You are on page 1of 6

Pertanyaan Diskusi

2. Perdarahan Pasca Persalinan


c. Tatalaksana Awal
1. Segera memanggil bantuan tim
2. Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien
3. Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok
Pendekatan Tim
a. Berikan oksigen.
b. Pasang infus intravena dengan kanul besar (16 atau 18) dan mulai
pemberian cairan kristaloid (NaCL 0,9% atau Ringer Laktat atau
Ringer Asetat) sesuai dengan kondisi ibu.
c. Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.
d. Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan , parut luka,
dan tinggi fundus uteri.
e. Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan
laserasi (jika ada, misal: robekan pelvis, atau robekan vagina).
f. Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.
g. Pasang kateter Folley untuk memantau volum urin dibandingkan
dengan jumlah cairan yang masuk.
h. Jika kadar Hb < 8 g/dL rujuk ke layanan sekunder.
i. Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan
pemeriksaan: kadar Hb (pemeriksaan hematologi rutin) dan
penggolongan ABO.
j. Tentukan penyebab dari perdarahannya dan lakukan tatalaksana
spesifik sesuai penyebab.
Reference:
IDI. Panduan Praktik Klinisi Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 2017.
Gambar. Algoritma Penatalaksanaan Perdarahan Pasca Persalinan
Reference:
POGI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Perdarahan Paca-Salin.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016.

3. Anamnesis Kasus
4. Atonia Uteri
a. Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari
tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.
Reference:
Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2010.
e. Patofisiologi

5. Retensio Plasenta
c. Etiologi

g. Tatalaksana
 Manual plasenta
 Kuretase
 Metrotreksat
Adapun penatalaksanaan lanjutan perdarahan post partum dengan
penyebab retensio plasenta sebagai berikut :
1. Berikan 20-40 oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0.9% atau
Ringer Laktat dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.
Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutan NaCl
0.9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga
perdarahan berhenti.
2. Lakukan tarikan pusat terkendali.
3. Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta
manual secara hati-hati.
4. Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (Ampisilin 2 g IV dan
Metronidazol 500 mg IV).
5. Segera atasi atau rujuk ke faskes yang lebih lengkap bila terjadi
komplikasi perdarahan hebat atau infeksi.
Reference:
IDI. Panduan Praktik Klinisi Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2017.

6. Ruptur Perineum
d. Manifestasi Klinis
Gejala klinis rupture perineum berupa adanya perdarahan pada vagina.
Reference:
IDI. Panduan Praktik Klinisi Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 2017.
g. Tatalaksana
Non medikamentosa
1. Menghindari atau mengurangi dengan menjaga jangan sampai
dasar panggul didahului oleh kepala janin dengan cepat.
2. Kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan
lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam
tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar
panggul karena diregangkan terlalu lama.
Medikamentosa
1. Penatalaksanaan farmakologis
Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan
intravena sebelum perbaikan dilakukan (untuk rupture perineum
yang berat).
2. Manajemen rupture perineum
Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir
risiko perdarahan, edema, dan infeksi. Manajemen rupture
perineum untuk masing-masing derajatnya. Pada rupture perineum
derajat 1 yang mengenai mukosa vagina, dan jaringan ikat, tidak
perlu dilakukan penjahitan.
Reference:
IDI. Panduan Praktik Klinisi Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter
Indonesia; 2017.

7. Kelainan Pembekuan Darah


a. Definisi
Obstetrical syndromes commonly termed consumptive coagulopathy
or disseminated intravascular coagulation (DIC) were described in the
1901 report by DeLee in which “temporary hemophilia” developed
with placental abruption or with a long-dead macerated fetus. In
ensuing decades, similar—but frequently less intense—coagulopathic
syndromes have been described for almost all areas of medicine (Levi,
2010b; Montagnana, 2010).
Because of many definitions used and its variable severity, citing an
accurate incidence for consumptive coagulopathy is not possible in
pregnant women. For example, as will be discussed, some degree of
significant coagulopathy is found with most cases of placental
abruption and amnionic-fluid embolism. Other instances in which
frequently occurring but insignificant degrees of coagulation activation
can be found include sepsis thrombotic microangiopathies, acute
kidney injury, and preeclampsia and HELLP (hemolysis, elevated liver
enzyme levels, low platelet count) syndromes (Rattray, 2012; Su,
2012). Although profound consumptive coagulopathy can be
associated with fatty liver disease of pregnancy, diminished hepatic
synthesis of procoagulants makes a significant contribution (Nelson,
2013).
When consumptive coagulopathy is severe, the likelihood of maternal
and perinatal morbidity and mortality is increased. Rattray and
colleagues (2012) described 49 cases from Nova Scotia during a 30-
year period. Antecedent causes included placental abruption,
obstetrical hemorrhage, preeclampsia and HELLP syndromes, acute
fatty liver, sepsis, and amnionicfluid embolism. Of these, 59 percent
received blood transfusions, 18 percent underwent hysterectomy, 6
percent were dialyzed, and there were three maternal deaths. The
perinatal mortality rate was 30 percent.
d. Manifestasi Klinis

You might also like