, beraspirasi,
dan bertransformasi secara aktual dan dinamis utuk menciptakan perubahan dan
kemajuan-kemajuan dalam hidup. Bahkan, dengan pikirannya, manusia mampu
mengembangkan pengertian dan pemahamannya secara sistematis dan terstruktur,
baik secara Verbalis (kata atau perkataan), Konotatif (pengertian atau pemahaman),
dan Denotatif (kewajiban etis) untuk memajukan kehidupannya.
IV. Pikiran Sebagai Tenaga Keilmuan.
Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang kesadaran atau keinsyafan
manusia. Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang berupa daya rasional,
membuat manusia mampu memiliki kesadaran, kemampuan kritis, bernalar,
berprakarsa, berkehendak, serta bertanggung jawab. Pikiran, sebagai salah satu
fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia, serta
mempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam sebuah tatanan sosial
yang beradab. Pikiran, karenanya, bukan hanya merupakan sebuah hasil berpikir
yang bersifat statis, tetapi juga merupakan sebuah proses yang penuh dinamika
perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Orang, karena itu, sering
membedakan pikiran berdasarkan dua sisinya, yaitu; sisi materi dan sisi rohani
(dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi materi, pikiran
adalah sebuah bentuk energi material yang sedang bergerak, sementara bagi
mereka yang memandang pikiran dari sisi rohani melihat pikiran sebagai aktivitas
non material yang terus mendorong aktivitas-aktivitas mental dalam rangka
mengkritisi, memprediksi, dan mengambil keputusan-keputusan intelektual.
Sejauh ini, ada berbagai teori yang bersifat monistik, dualistik (dikhotomis), atau
dialektis tentang pikiran itu sendiri. Penganut aliran "Monisme" akan cenderung
mengidentikkan pikiran dengan proses-proses otak tertentu, misalnya; pencerapan,
persepsi (kesan atau pemahaman), dan kesadaran. Penganut aliran "Dualisme"
(Dikhotomis), di sisi lain, akan cenderung memisahkan pikiran dari keutuhan tubuh
manusia, dengan menunjukkan berbagai ciri yang sungguh membedakan atau
mengkonfrontasikan pikiran (rohani) dari tubuh (materi) dimaksud.
Pikiran makin mendorong dan mengembangkan niat, rasa, atau semangat
keingintahuan manusia menjadi sebuah "tenaga ilmu". Melalui pikiran, manusia
makin mengembangkan semangat "ingin tahu"-nya kearah penemuan konsep-
konsep, ide, gagasan, dan pembuktian-pembuktian hipotesisi atasnya untuk menjadi
teori atau pikiran keilmuan yang jelas. Manusia, melalui itu, mampu menyingkap
keberadaannya, bukan sekedar sebagai fakta, tetapi masalah dengan dinamika
personanya, yang harus dipecahkan, baik secara psikologis, biologis, teologis,
antropologis, sosiologis, ekonomis, paedagogis, ekologis, dan sebagainya. Bahkan,
manusia mampu menciptakan aneka hukum bagi pengembangan kehidupannya,
seperti; hukum ekonomi (the Law of having), hukum tindakan (the Law of doing),
dan hukum budaya (The Law of Being).
Pikiran, dalam kedudukan sebagai "tenaga ilmu", berfungsi memberi dasar-dasar
pemikiran keilmuan, menentukan obyek dan prinsip-prinsip metodik keilmuan serta
ciri khas masing-masing cabang ilmu. Tenaga keilmuan tersebut, berfungsi pula
untuk memperdalam serta memperluas cakrawala pertimbangan-pertimbangan dan
putusan-putusan teoretis sehingga mampu mendorong perkembangan ilmu-ilmu
khusus, maupun aplikasi atau penerapan keilmuan dengan pertimbangan-
pertimbangan nilai agar ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Akhirnya, pikiran, baik sebagai "tenaga budaya" maupun
"tenaga ilmu", merupakan kekuatan strategis untuk menyingkapkan keluhuran atau
keagungan manusia yang tiada bandingnya, sehingga rasa "ingin tahu" manusia
menemukan artinya yang strategis dan mendalam.
Manusia, dengan pikirannya, telah mendorong rasa keingintahuannya itu sehingga
telah mampu mengantarkannya memasuki dan menyelami segala seluk beluk alam
pemikiran, baik yang bersifat spekulatif - teoretis dalam rangka menghasilkan
pikiran-pikiran keilmuan, maupun pikiran-pikiran yang bersifat praktis operasional
dalam rangka membangun kecakapan, menciptakan alat-alat untuk membantu
manusia dalam mempertahankan diri serta sekaligus mengembangkan hidupnya
sebagai makhluk beradab. Bahkan, manusia dengan pikiran telah balik menantang
dan mendorong pengembangan pikirannya itu, sedemikian rupa, sehingga mampu
mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan
diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.
Cara pengobatan pikiran atas "rasa ingin tahu" manusia itu, antara lain dengan
mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengolah tanah yang
gersang menjadi lahan subur dan produktif guna menunjang kehidupannya. Bahkan,
dengannya, manusia mampu mengubah tanah yang berbukit atau hutan rimba
menjadi istana, menciptakan bangunan bertingkat, kapal, pesawat, dan sebaginya
untuk mengatasi keterbatasan kikinya yang tidak mampu berjalan mengantarkannya
secara cepat, mengelilingi pulau dan benua dalam waktu yang singkat.
Pikiran merupakan sebuah dharma kehidupan yang meluhurkan dan memampukan
manusia menyingkap realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu
dengan yang lainnya serta meningkatkan harkat kemanusiaan manusia. Manusia
dengan pikirannya, mampu menciptakan bahasa, baik untuk kepentingan
komunikasi maupun untuk kepentingan penegasan eksistensi atau jati diri. Meskipun
demikian, pikiran manusia bukanlah sebuah lingkup pengada manusia yang lengkap
dan sempurna. Pikiran, sesungguhnya, merupakan sarana pengada yang
memungkinkan mengadanya berbagai macam tindakan dan hasil tindakan manusia
yang mengisi alam kebudayaannya. Pikiran mendorong manusia untuk mengetahui
dan menghasilkan berbagai turunan pengetahuan atau ilmu yang, seakan, tidak
berkesudahan, berintikan pada penilaian mengenai manusia dan kemampuan
mengadanya di tengah alam kehidupannya secara nyata.
Pikiran lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab dan
karenanya, dapat dimintakan pertanggungan jawabnya atas segala hal yang
dilakukan. Manusia dibimbing secara jelas dengan pikirannya untuk memahami,
menilai, dan menyiasati secara jelas dan tertanggung jawab kondisi konkretnya agar
ia bertindak sesuai martabatnya. Konkritnya, dengan pikirannya, manusia mampu
melakukan transendensi terhadap realitas seperti apa adanya, dan makin menuju
kepada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap
realitas yang dialaminya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A.2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
--------------2003, Pikiran Sebagai Tenaga Ilmu, (Belum diterbitkan), hal 2-14.
F. Evaluasi:
 Jelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
 berikan beberapa contoh pemikir sejati;

 Jelaskan hakikat pikiran sebagai pengobat rasa ingin tahu;

 Jelaskan hakikat pikiran sebagai tenaga keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:37

Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-2


FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-2
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN : MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
C. Kompetensi Standar :
Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku pemikir dan ilmuwan
professional.
D. Kompetensi Dasar:
Setelah menyelesaikan pembahasan topik ini, Anda diharapkan dapat:
 menunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.
 membedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan;

 menjelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;

 menjelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.

1. Berpikir dalam Kerangka Tugas Keilmuan.


Berpikir, secara filosofis, adalah sebuah tugas kemanusian dan tugas budaya yang
makin memperluas kesadaran (reasoning) manusia. Manusia, dengan berpikir,
mampu mendongkrak keterbatasan-keterbatasan kodrati manusia untuk melakukan
penemuan-penemuan (invention) serta karya-karya budaya dalam rangka
memanusiakan diri dan lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang
manusiawi serta berbudaya. Berpikir, karena itu, bukan merupakan proses kelana
dalam berbagai hantu khayalan atau untuk mencari kepuasan yang sifatnya
temporer. Justru, berpikir merupakan proses yang mesti membuahkan pengetahuan,
ilmu, “Spesialisme”, teknologi, serta “Industrialisme”.
Bahkan, pada sisi tertentu, kemajuan pikiran telah memacu berkembangnya
pengetahuan dengan segala akan pinaknya, sebagaimana ditunjukkan di atas.
Kenyatan itulah yang membuat ilmu, “Spesialisme”, teknologi, dan “Industrialisme”
dimaksud, telah menggejala luas dan makin menguasai hidup manusia. Ilmu,
pengetahuan dan teknologi seakan telah memberikan atribut yang khas bagi
manusia sebagai “manusia modern” yang hidupnya, seolah-olah, diabdikan
sepenuhnya untuk mengejar “kemajuan” dan “pertumbuhan” (progres).
Mahasiswa bukan hanya menghadapi pikirannya, tetapi mengolah, mengkritisi, dan
menatanya sedemikian rupa dengan pola penalaran yang logis maupun metode
pemikiran yang khas untuk membangun dunia keilmuannya yang khas. Mahasiswa,
dalam proses pembelajarannya di perguruan tinggi terarah sepernuhnya untuk
mengerjakan pikiran-pikiran keilmuannya, baik untuk kepentingan pengembangan
ilmu secara luas maupun untuk penerapan dalam memecahkan permasalahan
kehidupan di dalam lingkungannya.
Guna membatu Anda memahami hal itu, Anda diminta untuk menyimak gambar
berikut.

Gambar No.2. Mahasiswa mengolah benih-benih pemikiran dalam membangun dunia


keilmuan.
Keterangan gambar:
1. Titik-titik merah adalah benih benih pemikiran, baik di dalam daya rasio
(kesadaran kritis) maupun di dalam gejala kehidupan yang diamati.
2. Saringan berlabel i merupakan proses berpikir dalam rangka mengkaji,
menyaring, menganalisis, menalar, dan menguji benih-benih pemikiran
menjadi jenis pengetahuan yang khusus atau pengetahuan keilmuan.

3. Bola dunia menunjuk pada sebuah sumbangan pemikiran keilmuan bagi


pengembangan dunia keilmuan secara luas. Dengan berpikir dan
mengembangkan pikiran keilmuannya dengan baik maka seorang mahasiswa
akan menjadi ilmuwan yang mendunia.

Terlihat bahwa progres epistemik atau pertumbuhan pemikiran tersebut, pada


awalnya, merupakan serangkaian gerak kegiatan pemikiran dalam mengikuti jalan
pemikiran tertentu yang akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan khusus (special knowledge) yang dalam hal ini disebut pengetahuan
keilmuan atau pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Ilmu atau pengetahuan keilmuan mana, bukanlah pikiran yang statis dan final,
karena pikiran keilmuan itu sendiri segara akan memasuki sebuah dunia keilmua
terus berkembang secara multiplikatif. Umumnya, setiap perkembangan ide atau
konsep merupakan berpikir itu sendiri. Gerak pemikiran ini, dalam kegiatannya
mempergunakan lambang yang merupakan abstraksi dari obyek yang sedang
dipikirkan. Bahasa adalah salah satu dari lambang tersebut yang berfungsi
menyatakan obyek-obyek tersebut dalam bentuk kata-kata. Hal yang sama juga
dilakukan dalam matematika. Kemampuan berpikir seorang bayi dimulai dengan
belajar berbahasa (bahasa verbal) kemudian dengan mengenal angka-angka
(bahasa angka) yang dilanjutkan dengan belajar berhitung. Proses berpikir itu
kemudian dilakukan secara formal dalam bentuk pendidikan prasekolah, Sekolah
Dasar, dan sebagainya.
Gerak pemikiran tersebut, makin berkembang dengan adanya prestasi-prestai
pemikiran yang telah diarahkan serta diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan
teknologi yang makin menemui puncak-puncak kejayaannya dalam bentuk tekno-
industri, serta ”Industrialisme” yang mampu memproduksi hasil-hasil, serta spesies-
psesies pemikiran baru secara berlipat ganda. Meskipun demikian, pikiran dan hal
mengerjakan pikiran itu sendiri dengan segala turunannya yang disebutkan di atas,
kini, telah menjadi urusan banyak pihak dengan berbagai macam kepentingan, baik
yang bersifat luhur (positif), maupun buruk (negatif). Hal itu pun dilakukan dengan
berbagai macam media, baik berupa media teknologi informasi, teknologi genetika,
bio-medis, maupun teknologi persenjataan (hasil pemikiran itu sendiri), yang bukan
hanya menguasai proses pembelajaran secara formal, tetapi jauh lebih daripada itu,
telah menguasai dan menggerogoti otonomi berpikir, moralitas, serta hak-hak privat
manusia, dan makin pula menimbulkan berbagai arus kecemasan dalam diri dan
kehidupan manusia, tanpa ketenangan.
Perkembangan arus keilmuan pun, makin menunjukkan sebuah perkembangan yang
beranekaragam, bercabang-cabang, dan bahkan, menjurus pada spesialisasi yang
terpecah-belah. Spesialisasi, yang di samping telah membawa keuntungan bagi
pemecahan masalah-masalah kemanusiaan dan dunia, akhirnya telah terjebak
menjadi “Spesialisme”, dalam arti sikap spesialisasi yang tertutup untuk kepentingan
(egoisme dan keangkuhan) spesialisasi dan kaum spesialis itu sendiri. Pasar
spesialisasi telah menjadikan manusia itu sendiri sebagai obyek transaksi, uji-coba,
lahan garapan, dan bukan semata-mata untuk menyembuhkan manusia.
Intinya, pengetahuan atau ilmu, sebagai produk pikiran manusia, membantu
manusia untuk makin mengenal dan menemukan dirinya serta serta makin
menghayati hidupnya dengan sempurna. Berbagai ragam pemikiran telah dan akan
terus dikembangkan untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia yang
terus berkembang. Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia untuk
kepentingan-kepentingan kemanusiaan. Justru itu, ilmu bukan untuk ilmu (ilmu qua
ilmu), tetapi untuk manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
2. Ciri pemikiran keilmuan
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan adalah
pemikiran yang sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan.
Seorang pemikir ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang
dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada
suatu tujuan tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir keilmuan, secara filosofis,
adalah berpikir sungguh-sungguh, disiplin, metodis, dan terarah kepada
pengetahuan.
a. Berpikir sungguh-sungguh. Artinya, berpikir dalam kerangka keilmuan
membutuhkan keseriusan serta curahan pemikiran yang mendalam dengan
totalitas penghayatan untuk membedah suatu pemikiran sampai
mendapatkan kejelasan, kepastian, ketepatan, dan keajekan-keajekan
pemikiran yang sungguh mendasar bagi sebuah bangunan keilmuan. Berpikir
sungguh-sungguh dalam arti yang demikian, mengandaikan pula bahwa
pemikir ilmuwan, tidak sekedar bermai-main dengan pikirannya untuk
mencari popularitas, tetapi sebaliknya menjadi teladan atau prototype
kebenaran dari pemikiran keilmuan itu sendiri.
b. b. Berpikir disiplin. Artinya, berpikir keilmuan membutuhkan sikap bathin yang
kuat (komitmen diri) dalam mengawal pengembangan pemikiran sampai pada
pembuktian-pembuktian kebenaran pemikiran keilmuan, tanpa berdusta,
memanipulasi, atau menyimpang dari prinsip-prinsip kebenaran pemikiran
keilmuan demi kepentingan yang tidak tertanggung jawab. Berpikir disiplin
menunjukkan pula sikap ketaatan dan kesetiaan pada garis atau ciri
pemikiran yang ditekuni sampai membuahkan hasilnya sebagai ilmu,
meskipun hal itu bertentangan dengan kebiasaan diri atau lingkungan utuk
menunjukkan kebenaran-kebenaran baru yang perlu dipedomani dalam
membedah misteri kehidupan yang dihadapi.

c. c. Berpikir metodis. Artinya, setiap pemikiran keilmuan mesti diproses dan


dihasilkan dengan cara-cara kerja yang tertanggung jawab, baik dari sisi rasio
maupun teknis analisis, pengujian, dan pembuktiannya. Dengannya, dapat
menjadi acuan bagi public dalam rangka pengujian dan pengembangan ilmu
tersebut.

d. d. Berpikir yang terarah pada pengetahuan. Artinya, berpikir keilmuan harus


dirahkan sedemikiran rupa untuk menghasilkan sistem pemikiran yang
tersusun secara sistematis dan menjadi kerangka – kerangka pemikiran dasar
bagi sebuah bangunan keilmuan.

Berpikir keilmuan, secara filosofis, karenanya, hendak mengatasi kekeliruan dan


kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap kekuatan
fantasi dan omong kosong.
3. Kelebihan dan kekurangan pemikiran keilmuan.
Ilmu dan anak kandungnya yang disebut spesialisasi, mesti dilihat dalam kelebihan
dan kekurangan manusia, sehingga ilmu dan spesialisasi tersebut tidak seolah-olah
didewa-dewakan (tanpa cacat), juga sebaliknya tidak diabaikan dengan berbagai
alasan yang keliru. Kepicikan semacam itu, merupakan cermin keterbatasan
memahami hakikat kedalaman, keluasan, dan jangkauan (keterbatasan) pemikiran
itu sendiri. Filsafat hendak menunjukkan bahwa mereka yang ingin mendapatkan
kepuasan dari berpikir, harus menganggap berpikir sebagai sebuah nilai (value) dan
petualangan yang mengasikkan, bukan sebagai suatu beban atau kuk yang
memperbudak diri dan kemanusiaan itu sendiri.
Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kekuatan fisik manusia boleh lemah dan
hancur tetapi pikiran manusia tetap hidup dan menang karena pikiran, pada dirinya,
memiliki nilai-nilai keluhuran. Daya pemikiran manusia akan menemukan jalan keluar
dari kekacauan, kejahatan, dan perbudakan penderitaan. Selalu ada saja para
pemikir dan peneliti yang mengembangkan warisan pemikiran sebelumnya atau
berusaha menemukan pemikiran-pemikiran baru yang lebih memadai baginya.
Seorang filsuf, Gilbert Highet mengatakan: “Perjalanan pikiran manusia yang penting
inilah, telah membawa manusia keluar dari kebiadaban ke arah peradaban dan
kebijkasanaan, dan akan lebih lanjut membawa kita ke sana”.
Artinya, kelebihan pemikiran keilmuan adalah membantu manusia untuk menyingkap
berbagai misteri kehidupan secara luas dan mendalam. Pemikiran keilmuan sekaligus
membantu manusia untuk menangani dan menyiasati aneka realitas yang
mendeterminasi kehidupannya, sehingga menjadi realitas yang menunjang
kemanusiaannya, dalam sebuah tugas peradaban. Pemikiran keilmuan membantu
menyingkap keluhuran manusia dalam menemukan jalan keluar dari berbagai
lingkaran kejagatan kebodohan dan kemiskinan.
Meskipun demikian, orang pun harus kritis dalam membangun pemikiran keilmuan,
segingga tidak mendewa-dewakan pemikiran dan lupa bahwa ilmu adalah buatan
manusia, bukan ciptaan malaekat. Ilmu, sebagai buatan manusui, tidak dapat
menyelesaikan segala hal karema tidak semua masalah kehidupan dapat dipecahkan
dengan ilmu. Ilmu mengandung pengandaian-pengandaian yang juga terbatas, baik
dari sisi jangkauan pemikiran ilmuwan maupun dari sisi keterbatasan metodenya
atau kelengkapan keilmuannya.
E. Sumber:
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 tunjukan dalam skema proses berpikir dalam kerangka keilmu.
 bedakan proses berpikir keilmuan dengan berpikir yang non keilmuan dalam
bentuk skema;

 jelaskan beberapa ciri pemikiran keilmuan;

 jelaskan kelebihan dan kekurangan berpikir keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:39


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-3
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-3
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. SUB POKOK BAHASAN: MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: PERGURUAN TINGGI SEBAGAI TEMPAT
PESEMAIAN CALON PEMIKIR DAN ILMUAN
C. Standar Kompetensi : Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku
pemikir dan ilmuwan professional
D. Kompetensi Dasar :
 menjelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
 menunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi
sebagai ilmuwan;

 menjelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;

 menunjukkan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan


logika keilmuan.

1. Hakikat dan Fungsi Perguruan Tinggi.


Perguruan tinggi adalah tempat pesemaian bibit-bibit pemikir, intelektual, dan
profesional dengan berbagai macam jenis dan arus pemikiran keilmuan yang terus
berubah dan berkembang. Fungsi utama Perguruan Tinggi adalah membentuk
kompetensi para mahasiswa sebagai calon pemikir, ilmuwan, dan profesional yang
mampu menampilkan pemikirannya secara akademis (filosofis–logis). Mahasiswa,
dengan sarana berpikir filosofis-logis, akan dibimbing agar mampu menggarap dan
mengembangkan alam pemikirannya sedemikian rupa, sesuai bidang akademisnya,
menjadi pengetahuan, dan melalui pengetahuan akan terbentuk ilmu–ilmu, yang
kemudian akan terus berkembang. Pikiran-pikiran keilmuan yang dikembangkan di
perguruan tinggi itulah yang kemudian menghasilkan pikiran-pikiran teknologi yang
akan melahirkan teknologi sebagai sebuah kekuatan yang menentukan dalam
kehidupan manusia modern. Pikiran-pikiran teknologis itu kemudian berkembang
menjadi pikiran-pikiran industrial yang mampu manciptakan berbagai pemikiran
sistemik (input, out put, dan out come) yang sinergis dalam membangun sebuah
kehidupan masyarakat modern itu sendiri. Akhirnya, pikiran itu sendirilah yang telah
mendorong lahirnya berbagai pemikiran kritis dalam rangka tugas menyiasati, baik
ilmu pengetahuan, teknologi, dan industri yang cendrung mengorbankan manuisia
dan kemanusiaan itu sendiri.
Berpikir secara filosofis-logis, artinya, berpikir secara kritis, rasional, obyektif, dan
normatif karena harus menaati prinsip-prinsip berpikir yang sehat dan lurus, bukan
berdasarkan kemauan atau dorongan emosi belakah. Studi Filsafat ilmu, dalam
sebuah kedudukan kurikuler di Perguruan Tinggi, bermaksud mengorientasikan
sebuah pola pemikiran yang bersifat kritis, radikal, sistimatis, logis, holistik,
komprehensif-integratif, dan eksistensialistik. Ciri berpikir tersebut merupakan
fondasi filosofis yang kokoh dalam menyanggah serta memekarkan setiap setiap
arus pemikiran yang menjadi lahan pengembangan diri para intelektual muda. Hal
mana, begitu penting dan strategis bagi para mahasiswa dalam membangun
kompetensi dirinya selaku pemikir, ilmuwan, calon profesional yang mampu
memahami dan mengerjakan pikirannya secara tepat, sehat, dan benar dalam
bidang keilmuan yang ditekuninya.
Prinsipnya, perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswa untuk dapat
membangun pikiran-pikiran keilmuannya secara filosofis untuk makin menemukan
eksistensi “ilmuan pemikir”, bukan sekedar ilmuan “foto kopi”.

Gambar No 3. Diskursus keilmuan di


Perguruan Tinggi.
Gambar ini menunjukkan sebuah realitas
dunia kemahasiswaan di Perguruan Tinggi di
mana mahasiswa dibimbing untuk
melakukan komunikas keilmuan, baik secara
internal keilmuan maupun lintas keilmuan.
Mereka dibimbing untuk melakukan
eksplorasi pemikiran, menggagasnya, dan
mengkomunikasikan atau mendebatkan
pikiran-pikirannya secara terbuka. Mereka
belajar untuk saling mengkritik dan saling
mempertajam ide-ide dengan berbagai
ruang pemaknaan. Mereka secara bebas dan terbuka melakukan transaksi dan
negosiasi pemikiran untuk memecahkan topik pembelajaran atau permasalahan
aktual yang terjadi dalam lingkungan alam maupun dalam lingkungan sosialnya.
Melalui itu, mereka mampu menyuguhkan kebenaran-kebenaran serta validitas dan
keabsahan pemikiran yang diterima secara luas dan berlaku universal. Pendeknya,
tidak ada sebuah kejeniusan pemikiran keilmuan apa pun yang bersifat ilmu atau
keilmiahan tanpa sebuah norma pembimbingan maupun pertanggungjawaban
filosofis-logis yang memadai.
Pengalaman menunjukkan bahwa masih ada mahasiswa dan out put perguruan
tinggi yang belum dapat mengerjakan pikirannya secara tepat dan benar, karena
belum terlatih secara matang dalam membangun dan menguji pikiran-pikirannya
secara kritis, terbuka, dan terstruktur. Mereka, karenanya, cenderung menghafal,
memfotokopi, dan mengikuti secara buta berbagai warisan pemikiran serta berbagai
rumusan formal dari norma apa pun tanpa sebuah pertimbangan kritis. Bahkan,
banyak yang hanya mengikuti kuliah Filsafat ilmu secara formalistik untuk mengejar
target pencapaian sistem kredit semester (SKS) yang harus ditempuh, tanpa
berusaha membangun sebuah kompetensi pemikiran yang memadai dengan
melakukan transfer of knowledge secara efektif dan sistimatis.
2. Tujuan Filsafat Ilmu di Perguruan Tinggi.
Studi filsafat ilmu di Perguruan tinggi bertujuan agar mahasiswa dibimbing untuk
memahami, betapa luas dan dalamnya hakikat serta tanggungjawab pikiran dan
pengetahuan manusia. Perguruan tinggi, secara filosofis, berfungsi dalam rangka
pencerdasan budi atau intelektual dan budaya masyarakat. Perguruan tinggi, karena
itu, berusaha menumbuhkan kesadaran dalam diri mahasiswa dan masyarakat
bahwa pikiran, pengetahuan, dan ilmu adalah salah satu fenomena eksistensi
manusia yang tidak dapat dipisahkan dari nilai dan panggilan tugas kemanusiaan
yang diembannya.
Bagi Filsafat ilmu, nilai dan panggilan tugas kemanusiaan telah begitu lekat
(inheren), baik di dalam pikiran atau pengetahuan, termasuk dalamnya, bidang ilmu
dan teknologi sedang yang ditekuni oleh para mahasiswa sesuai bidang minat dan
profesinya di perguruan tinggi. Usaha tersebut, bertumpuh pada manusia sebagai
subyek, sehingga mampu mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan
menyumbang bagi kepenuhan diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai
alam yang mendeterminasi dirinya.
Mengingat mata kuliah Filsafat ilmu ini disajikan pada semester – semester awal
maka diharapkan, baik secara substantif maupun metodis, perkuliahan dimaksud
dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan berpikir yang baik
bagi mahasiswa untuk sejak dini dapat terlatih membangun pendekatan filosofis-
logis itu di dalam membangun kompetensi keilmuannya. Sasarannya pada upaya
memperkenalkan prinsip-prinsip dasar studi filsafat yang membimbing mahasiswa
untuk membongkar dan menggali berbagai realitas kekayaan tentang dunia
kemanusiaannya yang penuh daya misteri, serta membentuk dasar-dasar
pemahaman filosofis yang berhubungan teknik atau seni dalam membangun atau
mengerjakan pikiran dalam membangun tugas keilmuan.
Tegasnya, filsafat ilmu hendak menunjukkan bahwa filsafat adalah ilmu berpikir atau
seni mengolah pikir untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan karya budaya
yang berguna. Melalui itu, mahasiswa dibimbing untuk memahami bagimana pikiran
sebagai daya intelektual manusia telah menjadi kekuatan peradaban dan budaya
yang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan besar dalam hidup dan
menjadikannya sebagai master budaya.
Melalui studi Filsafat ilmu, mahasiswa dibimbing untuk membangun kemampuan
filosofisnya dalam mengolah pikir guna mengkritisi berbagai pemikiran keilmuan
yang digeluti serta makin terbimbing untuk menghasilkan karya-karya keilmuan dan
karya budaya yang berguna, sesuai bidang keahliannya. Inti pembangunan ilmu
bettumpuh pada tiga dimensi keilmuan, yaitu:
pertama; dimensi kritis, dengan tujuan untuk membangun otonomi diri serta
kemampuan nalar dalam menilai dan mempertanyakan berbagai kemungkinan
(klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan, ideologis, yuridis, maupun religius)
dalam rangka pengembangan dan penegasan eksistensi (pilihan hidup);
kedua; dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu
melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan
penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual;
ketiga; dimensi kontemplatif untuk menajamkan kepekaan, mampu mengenal
kekuatan dan kelemahan, serta menasihati dan membimbing diri (menangani diri)
sehingga memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang kokoh
sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat (daerah) yang
beradab dan bermartabat.
3. Pikiran membangun kekuatan logika dalam keilmuan.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebetulnya, masing-masing ilmu memiliki
“logika”-nya sendiri, dan itulah yang disebut prinsip dasar dan metode berpikirnya.
Metode itu ditemukan dan dikembangkan bersama dengan mengadakan refleksi atas
obyeknya untuk mencapai pemikiran-pemikiran baru yang lebih jelas. Bahwa,
lajunya perkembangan pikiran atau ilmu dan pengetahuan manusia dewasa ini,
terutama yang berhubungan dengan informasi ilmiah, telah begitu maju pesat.
Kegandrungan yang begitu luas–mendalam terhadap ilmu telah membawa berbagai
macam perubahan tata nilai dalam kehidupan manusia.
Meskipun demikian, kegandrungan terhadap ilmu telah membawa pula berbagai
konsekuensi logisnya yang semulanya, tidak dapat dipikirkan atau dibayangkan oleh
ilmu itu sendiri, dimana kejahatan pun makin diilmukan dengan logika-logika
keilmuan yang bersifat irasional. Pengilmiahan atau “pengilmuan kejahatan”
dimaksud untuk mendapatkan justifikasi logis, yang hampir tak terbantahkan secara
keilmuan, atas berbagai kecenderungan bias (penjahat berdasi) yang makin
mendeterminasi alam pemikiran dan kehidupan secara luas.
“Pengilmuan kejahatan” dibangun dengan logika-logikanya yang di-”rasionalisasi”-
kan” sedemikian rupa (bukan berdasarkan kebenaran rasional tetapi pembenaran
secara irasional) untuk menjadi alat pembohongan atau alat merekayasa kepalsuan
dan kebohongan menjadi kebenaran dan kesalehan untuk mencapai tingkat
keabsahan, baik pada tataran formal (misalnya, pada lembaga-lembaga yang
berkompeten baik secara politis maupun yuridis), maupun secara sosial dalam
kehidupan aktual masyarakat. Bahkan, para ”tukang” maupun “majikan” logika-
logika irasional dimaksud, seakan, telah mampu memutarbalikkan kejahatan menjadi
kesalehan dalam sebuah kekuasaan yang irasional (The Logic of Power).
Kini The Logic of Power, telah berkembang luas, dalam kehidupan masyarakat aktual
kita. Bahkan, ia seakan, telah menjadi semacam kekuatan intelektual baru (the new
intelectual forces) sehingga mampu meyakinkan pikiran dan pandangan banyak
umat manusia dengan berbagai implikasi yang sungguh memprihatinkan dan
mencemaskan. Hukum dasar logika irasional dimaksud adalah melakukan affirmasi
atau pembenaran-pembenaran logis atas nafsu kekuasaan dan kejahatan manusia,
dengan cara menegasi atau menyingkirkan prinsip-prinsip kebenaran logis (The
Power of Logic) dalam usaha membangun dan mempertahankan kebenaran-
kebenaran logis atas dasar pemikiran yang sehat dan rasional. Ciri utama The Logic
of Power adalah logika penindasan, pembodohan, dan penguasaan, bukan logika
pembebasan dan pendewasaan hidup. Manusia, akhirnya, makin terbelenggu
menjadi “tidak akil balik” (tidak matang atau dewasa) di dalam banyak “sangkar
emas” yang dibuatnya sendiri. The Logic of Power, karenanya, harus makin diatasi
dengan The Power of Logic untuk memulihkan alam pemikiran dan pengetahuan
manusia, serta menunjukkan adanya harapan-harapan baru dalam membangun
alam pemikiran dan keilmuan sebagai kekuatan peradaban yang khas manusiawi.
Perkembangan kesadaran itulah yang makin menantang orang, terutama para
ilmuawan untuk selalu melakukan percermatan ulang serta pengkajian-pengkajian
kritis, dan analisis sedalam-dalamnya atas berbagai pemikiran keilmuan serta
berusaha mengembangkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih brilian dengan
norma berpikir yang benar.
Posisi mahasiswa sebagai kaum pemikir, karenanya, menjadi sangat relevan dalam
membangun dan memperluas arus kesadaran dimaksud. Melalui itu, berbagai
kekeliruan, konflik, dan kesesatan hidup akibat derasnya The Logic of Power dalam
masyarakat, makin teratasi dengan sebuah kekuatan pencerahan baru.
E. Sumber:
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. 2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan kedudukan dan fungsi Perguruan Tinggi;
 Tunjukkan beberapa contoh aktivitas mahasiswa di perguruan tinggi sebagai
ilmuwan;

 jelaskan kedudukan dan fungsi filsafat ilmu di perguruan tinggi;

 berikan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika
keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:40


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-4
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-4
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
POKOK BAHASAN : HAKIKAT FILSAFAT DALAM PENGEMBANGAN ILMU
SUB POKOK BAHASAN : Memahami Hakikat Filsafat dalam Tugas
keilmuan.
Standar Kompetensi :
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung,
melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Kompetensi Dasar :
Setelah mempelahari topik ini, Anda diharapkan dapat:
 menjelaskan arti filsafat secara filosofis;
 membedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti filsafat;
 menunjukkan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf
tentang arti filsafat;

 menyimpulkan makna perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat dalam


tugas keilmuan;

I. Memahami Arti filsafat Secara Filosofis


Inti filsafat adalah berpikir, dan berpikir adalah sebuah tindakan manusia yang
bersifat eksistensial, utuh dan menyejarah. Meskipun demikian, usaha mendekati arti
filsafat secara filsafati (filosofis), bukan sekedar mengandaikan sebuah pengertian
yang langsung dan lurus. Sekurang-kurangnya, terdapat sebuah peta pemahaman
yang luas dan berliku-liku di dalam upaya memahami arti filsafat itu sendiri secara
filosofis.
Filsuf rasionalis akan mendekati arti filsafat itu dari sudut rasio. Menurut mereka,
filsafat adalah sebuah proses berpikir rasional, baik dalam rangka mengembangkan
pemikiran-pemikiran yang bersifat spekulatif (teoretis) maupun praktis teknologis
(praktis). Filsuf spekulatif, di sisi lain, memandang filsafat sebagai upaya spekulatif
untuk menyajikan suatu pandangan sistematis dan lengkap tentang seluruh realitas.
Filsuf naturalis, di sisi lain, akan meletakkan sudut pandang filosofisnya pada alam
untuk menjelaskan fenomena-fenomena (gejala) dan fakta alam (cosmos) dari aspek
keberadaan (eksistensi) fenomena tersebut. Filsuf bahasa akan menjelaskan arti
filsafat dari sisi analisis kebahasaan untuk mencapai kejelasan makna kata dan
konsep-konsepnya. Para mistikus dan Futurolog (peramal) akan menunjuk pada arti
filsafat sebagai kemampuan membaca logika alam atau tanda-tanda untuk
menentukan atau meramalkan arah kecenderungan hari esok. Filsuf kritis akan
memandang filsafat sebagai sebuah penyelidikan kritis atas realitas atau
pengandaian-pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh
berbagai bidang pengetahuan. Filsuf idealis, sebaliknya, akan mengartikan filsafat
sebagai hal yang ideal yang terlepas dari yang real (nyata).
Demikianlah, dalam sepanjang sejarah peradaban manusia dan perkembangan
filsafat sepanjang zaman, telah bermunculan beraneka definisi mengenai filsafat.
Jelasnya, bila kita hendak memperlajari filsafat, ada dua hal yang patut
diperhatikan; pertama, filsafat sebagai metode, dan kedua, filsafat sebagai suatu
pandangan.
Penganut paham pertama, hanya membatasi arti filsafat sebagai kemampuan untuk
memperoleh pengertian tentang pengalaman hidup yang diletakkan pada
kemampuan teknis-aplikatif untuk mewujudkan pengetahuan tersebut dalam praktik
kehidupan yang nyata. Kecenderungan tersebut telah menimbulkan kesulitan yang
telah menjerumuskan filsuf dalam kedudukan sebagai “orang pintar” yang hanya
dihubungkan dengan “orang trampil” dalam menjalankan hidup secara praktis-
temporer. Paham seperti ini muncul kuat di lingkungan para Sofis (para relativis
klasik/kuno) yang minatnya hanya diarakhan kepada penyelesaian masalah-masalah
sesaat (insidental). Para Sofis tidak akan mempedulikan apakah kepintaran atau
pengetahuannya itu bertahan dalam diskusi-diskusi kritis yang mendalam atau
bertahan dalam ujian dan zaman yang terus berkembang dengan kategorti-kategori
kebenaran serta kepastian yang luas dan utuh. Mereka hanya berpuas diri dengan
cara membangun perbedaan ide untuk mencapai kepentingan atau kenikmatan
sesaat. Sikap para Sofis itulah yang diserang oleh Socrates dengan memasukkan
dimensi kritik moral di dalam manunjukkan arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Kenyataan itu pula yang kemudian diserang lagi oleh Plato (mantan siswa Socrates)
di dalam dialog-dialognya.
Penganut paham kedua, sebaliknya menunjuk bahwa filsafat itu sendiri merupajan
sebuah pandangan yang luas tentang kehidupan yang sifatnya total dan menyeluruh
tentang kehidupan. Filsafat menunjuk, buka sekedar pada sebuah kebijaksanan
teknis operaif, tetapi kebijaksanaan atau kearifan sebagai upaya penjelajahan yang
luas mendalam, dalam rangka menggumuli segala realitas serta menyingkap
berbagai daya misteri. Bagi mereka, filsafat bukan sekedar sebuah pikiran sebatas
ide, tetapi upaya manusia dengan rasio untuk memahami, menyelami, mendalami,
menerangi, dan menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, sejauh dijangkau oleh
pikiran manusia.
II. Pandangan Para Filsuf Tentang Arti dan Hakikat Filsafat
Menurut tradisi Yunani kuno, istilah Philosophia digunakan pertama kali oleh
Pythagoras. Ketika dijaukan pertanyaan apakah ia seorang yang bijaksana, dengan
rendah hati Pythagoras menjawab bahwa ia hanyalah philosopher, yakni orang yang
mencintai pengetahuan, akan tetapi kebenaran kisah itu sangat di ragukan karena
pribadi maupun kegiatan Phytagoras telah bercampur dengan berbagai legenda.
Lepas dari semuanya, Phytagoras mengemukakan bahwa manusia dapat dibagi ke
dalam tiga tipe, yaitu; pertama, mereka yang mencintai kesenangan, kedua; mereka
yang mencintai kegiatan, dan ketiga; mereka yang mencintai kebijaksanaan.
Sejak masa Scrotes dan Plato, istilah phylosophia sudah cukup populer dalam
pengertian lain. Ketika itu, Socrates lebih mengartikan filsafat sebagai konstruksi
(bangunan) moral dalam hubungan dengan kebenaran dan kepastian hidup. Plato,
di sisi lain, mengartikan filsafat sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang
penting atau yang berarti bagi hidup, dan mengarahkannya untuk mencapai ide-ide
abadi. Aristoteles, bahkan menunjukkan kedudukan arti filsafat secara lebih
mendasar. Ia, seterusnya berusaha membangun arti filsafat itu sendiri pada konteks
kebenaran-kebenaran sosial yang berhubungan dengan pertautan antara
pengetahuan dan kehidupan nyata. Ada pula pihak lain yang beranggapan bahwa
filsafat adalah cara atau seni berfikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori
yang tidak memiliki kegunaan praktis. Justru itu, mungkin adalah baik bila, sebelum
kita menarik kesimpulan tentang arti filsafat, sebaiknya kita melihat sekilas pendapat
beberapa filsuf terkemuka mengenai pengertian filsafat.
1. Plato : Plato adalah filsuf pertama yang memiliki sebuah pandangan teoretis
yang lebih luas dan lengkap tentang filsafat. Plato memiliki berbagai gagasan
tentang filsafat. Plato antara lain, mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Filsafat,
karena itu, berusaha menemukan kenyataan-kenyataan atau kebenaran-
kebenaran asli, murni, dan mutlak. Plato, mengatakan juga bahwa filsafat
adalah penyelidikan tetang sebab dan azas yang paling akhir dari segala
sesuatu yang ada. Ia menjelaskan bahwa filsafat atau kebijaksanaan sejati
adalah pengetahuan mengenai “hakikat” (arrete) dari sesuatu yang diperoleh
melalui kontemplasi, bukan melalui aksi. Akibatnya, kaum Platonian (pengikut
fanatik Plato) telah menyamakan filsafat sebagai pengetahuan tentang
“pengertian” saja. Praktisnya, urusan filsafat di sini hanya usaha mencari
kebenaran hakiki, tanpa usaha mempraktikkan kebenaran tersebut dalam
kehidupan nyata.

Plato adalah filsuf pertama yang mulai menggunakan pendekatan rasionalistik


di dalam mengemukakan gagasan-gagasannya tentang filsafat. Baginya,
hakikat filsafat itu, bukan terletak pada kenyataan atau penampakan lahirian
yang terbatas, tetapi pada keluhuruan ide yang bersifat mendasar dan
absolut. Kejelasan filsafat adalah pada rasio, karena rasio lah yang mampu
menunjukkan letak kejelasan dan ketepatan suatu pemikiran, bukan pada
dorongan-dorongan sensasi bendawi atau inderawi.

“Rasionalisme” Plato, akhirnya, berkembang menjadi “Idealisme”, yaitu,


pengabstraksian konsep pada tataran ide. Baginya, kebenaran filosofis bukan
pada penampakan-penampakan tetapi pada idenya yang lengkap.

Menurut Plato, ada beberapa hal yang merupakan sifat kebijaksanaan


filosofis, yaitu:

2. pertama; kebijaksaanan atau pengetahuan filosofis harus tahan menghadapi


ujian kritis. Konsekueninya, semua jenis pengetahuan atau kebijaksanaan
yang belum diuji sampai dasarnya, harus ditolak alias “omong kosong” ,
palsu, dan “asal bunyi” (asbun).

3. kedua; motode yang digunakan adalah dialektik, di mana filsafat berkembang


dengan pendapat atau pengendaian-pengandaian yang diuji secara kritis,
diragukan sampai pada kesimpulan atau pemikiran yang tidak dapat
diragukan atau disangsikan lagi. Pendeknya, bagi filsafat, tidak ada sesuatu
pun yang diandaikan tanpa pertanggungjawaban akal.

4. ketiga; filsafat harus menerobos masuk sampai kepada “kenyataan sejati”,


yaitu kenyataan essensi atau hakikat ideal dari realitas. Kenyataan sejati
adalah kodrat terdalam dari realitas, yaitu ide di balik relitas (bukan sekedar
realitas yang tampak). Aspek yang tampak itu akan bergonta-ganti dan hilang
(sifat sementar), sedangkan ide itu selalu bersifat tetap (abadi). Melalui
sistem ide, filsafat akan tetap hidup (aktif) yang berusaha menggugat dan
mempertanyakan secara radikal sampai mencapai kenyataan, sebab, atau
prinsip-prinsip tertinggi dan universal dari kenyataan.

Plato, dalam hal ini, berada pada posisi selaku idealis-universal. “Idealisme” Plato,
akhirnya terjebak sendiri di dalam sikapnya yang ambivalen. Alasannya, di satu sisi
ia mengatakan ada kebenaran melalui dialog kritik, tetapi di sisi lain ia mengatakan
bahwa hal ini ada di luar pengetahuan, sehingga ia jatuh dalam intuisi lansung.
2. Aristoteles. Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama
(causa prima) dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada” ( being asteing ) atau
peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah filsuf besar
yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar.
Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika.
Ia merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:

 pertama; hakikat filsafat berhubungan langsung dengan ada sebagai


“pengada” atau “ada” sebagai sebab dan prinsip pertama dari kenyataan
tertinggi. Aristoteles, dalam hal ini, berada pada posisi selaku seorang realis,
atau penganut aliran realisme (kenyataan).

 kedua; filsafat harus berurusan dengan upaya membangun (aksi) hidup


kekinian, bukan sekedar berenung atau berkontemplasi.

 ketiga; filsafat harus mendorong pada aksi-praksis, bukan sekedar penalaran


spekulatif, tetapi harus mendorong pada pengalaman dan pengamalan.

3. Rene Descartes : Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang memelopori


lahirnya sejarah filsafat modern dengan mengembangkan aliran filsafat
”Rasionalisme”. Descartes, dengan “Rasionalisme”-nya, hendak menegaskan
sebuah pendirian filosofis bahwa inti dari filsafat itu adalah rasio itu sendiri.
Rasio atau pikiran, bagi Descartes, merupakan dasar bagi segala klaim
(tuntutan) kebenaran, kesahihan (keabsahan), ketepatan (validitas), dan
obyektifitas filsafat itu sendiri. Konsekuensinya, segala klaim filosofis yang
berada di luar tatanan rasio, harus disangkal kebenarannya dan patut ditolak
keberadaannya sebagai kepalsuan, sesat pikir, kebohongan, dan perasaan
subyektif yang menyesatkan.

Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam
bahasa Latin “ cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut
menunjukkan sebuah klaim keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya
subyek pengada yang meng-ada-kan manusia. Descartes mengajarkan bahwa
filsafat selalu berhubungan dengan kategori-kategori pemikiran rasional dalam
menuntun manusia untuk menentukan dan memperjuangkan kebenaran-kebenaran
yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct) di dalam hidupnya. Melalu
ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia akan dituntun keluar dari
godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau dorongan perasaan yang
membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam mengambil keputusan
intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada logika-logika rasional,
bukan pada etika atau perasaan semata. “Rasionalisme” Rene Descartes, meskipun
sangat membantu dalam meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang universal,
misalnya di dalam hukum dan sebuah proses yuridis, namun dengan demikian, telah
mencabut hakikat hukum itu sendiri dari intinya, yaitu manusia dan kemanusiaan itu
sendiri. Logika hukum pun, akhirnya, mengabdi pada logika-logika tautologis
(kebahasaan) semata, bukan pada etika dan moralitas kemanusiaan itu sendiri (bd.
aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan
berfikir manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan
merupakan buah pikir yang dihasilkan filsafat dari usah mencari hubungan antara
pengetahuan dan impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang tersirat). Filsafat
berusaha merangkum dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik
dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha
menemukan pikiran (tesis), kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi
juga sampai kepada bagaimana merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang
sejalan maupun yang bertabrakan untuk menyiasati pokok yang ditelaahanya.
III. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti
Filsafat
Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau
cita rasa kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar
pertanggunjawaban pikiran tentang realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas
(penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan, norma adat, tradisi, ideologi, ajaran)
atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara luas (ekstensif), utuh (eksistensial),
mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat itulah yang mampu
membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang kuat
mendasar tentang realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran,
obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya pun akan mampu bertahan dalam
menghadapi ujian kritis tanntangan zaman. Para filsuf, berusaha mencari dan
mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong tugas-tugas kemanusiaan
bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam upaya
membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat
perbedaan pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu
sendiri. Kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang
menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut pandang dan perbedaan minat
akademis.
Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view). Maksudnya, setiap filsuf, pada
dirinya memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda (yang merupakan
spesifikasi dirinya) di dalam memahami sebuah realitas, teristimewa di dalam
memahami filsafat itu sendiri. Plato, sebagai pencetak aliran pemikiran “Idealisme”,
telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan) sebagai basis pemikiran filsafatnya
dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan, validitas, dan obyektifitas
filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan
kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari
sistim ide atau gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada
aspek penampakan atau kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide
itulah yang menjamin adanya kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan
sebuah kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah dalam dunia ide muda
diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang bersifat
luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah menjadikan
rasio sebagai sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam membangun
klaim-klaim kebenaran filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu
menjamin terwujudnya klaim-klaim kebenaran filosofis, lepas dari selera atau
kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut pandang rasio akan mampu
memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena rasio selalu
bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf
Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada
hal-hal yang nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung,
bukan ide-ide yang abstrak. Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran
pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan meletakkan pandangan filosofisnya pada
kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari segala sesuatu.
Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang
benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya
Marksisme Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi
(kenyataan fisik) sebagai jaminan kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan.
Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi dasar pembuktikan bahwa hal itu
benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui atau diyakini, selain itu tidak.
Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan sebaginya, akan meletakkan
sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris) sebagai basis
pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya
dengan sudut pendekatannya yang khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula
perbedan minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan
caranya yang berbeda. Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada
ilmu –ilmu ekonomi akan mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi.
Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan sebagai upaya untuk memperluas dan
mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi, dan keuntungan).
Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu-ilmu
fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional)
untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebab-
akibat. Filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan
mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk
menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural dalam penghadapanNya dengan
manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama akan dijumpai pula
dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan
ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat,
dengan klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik,
dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya, muncul berbagai macam ilmu yang
berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, dan validitas, atau
kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis.
Alasannya, para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun
minat akademisnya yang berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan
tersebut, kemudian makin menambah kecemasan para filsuf untuk berusaha
mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat mendekati pengertian
filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani kuno, akhirnya
menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis,
tetapi secara etimologis. Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani
Philosophia. Akar katanya; Philos atau philia = cinta, persahabatan atau tertarik
pada, dan Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara
harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno,
kata filsafat dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun
demikian, cakupan pengertian sophia ini ternyata begitu luas dan padat. Sophia,
pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan, melainkan meliputi pula prinsip-prinsip
kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan akal
sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu kepandaian
pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau
kearifan saja, tetapi harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat
harus bermain dengan api cinta? Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak
membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis yang sifatnya hakiki dan
mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), nama filsafat itu
sendiri menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki
pengertian yang sifatnya total dan menyeluruh tentang kebijaksanaan atau kearifan
yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu sendiri. Sophia atau kebijaksanaan
(kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan yang bersifat datar
sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan sekedar informasi atau
fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau berakhir pada dirinya. Justru,
Sophia (kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan
dalam menggumuli segala realitas serta menyingkap berbagai daya misteri.
Tujuannya, bukan sekedar untuk menunjukkan sebuah pikiran sebatas ide, tetapi
lebih daripada itu, berusaha memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan
menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi,
dasar, serta tujuan manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri. Begitu
luas Sophia itu, sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia yang biasa.
Manusia, untuk itu, perlu dibimbing oleh “api cinta” (philos atau philia), untuk
mengejar, menjangkau, dan mewujudkan sophia dimaksud. Sophia atau kearifan itu
sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan pikiran atau pengetahuan nya
yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf klasik, membenarkan hal itu dengan
menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra kepenuhan dari kearifan atau
kebijaksaan itu sendiri. Menurutnya, manusia harus selalu merendahkan diri di
hadapan kearifan dan kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan
atau pencinta kebijaksanaan. Manusia bukan pemilik mutlak dan “penguasa
kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau “pencinta kebijkasanaan” itu sendiri.
Manusia adalah pencinta kearifan yang mencarinya dengan api cinta yang terus
membara, bukan berdasarkan kemauan atau keinginan biasa yang bersifat
sementara. Manusia (filsuf) bukanlah philosophos tetapi philosopher, artinya, orang
yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan
atau api cinta yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh
hikmat atau kebijaksanaan dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari
hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika saja. Tugas mencari hikat atau
kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang terus mekar. Filafat
merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang tidak
pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu
berusaha dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus
berguru mencari hikmat dan mengabdi pada sang hikmat. Hal itu dilakukan di dalam
setiap jalan hidupnya dengan segala keterbatasan, keraguannya, kecemasan,
kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya, melalui
proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi
kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam
pengembangan, pikiran, pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya,
mengandung berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran,
pengetahuan, dan ilmu. Orang tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan cudut
pandang maupun minat akademisnya yang berbeda dalam memahami setiap obyek
pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan penting untuk melakukan pendalaman
analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat metodologis maupun alat
analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang sifatnya detail tentang hal
dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan keabsahan pada
dirinya masing-masing, sejauh diterima dan terbukti kebenarannya dalam bidang
keahliannya. Kenyataan tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki
kedudukan yang sama dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum
atau etika, juga hal yang sama dengan ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan
atau teologi. Orang, karena itu harus makin mengembangkan keahlian dalam bidang
keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan analisis, serta
pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak
menutup diri dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang
mutlak satu-satunya. Orang harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap
pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk ide, pengetahuan, atau ilmu agar
dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran, pengetahuan, dan ilmu
secara lebih utuh dan lengkap.
E. Sumber:
Watloly, A., 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, hal 2-23.
-------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan) hal 4-30.
F. Evaluasi:
 jelaskan arti filsafat secara filosofis;
 tunjukkan perbedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti
filsafat;
 berikan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti
filsafat;

 berikan kesimpulan Anda tentang makna perbedaan pemikiran filosofis


tentang arti filsafat dalam tugas keilmuan

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:41


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-5
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-5
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
POKOK BAHASAN : FILSAFAT SEBAGAI “IBU ILMU”
SUB POKOK BAHASAN :
Kedudukan Filsafat dalam Pengembangan Pikiran, Pengetahuan, dan
Ilmu.
Standar Kompetensi :
Mahasiswa memahami hakikat filsafat sebagai ibu yang mengandung,
melahirkan, mengasuh, dan mendewasakan ilmu.
Kompetensi dasar:
Setelah mempelajari Pokok ini, Anda diharapkan dapat:
 menjelaskan arti filasafat sebagai "ibu ilmu”;
 menjelaskan prinsip-prinsip filosofis yang penting dipahami dalam
mengerjakan ilmu;

 menjelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas pemikiran dan


keilmuan;

 menunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan,


ilmu.

I. Filsafat Sebagai “ibu ilmu” (The Mother of Sciences).


Pemunculannya sejak abad ke-5 Sebelum Masehi, filsafat telah menunjukkan
supremasinya dalam pentas pemikiran dan keilmuan dunia sebagai “ibu ilmu” (the
mother of sciences). Sebagai ibu, filsafat telah menunjukkan diri sebagai kekuatan
yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan, melahir dan menyusui bayi ilmu,
dan terus membina perkembangan ilmu menjadi cabang dan ranting-ranting
keilmuan, serta mendewasakan ilmu sebagai ilmu yang otonom dan mandiri.
1. Filsafat sebagai ibu yang mengandung benih-benih pemikiran keilmuan,
mengandaikan bahwa filsafat sebagai ilmu berpikir selalu mengembangkan
gagasan-gagasannya, baik dalam alam kesadaran kritis (rasio) maupun dalam
pengalaman nyata untuk mencermati permasalahan lingkungan, baik yang
menyenangkan maupun yang mencemaskan. Pikiran-pikiran tersebut, tidak
dibiarkan berkelana tanpa arah, tetapi memelihara dan membinanya di dalam
kandungannya menjadi benih-benih pemikiran keilmuan. Filsafat terus
membina benih-benih pemikiran itu menjadi bayi keilmuan yang matang dan
siap diluncurkan (dilahirkan) dalam dunia keilmuan secara nyata.

2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri proses
kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk cabang-cabang
dan ranting keilmuan baru yang bersifat khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak
ingin mati dengan fosil-fosil pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan.
Filsafat berusaha membedah dan melahirkan atau meluncurkannya dalam
kesegaran pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah keilmuan dan
menyumbang bagi tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah
dengan ilmu sebagai hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah
dalam sebuah tanah air manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).

3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi pemikiran
dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan cara
melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang membangun dan
menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau cabang dan
ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan
memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi mendorong
proses pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat
berusaha membangun diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan
membentangkan penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru untuk
diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material (materi
pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara
kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui,
mengasuh, dan mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah
proses komunikasi antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan
keilmuan dapat bertumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga terhindar
dari bahaya sesat pikir, keliru pikir, atau salah pikir.

4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat
atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong
kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran
serata metode-metode yang khas dalam percaturan keilmuan secara global.
Filsafat pula yang terus berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran,
pengetahuan, dan keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk
teknologi, industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun
upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.
Gambar 4. Pohon Ilmu

II. Prinsip-Prinsip Filosofis dalam mengerjakan Ilmu (kegiatan keilmuan).


Jelas bahwa filsafat sebagai “ibu ilmu” atau induk ilmu bermaksud menunjukkan
sebuah hal mendasar dalam mencari pemikiran keilmuan dan mengerjakan ilmu
(keilmuan). Intinya, ilmu, termasuk ilmuwan dan lembaga keilmuan, segala prestasi
kemajuannya harus dilihat dalam kelebihan dan kekuarangan manusia sebagai
Homo Sapiens. Bagi filsafat, manusia itu selalu tahu diketidaktahuan-nya,
Konsekuensinya, semakin banyak yang makin diketahui, baik melalui kegiatan
keilmuan maupun seni budaya, namun, semakin banyak pula misteri ketidaktahuan
yang seakan terus mendangkalkan pengetahuan, kekaguman, dan terus menantang
rasa “ingin tahu” manusia. Bahkan, semakin banyak penemuan dalam rangka
pemecahan masalah-masalah kehidupan, namun makin banyak pula “kecemasan
mekar” yang terus mengerogoti manusia. Dewasa ini, fenomena “ketidaktahuan
filosofis” ini, telah berkembang luas dan makin mengancam eksistensi manusia
secara utuh.
Sesungguhnya, akar semua persoalan di atas, terletak pada kecenderungan
pengembangan pikiran atau pengetahuan yang tidak utuh (tidak akumulatif).
Pemikiran, ilmuwan, dan profesional, telah memisahkan antara kebenaran-
kebenaran logis dari kebenaran-kebenaran etis (nilai) dan moral. Filsuf kritis
menjelaskan bahwa banyak pemikir, dengan dalih sebagai “majikan kebenaran”,
berusaha membangun berbagai bentuk “sesat pikir” untuk menciptakan
kebingungan, pembodohan, kebodohan atau ketidaktahuan, serta melalukan
berbagai kepalsuan, kebohongan, pembusukan kebenaran, dan penghancuran
peradaban manusia.
Socrates, bapak filsuf itu, mengatakan di dalam sebuah nasihatnya bahwa; Kenali
lah dirimu sendiri (Gnoti Seauton). Menurut Socrates, hanya manusia yang
mengenal dirinya sendirilah yang kuat dan berguna, karena mereka akan mengenal
kekuatan dan kelemahannya sendiri, dan tidak akan membiarkan diri ditipu atau
dikuasai oleh kejahatan, baik akibat kebodohan atau karena “kepintaran” yang
menyesatkan itu. Socrates, karena itu, menegaskan bahwa: hanya manusia itu
sendiri lah yang tahu bahwa ia tidak tahu. Bagi Socrates, pikiran hendaknya makin
membuat orang untuk mengenal dirinya sendiri sehingga tahu menegur dan
menasihati diri sendiri, bukan sebaliknya membuat orang menjadi lupa diri.
Konsekuensinya, semakin semakin tinggi dan luas pikiran serta pengetahuan
seorang manusia, semakin tinggi pula penguasaan diri dan kesadaran diri “rendah
hati” dalam ketekunan mengemban tugas kemanusiaannya sebagai makluk beradab.
Pikiran harus dikembalikan pada kesegaran eksistensi manusia. Tegasnya, pikiran
atau pengetahuan harus selalu ditempatkan dalam keutuhanya sebagai salah satu
fenomena manusia untuk memanusiakan manusia. Pikiran bukanlah ego mandiri
yang berada pada dirinya sendiri dan melayani kepentingan pikiran itu sendiri.
Pikiran tidak dapat berpikir dari dalam dirinya sendiri, tetapi manusialah yang
berpikir dengan pikirannya itu sendiri dalam keutuhan konteks kemanusiaannya.
Menurut Socrates, manusia, dengan pikiran atau pengetahuannya, seolah
melangkah maju dari upaya menyingkap misteri satu menuju misteri-misteri lain,
yang kian mekar, di dalam hidupnya. Manusia, dengan pikiran atau
pengetahuannya, seola bergerak dari satu ketidaktahuan menuju ketidaktahuan
baru dalam hidupnya. Kenyataan itulah yang membuat ilmu pengetahuan makin
terus berkembang dalam tatanan filosofis, agar mampu memburu dan membunuh
naga-naga ketidaktahuan dan kejahatan baru (kejahatan profesional) yang
bertumbuh berbarengan dengan perkembangan pikiran, pengetahuan, dan keilmuan
manusia.
Gonti Seauton, dalam hal ini, menunjukkan sebuah kepentingan kemanusiaan yang
bersifat fundamental dalam hal memahami dan mengerjakan pikiran, yang
merupakan salah satu ciri keberadaan yang khas manusia itu. Intinya pada analisis
diri dan pemahaman diri untuk mencapai pengetahuan dan tingkah laku yang lebih
baik. Manusia, melalui pengetahuannya itu, memperoleh kekuatan, tanggungjawab,
kesadaran bathin, kematangan pemikiran atau intelektual, dan rasa percaya diri
untuk membangun dirinya sebagai mahkluk beradab yang makin matang (dewasa),
tahu diri, dan berendah hati.
Manusia, di samping membutuhkan kerendahan hati, juga membutuhkan kesabaran,
ketekunan, kesabaran, dan keteguhan bathin untuk menegur dan mendidik diri. Ia
butuh kedisiplinan, tanggung jawab, dan optimisme hidup di dalam mengejar
pengetahuan atau kearifan dimaksud. Filsafat, karena itu, hendak menunjukkan
bahwa manusia bukan hanya bertugas mengisi “ingin tahu”-nya dengan pikiran dan
ketrampilan-ketrampilan teknologis (praktis operasional) yang sempit atau terbatas.
Justru sebaliknya, filsafat ingin melampauinya dan menempatkan perjuangan
manusia yang berpengetahuan itu pada inti pergumulan dan tugas memanusiakan
manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya di dalam keutuhan eksistensinya.
Manusia, secara eksistensial bersifat “multi dimensi”, dan karenanya, pengembangan
pikiran dan pengetahaunnya pun, hendaknya merupakan sebuah tugas eksistensial
yang utuh dalam kepelbagaian dimensinya itu.
Justru itu, kategori kepintaran atau pengetahuan yang dipetaruhkan dalam
perspektif tugas kemanusiaan itu bukan lah sekedar kemampuan rasionalisasi
(rekayasa) untuk mencari “pembenaran-pembenaran” yang bersifat instrumental-
teknomogis semata guna mewujudkan kepentingan-kepentingan yang sempit dan
sesaat. Alasanya, manusia dengan pikiran dan pengetahuannya, membutuhkan
kreatifitas budi dalam menyiasati dinamika kepelbagainanya secara utuh. Baginya,
kepentingan teknis di dalam pengetahuan atau kepintaran manusia itu penting,
misalnya kegiatan-kegiatan rekayasa dan manipulatif (teckno engginering) untuk
membangun kehidupan manusia secara nyata. Meskipun demikian, kepintaran
pengetahuan itu bila hanya diorientasikan untuk sekedar mengejar keuntungan atau
kenikmatan semata maka hal sebaliknya akan menyeret manusia ke dalam
kebodohan dan tindakan-tindakan tak beradab.
Kecenderungan demikian, justru, tidak akan memanusiakan manusia dengan pikiran
atau pengetahuan sehingga manusia akan semakin pintar berbuat baik dan benar,
tetapi sebaliknya, menyeret, membelenggui, dan menindas manusia di dalam arus
kejahatan yang pada dirinya menghancurkan tata nilai, cita rasa kemanusiaan,
maupun citra peradaban itu sendiri. Akibatnya, orang berilmu dan pintar sekalipun
akan menjadi semakin egois, angkuh. Bahkan mungkin, semakin pintar (profesional)
dalam berbuat kejahatan dan merasa serba-bisa di dalam perbudakan hawa nafsu.
Konsekuensinya, meskipun terjadi banyak peningkatan Sumber daya Manusia
(SDM), sebagaimana yang dilakukan di Indonesia, namun, semakin bertumbuh
mekar kejahatan dan semakin tidak teratasi masalah-masalah hidup yang dihadapi,
baik di dalam konteks hidup bernegara maupun bermasyarakat. Semuanya ini
diakibatkan oleh adanya kecenderungan untuk menghilangkan daya kritis dan sifat
kontemplatif dari pikiran atau pengetahuan itu sendiri, yang dianggap menghambat
keinginan atau nafsu-nafsu kemanusiaan yang ingin memperalat pikiran dan
pengetahuan untuk hanya mengejar kenikmatan atau keuntungan sesaat itu sendiri.
Filsafat ingin menunjukkan adanya dimensi kritis untuk semakin terbuka dan
berendah diri dalam menguji serta memurnihkan pikiran atau pengetahuan itu
sendiri dari goan-godaan kejahatan sehingga manusia akan semakin memiliki
ketajaman bathin (berpikir dengan hati) dalam hal mengembangkan pikiran atau
pengetahuannya untuk membentuk diri atau kepribadian secara utuh. Melalui itu,
orang akan terbuka pada teguran nurani, koreksi, kritikan, dan tuntutan-tuntutan
perbaikan sehingga orang mampu membangun ketegori pikiran dan
pengetahuannya di dalam tatanan nilai yang menjadi inti pergumulan kemanusiaan
itu sendiri.
Intinya, filsafat hendak menunjukkan bahwa pikiran atau pengetahuan itu selalu
punya empat dimensi yang salig bertautan, yaitu: pertama, dimensi aktif untuk terus
mengembangkan pengetahuan dan keingintahuan manusia dalam sebuah konstelasi
peradaban yang luas dan luhur guna membangun kehidupan secara nyata; kedua;
dimensi kreatif, dengan tujuan untuk mengolah budi (kecerdasan), mampu
melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan terobosan
penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual; ketiga, dimensi kritis, untuk
membangun kesadaran diri, otonomi diri, serta kemampuan nalar dalam menilai dan
mempertanyakan berbagai kemungkinan (klaim-klaim kebenaran bersifat keilmiahan,
ideologis, yuridis, maupun religius) dalam rangka pengembangan dan penegasan
eksistensi (pilihan hidup); keempat, dimensi kontemplatif untuk mengontrol dan
mengendalikan pikiran atau pengetahuan itu sendiri sehingga tidak terjebak dalam
permainan arus keinginan dan kejahatan.
III. Makna Mempelajari Filsafat
Sesuai pembahasan di atas, disimpulkan bahwa tujuan mempelajari filsafat ilmu
adalah:
1. membuat manusia akan lebih menjadi manusia. Maksudnya, dengan belajar
filsafat maka manusia akan makin setia mendidik dan membangun dirinya
atas dasar kesadaran maupun tanggung jawab kemanusiaannya untuk
menemukan jati dirinya yang khas. Manusia, melalui itu dituntun untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan hidupnya dalam sebuah proses
penemuan yang luas-mendalam, tepat, arif, dan bijaksana. Tugas mengatasi
permasalahan hidup manusia itu adalah utuh, karena mencakup aspek-aspek
jasmani dan rohani. Maksudnya, sifat yang khusus bagi seorang filsuf ialah
bahwa ia sadar akan apa saja yang termasuk dalam kehidupan manusia,
tetapi juga bagaimana mengatasi dunia itu sendiri. Filsuf, dalam hal ini, harus
sanggup melepaskan diri atau menjaukan diri sebentar dari keramaian hidup
serta kepentingan subyektif untuk menjadikan hidupnya sendiri sebagai obyek
penyelidikannya, termasuk kepentingan dan keinginan subyektifnya. Melalui
cara demikian, filsuf mencapai keobyektifan dan kebebasan hati sehingga
dimungkinkan penilaian yang obyektif dan benar tentang manusia dan dunia
dengan segala sifatnya itu. Bagi filsafat, sifat keobyektifan adalah ciri seorang
dewasa yang matang kerohaniannya. Konsekuensinya, seorang filsuf akan
semakin memiliki kebijaksanaan bila ia semakin mempunyai sikap obyektif
terhadap dunia ini.
2. melatih orang untuk memandang dengan luas. Jadi, dengan belajar filsafat
maka orang disembuhkan dari “kecenderungan kepicikan” yaitu dari
“Akuisme” dan “Akusentrisme” yang membelenggu sehingga orang tidak
dapat berpikir sehat luas, dan obyektif. “Akuisme” atau “Akusentrisme”, di
samping merupakan sebuah belenggu, juga merupakan sebuah musuh
peradaban, karena hanya menempatkan manusia sebatas obyek bagi dirinya
sendiri. Filsafat, dalam hal ini, mengajarkan orang, bukan untuk
menghancurkan ke-aku-annya, tetapi menumbuhkan dan
mengembangkannya secara kritis dengan berbagai referensi diri yang lain di
luar dirinya sendiri.

3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki
kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan
menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara
mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian. Orang dibimbing untuk harus
mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus
menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai kematangan
dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat
bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang,
baik dalam buku – buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar,
majalah, pidato, dan sebagainya.

IV. Filsafat dan Ilmu Lain


Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan menjadi lebih jelas bila
dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain. Filsafat, dalam hal ini, lebih
merupakan sebuah pemikiran yang universal, menyeluruh, dan mendasar,
sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang lebih spesifik atau khusus,
karena dibatasi pada obyek dan sudut pandang pemikirannya yang khas. Obyek
penelitian filsafat mencakup segala sesuatu, sejauh bisa dijangkau oleh pikiran
manusia. Filsafat berusaha menyimak dan menyingkap seluruh kenyataan dan
menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Filsafat, karenanya, ingin
mengkritisi dan menembusi berbagai sekat pemikiran ilmu-ilmu lainnya, serta
berusaha mencapai sebab terahkir dan mutlak (absolut) dari segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama adalah kegiatan manusia, dalam hal ini, secara
khusus, kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang merupakan kegiatan
pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia, di dalam kegiatannya
yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi
orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha mendalami, menyingkap, dan
menjelaskan kesadaran eksistensi diri manusia dan sesama yang lain, secara luas
dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang fundamental. Proses penelitian
filsafat itu melai dari bentuk-bentuk pengatahuan biasa yang dimiliki individu dalam
kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa lalu, dan juga hasil penelitian dan
pemikiran ilmu-ilmu lainnya yang bersifat khusus. Jenis-jenis pengatahuan khusus
tersebut, sungguh membantu filsafat, tetapi juga membatu bentuk-bentuk
pengetahuan khusus dan ilmu lain tersebut untuk makin memantapkan dan
menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan karennya, filsafat
lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan “kebijaksanaan ilahi” yang
sempurna dan mutlak abadi. Filsafat, karena itu, berbeda dengan ilmu teologi.
Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam dunia berdasarkan wahyu
adikodrati.
Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio
semata. Alasannya, karena rasio itu sendiri merupakan bagian integral dari keutuhan
eksistensi manusia yang terkait dengan aspek-aspek lainnya dari tatanan eksistensi
manusia itu sendiri yang bersifat “mono pluralis” (satu di dalam banyak dan banyak
di dalam satu). Filsafat tidak hanya berupaya memuaskan pencaharian manusia
akan kebenaran, melainkan ia juga berusaha menerangi dan menuntun arah atau
orientasi kehidupan manusia secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi-
spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh hayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai pemikiran, keyakinan,
egoisme keilmuan, atau pandangan-pandangan kepribadian yang bersifat individual
semata. Justru, filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan berusaha mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula,
berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi.
Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran
ideologis yang serba-sempurna dan serba-oke, yang membelenggui manusia. Justru,
filsafat tetap adalah sebuah program pencerahan dalam rangka otonomi,
emansipasi, dan perkembangan manusia.
Dewasa ini, tanggungjawab filsafat semakin diakui, baik sebagai pangkalan
pengembangan keilmuan maupun sebagai titik pangkal pengintegrasian ilmu-ilmu
dalam sebuah pendekatan yang bersifat multi dan interdisipliner. Melalui itu, ilmu-
ilmu dan spesialisasi tidak tertutup dalam kapsul egoisme keilmuan atau
spesialisasinya masing masing, tetapi terbuka untuk saling menyapa dan
membangun tugas bersama demi manusia dan kemanusiaan yang menjadi sumber
dan norma, serta causa ontologis (penyebab ada) bagi ilmu-ilmu itu sendiri.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan arti filasafat sebagai “ibu ilmu”;
 tunjukkan prinsip-prinsip filosofis yang penting dalam keilmuant;

 jelaskan makna mempelajari filsafat dalam sebuah tugas keilmuan;

 tunjukkan kedudukan filsafat dalam pengembangan pikiran, pengetahuan,


ilmu.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:41

Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-6


FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-6
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENDASARAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: OBYEK dan LANDASAN FILSAFAT BAGI
KEILMUAN
C. Standa Kompetensi :
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas
keilmuan.
D. Kompetensi Dasar :
 menjelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
 menjelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;

 menunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;


 menjelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;

 membedakan kedudukan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam


tugas keilmuan.

I. Obyek Pemikiran filsafat Bagi Keilmuan


Filsafat memiliki dua obyek pemikiran, yaitu obyek materian dan obyek formal.
1. Obyek material, yaitu materi atau bahan yang menjadi obyek penyelidikan
filsafat, maupun bagi segala turunan filsafat itu sendiri, misalnya,
pengetahuan atau ilmu. Jadi, dengan kata sifat “material” tidak dimaksudkan
sebagai bahan-bahan materi bagi sebuah pekerjaan tukang, tetapi “pokok
soal” atau “pangkal pikir” yang merupakan bahan atau obyek pemikiran
filsafat itu sendiri. Materi atau obyek studi filsafat itu meliputi segala sesuatu
realitas (manusia), baik berupa kenyataan fisik (inderawi), benda dan aktifitas
alam, intelektual (intelektif), pengalaman, tradisi, adat, budaya, bahasa,
pikiran, pengetahuan harian, maupun ide, gagasan, atau teori, kegiatan-
kegiatan manusia, norma-norma hidup, hukum, ideologi, politik, sistem
kepercayaan, aspek kejiwaan, baik yang ada maupun yang bisa diadakan oleh
pikiran manusia itu sediri. Tegasnya, obyek atau material yang menjadi bahan
pemikiran filsafat adalah tertuju pada segala hal, sejauh bisa dijangkau oleh
indera maupun pikiran manusia. The Liang Gie (1996: 341), antara lain,
menunjukkan adanya 6 (enam) jenis obyek material, yaitu; ide abstrak,
benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, peristiwa sosial, dan proses tanda.

Filsafat, dalam hal ini, menjadikan manusia sebagai obyek dan fokus pemikirannya
yang memekarkan. Manusia adalah obyek tetapi sekaligus subyek bagi
pemikirannya. Filsafat selalu bertanya dan merenung tentang manusia, apakah
manusia dan bagaimana “ada” maupun “cara beradanya”. Filsafat selalu berusaha
menjelajahi hakikat manusia, asal usulnya, fenomena kesenangan, suka-cita, dan
aneka penderitaannya, serta bagaimana hidup manusia setelah mati.
Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau realitas bendawi yang jelas
pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah masalah, sekurang-kurangnya, bagi
dirinya sendiri. Manusia bukan hanya menemukan dirinya sebagai “apa adanya”.
Justru, setiap saat, manusia menghadapi dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau
persoalan aktual “mengapa”, dan “bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah
dinamika personal dan daya misteri bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya,
adalah dekat tetapi sekaligus jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur
untuk diselami atau didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi
dirinya sebagai sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan
pendekatan fisik material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar
pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan
kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara personal-individual
semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya. Persoalan kemanusiaan
tersebut tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika matematis semata
(misalnya; 1+ 1 = 2), tetapi juga dengan pendekatan logika kebatinan, logika cinta,
kasih sayang, pengorbanan, dan saling pengertian (misalnya; 1+1 = 1).
Pendekatan-pendekatan yang bersifat partikular-primordial tersebut, justru akan
saling menafikkan dan merelatifkan, dan tidak membawa hasil positif apa pun bagi
sebuah tugas kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah sebuah medan atau sebuah
“dunia’ yang luas dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus didekati secara utuh
dan terpadu, bukan secara primordial-partikular.
Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah, bukan sekedar sebagai fakta
atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya maka manusia itu dipaksa untuk
harus dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaannya dimaksud secara arif
dan bijaksana. Caranya, manusia harus dilatih untuk berpikir keras, manusia harus
membangun atau mengembangkan pengetahuannya secara terus menerus, dan
berbudaya. Melalui itu, manusia akan terus belajar memecahkan atau mengatasi
permasalahan-permasalahan kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru
itulah, manusia harus belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi,
antropologi, kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik,
pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan
lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama,
lembaga pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi,
bahasa, komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah
kemanusiaan dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang
dalam filsafat, disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran
filsafat.
Segala hal yang ada dan merupakan obyek material filsafat itu diklasifikasikan atas
dua golongan sebagai berikut:
a. ada yang harus ada, yang disebut ada absolut (mutlak), yaitu Tuhan pencipta
alam semesta. Diketahui bahwa Sang Tuhan itu adalah “Sang ada” yang
harus ada karena Tuhan adalah sesuatu yang tidak diadakan oleh yang lain.
Sang Tuhan adalah “Ada mutlak” (absolut).

b. ada yang tidak harus ada. Ada yang demikian disebut ada yang relatif (nisbi).
Ada ini bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada mutlak (Tuhan
pencipta semesta). Ada yang relatif ini lah yang berhubungan dengan
manusia dengan segala realitasnya sebagaimana ditunjukkan di atas, dan
merupakan bahan atau materi bagi pemikiran filsafat, pengetahuan, dan ilmu
itu sendiri.

Pandangan filosofis mengenai obyek material filsafat dimaksud, hendak


menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada bagi dunia (eksistensi) manusia,
terbuka menjadi bahan, masalah, atau obyek bagi filsafat. Hakikat ada sebagai
obyek filsafat, bersifat utuh atau menyeluruh (universal). Maksudnya, ada dalam arti
seluruh alam semesta, jadi bukanlah ada yang bersifat khusus (partikular).
Konsekuensinya, aspirasi kefilsafatan tentang obyek material bagi pemikiran filsafat
ialah mengutuhkan (mengunifikaskan) semua obyek dalam satu keutuhan yang
majemuk bukan keterpilahan. Misalnya, manusia sebagai obyek dan subyek hukum
harus dapat dilihat di dalam keutuhannya, bukan dalam realitas yang terpilah-pilah.
Manusia sebagai obyek material filsafat atau pengetahuan, dan ilmu, memiliki ciri
dan sifat yang khas, karena manusia itulah yang menghadapi dirinya sendiri, baik
dalam filsafat, pengetahuan, atau ilmu.
Manusia, dalam hal ini, menghadapi dirinya seolah-olah sebagai makhluk yang
belum selesai pada dirinya sendiri seperti batu, meja, atau kursi. Manusia,
kerananya, selalu mengahadapi dirinya bukan sebagai fakta tetapi sebagai masalah.
Manusia dalam hal ini, seolah-olah menghadapi dirinya begitu dekat tetapi sekaligus
jauh, jelas tetapi sekaligus samar dan kabur, senang tetapi sekaligus cemas, dan
sebaginya. Ia adalah makhluk multi dimensi yang bersifat mono dualis (makluk dua
dimensi), tetapi juga bersifat mono-pluralis (makhluk berdimensi majemuk). Jadi,
manusia adalah sebuah obyek material baik bagi filsafat, pengetahuan, maupun
ilmu, yang tidak pernah selesai. Justru itu, ilmu-ilmu harus menghampiri manusia
dengan renda hati dan penuh kesabaran, bukan dengan keangkuhan dan egoisme
sempit. Ilmu mata tidak akan menyelesaikan manusia hanya dengan mata, demikian
juga jantung, kulit, dan sebagainya. Justru, diperlukan adalah bagaimana
membangun suasana saling kerja sama.
Jelaslah, filsafat melihat segala sesuatu dalam konteks keseluruhan. Seluruh realitas
pandangannya sebagai ada selalu ditempatkan pada prinsip dasar keutuhan konteks
sang ada (eksistensi) yang merupakan syarat mutlak bagi sebuah cara berada.
2. Obyek Formal, adalah sudut pandang filsafat atau metode dan cara kerja
yang digunakan dalam rangka mengbongkar, menyingkap, dan mengolah
setiap bahan atau materi pemikiran (obyek material), guna dapat
mengembangkannya menjadi pengetahuan yang teruji dan tertata secara
sistematis dalam bentuk pengetahuan umum maupun pengetahuan ilmiah
atau jenis-jenis ilmu yang bersifat spesifik namun saling terkait. Jadi, obyek
formal menunjuk pada kemampuan dalam mengkritisi, mengkaji, memahami,
menganalisis, mensintesis, dan mengkonstruksi setiap sistem ide atau “peta
kognitif” yang tersimpan di balik segala penampakan bahan atau materi
(obyek material) yang dihadapinya menjadi sistem-sistem pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu utuh dan spesifik.

Filsafat, meskipun selalu menampilkan sudut pandang yang berbeda namun dapat
dikatakan hal itu bukanlah perbedaan yang bersifat fragmentatif (terpusat pada
bagian-bagian tertentu yang bersifat atomis atau terpisah-pisah). Filsafat, justru
selalu berupaya mencari pengertian mengenai realitas secara luas dan utuh. Sebagai
konsekwesi pemikiran ini, seluruh pengalaman dalam semua instansi, etika, estetika
teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lainnya, harus lah dibawa kepada
filsafat dalam pengertian sebagai realitas yang utuh.
Obyek formal filsafat, dalam hal ini, menuntut bahwa seorang filsuf adalah seorang
pribadi yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara autentik
yang diperolehnya dalam dunia realita. Jadi, obyek formal (sudut pandang) filsafat
itu bersifat mengasaskan, karena mengasas maka filsafat itu mengonstatir prinsip
kebenaran dan ketidak benaran, logis dan non logis, baik bagi sebuah tindakan
pemikiran maupun hasil pemikiran yang bersifat pengetahuan maupun keilmuan.
Obyek formal filsafat, akhirnya, hendak menegaskan bahwa meskipun terdapat
berbagai macam pengetahuan atau ilmu, namun hal itu bisa bersumber dari suatu
obyek material yang sama. Jadi, pengetahuan atau ilmu hanya menampilkan jenis
pikiran atau pendangan yang berbeda berdasarkan sudut pendekatannya yang
saling berbeda tentang pokok soal atau obyek materi yang sama, misalnya; biologi,
psikologi, teologi, ekologi, linguistik, dan sebagainya, bermaksud menemukan apa
yang dapat diketahuinya secara khusus berdasarkan sudut pendekatannya yang
khas tentang manusia.
II. Landasan-Landasan Berpikir Filsafat.
Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan pemikiran, yaitu; landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan pemikiran filsafat dimaksud, tidak
bersifat partikular (terlepas pisah), namun saling terkait secara utuh, dalam rangka
memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan
pemikiran itu sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam
bentuk lakon kehidupan yang aktual.
1. Landasan Ontologis. Istilah ontologi diambil dari bahasa Yunani On ontos
artinya ada atau keberadaan dan logi artinya pikiran atau ilmu. Jadi, Ontologi
artinya ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, sebuah
pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang
bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia.
Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan
ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka pikiran itu hanya
berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau kesesatan berpikir yang
dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu,
bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu
hukum, kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan maka dapat
ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam
hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal)
kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan ataujiwa maka
sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan
atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa sebuah ide kosong
atau khayalan yang muda ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah
yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi sehingga
pemikiran huku, teoloigi atau psikhologi tersebut bisa dibuktikan dan dukung
(di-affirmasi) atau difalsifikasikan (ditolak), atau disingkirkan (di-negasi).
Realitas ada yang menjadi obyek pemikiran dan pembuktian sebuah
pemikiran filsafat selalu dipahami sebagai sebuah kenyataan yang utuh,
sempurna dan dinamis, baik dari sisi materi dan rohani, atas-bawah, hitam-
putih, dan sebagainya. Ontologi, terbagi atas dua, yaitu; ontologi umum yang
disebut metafisika, dan ontologi khusus, seperti, Kosmologi, Theodice, dan
sebagainya.

2. Landasan Epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme =


pikiran atau pengetahuan dan logi atau logos = pengetahuan atau ilmu. Jadi,
Epistemologi artinya pengetahuan tentang pengetahuan, atau filsafat
pengetahuan. Maksudnya, bagi filsafat, setiap realitas apa pun, baik yang
berupa realitas fisik, pikiran, ide, teks, pandangan hidup, budaya, ideologi,
ajaran, keyakinan keagamaan, dan sebaginya sebagaimana pada landasan
ontologis di atas, selalu memiliki struktur kenyataan yang mengandung ide,
peta pemikiran (peta kognitif), struktur tata nilai dan pemahaman. Kenyataan
itu, karenanya, harus digali, dikaji, diuji, dan diramu secara mendalam,
sebagai sebuah sistim pemikiran atau sistem pengetahuan yang khas.

Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek kritis dari filsafat yang
berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji, dan
menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim
pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat,
sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus,
serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri. Melalui
epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran itu menjadi
kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu dapat
menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau ilmu,
termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban epistemologis,
baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun pengandaian-
pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari epistemologi adalah logika
yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran yang benar (pikiran sehat).
3. Landasan Aksiologi. Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang
berasal dari bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari kata
axios artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat
dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau ilmu, harus
berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran. Alasannya, pikiran itu
adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat atau binatang) yang
berhubungan langsung dengan manusia sebagai subyek dan obyek pikiran itu
sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran seorang anak manusia yang selalu
bernilai bagi dirinya.

Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai bagian dari
fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai. Suatu pemikiran yang
pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya yang sungguh untuk
membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan menempatkannya
sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk ilmu dan
pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap. Pengetahuan atau
ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang
bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan itu menjadi basis dan
landasarn normantif bagi pengembangan ilmu. Filsafat dengan landasan berpikir
aksiologisnya ini hendak menegaskan bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau
ilmu yang bebas nilai. Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat
taut nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil (penggunaan
atau penerapannya).
Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika keilmuan,
baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun penerapannya
dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan
hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan, tidak memiliki sebuah alasan
yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk mangatakan diri sebagai ilmu yang
bebas nilai, sebab selalu ada saja tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam
rangka proses keilmuan maupun penerapan hasil keilmuan itu sendiri.
Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan memberikan dasar-
dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis sehingga seluruh pengetahuan
kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita,
sebab mengetahui kebenaran yang terdasar berarti pengetahuan dasar hidup kita
sendiri yang diselami. Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan
lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan
sebagainya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
 jelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;

 tunjukkan perbedaan obyek material dan obyek formal keilmuan;

 jelaskan pengertian landasan-landasan filosofis keilmuan;

 tunjukkan perbedaan masing-masing landasan filosofis keilmuan dalam tugas


keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:44


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-7
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-7
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENDASARAN FILSAFAT BAGI TUGAS KEILMUAN
B. SUB POKOK BAHASAN: CIRI PEMIKIRAN FILSAFAT BAGI TUGAS
KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI:
Mahasiswa memahami pentingnya pendasaran filsafat bagi tugas keilmuan.
D. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa dapat:
 menjelaskan fungsi berpikir rasional dalam pengembangan ilmu;
 menjelaskan fungsi berpikir holistik dalam pengembangan ilmu;

 menggambarkan contoh berpikir integratif dalam keilmuan;


 membedakan ciri berpikir universal dan kontekstual dalam pengembangan
ilmu.

I. Ciri-Ciri Pemikiran Filsafat


Filsafat, sesuai ciri dasarnya sebagai, prinsip dan landasan berpikir bagi setiap usaha
manusia di dalam mengenal dan mengembangkan eksistensinya, melakukan
tugasnya dengan bertitik tolah pada beberapa ciri pemikiran, yaitu:
1. Berpikir Rasional, Sebagaimana diketahui, berfilsafat adalah berpikir.
Meskipun demikian, tidak semua kegiatan berpikir dan hasil berpikir dimaksud
dapat dikategorikan sebagai berfilsafat. Ciri pemikiran filsafat pertama-tama
harus bersifat rasional, bukan perasaan subyektif, khayalan, atau imajinasi
belakah. Ciri pemikiran rasional menunjukkan bahwa baik kegiatan berpikir
maupun hasil pemikiran filsafat itu sendiri harus dapat diterima secara akal
sehat, bukan sekedar mengikuti sebuah common sense (pikiran umum). Ciri
pemikiran filsafat yang rasional itu membuat filsafat disebut sebagai
pemikiran kritis atau “ilmu kritis”.

Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu kritis (critics) dan krisis (crycis).
Berpikir kritis (critics) artinya, berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan
atau menyesuaikan diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang
(termasuk dalamnya dogma atau ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apa pun)
sebagaimana apa adanya. Justru, inti dari ciri pemikiran filsafat yang kritis (critics)
ini adalah berpikir dalam rangka mengkritik, meragukan, dan mempertanyakan
segala sesuatu, sampai mencari dan memndapatkan dasar-dasar
pertanggungjwaban intelektual atau argumentasi-argumentasi yang mendasarnya
yang tidak mungkin dapat diragukan atau dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan
kapan pun. Filsafat, dengan pemikiran kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan
pengkajian, penelitian secara mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau
kebenaran sesungguhnya yang dicari. Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak
kesalahan tetapi mempertanyakan mengapa orang bisa melakukan kesalahan dalam
berpikir?. Immanuel Kant yang terkenal sebagai bapak filsuf kritis menyebut rasio
kritis ini sebagai “kritik rasio munri” (Critics ratio vernun). Pemikiran filsafat yang
berciri “rasio kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah pemikiran yang umum
(common sence), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan, kekeliruan, atau
kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik kesimpulan-
kesimpulan pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistim pemikiran atau sistim
keyakinan. Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir
dialogis atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan kritis”
yang dengannya, orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan umum.
2. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis. Menurut
Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin
terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas
kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan
budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan
penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis
(penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang
cenderung mendistorsi akal sehat manusia.

3. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin
menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk
menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke
permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil
berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban
yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan
itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu
terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat
kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda
terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir
radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil
pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu
sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian)
zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.

4. kreatif-inovatif. Artinya, pemikiran filsafat bukanlah pemikiran yang


melanggengkan atau memandegkan dirinya di dalam berbagai
keterkungkungan dogma atau ideologi yang beku dan statis. Justru, ia selalu
berusaha membangun kejataman budi untuk mampu mengeluarkan diri
kebekuan inspirasi, mampu mengkritisi, memperbaiki, menyempurnakan, dan
mengembangkan dirinya sedemikian rupa sehingga dapat melahirkan
penemuan-penemuan (invention) dan gagasan-gagasan baru yang lebih
brilian, terbuka, dan kompetitif dalam merespons tuntutan zaman serta
kemajuan-kemajuan yang penuh kejutan dan pergolakan, baik pada tataran
ide maupun moral. Ciri pikiran filsafat tersebut mengandaikan sebuah
kekuatan transformasi dan seni “mengolah budi” (kecerdasan) guna mampu
melakukan imajinasi teori, mengubah fakta menjadi permasalahan dan
terobosan penyelesaiannya dalam berbagai lakon aktual.

5. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir
logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar).
Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide,
penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru,
pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-
golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta
menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya
dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi)
melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu
bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian
diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur
dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang
tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan
pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat.
Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang
terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang
bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang
bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut
konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam
sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan
eksistensisal yang khas manusiawi.

7. Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat


menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih
bermakna daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh,
tidak terlepas-lepas dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit.
Cara berpikir filsafat yang demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat
pemikiran itu sendiri adalah dalam rangka manusia dan kemanusiaan yang
luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan atau klaim kebenarannya
masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang utuh. Baginya,
pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah yang
dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban
terhadap pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran
itu sendiri. Pikiran merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan
kemanusiaan (alam fisik dan roh) yang kompleks serta beranekaragam.
Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari dalam pikiran itu sendiri,
sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia lah yang
berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki
arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau
rasio yang sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan
sebagai kesatuan yang utuh.

8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep
atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan
taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta
fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk
menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral
(terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk –
bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta
fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut
sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau
diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf
berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan
menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu
memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya
aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun
secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari
cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk makin
mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan
“menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran
kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh
dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala
fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan
sempurna.

9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir
abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi
ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti
pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih
meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang
mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk
pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya
transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka
kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud,
orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara
informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh
imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara
luas dalam berbagai khasana pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah
berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur,
sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secar filsafat harus dapat
menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh
sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai
aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.

10.Berpikir secara reflektif. Maksudnya, filsafat selalu berpikir dengan penuh


pertimbangan dan penafsiran guna penemuan makna kebenaran secara utuh
dan mendalam. Ciri pemikiran filsafat yang reflektif ini, hendak ditunjukkan
bahwa pemikiran filsafat tidak cenderung membenarkan diri, tetapi selalu
terbuka membiarkan diri dikritik dan direnungkan secara berulang-ulang dan
makin mendalam, untuk sambil mencari inti terdalam dari pemikiran
dimaksud, juga menemukan titik-titik pertautannya secara utuh dengan inti
kehidupan manusia yang luas dan problematis. Berpikir reflektif
memungkinkan proses internalisasi (pembathinan) setiap pemikiran filosofis,
sehingga pikiran itu sendiri bukan hanya mampu mencerminkan isi otak,
tetapi isi kehidupan secara utuh menjadi sebuah gaya kehidupan yang khas.

11.Berpikir humanistik. Ciri pemikiran filsafat ini hendak letakkan hakikat


pemikiran itu pada nilai dan kepentingan-kepentingan kemanusiaan sebagai
titik orientasi, pengembangan, dan pengendalian pemikiran itu sendiri.
Maksudnya, pemikiran dan segala anak pinaknya, baik dalam bentuk
pengetahuan, ilmu, atau teknologi harus dapat menunjukkan sebuah
pertanggungjawaban pada sebuah tugas kemanusiaan yang nyata. Bagi
filsafat, pikiran atau pengetahuan itu adalah pikiran yang khas manusia,
bahkan pikiran seorang anak manusia untuk sebuah tugas kemanusiaan. Ciri
pemikiran filsafat, karenanya memiliki dasar, sumber dan tanggungjawab
kemanusiaan yang diemban. Berpikir humanistik bukan saja berpusat pada
manusia, tetapi sesungguhnya menyentuh sebuah tanggungjawab manusiawi.
Inti kemanusiaan itulah yang menjadi dasar dan sumber aktual bagi proses
berpikir maupun penerapan hasil pikiran itu sendiri.

12.Berpikir kontekstual. Ciri pemikiran ini hendak menunjukkan bahwa pikiran


bukan sekedar sebuah ide, tetapi sebuah realitas eksistensi dengan
konteksnya yang nyata dan jelas. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat, selalu
bertumbuh dan berkembang dalam konteks hidup manusia secara nyata.
Pikiran filsafat karenanya, merupakan bagian dari cara berpikir dan cara
bertindak manusia atau masyarakat dalam menyiasati dan memecahkan
masalah-masalah kehidupannya secara nyata. Pemikiran kontekstual
mengandaikan kejeniusan lokal (local genius) dalam membangun sebuah
struktur keberadaan. Pemikiran filsafat juga mencirikan sebuah pemikiran
yang fungsional dalam menyiasati serta membangun tanggungjawab budaya
maupun sosial kemasyarakatannya.

13.Berpikir eksistensial. Ciri pemikiran filsafat ini bermaksud menunjukkan bahwa


pikiran itu adalah pikiran manusia, karenanya, setiap pemikiran selalu
mengandaikan harapan, kecemasan, kerinduan, keprihatinan dan aneka
kepentingan manusia sebagai sebuah manifestasi eksistensial. Pikiran itu
sendiri adalah sebuah tanda keberadaan atau fenomena eksistensi, dengan
pikirannya, manusia membudayakan diri dan memenuhi kodrat
eksistensialnya sebagai eksistensi yang bermartabat. Berpikir eksistensial,
mengandaikan sebuah ciri pemikiran yang khas, yang bukan saja berpikir
dalam kerangka keilmuan, tetapi justru pemikiran dalam rangka
pengembangan eksistensi jati diri dan kehidupan secara utuh.

14.Berpikir kontemplatif. Ciri pemikiran filsafat ini diarahkan untuk menajamkan


kepekaan diri, ketajaman bathin, serta kemampuan mengenal kekuatan dan
kelemahan, dan kesadaran otodidik dalam diri. Melalui pemikiran kontemplatif
dimaksud, setiap pemikir, filsuf, atau ilmuwan mampu menasihati dan
membimbing diri (menangani diri) dengan penuh kerendahan hati, kesabaran,
dan kesetiaan. Ciri berpikir kontemplatif mampu membimbing para subyek
(pemikir) sedemikian rupa, sehingga mampu melalukan koreksi, perbaikan,
dan penyempurnaan atas segala cara berpikir maupun hasil pemikiran itu
sendiri sehingga tidak terjebak dalam keangkuhan, sikap ideologis, dan
pembenaran diri menjadi “kekuatan serba oke”, yang secara buta mentukangi
aneka kebohongan dan kejahatan. Berpikir kontemplatif membimbing orang
untuk makin memiliki sebuah jangkar keberadaan dan fondasi eksistensi yang
kokoh sebagai pribadi (personal), maupun sebagai bangsa dan masyarakat
yang beradab dan bermartabat.

E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
----------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan fungsi berpikir rasional dalam pengembangan ilmu;
 jelaskan fungsi berpikir holistic dalam pengembangan ilmu;

 gambarkan contoh berpikir integrative dalam keilmuan;

 tunjukkan perbedaan ciri berpikir universal dan kontekstual dalam


pengembangan ilmu.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:46


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-8
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-8
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mempelajari pokok ini, diharapkan Anda dapat:
 menjelaskan arti pengetahuan secara filosofis;
 menunjukkan hakikat pengetahuan dalam tugas keilmuan;

 membedakan tingkat pengetahuan dalam tugas keilmuan;

 menjelaskan bentuk-bentuk teori kebenaran pengetahuan dalam tugas


keilmuan;

I. Pengertian.
Sebuah uraian yang kiranya bersifat memadai tentang pengetahuan (episteme) telah
kami upayakan dalam buku pertama tentang Tanggung Jawab Pengetahuan
(terbitan Pustaka Filsafat Kanisius, 2001). Uraian berikut ini lebih merupakan
pendalaman pemahaman tentang hakikat pengetahuan pada; aras, jenis aliran, dan
tokoh. Pembaca, untuk itu, diminta membaca bagian ini sambil mencari pendasaran
epistemologisnya pada buku Tanggung Jawab Pengetahuan dimaksud.
Pengetahuan (bah. Yunani episteme) adalah daya pengenalan serta hasil
pengalaman melalui persepsi tentang apa yang dipandang sebagai fakta, evidensi,
kebenaran, dan kewajiban yang dipelihara dan diteruskan oleh peradaban. Kata
pengetahuan, secara umum, menandaskan adanya kebenaran, kepastian, dan
validitas atau kesahihan tertentu, baik berdasarkan pengalaman atau pemahaman.
Pengetahuan, secara filosofis mencakup dua sisi pengertian, yaitu; sisi statis berupa
apa yang dimiliki (having) dan sisi dinamis (being) berupa proses atau aktivitas
mengetahui.
Sisi statis, sebagaimana lazimnya, menunjukkan bahwa pengetahuan diartikan
sebagai hal-hal yang ada dalam kesadaran, berupa; keyakinan, gagasan, ide, fakta,
bayangan, gagasan, konsep, paham, teori, atau hasil pikiran yang dipandang
sebagai hal yang benar, valid, dan obyektif. Pengetahuan, dalam pengertiannya
yang statis ini, hanya berupa putusan–putusan yang benar dan pasti (kebenaran dan
kepastian yang obyektif). Eksistensi atau subyek yang mengetahui, dalam hal ini,
sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan obyek atau hal-hal (kebenaran-
beneran atau kepastian-kepastian) yang telah diakui keobyektifannya. Subyek
pengetahuan sadar akan hubungannya dengan obyek atau obyektifitas-obyektifitas
dengan subyek.
Sisi dinamis, mengandung pengertian bahwa pengetahuan merupakan proses atau
aktivitas kehidupan (pikiran, perasaan, keyakinan, dan ketrampilan) yang dilakukan
secara sadar, terencana, analitis, dan metodis atau hipotesis guna melangkah lebih
maju dalam mencapai hal-hal baru atau pembuktian-pembuktian baru, berupa
pikiran, pengetahuan, teori, fakta, dan ketrampilan hidup yang baru. Jadi,
pengetahuan, dalam hal ini, merupakan peristiwa di mana sang subyek (yang
mengetahui) dan obyek (yang menyatakan diri untuk di diketahui) berhubungan
aktif, sehingga tersusunlah suatu sistiem pemikiran atau pengetahuan baru dalam
kesatuannya yang aktif. Konsekuensinya, pengetahuan itu bersifat aktif-aktif,
subyek-obyek, substansi-aksidensi, situasi-tempat, pemahaman–sikap, materi-cara,
dan sinkronik-diakronik. Pengetahuan, karenanya, dipandang sebagai semua
kehadiran “intensional obyek” di dalam subyek.
Berdasarkan kedua sisi pemahaman di atas, dapat ditunjukkan bahwa pengetahuan
merupakan sebuah kegiatan intensional berupa pengalaman sadar. Alasannya,
sangat sulit untuk hanya mengatakan atau membatasi pengetahuan itu, pada sisi
statisnya seperti ajaran, konsep, atau kebenaran obyektif, tanpa secara tepat
menunjukkan bagaimana eksistensi subyek yang mengetahui dapat sadar akan
suatu eksistensi obyek tanpa kehadiran eksistensi tersebut di dalam dirinya.
Pengetahuan sebagai suatu kegiatan intensional harus dibedakan dari kegiatan-
kegiatan intensional lainnya yang tidak mendapat pertimbangan–pertimbangan kritis
rasional, seperti: perasaan subyektif atau keinginan, dan dorongan kehendak belaka.
Intinya, pengetahuan mengacu ke fakta yang mengagumkan suatu eksistensi yang
mengetahui. Melalui itu, eksistensi (subyek) yang mengetahui seolah-olah menjadi
transparan terhadap dirinya sendiri. Subyek pun, sadar akan dirinya sendiri, dan
demikian “hadir bagi dirinya sendiri”. Bahkan, lebih daripada itu, eksistensi atau
subyek yang mengetahui mengalami kemajuan melampaui diri dirinya sendiri ketika
ia merefleksikan “yang lain” di dalam dirinya sendiri dan karenanya “dalam arti
tertentu, menjadi segala sesuatu”, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles.
Para filsuf epistemolog, karenanya, cendrung mengartikan pengetahuan sebagai hal
yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian, metode, sumber-sumber, syarat-
syarat, kebenaran, kepastian, dan pertanggungawaban pengetahuan.
II. Tingkat Pengetahuan.
Pengetahuan manusia terjadi dalam dua tingkatan, yaitu; tingkat pengetahuan
inderawi menuju pengetahuan intelektif. Pengetahuan pada taraf inderawi
menunjukkan bahwa pengetahuan dimulai dari kesan-kesan yang diterima melalui
alat-alat indera dari dunia pengamatan yang hasilnya dianggap representatif
(pengetahuan representatif). Hasil penginderaan itu kemudian diproyeksikan dan
diasimilasikan lebih lanjut pada tahap kesadaran aktif (utuh dan kritis) pada tahap
pengetahuan intelektual. Pengetahuan pada tahap intelektif (pengetahuan
intelektual), menunjukkan proses di mana data-data pengetahuan empiris diterima
dan dihubung-hubungkan. Hubungan-hubungan tersebut menghasilkan konsep atau
gagasan-gagasan yang utuh dan terstruktur. Pengetahuan intelektif, niscaya, tidak
hanya terbatas pada cara pemikiran tertentu saja, tetapi lebih lagi dikembangkan
pada tataran pengalaman aplikasi.
Pengetahuan inderawi merupakan jenis pengetahuan yang juga melibatkan organ-
organ tubuh (indra-indera luar dan otak) yang berkesesuaian dan menunjuk pada
kualitas-kualitas inderawi sekunder seperti; warna, bunyi, dan sebaginya serta
kualitas-kualitas inderawi primer, seperti; bentuk, ukuran, cahaya, gerakan, citarasa,
sakit, senang, dan sebaginya yang semuanya bersifat spasio-temporal (terbatas
pada ruang dan waktu). Pengetahuan inderawi, dalam hal ini, menunjuk pada
sejumlah kesan yang diterima organ-organ inderawi yang terbatas, partikular, dan
beraneka ragam. Akibatnya, rangsangan (sensasi) inderawi yang dikirim ke otak
menghasilkan suatu citra inderawi sebagai wujud pengalaman sadar. Pengetahuan
inderawi mengandalkan daya ingatan dan imajinasi yang berfungsi
menyempurnakan hasil sensasi atau penglihatan inderawi yang terpotong-potong
dan menyusunnya secara utuh. Indera esimatif menghubungkan pencerapan
(sensasi) dengan seluruh kehidupan makhluk berindra, serta membimbing ke dalam
taraf pengetahuan kognitif (pemahaman).
Pengetahuan inderawi berfungsi sebagai instrumen pengetahuan intelek untuk
mencapai arti pengatahuan yang lebih tinggi dalam hal pembentukan konsep-konsep
rohani. Justrunya, pengolahan intelek yang sehat atas pengetahuan inderawi sangat
penting artinya bagi perkembangan yang layak dari roh manusia. Pengetahuan
intelektif adalah wujud kemampuan pikiran untuk melihat kebenaran-kebenaran
dengan “mata pikiran” secara langsung tanpa pembuktian. Misalnya, aksioma-
aksioma geometrik dan sebaginya.
a. Pengetahuan Pra ilmiah dan Pengetahuan ilmiah.

Pengetahuan bertumbuh dari tahap pra ilmiah ke tahap pengetahuan ilmiah.


Pengetahuan pra ilmiah adalah pengetahuan sehari-hari yang tidak atau belum
diolah, dikaji, dan disusun, serta dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bentuk
pengetahuan pra ilmiah, dapat berupa pandangan umum (common sense),
keyakinan –keyakinan hidup, atau tradisi, dan sebaginya.
Pengetahuan ilmiah adalah bentuk pengetahuan yang telah diolah, dikritisi, diuji,
dikembangkan, dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah berdasarkan prosedur,
norma-norma dan metode berpikir ilmiah. Pengetahuan ilmiah tersebut dapat dibagi
dalam bentuk pengetahuan empiris dan pengetahuan teoretik.
b. Pengetahuan esensial.
Pengetahuan esensial merupakan pengetahuan yang memungkinkan tersingkapnya
atau terungkap jelasnya sesuatu. Hal ini berbeda dengan penetahuan empiris
belakah yang hanya membatasi diri pada cerapan inderawi. Pengetahuan esensial
menunjukkan bahwa penangkapan langsung dan gambaran seketika terhadap
hakikat (esensi) dari eksistensi konkret mengandaikan adanya pererimaan intuitif
dalam diri manusia tanpa melalui pengalaman. Konsep-konsep esensial merupakan
praandaian yang diperlukan untuk memahami secara a priori hubungan-hubungan
hakiki. Ciri pengetahuan esensial menunjukkan pula bahwa hakikat segala sesuatu
tidak dapat dikenal secara langsung, melaikan hanya ciri-ciri esensialnya yang
nampak.
5. Pengetahuan transendental, adalah pengetahuan yang menunjuk pada kondisi-
kondisi (kategori-kategori, bentuk, maupun struktur) yang memungkinkan sebuah
pengalaman yang sadar. Immanuel Kant, sebagai pencetus pengetahuan
transendental, menunjukkan bahwa pengetahuan tentang suatu realitas yang
mengatasi pengalaman kita adalah mustahil, tetapi pengetahuan transendental
adalah mungkin. Pengetahuan transendental mengatasi pengatahuan empiris, tetapi
ia tidak mengatasi semua pengetahuan manusiawi.
6. Bentuk-bentuk Kebenaran Pengetahuan
(1). Kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran berdasarkan kesesuaian atau
kesepadanan. Teori kebenaran korespondensi mengajarkan bahwa suatu dapat
disebut benar bila terdapat kesesuaian atau kesepadanan antara pernyataan-
pernyataan sebuah pikiran atau klaim pengetahuan dengan kenyataan, dan ide-ide
yang ada dalamnya berkorelasi dengan kenyataan melalui persepsi-persepsi yang
diterima dari dunia nyata. Konsekuensinya, bila tidak terdapat kesesuaian atau
kesepadanan antara ide atau pernyataan dengan kenyataan maka hal itu tidak dapat
diterima sebagai kebenaran pengetahuan, dan karenanya, patut ditolak sebagai
kekeliruan atau kesesatan dalam berpikir. Teori kebenaran korespondensis ini
banyak digunakan dalam pengetahuan empiris-inderawi. Kebenaran korespondensis,
karenanya, merupakan pandangan tetang kebenaran pengetahuan yang lebih masuk
akal bagi sebuah aprehensi biasa (pengetahuan tentang sebuah penampakan biasa),
misalnya; dalam hal menguji ingatan tentang sesuatu hal. Kritik yang dapat
ditujukan terhadap teori kebenaran ini adalah bahwa belum tentu setiap pernyataan
dan kenyataan yang koresponden (sepadan) mampu menunjukkan keutuhan isi dan
bentuk kebenaran dimaksud.
(2). Kebenaran koherensi, yaitu kebenaran bersadarkan pertalian atau hubungan
logis. Teori kebenaran koherensi banyak digunakan dalam penentuan kebenaran
pengetahuan intelektual-rasional. Teori kebenaran koherensi, tidak seperti teori
kebenaran koserpondensi (padanan), menekankan pada kriteria-kriteria logis dalam
mengevaluasi dan menentukan kebenaran suatu pengetahuan yang berupa
penjelasan-penjelasan (eksplanasi). Pembuktian atau penentuan kebenaran
koherensi, dalam hal ini, cenderung ditunjukkan pada kebenran-kebenaran yang
berupa, misalnya; pembentuk teori, pengujian-pengujian logis, kensistensi-
konseintensi affirmatif atau proposisi-proposisi, inferensi, dan sebaginya. Kritik yang
patut dialamatkan bagi teori kebenaran koherensi ini adalah bahwa, belum tentu
hal-hal yang koheren (berhubungan) dapat sesuai dengan dunia kenyataan
sebenarnya.
(3). Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran berdasarkan aspek kegunaan atau
kemanfataan praktis. Teori kebenaran pragmatis, sebagaimana teori pengetahuan
“Pragmatisme”, menekankan semata-mata pada kegunaan atau kemanfataan praktis
dalam pengalaman sebagai bentuk kebenaran yang asasi. Bagi kaum pragmatis, hal
yang benar adalah hal yang berguna. Sebuah ide atau gagasan jenius apa sekalipun,
bila tidak berguna dalam perbuatan atau tindakan praktis maka sesungguhnya
bohong, keliru, dan tidak benar, karena tidak bermanfaat bagi tindakan atau tidak
berguna dalam pengalaman nyata sebagai kebenaran riil.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
--------------, Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan arti pengetahuan secara filosofis;
 tunjukkan hakikat pengetahuan dalam tugas keilmuan;

 tunjukkan perbedaan tingkat pengetahuan dalam tugas keilmuan;

 jelaskan bentuk-bentuk teori kebenaran pengetahuan dalam tugas keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:46


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-9
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-9
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: PENGETAHUAN ILMIAH ATAU ILMU

C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mengikuti proses pembelajaran mengenai topik ilmu ini
diharapkan, Anda dapat:
 menjelaskan pengertian ilmu secara filisofis;
 menunjukkan berbedaaan antara pengetahuan dan ilmua;

 menjelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu

 mejelaskan arti arti konsep ilmu dalam kegiatan keilmuan;

 membedakan antara ciri ilmu dan dimensi ilmu;


 mendiskripsikan bentuk-bentuk proposisi ilmiah dalam kegiatan keilmuan.

I.Pengertian Ilmu.
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang
diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know),
dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu
sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada hakikat
dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak
menunjukkan bahwa ilmu sebagai aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas
menunggu secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk
menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh
secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis.
Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk pada tiga hal, yaitu; pertama;
ilmu sebagai proses berupa aktifitas kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua;
ilmu sebagai prosedur berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau
produk berupa pengetahuan sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian
aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional artinya, proses
aktifitas yang menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap
berpegang pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang
bertalian dengan; pengenalan, pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun
pemahaman pemahaman secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan
teleologis artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian
tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi
pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan.
Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau
dalam rangka pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural, tata langkah, teknik atau
cara, serta alat atau media. Pola prosedural, misalnya; pengamatan, percobaan,
pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisis, dan lainnya. Tata langkah, misalnya;
penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila diperlukan), pengumpulan data,
penarikan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan
daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, dan lainnya. Alat dan media,
timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis, ilmu dipahami
sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan
saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai sebuah koherensi
sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan lambang–lambang yang dapat dilihat
dengan jelas melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya
hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis
teruji) yang belum mantap sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep
pengetahuan ilmiah karena ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian
keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang diilmiahkan atau
pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu bersifat ilmu atau
harus diilmiahkan. Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu merupakan sekelompok
pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok soal) yang menjadi titik
minat bagi permasalahan tertentu. Sebuah pengetahuan ilmiah memiliki 5 (lima) ciri
pokok, yaitu; empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ilmu, dalam hal
ini, cenderung dilihat dalam hubungan dengan obyek keilmuan (obyek material dan
formal) dan metode keilmuan tertentu. Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan
obyeknya. Orang, misalnya kaum peneliti, membatasi ilmu sebatas metodologi
keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari di dalam ilmu tidak dicapai
dengan penggabungan ide-ide yang terpisah, tetapi pada pengamatan dan berpikir
metodis, yang tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan adalah “teknologi
ilmiah” dalam menguji-coba atau mengeksperimentasi konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian yang lengkap dan utuh
mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan saling bertentangan,
tetapi merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang menjadi pelaku
(subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang memiliki
kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut pengetehuan), dan
mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu aktivitas, hanya
dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan metode yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu; ilmu
sebagai aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis, ilmu sebagai metode (The
Liang Gie 1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif harus mematuhi berbagai kaidah
pemikiran logis, sementara, disebut pengetahuan sistematis karena ilmu merupakan
hasil dari pelaksanaan proses-proses kognitif yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu
disebut metodik karena ilmu sebagai aktivitas kognitif (intelektual) sampai
perwujudannya sebagai pengetahuan sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau
prosedur ilmu yang disebut metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada
sebuah rumusan yang bersifat tentatif tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional kognitif, dengan berbagai
metode berupa anek prosedur dan tata langkah, sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sitematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan,
dan keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,
memberikan penjelasan, atau penerapan.
II. Obyek Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara filsafati, sebuah pengetahuan
ilmiah atau ilmu, memiliki perbedaan dengan bentuk pengetahuan yang umum
(common sense). Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan umum tidak memiliki
obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan cirri yang khusus maka sebaliknya,
sebuah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan
adanya; obyek keilmuan, bentuk pernyataan, serta dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal ini, mencakup segala
sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala
kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran atau
indera manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua
golongan besar, yaitu; obyek material dan obyek formal keilmuan. Obyek material
meliputi: ide abstrak, benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial,
gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda, dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi;
sudut pandang, minat akademis, atau cara kerja yang digunakan untuk menggali,
menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun berbagai pemikiran yang
tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material di atas dan menyuguhkannya
dalam bentuk ilmu.
III. Hubungan Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang
terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala
atau peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat.
Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa
ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense) dalam kehidupan
harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah
secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu. Pengetahuan
ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan azas-
azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan kesimpulan-
kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang jenis
pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis. Jadi, pengetahuan
merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya,
merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar disadari,
ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam bentuk apa pun. Pengetahuan
yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact),
kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan
sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan
menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi (faktual) yang dihimpun dan dicatat
sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok sebagai fakta (pengetahuan)
yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal itu dapat berupa ide abstrak,
misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris, misalnya; sifat tanah, ciri
kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga adat, pemerintah, dan sebagainya, yang
mendorong minat (focus of interest) atau sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu
berbeda dari filsafat berdasarkan ciri empiris ilmu maka ilmu berbeda dari
pengetahuan biasa karena ciri sistematis dari ilmu itu sendiri. Hal-hal berupa pokok
soal dimaksud, di dalam filsafat disebut obyek material ilmu, sementara fokus minat
atau sikap terhadap hal pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk
pada sudut pendekatan atau tata cara khusus yang dilakukan dalam menghadapi
obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, juga
dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai
sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana pengetahuan,
merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu wujud kebudayaan yang
sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta memberikan sumbangan
bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan, (game), karena ilmu,
dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip dengan sifat-sifat suatu
permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan penerimaan hadiah. Ketiga
hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu, melainkan dianggap
sebagai dimensi umum dari ilmu.
IV. Konsep Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian), baik untuk kepentingan
pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun teori dan dan
menghasilkan dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan praktis bagi
tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang mewakili sesuatu
himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi mengenai
suatu hal khusus. Konsep merupakan alat penting untuk pemikiran terutama dalam
hal penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik yang bersifat abstrak
maupun operasional, yang merupakan alat penting untuk kepentingan pemikiran
dalam ilmu atau pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau
beberapa konsep kunci atau konsep tambahan yang bertalian. Beberapa contoh
konsep ilmiah, misalnya; konsep bilangan di dalam matematika, konsep gaya di
dalam fisika, konsep evolusi di dalam biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan
atau strata sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di dalam linguistik, keadilan
dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu teologi, atau lingkungan di dalam ilmu-
ilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat dibutuhkan agar suatu ilmu
dapat menyusun berbagai azas, teori, sampai dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat
merupakan semacam sarana untuk ilmuwan melakukan pemikiran dalam
mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan konsep evolusi, Charles
Darwin lalu dapat menyusun dan mengembangkan suatu teori tentang asal–usul
manusia, yang mulai dari tahap perkembangan binatang menyusui yangcerdas
kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep evolusi yang
membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih
rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif
dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami perkembangan ilmu
dengan menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam jalinan
umum dari pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan mencapai suatu
taraf kematangan sehingga dipandang berbeda dan kemudian dipisahkan dari
filsafat. Hal demikian berlaku pula terhadap upaya penelaan terhadap gejala-gejala
alam dan kehidupan maupun gajala-gejala mental dan kemasyarakatan, yang
dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi,
psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-
ilmu tersebut yang membuatnya berbeda dari filsafat adalah ciri empirisnya.
Jelasnya, bila filsafat masih tetap merupakan pemikiran reflektif yang coraknya
sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial
telah merupakan rangkaian aktivitas intelektual yang bersifat empiris. Sifat tersebut
lah yang selalu merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya,
atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain, bersifat abstrak
untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau membuat keterangan-keterangan
ilmiah yang berlaku secara umum. Konsep-konsep ilmu tersebut kadang-kadang
begitu abstrak sehingga hampir berupa khayalan. Misalnya; konsep
ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia ekonomis (the
economic man), atau negara ideal (the ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh dikacaukan, seolah-olah sama atau
menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan. Alasannya, pokok soal pengetahuan
tersebut belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf yang lebih tinggi seperti
konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah cukup berkembang harus memiliki satu atau
beberapa konsep kunci, juga beberapa konsep tambahan yang bertalian dengannya.
V. Ciri Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan biasa, memiliki
beberapa ciri pokok, yaitu:
a. sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan
atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sistematis
ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan dan data
yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan tersebut mempunyai
hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib).
Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas tata tertib tertentu
di antara bagian-bagian yang merupakan pokok soalnya.

b. empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh berdasarkan


pengamatan serta percobaan-percobaan secara terstruktur di dalam bentuk
pengalaman-pengalaman, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Ilmu
mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal
empiris yang bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala atau kebathinan,
gejala-gejala alam, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya.
Semua hal faktai dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum)
sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu, dalam hal ini, bukan sekedar fakta,
tetapi fakta-fakta yang diamati dalam sebuah aktivitas ilmiah melalui
pengamalaman. Fakta bukan pula data, berbeda dengan fakta, data lebih
merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal yang diperoleh melalui
hasil pencerapan atau sensasi inderawi.

c. obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan yang bebas dari
prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif
berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung
pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau
mencerminkan secara tepat gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu
mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai dengan
obyeknya (baik obyek material maupun obyek formal-nya), tanpa diserongkan
oleh keinginan dan kecondongan subyektif dari penelaahnya.

d. analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan membeda-


bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-bagian yang terpecinci untuk
memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian
tersebut. Upaya pemilahan atau penguraian sesuatu kebulatan pokok soal ke
dalam bagian-bagian, membuat suatu bidang keilmuan senantiasa tersekat-
sekat dalam cabang-cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu,
masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran pemikiran keilmuan
baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus dikembangkan secara
khusus menunju spesialisasi ilmu.

e. verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang terbuka


untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan
disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi)
dimaksud lah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar
dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau
diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui
benar. Ciri verifikasif ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu
senantiasa mengarah pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh
manusia untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang
disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran tersebut dapat berupa azas-azas atau
kaidah-kaidah yang berlaku umum atau universal mengenai pokok keilmuan
yang bersangkutan. Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan
tentang peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam
sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan
meramalkan, serta menguasai gejala atau peristiwa-peristiwa alam, seperti;
hujan, banjir, gunung meletus, dan sebagainya. Orang, karena itu, lari
kepada tahyul atau mitos yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu,
seperti; vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan secara
tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa tersebut serta meramalkan hal-
hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat menguasainya
untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah,
orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan yang
teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud
menemukan kebenaran-kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam
arti menguasai kebenaran-kebenaran ilmu demi kepentingan pribadi atau
masyarakat, dan alam lingkungan.

Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya,
misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa
ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu,
dalam hal ini sukar namun, juga amat muda dalam arti, senantiasa merupakan
sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri
dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan
penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang ditelaannya, tetapi hanya
menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf
kritis telah ditolah karena, menurut mereka ilmu sebagai sebuah hasil budaya
manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak
dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus
bertanggungjawab atasnya.
VI. Dimensi khusus Ilmu
Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh beraneka ragam, telah
menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup luas dan beragam, serta
bersifat khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada perwatakan, peranan, serta
kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk dalam ilmu. Berbagai
pandangan filsuf, sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang Gie (1996: 131-133),
menunjukkan beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau spesifik dapat
dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:
1. dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam arti, ilmu dilihat
sebagai salah satu faktor utama dalam mempertahankan dan
mengembangkan produksi.

2. dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu bahasa buatan. Ilmu,
dalam hal ini, dilihat sebagai suatu konstruksi kebahasaan (a construction of
language), dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan spesifik
tertentu serta antara obyek-obyek, dan dengan prakterk.

3. dimensi matematis, ilmu berdimensi matematis dalam hal menekankan segi-


segi kuantitatif dan proses-proses kuantifikasi dalam ilmu. Ilmu, dalam hal ini,
mencakup penalaran matematis dan analisis data atas fenomena alamiah.

4. dimensi politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan (power) sebagaimana


ditunjukkan oleh Francis Bacon: knowledge is power. Ilmu, dalam hal ini
cenderung dipahami sebagai kekuatan dalam hal membangun dan
menyelenggarakan pemerintahan atau kekuasaan serta mempertahankannya.

5. dimensi psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan keajaiban, melainkan


suatu sikap terhadap dunia dengan kreativitas kejiwaan yang penuh daya seni
serta keindahan yang tinggi.

6. dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung dipahami sebagai
sebuah lembaga sosial (social institution), mendorong aktivitas sosial (social
aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang menghimpun, menguji,
serta menyebarkan pengetahuan, dan menciptakan sebuah masyarakat
ilmuwan.

7. dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan ide-ide atau
gagasan-gagasan, tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah nilai (value)
pada dirinya, dan karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan diri dari nilai-
nilai yang diembannya sejak awal proses pembentukan maupun
penerapannya.

8. dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai bagian dari
perkembangan sejarah manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya,
merupakan sebuah kekuatan sejarah yang sangat besar peranannya bagi
setiap generasi manusia di dalam periodenya masing-masing. Ilmu sebagai
kekuatan sejarah, selalu membangun eksistensi sosial manusia dalam
arahnya yang selalu baru.

9. dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia yang sekaligus
ditempatkan menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam membangun
peradaban manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang berbudaya.

10.Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa
manusia yang bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa) manusia dan
kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi ilmu itu
sendiri, dan ilmu selalu berorientasi pada manusia sebagai kausa ontologis
(penyebab ada) bagi ilmu itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan
ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan keuntungan (benefit) dari ilmu itu sendiri.

11.dimensi rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi permaianan yang dilombahkan


dan dilakukan dengan kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu
permainan yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk menemukan alam
semesta dan dirinya sendiri, serta memperluas atau memperbesar kesadaran
manusia akan dunia tempat ia hidup dan berkarya.

12.dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu kebulatan sistem yang
terdiri dari unsur-unsur yang berada dalam keadaan yang saling berinteraksi.
Jadi, ilmu dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang memiliki ciri
sistematis, sistim penjelasan (a system of explanation), dan terpola atau
terstruktur, serta menjadi suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah
alam, kaidah-kaidah pembilangan, serta hubungannya dengan manusia.

13.dimensi logic, bahwa ilmu konsistensi proposisi-proposisi ilmu dalam


membangun sebuah penalaran yang sehat dan lurus guna mencapai
kesimpulan-kesimpulan keilmuan yang bersifat valid dan obyektif. Melalui itu,
ilmu, secara formal, dapat diterima sebagai sebuah ilmu yang resmi, valid,
dan obyektif.

Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas, memperlihatkan bahwa,


sesungguhnya masih terdapat lagi banyak dimensi keilmuan yang lain yang bersifat
khas, namun, semua dimensi tersebut saling terkait secara komplementar (saling
melengkapi) untuk meberikan manfaat atau kegunaan secara utuh dan sempurna
bagi kemajuan ilmu maupun bagi manusia dan alam kehidupannya. Konsekuensinya,
penonjolan secara sepihak pada salah satu dimensi yang paling disukai saja,
misalnya; dimensi ekonomi ilmu karena membawa keuntungan langsung, akan
sangat mengganggu kemajuan ilmu secara utuh serta cenderung merapuhkan
vitalitas ilmu itu sendiri. Alasannya, kerena kemajuan pada dimesi ekonomi akan
sangat ditunjang oleh dimensi lain, sementara persoalan-persoalan yang
dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak mungkin hanya dapat dipecahkan
secara ekonomi pula.
VII. Bentuk Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah (Keilmuan)
1. Deskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah (pernyataan keilmuan)
berupa uraian terpeinci, baik mengenai bentuk, susunan, peranan, serta hal-
hal terperinci lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan yang bersangkutan.
Bentuk pernyataan deskriptif ini, biasanya terdapat pada cabang-cabang ilmu
khusus yang bersifat deskriptif, misalnya; ilmu anatomi, biologi, astronomi,
dan sebagainya.

2. Perskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berupa petunjuk-


petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung
atau sebaliknya dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek keilmuan.
Bentuk pernyataan perskripsi dimaksud, banyak dijumpai dalam cabang-
cabang ilmu sosial. Misalnya; ilmu-ilmu pendidikan yang memuat petunjuk-
petuntuj mengenai cara-cara mengajar yang baik di dalam kelas. Hal
demikian pun dapat dijumpai di dalam ilmu administrasi negara yang
berupaya memaparkan berbagai azas atau ukuran-ukuran, dan berbagai
peraturan lainnya tentang bagaimana menjalankan sebuah organisasi
pemerintahan yang baik, membangun menajemen yang efektif, atau prosedur
kerja yang efisien.

3. Eksposisi Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang memaparkan pola-


pola dalam sekumpulan sifat, ciri, kecenderungan, atau proses lainnya dari
fenomena atau obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya, dalam Antropologi,
dipaparkan pola-pola kebudayaan berbagai suku bangsa, atau dalam
Sosiologi, diungkapkan pola-pola perubahan masyarakat dari tahap kehidupan
pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.

4. Rekonstruksi historis; merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang berusaha


menggambarkan atau menceriterakan sesuatu hal pada masa lampau dengan
beruasah memberikan penjelasan atau menunjukkan alasan yang diperlukan
bagi pertumbuhan hal dimaksud, baik secara alamiah maupun secara budaya
melalui campur tangan manusia, dengannya orang akan berusaha
memberikan petunjuk-petunjuk atau penyiasatan hidup ke depan. Bentuk
pernyataan ilmiah ini dapat dijumpai dalam ilmu-ilmu khusus, seperti;
Historiografi atau Ilmu purbakala.

5. Azas ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam proposisi ilmiah yang


mengandung prinsip-prinsip kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang
telah diamati. Azas ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial, sering dipahami sebagai
prinsip yang memadai untuk dijadikan pedoman di dalam melakukan
tindakan-tindakan. Misalnya; azas peredaran planet berdasarkan pengamatan
astronomi, yang menyatakan; makin dekat sesuatu planet kepada matahari,
makin pendek masa putarannya.

6. Kaidah ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam proposisi yang


mengungkapkan keajegan (keteraturan) atau hubungan tertib yang dapat
diperiksa kebenarannya di antara fenomena-fenomena. Melalui itu, ia
digeneralisasikan sebagai hal yang secara umum berlaku bagi fenomena yang
sejenis. Misalnya; Hukum gaya berat dari Ishak Newton atau Kaidah Boyle di
dalam ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas berubah secara terbalik
dengan tekanan bila suhu yang sama tetap dipertahankan. Kaidah, ilmiah,
karenanya, seringkali diartikan sebagai suatu pernyataan prediktif dan
universal.

VII. Struktur pengetahuan ilmiah (Ilmu).


Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran secara utuh terhadap hakikat
ilmu maka Anda diminta untuk mempelajari bagan di bawah:

Gambar No 5. Struktur Pengetahuan Ilmiah


E. Sumber:
1. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
2. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
3 The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
F. Evaluasi:
 jelaskan pengertian ilmu secara filisofis;
 tunnjukkan perbedaan antara pengetahuan dan ilmu;

 jelaskan hubungan antara pengetahuan dan ilmu

 jelaskan arti arti konsep ilmu dalam kegiatan keilmuan;

 tunjukkan perbedaan antara ciri ilmu dan dimensi ilmu;

 uraikanlah bentuk-bentuk proposisi ilmiah dalam kegiatan keilmuan.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:47


Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-10
ILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-10
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: TEORI DAN METODE KEILMUAN

C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Mahasiswa dapat:
 menjelaskan arti teori ilmu.
 menjelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;

 menjelaskan arti metode ilmu dalam tugas keilmuan;

 menilai baik –buruknya metode ilmu dalam tugas keilmuan;

I. Teori Keilmuan
1. Pengertian.
Teori ilmiah atau teori keilmuan adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan
secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah peristiwa atau
fenomena. Misalnya, teori Darwin tentang evolusi organisme hidup yang
menerangkan bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari
sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif. Organisme-
organisme tersebut, berkembang secara evolusioner sepanjang masa. Jadi, teori
ilmiah atau teori keilmuan merupakan sekumpulan proposisi yang mencakup konsep-
konsep tertentu yang saling berhubungan. Kondisi saling keterhubungan di antara
konsep-konsep tersebut menyajikan suatu pandangan yang bersifat utuh dan
sistematik mengenai fenomena atau obyek keilmuan yang ditelaah sehingga mampu
menjelaskan dan meramalkan fenomena atau obyek keilmuan dimaksud. Prinsipnya,
tujuan akhir dari ilmu adalah mengasilkan teori yaitu berupa penjelasan –penjelasan
terhadap terhadap fenomena alamiah.
2. Fungsi atau kegunaan teori ilmiah (teori keilmuan):
Petama; membantu menyusun dan mensistematisasikan data maupun pemikiran
tentang data sehingga tercapai pertalian yang logis di antara aneka data yang
semulanya bersifat saling terlepas dan kecau balau. Jadi, teori, dalam hal ini,
berfungsi sebagai pedoman, bagan sistematis, atau acuan.
Kedua; memberi suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang
semulanya belum dipetakan, untuk memberikan arah atau orientasi bagi proses
pemikiran keilmuan.
Ketiga; memberi petunjuk atau arahan bagi penelitian atau penyelidikan lanjut.
Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan antara teori ilmiah dan kaidah ilmiah. Teori
ilmiah berisi proposisi-proposisi logis yang berusaha menjelaskan fenomena atau
obyek keilmuan tertentu, dengan menunjuk pada keajegan–keajegan suatu kaidah
ilmiah (kaidah keilmuan) dan juga bersifat prediktif (peramalan). Meskipun demikian,
sebuah teori ilmiah tidak pernah akan menjadi sebuah kaidah ilmiah. Teori ilmiah
(teori keilmuan) hanya mengacu pada kaidah-kaidah ilmiah sebagaimana telah
diketahui dan meungkin menyarankan kaidah-kaidah tambahan. Teori keilmuan
mencoba menerangkan sebuah kaidah tertentu dengan mengacu pada suatu kaidah
(keteraturan atau keajegan berupa hubungan tertib) yang lebih umum.
Teori merupakan tujuan dasar dan sekaligus tujuan akhir dari kegiatan ilmu atau
keilmuan. Sebuah buku telfon bukanlah sebuah ilmu atau karya ilmiah karena tidak
didasarkan pada teori keilmuan tertentu serta tidak dapat menghasilkan teori baru.
Sebuah buku telfon hanya berfungsi menunjuk atau memberi informasi apa adanya,
pada orang tertentu, nomor tertentu, kota tertentu, atau tahun tertentu, dan tidak
menunjuk pada suatu hal yang umum, analisis, penalaran, dan sebagainya
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan.
II. Metode Ilmu (metode keilmuan)
1. Pengertian.
Metode ilmu atau metode keilmuan adalah suatu cara di dalam memperoleh ilmu
atau pengetahuan baru. Metode keilmuan, dalam hal tertentu, dipandang pula
sebagai sebuah teori pengetahuan yang dipergunakan untuk memperoleh jawaban-
jawaban tertentu mengenai suatu permasalahan atau pernyataan. Hal metode
keilmuan, karenanya, lebih merupakan prosedur keilmuan yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara atau teknik untuk
mengembangkan pengetahuan yang ada guna mencapai pengetahuan baru yang
disebut ilmu. Asumsinya, lewat pengorganisasian kegiatan keilmuan yang bersifat
sistematis dan pengujian pengamatan serta penalaran-penalaran logis atasnya maka
manusia mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupaun hal itu
terus-menerus bertumbuh dalam kritik, koreksi, serta penyempurnaan. Jadi, metode
ilmu lebih merupakan prosedur keilmuan yang digunakan oleh ilmuwan dalam
pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan meninjau kembali
pengetahuan yang telah ada.
Metode ilmu mengandung struktur-struktur rasional dari sebuah penyelidikan ilmiah
(penyelidikan keilmuan) yang melaluinya, disusun berbagai dugaan, ramalan, atau
prediksi serta pengujian-pengujian-pengujian sahih atasanya.
Prosedur keilmuan yang merupakan metode ilmu atau metode ilmiah dimaksud tidak
hanya mencakup aspek pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen),
namun terkait dengan aspek; analisis, pemerian (uraian), penggolongan (klasifikasi),
pengukuran, perbandingan, pengujian, dan survei. Bahkan, prosedur keilmuan yang
terkait dalam metode ilmu dimaksud meliputi pula prosedur-prosedur logis,
misalnya; induktif, deduktif, abstraksi, dan penalaran, yang semuanya termasuk di
dalam ruang lingkup metode ilmu.
2. Langkah-langkah di dalam metode keilmuan.
Metode ilmu atau metode keilmuan meliputi suatu rangkaian langkah-langkah yang
tertib berupa 11 (sebelas) langkah, seperti:
1. pengamatan (observasi) awal terhadap gejala-gejala atau hasil percobaan
(eksperimentasi) yang ada.
2. menganalisis dan merumuskan masalah untuk menetapkan apa yang dicari serta
apa hipotesis (pangkal-pangkal dugaan) yang digunakan untuk memberi bentuk dan
arah pada telaah penelitian.
3. perumusan hipotesis, variabel, dan indikator yang melukiskan gelaja atau hasil
percobaan dimaksud.
4. pengujian hipotesis untuk melihat apakah hipotesis tersebut memadai dalam hal
meramalkan dan melukiskan gejala-gejala baru atau hasil percobaan yang baru.
5. pengumpulan data sesuai indikator yang ditetapkan.
6. pengolahan data dengan cara melakukan penggolongan (klasifikasi), interpretasi,
dan pengaturan data guna menunjukkan kesamaan-kesamaan, urutan, dan
hubugan-hubungan yang ada.
7. membuat kesimpulan-kesimpulan umum dan khusus dari setiap langkah keilmuan.
8. pengujian dan pememerikasan terhadap kebenaran-kebanaran kesimpulan tersebut.
9. pengembangan generalisasi-generalisasi.
10. pengujian dan pemeriksaan terhadap kebenaran hasil generalisasi.
11. penyempurnaan generalisasi.
Para ahli, umumnya, memiliki perbedaan aksentuasi terhadap rangkaian langkah-
langkah yang harus ditempu dalam metode keilmuan dimaksud. Ada yang
membatasi pada delapan langkah, sementara ada pula yang membatasi pada 4 -5
langkah. Penekanan pada delapan langkah itu meliputi:
1. mengamati situasi permasalahan yang benar-benar tidak menentu sehingga perlu
diteliti.
2. nyatakan masalah tersebut dalam istilah yang spesifik.
3. rumuskan suatu hipotesis kerja
4. merancang model penelitian yang terkendali dengan jalan pengamatan,
eksperimentasi, atau kedua-duanya.
5. pengumpulan data atau bahan bukti, berupa “data kasar”.
6. alihkan “data kasar” menjadi pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan.
7. membuat penegasan atau kesimpulan, serta peramalan.
8. menguji dan menyempurnakan kesimpulan tersebut untuk menjadi sebuah ilmu
baru yang diintegrasikan ke dalam kumpulan ilmu atau pengetahuan yang telah
mapan.
Langkah-langkah baku yang bisanya ditempuh dalam sebuah metode keilmuan ada
6 (enam), yaitu;
1. sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah. Manusia, di dalam hidupnya,
selalu menghadapi masalah, baik yang bersifat jasmani atau material, psikologis,
sosiologis, antropologis, tradisi budaya, agama, hukum, ekonomi, politik, interaksi,
dan sebagainya. Manusia, dalam hal itu, menggunakan pikirannya untuk mengamati
permsalahan tersebutm mengidentifikasikannya, dan mengajukan secara spesifik
dalam sebuah rumusan atau definisi permasalahan yang jelas sebagai hal yang patut
dipertanyakan dan dipecahkan atau dijawab. Metode keilmuan pada tahapan awal
ini seolah berusaha menempatkan realitas (obyek) tersebut dalam dunia fakta
dengan struktur-struktur hubungan logisnya yang dapat dinalar dan diamati secara
empiris melalui ransangan inderawi untuk dapat diberi arti atau makna tertentu.
Kesadaran atau kepekaan pikiran, pada tahap ini yang mengarah pada tahap
penyelidikan atau penelitian.

2. perumusan hipotesis. Hipotesis adalah suatu keterangan (pangkal-dugaan) yang


bersifat sementara untuk keperluan pengujian kebenaran, guna diperoleh kepastian
dan pembuktian. Misalnya, hipotesis bahwa “perindustrian yang tangguh hanya bisa
dikembangkan dalam suatu masyarakat ilmiah”. Suatu hipotesis bukanlah syarat
mutlak yang harus dibuat dalam setiap penelitian. Alasannya, sesuatu penelaan atau
penyelidikan ilmiah yang sudah jelas arahnya, kadang-kadang tidak memerlukan
hipotesis. Hipotesis diajukan dalam bentuk dugaan kerja atau teori yang merupakan
dasar dalam memecahkan atau mencari pembuktian tentang berbagai kemungkinan
mengenai obyek keilmuan yang diteliti. Hipotesis hendaknya diajukan secara khas
dengan dasar coba-coba (trial- and-error). Hipotesis hanya merupakan dugaan
beralasan, atau merupakan perluasan dari hipotesis sebelumnya yang telah teruji
kebenarannya, untuk diterapkan pada data terbaru. Hipotesis, dalam hal ini,
berfungsi mengikat data sedemikian rupa, sehingga hubungan-hubungan yang
diduga tersebut dapat digambarkan atau dijelaskan. Sebuah hipotesis memiliki unsur
empiris maupun rasional, karena, harus terdapat data empiris dalam bentuk fakta
yang dimati dan diukur, namun juga terdapat konsep-konsep yang bersifat logis-
kategoris, sehingga memberikan kemungkinan untuk dilakukan penjajakan. Hipotesis
bukan hanya berpegang teguh pada jalan pemikiran induktif yang melangkah secara
langsung dari fakta ke penjelasan. Justru, hipotesis juga menyusun pernyataan-
pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan secara deduktif
mengenai obyek yang diteliti, sekaligus membantu untuk memberikan ramalan dan
penemuan fakta baru.

3. pengamatan, eksperimentasi, dan pengumpulan data. Tahap pengumpulan data ini


merupakan unsur yang paling dikenal dalam metode keilmuan. Bahkan, banyak
orang cenderung menyamakan metode keilmuan dengan metode pengumpulan
data.

4. penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan ini mengarah pada
kegiatan penyusunan data di dalam kelompok, jenis, dan kelas. Bagi semua cabang
ilmu, usaha mengidentifikasi, menganalisisi, membandingkan, dan menafsirkan,
serta membeda-bedakan fakta yang relevan, tergantung pada sistem klasifikasi yang
disebut taksonomi, hal itu oleh ilmuwan modern, terus berusaha menyempurkanan
taksonomi keilmuannya masing-masing.

5. penyimpulan. Tahap penyimpulan dalam metode keilmuan merupakan tahap di


mana diturunkan atau ditarik kesimpulan-kesimpulan tentang terbukti–tidaknya
hipotesis atau penegasan-penegasan serta peramalan-peramalan tertentu mengenai
obyek penelitian dimaksud. Penyimpulan (inferensi) dapat dilakukan dengan
menggunakan proses-proses penyimpulan berdasarkan bentuk-penalaran (deduktif-
induktif) yang logis.

6. pengujian atau verifikasi hasil. Pengujian kebenaran (verifikasi) bertujuan untuk


menegaskan atau menyempurnakan alternatif-alternatif hipotesis berdasarkan
kenyataan yang sebenarnya, baik melalui pengamatan atau percobaan-percobaan
ulangan. Konsekuensinya, bila fakta yang diperoleh tidak mendukung hipotesis maka
hipotesis tersebut harus diubah dengan hipotesis lain dan proses penelitian atau
penyelidikannya diulangi kembali.
Akhirnya, meskipun kelihatannya lengkap dan meyakinkan, patut dikemukakan
beberapa catatan kritis tentang tahapan atau prosedur –prosedur metode keilmuan
tersebut, antara lain:
1. bahwa metode keilmuan adalah satu-satunya cara dalam rangka memperoleh
pengetahuan secara sah dan obyektif, namun, orang hendaknya tidak hanya
mempertahankan dunia pengetahuan yang luas itu sebatas apa yang dapat
diketahui lewat metode tersebut.

2. bahwa tiap penalaran atau tafsiran, mungkin saja benar sejauh apa yang
dikemukakan. Meski pun demikian, hal itu tetap terbatas pada sistem bahasa dan
sistem klasifikasi yang digunakan, sementara konsistensi dari pengetahuan keilmuan
atau pengetahuan ilmiah tidak sejelas apa yang diduga.

3. pengujian kebenaran ilmu dalam kerangka metode keilmuan dimaksud, pada


dasarnya bersifat pragmatis dalam menjelaskan hakikat kebagaimanaan dan
keapaan, meskipun demikian, tunjuan pengetahuan manusia ingin memahami
kenyataan tersebut secara utuh, apa maknanya, serta alasan eksistensinya, yang
semuanya tidak dapat dijelaskan oleh metode keilmuan dimaksud.

4. metode keilmuan tidak dapat menyajikan sebuah kebenaran pengetahuan secara


mutlak mutlak, pasti, lengkap, abadi, dan tidak berubah, justru, ia hanya menyajikan
pengetahuan yang mungkin, hipotesis, dan secara terus menerus berubah. Orang,
karenanya, harus terbuka terhadap kemungkinan penggunaan metode-metode lain
dalam mengisi pengetahuannya yang tidak dapat dijangkau oleh kegiatan keilmuan
dimaksud.
3. Konsep, Model dan Hipotesis dalam Metode Keilmuan.
Tata langkah dalam metode keilmuan di atas melibatkan berbagai konsep dan
hipotesis. Konsep dalam metode keilmuan merupakan ide umum yang mewakili
sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi
mengenai suatu hal khusus. Konsep merupakan alat yang penting untuk pemikiran
terutama dalam hal penelitian.
Konsep, dalam metode ilmiah atau metode keilmuan terwujud di dalam model dan
hipotesis. Model adalah suatu gambaran abstrak (citra) yang diperlukan terhadap
sekelompok fakta atau gejala. Misalnya, dalam penelitian terhadap pendidikan tinggi,
dapat digunakan model sebagai gambaran abstrak suatu sistem yang mempunyai
tiga bentuk, yaitu; input, proses, dan out put. Unsur yang diperlukan sebagai input
adalah mahasiswa serta sarana prasarana seperti buku pelajaran atau perpustakaan
dan laboratorium. Sementara, yang dapat dipandang sebagai out put adalah sarjana
yang yang dihasilkan atau dikonversikan melalui proses pembelajaran dan ujian.
Model dapat juag diambil dari benda fisik yang ada, misalnya, model sebuah
piramida yang digunakan dalam penelaan atau penjelasan mengenai struktur
sesuatu masyarakat. Hipotesis adalah suatu kerangka yang bersifat sementara untuk
kepentingan pengujian dan pangkal penyelidikan lanjut demi untuk pembuktian yang
lebih sempurna.
4. Metode keilmuan, Pendekatan, dan Teknik.
Ternyata, sering terjadi kekeliruan di mana orang sering menyamakan atau
mencampuradukkan antara metode keilmuan dengan pendekatan atau teknik.
Metode, pendekatan, dan teknik merupakan hal yang berbeda, walaupun saling
bertalian. Metode keilmuan adalah cara kerja atau prosedur keilmuan untuk
mendapatkan data dan mempergunakan data. Pendekatan adalah ukuran-ukuran
baku untuk memilih masalah atau data yang bertalian. Misalnya, pendekatan
berdasarkan tinjauan berbagai ilmu. Seperti; ilmu ekonomi, ilmu politik, atau
sosiologi. Pendekatan ilmu ekonomi adalah dengan menggunakan ukuran-ukuran
ekonomi untuk memilih masalah, pertanyaan, serta data yang digunakan untuk
membahas hal atau obyek keilmuan dimaksud. Pendekatan Sosiologi akan
menggunakan sudut tinjauan sosiologi, misalnya; ukuran-ukuran pranata sosial,
interaksi mantar manusia, atau sistem sosial, dan sebagainya untuk menjadi
kerangka atau dasar pembahasan. Jenis pendekatan berdasarkan ukuran-ukuran
baku ilmu-ilmu tersebut berbeda dengan metode keilmuan. Sebenarnya, tidak ada
metode psikologi atau metode sosiologi, tetapi pendekatan psikologis atau
pendekatan sosiologis.
Teknik, juga berbeda dengan metode keilmuan. Teknik merupakan cara-cara
operasional, dalam arti yang lebih terinci dan bersifat rutin dan mekanis untuk
memperoleh dan menangani data di dalam penelitian keilmuan. Misalnya, penelitian
mengenai gejala-gejala dalam masyarakat dapat menggunakan metode survei
dengan teknik penelitian lapangan (field work), teknik investigasi, daftar pertanyaan,
atau wawancara. Ilmu–ilmu kealaman, misalnya dapat menggunakan metode
pengukuran dengan teknik pemanasan atau teknik tekanan dengan bentuan
berbagai peralatan, seperti laboratoriun dan sebagainya.
Gambar No.6. Bagan Metode keilmuan

E. Sumber:
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan arti teori ilmu.
 jelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;

 jelaskan arti metode ilmu dalam tugas keilmuan;


 berikan penilaian anda mengenai baik –buruknya metode ilmu dalam tugas
keilmuan;

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:48

Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-11


FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-11
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN : PENGETAHUAN DAN ILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: SEJARAH KEILMUAN
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah memperlajarai topik ini, Anda diharapkan dapat:
 menjelaskan arti sejarah keilmuan;
 menunjukkan berbagai bentuk pergeseran paradigma keilmuan dalam sejarah
keilmuan abad Yunani Kuno.

 menilai ciri perkembangan ilmu abad modern;

 membedakan paradigma keilmuan abad modern dengan paradigma keilmuan


abad kontemporer.

I. Zaman Yunani Kuno


Sebagaimana pengetahuan, hakikat maupun sejarah perkembangan ilmu itu sendiri
merupakan sebuah problem di dalam filsafat. Pada Zaman Yunani Kuno, ilmu
dipandang sebagai bagian dari filsafat; pada saat lain, terpisah dari filsafat. Ilmu,
dulu dipandang sebagai disiplin tunggal (bersifat monistik), dan sekarang dipandang
sebagai seperangkat disiplin-disiplin yang dinamis dan terlepas-lepas berdasarkan
spesialisasi ilmu atau keahlian. Dahulu, ilmu dipandang sebagai hal yang berurusan
dengan kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul dengan
fenomena-fenomena (gejala-gajala fisik dan non fisik). Karenanya, ilmu kemudian
dikategorikan ke dalam tipe-tipe deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai ilmu). Filsafat dan ilmu
bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya sebagai hal yang
berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha meneliti dan mencari unsur-unsur dasariah alam
semesta. Usaha tersebut, sekarang disebut usaha keilmuan (usaha ilmiah).
Thales (640-546 s. M) merupakan pemikir pertama, yang dalam sejarah filsafat
disebut the Father of Philosophy (Bapak Filsafat). Banyak sarjana kemudian
mengakui Thales sebagai ilmuwan yang pertama di dunia. Bangsa Yunani
menggolongkan Thales sebagai salah seorang dari Seven Wise Men of Greece
(Tujuh Orang Arif Yunani). Thales memperkembangkan filsafat alam (kosmologi)
yang mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta.
Thales, dalam penyelidikan keilmuannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama
(causa prima) dari semua dari alam itu adalah “air” sebagai materi dasar dari
kosmis. Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika, astronomi, dan
matematika, dengan antara lain, mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya,
antara lain: bahwa bulan bersinar karena memantulkan cahaya matahari,
menghitung terjadinya gerhana matahari, dan membuktikan dalil-dalil geometri.
Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan, ditunjukkannya dalam hal pembuktian
dalilnya bahwa kedua sudut alas dari satu segitiga sama kaki adalah sama besarnya.
Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia adalah ahli matematika dunia yang
pertama dari Yunani. Para ahli dewasa ini, justru itu, menyebut Thales sebagai the
Father of Deductive Reasoning (bapak penelaran deduktif).
Pythagoras (572-497 S.M) adalah ilmuwan Yunani Kuno yang muncul ilmuwan
matematika. Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan intisari dari semua benda
serta dasar pokok dari sifat-sifat benda. Dalil Pythagoras itu demikian: “Number
rules the universe” (bilangan memerintahkan jagat raya ini). Ia berpendapat bahwa
matematika merupakan salah satu sarana atau alat bagi pemahaman filsafati.
Plato (428-348 s.M) adalah Filsuf besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang
menegaskan bahwa filsafat atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan
(spekulatif) tentang seluruh kebenaran. Plato, dalam hal ini, memandang ilmu
sebagai hal yang berhubungan dengan opini atau ajaran (doxa). Ia mengajarkan
bahwa geometri merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni, yang berusaha
membuktikan pernyataan-pernyataan (proposisi-proposisi) abstrak mengenai ide-ide
yang abstrak misalnya; segitiga sempurna, lingkaran sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles (382-322 s.M) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan demonstratif,
tentang sebab-sebab utama segala hal (causa prima). Ilmu, dalam hal ini, bersifat;
teoretis (ilmu tertinggi), praktis (ilmu terapan), dan produktif (ilmu yang
bermanfaat), semuanya dalam kesatauan utuh (tidak bersifat ilmu majemuk).
Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara lain; biologi, psikologi, dan politik. Ia
juga mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika), yang dalam hal ini
disebutnya dengan nama Analytika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pada
premis yang benar, dan Dialektika, yaitu ilmu penalaran yang berpangkal pikir pada
hal-hal yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua tulisan Aristoteles tentang ilmu
tentang penalaran (Logika) itu ditulis dalam 6 (enam) naskah yang masing-
masingnya berjudul; Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior
Analytics, Topics, Sophistical Refitations.
Jelasnya, perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang
dalam empat bidang keilmuan, yaitu; Filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika,
dan logika dengan ciri perkembangannya masing-masing.
II. Zaman Abad Pertengahan.
Selama abad pertengahan, ilmu atau scientia dipahami sebagai jenis pengetahuan
yang dipunyai Allah tentang manusia. Ilmu, karenanya, dilihat semata-mata dalam
perspektif ilmu teologi, artinya, ilmu memiliki kedudukan dan peranan sebagai
pelayan teologi. Trivium, yaitu Gramatika, Retorika, dan Dialektika, dan Quardrivium,
yaitu Aritmatika, Geomerti, Astronomi, dan Musik, di pihak lain, memuat sejumlah
studi yang dianggap sebagai ilmu-ilmu dalam arti yang kurang ketat. Averroes,
menganggap being (yang –ada) sebagai istilah yang seragam- sama persis (univok)
untuk memandang ilmu sebagai pengatahuan abadi gai yang berurusan dengan ke-
apa-an semua hal.
c. Zaman Abad Modern
Ilmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul tokoh-
tokoh pembaharu seperti; Galileo-Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, Rene
Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika dan metode
eksperimental untuk mempelajari alam. Ilmu, akhirnya berkembang dengan sifatnya
yang eksperimental, bercabang-cabang, dan partikular (saling terpisah), serta
otonom. Bahkan, sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan spesialisasi
sebagai ciri keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal zaman modern
telah mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu eksperimental.
Roger Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan melibatkan
kegiatan-kegiatan pengamatan (observasi), prosedur metodik (induktif), maupun
matematika, yang dianggap lebih tinggi dari ilmu-ilmu spekulatif (misalnya teologi),
yang dikembangkan sebelumnya pada abad pertengahan. Paham keilmuan tersebut,
kemudian lebih diperkuat lagi oleh Francis Bacon, yang menandaskan peranan
metode induktif di dalam ilmu. Francis Bacon menunjukkan bahwa metode induktif
merupakan jalan satu-satunya menunju kebenaran ilmu, serta menunjukkan
kegunaan ilmu itu sendiri.
Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena mencerminkan aneka fakultas
(kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dari kemampuan akal,
sementara sejarah berasal dari kemapuan ingatan. Thomas Hobbes, dikemusian
hari, membagi ilmu-ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang berasal dari fakta seperti
nyata dalam ilmu-ilmu empiris -eksperimental, dan ilmu yang berasal dari akal
seperti nyata dalam ilmu-ilmu spekulatif. Galileo-Galilei menjalankan sepenuhnya
metode yang digariskan oleh Roger Bacon. Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia
dari Itali), ilmu berkembang dari filasafat alam, yang lebih dikenal sebagai ilmu
alam, melalui pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara.
Sebagai ilmuwan matematika, ia mengajarkan sebuah ucapannya yang sangat
terkenal, yaitu, “Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat
dibaca dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan
membaca huruf-huruf yang dipakai untuk menyususnnya, yaitu matematika”.
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan Ishak Newton.
Menurut Newton, inti keilmuan adalah pada pencarian pola data matematis, dan
karena itu, ia berusaha membongkar rahasia alam dengan menggunakan
matematika. Ilmuwan dunia dari Inggris ini berhasil merumuskan sebuah teori
tantang “gaya berat” dan “kaidah-kaidah mekanika” yang semuanya tertulis melalui
karyanya yang berjudul; Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (azas-azas
matematika dari filsafat alam), diterbitkan tahun 1687. Perkembangan pada
kemudian hari, ternyata Philosophia Naturalis memisahkan diri dari filsafat dan para
ahli menyebutnya dengan nama Fisika.
Jelasnya, pandangan keilmuan abad modern yang berciri empiris-eksperimental
dengan pendekatan induktifnya yang ketat, telah dikembangkan secara lebih
progresif oleh Ishak Newton dalam sebuah perspektif keilmuan yang berciri
positivistik.
Rene Descartes, menunjukkan sebuah kecenderungan lain di dalam paham
keilmuannya. Kenyataan tersebut makin menunjukkan ciri perkembangan keilmuan
modern yang bersifat majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Menurut Descartes,
ilmu tidak memiliki basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan
dalam problem apa pun. Ilmu memiliki keterkaitan bathiniah dengan kepastian dan
sungguh-sungguh disejajarkan dengan paham abad pertengahan tentang premis-
premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia keilmuan modern mengalami perkembangan dengan munculnya cabang-
cabang keilmuan modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat penerapan
metode empiris yang makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan yang lebih
lengkap. Bahkan, perkembangan tersebut disebabkan pula oleh adanya arus
komunikasi antarilmuawan yang senantiasa meningkat. Hal mana, lebih menonjol
pada tahun 1700-an. Setalah memasuki usia dewasa, cabang-cabang ilmu tersebut
memisahkan diri dari filsafat, sebagaimana yang terjadi dengan Fisika. Pemisahan
tersebut pertama-tama dilakukan oleh biologi, pada awal abad kesembilan belas
(abad XIX), dan kemudian psikologi, yang kemudian di susul lagi oleg sosiologi,
antropologi, ilmu ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan dunia keilmuan modern
tersebut ditentukan oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim pertentang (konfik dan
kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte mengkonstatasi adanya
kecenderungan keilmuan yang makin mengarah dari spektrum keabstrakan,
misalnya, matematika yang kian berkembang menunju tahap positif dalam ilmu
kemasyarakatan yang utuh dan sempurna (Sosiologi). Tahapan perkembangan ilmu
dimaksud sesuai urutan pemunculannya di dunia. “Positivisme” dalam keilmuan,
terletak pada pernyataan bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi) merupakan unsur
dominan dalam setiap bidang pengalaman manusia. Tahapan perkembangan ilmu
tersebut disebut hukum perkembangan.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan Marx dengan
ajaran dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai sesuatu gerak linear
dan "tertutup". Artinya, mereka melihat proses perkembangan pemikiran atau
pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan tidak secara utuh
(holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu pun cenderung
dilepaskan secara total dari keseluruhan realitas kemanusiaan yang merupakan
sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan pengetahuan dan
ilmu hanya berusaha untuk memenggal-menggal dan mengambil sebagian saja dari
realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi obyek atau dasar ontologis
dalam mengembangkan ilmunya. Ontologi materialistik ini telah melahirkan
pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta mencetakkan orientasi
kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Tentunya, Comte sendiri akan kecewa bila menyaksikan bahwa apa yang
diramalkannya ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tahap tertinggi sains atau
ilmu positif yang diramalkannya sebagai pengetahuan positif sehingga ilmu positif
(sains) akan memberikan jaminan kepastian dan kejelasan akhir terhadap hakikat
ilmu, justru semakin membuka permasalahan-permasalahan baru yang sifatnya
problematis tiada hentinya. Permasalahan ini disebabkan oleh adanya kenyataan
bahwa ilmu pengetahuan telah berkembang secara nonkumulatif.
Terlihat jelas bahwa, setelah mencapai puncak vitalitasnya yang disebut sebagai
hakikat ilmu tertinggi yang berciri positivis itu, ternyata peradaban manusia
cenderung kehilangan tenaga budayanya dan kemudian runtuh karena kehilangan
kreativitas dan fleksibilitasnya. Struktur-struktur sosial menjadi kaku, kehidupan
semakin diwarnai oleh disintegrasi antarelemen kemanusiaan yang serba dinamis
dan berubah. Semuanya, seolah-olah kehilangan keseimbangan serta daya temunya.
"Positivisme" secara pasti, telah mengabaikan realitas sosio-historis manusia yang
utuh dan dinamis itu di dalam alam pengetahuannya.
Comte, sejalan dengan hukum perkembangan dimaksud, menciptakan
penggolongan pengetahuan dan ilmu. Ia menggambarkan bagaimana ilmu dan
pengetahuan itu berkembang atas dasar gejala-gejala yang dihadapi baik pada
tingkat yang sederhana sampai yang paling kompleks. Hal itu dilakukan atas dasar
sejarah perkembangan ilmu yang dipahaminya. Akhirnya, tersusunlah enam jenis
ilmu pengetahuan dasar dengan menempatkan fisika sosial atau sosiologi dengan
statistikanya sebagai ilmu yang paling tinggi.
Auguste Comte, untuk itu, mengembangkan metode keilmuannya yang khas dengan
memadukan dalamnya unsur observasi, eksperimentasi, dan metode sejarah. Ia
dalam hal ini, telah berhasil membangun suatu paham keilmuan baru yang
memadukan “Rasionalisme” a l a Descartes dengan “Empirisme” Francis Bacon. Hal
ini sejalan dengan maksud pokok Auguste Comte, yaitu bahwa ilmu harus selalu
dikaitkan dengan pendiriannya dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis.
Akibatnya, makna keilmuan selalu bersifat "pragmatis” dan menjadi suatu pilihan
sebagai alat (instrumen). Comte untuk itu, berusaha mengkategorikan ilmu dalam
enam kategori kegunaan yang sifatnya praktis, yaitu:
Pertama, Comte menempatkan ilmu pasti (matematika) sebagai dasar bagi ilmu
pengetahuan. Comte dengan begitu yakin menyatakan bahwa hanya ilmu pastilah
yang merupakan satu-satunya ilmu yang mempunyai kedudukan obyektif. Hal ini
disebabkan ilmu pasti memiliki sifat yang tetap, terbatas pada akal, dan pasti melalui
apa yang dilakukan dalam penyajian "kalkulus"-nya. Menurutnya, melalui metode-
metode ilmu pasti, orang akan memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang
sebenarnya, yaitu ilmu pengetahuan dalam tingkatnya yang "tepat dan sederhana"
namun obyektif (terukur secara pasti).
Kedua, ilmu perbintangan (astronomi) yang berfungsi menyusun hukum-hukum ilmu
pasti tersebut di atas dalam hubungan dengan gejala benda-benda langit. Semua itu
berhubungan dengan cara-cara menerangkan bagaimana bentuk, ukuran,
kedudukan, serta gerak benda-benda langit seperti bintang, bumi, bulan, atau
planet-planet lain yang semuanya berhubungan dengan observasi langsung si
subyek.
Ketiga, ilmu alam (fisika). Menurutnya, melalui observasi dan eksperimen, ilmu-ilmu
fisika atau ilmu alam menunjukkan hubungan-hubungan yang mengatur sifat umum
benda yang dikaitkan dengan masa. Hubungan-hubungan tersebut berada dalam
keadaan yang memungkinkan molekulnya tidak berobah sebagai suatu himpunan.
Selanjutnya, Comte juga berusaha dengan hukum ilmu fisika ini untuk meramalkan
secara tepat semua gejala yang dapat ditunjukkan oleh suatu benda yang dalam
keadaan tertentu. Kegunaan paktis ilmu alam atau fisika ini, karena sifat
keteramalannya atas realitas obyeknya yang bersifat tetap dan tidak berubah atau
bergonta-ganti.
Keempat, ilmu kimia (chemistry) yang berfungsi untuk membuktikan adanya
keterkaitan yang luas di antara ilmu-ilmu seperi dalam ilmu hayat (biologi) dan
bahkan dengan sosiologi. Hubungan ini tentu lebih luas dari ilmu alam. Metode yang
digunakan dalam bidang ini adalah observasi dan ekperimentasi.
Kelima, ilmu hayat (fisiologi atau biologi). Jelasnya, pada tingkat ini, ilmu telah
berhadapan secara langsung dengan gejala-gejala kehidupan sebagai unsur yang
lebih kompleks. Umumnya, perkembangan ilmu pada tahap ini disertai dengan
adanya perobahan, karenanya, belum mencapai tahap yang tetap sebagai ilmu
positif.
Keenam, ilmu tertinggi dalam ilmu positif yaitu ilmu fisika sosial (sosiologi). Fisika
sosial berfungsi untuk menghadapkan ilmu pada hakikat kehidupan yang lebih
kompleks, lebih konkret, dan lebih khusus dalam ikatan dengan suatu kelompok
manusia. Menurut Comte, fisika sosial atau sosiologi merupakan suatu bidang yang
meliputi segi-segi yang statis maupun dinamis mengenai masyarakat. Justru itulah,
Comte menunjukkan bahwa metode yang terbaik untuk ini adalah observasi.
Alasannya, setiap pengetahuan selalu meminta kesaksian dan pembuktian yang jelas
dan langsung. Berdasarkan penggolongan di atas, Comte hendak menegaskan
bahwa perkembangan ilmu pengatahuan tidak akan menuju ke alam teori murni
tetapi pragmatis dalam arti positif, yaitu: nyata, bermanfaat, pasti, tepat, dan
teramati. Windelband, di kemudian hari, mengikuti pola pembagian ilmu dimaksud
dengan menunjukkan adanya dua golongan ilmu, yaitu; ilmu-ilmu alam sebagai
nomotetik dan ilmu-ilmu kebudayaan sebagai idiografik. Windelband, untuk itu,
mendukung pandangan bahwa ada dua tipe dasariah ilmu dengan suatu perbedaan
jenis yang nyata di antara keduanya.
Kultur keilmuan positif yang dikembangkan Auguste Comte, mempunyai peranan
yang sangat besar dalam perkembangan keilmuan modern. Nampaknya, solah-olah
terdapat semacam jaminan bahwa "hanya ilmu positif (sains)-lah yang pasti dan
benar satu-satunya". Ilmu positif telah dibuat menjadi pemegang kedaulatan mutlak
atas kepastian dan kebenaran. Positivisme awal yang menekankan pada segi-segi
rasional-ilmiah, baik pada tataran epistemologi maupun ontologi, akhirnya,
direduksikan pada ilmu positif yang dianggap mampu menerangkan kenyataan
secara lengkap dan sempurna. Reduksi dimaksud tidak hanya dalam ide atau
pemikiran, tetapi menembus sampai ke dalam inti kehidupan manusia dan alam
secara total.
Auguste Comte, akhirnya, telah mereduksikan bukan hanya ilmu, tetapi justru
epistemologi itu sendiri ke dalam tuntutan-tuntutan “Positivisme”-nya yang memiliki
egoime sektoral di dalam ilmu-ilmu. Paham positivisme keilmuan hanya mau dan
mampu melihat manusia sebagai realitas bendawi, tanpa mampu menjangkau segi-
segi subyektivitas manusia dalam seluruh lingkup pengalaman, kedudukan, atau
penyikapannya yang luas, utuh, dan menyeluruh. Pandangan Positivisme Comte
yang begitu kuat terhadap masalah-masalah sosial, membentuk pandangan
epistemologi yang bercorak pragmatis. Akibatnya, epistemologi positivisme ini
hampir tidak mampu lagi untuk menjangkau segi-segi historisitas manusia. Comte
lupa bahwa segi-segi sosio-historis manusia inilah yang mengantarkannya untuk
melahirkan pandangan, gagasan, serta cara berpikir, dan aspirasi-aspirasi baru yang
dinamis. Semua itu bersifat terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru di dalam
pengetahuan dan kehidupan yang terus bergerak maju dengan berbagai
kemungkinan yang serba baru dan berubah-ubah.
Comte justru telah menyingkirkan realitas sosio-historis, dan bahkan realitas
sosiologis itu sendiri di dalam teorinya. Comte lupa bahwa sebenarnya sosiologi yang
dicita-citakannya tidak memiliki hubungan dengan apa-apa, baik dengan tradisi
ontologi maupun ilmu-ilmu alam. Comte lupa bahwa Sosiologi adalah bidang ilmu-
ilmu historis-hermeneutis yang menyelidiki bidang intersubyektif yang berubah-
ubah. Sosiologi, karenanya, harus berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam
pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Perhatian Sosiologi bukan pada fakta
mati melainkan pendapat orang atas interaksi mereka. Hal yang mau dicapai dalam
setiap interaksi adalah pemahaman timbal-balik.
Michael Curtis (1981:147-152) menjelaskan bahwa sekurang-kurangnya pandangan
Auguste Comte ini telah memacu Progresivisme dan Pragmatisme. Artinya, dengan
mengartikan perkembangan sebagai "kemajuan", Comte telah mempertebal rasa
optimisme, malah lebih dari itu, Comte telah memperkokoh mitos-mitos keilmuan
modern. Munculnya positivisme sebagai penentu kemajuan pengetahuan positif
sekaligus telah menggusur hakikat filsafat, sebagai kekuatan kritis-spekulatif dalam
alam keilmuan. Pengetahuan, akhirnya, menjadi sesuatu yang lebih bersifat
instrumental dan teknologis. Kemajuan pengetahuan atau masyarakat dipahami
semata-mata sebagai kemajuan fisik material. Ciri kemajuan demikian itulah yang
diterapkan sebagai sebuah kebutuhan primer dalam epistemologi. Akibatnya, tidak
ada pertautan dialektis antara filsafat dan ilmu atau teori dan praksis, tetapi melulu
hanya kegunaan praktis.
Ilmu bergerak secara linear mencari kegunaan praktis bagi suatu kemajuan.
Sebaliknya, aspek-aspek fundamental lain ditinggalkan, bahkan diabaikan sebagai
hal yang kosong dan sia-sia karena tidak memiliki kegunaan praktis. Ciri kegunaan
praktis tersebut kemudian dirasionalisasikan pada tataran abstraksi sehingga
mendapat legitimasi yang mutlak secara ideologis, dan sekaligus menjadi alat
represif. Akibatnya, tidak dapat dihindari terjadinya krisis kemanusiaan dan krisis
kosmologis sebagai hasil nyata dari kuatnya pengaruh pemikiran tersebut.
Akibatnya, Positivisme Auguste Comte telah melahirkan pula sikap monistik dan
deterministik atas realitas fisik material.
Praktisnya, "Positivisme" hampir tidak mampu menghayati manusia dalam
hakikatnya yang "monopluralis" (Notonagoro 1987:94-98), yaitu kesatuan dan
keutuhan dari unsur-unsur atau tarafnya yang majemuk tetapi sekaligus manunggal.
Unsur-unsur atau taraf kehidupan tersebut, meskipun mempunyai aktualitas dan
potensialitas sendiri-sendiri, namun tetap menggambarkan realitas kemanusiaan
secara utuh. Unsur-unsur tersebut, karenanya, tidak mungkin direduksikan pada
unsur-unsur atau taraf tertentu. Penekanannya yang natural-deterministik dalam
memahami proses perkembangan pengatahuan dalam masyarakat tersebut telah
mengakibatkan kecenderungan sektoral yang kuat. Akibatnya, orang memandang
manusia maupun masyarakat alam sebagai hal yang harus berkembang menurut
proses-proses alami yang sifatnya linear dan mekanistik. Kerangka pemahaman dan
sikap ilmiah tersebut, telah mendegradasikan manusia dari realitas keberadaanya
yang monopluralis itu.
Ternyata, apa yang diartikannya dengan kemajuan hanyalah sesuatu yang teknis
sosiologis. Paradigma utamanya bersifat industrialis dan teknologis yang
memaksakan suatu model keseragaman (uniformitas). Akibatnya, keseragaman
ditempatkan sebagai "diktator kemanusiaan" yang tinggi atas semua situasi
kemanusiaan dan kelompok masyarakat. Paradigma tersebut, terus bergerak maju
secara linear dengan semangat penaklukannya tanpa mempedulikan aspek
kemajemukannya yang bersifat spesifik. Watak Positivisme, yang dicirikan dengan
mesin atau industri, ternyata telah mempersenjatai pengetahuan sebagai sebuah
"mesin perang" bagi kepentingan penguasaan yang bersifat represif total.
Krisis sosio-historis atau krisis dialektika dalam epistemologi yang memuncak pada
zaman “Positivisme” ini justru muncul begitu tajamnya pada Von Feuerbach.
Feuerbach (1804-1872) sangat anti terhadap teologi. Analisanya secara langsung
menyentuh pada hakikat Tuhan. Ia memandang bahwa Idealisme Kant maupun
Hegel tidak lain adalah puncak Rasionalisme yang masih dikungkung oleh teologi,
karennya, tidak memberi kemajuan dan kepastian apa pun terhadap manusia. Von
Feuerbach sampai pada kesimpulan yang sungguh drastis bahwa sumber
penghambat segala kemajuan ilmu, pengetahuan, maupun bidang lainnya adalah
kepercayaan kepada Tuhan.
Von Feuerbach menegaskan bahwa sesungguhnya segala konsepsi mengenai Tuhan
tidak lain adalah produk imajinasi manusia sendiri. Menindaklanjuti pandangannya
itu, ia menganjurkan agar kepercayaan kepada Tuhan itu ditinggalkan saja.
“Empirisme” sudah mengajarkan bahwa yang pasti dan yang benar itu tidak lain
adalah hasil pengamatan inderawi (sensibel). Akhirnya, Von Feuerbach menandai
gejala perubahan mandasar dari alam lama ke alam modern sekular. Perubahan ini
tidak hanya terbatas pada sektor agama, akan tetapi sampai kepada Tuhan itu
sendiri. Kenyataan ini semakin ditandai oleh kemanunggalan antara “Sekularisme”
dengan “Ateisme”.
“Positivisme Kontemporer" ternyata lebih tragis dalam mengembangkan dirinya.
Paham Positivisme ini bukan saja menampilkan dirinya sebagai sebuah ajaran, tetapi
lebih daripada itu sebagai sebuah sikap ilmiah dan bahkan sikap hidup. Intinya
adalah, pada keinginannya yang kuat untuk membersihkan diri dari kepentingan-
kepentingan praktis manusia yang berubah-ubah. Positivisme Logis atau Neo
Positivisme yang disebut Positivisme kontemporer ini berusaha membangun suatu
bentuk pengetahuan ilmiah murni dan sejati dengan suatu sistem bahasa yang
universal. Aliran "Positivisme kontemporer” ini dengan demikian menempatkan
dirinya pada puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan manusiawi dan
awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan.
"Positivisme Logis" menganggap ilmu atau pengetahuan mengenai fakta obyektif
sebagai ilmu atau pengetahuan yang sah. Melalui ini, aliran “Positivisme" ini
berusaha mengakhiri riwayat ontologi atau metafisika. Meskipun demikian, ternyata
“Positivisme” tidak sanggup melepaskan diri secara sungguh dari ontologi malah
telah membentuk suatu ontologi baru yaitu teori murni yang bebas dari kepentingan
manusiawi.
Sosiologi atau ilmu-ilmu historis-hermeneutis pun, akhirnya, telah mengklaim diri
sebagai ilmu positivis dan memantapkan posisinya sebagai "ilmu ilmiah", serta
berusaha mengambil sikap sebagai teoretis murni. Akibatnya, Sosiologi atau ilmu-
ilmu sosial tersebut tidak lagi berusaha memahami hal-hal yang terjadi di dalam
pergaulan antarmanusia di dalam masyarakat. Sosiologi tidak lagi memperhatikan
pendapat-pendapat orang atas interaksi mereka, atau pemahaman timbal-balik,
tetapi terpaku pada fakta bendawi dan rumusan teori murni yang mati.
Sikap positivistis yang dianut oleh Ilmu-ilmu sosial mengandung tiga pengandaian
yang saling berkaitan: Pertama, bahwa prosedur-prosedur metodis ilmu-ilmu alam
dapat langsung diterapkan pada ilmu sosial. Setiap gejala subyektivitas manusia,
misalnya, kepentingan maupun kehendak manusiawi, serta tingkah-laku sosial para
subyek tidak mengganggu obyek pengamatannya yang sesungguhnya. Akibatnya,
obyek pengamatan ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah. Kedua, hasil-
hasil penyelidikan itu dapat dirumuskan dalam bentuk "hukum-hukum" seperti dalam
ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yang menyediakan
pengetahuan yang bersifat "instrumental murni". Pengetahuan demikian, harus
digunakan untuk keperluan apa saja sehingga harus dibersihkan dari unsur etis dan
tidak terikat pada dimensi politis manusia. Teori sosial, seperti ilmu-ilmu alam,
bersifat netral dan bebas nilai.
Sejarah filsafat mencatat bahwa, "Positivisme kontemporer" ini lebih ditonjolkan
dalam pemikiran Lingkungan Wina. Kelompok tersebut dikenal dengan "Positivisme
Logis" atau "Empirisme Logis”, atau juga "Neo Positivisme". Sama seperti Comte,
aliran tersebut juga bercita-cita untuk menghasilkan suatu sistem pengetahuan yang
terpadu yang disebut pengetahuan sejati umat manusia. Mereka menolak perbedaan
antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial dan berpendirian bahwa, membangun
suatu kesatuan keilmuan merupakan tugas sejarah filsafat.
Menurut Positivisme Logis, tugas filsafat adalah menganalisis kata-kata atau
pernyataan-pernyataan dan untuk membuktikan arti atau maknanya. Mereka dengan
begitu ambisi berusaha mengusahakan suatu sistem tunggal dalam suatu sistem
konseptual, yaitu suatu bahasa bagi semua ilmu. Akibatnya, pengetahuan hanya
dipahami sebagai urusan permainan bahasa belaka. Menurut mereka, bahasa bagi
ilmu pengetahuan terpadu itu adalah bahasa positivistis, yaitu tuntutan-tuntutan
tentang fakta obyektif. Prinsipnya, di luar ucapan-ucapan positivistis, segala hal lain
(misalnya; tuntutan-tuntutan moral, ucapan-ucapan estetis, dan keyakinan) tidak
bernilai karena tidak dapat diverifikasikan. Pandangan demikian, patut ditanggapi
secara kritis sebagai sebuah usaha saintisme yang tidak memahami hakikat ilmu
sebagai suatu bentuk pengetahuan, tetapi telah menyamakannya dengan
pengetahuan itu sendiri.
Pengaruh Positivisme dalam keilmuan modern secara luas dan mendasar
membentuk berbagai aliran pemikiran dan keilmuan yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan kultur modern. “Positivisme” telah membawa pula pengaruh teknologi
yang terasa penting dalam epistemologi. Teknologi ternyata sangat mewarnai
problem keilmuan modern dan secara khusus perkembangan sistem pengetahuan
modern. Umumnya, perkembangan ilmu dan teknologi berjalan secara terpisah,
namun setelah perkembangan Positivisme maka terjadi pembauran di antara
keduanya. Tuntutan pembauran ini didasarkan pada kebutuhan akan peningkatan
alat ukur untuk mencapai kepastian yang makin sempurna dalam rangka
pengetahuan ilmiah.
Secara implisit, perkembangan teknologi selalu mempunyai pendasaran
epistemologis yang sifatnya implisit di dalamnya. Selanjutnya, setelah
perkembangan modern maka pertumbuhan teknologi makin mengungkapkan aspek
epistemologis secara lebih eksplisit. Melalui ini, orang dapat berbicara mengenai
teknologi sebagai bagian dari pertumbuhan epistemologi. Perkembangan di
kemudian hari menunjukkan bahwa teknologi makin terkait dengan proses
industrialisasi tetapi juga makin terpadu dengan perkembangan ilmu. Eksperimen
tidak saja di bidang ilmu-ilmu alam, tetapi juga di bidang biologi dan bahkan
psikologi. Akibatnya, terjadilah perpaduan antara perkembangan ilmu dengan
teknologi. Profesi keilmuwan, akhirnya, banyak terkait dengan perkembangan
teknologi.
Martin Heidegger mengkritik problem teknologi dalam pengetahuan dengan
menunjukkan bahwa: “Teknik dapat menamatkan metafisika" dan sekaligus
menunjukkan sebuah ontologinya yang khas, yaitu benda atau obyek”. Jelasnya, bila
dalam Abad Pertengahan manusia dipandang dan diakui derajatnya sebagai
"makhluk" maka sebaliknya dalam teknologi, manusia dipandang sebagai benda atau
materi yang siap ditangani, dikuasai, dimiliki, dan dimanipulasi. Baginya, manusia,
masyarakat, moral, dan etik, adalah obyek materi atau sekedar sebagai bahan
mentah bagi suatu penanganan teknologis.
Problem teknologi dalam epistemologi modern ternyata merupakan proses radikal
terhadap rezim “Positivisme”. Martin Buber menunjukkan bahwa dalam situasi
demikian, hubungan antarmanusia bersifat hubungan "Aku-Engkau", dirubah
menjadi "Aku-Itu" yang ditandai dengan nafsu eksploitasi, manipulasi, dan rekayasa
atas diri sesama manusia (Bertens 1983:155-164). Menurut pendapat umum, teknik
biasanya mempunyai fungsi instrumental. Teknik dalam hal ini dipandang sebagai
sarana yang digunakan manusia. Ternyata, justru dalam teknologi justru ditemui hal
yang sunguh berlainan. Kenyataan ini disebabkan karena apa yang dirancang
manusia sebagai sarana untuk menguasai dunia, menjadi sukar dikuasai sendiri,
malah tidak dapat dikuasai. Anehnya, apa yang diciptakan manusia untuk menguasai
dunia, sekarang telah berbalik menguasai dirinya sendiri. Kini, manusia ditempatkan
dalam keadaan itu, sehingga manusia secara riil dikuasai oleh teknik. Akibatnya,
manusia tidak lagi memiliki kebebasan dan kekhasan diri
sebagai "ego" atau "subyek", ia adalah obyek yang dikuasai.
Prinsipnya, dalam teknologi, manusia terseret ke dalam dunia mekanisme yang kaku
dan ketat. Akibatnya, manusia terasa tidak mampu lagi untuk memandang hal-hal
lain yang merupakan misteri-misteri kehidupan yang bersifat hakiki. Bahayanya
adalah, bahwa manusia akan kehilangan hakikat kemanusiawiannya yang memiliki
keterarahan pada kepenuhan eksistensinya. Khusus, dalam hal ini, manusia akan
kehilangan kepekaan dalam mendengarkan perubahan-perubahan dan berbagai
fonomena misteri yang kiranya akan datang. Harus diakui, manusia tetap
membutuhkan teknologi sebagai sarana (bukan tujuan) pengembangan hidup,
namun, teknologi itu sendiri harus terbuka pada pembaharuan dan pemurnian
secara terus-menerus atas prinsip kemanusiaan. Melalui itu, teknologi dapat
berperan dalam tugas kemanusian yang sifatnya utuh.
Salah satu ciri perkembangan keilmuan modern yang begitu berkembang pada abad
XX (abad kedua puluh), yaitu, lahirnnya ilmu-ilmu baru yang tampaknya bebas,
seperti; logika formal, Linguistik (ilmu bahasa), teori tanda, Ilmu perilaku (Behaviour
science) yang menggabungkan berbagai ilmu seperti, sosiologi dan antropologi
untuk menelaah perilaku manusia, serta ilmu anatoni sosial (Social anatomy
Science), Antropologi ragawi, dan Ethology (ilmu tentang pola perilaku organisme).
Terlihat, bahwa desakan pemisahan ilmu-ilmu modern dari filsafat karena perbedaan
ciri-cirinya yang sangat menyolok. Filsafat, pada dirinya bersifat (berciri) spekulatif,
sementara ilmu-ilmu modern berciri empiris, dengan menerapkan metode empiris,
eksperimental, induktif, dan positivistik. Ciri empiris itulah yang membentuk ciri
umum dunia keilmuan modern.
Akibatnya, dunia keilmuan modern cenderung menganggap, bahwa ilmu-ilmu sosial
dan psikologi, untuk diakui keabsahannya secara ilmiah maka harus pula
menggunakan metode-metode empiris eksperiental, yang isinya terbatas pada data-
data yang dapat dibuktikan dengan fakta pengamatan serta generalisasi dan
aplikasi.
IV. Zaman Abad Post Modern (Pembaharuan atas klaim-klaim keilmuan modern).
Jurgen Habermas, sebagai filsuf dan pemikir abad Post modern (abad kontemporer)
tampil bersama para filsuf kritis dalam komunitas “Teori Kritis”. Habermas ingin
membaharui pandangan keilmuan modern dalam sebuah pendekatan kritis.
Menurutnya, keilmuan modern telah terjebak dan kebekuan dan kemandekan klaim-
klaim “Posistivisme” sempit, yang cenderung membatasi ilmu pada gejala alam,
tanpa berusaha melihat dimensi sosiologi keilmuan itu sendiri.
Menurut Habermas, sejarah besar imu sosial menunjukkan adanya tiga momen
pemikiran yang sekaligus menggambarkan tiga periode kritis di dalam sejarah ilmu
sosial itu sendiri. Ketiga momen kritis dalam sejarah ilmu sosial itu digambarkan
dalam skema pemikiran berikut;
(1). Ilmu Sosial Positif (Habermas 1972:72-90, bdk. Horkheimer dan Adorno 1969:
18-80). Umumnya, para analisis sejarah menyebut penganut aliran ini dengan
“Positivist social science” (PSS). Momen pemikiran pertama inilah yang meletakkan
dasar-dasar “Ideologi Positivisme” baik pada tataran substansial maupun cara kerja
atau metodenya pada alam pengembangan ilmu-ilmu sosial. Kenyataan tersebut
telah mempengaruhi periode-periode pengembangan ilmu sosial di kemudian hari,
dan mencetakan pada sebuah watak positivis yang khas.
Positivist social science (PSS) ini lebih merupakan sebuah perlawanan radikal
terhadap pemikiran ilmu sosial sebelumnya yang bersifat spekulatif dan metafisik
(perenial). Ambisi ilmu sosial positivis ini adalah menyusun sebuah tatanan
masyarakat baru yang disebutnya sebagai masyarakat positif. Tipe masyarakat
positif idaman adalah masyarakat modern-maju yang mengembangkan diri secara
ketat di bawah dominasi ilmu dan industri sebagai spirit sosialnya.
Menurut penganut aliran ini, orang harus mengabdi pada prestasi intelektualitas
yang luhur tanpa harus dipengaruhi oleh kekuatan atau keyakinan lain di luarnya
yang tidak memiliki jaminan yang pasti. Akibatnya, hilanglah makna nilai, etika, dan
unsur-unsur subyektifitas seperti rasa cinta, persahabatan sejati, dan pengharapan
di dalam diri manusia. Unsur-unsur itu harus ditinggalkan di dalam masyarakat
positif karena tidak memiliki obyektivitas dan bahkan tidak bermakna, sebab dapat
menghambat “progres”.
Ilmu Sosial Positif , akhirnya, menyeret manusia atau masyarakat positif untuk jatuh
ke dalam bahaya “Materialisme” dan “Hedonisme”, tanpa bersikap kritis
terhadapnya. Humanitas yang ingin diperjuangkan bukanlah humanitas yang utuh
tetapi humanitas yang terpengal-penggal. Manusia atau masyarakat positif harus
memutuskan hubungannya dengan masa lalunya, dinamika kejiwaannya, dan
tuntutan-tuntutan sosialnya yang luas dan komplementer. Selanjutnya, manusia
positif seakan hidup di bawah arus determinasi dan penguasaan total ilmu dan
teknologi atas nama kemajuan. Hakikat pluralitas manusia yang kaya digantikan
dengan monisme yang kering serta tekanan yang begitu kuat terhadap “the human
affairs”.
Ambisi ilmu sosial positivis telah mengubah aspirasi dan otonomi, serta cinta
kemanusiaan menjadi sebuah anarkhisme dan perbudakan atau kediktatoran yang
menindas. Muncullah kecenderungan anarkhis yang kuat dalam diri manusia positivis
sehingga orang merasa bebas berbuat atau bertindak sendiri dan mencari jalan
sendiri (laissez faire, laissez aller). Hukum evolusi yang kemudian diperkuat dengan
semboyan struggle for life dan survival of the fittest telah memaksakan orang untuk
berjuang habis-habisan demi hidup atau demi kekuasaan, tanpa cinta kasih atau
pengampunan.
Dewasa ini pun, kita semakin terus menyaksikan adanya keganasan, teror,
peperangan, kejahatan, kekerasan, dan penganiayaan terhadap “humanitas”.
Pendeknya, di dalam orde masyarakat positivis ini, manusia “membendakan” dirinya
secara total serta menempatkan diri sebagai bawahan bagi sebuah sistem
kekuasaan ilmu atau teknologi yang anonim.
(2). Ilmu Hermeneutika Sosial (Habermas 1972:140-186). Aliran pemikiran ini
dikenal dengan Interpretative social science (ISS). Ciri pemikiran ini dipelopori oleh
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Max Weber (1864-1920). Dilthey maupun Weber
mengembangkan ciri pemikiran ini sehubungan dengan kecemasannya yang begitu
besar terhadap ciri pemikiran positivisme sosial sebelumnya. Menurut penganut
Interpretative social science (ISS), orde “Positivisme” telah begitu kuat
mendeterminasi dan membelenggu manusia sebagai “benda sosial” yang tidak
otonom.
Kritik Interpretative social science (ISS) atas ilmu-ilmu sosial positivis dilakukan
dengan menunjukkan sebuah pendekatan baru yang bersifat kritis atas pemikiran
“Positivisme” sosial dan kehidupan sosial itu sendiri. Caranya adalah, dengan metode
hermeneutik atau penafsiran atas ide dan tindakan-tindakan sosial. Bagi para
penganut ISS, tindakan-tindakan sosial itu tercermin di dalam sejarah, serta
tindakan pelaku invidividu yang aktual. Tindakan-tindakan sosial atau ide tindakan
sosial itulah yang menjadi dasar untuk mengkonstruksikan teori sosialnya. Cara itu
dilakukan dengan mempelajari perilaku sosial yang bermakna untuk menunjukkan
segi-segi subyektif kegiatan antarpribadi dalam kompleksitas hubungan sosial yang
menyusun sebuah masyarakat. Akhirnya, Interpretative sosial science mengartikan
teori sosialnya sebagai interpretasi tingkah laku sosial. Menurut penganutnya,
melalui cara yang demikian, orang akan memperoleh pengetahuan yang memadai
mengenai ciri dan keanekaragaman masyarakat.
(3). Sosiologi Kritis. Periode pemikiran ini lebih dikenal dengan “Interpretative social
science (ISS)” (CSS). Arus pemikiran ini lebih merupakan sebuah kritik pembaharuan
atas isi pemikiran dan suasana intelektual teori sosial sebelumnya yang
dipandangnya sebagai anti demokratik dan non humanis. Horkheimer (1969:ix)
secara tegas menyebut teori sosial sebelumnya itu sebagai “Social discrimination”.
Alasannya, karena teori-teori tersebut telah memanipulasi masyarakat dengan
penelitiannya yang sengaja mengambil dan memanipulasi suara terbanyak untuk
membenarkan maksud-maksud politiknya dalam rangka mendiskriminasikan
kelompok masyarakat minoritas. Kenyataan yang sama dijumpai juga pada
Hermeneutika sosial Max Weber yang cenderung melanggengkan dominasi
kapitalisme melalui teori bebas nilai-nya.
Habermas dengan Interpretative social science (ISS), memandang bahwa kedua
momen pemikiran sebelumnya itu telah mencetakkan sebuah “tragedi agung” di
dalam pemikiranya yang dilegitimasi di dalam sebuah rasio yang pincang dan cacat.
Sebagai tokoh utama dalam garis pemikiran ini, Habermas berusaha memecahkan
persoalan-persoalan sosial dewasa ini dengan mengaitkan pemikirannya pada
persoalan pemikiran dalam dua periode sejarah sebelumnya.
Habermas tidak bermaksud membuang pemikiran-pemikiran sebelum, namun
berusaha untuk mencari inspirasi padanya serta mengkritik dan mengembangkannya
di dalam sosilogi kritis. Ada tiga tokoh pemikir yang menginspirasi dan
menggerakkan pemikiran Habermas, yaitu Marx, Weber, dan Freud (Habermas
1972: 43-47, 52-54). Habermas sepaham dengan Karl Marx mengenai evolusi
“Kapitalisme” dan kontradiksi yang terdapat di dalam perkembangan tersebut, serta
memahami konsekuensinya untuk kehidupan pribadi dan sosial. Meskipun demikian,
Habermas menaruh kritik yang cukup tajam terhadap pemikiran Marx dan
mengusulkan adanya rekonstruksi atas materialisme historisnya.
Karyanya “Theory and Practice” (1974) menunjukkan fakta kekeliruan Marx dan
sekaligus menunjukkan kritik pembaharuannya atas empat orde perkembangan
sosial yang dirancang Marx dalam mewujudkan citra masyarakat Komunis yang
diidealkannya. Akhirnya, Habermas mengusulkan struktur “refleksi-komunikasi” atau
rasio-komunikasi sebagai jalan untuk mewujudkan masyarakat emansipasi yang
dituju. Sasaran utama Habermas, dalam hal ini, adalah terciptanya komunikasi yang
emansipatoris. Justru itulah, teori sosial hendaknya mempunyai corak pendekatan
dan wilayah yang sama sekali lain dari ilmu-ilmu alam. Pandangan inilah yang
menyebabkan Habermas menolak pendekatan ilmu sosial positivis (PSS) maupun
rasionalitas berdimensi tunggal di dalam ilmu-ilmu sosial interpretasi (ISS).
Konsekuensinya, ia harus membangun sebuah proyek pemikiran yang khas dalam
rangka merealisasikan maksudnya tersebut.
Konsekuensinya, Habermas memadukan di dalam dirinya dua perhatian pokok yaitu
minat pada realitas sosial maupun pada bidang kefilsafatan untuk membahas
pertautan antara pengetahuan dengan fenomena-fenomena sosial, sebagai sebuah
proyek pemikiran yang tetap terbuka. Hal ini diakibatkan oleh keinginannya untuk
mengembangkan sebuah “sosiologi kritis” yang disebutnya sebagai kritik ideologis.
Melalui pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt Habermas
berusaha mengembalikan ilmu pada posisinya sebagai salah satu (bukan satu-
satunya) bentuk pengetahuan yang mungkin mengenai kenyataan. Habermas
menunjukan bahwa situasi keilmuwan tersebut membutuhkan suatu pandangan
kritis dari ilmu-ilmu sosial. Pandangan kritis tersebut berfungsi untuk meneropong
kepentingan-kepentingan penguasaan yang tanpa disadari telah menjerumuskan
teori-teori positivis itu ke dalam bahaya. Tegasnya, Ilmu-ilmu sosial kemanusiaan
tidak boleh mengacu pada ilmu-ilmu alam. Harus dikatakan bahwa ilmu-ilmu
manusia mempunyai nilai yang khas dan, karenanya, sama sekali lain dari ilmu-ilmu
alam dimaksud.
Model keilmuan itu berdasarkan “logika interaksi” atau “logika hermeneutis” (Bertens
1983:219). Melalui itu, Habermas berusaha merancang suatu konsep tentang ilmu
yang terarah kepada praksis dengan diberikan tempat penting bagi “logika dialektis
bertegangan” atau “logika komunikasi intersubyektif” sebagai latar belakang
hermeneutika. Menurutnya, hal terpokok dalam model interaksi ialah selalu ada
kepentingan yang melekat tetapi bukan kepentingan penguasaan melainkan
kepentingan untuk saling pengertian dan komunikasi. Inti komunikasinya pada
dialog yang berlangsung dalam suasana yang penuh saling pengertian dan saling
pengakuan antarsubyek yang terlibat di dalamnya.
Melalui dialog yang langsung dalam suasana saling pengertaian dan pengakuan atas
kebebasan itu, diusahakan agar ditaklukkan adanya kemungkinan-kemungkinan
teknologis pada humanitas atas nama kebenaran ilmu atau kemajuan apa pun.
Komunikasi dialogis yang bebas penguasaan ini dianggap oleh Habermas sebagai
ruang lingkup sehingga orang harus mencari persepakatan hipotetis tentang tujuan-
tujuan yang dapat diakui semua orang dalam mewujudkan humanitas itu.
Praktisnya, potensi teknologis harus diatur sedemikian rupa sehingga manusia dapat
dibebaskan dari segala paksaan untuk menaklukkan seluruh kehidupannya kepada
produksi sosial (industri sosial) yang sistematis. Perubahan ke arah kebebasan
dalam teknologi itu, merupakan syarat fundamental untuk memungkinkan dialog
bebas-penguasaan sehingga warga masyarakat dapat mengambil bagian dengan
hak yang sama dengan cara saling mengakui satu sama lain. Habermas, dalam hal
ini, menggantikan kedudukan kaum proletar dengan ilmuwan yang melibatkan diri di
dalam proses ilmiah.
Jelas terlihat bahwa Habermas berusaha membangun sebuah optimisme yang tinggi
atas ilmu dan teknologi, bahkan rasio itu sendiri dengan visi perbaikannya secara
radikal. Baginya, ilmu dan teknologi merupakan daya kreatif yang sungguh penting
dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Ilmu dan teknologi lah yang merupakan
faktor yang jelas dalam menentukan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Tugas tersebut itulah yang harus dimengerti oleh para ilmuwan itu sendiri. Ilmu dan
teknologi merupakan spesies-spesies pengatahuan yang mesti ditempatkan pada
sebuah ajang pertautan dialektis yang luas dan mendasar. Pertautan tersebut
mengarah pada konteks kemanusiaan yang utuh dan menyejarah serta emansipatif.
Sebagaimana teori, Habermas menunjukkan bahwa ilmu pun harus dipertautkan
dengan praksis. Habermas dalam hal ini menghubungkan praksis dengan kritis-
emansipatoris karena ia mau mengembangkan dan menyusun secara baru struktur-
struktur masyarakat dengan meniadakan di dalamnya segala unsur yang bersifat
represif. Subyek yang menjlankan praksis itu adalah umat manusia yang sedang
menuju ke masa depan yang baru. Sehubungan dengan itu, emansipasi atau
pembebasan manusia di dasarkan pada suatu kepentingan, karena bila tidak
demikian maka praksis tidak dapat bersifat kritis sebab tidak dapat dijelaskan
sesuatu daripadanya. Habermas dengan ini bermaksud menunjukkan bahwa, sikap
teoretis keilmuan selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan-kepentingan
manusiawi.
Habermas memandang pula bahwa rasio instrumental yang menghasilkan ilmu-ilmu
teknis melalui tindakan instrumental merupakan realisasi suatu kepentingan
kemanusiaan. Kenyataan tersebut diakibatkan oleh proses-proses kognitif yang
merupakan proses kehidupan. Proses tersebut itulah yang memotivasikan tindakan
instrumental untuk memenuhi suatu kebutuhan akan “sukses” yang mengarah pada
pemecahan masalah kehidupan, baik yang bersifat empiris (sosial aktual) maupun
kognitif transendental.
Paham keilmuan Habermas selalu berusaha memahami kepentingan manusia secara
dialektis bertegangan antara aspek empiris (sosial aktual) dan transendental. Kedua
jenis kepentingan tersebut mengarah pada“kepentingan kognitif” atau “kepentingan
konstitutif pengetahuan”. Habermas menunjukkan bahwa, karena kepentingan
konstitutif bagi pengetahuan itu bersifat empiris-transendental maka tidak
terpisahkan dari konteks kehidupan manusia. Meskipun demikian, pengetahuan itu
sekaligus melampaui realitas konstitutif tersebut (Habermas 1972:179, 312).
Tegasnya, Habermas dengan ini menolak adanya reduksi ilmu atau pengetahuan
pada satu kutub, entah empiris atau transendental. Baginya, pemutlakkan aspek
empiris dalam pengetahuan akan menyesatkan karena bersifat deterministis.
Habermas, untuk itu, membedakan tiga jenis ilmu dengan pamrihnya (interest)
masing-masing.
Pertama, ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis dengan kepentingan
penguasaan teknis. Ia menunjukkan bahwa ilmu-ilmu alam tersebut menyelidiki dan
mendeskripsikan gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil
penyelidikan tersebut untuk kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah
disusun agar daripadanya dapat diturunkan jenis pengetahuan terapan yang bersifat
teknis. Pengetahuan teknis tersebut menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia
untuk mengelola dunia atau alamnya. Melalui ilmu-ilmu alam yang demikian,
ditunjukkan aspek pekerjaan (labor) dalam sosialitas manusia, sedang kepentingan
manusia yang terkandung di dalam ilmu adalah ramalan dan pengawasan
(prediction and control) alam. Jelasnya, letak kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris-
analitis dimaksudkan sebagai pelaksanaan rasio-instrumental untuk kepentingan-
kepentingan hidup alami.
Hubungan dengan alam melalui kerja adalah hubungan penguasaan atau hubungan
subyek-obyek yang bersifat satu arah. Pendeknya, diperlukan komunikasi atau
konsensus antarilmuwan untuk mencapai kebenaran-kebenaran ilmiah yang tidak
hanya dalam bentuk logika penelitian tetapi melampauinya. Tahap inilah yang akan
dicapai dalam ilmu-ilmu historis-hermeneutis.
Kedua, ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang menurut Habermas mempunyai
kepentingan kognitif-hermeneutis. Ilmu-ilmu historis-hermeneutis ini tidak sekedar
menyelidiki sesuatu atau menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia
sebagai manusia yang memiliki sesama dan hubungan-hubungan sosial aktual dan
dinamis. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam di atas, golongan ilmu kedua ini berusaha
mengobyektivikasi pengalaman secara utuh tanpa reduksi atau pembatasan. Apa
yang menjadi bahan studi ilmu-ilmu ini adalah pengalaman-pengalaman pra-ilmiah,
yang berupa pengalaman harian. Pengalaman-pengalaman tersebut lebih “dialami
dari dalam”, sehingga subyek berpartisispasi dengan obyeknya. Jalan yang ditempuh
untuk membangun jenis pengetahuan ini adalah bukan melalui eksperimen
melainkan interpretasi atas konfigurasi pemahaman makna dalam teks.
Tujuannya, untuk menemukan pengertian dan pemahaman secara luas dan
mendalam akan persoalan yang menjadi bidang hidup atau konteks hidupnya.
Subyek dalam hal ini berusaha memahami ekspresi-ekspresi kehidupan seperti
bahasa tindakan dan bahasa sehari-hari. Konsekuensinya, pengujian hipotesis harus
digantikan dengan penafsiran teks. Akhirnya, hubungan antara subyek-obyek
digantikan dengan subyek-subyek (intersubyektif).
Penegasan Sosio-epistemologi terhadap sifat historis manusia memperlihatkan
adanya daya misteri atau daya perkembangan obyek manusia yang diselidiki. Hasil
yang diperoleh dari ilmu-ilmu hitoris-hermeneutis ini adalah kemampuan komunikasi,
saling pengertian, dan saling memahami. Tegasnya, hermeneutika berfungsi untuk
menghindari bahaya kemacetan komunikasi intersubyektif, serta kemacetan
komunikasi di dalam sejarah hidup individu maupun tradisi sosial tempat ia hidup.
Melalui hermeneutik dapat dipertautkan antara tradisi-tradisi yang berbeda-beda dari
para individu, kelompok, atau kebudayaan.
Jelas terlihat bahwa, pemahaman hermeneutis ini pun dibimbing atau diarahkan oleh
suatu kepentingan manusiawi juga. Kepentingan manusiawi ini mengarahkan subyek
pengetahuan pada kesadaran tentang dimensi sosial di dalam pengetahuannya itu
sendiri. Kepentingan itu adalah kepentingan konstitutif bagi pengetahuan yang
menentukan syarat-syarat obyektivitas bagi pengetahuan. Akibatnya, kepentingan
tersebut hendaknya selalu mengarahkan tindakan pemahaman ke dalam tingkah-
laku praksis dalam bentuk tindakan-tindakan komunikatif.
Ketiga, ilmu-ilmu kritis yang mempunyai kepentingan emansipatoris. Melalui bantuan
psikoanalisa dan kritik ideologi, ilmu-ilmu kritis berusaha membongkar penindasan
dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Pemikiran kedua
kelompok ilmu sebelumnya menunjukkan bahwa, tidak ada keterkaitan langsung
antara tindakan mengetahui dan penggunaan pengetahuan yang dihasilkannya.
Tuntutan kedua bentuk pengetahuan tersebut adalah untuk mencapai taraf teoretis
murni yang didasari oleh usaha rasio sendiri untuk membebaskan diri dari kondisi-
kondisi empiris yang berubah-ubah. Ia mengemukakan bentuk pengetahuan yang
ketiga yang mau tidak mau mengaitkan pengetahuan atau teori dengan kepentingan
praktis secara langsung, yaitu, “refleksi diri”. Jelasnya, bila dibandingkan dengan
kedua kepentingan yang lain, kepentingan emansipatoris bersifat derivatif dan
mendasari semua jenis ilmu.
Skema pemikiran Sosio-epistemologi Habermas, akhirnya, memperlihatkan bahwa
jika direfleksikan kedua bentuk pengetahuan ilmiah yang dibimbing oleh kepentingan
teknis dan praktis maka akan disadari bahwa keduanya dihasilkan oleh rasio yang
bertujuan membebaskan diri dari kendala-kendala alami dan kendala-kendala
interaksi sosial. Artinya, kepentingan teknis atau praktis diasalkan dari kepentingan
emansipatoris. Ketika pernyataan-pernyataan teoretis yang dihasilkan, kedua
kepentingan itu membeku menjadi ideologi, kepentingan emansipatoris membimbing
refleksi diri untuk menghancurkan dogmatisme dan ideologi dalam berbagai
perwujudannya. Baginya, dogmatisme adalah kesadaran yang tidak direfleksikan
atau kesadaran yang tidak disadari. Marx menyebutnya sebagai kesadaran palsu
atau ideologi. Orang yang berada dalam kungkungan dogmatisme tidak akan
mampu menghimpunkan kekuatannya untuk melakukan “refleksi-diri”, bahkan ia
membuat dirinya sendiri sebagai benda.
Melalui langkah pengintegrasian psikoanalisis ke dalam Teori Kritis-nya, Habermas
bermaksud menjelaskan bahwa “refleksi diri” menjadi kegiatan kognitif atau kegiatan
ilmu dan teknologi. Refleksi diri membebaskan subyek dari jerat ketergantungan
pada kekuatan-kekuatan yang sudah dihipotesiskan dan berlaku umum. Bagi
Habermas, proses tersebut dikondisikan oleh suatu kepentingan emansipatoris.
Bentuk pengetahuan ini erat kaitannya dengan proses pembentukan diri manusia
sebagai individu maupun lewat kebersamaannya dalam suatu komunitas. Fichte
menjelaskan bahwa semua bentuk pengetahuan secara hakiki mengandaikan
kebutuhan akan kebebasan. Kebebasan itulah yang seterusnya memungkinkan
manusia mencapai otonomi dan tanggung jawab. Artinya, semua bentuk
pengetahuan didorong oleh kepentingan emansiptoris dan tanggung jawab secara
luas dan mendasar.
Skema Sosio-epistemologi tersebut memperlihatkan adanya tindakan rasio yang
menyebabkan ego membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu.
Tindakan rasio itulah yang disebut sebagai “refleksi-diri”. Melalui refleksi diri, ego
menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal-usul kesadarannya
sendiri. Akhirnya, melalui skema pemikiran Sosio-epistemologi ini terlihat suatu
pertautan dialektis antara refleksi diri dan tindakan emansipatif atau praksis. Artinya,
di dalam kegiatan refleksi sebagai suatu kegiatan kognitif, orang sebagai ego tidak
hanya memiliki kesadaran baru tentang dirinya sendiri, melainkan kesadaran baru itu
juga terus mengubah hidup eksistensialnya sendiri. Kenyataan tersebut, bagi
Habermas, merupakan tindakan emansipatoris. Alasannya, bahwa di dalam refleksi
diri maka kesadaran dan tindakan emansipatoris benar-benar menyatu. Rasio itu
sendiri secara langsung menjadi praksis di dalam refleksi diri sebagai kegiatan
kognitif manusia.
Habermas, dalam hal ini, menjelaskan bahwa refleksi-diri adalah intuisi sekaligus
emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari belenggu dogmatis (Habermas
1972:208). “Refleksi-diri” adalah kegiatan kognitif yang memuat kekuatan
emansipatoris. Kegiatan tersebut di dorong oleh kepentingan yang melekat di dalam
rasio manusia itu sendiri, yakni kepentingan emansipatoris. Akhirnya, tindakan
emansipatoris, mendahului refleksi-diri sebagaimana kepentingan itu merealisasikan
dirinya di dalam kekuatan emansipasi yang dihasilkan melalui refleksi-diri”.
Habermas (1972: 209,314) secara tegas mengatakan bahwa sebenarnya: “Dalam
kekuatan refleksi-diri, pengetahuan atau ilmu dan kepentingan adalah satu”.
Penegasannya ini menunjukkan bahwa, kepentingan emansipatoris yang
membimbing rafleksi-diri ini bersifat konstitutif baik bagi ilmu, pengetahuan maupun
bagi praksis. Praksis sosial dalam pandangan Habermas dapat diwujudkan di dalam
dua hal yaitu, kerja dan komunikasi. Inti kedua hal tersebut adalah pada
pembebasan manusia secara total dan kedewasaan dalam bertanggungjawab.
Singkatnya, Habermas bermaksud menjelaskan bahwa kepentingan teknis dan
kepentingan praktis kegiatan-kegiatan kognitif itu berakar pada kepentingan rasio itu
sendiri, yaitu kepentingan emansipatoris.
(4). Komunikasi Rasional (Habermas 1992:314-326). Habermas berusaha mengatasi
kebuntuan pemahaman para pendahulunya mengenai konsep rasionaliasasi yang
bersifat timpang. Misalnya, Max Weber (penganut Teori Tradisional) yang
memahami Rasionalisasi secara empiris sehingga telah menempatkan rasio sebagai
proses tindakan-tindakan bertujuan yang berlaku normatif (umum). Kecenderungan
yang sama terdapat pula dalam pemikiran Herbert Marcuse (penganut Teori Kritis)
yang hanya membatasi pandangan kritisnya atas rasionalisasi teknologis. Bagi
Habermas, pemikiran-pemikiran mengenai rasionalisasi di atas bersifat timpang
karena cenderung dilepaskan dari konteksnya yang sesungguhnya, yaitu interaksi
atau komunikasi. Menurutnya, letak watak “ideologis” dan “teknokratis” rasionalisasi
justru pada pengabaian aspek interaksi atau aspek praksis-nya. Pengabaian
dimaksud, akhirnya, telah menjerumuskan rasio pada sebuah kesadaran yang hanya
bersifat teknokratis, ideologis dan birokratis. Habermas menunjukkan bahwa
kebekuan dan kebuntuan konsep rasionalisasi tersebut harus diatasi dengan
menunjukkan pada potensi komunikasi dari rasio itu sendiri.
Menurutnya, sejarah manusia adalah sejarah yang menuju kepada masyarakat yang
semakin rasional. Masyarakat rasional tersebut menentukan diri melalui komunikasi
argumentasi dan pembebasan diri secara total dan radikal diri dari kekuasaan atau
kenikmatan rasio teknologis.. Ciri rasionalitas itu lah yang semakin mematangkan
eksistensi mereka sebagai masyarakat rasional modern. Masyarakat rasional, bukan
bersifat pesimistik, sebab selalu berusaha mengatasi dan melampaui realitasnya
dengan mengangkatnya pada taraf kehidupan yang lebih memadai melalui
komunikasi rasional intersubyektif yang mengarah pada praksis. Masyarakat rasional
itulah yang merupakan realisasi sejati dari cita-cita pencerahan.
Struktur rasionalitas masyarakat yang terinstitusionalisasi lewat kebudayaan yang
merupakan proses-proses belajar masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi. Jadi,
evolusi sosial dan proses belajar masyarakat memiliki fungsi perintis dalam
pengembangan kehidupan masyarakat rasional. Proses tersebut akan semakin
terbuka untuk meneropong bahaya perbudakan irrasionalitas yang bersembunyi di
balik pluralisme dan toleransi dangkal yang sama besarnya dan jauh lebih tajam.
Kenyataan seperti itulah yang dinyatakan di dalam orientasi pemikiran yang secara
sistematis berusaha membentuk “kesadaran palsu” individual yang anarkhis,
menghendaki perbedaan, primordialis, dan anti-sistem, namun akhirnya, mengarah
pada pengingkatan stabilitas sistem kekuasaan dan memperkuat struktur-struktur
kekuasaan yang represif (bdk. Johnsos. 1990:1670).
Habermas menolak postulat Ilmu bebas nilai (Habermas 1972:302-304).
Menurutnya, postulat demikian pada dasarnya berakar dalam pendekatan positivistik
untuk menentukan obyektivitas keilmuannya yang bersifat murni. “Positivisme”
hanya mau membatasi pengetahuan atau ilmu pada fakta, yang berarti bahwa ilmu,
termasuk ilmu-ilmu sosial harus bersifat netral dalam arti harus bebas nilai. Tuntutan
penolakan yang sama berlaku juga terhadap Empirisme Logis atau Positivisme Logis
yang menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan tentang realitas, termasuk
pernyataan-pernyataan ilmu fisika harus dapat dikontrol atau dibuktikan
(diverifikasikan) dengan pengamatan-pengamatan empiris yang sifatnya atomistis.
Bagi Positivisme Logis, ilmu hanya mungkin dalam bidang pengertian, tetapi
pengertian hanya mungkin tentang fakta sebab fakta adalah obyek pengertian yang
pasti. Akibatnya, ilmu pengetahuan selalu harus mengenai fakta. Meskipun
demikian, fakta bukanlah obyek keputusan melainkan obyek pengamatan.
Pendeknya, ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari keputusan-keputusan
penilaian dan membatasi diri pada pengamatan dan sistematisasinya.
Habermas menjelaskan bahwa pernyataan-pernyataan teoretis ilmu-ilmu alam
(positivis) tidak dikontrol dengan pengamatan, melainkan melalui pernyataan-
pernyataan tentang pengamatan. Hal tersebut dilakukan dengan apa yang disebut
“kalimat protokol” atau “kalimat basis”, yaitu kalimat yang memuat pernyataan
tentang suatu pengamatan empiris sederhana.
Disebut kalimat basis karena menurut anggapan kaum Positivis Logis kalimat basis
merupakan batu bangunan paling dasariah bagi suatu teori ilmiah. Sementara
disebut “kalimat protokol” karena isinya merupakan laporan tentang suatu
pengamatan sederhana (Magnis Suseno 1992:197). Menurut Habermas, kedua
penyataan tersebut tidak dapat dilepaskan dari suatu “duduk perkara”, yaitu apa
yang diungkapkan atau dinyatakan dalam suatu pernyataan. Kenyataan tersebut
oleh Habermas disebut sebagai “lingkaran”. Akibatnya, tuntutan-tuntutan keilmuan
bertolak dari sesuatu yang tampak kontradiktif. Justru itu, kepastian yang
sesungguhnya mengenai hal tersebut harus diperoleh melalui konsensus. Akhirnya,
keabsahan empiris kalimat-kalimat basis harus mengacu sepenuhnya pada kriteria
yang diterima bersama antarkelompok pekerja yang berhubungan secara
intersubyektif.
Menurut Habermas kriteria konsensus yang sama berlaku pula pada keabsahan
hipotetis-hipotesis maupun hukum-hukum, dan teori ilmu empiris secara
menyeluruh. Kesepakatan itu bukanlah suatu kebetulan yang terjadi di ruang kosong
yang tidak rasional, melainkan dalam suatu prapengertian normatif yang mengarah
pada kriteria “sukses dalam bertindak”. Kesepakatan atas kriteria tersebut selalu
terintegrasi dalam proses pekerjaan manusia yang dilembagakan oleh masyarakat
dalam mempertahankan kehidupan mereka yang terancam.
Jelasnya, melalui kesepakatan itu, keabsahan kalimat-kalimat basis dapat dijelaskan
secara rasional melalui pendekatan hermeneutis. Melalui hermeneutika atau
penafsiran kritis atas kelimat-kalimat tersebut maka, akhirnya, dapat dilihat adanya
kesinambungan yang begitu mendalam dengan kehidupan manusia. Akhirnya,
proses penelitian pun dijalankan di bawah norma-norma “kepentingan fundamental”
akan pemeliharaan kehidupan melalui kepentingan teknis. Praktisnya, terlihat bahwa
ilmu-ilmu alam yang teoretis murni pun sejak awal titik tolaknya sudah ditentukan
secara normatif oleh nilai-nilai tertentu. Penentuan tersebut berlangung baik secara
metodis maupun secara motivasional.
Habermas menyikapi postulat kebebasan nilai sebagai ilusi yang berbahaya. Setiap
ramalan ilmiah dalam bentuk rekomendasi teknisnya harus membutuhkan
interpretasi agar cocok untuk diterapkan di dalam situasi konkritnya. Kenyataan
tersebut disebabkan oleh adanya realitas kemasyarakatan yang sama sekali tidak
dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan, melainkan harus dimengerti sebagai
totalitas unsur-unsur yang saling bertautan. Analisis sosial, dalam hal ini, tidak
bersifat bebas nilai tetapi justru bertaut nilai. Alasannya, karena analisis tersebut
harus memperhatikan hubungan dengan aneka kepentingan yang mendasarinya.
Jelasnya, postulat bebas nilai harus ditolak. Ilmu yang dikatakan bebas nilai pun
sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis. Keputusan-
keputusan normatif yang secara keliru dianggap irrasional pun dapat saja dijelaskan
secara rasional. Akhirnya, terdapat kesan yang kuat bahwa tuntutan pengetahuan
bebas nilai memiliki tendensi ideologis. Kritik atas postulat bebas nilai hendak
membongkar selubung-selubung ideologis yang berada di balik tuntutan-tuntutan
keilmuan yang kekuasaannya menghalang-halangi emansipasi.
(5). Kritik ideologi dan kritik ilmu. Habermas melakukan eksplorasi kritis atas
tuntutan-tuntutan ideologi dan ilmu, yang disebutnya sebagai “Kritik ideologi” dan
“Kritik ilmu”. Kritik atas kedua tuntutan tersebut dilakukan melalui kritik
pengetahuan (Habermas 1972:308-317).
Menurut Habermas, pengetahuan, ilmu, dan ideologi merupakan tiga hal yang saling
bertautan. Ketiganya terkait pada praksis kehidupan sosial manusia. Pengetahuan
merupakan aktivitas, proses, kemampuan, dan bentuk kesadaran manusiawi. Ilmu
(Wissenschaft) merupakan salah satu bentuk pengetahuan yang direfleksikan secara
metodis. Jelasnya, pengetahuan dan ilmu dapat menjadi ideologi bila keduanya
membeku menjadi kesadaran palsu atau delusi yang merintangi praksis sosial
manusia untuk merealisasikan kebenaran, kebahagiaan, dan kebebasan.
Kritik “Soio-epistemologi” atas sifat ideologis ilmu atau pengetahuan bertujuan untuk
mengembalikan refleksi atas ilmu pada refleksi atas pengetahuan. Melalui refleksi
demikian itulah diperlihatkan bahwa ilmu-ilmu tidak dapat dipersatukan dalam
sebuah metodologi karena masing-masing memiliki kemungkinan kondisi atau syarat
yang berbeda-beda. Prinsipnya, syarat-syarat yang memungkinkan bagi
pengetahuan dan praksis terletak pada kepentingan-kepentingan yang mengarahkan
pengetahuan tersebut.
Pertama, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan teknis untuk mengontrol
lingkungan eksternalnya melalui perantaraan kerja. Kepentingan tersebut
mewujudkan dirinya di dalam pengetahuan informatif yang secara metodis
disistematisasikan menjadi ilmu-ilmu empiris analitis. Kedua, manusia sebagai
spesies memiliki kepentingan praktis untuk menjalin saling pemahaman timbal-balik
melalui perantaraan bahasa. Kepentingan tersebut mewujudkan dirinya di dalam
pengetahuan interpretatif yang disistematisasikan secara metodis menjadi ilmu-ilmu
historis-hermeneutis.
Ketiga, manusia sebagai spesies memiliki kepentingan emansipatoris untuk
membebaskan diri dari hambatan-hambatan ideologis. Jenis kepentingan dimaksud
mewujudkan diri dalam pengetahuan analitis yang disistematisasikan secara metodis
menjadi ilmu-ilmu sosial yang kritis atau kritik ideologi.
Melalui kritik Sosio-epistemologi yang bersifat transenden-pragmatis itu, Habermas
telah menyegarkan kembali epistemologi transendental Immanuel Kant dan para
penerusnya serta mengintegrasikannya ke dalam logika ilmu modern. Ketiga
kepentingan kognitif tersebut menjadi dasar yang bersifat kuasi-transendental bagi
model ilmu pengetahuan modern. Habermas menegaskan bahwa ketiga kepentingan
itu tidak bersifat saling mengecualikan, bahkan tidak dapat direduksikan satu sama
lain. Kecenderungan tersebut hanya dapat melahirkan sebuah sistem kesatuan ilmu
yang bersifat ideologis. Ilmu-ilmu empiris-analitis dan historis-hermeneutis harus
dibedakan satu sama lain berdasarkan tiga ciri yang secara mendasar berbeda.
Pertama, ilmu-ilmu empiris-analitis (ilmu-ilmu alam) memiliki obyek yang dapat
diobyektivikasikan sepenuhnya berdasarkan hubungan subyek-obyek. Selanjutnya,
ilmu-ilmu historis-hermeneutis (ilmu sejarah, bahasa, etika atau ilmu-ilmu sosial
kemasyarakatan) meskipun pada taraf tertentu mengobyektifkan, namun tidak dapat
sepenuhnya mengobyektivikasi obyeknya.
Kedua, ilmu-ilmu alam tersebut harus mengandaikan bahwa keteraturan alam
hanyalah merupakan hukum yang mengatur obyek-obyek alamiah atas dasar
keniscayaan sebab-akibat, bukanlah norma moral yang boleh atau tidak boleh diikuti
secara teologis. Akibatnya, ilmu-ilmu alam tersebut harus menentukan hipotesis-
hipotesis dan hukum-hukum atas alam secara eksternal dan keduanya dapat
difalsifikasikan. Sebaliknya, ilmu-ilmu historis-hermeneutis tidak dapat membatasi
diri pada hipotesis-hipotesis yang ditentukan secara eksternal atau difalsifikasikan
lepas dari komunikasi. Bagi Habermas, penelitian sosial memuat baik keterlibatan
maupun distansi atau pembatasan diri dalam komunikasi. Melalui itu, peneliti harus
memahami permainan bahasa, dan kemudian merumuskannya dalam teori.
Prinsipnya, kedua hal itu berlangsung timbal-balik dalam kerangka komunikatif.
Ketiga, ilmu-ilmu empiris-analitis tidak menghadapi sejarah yang tidak terulangi,
sementara ilmu-ilmu historis-hermeneutis menghadapi sejarah yang tidak dapat
diprediksi secara nomologi (hukum). Menurut Habermas, di sinilah letak kekeliruan
Positivisme yang telah menerapkan metodologi ilmu-ilmu empiris-analitis pada ilmu-
ilmu historis-hermeneutis. Akibatnya, munculnya kecenderungan yang begitu kuat
untuk menjuruskan ilmu-ilmu historis-hermeneutis dengan kepentingan teknis untuk
menguasai. Hal tersebut begitu kuat di dalam pemikiran Marx.
Positivisme, akhirnya, telah mereduksikan bidang komunikasi pada bidang kerja,
sementara bidang kerja pada bidang tindakan instrumental, dan tindakan
instrumental pada teknologi. Reduksi semacam itu merupakan sebuah
kecenderungan ideologis modern yang harus diatasi.
Positivisme sendiri merasa yakin bahwa ilmu-ilmu empiris-analitis identik dengan
pengetahuan yang benar. Kepercayaannya ini tidak memungkinkan, bahkan,
memungkiri adanya refleksi diri. Refleksi diri yang dihindari dalam ilmu-ilmu empiris-
analitis, justru merupakan metodologi bagi tipe ilmu ketiga, yaitu ilmu-ilmu kritis
atau sosisologi kritis (kritik ideologi). Ilmu-ilmu kritis tersebut tidak memiliki obyek
ketiga, melainkan refleksi epistemologis atas metode, proses, dan hasil kedua tipe
ilmu lainnya sebagai obyeknya, termasuk dirinya sendiri.
Ilmu-ilmu kritis tidak hanya mendeskripsikan norma atau struktur sosial, melainkan
memberi insight atau pencerahan demi proses pembentukan-diri masyarakat.
Sebagai ilmu emansiparoris, ilmu-ilmu kritis berusaha memperlihatkan watak
ideologis hasil-hasil kedua tipe ilmu lainnya bila keduanya dalam konteks kehidupan
masyarakat telah menghambat praksis. Ilmu-ilmu kritis, dalam hal ini, merupakan
kritik ideologis.
Jelasnya, Habermas telah meletakkan sebuah dasar baru bagi dunia keilmuan yang
disebut sebagai sosiologi kritis atau kritik ideologi. Usaha tersebut dilakukan dengan
cara membangun sintesis dialektis antara kategori antropologis dan epistemologi
atas ilmu-ilmu kritis dimaksud. Menurutnya, hubungan dialektis kedua kategori
tersebut bersifat kritis karena menghubungkan kehendak manusiawi dengan
pengetahuan yang berada di antara kutub empiris dan transendental. Konsep yang
mampu menampung hubungan itu adalah “kepentingan rasio”. Kutub empiris
berkaitan dengan kondisi-kondisi sosio-historis manusia yang konkret sebagai
spesies yang bernaluri dan berkehendak. Selanjutnya, kutub transendent berkaitan
dengan pengetahuan yang normatif. Dunia keilmuan sekaligus bekerja pada dua
tataran tersebut secara bertautan dialektis, manakala pikiran masyarakat membeku
pada salah satu kutub. Menurut Habermas, kebekuan pemikiran dapat terjadi karena
subyek tidak menyadari kepentingan sesungguhnya dari rasio. Kepentingan rasio
adalah membebaskan diri dari alam atau hambatan-hambatan sosial. Kritik ilmu
pada tataran ini berusaha menjernihkan kembali kepentingan emansipatoris melalui
dorongan kepentingan itu sendiri.
Ringkasnya, melalui Habermas, dapat ditunjukkan adanya sintesis dialektis dalam
ilmu, yang tidak hanya diperoleh melalui tindakan instrumental. Hal ini disebabkan
karena di dalam kerjanya, manusia membawa serta tradisi dan penafsiran-
penafsiran simbolisnya atas dunianya. Melalui itu, terlihat bahwa struktur-struktur
interaksi simbolis pun mengarah pada praksis. Habermas, dalam hal ini
menunjukkan bahwa, sifat ideologi tidak berkaitan dengan kerja melainkan dengan
struktur interaksi simbolis yang telah menjadi kacau susunannya. Ditunjukkan pula
bahwa perjuangan kelas dalam ajaran Marx bukanlah kekuasaan suatu kelas atas
kelas lainnya, melainkan sintesis dalam hal saling pengenalan untuk mengatasi
ideologi yang dilawankan dengan dialog.
Pengenalan antarmanusia tersebut tidak diperoleh melalui paradigma kerja
melainkan melalui komunikasi. Demi kememadaian pandangannnya itu, Habermas
berusaha mengintegrasikan pemikirannya dengan psikoanalisa yang bertautan
dengan upaya penyembuhan alam ketidaksadaran dan pengenalan diri yang
mewarnai seluruh proses komunikasi. Proses itu lah yang menyingkirkan
pertentangan dan distorsi yang bersifat sistematis melalui komunikasi (dialog-
emansipatoris)yang menghasilkan insight dan pencerahan.
Seterusnya, kritik ilmu ini menjelaskan bahwa karena komunikasi terungkap lewat
bahasa maka komunikasi yang terselubung sekali pun dapat dianalisis dengan
sarana analisa bahasa atau kritik bahasa. Ditunjukkan bahwa, justru dewasa ini
bahasa telah menggantikan masalah tradisonal mengenai kesadaran, dan bahkan
telah menggantikan kritik transendental atas kesadaran itu sendiri. Melalui bahasa,
orang dapat mengembangkan diri secara utuh di dalam kompetensi-kompetensi
komunikasi yang merekonstruksikan prasyarat-prasyarat umum bagi komunikasi
bebas penguasaan.
Bahasa dalam dunia keilmuan membimbing dan mengarahkan kompetensi serta
perilaku kognitif para subyek dalam ekspresi budaya dan tanggung jawab secara
bertahap menuju kematangan dan kedewasaan hidup. Bahasa, bahkan, mendorong
transformasi dan emansipasi di dalam diri para subyek yang berkomunikasi. Melalui
bahasa, orang mengungkapkan potensi intelektualnya dan mengkomunikasikannya
secara bebas, nyata, dan makin terstruktur di dalam situasi perbincangan.
Akhirnya, para subyek memiliki kasempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam
perbincangan dan mengemukakan transaksi argumentasi demi persetujuan atau
penolakan, penafsiran, dan keterangan tanpa hambatan. Obyek yang tampaknya
bersifat independen selalu dapat dijadikan petanyaan sebagai obyek pengetahuan
yang kemudian diberi arti oleh para subyek. Melalui itu, terjadi pengungkapan,
tanggapan, dan bantahan secara kritis dalam percakan atau dialog yang makin
terstruktur. Proses dialog-emansipatoris tersebut itulah yang semakin meningkat dan
mengarah pada suatu kebenaran sebagai konsensus, sehingga subyek makin
mengalami kematangan. Kebenaran ilmu mesti dicapai bukan lewat kekuasaan
melainkan melalui konsensus-konsensus rasional yang dicapai para subyek yang
berkompeten. Subyek otonom dan berkompetensi rasio komunikatif inilah yang
berperan dalam proses institusionalisasi budaya serta memandu proses-proses
pembelajaran masyarakat pada tataran kehidupan harian yang sederhana menuju
taraf perkembangan yang kompleks.
Nyata lah, obyektivitas ilmu-ilmu historis-hermeneutis dan ilmu-ilmu empiris-analitis
tidak dapat dilepaskan dari konsensus para ahli yang terlibat di dalam penelitian. Hal
itu terlebih lagi dalam Sosio-epistemologi sebagai bagian dari teori konsensus
tentang kebenaran. Justru karena konsensus diandaikan sebagai dasar obyektivitas
kebenaran maka jenis pengetahuan ini tidak kebal terhadap evaluasi dan perbaikan
secara terus-menerus. Semua persyaratan itu adalah dalam rangka praksis sebagai
usaha mempertautkan pengetahuan dengan kepentingan.
E. Sumber:

Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta,
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
 jelaskan arti sejarah keilmuan;
 tunjukkan berbagai bentuk pergeseran paradigma keilmuan dalam sejarah
keilmuan abad Yunani Kuno.

 berikan penilaian Anda terhadap ciri perkembangan ilmu abad modern;

 tunjukkan berbedaan antara paradigma keilmuan abad modern dengan


paradigma keilmuan abad kontemporer.

Terakhir diperbaharui: Wednesday, 4 April 2012, 23:50

Filsafat Ilmu - Pertemuan ke-12


FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-12
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)

A.POKOKBAHASAN:PENGETAHUANDANILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: TANGGUNG JAWAB KEILMUAN
C.S tandar Kompetensi: Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan
ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. Kompetensi Dasar: Setelah memperlajari topik ini, Anda diharapkan dapat:
 menjelaskan arti tanggung jawab keilmuan;
 meunjukkan sifat keterbatasan tanggung jawab keilmuan;

 mendeskripsikan bentuk-bentuk tanggung jawab keilmuan;

 menjelaskan arti etika keilmuan;

 menunjukkan hubungan tanggung jawab keilmuan dengan etika keilmuan.

E. Materi:
I. Arti Tanggung Jawab keilmuan.
Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab,
secara etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu;
tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini,
wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu
sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu,
ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya
untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi
juga harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam ilmuwan, termasuk lembaga
keilmuan, tidak dapat mencuci tangan dan melarikan diri dari tanggung jawab
keilmuannya.
Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas), dalam arti
"bertanggung jawab atas". Tanggung jawab dalam arti demikian berarti; apa yang
harus ditanggung. Subyek yang menyebabkan dapat diminta
pertanggungjawabannya, meskipun permasalahan - permasalahan tersebut tidak
disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri. Aspek tanggung jawab sebagai sekap
dasar keilmuan, dengan ini, telah menjadi satu dalam kehidupan keilmuan itu sendiri
dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan, tidak dapat dilepaspisahkan dari
perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke abad.
Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan, adalah sesuatu hal yang secara tidak
langsung mengenai tanggung jawab manusia, dalam hal ini, ilmuwan yang; mencari,
mempraktikkan, dan menerapkan, atau menggunakan ilmu atau pengetahuan
tersebut dalam kehidupan. Maksudnya, ilmu sebagai bagian dari kebijaksanaan
manusia dengan segala usaha sadar yang dilakukan untuk memanusiakan diri dan
lingkungannya, tidak dapat dipisahkan dari aspek tanggung jawab dimaksud. Ilmu
dan ilmuwan, sebagai seorang anak manusia, karenanya, wajib menanggung setiap
akibat apa pun yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri, baik dari sisi teoretisnya
maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib menjawab dalam arti
merespons dan memecahkan setiap masalah yang diakibatkan oleh ilmu maupun
yang tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Tanggung jawab keilmuan, dalam ini,
bukan merupakan beban atau kuk, tetapi merupakan ciri martabat keilmuan dan
ilmuwan itu sendiri. Konsekuensinya, semakin tinggi ilmu maka semakin tinggi dan
besar tanggung jawab yang diemban oleh ilmu, ilmuwan dan lembaga keilmuan itu
sendiri.
Kadang-kadang, tanggung jawab keilmuan tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri,
misalnya; dalam hal menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti; bencana
alam, keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya. Tanggung jawab
keilmuan bukan saja dalam arti yang normative, misalnya berkaitan dengan aspek
moral yang bersifat legalistik saja, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya,
tanggung jawab keilmuan dalam menyelasaikan berbagai bentuk akibat perubahan
sosial yang berdampak terhadap tatanan moral masyarakat. Jadi, tanggungjawab
keilmuan juga memilki arti, mendudukkan manusia pada kedudukan martabat
dirinya, sehingga di satu sisi tidak diperalat oleh ilmu dan ilmuwan demi mencapai
prestise dan supremasi ilmu, atau di sisi lain, tidak tergilas oleh kebodohan dan
kemelaratan hidup karena lingkaran setan ketidaktahuan yang melilit dirinya.
Di sisi lain, tanggung jawab keilmuan mesti di dasarkan pada keputusan bebas
manusia, sehingga melalui tanggung jawab keilmuan maka ilmu, ilmuwan, manusia
serta masyarakat dibebaskan atau dijernihkan dari berbagai pengaruh emosional,
sikap curiga, dendam, buruk sangka, dan berbagai sikap irasional. Konsekuensinya,
tanggung jawab keilmuan harus terus mengalir dari dalam lautan luas tindakan
manusia (ilmuwan) yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab keilmuan menyangkut, baik masa lalu, masa kini, maupun masa
depan. Alasannya, karena penanganan ilmu atas realitas selalu cenderung berat
sebelah. Kenyataan tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan
keseimbangan kosmos (alam) seperti; pembasmian kimiawi dari hama tanaman,
sistem pengairan, keseimbangan jumlah penduduk, dan sebaginya. Juga, hal itu
menyangkut gangguan terhadap tatanan sosial dan keseimbangan sosial. Artinya,
ilmu lah yang telah mengemukakan bahwa tatanan alam dan masyarakat harus
diubah dan dikembangkan maka ilmu pula lah yang bertanggung jawab menjaganya
agar dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan yang baik, demi
konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis.
Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada kesadaran bahwa ilmu selalu
merupakan sesuatu yang sifatnya masih belum rampung. Artinya, upaya keilmuan
tidak dapat meniadakan tanggung jawabnya yang lama, tetapi selalu
menampilkannya dalam kesegaran tanggung jawab yang selalu baru. Jadi, ilmuan
harus terbuka pada tanggung jawabnya yang baru walaupun hal itu tidak pernah
dialami oleh pendahulunya.
II. Sifat Keterbatasan Tanggung jawab Keilmuan.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan.
Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung
jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan
sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak
dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat
maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia
hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya sebagai
sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Konsekuensinya, ilmuwan sebagai manusia tidak bertanggung jawab atas tanggung
jawab keilmuannya, sebab manusia tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas
kenyataan mengapa ia bertanggung jawab, sebab hal itu merupakan tugas yang
diterima dan dijalani atas dasar pemberian kodratnya. Manusia tidak bertanggung
jawab pada tanggung jawab, tetapi ia menerima tanggung jawab itu sebagaimana
adanya, dan menjalaninya dengan segala keterbatasannnya. Ilmuwan sebagai
manusia, menjalani tanggung jawab keilmuannya dengan segala keterbatasannya,
baik secara natural, kodrati, maupun dari keterbatasan keilmuannya sendiri.
Pandangan tersebut hendak menegaskan, betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan
memiliki suatu "kepekaan besar" untuk membaca dan menjalankan tanggung jawab
keilmuannya itu secara baik, dan tidak boleh memandang dirinya serba bisa, serba
oke, dan serba benar.
III. Bentuk-bentuk Tanggung jawab Keilmuan.
1. Tanggung jawab sosial. Ilmu bukan saja bersifat sosial, tetapi membutuhkan
tanggungjawab sosial, karena melalui suasana sosial itu ilmu dapat bertumbuh subur
secara efektif dan bertambah luas. Aneka kasus sosial dalam masyarakat
membutuhkan penanganan dan penyelesaian secara keilmuan. Ilmuwan dengan
kemampuan pengetahuannya yang cukup, dapat memberi argumentasi, kajian kritis,
dan membangun opini masyarakat mengenai permasalahan kehidupan yang
dihadapi. Misalnya, penganggulangan kemiskinan, penyakit, atau masalah nilai-nilai
sosial dalam pembangunan sehingga masyarakat tidak tercabut dari akar kehidupan
sosialnya yang khas. Ilmu dan ilmuan bertanggung jawab dalam hal memberikan
prediksi atau ramalan serta peringatan dinih mengenai permasalahan yang akan
dihadapi masyarakat, baik yang nyata (manifest) maupun tersembunyi (laten) atau
yang bersifat gejala. Misalnya, dalam melakukan resolusi konflik dan membangun
manajemen perdamaian guna mewujudkan ciri masyarakat yang mampu mencegah
dan mengatasi konflik serta membangun sistem kedamian yang langgeng guna
mmemperlancar pembangunan dalam mewujudkan masysrakat yang
berkesejahteraan.
Ilmuwan, dengan latar belakang pengetahuannya yang cukup, harus bertanggung
jawab untuk menyampaikan ilmu atau pengetahuannya secara proporsional kepada
masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka terima. Tanggung jawab sosial
keilmuan tersebut adalah penting, baik dalam rangka mengusahakan kebenaran ilmu
maupun baik dari segi untung -rugi, baik-buruk, dan lain sebagainya. Dengannya,
dapat dimungkinkan penyelesaian yang obyektif terhadap setiap permasalahan
sosial yang terjadi. Ilmu dan ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial, bukan
sekedar karena ilmuan adalah anggota masyarakat dan terlibat langsung dalam
kepentingan sosial kemasyarakatan, tetapi ilmu secara hakiki memiliki fungsi
tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ilmu, meskipun merupakan hasil
kekiatan individual, namun dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat.
2. Tanggung jawab keteladanan. Ilmu dan ilmuwan bukan saja mengandaikan
kebenaran keilmuan sebatas sebuah jalan pemikiran dengan pesona logika dan
ketajaman analisisnya, namun juga bertanggung jawab menunjukkan atau
mempraktikkan kebenaran keilmuannya di dalam kehidupan sosialnya yang luas dan
mendalam. Ilmu bukan hanya menyajikan sebuah kebenaran informasi, namun
memberikan keteladanan hidup yang ditunjukkan oleh ilmuwannya. Ilmuwan harus
berdiri di depan kebenaran-kebenaran keilmuannya selaku proto tipe kebenaran
yang sesungguhnya, juga berada di belakang kebvenaran-kebenaran keilmuannya
untuk menunjukkan tanggung jawabnya atas segala akibat sosial maupun ekologis
yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Menghadapi situasi kemasyarakatan kita di
mana terdapat kecenderungan untuk memanipulasi dan menghambat kebenaran
nilai sehingga banyak mengakibatkan adanya kegoncangan nilai maka ilmuan harus
tampil ke depan untuk memberi argumentasi, kajian kritis, serta membangun opini
yang obyektif dan proporsional terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi.
Pengetahuan yang dimilikinya, merupakan kekuatan yang akan membuat ilmuwan
menjadi berani (bahkan berani tampil sebagai martir seperti Socrates) dalam
membela nilai-nilai kebenaran yang dijamin dan diyakini dalam ilmu.
Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir secara cermat dan teratur
sehingga dengan kemampuan inilia, ia sekaligus memiliki tanggung jawab untuk
memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang sesat dan keliru menganai
permasalahan yang dihadapi. Dengannya, masyarakat tidak terjebak dalam
lingkaran setan kepicikan yang membenarkan aneka prasangka, sesat pikir, atau
keliru pikir yang cenderung menumbuhkan atau melanggengkan sikap saling curiga
dan dendam. Melalui itu, masyarakat dapat dicerdaskan sehingga mampu
menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan memperbudak
kekuarangan atau ketidaktahuannya demi keuntungan-keuntungan yang bias.
3. Sikap tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih, berhubungan dengan kepentingan hati
nurani manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap ranpa pamrih menunjuk
pada keteguhan bathin atau hati, yang tanpa tegoda dengan imbalan apa pun,
untuk memperjuangkan kebenaran keilmuan, baik dalam rangka kepentingan teori
maupun praktis. Intinya, ilmuan harus terbuka pada himbawan dan seruan hati
(bathin) untuk terus mengritik dan membenahi diri dalam rangka mengatasi
berbagai kekurangan serta penyimpangan dalam kegiatan keilmuan. Salah satu
aspek di mana hal itu pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.
Sikap tanpa pamrih, pertama-tama berhubungan dengan upaya membimbing diri
agar tidak tergesah-gesah dan ceroboh dalam memutuskan kebenaran atau
kepastian keilmu. Tuntutan sikap tanpa pamrih, meskipun kedengarannya agak
bertentangan dengan tuntutan praktis dalam rangka penerapan keilmuan bagi
kepentingan kesejahtreraan manusia, namun secara prinsipial tetap penting dalam
rangka tanggung jawab moral dan sosial keilmuan. Sikap tanpa pamrih dalam
keilmuan juga penting dalam rangka menjernihkan masalah-masalah di sekitar
pandangan hidup manusia. Artinya, bentuk tanggung jawab keilmuan dalam hal
sikap tanpa pamrih tidak hanya berhubungan dengan kepentingan ideologis
keilmuan, tetapi juga tanggung jawab paktis, agar terhindar dari kesalahan dan
penyalahgunaan.
Sikap tanpa pamring dalam keilmuan dibutuhkan dibutuhkan sebagai jaminan agar
penggunaan ilmu, sedapat mungkin, menguntungkan kehidupan manusia secara
memadai, dan tidak sekedar untuk mencapai target tertentu yang menyimpan dari
kepentingan mmanusia secara utuh. Keadaan makin sulit, bila kelompok-kelompok
terntu memanfaatkan ilmu untuk menjaga dan memelihara kepentingannya,
sehingga mengabaikan nilai kebenaran keilmuan demi kemanusiaan dan
kemasyarakatan.
Sikap tanpa pamrih membuat kebenaran ilmu tidak netral karena kebenaran dan
pengabdian ilmu selalu diwarnai oleh adanya intensitas tujuan dan corak etis
tertentu yang mengafirmasikan atau menguatkan seruan kepentingan kemanusiaan
dalam ilmu. Corak etis kegiatan keilmuan sekali-kali tidak terbatas pada penerapan-
penerapan konkret (praktis)-nya, karena ia harus menjangkau hal-hal yang lebih
luas untuk menemukan sikap etis yang tepat. Melalui sikap demikian, kedudukan
manusia dalam pengembangan ilmu atau keilmuan tetap tidak berubah, walaupun
kemanusiaan itu sendiri mengalami pergeseran-pergeseran yang sifatnya dinamis
dalam tanggung jawab keilmuan itu sendiri.
Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan penting pula dalam rangka mengatasi
ketidakdewasaan manusia. Sikap dapat memungkinkan manusia mengenal
keterbatasannya, makin belajar mengenal dan semakin baik menguasai dirinya
sendiri (pikirannya, emosinya, keinginannya, dan sebagainya) dan juga realitasnya.
Sikap tanpa pamrih, di satu sisi menginsyafkan manusia untuk selalu meletakkan
pandangan kritisnya terhadap perkembangan ilmu dan keilmuan. Di sisi lain, sikap
tanpa pamrih juga menginsyafkan manusia tentang betapa kurang dewasanya
manusia dan betapa banyak kemungkinan lagi untuk menjadi lebih dewasa.
4.Tanggung jawab profesional. Tugas keilmuan menghimbau pada sebuah tanggung
jawab professional yang memadai. Tanggungjawab profesional keilmuan
mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi ahli dan terampil dalam
bidangnya, jadi bukan sekedar hobi. Tanggung jawab professional keilmuan
mengacu pada bidang keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau
profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk pula pada penghasilan
atau upah yang diperoleh berdasarkan tingkat kepakaran (pengetahaun dan
ketrampilan) yang dimiliki dalam bidang keilmuannya. Profesional merupakan kata
atau istilah yang umumnya diliputi sebuah citra diri yang berbauh sukses,penuh
percaya diri, berkompeten, bekerja keras, efisien, dan produktif. Tanggung jawab
profesional keilmuan menunjuk pada gambaran diri seseorang berdisiplin, kerasan,
dan sibuk dalam pekerjaan keilmuannya. Disiplin dan kerasan meruapak sebuah
paham yang membedakan secara radikal seorang ilmuwan sejati dengan orang yang
suka malas, santai, dan seenaknya dalam sebuah tugas keilmuan.
Tanggung jawab professional keilmuan menunjuk pula pada sikap keilmuan yang
"tanpa pamrih" serta bersikap tenang, tekun, dan mantap, dapat menguasai situasi,
serta berkepala dingin dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran
ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan. Profesionalisme dalam
keilmuan mensugestikan pula bahwa seorang ilmuan adalah sosok yang bersifat
pragmatis dan tidak membiarkan profesinnya untuk dipengaruhi oleh pandangan
-pandangan yang sempit dan sesat. Profesionalisme dalam keilmuan mengandaikan
pula sikap keilmuan yang tidak terpengaruh oleh hubungan-hubungan
primordialistik, ideologi atau oleh masalah keluarga dan pribadi. Prifesionalisme
kilmuan mengandaikan pula sebuah hasil keilmuan yang berlaku secara universal,
artinya dapat diterima secara luas dan umum.
Profesionalisme dalam keilmuan bukan sekedar ketrampilan yang dapat dipelajari
secara terpisah dari kepribadian sang ilmuwab. Bahkan, profesionalisme dalam
keilmuan meliputi seluruh struktur kepribadian sang ilmuwan. Tentu saja diperlukan
keahlian (spesialisasi) dalam mengembangkan profesionalisme keilmuan. Meskipun
keahlian dapat dipelajari dan dilatih, tetapi seorang belum tentu disebuah
professional dalam keilmuannya. Artinya, profesionalisme keilmuan menunjuk pada
kualitas pengetahuan dan kualitas kerja sebagai ilmuwan.
IV. Etika Keilmuan.
1. Arti etika keilmuan. Istilah etika dari bahasa Yunani etos yang berati baik,
berbudaya, atau beradab. Jadi etika keilmuan mengandaikan adanya tatanan nilai-
nilai kebaikan (etis) dalam keilmuan, baik dalam mengusahakan ilmu maupun dalam
menerapkan ilmu bagi kepentingan manusia. Ilmuan dan keilmuan, karenanya, perlu
didasarkan pada sebuah sikap kesadaran etis yang kuat. Kesadaran etis dalam
keilmuan berlangsung , baik muali dari tahap uapaya pencaharian dan penentuan
kebenaran maupun sampai pada tahap penerapan hasilnya dalam bentuk
pembangunan. Ciri etis yang mendasari proses tersebut merupakan sebuah kategori
moral keilmuan yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Sikap etis yang
demikian bukan saja merupakan sebuah jalan pemikiran bagi sang ilmuwan, tetapi
justru lebih merupakan totalitas jalan hidupnya, dalam sebuah tanggung jawab
keilmuan yang utuh. Etika keilmuan dan moral keilmuan, meskipun berbeda, karena
etika keilmuan mendasari diri pada sikap kritis dalam melakukan keputusan secara
bebas sementara moral keilmuan mendasari diri pada perintah moral atau
kewajiban-kewajiban yang patut diikuti, namun keduanya memiliki kesamaan dalam
hal kemutlakan sikap keilmuan yang tegas terhadap kebenaran.
Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan yang nyata-nyata
mempengaruhi dan menentukan bagaimana ilmuwan mendekati dan melakukan
kegiatan keilmuannya (memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran
keilmuan) secara kritis dan bertanggung jawab. Etika keilmuan, dalam hal ini, sangat
berhubungan dengan semangat dan sikap bathin (kehendak bathin) para ilmuwan
yang bersifat tetap dalam dirinya untuk bersikap; adil, benar, jujur, bertanggung
jawab, setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu, baik untuk kepentingan
keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya dalam membangun kehidupan.
Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya kehendak bathin yang kuat sebagai
sebuah tuntutan moral yang harus direalisasikan dalam rangka tugas keilmuan.
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka keilmuan, menjaungkau hal
yang lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-
kemungkinan terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun obyek
dalam keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan menimbulkan semacam kesulitan, di
mana perkembangan keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran setan. Kondisi
tersebut, muncul ketikan ditanyakan mengenai hal keraha mana ilmu harus
diterapkan? Mana penerapa keilmuan yang baik dan mana penerapan yang kurang
baik? Jelas bahwa kriteria etis yang digunakan untuk itu adalah apakan penerapan
tersebut dapat memajukan kesejahteraan hidup manusia atau sebaliknya membawa
ancaman terhadap konsistensi hidup generasi manusia dan ekologisnya?
Artinya, seorang ilmuwan, secara moral tidak akan membiarkan kebenaran ilmunya
atau hasil penelitiannya untuk membunuh dan menindas sesama manusia dan
merusak alam lingkungannya. Kengerian hidup zaman ini yang kian mencemaskan
dengan mencuatnya berbagai kegoncangan kosmik, terkikisnya lapisan hoson yang
memacu meluasnya panas bumi yang kian mencemaskan, juga kecemasan adanya
perang kimia, dan senjata pembasmi masal, kejahatan biokimia, dan berbagai
kenyataan lainnya yang terus menghadirnya aneka kecemasan mekar dalam
kehidupan, menunjukkan betapa dunia keilmuan masih terus menghadapi dirinya
sebagai masalah. Ilmu atau keilmuan, bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi
menyenangkan tetapi di sisi lain mencemaskan. Kenyataan tersebut menegaskan
pentingnya etika keilmuan dalam menyiasati perkembangan keilmuan itu sendiri.
Dengannya, ilmu atau keilmuan tetap dikembangkan pada jalurnya yang
sebenarnya. Melalui etika keilmuan, ilmu terus dikembangkan sebagai prestasi
keluhuran manusia yang mampu menyejahterakan manusia serta membuat manusia
menjadi actor bagi kehidupan, tapi di sisi lain, melalui etika keilmuan manusia
(ilmuwan) terus dinasihati dan digembalakan agar tidak menyelewengkan keilmuan
itu sendiri untuk mengancam kemanusiaanya dan lingkungannya.
Etika keilmuan, pada prinsipnya, hendak mencerminkan adanya "kebangkitan insani"
melalui berbagai kegiatan keilmuan atau penemuan keilmuan yang pada hakikatnya
menunjukkan perkembangan citra keagungan dan peradaban manusia. Etika
keilmuan, dengan demikian, telah mengantisipasi perkembangan - perkembangan
keilmuan di kemudian hari yang mungkin mengubah kewajiban etis keilmuan, tetapi
tidak mengubah nilai-nilia etis keilmuan yang fundamental mengenai hakikat dan
martabat keagungan manusia. Bahwa terdapat kemungkinan di mana dalam
perkembangan keilmuan yang tidak terduga, manusia (ilmuwan) dapat mengetahui
dan memiliki sesuatu yang sudah ditunjukkan dalam kesadaran eti keilmuannya itu.
Kesadaran mana memungkinkan manusia (ilmuwan) dapat menilai apakah
perkembangan keilmuannya dapat membantu mewujudkan perkembangan manusia
secara lebih utuh, walaupun ia sendiri tidak mengenal persis titik akhir yang
sesungguhnya dari perkembangan tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan dunia keilmuan semakin melangkah
maju dengan usaha-usaha efektif guna dapat memerangi "ketidakberesan" dalam
kehidupan, termasuk dalam dunia keilmuan. Bahkan, sejarah makin menunjukkan
pula bahwa perkembangan dunia keilmuan makin menyingkap adanya orientasi atau
arah baru pemikiran untuk makin menyadari akan keselamatan manusia.
Konsekuensinya, penting bagi seorang ilmuwan untuk memiliki kepekaan yang besar
terhadap etika keilmuan untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi etis dalam dunia
keilmuan itu sendiri. Kesadaran etis mana, di dasarkan pada kenyataan bahwa
dialah orang satu-satunya yang bertanggung jawab sepenuhnya serta patut dimintai
pertanggunganjawabannya atas segala hal yang diakibatkan oleh kemajuan dunia
keilmuan, baik terhadap moralitas manusia, maupun orientasi perilakunya.

FILSAFAT ILMU

FILSAFAT

Filsafat terdiri dari dua kata filo dan sofia yang berarti cinta dan kebijaksanaan. Cinta di
sini dalam arti yang luas yaitu kinginan yang mendalam. Karena adanya kenginan yang
mendalam, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang diingini tadi.
Bijaksana juga berarti pengetahuan. Jadi secara harfiah filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan yang berarti pula cinta akan pengetahuan secara mendalam (Poedjawijatna,
1980). Kegiatan kefilsafatan merupakan perenungan atau pemikiran secara ketat atau dengan
sungguh-sungguh mengenai suatu permasalahan. Filsafat merupakan suatu upaya untuk
mengadakan analisis secara cermat terhadap permasalahan-permalahan yang dihadapi
manusia melalui aktivitas-aktivitas penalaran. Kemudian hasil analisis tersebut disusun
secara sistematis untuk dipahami dan dijadikan sebagai dasar atau acuan perilaku manusia.
Selanjutnya filsafat akan mengantarkan kita pada suatu pemahaman tersebut akan
membimbing kita kearah yang lebih baik atau lebih layak yang tentunya lebih bijaksana
(Kattsoff, 1996).

Kemudian pengertian filsafat berkembang jauh dari arti harfiahnya, namun esensinya
tidak terlepas dari upaya memberi pemahaman yang sedalam-dalamnya terhadap suatu
masalah atau realitas. Filsafat diartikan sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematis serta menyeluruh terhadap realitas serta hakekat dari realitas tersebut.
Filsafat juga berarti upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan
manusia yang meliputi sumber, keabsahan, hakekat serta nilai-nilainya. Filsafat juga
mengandung pengertian, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh berbagai pengetahuan. Filsafat sebagai disiplin pengeetahuan
yang berupaya untuk membantu manusia dalam melihat apa yang hendak dikatakan dan
mengatakan apa yang hendak dilihat (Bagus, 1996). Filsafat juga berarti suatu cara berpikir
yang radikal, menyeluruh dan sedalam-dalamnya terhadap permasalahan-permasalahan
(Suriasumantri, 1997). Berpikir sedalam-dalamnya tentunya, untuk menemukan makna yang
sedalam-dalamnya pula dari apa yang dipikirkan. Berpikir dalam dunia kefilsafatan tidak
hanya sekedar berusaha untuk menjawab pertanyaan, tetapi juga mempersoalkan jawaban
yang diberikan. Kemajuan seseorang dalam berfilsafat, tidak hanya diukur dari jawaban yang
diberikan, tetapi juga diukur dari pertanyaan yang diajukan (Sokrates, lih. Suriasumantri,
1997).

ILMU

Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai sinonim dari
kata science atau dalam bahasa Indonesia di sebut dengan sains.Ilmu pengetahuan berbeda
dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari pengetahuan. Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, terlepas dari persoalan apa yang diketahui
itu benar atau salah. Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pengetahuan, yang membatasi diri
pada pengetahuan yang benar saja. Tapi dalam masalah kebenaran ini perlu hati-hati, karena
hal tersebut sangat tergantung pada kriteria apa yang digunakan dalam menentukan
kebenaran tersebut. Ada tiga macam kebenaran ilmu pengetahuan, yaitu koheren,
koresponden dan pragmatis.

Ilmu pengetahuan ilmiah sering disebut dengan ilmu pengetahuan atau disebut dengan
ilmu saja. Ilmu adalah sekelompok atau sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara
teratur dan sistematik mengenai suatu objek tertentu (Abas Hamami, lih. Siswomiharjo,
1989). Kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik tadi, memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab akibat dari suatu
objek (Ofm, 1983). Ilmu merupakan buah pemikiran manusia dalam menjawab apa,
bagaimana dan mengapa (untuk apa). Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat
diandalkan dalam rangka menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam
(Suriasumantri, 1997). Menjelaskan atau menerangkan serta meramalkan dalam rangka
mengontrol gejala alam merupakan kegiatan pokok kegiatan keilmuan. Menerangkan di sini
tidak hanya sekedar menginfentarisasi dan mendiskripsikan gejala-gejala alam saja, tetapi
membahas tentang hubungan antar gejala tersebut (peursen, 1980).
Kegiatan keilmuan adalah suatu proses kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir tersebut
adalah pembahasan mengenai berbagai macam gejala alam atau berbagai macam
permasalahan yang dihadapi oleh manusia yang bergerak dari wilayah rasional ke empirik,
dari kutub a-priori ke kutub a-posteriori, dari arah das solen ke das sein serta dari pola
berpikir deduksi ke induksi. Kegiatan berpikir tersebut bertujuan untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum-hukum, kaidah-kaidah dan asas
dari berbagai permasalahan (Suriasumantri, 1997). Hasil yang didapat melalui proses tersebut
adalah ilmu pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu
disebut dengan ilmu pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan atau hanya dengan sebutan
ilmu saja.

Ilmu dicari manusia dalam rangka menerangkan, meramalkan dan mengontrol gejala
alam sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicraan terdahulu, yang saat ini
berkembang begitu pesat, sihingga tidak mungkin seseorang dapat mengetahui semuanya,
Untuk itu dalam perkembangannya lebih lanjut diadakan pemilahan-pemilahan, agar supaya
lebih mudah untuk mempelajarinya. Karena tidak mungkin seseorang dapat menguasai
semuanya. Ilmu kemudian ini menjadi menjadi tersepesialisasi dalam berbagai bidang
kajiannya. Tapi secara garis besar dapat dikelompokkan dalam ilmu alam dan ilmu sosial.
Ilmu alam (natural science) sasarannya dalah alam semesta. Ilmu pengetahuan sosial (social
science) bidang kajiannya adalah perilaku manusia. Ilmu pengetahuan alam masih
dikelompokkan menjadi ilmu fisik (physical sciences) dengan bidang kajiannya benda-benda
mati, dan biologi yang bidang sasarannya adalah mahluk hidup. Antara ilmu alam dan ilmu
sosial tidak terdapat perbedaan yang prinsipiil; karena keduanya memiliki ciri keilmuan dan
metode yang sama; hanya yang mungkin berbeda adalah tekniknya (Suriasumantri, 1997 dan
suria sumantri, 1998).

FILSAFAT ILMU

Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam
menjelajahi keilmuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan yang tidak pernah habis
dipikirkan dan tidak akan pernah selesai diterangkan (Siswomiharjo, tt). Filsafat ilmu
merupakan cabang dari filsafat pengetahuan atau epistimologi (Suriasumantri, 1998). Filsafat
pengetahuan (epistimologi) yang disebut pula dengan The Theory of Knowledge lahir pada
abad ke 18. Cabang ini membahas sumber-sumber pengetahuan, sarana-sarana pendukung
dalam mendapatkan pengetahuan, kebenaran pengetahuan serta nilai-nilai pengetahuan
ilmiah. Sumber di mana manusia mendapatkan pengetahuan adalah pancaindra, penalaran,
otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Kebenaran pengetahuan meliputi kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi dan kebenaran pragmatis. Sarana pendukung di dalam
mendapatkan pengetahuan yaitu logika, matematika, statistika, bahasa dan metodologi
penelitian (Siswomihardjo, 1989).

Revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang seperti astronomi, fisika, kimia, biologi
molekuler, teknologi informatika dan robotika, teknologi trasplantasi organ tubuh manusia ke
manusia, dan juga teknologi trasplantasi organ robot ke manusia sudah di depan mata, sampai
pada teknologi kloning dan lain sebagainya, telah dilakukan dan dinikmati manfaatnya oleh
manusia sejak abad ke 20 sampai menjelang milenium ketiga saat ini. Tetapi di sisi lain
penemuan-penemuan tersebut tadi dapat merupakan ancaman dengan kemungkinan-
kemungkinan akibat fatal bagi kehidupan manusia, baik dilhat dari sisi fisik, psikologis,
sosiologis maupun moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan
perkembangannya lebih lanjut, dapat saja digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan
dorongan angkara murka manusia, Seperti senjata pembunuh masal yang dapat kita saksikan
saat ini. Kemajuan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana
telah dikemukakan di atas, jelas memunculkan sikap optimisme sekaligus pesimisme.

Kalau melihat lagi ke belakang, perkembangan ilmu pengetahuan menuntut dan


mengarah pada perbedaan-perbedaan atau spesialisasi-spesialisasi khususnya pada objek
formanya. Ini terjadi sejak abad penalaran, yaitu sejak tampilnya Charles Darwin dengan
teori evolusinya. Sebelum itu, ilmu adalah satu. Artinya tidak jelas atau tidak ada batasan
antara objek yang satu dengan objek yang lain. Bahkan objek, metode dan gunanya adalah
satu, yang sering disebut dengan ngelmu (Suriasumantri, 1998). Ini jelas akan berpengaruh
pada pola kehidupan kemasyarakatan yang tidak membagi pekerjaan atau tugas-tugas atas
dasar bidang keahlian masing-masing atau spesialisasinya. Contoh ekstrim misalnya pada
masyarakat primitif, seorang kepala suku bisa merangkap berbagai macam jabatan seperti
hakim, penghulu, panglima perang, tukang tenung, tabib (untuk segala macam penyakit),
bahkan sebagai mediator antara manusia dengan Tuhan (Suriasumantri, 1998).

Perkembangan ilmu yang sudah begitu terspesialisasi, memang sudah terbukti


berpengaruh terhadap kepesatan perkembangan ilmu dan teknologi yang ada saat ini. Akan
tetapi spesialisasi dengan kapling masing-masing disiplin ilmu yang begitu sempit dan
perkembangannya yang tidak terkontrol, akan menimbulkan masalah baru. Kenyataan yang
ada, peroblema-problema yang dihadapi manusia yang semakin lama bertambah semakin
kompleks, tidak dapat dipecahkan secara parsial yang hanya menggantungkan pada satu
disiplin yang sempit saja. Misalnya pengadaan pemukiman penduduk, tidak hanya
menyangkut masalah penyediaan lahan, bahan bangunan, masalah arsitektur dan lain-lain,
tetapi juga menyangkut persoalan-pebrsoalan yang kompleks, baik yang menyangkut aspek
fisik, psikologis, sosiologis dan moral. Dalam kondisi yang demikian, kiranya dirasa perlu
untuk membuka saluran interaksi antara berbagai cabang ilmu untuk saling memberikan
informasi dan kontribusi dalam rangka memecahkan persoalan kemanusiaan yang dihadapi
bersama. Untuk membuka saluran komunikasi tadi, dibutuhkan adanya saling kontak antara
berbagai disiplin menuju kearah pencapaian hakekat ilmu secara integral. Di sinilah
pentingnya filsafat ilmu. Filsafat ilmu dengan cakupan bahasannya mengenai tiang
penyangga eksistensi ilmu yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi, memungkinkan adanya
keterjalinan antar cabang ilmu (Siswomihardjo, tt). Sehingga dengan demikian, persoalan-
persoalan yang sedang dan akan dihadapi bersama (yang tentunya begitu sulit bahkan tidak
mungkin diselesaikan secara parsial), akan dapat dipecahkan bersama antar berbagai disiplin
ilmu, bahkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain, yang tentunya secara aksiologis
kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama yaitu kemaslahatan manusia.

ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI DAN AKSIOLOGI

Semua pengetahuan berusaha menjawab semua persoalan yang dihadapi terhadap pertanyaan
yang inheren dalam persoalan tersebut yaitu apa, bagaimana dan mengapa atau untuk apa.
Maksudnya, apa yang telah, sedang atau akan dikaji, bagaimana cara mengkajinya, mengapa
atau apa manfaatnya kajian tersebut. Pertanyaan tentang apa, bagaimana dan mengapa ini
dalam istilah kefilsafatan dikenal dengan istilah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi.
Filsafat menelaah objek kajiaanya atas dasar tiga sudut pandang tersebut.

Istilah ontologi merupakan sebutan lain dari metafisika yaitu segala sesuatu yang ada dibalik
fisik. Sebetulnya istilah metafisika sendiri tidak dikenal dalam sejarah pemikiran filsafat
Yunani. Istilah tersebut baru diperkenalkan pada awal abad pertengahan oleh Andronikos
sebagai sebutan terhadap pemikran-pemikiran Aristoteles yang tertuang dalam tulisannya
yang disebut dengan prote philosofia dan disusunnya kembali secara sistematis. Kemudian
metafisika yang telah disusun oleh Andronikos tadi dikembangkan lagi oleh Christian Wolf
(1679-1754) dan disebutnya dengan istilah ontologi (Wibisono dkk, 1989). Objek kajian
metafisika adalah segala sesuatu yang ada, baik dalam abstraknya ataupun dalam
kongkretnya. Misalnya pengenalan terhadap manusia, meliputi pengenalan terhadap
keberadaan abstraknya sekaligus terhadap keberadaan dalam kongkretnya. Ada dalam
abstraknya adalah yang ada dalam angan-angan dan pikiran, sebagai hasil dari absatraksi dan
refleksi terhadap objek-objek yang dijumpai atau objek-objek yang ada dalam kongkretnya.
Dengan demikian, ontologi atau metafisika adalah pengetahuan yang merupakan cabang dari
filsafat yang membicarakan tentang ada dan keberadanya.

Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan kebenaraan dan
logos yang berarti pikiran atau teori. Di sini epistimologi dapat dipahami sebagai Teori
Pengetahuan atau The Theory of Knowledge yang juga disebut dengan The Phylosophy of
Knowledge atau filsafat pengetahuan. Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan,
proses dalam mendapatkan pengetahuan, sarana pendukung dalam mendapatkan
pengetahuan, macam-macam pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Salahsatu cabang dari
filsafat pengetahuan, adalah filsafat ilmu. Jadi filsafat ilmu atau The Phylosophy of Science
sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnya, adalah filsafat
pengetahuan khusus yang memfilsafati pngetahuan ilmiah.

Masing-masing cabang pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan ilmiah, menjawab apanya,


bagaimananya dan mengapanya atau untuk apanya sendiri, dalam arti masing-masing
pengetahuan memiliki ontologi, epistimologi dan aksiologinya sendiri. Kalau ontologi dalam
kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang menjawab pertanyaan yang meliputi segala
sesuatu yang ada dan mungkin ada, misalnya apa alam semesta beserta hakikatnya, apa
manusia itu dan sebagainya. Sedangkan ontologi ilmu pengetahuan ilmiah menjawab
pertanyan tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, tetapi yang dapat dijangkau
oleh akal/penalaran, dan dapat diamati atau dialami oleh manusia. Misalnya pertanyaan
tentang apa manusia (subjek) dibatasi pada aspek kebudanyaanya, psikologisnya, perilaku
sosialnya dan berbagai aspeknya (objek) yang dapat dinalar sekaligus dapat diamati atau
dialami.

Epistimologi kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang bagai
mana cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Ontologi dalam keilmuan yaitu metode
atau cara dalam mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Misalnya bagaimana
atau dengan metode apa yang dapat digunakan untuk mencapai objek dan subjek yang dikaji
tadi.
Aksiologi ……………..

ILMU DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN FILSAFAT BARAT

Berfilsafat bukanlah monopoli para filosof, karena berfilsafat memang merupakan aktivitas
manusia dari sejak awal keberadaannya. Disadari atau tidak, setiap individu akan berfilsafat
pada saat dihadapkan pada masalah hidup yang fundamental, yang membutuhkan jawaban
yang jelas. Ini diawali sejak manusia mulai mengagumi sesuatu, mempertanyakan makna
serta asal mulanya. Sejak saat itu pula dengan berbagai upaya dan cara manusia berusaha
mendapatkan jawaban, sekalipun jawaban yang didapat akhirnya masih berada dalam
wilayah yang bersifat spekulatif dan non empirik (Siswomihardjo, 1985). Filsafat sebagai
pengetahuan dan bahkan dikatakan sebagai induk dari semua pengetahuan di sini, dalam arti
tradisi pemikiraan barat atau filsafat barat. Filsafat barat tersebut tidak bisa terlepas dari
tradisi pemikiran Yunani kono yang memang menjadi sumber atau akarnya di dalam sejarah
perkembangannya.

Sekalipun filsafat bukanlah monopoli filosof barat, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan,
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan filsafat barat sebagaimana telah disebutkan di
atas, yang sumbernya memang dari filsafat Yunani kono. Ini dimulai dengan munculnya
kaum sofis yang disusul kemudian oleh Sokrates, Plato, Aristoteles dan lainnya. Sebelum
munculnya kaum sofis tadi, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam
hidupnya, orang Yunani mencari jawabannya dalam bentuk metos-metos. Atas dasar
metologi, manusia pada waktu itu, berusaha menjelaskan berbagai macam gejala alam
dengan segala macam aturannya; sedangkan para dewa dengan segala keperkasaan dan
kekuasaannya ditempatkan sebagai sumber segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam
semesta.

DEMETOLOGI DARI KAUM SOFIS

MASA SOCRATES, PLATO DAN ARISTOTELES

MASA ABAD TENGAH

MASA RENAISSANCE

Masa ini renaissance muncul seiring dengan berakhirnya masa abad pertengahan mulai
abad ke 14 sampai dengan abad ke 15. Masa ini dianggap sebagai masa transisi antara jaman
abad pertengahan dengan masa moderen. Begitu sulit menentukan pastinya kapan
berakhirnya abad pertengahan secara tepat. Hanya pada abad ke 14 terjadi krisis dan titik
jenuh abad tengah dimaksud dan puncaknya pada abad ke 15. Kemudian lahirlah suatu
gerakan yang dikenal dengan gerakan renaissance. Kata renaissance berasal dari bahasa
Italia yaitu renascimento yang berarti kelahiran kembali. Kelahiran kembali maksudnya
adalah kelahiran suatu peradaban yang pernah berjaya yaitu pada masa Sokrates, Plato dan
Aristoteles sebagai antiklimaks dari dominasi doktrin agama dan geraja pada abad tengah.
Masa Sokrates, Plato dan Arestoteles adalah masa-masa di mana manusia memiliki
kebebasannya untuk menggunakan rasionya sebagai sumber utama dalam mengenal dan
mengerti dirinya sendiri, alam semesta serta kenyataan hidup dengan segala bentuk dan
hakekatnya. Pada masa itu hak individu sebagai manusia perseorangan diakui sebagai faktor
utama dalam pengembangan budaya. Sebagai konsekuensi dari kebebasan menggunakan
rasio, kebebasan setiap individu untuk mengembangkan budayanya adalah pemikiran waktu
itu tidak hanya terkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat transendental saja, tetapi juga
pada hal-hal yang bersifat immanent. Immanent adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan kebutuhan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Para filosof masa ini berusaha
menghidupkan kembali kebudayaan, kesusastraan dan kesenian klasik serta pemikiran
kefilsafatan dengan mencari inspirasi dari warisan kebudayaan Yunani dan Romawi.

Sekalipun dalam sejarah kefilsafatan disebutkan bahwa masa renaissance dimulai sejak
abad ke 15, tetapi embrionya sudah terjadi sejak abad ke 14; oleh para humanis di Italia.
Dalam masa abad pertengahan, mereka telah mempelajari naskah-naskah karya para penulis
Yunani dan romawi. Para humanis mengusahakan adanya kepustakaan yang baik, dengan
mengikuti jejak kebudayaan klasik. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan perkembangan
sifat-sifat dan potensi alamiah yang dimiliki manusia. Para humanis Itali tidak menyangkal
adanya kuasa yang lebih tinggi yaitu Tuhan dengan Wahyunya yang menjadi doktrin pada
abad pertengahan. Hanya menurut mereka potensi sifat dan potensi alamiah yang dimiliki
oleh manusia memiliki nilai yang cukup untuk dikenali dalam rangka upaya memanusiakan
manusia, karena dengan potensi yang ada, manusia dapat pula menghasilkan karya budaya.
Mereka tidak serta merta meninggalkan ajaran Abad Tengah, tetapi berusaha menjembatani
dalam rangka adaptasi antara doktrin gereja dengan filsafat dan kebudayaan Yunani klasik.

Kemudian, di Jerman timbul pula kaum humanis. Hanya berbeda dengan kaum humanis
di Italia yang masih mengindahkan kuasa yang lebih tinggi di atas manusia; kaum humanis
Jerman hanya menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagimana adanya yang terlepas dari
segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan Wahyu. Mereka menerima hidup apa
adanya, dalam batas keduniawian. Demikianlah kaum humanis dengan upaya mempelajari
naskah-naskah klasik Yunani dan romawi ikut mengantarkan kelahiran masa renaissance
yang menjadikan kebudayaan hanya bersifat alamiah dan kongkret saja (Hadiwijoyo, 1980).
Pada masa renaissance perkembangan penetahuan tidak hanya dalam bidang ilmu alam saja,
tetapi juga dalam bidang ilmu ketatanegaraan (Hadiwijono, 1980).

Tokoh-Tokoh Zaman Renaissance

Nikolaus Kopernikus (1473-1543). Copernikus adalah tokoh gereja ortodoks.


Berdasarkan temuannya dia menyatakan bahwa matahari sebagai pusat jagat raya. Teori ini
berbeda sama sekali dengan teori geosentrisme dari Ptolemeus yang telah diadopsi dan
menjadi doktrin gereja pada saat itu; yang menyatakan bahwa pusat jagat raya adalah bumi.
Pandangan Copernicus tadi disebut dengan heleosentrisme. Teori heleosentrisme menyatakan
bahwa bumi memiliki dua macam gerak, yaitu berputar pada porosnya setiap hari dan
mengelilingi matahari setiap tahun. Copernikus tidak mempublikasikan temuannya, karena
takut akan sangsi dari gereja. Setelah setahun kematiaanya tahun 1543, temuan tadi
dipublikasikan oleh temannya. Buku tersebut dipersembahkan kepada Sri Paus, dan beredar
secara luas dikalangan masyarakat tanpa ada kecurigaan. Orang hanya menganggap sebagai
pendapat lain yang kebetulan berbeda dengan teori Ptolomeus yang memang menjadi tren
pemikiran masyarakat waktu itu.

Johanes Kepler (1571-1630). Ia adalah tokoh yang menerima teori heleosentrisme


setelah Kopernikus. Dia menemukan tiga hukum gerak bagi planit-planit. Pertama, planit-
planit bergerak dengan membuat lingkaran elips, mengelilingi matahari sebagai fokusnya.
Kedua, garis yang menghubungkan pusat planit dengan matahari, dalam waktu yang sama
akan membentuk bidang yang sama luasnya. Ketiga, kuadrad periode planit mengelilingi
matahari, sebanding dengan pangkat tiga dari rata-rata jaraknya terhadap matahari.

Galileo Galilei (1564-1642). Ia membuat sendiri sebuah teleskop setelah terinspirasi


oleh teleskop buatan Hans Lipper yang ia kenal sebelumnya. Teleskop tadi dipakai untuk
menjelajahi jagat raya, yang kemudian menemukan bahwa bintang bima sakti terdiri dari
bintang-bintang yang banyak sekali jumlahya; dan masing-masing bintang berdiri sendiri.
Pandangnnya tentang jagat raya, sejalan dengan teori heleosentrisme seagaimana halnya
Kopernikus dan Johanes Kepler. Selain itu, ia adalah orang yang pertama menetapkan hukum
akselerasi atau kecepatan benda jatuh baik dalam besarannya ataupun arah geraknya. Jika
sesuatu benda jatuh di ruang kosong, maka kecepatan kejatuhan tadi akan tetap. Tetapi, kalau
di ruang tadi ada udara yang bergerak secara berlawanan, maka kecepatan gerak kejatuhan
tadi akan berubah. Akselerasi tadi akan tetap sama bagi semua benda, baik yang berat atau
yang ringan. Ajaran heleosentrisme atas dasar temuan Galilei ini, menggoncangkan gereja.
Pada tahun 1632 gereja secara terbuka menuntut Galilie untuk menarik ajarannya.

Hugo Ge Groot (1583-1645). Ia menyusun gagasan tentang Hukum Internasional.

Niccolo Machiavelli (1467-1525). Ia mengemukakan gagasan tetang negara otokratis.

Thomas More (1480-1535). Ia memiliki obsesi tentang negara Utopia. Yang


dimaksudkan dengan negara utopia adalah masyarakat agraris, yang berdasarkan keluaraga
sebagai sistem kesatuan dasar, yang tidak mengenal hak milik pribadi dan tidak mengenal
ekonomi uang.

Masa renaissance, mengantarkan manusia pada kedewasaan berpikir sampai pada puncak
kejayaannya pada abad ke-17. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dan dua aliran besar
yang saling bertentangan yaitu aliran Rasionalisme dan Emprisme

Francis Bacon (1961-1626). Ia berpandangan bahwa pengetahuan yang telah ada


sebelumnya, tidak mendorong perkembangan pengetahuan, tidak ada kemajuan, dan tidak
memberikan manfaat praktis bagi kehidupan manusia. Ia berupaya mengubah cara lama di
dalam mendapatkan pengetahuan, dengan upaya menyusun prosedur keilmuan secara logis
dan sisitematis. Ia lalu mengembangkaan metode induksi moderen. Ia berupaya untuk
menjadikan manusia dapat menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan cara penemuan-
penemuan empirik.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bird, A; 2000. Philosophy of Science, Fundamental of Philosophy, Series Editor: John


Shand

U.C.L. Press, Taylor & Francis Group, London.

Blashov, Y. and Rosenberg, A; 2002. Philosophy of Science Contemporary Readings,


Routledge, Taylor & Francis Group, London and New York.

Kattsoff, L; O; 1996. Pengantar Filsafat (Alih Bahasa, Sumargono), Penerbit Tiara


Wacana,

Yogyakarta.

Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit kanisius, yogyakarta.

Poedjawijatna, I;R; 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Cetakan Kelima, Penerbit P.T.

Pembangunan, Jakarta.

Siswomihardjo, Kunto, Wibisono, tt. Hubungan Filsafat Ilmu Pengetahuan dan


Budaya,

(Bahan Kuliah untuk Program S-2 dan S-3 di UGM)

————–, 1985. Ilmu Filsafat dan Aktualitasnya dalam Pembangunan Nasional,


Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yog-

yakarta.

————–, 1989. Materi Pokok Dasar-Dasar Filsafat, (Universitas Terbuka),


Penerbit

Kurnia, Jakarta.

Suriasumantri, Jujun, 1997. Ilmu dalam Persfektif Sebuah Kumpulan Karangan


Hakekat

Ilmu, Cetakan Ketigabelas, Penerbit Yayasan Obor, Indonesia.

————–, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan kesebelas,


Penerbit

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu

(Terjemahan J. Drost), Penerbit P.T. Gramedia, Jakarta.

BAB I
FILSAFAT ILMU

A. Pengertian Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu berasal dari dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Dua kata ini memiliki arti
masing-masing. Apabila kedua kata ini digabungkan pun akan memiliki arti tersendiri.
Filsafat dan ilmu yang kita kenal dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada
zaman itu filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya
sebagai dua hal yang berlainan. Nama yang dipakai pada saat itu adalah episteme. Episteme
merupakan sinonim kata philosophia atau nantinya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi filsafat.1[1]
Filsafat dari asal bahasanya sendiri diambil dri bahasa Yunani, yaitu gabungan dari
kata philo yang artinya cinta, suka dan shopia yang berarti kebijaksanaan, hikmah (wisdow)
atau pengetahuan yang mendalam. Menurut istilah, filsafat adalah berfikir secara sistematis,
radikal dan universal untuk mengetahui tentang hakikat sesuatu yang ada. Dengan kata lain
filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala
sesuatu.2[2]
Sedangkan secara harfiah kata ilmu berasal dari bahasa arab ‘ilmi yang berarti
pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata science yang berarti pengetahuan dan
aktivitas mengetahui.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan
yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional-
empiris megenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis
yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. 3[3]
Adapun ilmu adalah kumpulan dari beberapa pengetahuan yang saling berkaitan atau
bervariasi tentang sesuatu. Imam al-Ghazali sepakat dengan rumusan seperti ini, meskipun
tidak dengan eksplisit menyetujuinya ketika membahas kemampuan manusia untuk mencari
kebenaran. Pengertian ilmu sebagai kumpulan sistematik. Sejumlah pengetahuan juga
disepakati oleh pakar filsafat ilmu barat seperti Henry W. Johnstone, John G. Kemeny.4[4]
Definisi filsafat ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
1 [1] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hlm. 1

2 [2] Fathul Mufid, filsafat Ilmu Islam,STAIN Kudus,Kudus, 2008, hal 2

3 [3] Ibid, hlm. 3

4 [4] Ibid, hlm. 4


1. Robert Akermann
Filsafat ilmu adalah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap pendapat-pendapat masa lampau yang telah dibuktikan atau dalam
kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi
filsafat ilmu dengan jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktik ilmiah yang
sebenarnya.
2. Lewis White Back
Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba
menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3. A. Cornelius Benjamin
Filsafat ilmu sebagai cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis
mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan
praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang
pengetahuan intelektual.
4. May Brodbeck
Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan
mengenai landasan-landasan ilmu.
5. The Liang Gie
ilmu adalah pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Landasan ilmu dimaksud meliputi: konsep-konsep pangkal, anggapan-anggapan
dasar, asas-asas permulaan, struktur-struktur teoritis, ukuran-ukuran kebenaran ilmiah.5[5]

Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (adi-
ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu
adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia.
Problem-problem dalam filsafat ilmu antara lain sebagai berikut :
1. Apakah konsep dasar ilmu?
Maksudnya, bagaimana filsafat ilmu mencoba untuk menjelaskan anggapan-anggapan dari
setiap ilmu, dengan demikian filsafat ilmu dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi
setiap cabang ilmu. Dalam masalah ini filsafat ilmu tidak dapat lepasa begitu saja dari cabang

5 [5] Ibid. hal. 6


filsafat lainnya yang lebih utama adalah epistemologi atau filsefat pengetahuan dan
metafisika.
2. Apakah hakikat dari ilmu?
Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu pengetahuan sehingga mencapai yang
bersifat keilmuan.
3. Apakah batas-batas dari ilmu?
Maksudnya, apakah setiap ilmu mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ataukah
ada norma-norma fundamental bagi kebenaran ilmu. 6[6]

Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua yakni filsafat ilmu dalam arti luas dan
filsafat ilmu dalam arti sempit.
1. Filsafat ilmu dalam arti luas, yaitu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti:
- Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah;
- Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu;
- Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu dalam arti sempit, yaitu menampung permasalahan yang bersangkutan dengan
hubungan kedalam yang terdapat didalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan
ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah. 7[7]

Tempat kedudukan filsafat didalam lingkungan filsafat adalah sebagai berikut :

Being Knowing Axiologi


(tahu)
(ada) (nilai)
Epistemologi logika
Ontologi Etika
dan Metodologi
Metafisika Estetika
filsafat ilmu

Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat
ilmu yakni :
1. Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi
yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat pengetahuan manusia dan bentuk pengetahuan
manusia.

6 [6]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005, hlm.64

7 [7] Ibid. hlm.64-65


2. Menyangkut cara-cara mengusahakan dan mencapai pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini
filsafat ilmu berkaitan erat dengan logika dan metodologi. Ini berarti cara-cara mengusahakan
dan memperoleh pengetahuan ilmiah berkaitan erat dengan susunan logis dan metodologis
serta tata urutan berbagai langkah dan unsur yang terdapat dalam kegiatan ilmiah pada
umunya. 8[8]

B. Obyek Pembahasan Filsafat Ilmu


Obyek filsafat ilmu setidaknya ada dua yang substantif dan ada dua yang
instrumentatif. Dua yang substantif adalah kenyataan dan kebenaran sedangkan dua yang
insstrumentatif adalah konfirmasi dan logika inferensi.
1. Kenyataan atau Fakta
Kenyataan atau fakta adalah empiri yang dapat dihayati oleh manusia. Positivisme hanya
mengakui penghayatan yang empiris sensual. Sesuatu sebagai nyata bagi positivismebila ada
korespondensi antara yang sensual satu dengan yang lain. Data empiris sensual tersebut harus
obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti empiri pada realisme, bukan sekedar empiri
sensual yang mungkin palsu yang mungkin memiliki makna lebihdalam yang seragam.
Empiri pada realisme memang mengenai hal yang real, dan memang secara substantif ada
empiri yang substantif real baru dinyatakan ada bila ada kohehrensi yang obyektif universal.
2. Kebenaran
Benar mana yang hendak dijangkau oleh filsafat ilmu : benar epistimologik, ontologik, atau
benar aksiologik ? Berbagai metode di atas akan beda tela’ahnya.
3. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau
memberikan pemaknaan-pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolute,
dan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian.
Probabilitik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4. Logika Inferensi
Logika paradigma dengan menggunakan ragam pola pola pikir terutama yang menyebar dan
horisontal, serta mengembangkan pemaknaan menjangkau kebenaran etik dan diluar segala
kesanggukan manusia biasa. Logika pragmatik dapat digunakan seni berfikir secara teratur,
logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, anti tesis dan sintesis, yang berupaya memadukan
ide value dalam tindakan fungsional operasional.9[9]

8 [8] Ibid, hlm.66

9 [9] Fathul Mufid, Op.Cit, hlm. 8 - 9


C. Fungsi Ilmu
Ilmu memiliki kegunaan atau fungsi dan fungsi ilmu tidaklah satu melainkan
banyak.Ilmu mempunyai sejumlah fungsi yang bertalian. Beberapa fungsi ilmu adalah;
1. Untuk mendapatkan penjelasan (explorasi)
2. Untuk peramalan (prediction)
3. Untuk pengendalian (control)
4. Untuk penerapan (application)

Ilmu diperkembangkan oleh ilmuan untuk mencapai kebenaran dan untuk mendapatkan
pengetahuan.Dari kedua hal itu ilmu diharapkan dapat pula mendatangkan pemahaman
kepada manusia tentang alam semesta, dunia sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri.
Berdasarkan pemahaman itu ilmu akan dapat memberikan penjelasan tentang gejala alam,
peristiwa masyarakat, atau perilaku manusia yang perlu dijelaskan. Penjelasan dapat menjadi
landasan untuk peramalan yang selanjutnya bisa merupakan pangkal bagi pengendalian
terhadap sesuatu hal. Akhirnya ilmu juga diarahkan pada tujuan penerapan, yaitu untuk
membuat aneka sarana yang akan membantu manusia mengendalikan alam atau mencapai
suatu tujuan praktis apapun. Dengan demikian, ilmu tidak mengarah pada tujuan tunggal
yang terbatas melainkan pada macam-macam tujuan, yang tampaknya dapat berkembang
terus sejalan dengan pemikiran ilmuan.10[10]

10[10] Ibid, hlm.13


BAB II
POSISI AL-QUR’AN DAN AL-SUNNAH DALAM STRUKTUR
ILMU ISLAM

A. Posisi Al-Qur’an Dalam Ilmu Islam


Al- Qur’an juga bisa dijadikan sebagai rumusan teori, dalam hal ini Al-Qur’an
dijadikan sebagai paradigma. Dalam pengertian ini paradigma Al-Qur’an berarti suatu
konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an
memahaminya.
Al-Qur’an sebagai dasar dari ilmu islam yang bersifat universal tidak serta merta
memberikan semua yang dibutuhkan dalam ilmu tersebut, tetapi juga disempurnakan dengan
keberadaansunnah yang merupakan warisan dari Rasul. Hal ini juga tidak menutup
kemungkinanterjadinya perbedaan penafsiran yang muncul karena benyaknya pemikir-
pemikir yang mempunyai otak yang berbeda, namun hal tersebut tidak menjadikan esensi
dari keilmuan kabur begitu saja bahkan akan memperkaya keilmuan didalam islam.
Al-Qur’an mengintroduksikan dirinya sebagai petunjuk kepada jalan yang lurus.
Petunjuk-petunjuknya bertujuan memberi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia.
Orientasi syri’at Al-Qur’an adalah membangun kebajikan jalan hidup manusia, mewujudkan
kemaslahatan syari’at tersebut, melalui asa yang lebih besar, lebih lurus jalannya, menuju
suatu arah yang lebih selamat dan shahih, baik didunia maupun di akhirat.11[11]
B. Posisi As-Sunnah Dalam Ilmu
Para ulama’ menyatakan bahwa kedudukan Assunnah terhadap Al-Qur’an adalah
sebagai penjelas. Karena kedudukan itu, As-sunnah selalu mempunyai dasar Al-Qur’an. As-
sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas bagi Al-Qur’an. Para ulama’ memandang As-
sunnah sebagai sumber kedua ajaran islam setelah Al-Qur’an.
Ada tiga fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an:

1. As-sunnah sebagai penguat terhadap hukum syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. As-sunnah menjelaskan globalitas Al-Qur’an dan menafsirkan hukum-hukum syara’.
3. As-sunnah membangun sandaran hukum baru yang tidak disebut dalam Al-Qur’an.

11[11] Ibid, hal 15 - 16


Kalau tidak ada as-sunnah, maka islam dan syari’atnya hanya merupakan rumus,
kaidah-kaidah, dasar-dasar, seperangkat kisah dan kabar, kalimat yang memukau, akhlak dan
hukum-hukum minim. Al-Qur’an dan As-sunnah adalah dua hal yang tidak dapat dipisakan,
keduanya merupakan sumber hukum islam yang tidak dapat dipisahkan.12[12]
C. Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum islam
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam berbagai dimensi
kehidupan. Dari dulu hingga sekarang umat islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah
kitabullah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu, dan tidak sedikitpun ada
keraguan. Al-Qur’an juga diakui sebagai teman berdialog yang sempurna dan diturunkan
sebagai gambaran cara yang benar bagi setiap orang dan memberikan jalan keluar dari
berbagai kesulitan masalah yang muncul dihadapan manusia.
Selain Al-Qur’an, Allah juga memberikan petunjuk dan kaidah-kaidah kepada manusia
melalui sunnah-sunnah nabi. Yakni ucapan, perbuatan, ketetapan atau sifat maupun sirah
Rasulullah SAW. Umat islam hampir seluruhnya sepakat , bahwa sunnah Rasul merupakan
suatu sumber hukum islam yang kedua setelah islam. Penerimaan Al-Qur’an sebagai sumber
hukum islam dan As-sunnah sebagai sumber hukum pula menuntut kejelasan hubungan dan
fungsi As-sunnah terhadap Al-Qur’an.13[13]
D. Al-Qur’an dan As-Sunnah Sebagai Sumber Segala Ilmu
Al-Qur’an demikian menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak
ditemukan bandingannya dalam kitab-kitab suci yang lain. Dei dalam Al-Qur’an terdapat
berates-ratus ayat yang menyebut tentang ilmu dan pengetahuan. Di dalam sebagian besar
ayat itu disebutkan kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu. Dalam surat al-Mujadilah ayat 11
dan surat al-Zumar ayat 9 disebutkan bahwa:
“ Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan mempunyai
ilum.”
“ Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui ?”
Di samping itu masih banyak ayat lain yang menyatakan tentang kemuliaan ilmu.
Dalam hadits rasulullah SAW. dan para imam ahlul bait yang berkedudukan mengiringi Al-

12[12] Ibid, hal.16-17

13[13] Ibid, hal19-20


Qur’an terdapat dalil-dalil yang tidak terhitung banyaknya tentang anjuran mencari ilmu, arti
penting dan kemuliaannya.14[14]
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an mengajak untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan
allah di langit, bintang-bintang yang bercahaya, susunannya yang menakjubkan dan
peredarannya yang mapan. Ia juga mengajak untuk memikirkan penciptaan bumi, laut,
gunung-gunung, lembah, keajaiban yang terdapat di dalam perut bumi, pergantian musim,
siang dan malam.15[15]
Hal tersebut mengisyaratkan pada manusia bahwasanya Allah menciptakan semua yang
ada dilangit dan di bumi agar dijadikan sebagai bahan renungan dan pemikiran. Karena di
dalam segala penciptan-Nya tersebut terdapat berbagai macam pengetahuan ilmu yang dapat
diperoleh dan dimanfaatkan oleh manusia.16[16]
Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan seringkali dipahami sebagai satu
konflik. Kemajuan salah satu dianggap sebagai kemunduran bagi yang lainnya. Tetapi islam
tidak mendekati permasalahan ini dari perspektif tersebut karena Al-Qur’an dan as-Sunnah
telah memberikan sistem yang lengkap dan sem,purna yang mencakup semua aspek
kehidupan, termasuk kegiatan-kegiatan ilmiah atau pencapaian-pencapaian ilmiah. Sehingga
kegiatan ilmiah merupakan unsure dari totalitas sistem islam dimana masing-masing bagian
memberikan sumbangan atau melengkapi yang lainnya.17[17]

14[14] Ibid. 20-21

15[15] Aziz al-Zindarni et.al, Mukjizat al-Qur’an dan Sunnah Tentang Iptek, Gema Insani Press, Jakarta,
1997, hlm. 72

16[16] Fathul Mufid, Op.Cit, hlm. 21

17[17] Aziz al-Zindarni et.al, Op.Cit. hal 73


BAB III
STRUKTUR ILMU

A. Pengertian Struktur Ilmu


Struktur merupakan organ/ atau perangkat dari organisasi tersebut yang tentunya
terkait dengan mekanisme kerjanya dan tujuan yang akan dicapai. Melalui sistem kerja yang
masing-masing organisasi tentu memliki kekhsusan tersendiri, Dalam proses operasionalnya
tentu diperlukan koordinasi yang baik agar tautan dari perangkat satu dan lainya tidak
terputus. Seorang kepala sekolah dalam organisasi sekolah misalnya, sampai kepada para
guru pemegang mata pelajaran bahkan sampai kepada tukang kebun, agar tujuan organisasi
tersebut yaitu memintarkan, akan dapat tercapai jika mereka memiliki koordinasi yang baik. 18
[18]
B. Perangkat dalam Struktur Ilmu
Harus terdapat komponen-komponen di dalam struktur
Dikatakan harus ada karena yang dikatakan struktur tentu bukan merupakan satu kesatuan
yang utuh tanpa memiliki organ-organ di dalam dirinya.Dalam hal ini yang dimaksud dengan
komponen-komponennya tentu juga bersifat abstrak sebagai mana struktur ilmu itu sendiri
merupakan satu kesatuan yang sebenarnya abstrak pula.
Harus terdapat Fungsi-fungsi di dalam struktur
Mengenai fungsi di dalam struktur ilmu tentu merupakan suatu hal yang tidak kalah
pentingnya dengan komponen-komponen yang ada di dalam struktur ilmu.Dikatakan
demikian karena Struktur ilmu sebagai salah satu kajian dalam kajian filsafat ilmu jelas
memiliki fungsi-fungsi.
Jika dilihat dari definisi yang dapat disimpulkan di atas, fungsi yang paling utama tentunya
adalah untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi ada pula fungsi-fungsi struktur ilmu yang lain
yang juga penting; yaitu ia menjadi sebuah alat ukur bagi sebuah kebenaran dalam ilmu
pengetahuan.19[19]
C. Sistematika Kerja Struktur Ilmu
1. Perumusan masalah
18[18]Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2003, hal. 74

19[19] Ibid, hal. 76-77


Perumusan masalah diletakkan pada barisan depan karena komponen ini berfungsi sebagai
penentu apakah sebuah fenomena yang dijumpai merupakan sebuah masalah yang perlu
dikaji secara keilmuan atau tidak. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya dapat dibedakan
antara masalah yang dapat dijawab melalui metode ilmu atau mungkin tidak tepat untuk ilmu.
2. Pengamatan dan Deskripsi
Yang paling utama dalam kegiatan pengamatan dan deskripsi adalah klasifikasi, kemampuan
mengklasifikasikan masalah akan mengarahkan pada deskripsi yang benar pada sebuah
masalah yang akan dikaji.
Jika dalam kajian ilmu fisika, biologi atau yang lain (non-sosia),sorang ilmuan mungkin saja
untuk membuat istilah-istilah,namun untuk ilmusosial yang subyeknya manusia dan
masyarakat; biasanya telah memiliki nama dan klasifikasi.
Beberapa langkah berikut akan membantu dalam pendeskripsian masalah:
 Melakukan Tinjauan Pustaka
 Membuat Sebuah Persepsi
 Memanfaatkan Teknologi
 Menggunakan Pengukuran
3. Penjelasan
Dalam upaya penjelasan, mungkin dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Penjelasan Deduktif; yaitu sebuah penjelasan yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di
mana kesimpulan tertentu disimpulkan setelaah menetapkan aksioma atau postulat.
b. Penjelasan Probabilistik (kemungkinan); yaitu penjelasan hanya menggunakan kata
"mungkin", "hampir pasti", atau dalam batas 5%. Hal ini terjadi apabila kita berurusan
dengan sejumlah besar manusia, atau individu dengan berbagai macam tingkah lakunya
c. Penjelasan Genetis; Yaitu menjawab pertanyaan "mengapa" dengan apa yang terjadi
sebelumnya.
d. Penjelasan Fungsional; yaitu menjawab pertanyaan "mengapa" dengan jalan menyelidiki
tempat obyek yang sedang diteliti dalam keseluruhan sistem di mana obyek tersebut berada.
4. Ramalan dan Kontrol
Hipotesis yang diajukan dapat disyahkan kebenarannya dengan cara yang memungkinkan
adanya ramalan dan kontrol.
Macam-macam ramalan dan control:
1) Hukum; yaitu yang dalam ilmu sosial diartikan sebagai keteraturan yang fundamental yang
dapat diterapkan kepada hakekat manusia.
2) Proyeksi; yaitu bentuk ramalan yang dapat didasarkan atas ekstrapolasi atau proyeksi.
Ramalan ini mempelajari kejadian terdahulu dan mebuat pernyataan tentang hari depan.
3) Struktur; yaitu ramalan yang didasarkan atas struktur dari benda atau intuisi atau manusia
yang bersangkutan.
4) Institusional; yaitu yaitu ramalan yang didasarkan oleh institusi beroperasi.
5) Masalah; yaitu ramalan yang didasarkan pada penentuan masalah apa yang dihadapi oleh
manusia dan masyarakatnya
6) Tahap; yaitu perkembangan yang berurutan. Dalam biologi sangat sering digunakan.
7) Utopia; yaitu membayangkan apa yang mungkin terdapat atau terjadi berdasarkan
pengetahuan yang kita ketahui sekarang.20[20]

20[20]Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997,
hal. 103 - 105
BAB IV
METODOLOGI DAN METODE ILMU

A. Pengertian Metodologi dan Metode


Metodologi berasal dari bahasa yunani yang berasal dari suku kata metodus berarti
cara atau jalan, dan logos yang berarti ilmu.21[21] Metodologi yang berarti ilmu tentang jalan
atau cara. Namun untuk memudahkan pemahaman tentang metodologi, terlebih dahulu akan
dijelaskan pengertian metode.22[22]
Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa arab,
metode disebut “thariqat”, dalam kamus besar bahasa Indonesia, metode adalah “cara yang
teratur atau terfikir baik-baik untuk mencapai maksud”. Menurut Mahmud yunus, metode
adalah “jalan yang ditempuh seseorang supaya sampai kepada tujuan tertentu, baik dalam
lingkungan perusahaan atau perniagaan, maupun dalam, kepuasan ilmu pengetahuan dan
lainnya.
Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa metode mengandung arti adanya urutan
kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai
tujuan yang telah direncanakan.
Berdasar kata asal metodologi yang telah dikemukakan diatas, metodologi adalah
ilmu tentang cara atau sampai kepada tujuan. Oleh Asymuni Syukir menjelaskan metologi
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang cara-cara atau jalan yang ditempuh untuk
mencapai suatu tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien.
Demikian perbedaan yang sangat tipis antara metode dan metodologi, namun harus
dapat dibedakan dengan jelas, yaitu kalau metode itu jalan atau cara untuk mencapai tujuan,
sedangkan metodologi adalah ilmu tentaang jalan atau cara untuk mencapai tujuan.

B. Metodologi Dan Metode Ilmu Islam


Karena metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan secara
tepat dan cepat, maka urutan kerja dalam metode harus diperhitungkan benar-benar secara
ilmiah. Metode apabila ditambah dengan logi sehingga menjadi metodologi berarti ilmu
21[21] Armei Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm.
87

22[22] Fathul Mufid, filsafat Ilmu Islam,STAIN Kudus,Kudus, 2008, hlm. 41


pengetahuan tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Hamper
semua ilmu pengetahuan mempunyai metodologi tersendiri.
Demikian pula ilmu islam merangkum metodologi yang tugas dan fungsinya adalah
memberikan jalan atau cara yang sebaik mungkin bagi pelaksanaan dari ilmu islam tersebut.
Pelaksanaanya berada dalam ruang lingkup proses yang berada di dalam suatu sistem dan
struktur kelembagaan yang diciptakan untuk mencapai tujuan agama islam. Dalam
memahami studi keislaman harus senantiasa diungkap melalui berbagai metode, diantaranya:
a. Mempelajari Alqur’an dan Al hadits
b. Mempelajari sejarah islam
c. Metode doktriner
d. Mempelajari kebudayaan islam. 23[23]

23[23] Ibid, hlm. 42 - 43


BAB V
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, FILSAFAT ILMU, DAN
ILMU

A. Sekilas tentang Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


Seperti yang telah dipahami secara umum bahwa filsafat adalah kajian rasional tentang
segala sesuatu dengan cara-cara tertentu, yakni setidaknya memenuhi ketentuan mendalam
atau radikal, menyeluruh atau komprehensif, kritis, spekulatif, dan reflektif.
Sedangkan ilmu adalah hasil usaha pemahaman manusia terhadap kenyataan yang
tersusun dalam sebuah sistem setelah melalui penyelidikan dan percobaan (eksperimentasi
dan observasi).
Dengan demikian filsafat ilmu merupakan kajian rasional tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan ilmu, meliputi hakekatnya, cara memperolehnya, dan lain-lain secara
mendalam atau radikal, menyeluruh atau komprehensif, kritis, spekulatif, dan reflektif.24[24]

B. Hubungan Filsafat dengan Filsafat Ilmu


Seperti yang telah dijelaskan dalam bahasan bab sebelumnya bahwa posisi filsafat
ilmu dalam sistematika filsafat merupakan bagian atau cabang dari filsafat. Dari sisi obyek
materinya, jika filsafat membahas tentang segala sesuatu, maka filsafat ilmu hanya
membahas tentang ilmu dan segala problematika yang berkaitan dengannya.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat pengetahuan, yang didalamnya
meliputi epistemologi, metodologi, logika dan filsafat ilmu itu sendiri.25[25]

C. Hubungan Filsafat dengan Ilmu


Filsafat adalah induk atau ibu dari segala macam jenis, bentuk, dan sifat ilmu
pengetahuan. Keangkuhan atau egoisme keilmuan tersebut bukanlah tanpa sebab. Dalam
sejarah kemunculannya, semula karena filsafat dan ilmutak pernah dibedakan. Satu-satunya
ilmu pengetahuan pada saat itu hanya filsafat.
Meskipun secara historis antara filsafat dan ilmu pernah merupakan suatu kesatuan,
namun dalam perkembangannya mengalami divergensi, dimana dominasi ilmu lebih kuat
mempengaruhi pemikiran manusia. Kondisi ini mendorong pada upaya untuk memposisikan

24[24] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hlm. 15

25[25] Ibid
keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk
mengisolasi satu dari lainnya melainkan agar lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam
konteks memahami khazanah intelektual manusia.26[26]
Ada kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara
filsafat dan ilmu karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara keduanya.
Persamaan antara filsafat dan ilmu adalah bahwa keduanya menggunaka kekuatan
berfikir dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan. Terhadap
hal-hal tersebut, baik filsafat maupun ilmu bersikap dan berfikiran terbuka serta sangat
konsen pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan
sistematis.27[27]
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengna sterssing atau
titik tekan. Filsat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat
inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang, pengalaman manusia, filsafat
lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan
secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan apa, kenapa, dan
bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema
masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungna antara temuan-temuan ilmu dengan
klaim agama, moral serta seni. Sedangkan ilmu mengkaji bidang yang terbatas dan spesifik,
ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi
dan eksperimen, serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala
tersebut.28[28]
Dari adanya persamaan dan perbedaan diatas maka dapat diambil hubungan
keduanya. Secara eksplisit relasi antara filsafat dan ilmu oleh Will Durant diibaratkan
pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
inlah yang membelah gunung dan merambah hutan. Ini artinya bahwa pasukan marinir adalah
filsafat sebagai pioneer yang menemukan sesuatu dan tempat berpijak bagi ilmu dan setelah
sesuatu itu ditemukan, pengelolaannya diserahkan kepada ilmu.29[29]

D. Hubungan Filsafat Ilmu dengan Ilmu


Filsafat ilmu dengan ilmu mempunyai keterkaitan yang erat. Ilmu sangat
membutuhkan filsafat ilmu dalam rangka untuk memecahkan persoalan-persoalan ilmu

26[26] Ibid, hlm.16

27[27] Ibid, hlm.17

28[28] Ibid.

29[29] Ibid.
sendiri tak bisa memberikan solusinya karena ilmu tak pernah menyadarinya dan tak pernah
memikirkannya.
Ilmu memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga dia membutuhkan filsafat ilmu
sebagaimana beberapa ahli mengungkapkan bahwa :
a. Jean Paul Sartre
Menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang
tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan
baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-
perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru itu akan disisihkan pula oleh hasil-
hasil penelitian dan percobaan baru selanjutnya.
b. D.C Mulder
Menyatakan bahwa tiap-tiap ahli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan
dengan memalai ilmu itu sendiri. Ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui
kompetensi ilmu, misalnya : apakah hukum sebab akibat itu, dimanakaah batas-batas
lapangan yang saya selidiki ini, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini,
sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan , dan lain-lain. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni
filsafat ilmu.
c. Harsoyo
Menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa
dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwwan-ilmuwan
besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu
lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang
menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang
makin
berisi makin menunduk. Selain itu dia juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu
tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk
peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak
diketahui.
d. J. Boeke
Menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidki peristiwa-peristiwa yang
dipertunjukkan oleh zat hidup itu, bagaimanapun juga kita mencoba memperoleh pandangan
yang jitu tentang keadaan sifat zat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup
yang sebenarnya adalah rahasia abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengna
perasaan saleh dan terharu. 30[30]

30[30] Ibid hlm.18


Dengan memperhatikan pernyataan-pernyataan di atas nampak bahwa ilmu itu tidak
dapat dipandang sebagai dasar mutlak bagi pemahaman manusia tentang alam, demikian juga
kebenaran ilmu harus dipandang secara tentatif, artinya selalu siap berubah bila ditemukan
teori-teori baru yang menyangkalnya. Dengan demikian dapat ditari kesimpulan yang
berkaitan dengan keterbatasan ilmu yaitu :
a. Ilmu hanya mengetahui fenomena bukan realitas atau mengkaji realitas sebagai suatu
fenomena (science can only know the phenomenal or know the real through and as
phenomenal).
b. Ilmu hanya menjelaskan sebagian kecil dari fenomena alam atau kehidupan manusia dan
lingkungannya.
c. Kebenaran ilmu bersifat sementara dan tidak mutlak.
Karena keterbatasan yang inheren dengan eksistensi ilmu maka ilmu harus
berkonsultusi dengan filsafat ilmu. Istilah lain filsafat ilmu harus membantu kesulitan-
kesulitan yang dialami ilmu. Filsafat ilmu memberikan jawaban filsafat atas permasalahan-
permasalahan yang dihadapi eksistensi ilmu atau filsafat ilmu merupakan upaya penjelasan
dan penelaah secara mendalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu atas permasalahan
tertentu. Apabila digambarkan hubungan tersebut nampak sebagai berikut :

bertanya

FILSAFAT
FILSAFAT ILMU ILMU

menjawab
Filsafat ilmu juga masuk dan ikut serta dalam setiap kegiatan ilmu untuk
memberikan landasan dasar, kontrol, dan bimbingan serta koordinasi menyeluruh sehingga
ilmu tersusun dalam satu kesatuan yang utuh, yakni mengetahui hakekat dirinya sendiri,
mengetahui dan tetap kritis terhadap metode keilmuan yang membangunnya, serta dalam
pengembangan ilmu tersebut tetap mengedepankan moral dan keadilan.
Dalam konteks ini maka filsafat ilmu juga berhadapan dengan perkembangan ilmu,
maka filsafat ilmu berkepentingan untuk mendorong, memperkuat, dan menunjukkan jalan
yang benar dan tepat dalam hal pengamalannya menurut prinsip nilai-nilai etis, epistemologi,
aksiologi dan ontologis.31[31]

31[31] Ibid hlm.20


BAB VI
ONTOLOGI, EPISTIMOLOGI,
DAN AKSIOLOGI ILMU

A. Ontologi Ilmu
Ontologi berasal dari dua kata on dan logi artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah
teori tentang ada dan realitas. Ontologi merupakan bagian dari metafisika dan metafisika
merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara ontologis adalah
mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi ontologi adalah bagian dari
metafisika yang mempelajari hakekat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakekat ilmu itu.
Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut
fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera.32[32]
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat methaphisika. Istilah ontologi banyak
digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
a. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, naturalisme,
atau hylomorphisme.
b. Metode dalam ontologi, dimana lorens bagus memperkenalkantiga tingkat abstraksi dalam
ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi methaphisik. Abstraksi fisik
menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek, sedangkan abstraksi bentuk
mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstarksi
metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi
yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
c. Ontologi Naturalistik, yaitu ontologi yang lebih berkembang pesat setelah tahun 1960-an
,ontologi ini menolak yang ada yang supernatural, menolak yang mental, dan menolak
universal platonik.

32[32] Fathul Mufid, Op. Cit, hlm. 66-67


d. Heidegger, dalam pandangannya heidegger ilmu tentang yang ada pilah dari ilmu positif.
Ilmu tentang yang ada merupakan transendental temporal scince, ilmu transenden yeng
temporal.33[33]
B. Epistimologi Ilmu
Bidang kedua adalah epistemology atau teori pengetahuan. Epstemologi berasal dari
bahasa Yunani “episteme” dan “logos”. Episteme artinya pengetahuan, logos artinya teori.
Dengan demikian epistemology secara etimologis berarti teori pengetahuan. 34[34]
Epistemologi memang merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan berbagai pengertian,
seperti mengetahui, pengetahuan ,kepastian, dan kebenaran pengetahuan.
Jadi epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat,
batas, vaaliditas dan hakekat pengetahuan. Epistimologi meliputi berbagai sarana dan tata
cara mengguanakan sarana dan sumber pengetahuan untuk mencapai kebenaran dan
kenyataan. Perbedaan dalam pemilihan asumsi ontologi dengan sendirinya akan
mengakibatkan perbedaan sarana yang akan dipergunakan, yaitu akal, pengetahuan, intuisi,
dan lain-lain.35[35]
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan
dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan pengetahuan yang
sistematis.

Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut :


a. Empiris. Pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengematan dan percobaan.
b. Sistematis. Berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu
mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
c. Objektif. Ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan
pribadi.
d. Analitis. Pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya kedalam bagian-
bagian yang terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-
bagian itu.
e. Verifikatif. Dapat diperiksa kebenarannya oleh siapa pun juga.36[36]
C. Aksiologi Ilmu
33[33] Noeng Muhadjir, Filsafat Iilmu edisi 1,Rake Sarasin, Surabaya, 1998, hal.57-59

34[34] Rizal Muntasir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 16

35[35] Ibid, hlm., 74-75

36[36] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005, hlm.63
Secara etimologi aksiologi berasal dari kata axios yang berarti “nilai” dan logos yang
berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.37[37] Sedangkan secara terminologi
aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian. Terutama berhubungan
dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. 38[38] Jadi aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.39[39]
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal
baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Meskipun sejak zaman yunani kuno, masalah-
masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam
hubungannya dengan masalah tertentu, belum bicara mengenai aksiologi pada prinsipnya.
Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain mengenai kebaikan perilaku,
keindahan karya seni, dan kekudusan atau kesucian religius. Adapun masalah yang akan
dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld, bahwa aksiologi terdiri atas dua hal
utama yaitu etika dan estetika. Keduanya merupakan masalah yang paling banyak ditemukan
dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang.
Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu
perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika baik atau beretika
tidak baik. Etika adalah wacana yang membicarakan landasan-landasan moralitas, disisi lain
etika juga dapat dikatakan sebagai landasan filsafati norma dan nilai dalam kehidupan
kemasyarakatan atau budaya, sedangkan kesusilaan atau moral, secara khusus berkaitan
dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan perilaku yang
bersangkutan dengan agama. Dengan demikian, kesusilaan sering pula berkaitan dengan
norma agama yang berhubungan dengan masalah dosa dan pahala.
Pada dasrnya, etika berhubunagn dengan nilai dan penilaian terhadap perilaku. Suatu
perilaku dikatakan jahat karena perbuatan buruk manusia memberikan akibat kerusakan pada
manusia lain atau umumnya. Saat ini etika modern sering mendapat kritik karena terlalu ikut
campur dalam kepedulian sehari-hari banyak orang, atau terlalu mengambil alih dengan isu-

37[37] Fathul Mufid, Loc. Cit, hlm. 82

38[38] Sutarjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 36

39[39] Fathul Mufid, Op. Cit, hlm. 83


isu linguistik mengenai makna konsep-konsep etis, dan terlalu sedikit mempedulikan
masalah-masalah moral dan politik yang membutuhkan resolusi filsafati.40[40]
Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (russel),
pertanyaan (langer), atau issue (farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup,
nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika seni dalam
kehidupan manusia. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika
yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan. Dalam
estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif
menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari
dasar pengalamn itu.
Estetika juga dibedakan menjadi estetika filsafati dan estetika ilmiah. Estetika filsafati
adalah estetika yang menelaah sasarannya secara filsafati dan sering disebut estetis
tradisional. Sedangkan estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-
metode ilmiah yang tidak lagi merupakan cabang filsafat.41[41]

DAFTAR PUSTAKA

Armei Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Aziz al-Zindarni et.al, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang Iptek, Gema Insani Press, Jakarta,
1997
Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, STAIN Kudus, Kudus, 2008
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2003
Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu edisi 1,Rake Sarasin, Surabaya, 1998
Rizal Muntasir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005
Sutarjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006
Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009

40[40] Sutardjo A. Wiramihardja, Op.Cit. hal 158-159

41[41] Surajiyo, Loc.Cit. hal.101-102


Diposkan oleh zacky Achmad di 02.06

You might also like