Professional Documents
Culture Documents
FILSAFAT ILMU
BAHAN AJAR PERTEMUAN KE-1
(Prof. Dr. A. Watloly, S.Pak, M.Hum)
A. POKOK BAHASAN: MAHASISWA SEBAGAI PEMIKIR DAN ILMUWAN
B. SUB POKOK BAHASAN: MEMBANGUN KESADARAN DIRI SEBAGAI
PEMIKIR DAN ILMUAN
C.Kompetensi Standar: Mahasiswa memahami hakikat dirinya selaku
pemikir dan ilmuwan professional.
D.Kompetensi Dasar: Diharapkan setelah selesai perkuliahan ini Anda dapat:
menjelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
memberikan contoh pemikir sejati;
Mahasiswa, karena itu, hendak menegaskan bahwa, manusia sejak dari lahir sampai
matinya, tidak pernah berhenti dari berpikir. Manusia, hampir tidak ada masalah
menyangkut kehidupannya (baik yang remeh dan sederhana misalnya, sarapan pagi
sampai pada soal-soal yang paling asasi seperti sorga atau neraka), yang lepas dari
jangkuan berpikirnya. Baginya, manusia yang mengabaikan tugas melatih,
mendewasakan, dan mencerdaskan diri dan hidup dengan berpikir akan tergilas oleh
kehidupan itu sendiri, sehingga tidak berdaya menghadapi arus kehidupan yang
terus mengalir. Otak manusia bekerja seperti jantung yang tidak berhenti berdenyut,
siang malam, sejak masa kecil sampai tua renta. Otak manusia menyimpan berbagai
jaringan yang menyimpan serta mengalirkan berbagai juta, bahkan, bilyun ingatan,
kemampuan bicara, perhitungan, keinginan, kekuatan, pola, dan suara. Otak
manusia, membuat manusia mampu mengerjakan pengertian-pengertian (konsep),
keputusan-keputusan, menciptakan bahasa sebagai tanda kepribadian dan alat
komunikasi, memecahkan misteri ketidaktahuan, dan menemukan pemikiran-
pemikiran dari hal-hal yang telah ada menuju pengetahuan baru, serta menciptakan
pemikiran atau penemuan-penemuan baru dalam bentuk ilmu, teknologi, seni, dan
industri.
Baginya, banyak manusia yang memiliki potensi kecerdasan, tetapi bisa lalai, gagal,
atau salah dalam mengembangkan kecerdasannya, baik dalam membangun
kehidupan sehari-hari. Bahkan, banyak yang gagal mengembangkan potensi
kecerdasannya dalam meraih ilmu atau pengetahuan sebagai sarana kekuatan dan
kekuasaan manusia dalam alam. Akibatnya, mereka gagal meraih martabat diri dan
mengembangkan kehidupan sebagai makluk berpikir.
Melalui studi filsafat Ilmu, hendak ditegaskan bahwa martabat diri manusia
ditentukan oleh sejauh mana ia berpikir dan mengembangkan pikirannya. Filsuf
Rene Descartes, menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa: "karena berpikir
maka aku ada" (Cogito ergo sum). Implikasi pandangan tersebut adalah bahwa
karena manusia itu berpikir maka ia ada", sebab tanpa berpikir maka manusia tidak
pernah akan menyadari keberadaan aktualnya sebagai potensi "ada" dan
"mengada", atau mampu menempatkan diri sebagai "subyek pengada" bagi ada
lainnya (berupa pengetahuan, ilmu, atau penemuan lain) di dalam hidup ini. Tanpa
berpikir, manusia tidak memiliki perbedaan secara mendasar (essensial) dari
makhluk lainnya, dan mungkin, akan mudah dibatasi (dideterminasi) oleh kekuatan
alam atau makhluk lainnya.
II. Contoh Mahasiswa Sebagai Pemikir Sejati.
Mahasiswa, bukan sekedar sebuah gelar intelektual, tetapi tanda keberadaan actual
sebagai pemikira sejati. Kesadaran diri dan pengembangan diri sebagai homo
sapiens membuat para mahasiswa bergerak dari sekedar sebuah "keberadaan
kodrati" atau "keberadaan potensial" menjadi "keberadaan aktual" sebagai pemikir
sejati yang mampu menyumbang bagi pengembangan ilmu, kebudayaan, dan
kesejahteraan masyarakat. Melalui pengembangan diri sebagai pemikir sejati,
mahasiswa mampu menyumbang bagi pemenuhan keterbatasan kodratinya serta
membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi pribadi dan lingkungan yang
bermartabat serta berbudaya. Pikiran membuat manusia mampu melakukan
transendensi diri sehingga mampu membebaskan diri dari berbagai determinasi dan
represi, baik yang bersifat alami, tradisi, provokasi, maupun "penyakit peradaban"
yang ingin membelenggu dan memperbudak manusia secara utuh dan sitematis.
Bagi seorang mahasiswa atau pemikir sejati, Homo Sapiens bukan sekedar sebuah
tanda keberadaan, tetapi tanda kekuatan dan kekuasaan (the Power). Bahkan, lebih
daripada itu, bernilai pada dirinya sebagai "tenaga budaya". Mahasiswa sebagai
pemikir, hendak membuktikan bahwa manusia, dengan pikirannya, bukan saja
mampu mengetahui rahasia alam, tetapi mampu menguasainya dan
"menanganinya". Manusia, dengan pikirannya, sebagai "tenaga budaya" mampu
membangun berbagai sistem berpikir, sistem pengetahuan, dan sistem keilmuan
yang mampu menempatkannya sebagai aktor zaman. Manusia, dengan pikirannya,
mampu membudayakan diri dan alam lingkungannya menjadi manusia dan alam
lingkungan yang berbudaya. Hanya manusia berpikir lah yang mampu membangun
sebuah "keberadaan" yang khas manusiawi bagi diri dan lingkungannya (bd.
Watloly: 2001: 21-37).
Jadi, Homo sapiens adalah tanda kesadaran manusia akan otonomi dan kreatifitas
dirinya yang melahirkan kemampuan manusia untuk bernalar, mencerap,
mengamati, mengingat, membayangkan, menganalisis, memahami, merasa,
membangkitkan emosi, menghendaki, melakukan sintesis, abstraksi, serta
mengadakan suatu perhitungan menuju ke masa depan. Homo sapiens merupakan
sebuah keberadaan aktif yang memungkinkan dunia obyektif direfleksikan dalam
konsep, putusan intelektual, serta memungkinkan manusia mengorganiser
pikirannya darai taraf-taraf hipoteisis (dugaan-dugaan sementara) menuju taraf
pembuktian untuk menjadi teori, ilmu, teknologi, industri, dan sebagainya, serta
membuat manusia mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan secara efektif
dan sitematis.
Aristoteles, karena itu menganjurkan; "agar orang yang tidak mampu berpikir dan
tidak mau mengembangkan daya pikirannya harus dilenyapkan saja". Alasannya,
mereka adalah sama dengan orang yang cacat dan lemah yang tidak berguna dan,
karennya, akan menjadi beban bagi masyarakat atau negara. Aristoteles, dalam hal
ini, memandang pikiran sebagai kemampuan yang khas manusia untuk secara kritis
melakukan: pertama; pengamatan, kedua; menilai dan mengklasifikasi atau
mengkategorikan konsep-konsep, ketiga; menempatkan perbedaan dalam rangka
kombinasi dan hubungan, keempat; melakukan perhitungan-perhitungan
berdasarkan kemampuan membeda-perbedakan, mengklasifikasi, dan
mengkombinasi hubungan.
Pendeknya, mahasiswa adalah sebuah dunia actual dan fungsional yang ingin
mewujudkan kapasitasnya, sebagai komunitas baru yang berciri khas sebagai kaum
intelek atau "pemikir aktual". Para mahasiswa, karenanya, giat membangun struktur
perilaku, cara berkomunikasi, cara bergaul, cara berbahasa, serta bereksperimentasi
hidup dalam pola dan arus pemikiran yang khas dan dinamis. Mereka mengkritik
pikiran-pikiran, tradisi, dogma-dogma, ideologi, serta melakukan eksplorasi, analisis,
perbandingan, dan penyimpulan-penyimpulan yang progresif, berupa persetujuan-
persetujuan (affirmasi) atau penolakan-penolakan (negasi) untuk menunjukkan
kepiawaiannya sebagai "pemikir aktual". Jiwa mereka diliputi sebuah semangat yang
tunggi untu berusaha menyusun atau memformulasi pemikirannya sedemikian rupa
menjadi tanda kepribadian yang "memekarkan".
Mahasiswa, lebih daripada itu, ingin menampilkan diri sebagai "pemikir aktual",
penggagas seminar, aktivis kelompok diskusi, bedah pemikiran, dan "demonstran
intelektual". Tujuannya, ingin mendemontrasikan atau mengujicoba kekuatan
pemikirannya sebagai the power of logic untuk menyikapi realitas masyarakatnya,
sedemikian rupa, sehingga diakui atau dikenal luas sebagai pemikir sejati, komunitas
rasional, ilmuwan, dan kaum berpengetahun. Mereka, dengan itu, berusaha
menyakinkan masyarakat bahwa, pikiran dan kaum pemikir adalah "kekuatan" yang
mampu mengemansipasi masyarakatnya dari kemandegan hidup yang mengancam
serta kekuatan-kekuatan determinan berupa; represi, arogansi, dan candu
kekuasaan yang dianggapnya sebagai kepalsuan, absurditas, dan irasional yang
harus dilawan dengan pikiran sehat.
Mahasiswa adalah "calon pemikir", bukan dalam arti bahwa mereka, sebelumnya,
belum pernah berpikir atau belum terbiasa berpikir. Maksudnya, mereka di sini baru
berada pada sebuah periode khusus dalam hal memandang dan mengerjakan
pikiran itu sendiri secara kritis, terstruktur dan sistematis sebagai sebuah
keberadaan baru baginya. Mahasiswa, pada periode ini mulai terlatih untuk
bereksperimentasi pemikiran dalam rangka mengembangkan alam berpikirnya
secara filosofis logis, yang menjadi dasar bagi proses "berpikir keilmuan".
Mahasiswa, karena itu, harus mengolah pemikirannya secara teratur dan bertahap,
untuk mencapai tahap-tahap kepuasan inteketual yang dipersyaratkan dalam
mewujudkan dirinya selaku pemikir yang ilmuwan, bukan pemikir biasa. Mereka,
justru itu, harus membangun sebuah tradisi berpikir dalam hidup aktualnya, untuk
dapat mewujudkan jatidirinya selaku "master" berpikir. Mereka mengeksperimentasi
pemikiran dengan cara mengkritik, menganalisis, mengkaji, menggugat, serta
menguji pikiran dan pandangan, termasuk dalamnya, ideologi-ideologi, tradisi, atau
ajaran-ajaran yang ada, untuk mengambil keputusan-keputusan intelektual yang
baru, sebagai taha-tahap berpikir progresif menuju pencapaian pikiran atau
pengetahuan-pengetahuan baru di dalam hidupnya. Ciri berpikir yang dimaksud,
yaitu berpikir secara rasional (bukan subyektif-emosional), terstruktur, metodik, dan
logis untuk menghasilkan kategori-kategori pemikiran sehat, lurus, dan obyektif.
Melalui itu, mahasiwa akan melihat dirinya di dalam teater pemikirannya sendiri
dengan aneka penyiasatan hidup untuk mencapai kesuksesan.
III. Pikiran Mengobati "Rasa Ingin Tahu".
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri fundamental manusia sebagai Homo sapiens
ialah "ingin tahu". Namun, suasana atau semangat "ingin tahu" itu sendiri akan
menjadi beku dan mati tanpa hasil budaya apa pun, bila tidak ada pikiran yang
mampu membimbing manusia untuk mengobati kerinduan "rasa ingin tahu" itu.
Bahkan, kesadaran berpikir itu sendirilah yang telah memunculkan "rasa ingin tahu"
dimaksud sebagai tanda kesadaran (existencial consciousness) yang khas bagi
manusia. Pikiran mampu mengobati "rasa ingin tahu", sehingga manusia tidak
digerogoti atau terus dicemaskan oleh sebuah "keingintahuan" yang statis (kekanak-
kanakan).
Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia sedemikian rupa sehingga
manusia mendapat sebuah titik pangkal kesadaran untuk makin melangkah menuju
tahap kedewasaan dan kematangan hidup. Manusia, melalui pikirannya, tidak hanya
menterapi "rasa ingin tahu"-nya secara psikologis, tetapi mampu menempatkannya
pada sebuah realitas pembelajaran (diskursus) untuk mengisi ruang keinginannya itu
dengan kompetensi; pengetahuan, keilmuan, ketrampilan, etika, moralitas, dan
spiritualitas. Pikiran mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkannya sebagai "tenaga budaya" dalam melakukan berbagai karya
budaya. Pikiran juga mampu menangani "rasa ingin tahu" manusia dan
menempatkanya sebagai "tenaga ilmu" dalam mengerjakan berbagai karya keilmuan
yang terus menyingkap misteri ketidaktahuan yang mencemaskan menjadi alam
penaklukkan yang mengasikkan.
Pikiran adalah sebuah daya atau "tenaga" yang mampu mengobati, mengubah, dan
mendinamisasi suasana keraguan, kesangsian atau kebingungan dan rasa
tetidaktahuan yang mencekam dalam diri manusia. Pikiran mampu menangani
gejolak kebathinan dimaksud menjadi semangat "keingintahuan" yang menyegarkan
eksistensi manusia, serta mencitrakan dirinya sebagai "kreator dunia". Sebagai
"tenaga budaya", pikiran telah membangkitkan dan menumbuhkan sebuah
kesadaran yang khas bagi manusia untuk memosisikan diri sebagai makhluk beradab
atau berbudaya yang mampu mengatasi kejahatan, kebiadaban, asosial, dan
mengembangkan peradaban diri dan dunianya menjadi diri pribadi dan dunia yang
berpribadi, beradab, dan bermartabat.
Pikiran memberikan sebuah martabat dan sekaligus beban tanggung jawab yang
menyuburkan bagi manusia. Melalui itu, manusia, bukan sekedar menjadi makhluk
pemikir (homo sapiens), namun akan terus mengembangkan diri menjadi makhluk
pekerja keras atau berbudaya (homo vaber), makhluk sosial (homo social), dan
makhluk beragama (homo religius). Pikiran membuat manusia membatasi,
mengarahkan, dan mengendalikan diri sebagai "aktor nilai" dengan norma atau
aturan (orde) kehidupan yang jelas.
Pikiran membuat manusia mampu berada (bereksistensi) dan berkarya (beraktivitas)
dalam tatanan (orde) atau sistem (ordo) kehidupan yang memadai bagi diri
kemanusiaannya maupun diri kesosialannya. Daya pemikiran dimaksud membuat
manusia mampu mengisi dan mengkreasi berbagai sistem kehidupan dalam
menyiasati tuntutan kehidupannya secara nyata, sehingga manusia memiliki sebuah
sistem keberadaan (Ordo essendi), sistem nilai atau pengetahuan (Ordo
Cognoscendi), sistem kerja (Ordo Fiendi), dan sistem niat pengabdian (Ordo Agendi)
untuk mewujudkan kapasitas diri secara nyata sebagai agen kehidupan bagi
dunianya. Semuanya itu hanya mungkin dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
berpikir.
Jelasnya, melalui pikiran, manusia mampu memahami dan "mengolah diri"
sedemikian rupa sehingga makin halus, makin peka, dan makin terbuka. Pikiran
sebagai "tenaga budaya" membuat manusia juga mampu berinspirasi, beraspirasi,
dan bertransformasi secara aktual dan dinamis utuk menciptakan perubahan dan
kemajuan-kemajuan dalam hidup. Bahkan, dengan pikirannya, manusia mampu
mengembangkan pengertian dan pemahamannya secara sistematis dan terstruktur,
baik secara Verbalis (kata atau perkataan), Konotatif (pengertian atau pemahaman),
dan Denotatif (kewajiban etis) untuk memajukan kehidupannya.
IV. Pikiran Sebagai Tenaga Keilmuan.
Pikiran (bah. Inggris mind), menunjuk pada isi dan ruang kesadaran atau keinsyafan
manusia. Pikiran sebagai sebuah substansi rohani yang berupa daya rasional,
membuat manusia mampu memiliki kesadaran, kemampuan kritis, bernalar,
berprakarsa, berkehendak, serta bertanggung jawab. Pikiran, sebagai salah satu
fenomena eksistensial manusia, menjiwai kehidupan dan perbuatan manusia, serta
mempersatukan manusia dengan dunia dan sesamanya dalam sebuah tatanan sosial
yang beradab. Pikiran, karenanya, bukan hanya merupakan sebuah hasil berpikir
yang bersifat statis, tetapi juga merupakan sebuah proses yang penuh dinamika
perubahan dan perkembangan secara terus-menerus. Orang, karena itu, sering
membedakan pikiran berdasarkan dua sisinya, yaitu; sisi materi dan sisi rohani
(dinamika kesadaran). Bagi mereka yang memandang pikiran dari sisi materi, pikiran
adalah sebuah bentuk energi material yang sedang bergerak, sementara bagi
mereka yang memandang pikiran dari sisi rohani melihat pikiran sebagai aktivitas
non material yang terus mendorong aktivitas-aktivitas mental dalam rangka
mengkritisi, memprediksi, dan mengambil keputusan-keputusan intelektual.
Sejauh ini, ada berbagai teori yang bersifat monistik, dualistik (dikhotomis), atau
dialektis tentang pikiran itu sendiri. Penganut aliran "Monisme" akan cenderung
mengidentikkan pikiran dengan proses-proses otak tertentu, misalnya; pencerapan,
persepsi (kesan atau pemahaman), dan kesadaran. Penganut aliran "Dualisme"
(Dikhotomis), di sisi lain, akan cenderung memisahkan pikiran dari keutuhan tubuh
manusia, dengan menunjukkan berbagai ciri yang sungguh membedakan atau
mengkonfrontasikan pikiran (rohani) dari tubuh (materi) dimaksud.
Pikiran makin mendorong dan mengembangkan niat, rasa, atau semangat
keingintahuan manusia menjadi sebuah "tenaga ilmu". Melalui pikiran, manusia
makin mengembangkan semangat "ingin tahu"-nya kearah penemuan konsep-
konsep, ide, gagasan, dan pembuktian-pembuktian hipotesisi atasnya untuk menjadi
teori atau pikiran keilmuan yang jelas. Manusia, melalui itu, mampu menyingkap
keberadaannya, bukan sekedar sebagai fakta, tetapi masalah dengan dinamika
personanya, yang harus dipecahkan, baik secara psikologis, biologis, teologis,
antropologis, sosiologis, ekonomis, paedagogis, ekologis, dan sebagainya. Bahkan,
manusia mampu menciptakan aneka hukum bagi pengembangan kehidupannya,
seperti; hukum ekonomi (the Law of having), hukum tindakan (the Law of doing),
dan hukum budaya (The Law of Being).
Pikiran, dalam kedudukan sebagai "tenaga ilmu", berfungsi memberi dasar-dasar
pemikiran keilmuan, menentukan obyek dan prinsip-prinsip metodik keilmuan serta
ciri khas masing-masing cabang ilmu. Tenaga keilmuan tersebut, berfungsi pula
untuk memperdalam serta memperluas cakrawala pertimbangan-pertimbangan dan
putusan-putusan teoretis sehingga mampu mendorong perkembangan ilmu-ilmu
khusus, maupun aplikasi atau penerapan keilmuan dengan pertimbangan-
pertimbangan nilai agar ilmu pengetahuan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Akhirnya, pikiran, baik sebagai "tenaga budaya" maupun
"tenaga ilmu", merupakan kekuatan strategis untuk menyingkapkan keluhuran atau
keagungan manusia yang tiada bandingnya, sehingga rasa "ingin tahu" manusia
menemukan artinya yang strategis dan mendalam.
Manusia, dengan pikirannya, telah mendorong rasa keingintahuannya itu sehingga
telah mampu mengantarkannya memasuki dan menyelami segala seluk beluk alam
pemikiran, baik yang bersifat spekulatif - teoretis dalam rangka menghasilkan
pikiran-pikiran keilmuan, maupun pikiran-pikiran yang bersifat praktis operasional
dalam rangka membangun kecakapan, menciptakan alat-alat untuk membantu
manusia dalam mempertahankan diri serta sekaligus mengembangkan hidupnya
sebagai makhluk beradab. Bahkan, manusia dengan pikiran telah balik menantang
dan mendorong pengembangan pikirannya itu, sedemikian rupa, sehingga mampu
mendongkrak segala keterbatasan kodratinya, dan menyumbang bagi kepenuhan
diri sebagai makhluk budaya yang bisa mengusai alam yang mendeterminasi dirinya.
Cara pengobatan pikiran atas "rasa ingin tahu" manusia itu, antara lain dengan
mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengolah tanah yang
gersang menjadi lahan subur dan produktif guna menunjang kehidupannya. Bahkan,
dengannya, manusia mampu mengubah tanah yang berbukit atau hutan rimba
menjadi istana, menciptakan bangunan bertingkat, kapal, pesawat, dan sebaginya
untuk mengatasi keterbatasan kikinya yang tidak mampu berjalan mengantarkannya
secara cepat, mengelilingi pulau dan benua dalam waktu yang singkat.
Pikiran merupakan sebuah dharma kehidupan yang meluhurkan dan memampukan
manusia menyingkap realitas, supaya memungkinkan manusia berkomunikasi satu
dengan yang lainnya serta meningkatkan harkat kemanusiaan manusia. Manusia
dengan pikirannya, mampu menciptakan bahasa, baik untuk kepentingan
komunikasi maupun untuk kepentingan penegasan eksistensi atau jati diri. Meskipun
demikian, pikiran manusia bukanlah sebuah lingkup pengada manusia yang lengkap
dan sempurna. Pikiran, sesungguhnya, merupakan sarana pengada yang
memungkinkan mengadanya berbagai macam tindakan dan hasil tindakan manusia
yang mengisi alam kebudayaannya. Pikiran mendorong manusia untuk mengetahui
dan menghasilkan berbagai turunan pengetahuan atau ilmu yang, seakan, tidak
berkesudahan, berintikan pada penilaian mengenai manusia dan kemampuan
mengadanya di tengah alam kehidupannya secara nyata.
Pikiran lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab dan
karenanya, dapat dimintakan pertanggungan jawabnya atas segala hal yang
dilakukan. Manusia dibimbing secara jelas dengan pikirannya untuk memahami,
menilai, dan menyiasati secara jelas dan tertanggung jawab kondisi konkretnya agar
ia bertindak sesuai martabatnya. Konkritnya, dengan pikirannya, manusia mampu
melakukan transendensi terhadap realitas seperti apa adanya, dan makin menuju
kepada kemungkinan-kemungkinan yang terbayang melalui pengamatan terhadap
realitas yang dialaminya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A.2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta.
--------------2003, Pikiran Sebagai Tenaga Ilmu, (Belum diterbitkan), hal 2-14.
F. Evaluasi:
Jelaskan arti dan hakikat mahasiswa sebagai pemikir sejati;
berikan beberapa contoh pemikir sejati;
berikan salah satu manfaat filsafat ilmu dalam membangun kekuatan logika
keilmuan.
Plato, dalam hal ini, berada pada posisi selaku idealis-universal. “Idealisme” Plato,
akhirnya terjebak sendiri di dalam sikapnya yang ambivalen. Alasannya, di satu sisi
ia mengatakan ada kebenaran melalui dialog kritik, tetapi di sisi lain ia mengatakan
bahwa hal ini ada di luar pengetahuan, sehingga ia jatuh dalam intuisi lansung.
2. Aristoteles. Murid Plato ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip dan penyebab utama
(causa prima) dari realitas yang ada. Ia pun mengatakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada” ( being asteing ) atau
peri ada sebagaimana adanya ( being such ). Aristoles adalah filsuf besar
yang berjasa dalam mewariskan sejumlah pemikiran dan karya filsafat besar.
Beberapa karya filsafatnya, antara lain; Metafisika, Logika, Etika dan Estetika.
Ia merumuskan hakikat filsafat sebagai berikut:
Descartes termasur dengan argumennya: je pense, donc je suis atau yang dalam
bahasa Latin “ cogito ergosum “ (aku berfikir maka aku ada). Dalil tersebut
menunjukkan sebuah klaim keberadaan manusia dari sisi rasio, sebagai satu-satunya
subyek pengada yang meng-ada-kan manusia. Descartes mengajarkan bahwa
filsafat selalu berhubungan dengan kategori-kategori pemikiran rasional dalam
menuntun manusia untuk menentukan dan memperjuangkan kebenaran-kebenaran
yang bersifat “jelas dan terpilah” (clear and distinct) di dalam hidupnya. Melalu
ketegori-ketegori pemikiran rasional dimaksud, manusia akan dituntun keluar dari
godaan-godaan pemikiran yang bersifat emosional atau dorongan perasaan yang
membuat manusia tidak dewasa atau matang di dalam mengambil keputusan
intelektual. Hukum, karena itu, harus mendasari diri pada logika-logika rasional,
bukan pada etika atau perasaan semata. “Rasionalisme” Rene Descartes, meskipun
sangat membantu dalam meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang universal,
misalnya di dalam hukum dan sebuah proses yuridis, namun dengan demikian, telah
mencabut hakikat hukum itu sendiri dari intinya, yaitu manusia dan kemanusiaan itu
sendiri. Logika hukum pun, akhirnya, mengabdi pada logika-logika tautologis
(kebahasaan) semata, bukan pada etika dan moralitas kemanusiaan itu sendiri (bd.
aliran Logika Positivisme).
Uraian di atas menunjukkan secara tegas bahwah filsafat merupakan kegiatan
berfikir manusia yang berusaha mencapai kebijakan atau kearifan. Kearifan
merupakan buah pikir yang dihasilkan filsafat dari usah mencari hubungan antara
pengetahuan dan impilikasinya (baik yang tersurat maupun yang tersirat). Filsafat
berusaha merangkum dan membuat garis besar dari masalah dan peristiwa pelik
dari pengalaman umat manusia. Filsafat, dengan kata lain, bukan saja berusaha
menemukan pikiran (tesis), kontra pikiran atau pikiran tandingan (antitesis), tetapi
juga sampai kepada bagaimana merangkum pikiran-pikiran (sintetis), baik yang
sejalan maupun yang bertabrakan untuk menyiasati pokok yang ditelaahanya.
III. Memahami Perbedaan Pendapat di kalangan Filsuf Tentang Arti
Filsafat
Inti filsafat adalah usaha manusia dengan pikiran, pengetahuan, maupun nilai atau
cita rasa kemanusiaannya untuk mencari serta mendapatkan dasar-dasar
pertanggunjawaban pikiran tentang realitas yang sesungguhnya. Baginya, realitas
(penampakan fisik, pandangan, teori keilmuan, norma adat, tradisi, ideologi, ajaran)
atau keyakinan apa pun, harus dipahami secara luas (ekstensif), utuh (eksistensial),
mendalam (intensif), dan hakiki (essensial). Inti filsafat itulah yang mampu
membimbing orang guna mendapatkan sebuah pertanggungjawaban yang kuat
mendasar tentang realitas dimaksud, sehingga tuntutan (claim) kebenaran,
obyektivitas, validitas, dan kesahihan-nya pun akan mampu bertahan dalam
menghadapi ujian kritis tanntangan zaman. Para filsuf, berusaha mencari dan
mengungkapkan hal dimaksud dalam rangka menolong tugas-tugas kemanusiaan
bersama, agar dengannya manusia memperoleh pegangan di dalam upaya
membangun hidupnya.
Uraian sebelum pembahasan ini, secara gamblang menunjukkan betapa terdapat
perbedaan pemikiran di kalangan para filsuf tentang arti dan hakikat filsafat itu
sendiri. Kenyataan tersebut, sekurang-kurangnya, disebabkan oleh dua hal yang
menjadi titik perbedaan, yaitu perbedaan sudut pandang dan perbedaan minat
akademis.
Pertama, perbedaan sudut pangdang (ponit of view). Maksudnya, setiap filsuf, pada
dirinya memiliki sudut pandang atau cara pandang yang berbeda (yang merupakan
spesifikasi dirinya) di dalam memahami sebuah realitas, teristimewa di dalam
memahami filsafat itu sendiri. Plato, sebagai pencetak aliran pemikiran “Idealisme”,
telah menjadikan ide (pikiran atau gagasan) sebagai basis pemikiran filsafatnya
dalam membangun klaim-klaim kebenaran, kesahihan, validitas, dan obyektifitas
filosofis. Konsekuensinya, klaim-kalim lain di luar ide, ditolak sebagai kepalsuan dan
kesesatan berpikir. Plato cenderung meletakkan atau membangun pemikiran dari
sistim ide atau gagasan-gagasan di balik kenyataan yang dihadapi, bukan pada
aspek penampakan atau kenyataan fisik yang dihadapi. Alasannya, hanya dunia ide
itulah yang menjamin adanya kebenaran, obyektivitas, validitas, dan kesahihan
sebuah kenyataan. Menurut Plato, hal-hal yang tidak dibawah dalam dunia ide muda
diragukan, serta mudah hilang dan rusak tanpa bekas, hanya ide lah yang bersifat
luhur kekal dan tak berubah.
Rene Descartes, sebagai pendiri aliran pemikiran “Rasionalisme”, telah menjadikan
rasio sebagai sudut pandang dan basis pemikiran filosofisnya dalam membangun
klaim-klaim kebenaran filosofisnya. Menurutnya, hanya rasio lah yang mampu
menjamin terwujudnya klaim-klaim kebenaran filosofis, lepas dari selera atau
kehendak subyektif dan emosionalitas yang buta. Sudut pandang rasio akan mampu
memberi arah dan pedoman pemikiran yang jelas dan tegas, karena rasio selalu
bersikap kritis untuk mencari kebenaran–kebenaran yang murni dan obyektif. Filsuf
Realis, misalnya Aristoleles, sebaliknya meletakkan sudut pandang filosofisnya pada
hal-hal yang nyata dan bersentuhan dengan pengalaman manusia secara langsung,
bukan ide-ide yang abstrak. Filsuf Pragmatis, misalnya John Dewey, dengan aliran
pemikiran “Pragmatisme”-nya, justru akan meletakkan pandangan filosofisnya pada
kenyataan makna atau kegunaan (pragma) yang mendasari segala sesuatu.
Akibatnya, bagi mereka, hanya sesuatu yang berguna atau bermakna itulah yang
benar, obyektif, valid, maupun sah, selain dari itu tidak. Filsuf materialis, misalnya
Marksisme Ortodoks dengan aliran “Materilisme”-nya justru melihat materi
(kenyataan fisik) sebagai jaminan kebenaran, obyektifitas, validitas, dan kesahihan.
Bagi mereka, hanya materi sajalah yang menjadi dasar pembuktikan bahwa hal itu
benar, obyektif, valid atau tepat, dan sah untuk diakui atau diyakini, selain itu tidak.
Filsuf empirs, misalnya, John Locke, David Hume, dan sebaginya, akan meletakkan
sudut pandang pemikirannya pada aspek pengalaman (empiris) sebagai basis
pengembangan pemikiran filsafatnya. Hal yang sama juga berlaku bagi filsuf lainnya
dengan sudut pendekatannya yang khas.
Kedua; minat akademis. Selain perbedaan sudut pandang, setiap filsuf memiliki pula
perbedan minat akademis dalam mengartikan dan memaknakan filsafat dengan
caranya yang berbeda. Misalnya, seorang filsuf yang menaruh minat akademis pada
ilmu –ilmu ekonomi akan mengembangkan filsafat untuk kepentingan ilmu ekonomi.
Filsafat, dalam hal ini, akan diartikan sebagai upaya untuk memperluas dan
mengembangkan kekuasaan ekonomi (produksi, konsumsi, dan keuntungan).
Demikian pula halnya dengan filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu-ilmu
fisika yang akan mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional)
untuk menjelaskan dan menangani gelaja-gejala fisik –alami, dari sisi hukum sebab-
akibat. Filsuf yang menaru minat akademis pada ilmu teologi, sebaliknya akan
mengartikan filsafat sebagai upaya pemikiran yang kritis (rasional) untuk
menjelaskan tentang hakikat Sang Supranatural dalam penghadapanNya dengan
manusia, dalam sebuah hukum ilahi. Perbedaan yang sama akan dijumpai pula
dalam berbagai penganut mina akademis lainnya.
Perbedaan minat akademis itulah yang akhirnya membawa kepada pembentukan
ilmu secara khusus serta berbagai aliran besar dalam sejarah pemikiran filsafat,
dengan klaim-klaim (tuntutan) kebenarannya yang bersifat sektoral, deterministik,
dan partikularis atau terlepas pisah. Akibatnya, muncul berbagai macam ilmu yang
berbeda-beda dengan tuntutan (claim) kebenaran, obyektivitas, dan validitas, atau
kesahihan, baik terhadap baik obyek-obyek yang partikular maupun yang sama.
Kenyataan di atas menunjukkan betapa sulitnya mengartikan filsafat secara filosofis.
Alasannya, para filsuf akan berfilsafat dengan perbedaan sudut pandang maupun
minat akademisnya yang berbeda-beda tentang filsafat itu sendiri. Kesulitan
tersebut, kemudian makin menambah kecemasan para filsuf untuk berusaha
mencari sebuah cara pemecahan sederhana untuk dapat mendekati pengertian
filsafat secara filosofis. Phytagoras, seorang filsfus Yunani kuno, akhirnya
menenukan sebuah solusi dengan mendekati arti filsafat, bukan secara filosofis,
tetapi secara etimologis. Menurut Phyitagoras, istilah filsafat berasal dari kata Yunani
Philosophia. Akar katanya; Philos atau philia = cinta, persahabatan atau tertarik
pada, dan Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, Phiolosophia, secara
harafiah, artinya “cinta kebijaksanaan” (lover of wisdom). Sudut pendekatan
etimologis ini menunjukkan bahwa sejak semula, yakni dari zaman Yunani Kuno,
kata filsafat dipahami sebagai cinta kearifan atau cinta kebijaksanaan. Meskipun
demikian, cakupan pengertian sophia ini ternyata begitu luas dan padat. Sophia,
pada awalnya, tidak hanya berarti kearifan, melainkan meliputi pula prinsip-prinsip
kebenaran pertama, pengatahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan akal
sehat sampai pada pengertian yang lebih bersifat teknologis, yaitu kepandaian
pengrajin, dan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Inti persoalannya, mengapa filsafat itu tidak hanya berpusat pada sophia atau
kearifan saja, tetapi harus disertai dengan philos atau philia (cinta)? Mengapa filsafat
harus bermain dengan api cinta? Pertanyaan filosofis di atas, justru hendak
membimbing kedalam sebuah pemaknaan filosofis yang sifatnya hakiki dan
mendalam tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri.
Bagi Phytagoras dan para filsuf (khusunya filsuf Yunani Kuno), nama filsafat itu
sendiri menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki
pengertian yang sifatnya total dan menyeluruh tentang kebijaksanaan atau kearifan
yang menjadi inti hakiki dari arti filsafat itu sendiri. Sophia atau kebijaksanaan
(kearifan), bukanlah sebuah pemikiran atau pengetahuan yang bersifat datar
sebagai penjelasan-penjelasan diskriptif biasa. Sophia, bukan sekedar informasi atau
fakta yang jelas, lengkap, sempurna, dan selesai atau berakhir pada dirinya. Justru,
Sophia (kebijkasanaan atau kearifan) itu merupakan sebuah upaya penjelajahan
dalam menggumuli segala realitas serta menyingkap berbagai daya misteri.
Tujuannya, bukan sekedar untuk menunjukkan sebuah pikiran sebatas ide, tetapi
lebih daripada itu, berusaha memahami, menyelami, mendalami, menerangi, dan
menembusi dasar–dasar terakhir segala hal, secara khusus, tentang eksistensi,
dasar, serta tujuan manusia.
Sophia, karenanya, merupakan sebuah hutan luas yang penuh daya misteri. Begitu
luas Sophia itu, sehingga tidak mampun dijangkau oleh pikiran manusia yang biasa.
Manusia, untuk itu, perlu dibimbing oleh “api cinta” (philos atau philia), untuk
mengejar, menjangkau, dan mewujudkan sophia dimaksud. Sophia atau kearifan itu
sesungguhnya hanya dimiliki oleh Sang Tuhan dengan pikiran atau pengetahuan nya
yang tidak terbatas. Pythagoras, seorang filsuf klasik, membenarkan hal itu dengan
menjelaskan bahwa manusia bukanlah citra kepenuhan dari kearifan atau
kebijaksaan itu sendiri. Menurutnya, manusia harus selalu merendahkan diri di
hadapan kearifan dan kebijaksanaan itu sendiri sebagai seorang pencinta kearifan
atau pencinta kebijaksanaan. Manusia bukan pemilik mutlak dan “penguasa
kearifan” tetapi “pencinta kearifan” atau “pencinta kebijkasanaan” itu sendiri.
Manusia adalah pencinta kearifan yang mencarinya dengan api cinta yang terus
membara, bukan berdasarkan kemauan atau keinginan biasa yang bersifat
sementara. Manusia (filsuf) bukanlah philosophos tetapi philosopher, artinya, orang
yang mencintai hikmat.
Sebagai pencinta hikmat, filsuf selalu merasa terbakar oleh adanya api kerinduan
atau api cinta yang membara untuk terus mencari, mengejar, dan memperoleh
hikmat atau kebijaksanaan dimaksud. Tugas, keinginan, atau kerinduan mencari
hikmat bukanlah tugas sesaat atau seketika saja. Tugas mencari hikat atau
kebijaksanaan adalah tugas abadi sebagai api kerinduan yang terus mekar. Filafat
merupakan sebuah “pengejaran abadi” untuk memperoleh kearifan yang tidak
pernah berakhir dalam hidup. Justru itu, meskipun ia terbatas, manusia selalu
berusaha dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kerendahan hati untuk terus
berguru mencari hikmat dan mengabdi pada sang hikmat. Hal itu dilakukan di dalam
setiap jalan hidupnya dengan segala keterbatasan, keraguannya, kecemasan,
kerinduan, dan pertapaan atau kontemplasinya yang mendalam. Jelasnya, melalui
proses itu, jadilah filsafat sebagai upaya manusia untuk memenuhi hasratnya, demi
kecintaannya akan hikmat atau kebijaksanaan yang “memekarkan diri” itu.
IV. Memahami berbagai latar pemikiran tentang Arti Filsafat dalam
pengembangan, pikiran, pengetahuan, dan Ilmu.
Berbagai latar perbedaan pemikiran filosofis tentang arti filsafat, pada dirinya,
mengandung berbagai tuntutan (claim kebenaran) dalam pengembangan pikiran,
pengetahuan, dan ilmu. Orang tentu memiliki perbedaan, sesuai pembatasan cudut
pandang maupun minat akademisnya yang berbeda dalam memahami setiap obyek
pemikiran. Perbedaan mana, adalah sah dan penting untuk melakukan pendalaman
analisi, dan pembuktian-pembuktian dengan perangkat metodologis maupun alat
analisisnya yang khas untuk mengingkap hal-hal yang sifatnya detail tentang hal
dimaksud. Masing-masing tuntutan (claim) memiliki kebenaran dan keabsahan pada
dirinya masing-masing, sejauh diterima dan terbukti kebenarannya dalam bidang
keahliannya. Kenyataan tersebut menunjukkan hakikat kekayaan pemikiran,
pengetahuan, dan ilmu dalam mendekati hakikat realitas secara sempurna.
Kebenaran ilmu-ilmu empiris, seperti: biologi, fisika, atau geografi memiliki
kedudukan yang sama dengan kebenaran ilmu-ilmu normatif, seperti: ilmu hukum
atau etika, juga hal yang sama dengan ilmu-ilmu kerohanian, seperti: kebudayaan
atau teologi. Orang, karena itu harus makin mengembangkan keahlian dalam bidang
keilmuannya dengan mempertajam daya eksplorasi dan analisis, serta
pembuktiannya atas setiap pemikiran atau obyek keilmuannya.
Konsekuensinya, orang harus terbuka terhadap kemajemukan kebenaran, dan tidak
menutup diri dengan memutlakkan klaim kebenarannya sendiri sebagai hal yang
mutlak satu-satunya. Orang harus bersedia untuk mengkomunikasikan setiap
pemikirannya secara terbuka, baik dalam bentuk ide, pengetahuan, atau ilmu agar
dapat menyumbang bagi pengembangan alam pemikiran, pengetahuan, dan ilmu
secara lebih utuh dan lengkap.
E. Sumber:
Watloly, A., 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, hal 2-23.
-------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan) hal 4-30.
F. Evaluasi:
jelaskan arti filsafat secara filosofis;
tunjukkan perbedakan pandangan filosofis tertentu dalam membedah arti
filsafat;
berikan dua penyebab dasar perbedaan pemikiran di antara filsuf tentang arti
filsafat;
2. Sebagai ibu yang melahirkan bayi–bayi ilmu, filsafat membidani sendiri proses
kelahiran bayi ilmu dari kandungannya, sehingga membentuk cabang-cabang
dan ranting keilmuan baru yang bersifat khusus. Filsafat, dalam hal ini, tidak
ingin mati dengan fosil-fosil pemikiran yang hanya bersifat hantu khayalan.
Filsafat berusaha membedah dan melahirkan atau meluncurkannya dalam
kesegaran pemikiran keilmuan yang mempengaruhi sejarah keilmuan dan
menyumbang bagi tugas kebudayaan. Filsafat memiliki hubungan bathiniah
dengan ilmu sebagai hubungan ibu kandung dan anak kandung yang sah
dalam sebuah tanah air manusia sebagai makhluk berpikir (Homo Sapiens).
3. Sebagai ibu kandung yang menyusui ilmu, filsafat memberikan gizi pemikiran
dalam berbagai proses diskursus dan ujian-ujian kritis, dengan cara
melakukan kritik, koreksi, dan penyempurnaan yang membangun dan
menumbuhkan taraf kamatangannya sebagai ilmu-ilmu atau cabang dan
ranting keilmuan yang mandiri. Filsafat, karena itu, tidak akan
memperlakukan ilmu sebagai budak penguasaan filsafat, tetapi mendorong
proses pertumbuhan dan perkembangan ilmu secara otonom. Filsafat
berusaha membangun diskursus-diskursus keilmuan, membuka dan
membentangkan penemuan-penemuannya dalam bentuk ilmu baru untuk
diuji, baik dalam proses uji logis (pola penalaran), uji material (materi
pemikiran), serta uji metode, guna ferifikasi dan validasi keilmuan secara
kritis dan terbuka. Bahkan, filsafat berperan pula sebagai ibu menyusui,
mengasuh, dan mengasah pertumbuhan serta ketajaman ilmu dalam sebuah
proses komunikasi antar ilmu dan lintas ilmu. Melalui itu, ilmu atau kegiatan
keilmuan dapat bertumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga terhindar
dari bahaya sesat pikir, keliru pikir, atau salah pikir.
4. Sebagai ibu yang mendewasakan ilmu, filsafat tidak akan pernah mengikat
atau membelenggu ilmu di dalam pagarnya. Filsafat terus mendorong
kemandirian ilmu-ilmu sehingga ilmu-ilmu mampu mengembangkan pemikiran
serata metode-metode yang khas dalam percaturan keilmuan secara global.
Filsafat pula yang terus berperan membidani kelahiran benih-benih pemikiran,
pengetahuan, dan keilmuan untuk kepentingan praktis, baik dalam bentuk
teknologi, industri demi pemenuhuan kebutuhan hidup manusia, maupun
upaya klinis dalam penanggulangan dampak negatif pembangunan.
Gambar 4. Pohon Ilmu
3. membimbing orang untuk dapat berpikir sendiri sehingga orang akan memiliki
kemandirian dan kreativitas intelektual (pemikiran) di dalam menghadapi dan
menyiasati realitasnya. Orang dilatih dan dididik untuk harus berpikir secara
mandiri, terutama dalam lapangan kerohanian. Orang dibimbing untuk harus
mempunyai pendapat sendiri jika perlu dapat dipertahankannya untuk terus
menyempurnakan cara berpikirnya, sehingga makin mencapai kematangan
dan kedewasaan. Prinsip itu perlu terus dikembangkan hingga orang dapat
bersikap kritis dalam mencari kebenaran dalam apa yang dikatakan orang,
baik dalam buku – buku pengetahuan maupun dalam surat– surat kabar,
majalah, pidato, dan sebagainya.
Filsafat, dalam hal ini, menjadikan manusia sebagai obyek dan fokus pemikirannya
yang memekarkan. Manusia adalah obyek tetapi sekaligus subyek bagi
pemikirannya. Filsafat selalu bertanya dan merenung tentang manusia, apakah
manusia dan bagaimana “ada” maupun “cara beradanya”. Filsafat selalu berusaha
menjelajahi hakikat manusia, asal usulnya, fenomena kesenangan, suka-cita, dan
aneka penderitaannya, serta bagaimana hidup manusia setelah mati.
Bagi filsafat, manusia bukan sekedar sebuah fakta atau realitas bendawi yang jelas
pada dirinya, tetapi manusia itu sekaligus adalah masalah, sekurang-kurangnya, bagi
dirinya sendiri. Manusia bukan hanya menemukan dirinya sebagai “apa adanya”.
Justru, setiap saat, manusia menghadapi dirinya sebagai sebuah “tanda tanya” atau
persoalan aktual “mengapa”, dan “bagaimana adanya”. Manusia adalah sebuah
dinamika personal dan daya misteri bagi dirinya sendiri. Manusia, bagi dirinya,
adalah dekat tetapi sekaligus jauh, jelas dimengerti tetapi sekaligus sukar dan kabur
untuk diselami atau didalami aneka keluasannya. Manusia, karena itu, mengahadapi
dirinya sebagai sebuah tugas kemanusiaan, yang bukan hanya diselesaikan dengan
pendekatan fisik material (fisik, jasmani), atau sosio-religi saja, juga bukan sekedar
pendekatan psikologi atau ekonomi semata. Sebagai persona dinamis, persoalan
kemanusiaan itu tidak hanya harus dihadapi dan disiasasti secara personal-individual
semata terlepas dari aspek sosial kemasyarakatannya. Persoalan kemanusiaan
tersebut tidak mungkin hanya diselesaikan secara logika matematis semata
(misalnya; 1+ 1 = 2), tetapi juga dengan pendekatan logika kebatinan, logika cinta,
kasih sayang, pengorbanan, dan saling pengertian (misalnya; 1+1 = 1).
Pendekatan-pendekatan yang bersifat partikular-primordial tersebut, justru akan
saling menafikkan dan merelatifkan, dan tidak membawa hasil positif apa pun bagi
sebuah tugas kemanusiaan. Jelasnya, manusia adalah sebuah medan atau sebuah
“dunia’ yang luas dan penuh rahasia. Dunia manusia itu harus didekati secara utuh
dan terpadu, bukan secara primordial-partikular.
Manusia, karena menghadapi dirinya sebagai masalah, bukan sekedar sebagai fakta
atau benda apa adanya, yang selesai pada dirinya maka manusia itu dipaksa untuk
harus dapat memecahkan masalah-masalah kemanusiaannya dimaksud secara arif
dan bijaksana. Caranya, manusia harus dilatih untuk berpikir keras, manusia harus
membangun atau mengembangkan pengetahuannya secara terus menerus, dan
berbudaya. Melalui itu, manusia akan terus belajar memecahkan atau mengatasi
permasalahan-permasalahan kemanusiaannya itu secara utuh dan paripurna. Justru
itulah, manusia harus belajar hukum, psikhologi, matematika, biologi, sosiologi,
antropologi, kosmologi, Ilmu pemerintahan, politik, agama, ekonomi, ilmu mendidik,
pertanian, kehutanan, kelautan, agama, dan sebagainya. Manusia harus mendirikan
lembaga-lembaga hukum, lembaga ekonomi atau perbankan, lembaga agama,
lembaga pendidikan, lembaga sosial kemasyarakatan, menciptakan teknologi,
bahasa, komunikasi, dan bahkan, belajar seumur hidup untuk mengatasi masalah
kemanusiaan dan tugas kemanusiaannya itu sendiri. Segala realitas itulah yang
dalam filsafat, disebut sebagai ada atau bahan (obyek material) bagi pemikiran
filsafat.
Segala hal yang ada dan merupakan obyek material filsafat itu diklasifikasikan atas
dua golongan sebagai berikut:
a. ada yang harus ada, yang disebut ada absolut (mutlak), yaitu Tuhan pencipta
alam semesta. Diketahui bahwa Sang Tuhan itu adalah “Sang ada” yang
harus ada karena Tuhan adalah sesuatu yang tidak diadakan oleh yang lain.
Sang Tuhan adalah “Ada mutlak” (absolut).
b. ada yang tidak harus ada. Ada yang demikian disebut ada yang relatif (nisbi).
Ada ini bersifat tidak kekal, yaitu ada yang diciptakan oleh ada mutlak (Tuhan
pencipta semesta). Ada yang relatif ini lah yang berhubungan dengan
manusia dengan segala realitasnya sebagaimana ditunjukkan di atas, dan
merupakan bahan atau materi bagi pemikiran filsafat, pengetahuan, dan ilmu
itu sendiri.
Filsafat, meskipun selalu menampilkan sudut pandang yang berbeda namun dapat
dikatakan hal itu bukanlah perbedaan yang bersifat fragmentatif (terpusat pada
bagian-bagian tertentu yang bersifat atomis atau terpisah-pisah). Filsafat, justru
selalu berupaya mencari pengertian mengenai realitas secara luas dan utuh. Sebagai
konsekwesi pemikiran ini, seluruh pengalaman dalam semua instansi, etika, estetika
teknik, ekonomi, sosial, budaya, religius dan lainnya, harus lah dibawa kepada
filsafat dalam pengertian sebagai realitas yang utuh.
Obyek formal filsafat, dalam hal ini, menuntut bahwa seorang filsuf adalah seorang
pribadi yang berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara autentik
yang diperolehnya dalam dunia realita. Jadi, obyek formal (sudut pandang) filsafat
itu bersifat mengasaskan, karena mengasas maka filsafat itu mengonstatir prinsip
kebenaran dan ketidak benaran, logis dan non logis, baik bagi sebuah tindakan
pemikiran maupun hasil pemikiran yang bersifat pengetahuan maupun keilmuan.
Obyek formal filsafat, akhirnya, hendak menegaskan bahwa meskipun terdapat
berbagai macam pengetahuan atau ilmu, namun hal itu bisa bersumber dari suatu
obyek material yang sama. Jadi, pengetahuan atau ilmu hanya menampilkan jenis
pikiran atau pendangan yang berbeda berdasarkan sudut pendekatannya yang
saling berbeda tentang pokok soal atau obyek materi yang sama, misalnya; biologi,
psikologi, teologi, ekologi, linguistik, dan sebagainya, bermaksud menemukan apa
yang dapat diketahuinya secara khusus berdasarkan sudut pendekatannya yang
khas tentang manusia.
II. Landasan-Landasan Berpikir Filsafat.
Filsafat selalu melandasi diri pada tiga landasan pemikiran, yaitu; landasan ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Ketiga landasan pemikiran filsafat dimaksud, tidak
bersifat partikular (terlepas pisah), namun saling terkait secara utuh, dalam rangka
memberikan landasan-landasan yang kokoh bagi pemikiran, maupun pengembangan
pemikiran itu sendiri dalam bentuk ilmu, pengetahuan, teknologi, maupun dalam
bentuk lakon kehidupan yang aktual.
1. Landasan Ontologis. Istilah ontologi diambil dari bahasa Yunani On ontos
artinya ada atau keberadaan dan logi artinya pikiran atau ilmu. Jadi, Ontologi
artinya ilmu tentang ada atau keberadaan itu sendiri. Maksudnya, sebuah
pemikiran filsafat, selalu diandaikan berasal dari kenyataan tertentu yang
bersifat ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia.
Tegasnya, bila sebuah pemikiran tidak memiliki keberadaan (landasan
ontologi) atau tidak mungkin pula untuk diadakan maka pikiran itu hanya
berupa hayalan, dorongan perasaan subyektif atau kesesatan berpikir yang
dapat ditolak atau disangkal kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu,
bagi filsafat, selalu bersifat utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu
hukum, kita berpikir tentang kebenaran atau keadilan maka dapat
ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan itu ada atau bisa diadakan dalam
hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau ditolak (disangkal)
kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan ataujiwa maka
sekurang-kurangnya, harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa Tuhan
atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa sebuah ide kosong
atau khayalan yang muda ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah
yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi sehingga
pemikiran huku, teoloigi atau psikhologi tersebut bisa dibuktikan dan dukung
(di-affirmasi) atau difalsifikasikan (ditolak), atau disingkirkan (di-negasi).
Realitas ada yang menjadi obyek pemikiran dan pembuktian sebuah
pemikiran filsafat selalu dipahami sebagai sebuah kenyataan yang utuh,
sempurna dan dinamis, baik dari sisi materi dan rohani, atas-bawah, hitam-
putih, dan sebagainya. Ontologi, terbagi atas dua, yaitu; ontologi umum yang
disebut metafisika, dan ontologi khusus, seperti, Kosmologi, Theodice, dan
sebagainya.
Epistemologi, karena itu, lebih dipahami sebagai aspek kritis dari filsafat yang
berupaya mempertanyakan, merumuskan, menganalisis, menguji, dan
menyempurnakan segala yang ada menjadi sistim pemikiran atau sistim
pengetahuan tertentu. Epistemologi, dalam hal ini, berbicara tentang hakikat,
sumber, jangkauan, kebenaran, cara membangun pemikiran yang sehat dan lurus,
serta metode atau cara kerja di dalam memperoleh pengatahuan itu sendiri. Melalui
epistemologi dapat diuji dan ditunjukkan bahwa tidak semua pemikiran itu menjadi
kebenaran-kebenaran pengetahuan, dan tidak semua pengetahuan itu dapat
menjadi kebenaran ilmu. Alasanya, setiap pemikiran, pengetahuan, atau ilmu,
termasuk teknologi selalu memiliki dasar-dasar pertanggungjawaban epistemologis,
baik menyangkut kejelasan sumber, jangkauan, metode, maupun pengandaian-
pengandaiannya. Nampaknya, salah satu sisi penting dari epistemologi adalah logika
yang membicarakan tentang cara mengerjakan pikiran yang benar (pikiran sehat).
3. Landasan Aksiologi. Sebagaimana istilah Ontologi dan Epistemologi yang
berasal dari bahasa Yunani, demikian pula Aksiologi yang berasal dari kata
axios artinya pantas atau bernilai. Maksudnya, setiap pemikiran filsafat
dengan segala turunannya, baik dalam bentuk pengetahuan atau ilmu, harus
berlandas pada nilai-nilai kepantasan dan kewajaran. Alasannya, pikiran itu
adalah pikiran manusia (bukan pikiran malaikat atau binatang) yang
berhubungan langsung dengan manusia sebagai subyek dan obyek pikiran itu
sendiri. Bahkan, pikiran itu adalah pikiran seorang anak manusia yang selalu
bernilai bagi dirinya.
Tegasnya, segala pemikiran filsafat harus dapat diandaikan sebagai bagian dari
fenomena eksistensi manusia yang utuh, pantas, dan bernilai. Suatu pemikiran yang
pantas dan bernilai, selalu berurusan dengan upaya yang sungguh untuk
membebaskan manusia, mengangkat derajat manusia dan menempatkannya
sebagai subyek. Justru itu, setiap pemikiran filsafat, termasuk ilmu dan
pengetahuan, harus dikembalikan pada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan
sebagai; dasar, sumber, norma, dan pangkalannya yang tetap. Pengetahuan atau
ilmu, dalam hal ini, selalu bertautan dengan nilai, sehingga tidak ada ilmu yang
bebas nilai dalam dirinya.
Pikiran, pengetahuan, atau ilmu selalu memiliki pertautan bathiniah dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang diembannya. Bahkan, nilai kemausiaan itu menjadi basis dan
landasarn normantif bagi pengembangan ilmu. Filsafat dengan landasan berpikir
aksiologisnya ini hendak menegaskan bahwa tidak ada pikiran, pengetahuan, atau
ilmu yang bebas nilai. Pikiran, pengetahuan, atau ilmu, pada dasarnya telah bersifat
taut nilai, baik dari sisi asalnya (sumbernya), prosesnya, maupun hasil (penggunaan
atau penerapannya).
Landasan aksiologi, karenanya, memberikan dasar yang kokoh bagi etika keilmuan,
baik dalam rangka tugas pengembangan ilmu itu sendiri maupun penerapannya
dalam menangani masalah-masalah kemanusiaan, kemasyarakatan, dan lingkungan
hidup. Baik ilmu-ilmu murni maupun ilmu terapan, tidak memiliki sebuah alasan
yang memadai, dari daram dirinya sendiri, untuk mangatakan diri sebagai ilmu yang
bebas nilai, sebab selalu ada saja tanggungjawab (nilai) yang diemban, baik dalam
rangka proses keilmuan maupun penerapan hasil keilmuan itu sendiri.
Singkatnya, dipadangkan dari isinya, studi filsafat bertujuan memberikan dasar-
dasar pengetahuan, serta pandangan yang sistematis sehingga seluruh pengetahuan
kita merupakan kesatuan yang utuh. Hidup kita dipimpin oleh pengetahuan kita,
sebab mengetahui kebenaran yang terdasar berarti pengetahuan dasar hidup kita
sendiri yang diselami. Studi filsafat, memberikan dasar bagi ilmu pengetahuan
lainnya mengenai manusia seperti; ilmu mendidik, sosiologi, hukum, ilmu jiwa, dan
sebagainya.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya, Yokyakarta.
-----------------, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
---------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara mengerjakannya (belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
jelaskan pengertian obyek material filsafat bagi keilmuan;
jelaskan pengertian obyek formal filsafat dalam mengerjakan ilmu;
Pemikiran kritis filosofis memiliki dua aspek, yaitu kritis (critics) dan krisis (crycis).
Berpikir kritis (critics) artinya, berpikir bukan untuk sekedar menerima kenyataan
atau menyesuaikan diri dengan kenyataan pemikiran atau pandangan orang
(termasuk dalamnya dogma atau ajaran-ajaran, keyakinan, dan ideologi apa pun)
sebagaimana apa adanya. Justru, inti dari ciri pemikiran filsafat yang kritis (critics)
ini adalah berpikir dalam rangka mengkritik, meragukan, dan mempertanyakan
segala sesuatu, sampai mencari dan memndapatkan dasar-dasar
pertanggungjwaban intelektual atau argumentasi-argumentasi yang mendasarnya
yang tidak mungkin dapat diragukan atau dipertanyakan lagi oleh siapa pun dan
kapan pun. Filsafat, dengan pemikiran kritis (rasio kritis)-nya ini, ingin melakukan
pengkajian, penelitian secara mendalam guna dapat menemukan inti pemikiran atau
kebenaran sesungguhnya yang dicari. Filsafat, dalam hal ini, tidak menolak
kesalahan tetapi mempertanyakan mengapa orang bisa melakukan kesalahan dalam
berpikir?. Immanuel Kant yang terkenal sebagai bapak filsuf kritis menyebut rasio
kritis ini sebagai “kritik rasio munri” (Critics ratio vernun). Pemikiran filsafat yang
berciri “rasio kritis” ini, tidak ingin terjebak di dalam sebuah pemikiran yang umum
(common sence), juga tidak ingin terjebak di dalam kesesatan, kekeliruan, atau
kesalahan berpikir (baik dalam proses berpikir maupun dalam menarik kesimpulan-
kesimpulan pemikiran) yang tersembunyi di dalam sistim pemikiran atau sistim
keyakinan. Ciri pemikiran filsafat tersebut, oleh oleh Plato, disebut sebagai berpikir
dialogis atau oleh Rene Descartes disebut berpikir dengan metode “keraguan kritis”
yang dengannya, orang tidak diperdaya oleh kekeliruan atau kesalahan umum.
2. Aspek kedua dari pemikiran rasio kritis itu adalah krisis atau crycis. Menurut
Jurgen Habermas, krisis atau crysis adalah ciri pemikiran yang tidak ingin
terbelenggu dalam sangkar rasio tetapi bergulat dengan realitas
kemanusiaannya yang penuh krisis, anomali, determinasi, dan pembusukan
budaya. Pemikiran crysis berada pada tataran sosial untuk melakukan
penyembuhan-penyembuhan sosial atas berbagai fenomena patologis
(penyakit sosial) berupa provokasi, rasio birokratis, dan represi yang
cenderung mendistorsi akal sehat manusia.
3. Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin
menggali dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk
menemukan dan mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke
permukaan. Melalui cara pemikiran yang demikian itu, diperoleh suatu hasil
berpikir yang mendasar dan mendalam, serta sebuah pertanggunganjawaban
yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat dan pikiran keilmuan
itu sendiri. Ciri pemikiran dimaksud, mengisyaratkan bahwa orang tidak perlu
terburu-buru mengambil kesimpulan pemikiran sebelum menemukan hakikat
kebenarannya secara fundamental, dan dengan demikian, ia tidak muda
terjebak ke dalam pemikiran yang sesat dan keliru atau kejahatan. Berpikir
radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai sebuah proses dan hasil
pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi pemikiran itu
sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian)
zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
5. Berpikir Sistematis dan analitis. Artinya, ciri berpikir filsafat selalu berpikir
logis (terstruktur dan teratur berdasarkan hukum berpikir yang benar).
Pemikiran filsafat tidak hanya melepaskan atau menjejerkan ide-ide,
penalaran, dan kreatifitas budi secara serampangan (sporadis). Justru,
pemikiran filsafat selalu berusaha mengklasifikasi atau menggolong-
golongkan, mensintesa (mengkompilasi) atau mengakumulasikan, serta
menunjukkan makna terdalam dari pikiran, merangkai dan menyusunnya
dengan kata (pengertian), kalimat (keputusan), dan pembuktian (konklusi)
melalui sistim-sistim penalaran yang tepat dan benar. Pemikiran filsafat selalu
bergerak selangkah demi selangkah, dengan penuh kesadaran (pengujian
diri), berusaha untuk mendudukan kejelasan isi dan makna secara terstruktur
dengan penuh kematangan dalam urutan prosedur atau langkah berpikir yang
tertib, tertanggung jawab, dan saling berhubungan secara teratur.
6. Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan
pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat.
Pemikiran filsafat tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang
terbatas, ia akan menerobos mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang
bersifat global dan menjadi rujukan pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang
bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian yang terpisah menurut
konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan) dalam
sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan
eksistensisal yang khas manusiawi.
8. Berpikir Abstrak. Berpikir abstrak adalah berpikir pada tataran ide, konsep
atau gagasan. Maksudnya, pemikiran filsafat selalu berusaha meningkatkan
taraf berpikir dari sekedar pernyataan-pernyataan faktual tentang fakta-fakta
fisik yang terbatas pada keterbatasan jangkuan indera manusia untuk
menempatkannya pada sebuah pangkalan pemahaman yang utuh, integral
(terfokus), dan saling melengkapi pada tataran yang abstrak melalui bentuk –
bentuk ide, konsep, atau gagasan-gagasan pemikiran. Baginya, sebuah fakta
fisik selalu terbatas pada apa adanya karena sifatnya terbatas menurut
sebuah penampakan inderawi yang sejauh dapat dilihat, didengar, atau
diraba. Justru, pikiran tersebut harus lebih ditingkatkan pada taraf-taraf
berpikir abstraktif dalam bentuk konsep atau gagasan-gagasan, dengan
menggunakan ide, kata, kalimat, dan kreatifitas budi sehingga orang mampu
memberi arti, memahami, menangkap, membedakan, dan menjelaskannya
aneka pencerapan inderawi tersebut dalam sebuah pemikiran yang tersusun
secara sistematis. Pemikiran abstraktif, berusaha membebaskan orang dari
cara berpikir terbatas dengan hanya “menunjukkan” untuk makin
mendewasakan pemikiran itu pada kemampuan “memahami dan
“menjelaskan”. Pemikiran absatrak beruaha mengangkat pikiran pada tataran
kemampuan berimajinasi, membangun kohenrensi, dan korelasi secara utuh
dan terstruktur guna menunjukkan peta keutuhannya, dengan segala
fenomenanya secara detail sehingga dapat dijelaskan secara lengkap dan
sempurna.
9. Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir
abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi
ketaraf pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti
pada informasi sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih
meningkat pada taraf membangun pemikiran dan pemahaman tentang
mengapa dan bagaimananya hal itu dalam berbagai dimensi bentuk
pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif memungkinkan adanya
transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas tentang aneka
kenyataan. Tegasnya, melalui ciri pemikiran filsafat yang spekulatif dimaksud,
orang tidak sekedar hanya menerima sebuah kenyataan (kebenaran) secara
informatif, sempit, dan dangkal, tetapi dengan sikap kritis, dan penuh
imajinasi untuk memahami (verstending) dan mengembangkannya secara
luas dalam berbagai khasana pemikiran yang beraneka. Berfilsafat adalah
berfikir dengan sadar, yang mengandung pengertian secara teliti dan teratur,
sesuai dengan aturan dan hukum yang ada. Berpikir secar filsafat harus dapat
menyerap secara keseluruhan apa yang ada pada alam semesta secara utuh
sehingga orang dimungkinkan untuk mengembangkannyadalam berbagai
aspek pemikiran dan bidang keilmuan yang khas.
E. Sumber:
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta, hal. 2-7
Watloly, A. Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
----------------; Memandang Pikiran dan Ilmu serta Cara Mengerjakannya ( belum
diterbitkan).
F. Evaluasi:
jelaskan fungsi berpikir rasional dalam pengembangan ilmu;
jelaskan fungsi berpikir holistic dalam pengembangan ilmu;
I. Pengertian.
Sebuah uraian yang kiranya bersifat memadai tentang pengetahuan (episteme) telah
kami upayakan dalam buku pertama tentang Tanggung Jawab Pengetahuan
(terbitan Pustaka Filsafat Kanisius, 2001). Uraian berikut ini lebih merupakan
pendalaman pemahaman tentang hakikat pengetahuan pada; aras, jenis aliran, dan
tokoh. Pembaca, untuk itu, diminta membaca bagian ini sambil mencari pendasaran
epistemologisnya pada buku Tanggung Jawab Pengetahuan dimaksud.
Pengetahuan (bah. Yunani episteme) adalah daya pengenalan serta hasil
pengalaman melalui persepsi tentang apa yang dipandang sebagai fakta, evidensi,
kebenaran, dan kewajiban yang dipelihara dan diteruskan oleh peradaban. Kata
pengetahuan, secara umum, menandaskan adanya kebenaran, kepastian, dan
validitas atau kesahihan tertentu, baik berdasarkan pengalaman atau pemahaman.
Pengetahuan, secara filosofis mencakup dua sisi pengertian, yaitu; sisi statis berupa
apa yang dimiliki (having) dan sisi dinamis (being) berupa proses atau aktivitas
mengetahui.
Sisi statis, sebagaimana lazimnya, menunjukkan bahwa pengetahuan diartikan
sebagai hal-hal yang ada dalam kesadaran, berupa; keyakinan, gagasan, ide, fakta,
bayangan, gagasan, konsep, paham, teori, atau hasil pikiran yang dipandang
sebagai hal yang benar, valid, dan obyektif. Pengetahuan, dalam pengertiannya
yang statis ini, hanya berupa putusan–putusan yang benar dan pasti (kebenaran dan
kepastian yang obyektif). Eksistensi atau subyek yang mengetahui, dalam hal ini,
sadar akan hubungan-hubungannya sendiri dengan obyek atau hal-hal (kebenaran-
beneran atau kepastian-kepastian) yang telah diakui keobyektifannya. Subyek
pengetahuan sadar akan hubungannya dengan obyek atau obyektifitas-obyektifitas
dengan subyek.
Sisi dinamis, mengandung pengertian bahwa pengetahuan merupakan proses atau
aktivitas kehidupan (pikiran, perasaan, keyakinan, dan ketrampilan) yang dilakukan
secara sadar, terencana, analitis, dan metodis atau hipotesis guna melangkah lebih
maju dalam mencapai hal-hal baru atau pembuktian-pembuktian baru, berupa
pikiran, pengetahuan, teori, fakta, dan ketrampilan hidup yang baru. Jadi,
pengetahuan, dalam hal ini, merupakan peristiwa di mana sang subyek (yang
mengetahui) dan obyek (yang menyatakan diri untuk di diketahui) berhubungan
aktif, sehingga tersusunlah suatu sistiem pemikiran atau pengetahuan baru dalam
kesatuannya yang aktif. Konsekuensinya, pengetahuan itu bersifat aktif-aktif,
subyek-obyek, substansi-aksidensi, situasi-tempat, pemahaman–sikap, materi-cara,
dan sinkronik-diakronik. Pengetahuan, karenanya, dipandang sebagai semua
kehadiran “intensional obyek” di dalam subyek.
Berdasarkan kedua sisi pemahaman di atas, dapat ditunjukkan bahwa pengetahuan
merupakan sebuah kegiatan intensional berupa pengalaman sadar. Alasannya,
sangat sulit untuk hanya mengatakan atau membatasi pengetahuan itu, pada sisi
statisnya seperti ajaran, konsep, atau kebenaran obyektif, tanpa secara tepat
menunjukkan bagaimana eksistensi subyek yang mengetahui dapat sadar akan
suatu eksistensi obyek tanpa kehadiran eksistensi tersebut di dalam dirinya.
Pengetahuan sebagai suatu kegiatan intensional harus dibedakan dari kegiatan-
kegiatan intensional lainnya yang tidak mendapat pertimbangan–pertimbangan kritis
rasional, seperti: perasaan subyektif atau keinginan, dan dorongan kehendak belaka.
Intinya, pengetahuan mengacu ke fakta yang mengagumkan suatu eksistensi yang
mengetahui. Melalui itu, eksistensi (subyek) yang mengetahui seolah-olah menjadi
transparan terhadap dirinya sendiri. Subyek pun, sadar akan dirinya sendiri, dan
demikian “hadir bagi dirinya sendiri”. Bahkan, lebih daripada itu, eksistensi atau
subyek yang mengetahui mengalami kemajuan melampaui diri dirinya sendiri ketika
ia merefleksikan “yang lain” di dalam dirinya sendiri dan karenanya “dalam arti
tertentu, menjadi segala sesuatu”, sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles.
Para filsuf epistemolog, karenanya, cendrung mengartikan pengetahuan sebagai hal
yang menelaah hakikat, jangkauan, pengandaian, metode, sumber-sumber, syarat-
syarat, kebenaran, kepastian, dan pertanggungawaban pengetahuan.
II. Tingkat Pengetahuan.
Pengetahuan manusia terjadi dalam dua tingkatan, yaitu; tingkat pengetahuan
inderawi menuju pengetahuan intelektif. Pengetahuan pada taraf inderawi
menunjukkan bahwa pengetahuan dimulai dari kesan-kesan yang diterima melalui
alat-alat indera dari dunia pengamatan yang hasilnya dianggap representatif
(pengetahuan representatif). Hasil penginderaan itu kemudian diproyeksikan dan
diasimilasikan lebih lanjut pada tahap kesadaran aktif (utuh dan kritis) pada tahap
pengetahuan intelektual. Pengetahuan pada tahap intelektif (pengetahuan
intelektual), menunjukkan proses di mana data-data pengetahuan empiris diterima
dan dihubung-hubungkan. Hubungan-hubungan tersebut menghasilkan konsep atau
gagasan-gagasan yang utuh dan terstruktur. Pengetahuan intelektif, niscaya, tidak
hanya terbatas pada cara pemikiran tertentu saja, tetapi lebih lagi dikembangkan
pada tataran pengalaman aplikasi.
Pengetahuan inderawi merupakan jenis pengetahuan yang juga melibatkan organ-
organ tubuh (indra-indera luar dan otak) yang berkesesuaian dan menunjuk pada
kualitas-kualitas inderawi sekunder seperti; warna, bunyi, dan sebaginya serta
kualitas-kualitas inderawi primer, seperti; bentuk, ukuran, cahaya, gerakan, citarasa,
sakit, senang, dan sebaginya yang semuanya bersifat spasio-temporal (terbatas
pada ruang dan waktu). Pengetahuan inderawi, dalam hal ini, menunjuk pada
sejumlah kesan yang diterima organ-organ inderawi yang terbatas, partikular, dan
beraneka ragam. Akibatnya, rangsangan (sensasi) inderawi yang dikirim ke otak
menghasilkan suatu citra inderawi sebagai wujud pengalaman sadar. Pengetahuan
inderawi mengandalkan daya ingatan dan imajinasi yang berfungsi
menyempurnakan hasil sensasi atau penglihatan inderawi yang terpotong-potong
dan menyusunnya secara utuh. Indera esimatif menghubungkan pencerapan
(sensasi) dengan seluruh kehidupan makhluk berindra, serta membimbing ke dalam
taraf pengetahuan kognitif (pemahaman).
Pengetahuan inderawi berfungsi sebagai instrumen pengetahuan intelek untuk
mencapai arti pengatahuan yang lebih tinggi dalam hal pembentukan konsep-konsep
rohani. Justrunya, pengolahan intelek yang sehat atas pengetahuan inderawi sangat
penting artinya bagi perkembangan yang layak dari roh manusia. Pengetahuan
intelektif adalah wujud kemampuan pikiran untuk melihat kebenaran-kebenaran
dengan “mata pikiran” secara langsung tanpa pembuktian. Misalnya, aksioma-
aksioma geometrik dan sebaginya.
a. Pengetahuan Pra ilmiah dan Pengetahuan ilmiah.
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Setelah mengikuti proses pembelajaran mengenai topik ilmu ini
diharapkan, Anda dapat:
menjelaskan pengertian ilmu secara filisofis;
menunjukkan berbedaaan antara pengetahuan dan ilmua;
I.Pengertian Ilmu.
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan Latin Scientia yang
diturunkan dari kata scire), memiliki makna ganda, yaitu; mengetahui (to know),
dan belajar (to learn). Sisi pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu
sebagai hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada hakikat
dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis). Sisi kedua tersebut hendak
menunjukkan bahwa ilmu sebagai aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas
menunggu secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif untuk
menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai pengetahuan itu diperoleh
secara utuh, obyektif, valid, dan sistematis.
Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk pada tiga hal, yaitu; pertama;
ilmu sebagai proses berupa aktifitas kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua;
ilmu sebagai prosedur berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu sebagai hasil atau
produk berupa pengetahuan sistematis. Penjelasannya demikian:
Ilmu sebagai aktifitas, menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian
aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan). Rasional artinya, proses
aktifitas yang menggunakan kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap
berpegang pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran yang
bertalian dengan; pengenalan, pencerapan, pengkonsepsian, dalam membangun
pemahaman pemahaman secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan
teleologis artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada pencapaian
tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran pengetahuan, serta memberi
pemahaman, penjelasan, peramalan, pengendalian, dan aplikasi atau penerapan.
Semua itu dilakukan setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau
dalam rangka pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural, tata langkah, teknik atau
cara, serta alat atau media. Pola prosedural, misalnya; pengamatan, percobaan,
pengukuran, survei, deduksi, induksi, analisis, dan lainnya. Tata langkah, misalnya;
penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila diperlukan), pengumpulan data,
penarikan kesimpulan, dan pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan
daftar pertanyaan, wawancara, perhitungan, dan lainnya. Alat dan media,
timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis, ilmu dipahami
sebagai seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan
saling berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai sebuah koherensi
sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan lambang–lambang yang dapat dilihat
dengan jelas melalui pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya
hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori (hipotesis-hipotesis
teruji) yang belum mantap sepenuhnya. Ilmu sering disebut pula sebagai konsep
pengetahuan ilmiah karena ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian
keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan yang diilmiahkan atau
pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak semua pengetahuan itu bersifat ilmu atau
harus diilmiahkan. Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu merupakan sekelompok
pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok soal) yang menjadi titik
minat bagi permasalahan tertentu. Sebuah pengetahuan ilmiah memiliki 5 (lima) ciri
pokok, yaitu; empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ilmu, dalam hal
ini, cenderung dilihat dalam hubungan dengan obyek keilmuan (obyek material dan
formal) dan metode keilmuan tertentu. Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan
obyeknya. Orang, misalnya kaum peneliti, membatasi ilmu sebatas metodologi
keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari di dalam ilmu tidak dicapai
dengan penggabungan ide-ide yang terpisah, tetapi pada pengamatan dan berpikir
metodis, yang tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan adalah “teknologi
ilmiah” dalam menguji-coba atau mengeksperimentasi konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah pengertian yang lengkap dan utuh
mengenai ilmu itu sendiri. Ketiganya, sesungguhnya bukan saling bertentangan,
tetapi merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang menjadi pelaku
(subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia sajalah yang memiliki
kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (menyangkut pengetehuan), dan
mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu aktivitas, hanya
dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan metode yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu; ilmu
sebagai aktivitas, ilmu sebagai pengetahuan sistematis, ilmu sebagai metode (The
Liang Gie 1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif harus mematuhi berbagai kaidah
pemikiran logis, sementara, disebut pengetahuan sistematis karena ilmu merupakan
hasil dari pelaksanaan proses-proses kognitif yang terpercaya, dan sistematis, Ilmu
disebut metodik karena ilmu sebagai aktivitas kognitif (intelektual) sampai
perwujudannya sebagai pengetahuan sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau
prosedur ilmu yang disebut metode. Pandangan tersebut mengantarkan pada
sebuah rumusan yang bersifat tentatif tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional kognitif, dengan berbagai
metode berupa anek prosedur dan tata langkah, sehingga menghasilkan kumpulan
pengetahuan yang sitematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan,
dan keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,
memberikan penjelasan, atau penerapan.
II. Obyek Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara filsafati, sebuah pengetahuan
ilmiah atau ilmu, memiliki perbedaan dengan bentuk pengetahuan yang umum
(common sense). Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan umum tidak memiliki
obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan cirri yang khusus maka sebaliknya,
sebuah pengetahuan ilmiah atau pengetahuan keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan
adanya; obyek keilmuan, bentuk pernyataan, serta dimensi dan ciri yang khusus.
Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan, dalam hal ini, mencakup segala
sesuatu (yang tampak secara fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala
kerohanian, kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran atau
indera manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek keilmuan itu dalam dua
golongan besar, yaitu; obyek material dan obyek formal keilmuan. Obyek material
meliputi: ide abstrak, benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala sosial,
gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda, dan sejenisnya. Obyek formal, meliputi;
sudut pandang, minat akademis, atau cara kerja yang digunakan untuk menggali,
menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun berbagai pemikiran yang
tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek material di atas dan menyuguhkannya
dalam bentuk ilmu.
III. Hubungan Pengetahuan dan Ilmu
Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang
terkandung di dalam pernyataan-pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala
atau peristiwa, baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat.
Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan biasa dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk pengetahuan yang biasa
ditemui dalam pikiran atau pandangan umum (common sense) dalam kehidupan
harian, sementara pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah
secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi ilmu. Pengetahuan
ilmiah (Scientific knowledge) adalah pengetahuan yang disusun bersdasarkan azas-
azas yang cocok dengan pokok soal dan dapat membuktikan kesimpulan-
kesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan suatu obyek khusus tentang jenis
pengetahuan yang khusus mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sitematis. Jadi, pengetahuan
merupakan isi substantif yang terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya,
merupakan dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar disadari,
ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam bentuk apa pun. Pengetahuan
yang merupakan isi substatif ilmu, dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact),
kebenaran, azas, nilai, dan keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan
sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati, menganalisis, menalar, membuktikan, dan
menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi (faktual) yang dihimpun dan dicatat
sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok sebagai fakta (pengetahuan)
yang pokok soal khusus di dalam ilmu. Pokok soal itu dapat berupa ide abstrak,
misalnya; sifat Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris, misalnya; sifat tanah, ciri
kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga adat, pemerintah, dan sebagainya, yang
mendorong minat (focus of interest) atau sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu
berbeda dari filsafat berdasarkan ciri empiris ilmu maka ilmu berbeda dari
pengetahuan biasa karena ciri sistematis dari ilmu itu sendiri. Hal-hal berupa pokok
soal dimaksud, di dalam filsafat disebut obyek material ilmu, sementara fokus minat
atau sikap terhadap hal pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk
pada sudut pendekatan atau tata cara khusus yang dilakukan dalam menghadapi
obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial kemasyarakatan, juga
dimensi kebudayaan, dan dimensi permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai
sebuah pranata sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana pengetahuan,
merupakan salah satu unsur yang berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Dimensi kebudayaan sebagai “kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu wujud kebudayaan yang
sekaligus berkembang dalam bentuk kebudayaan, serta memberikan sumbangan
bagi kemajuan kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan, (game), karena ilmu,
dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang mirip dengan sifat-sifat suatu
permainan, misalnya; keingintahuan, perlombaan, dan penerimaan hadiah. Ketiga
hal dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu, melainkan dianggap
sebagai dimensi umum dari ilmu.
IV. Konsep Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian), baik untuk kepentingan
pengembangan ilmu secara murni (misalnya; untuk menyusun teori dan dan
menghasilkan dalil-dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan praktis bagi
tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang mewakili sesuatu
himpunan hal yang biasanya dibedakan dari pencerapan atau persepsi mengenai
suatu hal khusus. Konsep merupakan alat penting untuk pemikiran terutama dalam
hal penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian, baik yang bersifat abstrak
maupun operasional, yang merupakan alat penting untuk kepentingan pemikiran
dalam ilmu atau pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau
beberapa konsep kunci atau konsep tambahan yang bertalian. Beberapa contoh
konsep ilmiah, misalnya; konsep bilangan di dalam matematika, konsep gaya di
dalam fisika, konsep evolusi di dalam biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan
atau strata sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di dalam linguistik, keadilan
dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu teologi, atau lingkungan di dalam ilmu-
ilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat dibutuhkan agar suatu ilmu
dapat menyusun berbagai azas, teori, sampai dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat
merupakan semacam sarana untuk ilmuwan melakukan pemikiran dalam
mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan konsep evolusi, Charles
Darwin lalu dapat menyusun dan mengembangkan suatu teori tentang asal–usul
manusia, yang mulai dari tahap perkembangan binatang menyusui yangcerdas
kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep evolusi yang
membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih
rumit berasal dari sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif
dalam perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam memahami perkembangan ilmu
dengan menunjukkan bahwa cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam jalinan
umum dari pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan mencapai suatu
taraf kematangan sehingga dipandang berbeda dan kemudian dipisahkan dari
filsafat. Hal demikian berlaku pula terhadap upaya penelaan terhadap gejala-gejala
alam dan kehidupan maupun gajala-gejala mental dan kemasyarakatan, yang
dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi,
psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang berdiri sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmu-
ilmu tersebut yang membuatnya berbeda dari filsafat adalah ciri empirisnya.
Jelasnya, bila filsafat masih tetap merupakan pemikiran reflektif yang coraknya
sangat umum, kebalikannya ilmu-ilmu fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial
telah merupakan rangkaian aktivitas intelektual yang bersifat empiris. Sifat tersebut
lah yang selalu merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya,
atau eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain, bersifat abstrak
untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau membuat keterangan-keterangan
ilmiah yang berlaku secara umum. Konsep-konsep ilmu tersebut kadang-kadang
begitu abstrak sehingga hampir berupa khayalan. Misalnya; konsep
ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia ekonomis (the
economic man), atau negara ideal (the ideal state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh dikacaukan, seolah-olah sama atau
menyerupai inti atau pokok soal pengetahuan. Alasannya, pokok soal pengetahuan
tersebut belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf yang lebih tinggi seperti
konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah cukup berkembang harus memiliki satu atau
beberapa konsep kunci, juga beberapa konsep tambahan yang bertalian dengannya.
V. Ciri Pokok Ilmu
Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan pengetahuan biasa, memiliki
beberapa ciri pokok, yaitu:
a. sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu adalah pengetahuan
atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis. Ciri sistematis
ilmu menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai keterangan dan data
yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan tersebut mempunyai
hubungan-hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib).
Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas tata tertib tertentu
di antara bagian-bagian yang merupakan pokok soalnya.
c. obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengatahuan yang bebas dari
prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif
berupa kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung
pernyataan serta data yang menggambarkan secara terus terang atau
mencerminkan secara tepat gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu
mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah sesuai dengan
obyeknya (baik obyek material maupun obyek formal-nya), tanpa diserongkan
oleh keinginan dan kecondongan subyektif dari penelaahnya.
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri tambahan lainnya,
misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa
ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu,
dalam hal ini sukar namun, juga amat muda dalam arti, senantiasa merupakan
sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang mengagumkan dan membanjiri
dunia dengan ide-ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan
penilaian, baik atau buruk terhadap apa yang ditelaannya, tetapi hanya
menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan terakhir ini, oleh filsuf
kritis telah ditolah karena, menurut mereka ilmu sebagai sebuah hasil budaya
manusia, selalu bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak
dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu harus
bertanggungjawab atasnya.
VI. Dimensi khusus Ilmu
Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh beraneka ragam, telah
menampilkan pula berbagai dimensi keilmuan yang cukup luas dan beragam, serta
bersifat khas atau khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada perwatakan, peranan, serta
kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk dalam ilmu. Berbagai
pandangan filsuf, sebagaimana ditunjukkan oleh The Liang Gie (1996: 131-133),
menunjukkan beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau spesifik dapat
dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:
1. dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis, dalam arti, ilmu dilihat
sebagai salah satu faktor utama dalam mempertahankan dan
mengembangkan produksi.
2. dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu bahasa buatan. Ilmu,
dalam hal ini, dilihat sebagai suatu konstruksi kebahasaan (a construction of
language), dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan spesifik
tertentu serta antara obyek-obyek, dan dengan prakterk.
6. dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini, cenderung dipahami sebagai
sebuah lembaga sosial (social institution), mendorong aktivitas sosial (social
aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang menghimpun, menguji,
serta menyebarkan pengetahuan, dan menciptakan sebuah masyarakat
ilmuwan.
7. dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk menjejerkan ide-ide atau
gagasan-gagasan, tetapi lebih daripada itu merupakan sebuah nilai (value)
pada dirinya, dan karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan diri dari nilai-
nilai yang diembannya sejak awal proses pembentukan maupun
penerapannya.
8. dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai bagian dari
perkembangan sejarah manusia dan kebudayaan. Ilmu, karenanya,
merupakan sebuah kekuatan sejarah yang sangat besar peranannya bagi
setiap generasi manusia di dalam periodenya masing-masing. Ilmu sebagai
kekuatan sejarah, selalu membangun eksistensi sosial manusia dalam
arahnya yang selalu baru.
9. dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya manusia yang sekaligus
ditempatkan menjadi kekuatan budaya (cultural force) dalam membangun
peradaban manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang berbudaya.
10.Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta, rasa, dan karsa
manusia yang bertautan langsung dengan nilai rasa (cita rasa) manusia dan
kemanusiaan itu sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi ilmu itu
sendiri, dan ilmu selalu berorientasi pada manusia sebagai kausa ontologis
(penyebab ada) bagi ilmu itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan
ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan keuntungan (benefit) dari ilmu itu sendiri.
12.dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu kebulatan sistem yang
terdiri dari unsur-unsur yang berada dalam keadaan yang saling berinteraksi.
Jadi, ilmu dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang memiliki ciri
sistematis, sistim penjelasan (a system of explanation), dan terpola atau
terstruktur, serta menjadi suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah
alam, kaidah-kaidah pembilangan, serta hubungannya dengan manusia.
C. STANDAR KOMPETENSI :
Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan ilmu sebagai bagian dari
fenomena manusia.
D. KOMPETENSI DASAR:
Mahasiswa dapat:
menjelaskan arti teori ilmu.
menjelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;
I. Teori Keilmuan
1. Pengertian.
Teori ilmiah atau teori keilmuan adalah sekumpulan proposisi yang saling berkaitan
secara logis untuk memberi penjelasan mengenai sejumlah peristiwa atau
fenomena. Misalnya, teori Darwin tentang evolusi organisme hidup yang
menerangkan bahwa bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari
sejumlah kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif. Organisme-
organisme tersebut, berkembang secara evolusioner sepanjang masa. Jadi, teori
ilmiah atau teori keilmuan merupakan sekumpulan proposisi yang mencakup konsep-
konsep tertentu yang saling berhubungan. Kondisi saling keterhubungan di antara
konsep-konsep tersebut menyajikan suatu pandangan yang bersifat utuh dan
sistematik mengenai fenomena atau obyek keilmuan yang ditelaah sehingga mampu
menjelaskan dan meramalkan fenomena atau obyek keilmuan dimaksud. Prinsipnya,
tujuan akhir dari ilmu adalah mengasilkan teori yaitu berupa penjelasan –penjelasan
terhadap terhadap fenomena alamiah.
2. Fungsi atau kegunaan teori ilmiah (teori keilmuan):
Petama; membantu menyusun dan mensistematisasikan data maupun pemikiran
tentang data sehingga tercapai pertalian yang logis di antara aneka data yang
semulanya bersifat saling terlepas dan kecau balau. Jadi, teori, dalam hal ini,
berfungsi sebagai pedoman, bagan sistematis, atau acuan.
Kedua; memberi suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang
semulanya belum dipetakan, untuk memberikan arah atau orientasi bagi proses
pemikiran keilmuan.
Ketiga; memberi petunjuk atau arahan bagi penelitian atau penyelidikan lanjut.
Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan antara teori ilmiah dan kaidah ilmiah. Teori
ilmiah berisi proposisi-proposisi logis yang berusaha menjelaskan fenomena atau
obyek keilmuan tertentu, dengan menunjuk pada keajegan–keajegan suatu kaidah
ilmiah (kaidah keilmuan) dan juga bersifat prediktif (peramalan). Meskipun demikian,
sebuah teori ilmiah tidak pernah akan menjadi sebuah kaidah ilmiah. Teori ilmiah
(teori keilmuan) hanya mengacu pada kaidah-kaidah ilmiah sebagaimana telah
diketahui dan meungkin menyarankan kaidah-kaidah tambahan. Teori keilmuan
mencoba menerangkan sebuah kaidah tertentu dengan mengacu pada suatu kaidah
(keteraturan atau keajegan berupa hubungan tertib) yang lebih umum.
Teori merupakan tujuan dasar dan sekaligus tujuan akhir dari kegiatan ilmu atau
keilmuan. Sebuah buku telfon bukanlah sebuah ilmu atau karya ilmiah karena tidak
didasarkan pada teori keilmuan tertentu serta tidak dapat menghasilkan teori baru.
Sebuah buku telfon hanya berfungsi menunjuk atau memberi informasi apa adanya,
pada orang tertentu, nomor tertentu, kota tertentu, atau tahun tertentu, dan tidak
menunjuk pada suatu hal yang umum, analisis, penalaran, dan sebagainya
berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan.
II. Metode Ilmu (metode keilmuan)
1. Pengertian.
Metode ilmu atau metode keilmuan adalah suatu cara di dalam memperoleh ilmu
atau pengetahuan baru. Metode keilmuan, dalam hal tertentu, dipandang pula
sebagai sebuah teori pengetahuan yang dipergunakan untuk memperoleh jawaban-
jawaban tertentu mengenai suatu permasalahan atau pernyataan. Hal metode
keilmuan, karenanya, lebih merupakan prosedur keilmuan yang mencakup berbagai
tindakan pikiran, pola kerja, tata langkah, dan cara atau teknik untuk
mengembangkan pengetahuan yang ada guna mencapai pengetahuan baru yang
disebut ilmu. Asumsinya, lewat pengorganisasian kegiatan keilmuan yang bersifat
sistematis dan pengujian pengamatan serta penalaran-penalaran logis atasnya maka
manusia mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupaun hal itu
terus-menerus bertumbuh dalam kritik, koreksi, serta penyempurnaan. Jadi, metode
ilmu lebih merupakan prosedur keilmuan yang digunakan oleh ilmuwan dalam
pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan meninjau kembali
pengetahuan yang telah ada.
Metode ilmu mengandung struktur-struktur rasional dari sebuah penyelidikan ilmiah
(penyelidikan keilmuan) yang melaluinya, disusun berbagai dugaan, ramalan, atau
prediksi serta pengujian-pengujian-pengujian sahih atasanya.
Prosedur keilmuan yang merupakan metode ilmu atau metode ilmiah dimaksud tidak
hanya mencakup aspek pengamatan (observasi) atau percobaan (eksperimen),
namun terkait dengan aspek; analisis, pemerian (uraian), penggolongan (klasifikasi),
pengukuran, perbandingan, pengujian, dan survei. Bahkan, prosedur keilmuan yang
terkait dalam metode ilmu dimaksud meliputi pula prosedur-prosedur logis,
misalnya; induktif, deduktif, abstraksi, dan penalaran, yang semuanya termasuk di
dalam ruang lingkup metode ilmu.
2. Langkah-langkah di dalam metode keilmuan.
Metode ilmu atau metode keilmuan meliputi suatu rangkaian langkah-langkah yang
tertib berupa 11 (sebelas) langkah, seperti:
1. pengamatan (observasi) awal terhadap gejala-gejala atau hasil percobaan
(eksperimentasi) yang ada.
2. menganalisis dan merumuskan masalah untuk menetapkan apa yang dicari serta
apa hipotesis (pangkal-pangkal dugaan) yang digunakan untuk memberi bentuk dan
arah pada telaah penelitian.
3. perumusan hipotesis, variabel, dan indikator yang melukiskan gelaja atau hasil
percobaan dimaksud.
4. pengujian hipotesis untuk melihat apakah hipotesis tersebut memadai dalam hal
meramalkan dan melukiskan gejala-gejala baru atau hasil percobaan yang baru.
5. pengumpulan data sesuai indikator yang ditetapkan.
6. pengolahan data dengan cara melakukan penggolongan (klasifikasi), interpretasi,
dan pengaturan data guna menunjukkan kesamaan-kesamaan, urutan, dan
hubugan-hubungan yang ada.
7. membuat kesimpulan-kesimpulan umum dan khusus dari setiap langkah keilmuan.
8. pengujian dan pememerikasan terhadap kebenaran-kebanaran kesimpulan tersebut.
9. pengembangan generalisasi-generalisasi.
10. pengujian dan pemeriksaan terhadap kebenaran hasil generalisasi.
11. penyempurnaan generalisasi.
Para ahli, umumnya, memiliki perbedaan aksentuasi terhadap rangkaian langkah-
langkah yang harus ditempu dalam metode keilmuan dimaksud. Ada yang
membatasi pada delapan langkah, sementara ada pula yang membatasi pada 4 -5
langkah. Penekanan pada delapan langkah itu meliputi:
1. mengamati situasi permasalahan yang benar-benar tidak menentu sehingga perlu
diteliti.
2. nyatakan masalah tersebut dalam istilah yang spesifik.
3. rumuskan suatu hipotesis kerja
4. merancang model penelitian yang terkendali dengan jalan pengamatan,
eksperimentasi, atau kedua-duanya.
5. pengumpulan data atau bahan bukti, berupa “data kasar”.
6. alihkan “data kasar” menjadi pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan.
7. membuat penegasan atau kesimpulan, serta peramalan.
8. menguji dan menyempurnakan kesimpulan tersebut untuk menjadi sebuah ilmu
baru yang diintegrasikan ke dalam kumpulan ilmu atau pengetahuan yang telah
mapan.
Langkah-langkah baku yang bisanya ditempuh dalam sebuah metode keilmuan ada
6 (enam), yaitu;
1. sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah. Manusia, di dalam hidupnya,
selalu menghadapi masalah, baik yang bersifat jasmani atau material, psikologis,
sosiologis, antropologis, tradisi budaya, agama, hukum, ekonomi, politik, interaksi,
dan sebagainya. Manusia, dalam hal itu, menggunakan pikirannya untuk mengamati
permsalahan tersebutm mengidentifikasikannya, dan mengajukan secara spesifik
dalam sebuah rumusan atau definisi permasalahan yang jelas sebagai hal yang patut
dipertanyakan dan dipecahkan atau dijawab. Metode keilmuan pada tahapan awal
ini seolah berusaha menempatkan realitas (obyek) tersebut dalam dunia fakta
dengan struktur-struktur hubungan logisnya yang dapat dinalar dan diamati secara
empiris melalui ransangan inderawi untuk dapat diberi arti atau makna tertentu.
Kesadaran atau kepekaan pikiran, pada tahap ini yang mengarah pada tahap
penyelidikan atau penelitian.
4. penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan ini mengarah pada
kegiatan penyusunan data di dalam kelompok, jenis, dan kelas. Bagi semua cabang
ilmu, usaha mengidentifikasi, menganalisisi, membandingkan, dan menafsirkan,
serta membeda-bedakan fakta yang relevan, tergantung pada sistem klasifikasi yang
disebut taksonomi, hal itu oleh ilmuwan modern, terus berusaha menyempurkanan
taksonomi keilmuannya masing-masing.
2. bahwa tiap penalaran atau tafsiran, mungkin saja benar sejauh apa yang
dikemukakan. Meski pun demikian, hal itu tetap terbatas pada sistem bahasa dan
sistem klasifikasi yang digunakan, sementara konsistensi dari pengetahuan keilmuan
atau pengetahuan ilmiah tidak sejelas apa yang diduga.
E. Sumber:
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
jelaskan arti teori ilmu.
jelaskan fungsi teori dalam tugas keilmuan;
Suriasumantri, J.S., 1995, Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
The Liang Gie, 1996, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta.
Keraf Gorys, 1992, Argumentasi dan Narasi, Gramedia, Jakarta,
Watloly, A. , 2001; Tanggung Jawab Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta
--------------Pikiran Sebagai Tenaga Budaya, (belum diterbitkan).
F. Evaluasi:
jelaskan arti sejarah keilmuan;
tunjukkan berbagai bentuk pergeseran paradigma keilmuan dalam sejarah
keilmuan abad Yunani Kuno.
A.POKOKBAHASAN:PENGETAHUANDANILMU
B. SUB POKOK BAHASAN: TANGGUNG JAWAB KEILMUAN
C.S tandar Kompetensi: Mahasiswa memahami hakikat pengetahuan dan
ilmu sebagai bagian dari fenomena manusia.
D. Kompetensi Dasar: Setelah memperlajari topik ini, Anda diharapkan dapat:
menjelaskan arti tanggung jawab keilmuan;
meunjukkan sifat keterbatasan tanggung jawab keilmuan;
E. Materi:
I. Arti Tanggung Jawab keilmuan.
Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan berbagai prinsip dasar dalam hal
memahami tanggungjawab pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab,
secara etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan, yaitu;
tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga keilmuan, dalam hal ini,
wajib menanggung dan wajib menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu
sendiri maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan olehnya. Ilmu,
ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya berdiri di depan tugas keilmuannya
untuk mendorong kemajuan ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi
juga harus berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam ilmuwan, termasuk lembaga
keilmuan, tidak dapat mencuci tangan dan melarikan diri dari tanggung jawab
keilmuannya.
Tanggung jawab mengandung makna penyebab (kausalitas), dalam arti
"bertanggung jawab atas". Tanggung jawab dalam arti demikian berarti; apa yang
harus ditanggung. Subyek yang menyebabkan dapat diminta
pertanggungjawabannya, meskipun permasalahan - permasalahan tersebut tidak
disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri. Aspek tanggung jawab sebagai sekap
dasar keilmuan, dengan ini, telah menjadi satu dalam kehidupan keilmuan itu sendiri
dan sulit dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan, tidak dapat dilepaspisahkan dari
perkembangan pengetahuan maupun keilmuan dari abad ke abad.
Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan, adalah sesuatu hal yang secara tidak
langsung mengenai tanggung jawab manusia, dalam hal ini, ilmuwan yang; mencari,
mempraktikkan, dan menerapkan, atau menggunakan ilmu atau pengetahuan
tersebut dalam kehidupan. Maksudnya, ilmu sebagai bagian dari kebijaksanaan
manusia dengan segala usaha sadar yang dilakukan untuk memanusiakan diri dan
lingkungannya, tidak dapat dipisahkan dari aspek tanggung jawab dimaksud. Ilmu
dan ilmuwan, sebagai seorang anak manusia, karenanya, wajib menanggung setiap
akibat apa pun yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri, baik dari sisi teoretisnya
maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib menjawab dalam arti
merespons dan memecahkan setiap masalah yang diakibatkan oleh ilmu maupun
yang tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Tanggung jawab keilmuan, dalam ini,
bukan merupakan beban atau kuk, tetapi merupakan ciri martabat keilmuan dan
ilmuwan itu sendiri. Konsekuensinya, semakin tinggi ilmu maka semakin tinggi dan
besar tanggung jawab yang diemban oleh ilmu, ilmuwan dan lembaga keilmuan itu
sendiri.
Kadang-kadang, tanggung jawab keilmuan tidak disebabkan oleh ilmu itu sendiri,
misalnya; dalam hal menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti; bencana
alam, keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya. Tanggung jawab
keilmuan bukan saja dalam arti yang normative, misalnya berkaitan dengan aspek
moral yang bersifat legalistik saja, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya,
tanggung jawab keilmuan dalam menyelasaikan berbagai bentuk akibat perubahan
sosial yang berdampak terhadap tatanan moral masyarakat. Jadi, tanggungjawab
keilmuan juga memilki arti, mendudukkan manusia pada kedudukan martabat
dirinya, sehingga di satu sisi tidak diperalat oleh ilmu dan ilmuwan demi mencapai
prestise dan supremasi ilmu, atau di sisi lain, tidak tergilas oleh kebodohan dan
kemelaratan hidup karena lingkaran setan ketidaktahuan yang melilit dirinya.
Di sisi lain, tanggung jawab keilmuan mesti di dasarkan pada keputusan bebas
manusia, sehingga melalui tanggung jawab keilmuan maka ilmu, ilmuwan, manusia
serta masyarakat dibebaskan atau dijernihkan dari berbagai pengaruh emosional,
sikap curiga, dendam, buruk sangka, dan berbagai sikap irasional. Konsekuensinya,
tanggung jawab keilmuan harus terus mengalir dari dalam lautan luas tindakan
manusia (ilmuwan) yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab keilmuan menyangkut, baik masa lalu, masa kini, maupun masa
depan. Alasannya, karena penanganan ilmu atas realitas selalu cenderung berat
sebelah. Kenyataan tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan
keseimbangan kosmos (alam) seperti; pembasmian kimiawi dari hama tanaman,
sistem pengairan, keseimbangan jumlah penduduk, dan sebaginya. Juga, hal itu
menyangkut gangguan terhadap tatanan sosial dan keseimbangan sosial. Artinya,
ilmu lah yang telah mengemukakan bahwa tatanan alam dan masyarakat harus
diubah dan dikembangkan maka ilmu pula lah yang bertanggung jawab menjaganya
agar dapat diubah dan dikembangkan dalam sebuah tatanan yang baik, demi
konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan ekologis.
Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada kesadaran bahwa ilmu selalu
merupakan sesuatu yang sifatnya masih belum rampung. Artinya, upaya keilmuan
tidak dapat meniadakan tanggung jawabnya yang lama, tetapi selalu
menampilkannya dalam kesegaran tanggung jawab yang selalu baru. Jadi, ilmuan
harus terbuka pada tanggung jawabnya yang baru walaupun hal itu tidak pernah
dialami oleh pendahulunya.
II. Sifat Keterbatasan Tanggung jawab Keilmuan.
Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu adalah sifat keterbatasan.
Tanggung jawab keilmuan memiliki sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung
jawab itu sendiri tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan
sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat. Sebagaimana manusia tidak
dapat menciptakan dirinya sendiri, tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat
maka demikian pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab. Manusia
hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta menjalaninya sebagai
sebuah panggilan kodrati dan tunduk padanya.
Konsekuensinya, ilmuwan sebagai manusia tidak bertanggung jawab atas tanggung
jawab keilmuannya, sebab manusia tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas
kenyataan mengapa ia bertanggung jawab, sebab hal itu merupakan tugas yang
diterima dan dijalani atas dasar pemberian kodratnya. Manusia tidak bertanggung
jawab pada tanggung jawab, tetapi ia menerima tanggung jawab itu sebagaimana
adanya, dan menjalaninya dengan segala keterbatasannnya. Ilmuwan sebagai
manusia, menjalani tanggung jawab keilmuannya dengan segala keterbatasannya,
baik secara natural, kodrati, maupun dari keterbatasan keilmuannya sendiri.
Pandangan tersebut hendak menegaskan, betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan
memiliki suatu "kepekaan besar" untuk membaca dan menjalankan tanggung jawab
keilmuannya itu secara baik, dan tidak boleh memandang dirinya serba bisa, serba
oke, dan serba benar.
III. Bentuk-bentuk Tanggung jawab Keilmuan.
1. Tanggung jawab sosial. Ilmu bukan saja bersifat sosial, tetapi membutuhkan
tanggungjawab sosial, karena melalui suasana sosial itu ilmu dapat bertumbuh subur
secara efektif dan bertambah luas. Aneka kasus sosial dalam masyarakat
membutuhkan penanganan dan penyelesaian secara keilmuan. Ilmuwan dengan
kemampuan pengetahuannya yang cukup, dapat memberi argumentasi, kajian kritis,
dan membangun opini masyarakat mengenai permasalahan kehidupan yang
dihadapi. Misalnya, penganggulangan kemiskinan, penyakit, atau masalah nilai-nilai
sosial dalam pembangunan sehingga masyarakat tidak tercabut dari akar kehidupan
sosialnya yang khas. Ilmu dan ilmuan bertanggung jawab dalam hal memberikan
prediksi atau ramalan serta peringatan dinih mengenai permasalahan yang akan
dihadapi masyarakat, baik yang nyata (manifest) maupun tersembunyi (laten) atau
yang bersifat gejala. Misalnya, dalam melakukan resolusi konflik dan membangun
manajemen perdamaian guna mewujudkan ciri masyarakat yang mampu mencegah
dan mengatasi konflik serta membangun sistem kedamian yang langgeng guna
mmemperlancar pembangunan dalam mewujudkan masysrakat yang
berkesejahteraan.
Ilmuwan, dengan latar belakang pengetahuannya yang cukup, harus bertanggung
jawab untuk menyampaikan ilmu atau pengetahuannya secara proporsional kepada
masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka terima. Tanggung jawab sosial
keilmuan tersebut adalah penting, baik dalam rangka mengusahakan kebenaran ilmu
maupun baik dari segi untung -rugi, baik-buruk, dan lain sebagainya. Dengannya,
dapat dimungkinkan penyelesaian yang obyektif terhadap setiap permasalahan
sosial yang terjadi. Ilmu dan ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial, bukan
sekedar karena ilmuan adalah anggota masyarakat dan terlibat langsung dalam
kepentingan sosial kemasyarakatan, tetapi ilmu secara hakiki memiliki fungsi
tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ilmu, meskipun merupakan hasil
kekiatan individual, namun dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh
masyarakat.
2. Tanggung jawab keteladanan. Ilmu dan ilmuwan bukan saja mengandaikan
kebenaran keilmuan sebatas sebuah jalan pemikiran dengan pesona logika dan
ketajaman analisisnya, namun juga bertanggung jawab menunjukkan atau
mempraktikkan kebenaran keilmuannya di dalam kehidupan sosialnya yang luas dan
mendalam. Ilmu bukan hanya menyajikan sebuah kebenaran informasi, namun
memberikan keteladanan hidup yang ditunjukkan oleh ilmuwannya. Ilmuwan harus
berdiri di depan kebenaran-kebenaran keilmuannya selaku proto tipe kebenaran
yang sesungguhnya, juga berada di belakang kebvenaran-kebenaran keilmuannya
untuk menunjukkan tanggung jawabnya atas segala akibat sosial maupun ekologis
yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri. Menghadapi situasi kemasyarakatan kita di
mana terdapat kecenderungan untuk memanipulasi dan menghambat kebenaran
nilai sehingga banyak mengakibatkan adanya kegoncangan nilai maka ilmuan harus
tampil ke depan untuk memberi argumentasi, kajian kritis, serta membangun opini
yang obyektif dan proporsional terhadap setiap permasalahan sosial yang terjadi.
Pengetahuan yang dimilikinya, merupakan kekuatan yang akan membuat ilmuwan
menjadi berani (bahkan berani tampil sebagai martir seperti Socrates) dalam
membela nilai-nilai kebenaran yang dijamin dan diyakini dalam ilmu.
Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir secara cermat dan teratur
sehingga dengan kemampuan inilia, ia sekaligus memiliki tanggung jawab untuk
memperbaiki dan meluruskan pikiran masyarakat yang sesat dan keliru menganai
permasalahan yang dihadapi. Dengannya, masyarakat tidak terjebak dalam
lingkaran setan kepicikan yang membenarkan aneka prasangka, sesat pikir, atau
keliru pikir yang cenderung menumbuhkan atau melanggengkan sikap saling curiga
dan dendam. Melalui itu, masyarakat dapat dicerdaskan sehingga mampu
menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan memperbudak
kekuarangan atau ketidaktahuannya demi keuntungan-keuntungan yang bias.
3. Sikap tanpa pamrih. Sikap tanpa pamrih, berhubungan dengan kepentingan hati
nurani manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap ranpa pamrih menunjuk
pada keteguhan bathin atau hati, yang tanpa tegoda dengan imbalan apa pun,
untuk memperjuangkan kebenaran keilmuan, baik dalam rangka kepentingan teori
maupun praktis. Intinya, ilmuan harus terbuka pada himbawan dan seruan hati
(bathin) untuk terus mengritik dan membenahi diri dalam rangka mengatasi
berbagai kekurangan serta penyimpangan dalam kegiatan keilmuan. Salah satu
aspek di mana hal itu pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.
Sikap tanpa pamrih, pertama-tama berhubungan dengan upaya membimbing diri
agar tidak tergesah-gesah dan ceroboh dalam memutuskan kebenaran atau
kepastian keilmu. Tuntutan sikap tanpa pamrih, meskipun kedengarannya agak
bertentangan dengan tuntutan praktis dalam rangka penerapan keilmuan bagi
kepentingan kesejahtreraan manusia, namun secara prinsipial tetap penting dalam
rangka tanggung jawab moral dan sosial keilmuan. Sikap tanpa pamrih dalam
keilmuan juga penting dalam rangka menjernihkan masalah-masalah di sekitar
pandangan hidup manusia. Artinya, bentuk tanggung jawab keilmuan dalam hal
sikap tanpa pamrih tidak hanya berhubungan dengan kepentingan ideologis
keilmuan, tetapi juga tanggung jawab paktis, agar terhindar dari kesalahan dan
penyalahgunaan.
Sikap tanpa pamring dalam keilmuan dibutuhkan dibutuhkan sebagai jaminan agar
penggunaan ilmu, sedapat mungkin, menguntungkan kehidupan manusia secara
memadai, dan tidak sekedar untuk mencapai target tertentu yang menyimpan dari
kepentingan mmanusia secara utuh. Keadaan makin sulit, bila kelompok-kelompok
terntu memanfaatkan ilmu untuk menjaga dan memelihara kepentingannya,
sehingga mengabaikan nilai kebenaran keilmuan demi kemanusiaan dan
kemasyarakatan.
Sikap tanpa pamrih membuat kebenaran ilmu tidak netral karena kebenaran dan
pengabdian ilmu selalu diwarnai oleh adanya intensitas tujuan dan corak etis
tertentu yang mengafirmasikan atau menguatkan seruan kepentingan kemanusiaan
dalam ilmu. Corak etis kegiatan keilmuan sekali-kali tidak terbatas pada penerapan-
penerapan konkret (praktis)-nya, karena ia harus menjangkau hal-hal yang lebih
luas untuk menemukan sikap etis yang tepat. Melalui sikap demikian, kedudukan
manusia dalam pengembangan ilmu atau keilmuan tetap tidak berubah, walaupun
kemanusiaan itu sendiri mengalami pergeseran-pergeseran yang sifatnya dinamis
dalam tanggung jawab keilmuan itu sendiri.
Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan penting pula dalam rangka mengatasi
ketidakdewasaan manusia. Sikap dapat memungkinkan manusia mengenal
keterbatasannya, makin belajar mengenal dan semakin baik menguasai dirinya
sendiri (pikirannya, emosinya, keinginannya, dan sebagainya) dan juga realitasnya.
Sikap tanpa pamrih, di satu sisi menginsyafkan manusia untuk selalu meletakkan
pandangan kritisnya terhadap perkembangan ilmu dan keilmuan. Di sisi lain, sikap
tanpa pamrih juga menginsyafkan manusia tentang betapa kurang dewasanya
manusia dan betapa banyak kemungkinan lagi untuk menjadi lebih dewasa.
4.Tanggung jawab profesional. Tugas keilmuan menghimbau pada sebuah tanggung
jawab professional yang memadai. Tanggungjawab profesional keilmuan
mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi ahli dan terampil dalam
bidangnya, jadi bukan sekedar hobi. Tanggung jawab professional keilmuan
mengacu pada bidang keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau
profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk pula pada penghasilan
atau upah yang diperoleh berdasarkan tingkat kepakaran (pengetahaun dan
ketrampilan) yang dimiliki dalam bidang keilmuannya. Profesional merupakan kata
atau istilah yang umumnya diliputi sebuah citra diri yang berbauh sukses,penuh
percaya diri, berkompeten, bekerja keras, efisien, dan produktif. Tanggung jawab
profesional keilmuan menunjuk pada gambaran diri seseorang berdisiplin, kerasan,
dan sibuk dalam pekerjaan keilmuannya. Disiplin dan kerasan meruapak sebuah
paham yang membedakan secara radikal seorang ilmuwan sejati dengan orang yang
suka malas, santai, dan seenaknya dalam sebuah tugas keilmuan.
Tanggung jawab professional keilmuan menunjuk pula pada sikap keilmuan yang
"tanpa pamrih" serta bersikap tenang, tekun, dan mantap, dapat menguasai situasi,
serta berkepala dingin dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran
ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan. Profesionalisme dalam
keilmuan mensugestikan pula bahwa seorang ilmuan adalah sosok yang bersifat
pragmatis dan tidak membiarkan profesinnya untuk dipengaruhi oleh pandangan
-pandangan yang sempit dan sesat. Profesionalisme dalam keilmuan mengandaikan
pula sikap keilmuan yang tidak terpengaruh oleh hubungan-hubungan
primordialistik, ideologi atau oleh masalah keluarga dan pribadi. Prifesionalisme
kilmuan mengandaikan pula sebuah hasil keilmuan yang berlaku secara universal,
artinya dapat diterima secara luas dan umum.
Profesionalisme dalam keilmuan bukan sekedar ketrampilan yang dapat dipelajari
secara terpisah dari kepribadian sang ilmuwab. Bahkan, profesionalisme dalam
keilmuan meliputi seluruh struktur kepribadian sang ilmuwan. Tentu saja diperlukan
keahlian (spesialisasi) dalam mengembangkan profesionalisme keilmuan. Meskipun
keahlian dapat dipelajari dan dilatih, tetapi seorang belum tentu disebuah
professional dalam keilmuannya. Artinya, profesionalisme keilmuan menunjuk pada
kualitas pengetahuan dan kualitas kerja sebagai ilmuwan.
IV. Etika Keilmuan.
1. Arti etika keilmuan. Istilah etika dari bahasa Yunani etos yang berati baik,
berbudaya, atau beradab. Jadi etika keilmuan mengandaikan adanya tatanan nilai-
nilai kebaikan (etis) dalam keilmuan, baik dalam mengusahakan ilmu maupun dalam
menerapkan ilmu bagi kepentingan manusia. Ilmuan dan keilmuan, karenanya, perlu
didasarkan pada sebuah sikap kesadaran etis yang kuat. Kesadaran etis dalam
keilmuan berlangsung , baik muali dari tahap uapaya pencaharian dan penentuan
kebenaran maupun sampai pada tahap penerapan hasilnya dalam bentuk
pembangunan. Ciri etis yang mendasari proses tersebut merupakan sebuah kategori
moral keilmuan yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Sikap etis yang
demikian bukan saja merupakan sebuah jalan pemikiran bagi sang ilmuwan, tetapi
justru lebih merupakan totalitas jalan hidupnya, dalam sebuah tanggung jawab
keilmuan yang utuh. Etika keilmuan dan moral keilmuan, meskipun berbeda, karena
etika keilmuan mendasari diri pada sikap kritis dalam melakukan keputusan secara
bebas sementara moral keilmuan mendasari diri pada perintah moral atau
kewajiban-kewajiban yang patut diikuti, namun keduanya memiliki kesamaan dalam
hal kemutlakan sikap keilmuan yang tegas terhadap kebenaran.
Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan yang nyata-nyata
mempengaruhi dan menentukan bagaimana ilmuwan mendekati dan melakukan
kegiatan keilmuannya (memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran
keilmuan) secara kritis dan bertanggung jawab. Etika keilmuan, dalam hal ini, sangat
berhubungan dengan semangat dan sikap bathin (kehendak bathin) para ilmuwan
yang bersifat tetap dalam dirinya untuk bersikap; adil, benar, jujur, bertanggung
jawab, setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu, baik untuk kepentingan
keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya dalam membangun kehidupan.
Jadi, etika keilmuan mengandaikan adanya kehendak bathin yang kuat sebagai
sebuah tuntutan moral yang harus direalisasikan dalam rangka tugas keilmuan.
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka keilmuan, menjaungkau hal
yang lebih jauh dan mendorong untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-
kemungkinan terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun obyek
dalam keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan menimbulkan semacam kesulitan, di
mana perkembangan keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran setan. Kondisi
tersebut, muncul ketikan ditanyakan mengenai hal keraha mana ilmu harus
diterapkan? Mana penerapa keilmuan yang baik dan mana penerapan yang kurang
baik? Jelas bahwa kriteria etis yang digunakan untuk itu adalah apakan penerapan
tersebut dapat memajukan kesejahteraan hidup manusia atau sebaliknya membawa
ancaman terhadap konsistensi hidup generasi manusia dan ekologisnya?
Artinya, seorang ilmuwan, secara moral tidak akan membiarkan kebenaran ilmunya
atau hasil penelitiannya untuk membunuh dan menindas sesama manusia dan
merusak alam lingkungannya. Kengerian hidup zaman ini yang kian mencemaskan
dengan mencuatnya berbagai kegoncangan kosmik, terkikisnya lapisan hoson yang
memacu meluasnya panas bumi yang kian mencemaskan, juga kecemasan adanya
perang kimia, dan senjata pembasmi masal, kejahatan biokimia, dan berbagai
kenyataan lainnya yang terus menghadirnya aneka kecemasan mekar dalam
kehidupan, menunjukkan betapa dunia keilmuan masih terus menghadapi dirinya
sebagai masalah. Ilmu atau keilmuan, bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi
menyenangkan tetapi di sisi lain mencemaskan. Kenyataan tersebut menegaskan
pentingnya etika keilmuan dalam menyiasati perkembangan keilmuan itu sendiri.
Dengannya, ilmu atau keilmuan tetap dikembangkan pada jalurnya yang
sebenarnya. Melalui etika keilmuan, ilmu terus dikembangkan sebagai prestasi
keluhuran manusia yang mampu menyejahterakan manusia serta membuat manusia
menjadi actor bagi kehidupan, tapi di sisi lain, melalui etika keilmuan manusia
(ilmuwan) terus dinasihati dan digembalakan agar tidak menyelewengkan keilmuan
itu sendiri untuk mengancam kemanusiaanya dan lingkungannya.
Etika keilmuan, pada prinsipnya, hendak mencerminkan adanya "kebangkitan insani"
melalui berbagai kegiatan keilmuan atau penemuan keilmuan yang pada hakikatnya
menunjukkan perkembangan citra keagungan dan peradaban manusia. Etika
keilmuan, dengan demikian, telah mengantisipasi perkembangan - perkembangan
keilmuan di kemudian hari yang mungkin mengubah kewajiban etis keilmuan, tetapi
tidak mengubah nilai-nilia etis keilmuan yang fundamental mengenai hakikat dan
martabat keagungan manusia. Bahwa terdapat kemungkinan di mana dalam
perkembangan keilmuan yang tidak terduga, manusia (ilmuwan) dapat mengetahui
dan memiliki sesuatu yang sudah ditunjukkan dalam kesadaran eti keilmuannya itu.
Kesadaran mana memungkinkan manusia (ilmuwan) dapat menilai apakah
perkembangan keilmuannya dapat membantu mewujudkan perkembangan manusia
secara lebih utuh, walaupun ia sendiri tidak mengenal persis titik akhir yang
sesungguhnya dari perkembangan tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan dunia keilmuan semakin melangkah
maju dengan usaha-usaha efektif guna dapat memerangi "ketidakberesan" dalam
kehidupan, termasuk dalam dunia keilmuan. Bahkan, sejarah makin menunjukkan
pula bahwa perkembangan dunia keilmuan makin menyingkap adanya orientasi atau
arah baru pemikiran untuk makin menyadari akan keselamatan manusia.
Konsekuensinya, penting bagi seorang ilmuwan untuk memiliki kepekaan yang besar
terhadap etika keilmuan untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi etis dalam dunia
keilmuan itu sendiri. Kesadaran etis mana, di dasarkan pada kenyataan bahwa
dialah orang satu-satunya yang bertanggung jawab sepenuhnya serta patut dimintai
pertanggunganjawabannya atas segala hal yang diakibatkan oleh kemajuan dunia
keilmuan, baik terhadap moralitas manusia, maupun orientasi perilakunya.
FILSAFAT ILMU
FILSAFAT
Filsafat terdiri dari dua kata filo dan sofia yang berarti cinta dan kebijaksanaan. Cinta di
sini dalam arti yang luas yaitu kinginan yang mendalam. Karena adanya kenginan yang
mendalam, lalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meraih apa yang diingini tadi.
Bijaksana juga berarti pengetahuan. Jadi secara harfiah filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan yang berarti pula cinta akan pengetahuan secara mendalam (Poedjawijatna,
1980). Kegiatan kefilsafatan merupakan perenungan atau pemikiran secara ketat atau dengan
sungguh-sungguh mengenai suatu permasalahan. Filsafat merupakan suatu upaya untuk
mengadakan analisis secara cermat terhadap permasalahan-permalahan yang dihadapi
manusia melalui aktivitas-aktivitas penalaran. Kemudian hasil analisis tersebut disusun
secara sistematis untuk dipahami dan dijadikan sebagai dasar atau acuan perilaku manusia.
Selanjutnya filsafat akan mengantarkan kita pada suatu pemahaman tersebut akan
membimbing kita kearah yang lebih baik atau lebih layak yang tentunya lebih bijaksana
(Kattsoff, 1996).
Kemudian pengertian filsafat berkembang jauh dari arti harfiahnya, namun esensinya
tidak terlepas dari upaya memberi pemahaman yang sedalam-dalamnya terhadap suatu
masalah atau realitas. Filsafat diartikan sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematis serta menyeluruh terhadap realitas serta hakekat dari realitas tersebut.
Filsafat juga berarti upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan
manusia yang meliputi sumber, keabsahan, hakekat serta nilai-nilainya. Filsafat juga
mengandung pengertian, penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh berbagai pengetahuan. Filsafat sebagai disiplin pengeetahuan
yang berupaya untuk membantu manusia dalam melihat apa yang hendak dikatakan dan
mengatakan apa yang hendak dilihat (Bagus, 1996). Filsafat juga berarti suatu cara berpikir
yang radikal, menyeluruh dan sedalam-dalamnya terhadap permasalahan-permasalahan
(Suriasumantri, 1997). Berpikir sedalam-dalamnya tentunya, untuk menemukan makna yang
sedalam-dalamnya pula dari apa yang dipikirkan. Berpikir dalam dunia kefilsafatan tidak
hanya sekedar berusaha untuk menjawab pertanyaan, tetapi juga mempersoalkan jawaban
yang diberikan. Kemajuan seseorang dalam berfilsafat, tidak hanya diukur dari jawaban yang
diberikan, tetapi juga diukur dari pertanyaan yang diajukan (Sokrates, lih. Suriasumantri,
1997).
ILMU
Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah ilmu pengetahuan ilmiah sebagai sinonim dari
kata science atau dalam bahasa Indonesia di sebut dengan sains.Ilmu pengetahuan berbeda
dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari pengetahuan. Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, terlepas dari persoalan apa yang diketahui
itu benar atau salah. Ilmu pengetahuan sebagai bagian dari pengetahuan, yang membatasi diri
pada pengetahuan yang benar saja. Tapi dalam masalah kebenaran ini perlu hati-hati, karena
hal tersebut sangat tergantung pada kriteria apa yang digunakan dalam menentukan
kebenaran tersebut. Ada tiga macam kebenaran ilmu pengetahuan, yaitu koheren,
koresponden dan pragmatis.
Ilmu pengetahuan ilmiah sering disebut dengan ilmu pengetahuan atau disebut dengan
ilmu saja. Ilmu adalah sekelompok atau sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara
teratur dan sistematik mengenai suatu objek tertentu (Abas Hamami, lih. Siswomiharjo,
1989). Kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur dan sistematik tadi, memberikan
penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab akibat dari suatu
objek (Ofm, 1983). Ilmu merupakan buah pemikiran manusia dalam menjawab apa,
bagaimana dan mengapa (untuk apa). Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang dapat
diandalkan dalam rangka menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam
(Suriasumantri, 1997). Menjelaskan atau menerangkan serta meramalkan dalam rangka
mengontrol gejala alam merupakan kegiatan pokok kegiatan keilmuan. Menerangkan di sini
tidak hanya sekedar menginfentarisasi dan mendiskripsikan gejala-gejala alam saja, tetapi
membahas tentang hubungan antar gejala tersebut (peursen, 1980).
Kegiatan keilmuan adalah suatu proses kegiatan berpikir. Kegiatan berpikir tersebut
adalah pembahasan mengenai berbagai macam gejala alam atau berbagai macam
permasalahan yang dihadapi oleh manusia yang bergerak dari wilayah rasional ke empirik,
dari kutub a-priori ke kutub a-posteriori, dari arah das solen ke das sein serta dari pola
berpikir deduksi ke induksi. Kegiatan berpikir tersebut bertujuan untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat umum dalam bentuk teori, hukum-hukum, kaidah-kaidah dan asas
dari berbagai permasalahan (Suriasumantri, 1997). Hasil yang didapat melalui proses tersebut
adalah ilmu pengetahuan ilmiah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam uraian terdahulu
disebut dengan ilmu pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan atau hanya dengan sebutan
ilmu saja.
Ilmu dicari manusia dalam rangka menerangkan, meramalkan dan mengontrol gejala
alam sebagaimana yang telah dikemukakan dalam pembicraan terdahulu, yang saat ini
berkembang begitu pesat, sihingga tidak mungkin seseorang dapat mengetahui semuanya,
Untuk itu dalam perkembangannya lebih lanjut diadakan pemilahan-pemilahan, agar supaya
lebih mudah untuk mempelajarinya. Karena tidak mungkin seseorang dapat menguasai
semuanya. Ilmu kemudian ini menjadi menjadi tersepesialisasi dalam berbagai bidang
kajiannya. Tapi secara garis besar dapat dikelompokkan dalam ilmu alam dan ilmu sosial.
Ilmu alam (natural science) sasarannya dalah alam semesta. Ilmu pengetahuan sosial (social
science) bidang kajiannya adalah perilaku manusia. Ilmu pengetahuan alam masih
dikelompokkan menjadi ilmu fisik (physical sciences) dengan bidang kajiannya benda-benda
mati, dan biologi yang bidang sasarannya adalah mahluk hidup. Antara ilmu alam dan ilmu
sosial tidak terdapat perbedaan yang prinsipiil; karena keduanya memiliki ciri keilmuan dan
metode yang sama; hanya yang mungkin berbeda adalah tekniknya (Suriasumantri, 1997 dan
suria sumantri, 1998).
FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti dalam
menjelajahi keilmuan untuk mencapai kebenaran atau kenyataan yang tidak pernah habis
dipikirkan dan tidak akan pernah selesai diterangkan (Siswomiharjo, tt). Filsafat ilmu
merupakan cabang dari filsafat pengetahuan atau epistimologi (Suriasumantri, 1998). Filsafat
pengetahuan (epistimologi) yang disebut pula dengan The Theory of Knowledge lahir pada
abad ke 18. Cabang ini membahas sumber-sumber pengetahuan, sarana-sarana pendukung
dalam mendapatkan pengetahuan, kebenaran pengetahuan serta nilai-nilai pengetahuan
ilmiah. Sumber di mana manusia mendapatkan pengetahuan adalah pancaindra, penalaran,
otoritas, intuisi, wahyu dan keyakinan. Kebenaran pengetahuan meliputi kebenaran
koherensi, kebenaran korespondensi dan kebenaran pragmatis. Sarana pendukung di dalam
mendapatkan pengetahuan yaitu logika, matematika, statistika, bahasa dan metodologi
penelitian (Siswomihardjo, 1989).
Revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang seperti astronomi, fisika, kimia, biologi
molekuler, teknologi informatika dan robotika, teknologi trasplantasi organ tubuh manusia ke
manusia, dan juga teknologi trasplantasi organ robot ke manusia sudah di depan mata, sampai
pada teknologi kloning dan lain sebagainya, telah dilakukan dan dinikmati manfaatnya oleh
manusia sejak abad ke 20 sampai menjelang milenium ketiga saat ini. Tetapi di sisi lain
penemuan-penemuan tersebut tadi dapat merupakan ancaman dengan kemungkinan-
kemungkinan akibat fatal bagi kehidupan manusia, baik dilhat dari sisi fisik, psikologis,
sosiologis maupun moral. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada dan
perkembangannya lebih lanjut, dapat saja digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan
dorongan angkara murka manusia, Seperti senjata pembunuh masal yang dapat kita saksikan
saat ini. Kemajuan luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana
telah dikemukakan di atas, jelas memunculkan sikap optimisme sekaligus pesimisme.
Semua pengetahuan berusaha menjawab semua persoalan yang dihadapi terhadap pertanyaan
yang inheren dalam persoalan tersebut yaitu apa, bagaimana dan mengapa atau untuk apa.
Maksudnya, apa yang telah, sedang atau akan dikaji, bagaimana cara mengkajinya, mengapa
atau apa manfaatnya kajian tersebut. Pertanyaan tentang apa, bagaimana dan mengapa ini
dalam istilah kefilsafatan dikenal dengan istilah Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi.
Filsafat menelaah objek kajiaanya atas dasar tiga sudut pandang tersebut.
Istilah ontologi merupakan sebutan lain dari metafisika yaitu segala sesuatu yang ada dibalik
fisik. Sebetulnya istilah metafisika sendiri tidak dikenal dalam sejarah pemikiran filsafat
Yunani. Istilah tersebut baru diperkenalkan pada awal abad pertengahan oleh Andronikos
sebagai sebutan terhadap pemikran-pemikiran Aristoteles yang tertuang dalam tulisannya
yang disebut dengan prote philosofia dan disusunnya kembali secara sistematis. Kemudian
metafisika yang telah disusun oleh Andronikos tadi dikembangkan lagi oleh Christian Wolf
(1679-1754) dan disebutnya dengan istilah ontologi (Wibisono dkk, 1989). Objek kajian
metafisika adalah segala sesuatu yang ada, baik dalam abstraknya ataupun dalam
kongkretnya. Misalnya pengenalan terhadap manusia, meliputi pengenalan terhadap
keberadaan abstraknya sekaligus terhadap keberadaan dalam kongkretnya. Ada dalam
abstraknya adalah yang ada dalam angan-angan dan pikiran, sebagai hasil dari absatraksi dan
refleksi terhadap objek-objek yang dijumpai atau objek-objek yang ada dalam kongkretnya.
Dengan demikian, ontologi atau metafisika adalah pengetahuan yang merupakan cabang dari
filsafat yang membicarakan tentang ada dan keberadanya.
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme yang berarti pengetahuan dan kebenaraan dan
logos yang berarti pikiran atau teori. Di sini epistimologi dapat dipahami sebagai Teori
Pengetahuan atau The Theory of Knowledge yang juga disebut dengan The Phylosophy of
Knowledge atau filsafat pengetahuan. Epistimologi membicarakan sumber pengetahuan,
proses dalam mendapatkan pengetahuan, sarana pendukung dalam mendapatkan
pengetahuan, macam-macam pengetahuan dan kebenaran pengetahuan. Salahsatu cabang dari
filsafat pengetahuan, adalah filsafat ilmu. Jadi filsafat ilmu atau The Phylosophy of Science
sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembicaraan sebelumnya, adalah filsafat
pengetahuan khusus yang memfilsafati pngetahuan ilmiah.
Epistimologi kefilsafatan merupakan cabang dari filsafat yang membicarakan tentang bagai
mana cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Ontologi dalam keilmuan yaitu metode
atau cara dalam mendapatkan pengetahuan yang benar secara ilmiah. Misalnya bagaimana
atau dengan metode apa yang dapat digunakan untuk mencapai objek dan subjek yang dikaji
tadi.
Aksiologi ……………..
Berfilsafat bukanlah monopoli para filosof, karena berfilsafat memang merupakan aktivitas
manusia dari sejak awal keberadaannya. Disadari atau tidak, setiap individu akan berfilsafat
pada saat dihadapkan pada masalah hidup yang fundamental, yang membutuhkan jawaban
yang jelas. Ini diawali sejak manusia mulai mengagumi sesuatu, mempertanyakan makna
serta asal mulanya. Sejak saat itu pula dengan berbagai upaya dan cara manusia berusaha
mendapatkan jawaban, sekalipun jawaban yang didapat akhirnya masih berada dalam
wilayah yang bersifat spekulatif dan non empirik (Siswomihardjo, 1985). Filsafat sebagai
pengetahuan dan bahkan dikatakan sebagai induk dari semua pengetahuan di sini, dalam arti
tradisi pemikiraan barat atau filsafat barat. Filsafat barat tersebut tidak bisa terlepas dari
tradisi pemikiran Yunani kono yang memang menjadi sumber atau akarnya di dalam sejarah
perkembangannya.
Sekalipun filsafat bukanlah monopoli filosof barat, tetapi perkembangan ilmu pengetahuan,
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan filsafat barat sebagaimana telah disebutkan di
atas, yang sumbernya memang dari filsafat Yunani kono. Ini dimulai dengan munculnya
kaum sofis yang disusul kemudian oleh Sokrates, Plato, Aristoteles dan lainnya. Sebelum
munculnya kaum sofis tadi, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam
hidupnya, orang Yunani mencari jawabannya dalam bentuk metos-metos. Atas dasar
metologi, manusia pada waktu itu, berusaha menjelaskan berbagai macam gejala alam
dengan segala macam aturannya; sedangkan para dewa dengan segala keperkasaan dan
kekuasaannya ditempatkan sebagai sumber segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam
semesta.
MASA RENAISSANCE
Masa ini renaissance muncul seiring dengan berakhirnya masa abad pertengahan mulai
abad ke 14 sampai dengan abad ke 15. Masa ini dianggap sebagai masa transisi antara jaman
abad pertengahan dengan masa moderen. Begitu sulit menentukan pastinya kapan
berakhirnya abad pertengahan secara tepat. Hanya pada abad ke 14 terjadi krisis dan titik
jenuh abad tengah dimaksud dan puncaknya pada abad ke 15. Kemudian lahirlah suatu
gerakan yang dikenal dengan gerakan renaissance. Kata renaissance berasal dari bahasa
Italia yaitu renascimento yang berarti kelahiran kembali. Kelahiran kembali maksudnya
adalah kelahiran suatu peradaban yang pernah berjaya yaitu pada masa Sokrates, Plato dan
Aristoteles sebagai antiklimaks dari dominasi doktrin agama dan geraja pada abad tengah.
Masa Sokrates, Plato dan Arestoteles adalah masa-masa di mana manusia memiliki
kebebasannya untuk menggunakan rasionya sebagai sumber utama dalam mengenal dan
mengerti dirinya sendiri, alam semesta serta kenyataan hidup dengan segala bentuk dan
hakekatnya. Pada masa itu hak individu sebagai manusia perseorangan diakui sebagai faktor
utama dalam pengembangan budaya. Sebagai konsekuensi dari kebebasan menggunakan
rasio, kebebasan setiap individu untuk mengembangkan budayanya adalah pemikiran waktu
itu tidak hanya terkonsentrasi kepada hal-hal yang bersifat transendental saja, tetapi juga
pada hal-hal yang bersifat immanent. Immanent adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan kebutuhan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Para filosof masa ini berusaha
menghidupkan kembali kebudayaan, kesusastraan dan kesenian klasik serta pemikiran
kefilsafatan dengan mencari inspirasi dari warisan kebudayaan Yunani dan Romawi.
Sekalipun dalam sejarah kefilsafatan disebutkan bahwa masa renaissance dimulai sejak
abad ke 15, tetapi embrionya sudah terjadi sejak abad ke 14; oleh para humanis di Italia.
Dalam masa abad pertengahan, mereka telah mempelajari naskah-naskah karya para penulis
Yunani dan romawi. Para humanis mengusahakan adanya kepustakaan yang baik, dengan
mengikuti jejak kebudayaan klasik. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan perkembangan
sifat-sifat dan potensi alamiah yang dimiliki manusia. Para humanis Itali tidak menyangkal
adanya kuasa yang lebih tinggi yaitu Tuhan dengan Wahyunya yang menjadi doktrin pada
abad pertengahan. Hanya menurut mereka potensi sifat dan potensi alamiah yang dimiliki
oleh manusia memiliki nilai yang cukup untuk dikenali dalam rangka upaya memanusiakan
manusia, karena dengan potensi yang ada, manusia dapat pula menghasilkan karya budaya.
Mereka tidak serta merta meninggalkan ajaran Abad Tengah, tetapi berusaha menjembatani
dalam rangka adaptasi antara doktrin gereja dengan filsafat dan kebudayaan Yunani klasik.
Kemudian, di Jerman timbul pula kaum humanis. Hanya berbeda dengan kaum humanis
di Italia yang masih mengindahkan kuasa yang lebih tinggi di atas manusia; kaum humanis
Jerman hanya menerima hidup dalam batas-batas dunia sebagimana adanya yang terlepas dari
segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan dan Wahyu. Mereka menerima hidup apa
adanya, dalam batas keduniawian. Demikianlah kaum humanis dengan upaya mempelajari
naskah-naskah klasik Yunani dan romawi ikut mengantarkan kelahiran masa renaissance
yang menjadikan kebudayaan hanya bersifat alamiah dan kongkret saja (Hadiwijoyo, 1980).
Pada masa renaissance perkembangan penetahuan tidak hanya dalam bidang ilmu alam saja,
tetapi juga dalam bidang ilmu ketatanegaraan (Hadiwijono, 1980).
Masa renaissance, mengantarkan manusia pada kedewasaan berpikir sampai pada puncak
kejayaannya pada abad ke-17. Pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dan dua aliran besar
yang saling bertentangan yaitu aliran Rasionalisme dan Emprisme
DAFTAR PUSTAKA
Bagus Lorens, 1996. Kamus Filsafat, Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yogyakarta.
Ofm, Alex Lanur; 1983. Logika Selayang Pandang, Penerbit kanisius, yogyakarta.
Poedjawijatna, I;R; 1980. Pembimbing ke Arah Filsafat, Cetakan Kelima, Penerbit P.T.
Pembangunan, Jakarta.
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yog-
yakarta.
Kurnia, Jakarta.
Van Peursen, 1980. Susunan Ilmu Penegetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu
BAB I
FILSAFAT ILMU
Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (adi-
ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu
adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia.
Problem-problem dalam filsafat ilmu antara lain sebagai berikut :
1. Apakah konsep dasar ilmu?
Maksudnya, bagaimana filsafat ilmu mencoba untuk menjelaskan anggapan-anggapan dari
setiap ilmu, dengan demikian filsafat ilmu dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi
setiap cabang ilmu. Dalam masalah ini filsafat ilmu tidak dapat lepasa begitu saja dari cabang
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua yakni filsafat ilmu dalam arti luas dan
filsafat ilmu dalam arti sempit.
1. Filsafat ilmu dalam arti luas, yaitu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan keluar dari kegiatan ilmiah, seperti:
- Implikasi ontologik-metafisik dari citra dunia yang bersifat ilmiah;
- Tata susila yang menjadi pegangan penyelenggara ilmu;
- Konsekuensi pragmatik-etik penyelenggara ilmu dan sebagainya.
2. Filsafat ilmu dalam arti sempit, yaitu menampung permasalahan yang bersangkutan dengan
hubungan kedalam yang terdapat didalam ilmu, yaitu yang menyangkut sifat pengetahuan
ilmiah, dan cara-cara mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah. 7[7]
Tempat kedudukan filsafat ilmu ditentukan oleh dua lapangan penyelidikan filsafat
ilmu yakni :
1. Sifat pengetahuan ilmiah. Dalam bidang ini filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi
yang mempunyai fungsi menyelidiki syarat pengetahuan manusia dan bentuk pengetahuan
manusia.
6 [6]Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005, hlm.64
Ilmu diperkembangkan oleh ilmuan untuk mencapai kebenaran dan untuk mendapatkan
pengetahuan.Dari kedua hal itu ilmu diharapkan dapat pula mendatangkan pemahaman
kepada manusia tentang alam semesta, dunia sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri.
Berdasarkan pemahaman itu ilmu akan dapat memberikan penjelasan tentang gejala alam,
peristiwa masyarakat, atau perilaku manusia yang perlu dijelaskan. Penjelasan dapat menjadi
landasan untuk peramalan yang selanjutnya bisa merupakan pangkal bagi pengendalian
terhadap sesuatu hal. Akhirnya ilmu juga diarahkan pada tujuan penerapan, yaitu untuk
membuat aneka sarana yang akan membantu manusia mengendalikan alam atau mencapai
suatu tujuan praktis apapun. Dengan demikian, ilmu tidak mengarah pada tujuan tunggal
yang terbatas melainkan pada macam-macam tujuan, yang tampaknya dapat berkembang
terus sejalan dengan pemikiran ilmuan.10[10]
1. As-sunnah sebagai penguat terhadap hukum syara’ yang terdapat dalam Al-Qur’an.
2. As-sunnah menjelaskan globalitas Al-Qur’an dan menafsirkan hukum-hukum syara’.
3. As-sunnah membangun sandaran hukum baru yang tidak disebut dalam Al-Qur’an.
15[15] Aziz al-Zindarni et.al, Mukjizat al-Qur’an dan Sunnah Tentang Iptek, Gema Insani Press, Jakarta,
1997, hlm. 72
20[20]Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997,
hal. 103 - 105
BAB IV
METODOLOGI DAN METODE ILMU
24[24] Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009, hlm. 15
25[25] Ibid
keduanya secara tepat sesuai dengan batas wilayahnya masing-masing, bukan untuk
mengisolasi satu dari lainnya melainkan agar lebih jernih melihat hubungan keduanya dalam
konteks memahami khazanah intelektual manusia.26[26]
Ada kesulitan untuk menyatakan secara tegas dan ringkas mengenai hubungan antara
filsafat dan ilmu karena terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara keduanya.
Persamaan antara filsafat dan ilmu adalah bahwa keduanya menggunaka kekuatan
berfikir dalam upaya menghadapi atau memahami fakta-fakta dunia dan kehidupan. Terhadap
hal-hal tersebut, baik filsafat maupun ilmu bersikap dan berfikiran terbuka serta sangat
konsen pada kebenaran, disamping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisir dan
sistematis.27[27]
Sementara itu perbedaan filsafat dengan ilmu lebih berkaitan dengna sterssing atau
titik tekan. Filsat berupaya mengkaji pengalaman secara menyeluruh sehingga lebih bersifat
inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai bidang, pengalaman manusia, filsafat
lebih bersifat sintetis dan kalaupun analitis maka analisanya memasuki dimensi kehidupan
secara menyeluruh dan utuh, filsafat lebih tertarik pada pertanyaan apa, kenapa, dan
bagaimana dalam mempertanyakan masalah hubungan antara fakta khusus dengan skema
masalah yang lebih luas, filsafat juga mengkaji hubungna antara temuan-temuan ilmu dengan
klaim agama, moral serta seni. Sedangkan ilmu mengkaji bidang yang terbatas dan spesifik,
ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya, ilmu menggunakan observasi
dan eksperimen, serta berupaya untuk menemukan hukum-hukum atas gejala-gejala
tersebut.28[28]
Dari adanya persamaan dan perbedaan diatas maka dapat diambil hubungan
keduanya. Secara eksplisit relasi antara filsafat dan ilmu oleh Will Durant diibaratkan
pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri
inlah yang membelah gunung dan merambah hutan. Ini artinya bahwa pasukan marinir adalah
filsafat sebagai pioneer yang menemukan sesuatu dan tempat berpijak bagi ilmu dan setelah
sesuatu itu ditemukan, pengelolaannya diserahkan kepada ilmu.29[29]
28[28] Ibid.
29[29] Ibid.
sendiri tak bisa memberikan solusinya karena ilmu tak pernah menyadarinya dan tak pernah
memikirkannya.
Ilmu memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga dia membutuhkan filsafat ilmu
sebagaimana beberapa ahli mengungkapkan bahwa :
a. Jean Paul Sartre
Menyatakan bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang sudah selesai terfikirkan, sesuatu hal yang
tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan
baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapan-
perlengkapan yang lebih sempurna, dan penemuan baru itu akan disisihkan pula oleh hasil-
hasil penelitian dan percobaan baru selanjutnya.
b. D.C Mulder
Menyatakan bahwa tiap-tiap ahli ilmu menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan
dengan memalai ilmu itu sendiri. Ada soal-soal pokok atau soal-soal dasar yang melampaui
kompetensi ilmu, misalnya : apakah hukum sebab akibat itu, dimanakaah batas-batas
lapangan yang saya selidiki ini, dimanakah tempatnya dalam kenyataan seluruhnya ini,
sampai dimana keberlakuan metode yang digunakan , dan lain-lain. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut ilmu memerlukan instansi lain yang melebihi ilmu yakni
filsafat ilmu.
c. Harsoyo
Menyatakan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia dewasa ini belumlah seberapa
dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi manusia. Ilmuwwan-ilmuwan
besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu
lebih banyak, bahwa yang diketahui itu masih meragu-ragukan, serba tidak pasti yang
menyebabkan lebih gelisah lagi, dan biasanya mereka adalah orang-orang rendah hati yang
makin
berisi makin menunduk. Selain itu dia juga mengemukakan bahwa kebenaran ilmiah itu
tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk
peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak
diketahui.
d. J. Boeke
Menyatakan bahwa bagaimanapun telitinya kita menyelidki peristiwa-peristiwa yang
dipertunjukkan oleh zat hidup itu, bagaimanapun juga kita mencoba memperoleh pandangan
yang jitu tentang keadaan sifat zat hidup itu yang bersama-sama tersusun, namun asas hidup
yang sebenarnya adalah rahasia abadi bagi kita, oleh karena itu kita harus menyerah dengna
perasaan saleh dan terharu. 30[30]
bertanya
FILSAFAT
FILSAFAT ILMU ILMU
menjawab
Filsafat ilmu juga masuk dan ikut serta dalam setiap kegiatan ilmu untuk
memberikan landasan dasar, kontrol, dan bimbingan serta koordinasi menyeluruh sehingga
ilmu tersusun dalam satu kesatuan yang utuh, yakni mengetahui hakekat dirinya sendiri,
mengetahui dan tetap kritis terhadap metode keilmuan yang membangunnya, serta dalam
pengembangan ilmu tersebut tetap mengedepankan moral dan keadilan.
Dalam konteks ini maka filsafat ilmu juga berhadapan dengan perkembangan ilmu,
maka filsafat ilmu berkepentingan untuk mendorong, memperkuat, dan menunjukkan jalan
yang benar dan tepat dalam hal pengamalannya menurut prinsip nilai-nilai etis, epistemologi,
aksiologi dan ontologis.31[31]
A. Ontologi Ilmu
Ontologi berasal dari dua kata on dan logi artinya ilmu tentang ada. Ontologi adalah
teori tentang ada dan realitas. Ontologi merupakan bagian dari metafisika dan metafisika
merupakan salah satu bab dari filsafat. Meninjau persoalan secara ontologis adalah
mengadakan penyelidikan terhadap sifat dan realitas. Jadi ontologi adalah bagian dari
metafisika yang mempelajari hakekat dan digunakan sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan atau dengan kata lain menjawab tentang pertanyaan apakah hakekat ilmu itu.
Apa yang dapat kita alami dan amati secara langsung adalah fakta, sehingga fakta ini disebut
fakta empiris, meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera.32[32]
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi
filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat methaphisika. Istilah ontologi banyak
digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
a. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas
tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaahnya akan menjadi telaah monisme, naturalisme,
atau hylomorphisme.
b. Metode dalam ontologi, dimana lorens bagus memperkenalkantiga tingkat abstraksi dalam
ontologi, yaitu: abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi methaphisik. Abstraksi fisik
menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek, sedangkan abstraksi bentuk
mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu yang sejenis. Abstarksi
metaphisik mengetengahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi
yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
c. Ontologi Naturalistik, yaitu ontologi yang lebih berkembang pesat setelah tahun 1960-an
,ontologi ini menolak yang ada yang supernatural, menolak yang mental, dan menolak
universal platonik.
34[34] Rizal Muntasir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 16
36[36] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005, hlm.63
Secara etimologi aksiologi berasal dari kata axios yang berarti “nilai” dan logos yang
berarti “teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.37[37] Sedangkan secara terminologi
aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan penilaian. Terutama berhubungan
dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. 38[38] Jadi aksiologi adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.39[39]
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal
baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Meskipun sejak zaman yunani kuno, masalah-
masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam
hubungannya dengan masalah tertentu, belum bicara mengenai aksiologi pada prinsipnya.
Masalah yang paling banyak dibicarakan antara lain mengenai kebaikan perilaku,
keindahan karya seni, dan kekudusan atau kesucian religius. Adapun masalah yang akan
dikemukakan disini adalah pendapat dari Langeveld, bahwa aksiologi terdiri atas dua hal
utama yaitu etika dan estetika. Keduanya merupakan masalah yang paling banyak ditemukan
dan dianggap penting dalam kehidupan sehari-hari.
Etika adalah bagian filsafat nilai dan penilaian yang membicarakan perilaku orang.
Semua perilaku mempunyai nilai dan tidak bebas dari penilaian. Jadi, tidak benar suatu
perilaku dikatakan tidak etis dan etis. Lebih tepat, perilaku adalah beretika baik atau beretika
tidak baik. Etika adalah wacana yang membicarakan landasan-landasan moralitas, disisi lain
etika juga dapat dikatakan sebagai landasan filsafati norma dan nilai dalam kehidupan
kemasyarakatan atau budaya, sedangkan kesusilaan atau moral, secara khusus berkaitan
dengan nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan perilaku yang
bersangkutan dengan agama. Dengan demikian, kesusilaan sering pula berkaitan dengan
norma agama yang berhubungan dengan masalah dosa dan pahala.
Pada dasrnya, etika berhubunagn dengan nilai dan penilaian terhadap perilaku. Suatu
perilaku dikatakan jahat karena perbuatan buruk manusia memberikan akibat kerusakan pada
manusia lain atau umumnya. Saat ini etika modern sering mendapat kritik karena terlalu ikut
campur dalam kepedulian sehari-hari banyak orang, atau terlalu mengambil alih dengan isu-
38[38] Sutarjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 36
DAFTAR PUSTAKA
Armei Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Aziz al-Zindarni et.al, Mukjizat Al-Qur’an dan Sunnah Tentang Iptek, Gema Insani Press, Jakarta,
1997
Fathul Mufid, Filsafat Ilmu Islam, STAIN Kudus, Kudus, 2008
Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2003
Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1997
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu edisi 1,Rake Sarasin, Surabaya, 1998
Rizal Muntasir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Bumi aksara, Jakarta, 2005
Sutarjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat, Refika Aditama, Bandung, 2006
Ulya, Filsafat Ilmu Pengetahuan, STAIN Kudus, Kudus, 2009