You are on page 1of 11

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul “Cedera
Kepala” dimana laporan ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti program Internship
Periode 9 November 2018 – 9 November 2019.
Dalam menyelesaikan laporan kasus ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktur
RSUD Nurdin Hamzah Tanjung Jabung Timur, dr H.Muhammad Nasrul Felani, dr Gideon
Setiawan, Sp.B sebagai dokter pembimbing , dr. Ardiansyah dan dr. Robin Situmorang sebagai
dokter pendamping , dokter – dokter senior RSUD Nurdin Hamzah, para perawat dan bidan yang
sudah memberikan ilmu kepada saya , dan rekan – rekan sejawat yang tergabung di dalam
kelompok Internship periode November 2018. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
laporan kasus ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharap kritik dan saran dari pembaca.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri beserta teman-teman pada
khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran pada
umumnya.

Muara Sabak Barat ,23 Januari 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III LAPORAN KASUS
BAB IV ANALISA KASUS
BAB V KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Menurut WHO (2004), sekitar 16.000 orang meninggal di seluruh dunia setiap hari
diakibatkan oleh trauma atau cedera. Cedera merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia
produktif dan lebih dari 50% merupakan cedera kepala (Astrand dan Romner, 2011). Cedera
kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan
mental yang kompleks; defisit kognitif, psikis, intelektual, dan lain-lain, yang dapat bersifat
sementara ataupun menetap (Atmadja, 2016).
Cedera kepala dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki
maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kepala dapat juga terjadi akibat jatuh,
peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya (Soertidewi, 2012).
Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum sampai ke rumah sakit; hampir 90%
kematian akibat cedera kepala. Sekitar 75% pasien cedera kepala diklasifikasikan sebagai cedera
kepala ringan, 15% cedera kepala sedang, dan 10% cedera kepala berat (Sylvia, 2012).
Akibat cedera kepala, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri
pada saat akut. Oleh karena itu tindakan saat perawatan sangatlah penting untuk diperhatikan
karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat (Saatman
dkk. 2008).
Salah satu cara untuk mengurangi kematian adalah tindakan bedah. Di Amerika, setiap tahunnya
terdapat 100.000 pasien yang memerlukan tindakan operasi. Di lain pihak, tidak semua cedera
kepala memerlukan perawatan di rumah sakit, pencitraan dengan CT-scan ataupun tindakan
pembedahan. Terdapat indikasi tertentu untuk dilakukan tindakan-tindakan tersebut (Atmadja,
2016).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi Cedera Kepala


American Congress of Rehabilitation Medicine (ACRM) mendefinisikan cedera kepala
sebagai trauma yang melukai baik bagian kranium (tengkorak) ataupun serebrum (otak). ACRM
membatasi penyebab cedera kepala berupa benturan pada kepala, kepala yang terbentur pada suatu
objek atau pergerakan akselerasi-deselerasi otak, seperti whiplash, tanpa cedera langsung pada
kepala. Sedangkan, menurut Atmadja (2016), cedera kepala adalah cedera mekanik terhadap
kepala, baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.

II.2 Epidemiologi
Cedera kepala menjadi masalah pada kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi di seluruh
dunia. Cedera kepala adalah penyebab utama terjadinya kematian dan disabilitas jangka panjang
khususnya pada dewasa muda. Banyak pasien cedera kepala berat meninggal sebelum sampai ke
rumah sakit; hampir 90% kematian akibat cedera terkait dengan cedera kepala (Astrand dan
Romner, 2011). Sekitar 75% pasien cedera kepala diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan,
15% cedera kepala sedang, dan 10% cedera kepala berat (Sylvia, 2017). Cedera ini dapat terjadi
akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan
bermotor. Selain itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus
peluru), dan lainnya (Soertidewi, 2012).
II.3 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi berdasarkan pada Glasgow Comma Scale (GCS) atau
berdasarkan patologi dan gejala klinis (Soertidewi, 2012).
a. Klasifikasi berdasarkan GCS
Kategori GCS Gambaran Klinis Scaning Otak
CKR 14 – 15 Pingsan < 10 menit, Normal
tidak ada defisit
neurrologis
CKS 9 – 13 Pingsan > 10 menit Abnormal
s/d 6 jam, defisit
neurologik
CKB 3–8 Pingsan > 6 jam, Abnormal
defisit neurologik
Tabel 1 Klasifikasi berdasarkan GCS

b. Klasifikasi berdasarkan Patologi dan Gejala Klinis


1. Epidural Hematoma (EDH)
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media.
Sebagian lainnya dapat pula diakibatkan oleh jejas pada tulang kranial, robekan pada
vena meningea media atau pada duramater. Perdarahan terletak di antara tulang
tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah adanya lucid interval, yaitu selang
waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian cedera kranioserebral dengan
penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini
kurang dari 24 jam (penilaian penurunan kesadaran dengan GCS). Gejala lain nyeri
kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat
herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi
yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens
(gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung.
Gambar I Gambaran EDH berupa massa hiperdens, bikonveks, berbentuk seperti lensa.

Indikasi bedah pada EDH adalah:


a) Volume hematoma >30 cm3 pada hasil CT-scan dengan GCS berapapun.
b) Pada pasien dengan GCS <9, harus dilakukan evakuasi pembedahan
secepatnya.
c) Hematoma epidural yang progresif
Bila volume hematoma < 30 cm3, ketebalan < 15 mm dan midline shift < 5 mm
pada pasien dengan GCS > 8 dan tanpa defisit neurologi, dapat diterapi konservatif
dengan pemeriksaan CT-scan serial. Yang perlu diperhatikan adalah risiko
pembesaran lesi. CT-scan untuk follow up pada pasien yang tidak dioperasi, harus
dilakukan dalam 6-8 jam. Sekitar 23% kasus hematoma epidural mengalami
pembesaran, paling sering dalam 8 jam setelah trauma. Pembesaran tidak terjadi lagi
36 jam setelah trauma.
Hasil operasi biasanya baik, kecuali pada fraktur yang panjang dan laserasi sinus
venosus. Prevalensi hematoma epidural bilateral adalah 2-5%. Pada pasien koma,
biasanya terdapat refleks Babinski bilateral, spastisitas, rigiditas, menunjukkan
kompresi mesensefalon, dan prognosisnya buruk. Pada pasien seperti ini, pembedahan
tidak boleh ditunda.
Mortalitas operasi evakuasi EDH adalah 10%. Data perbandingan antara terapi
operatif dan non-operatif pada EDH belum ada.
2. Subdural Hematoma (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau
robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. Gejala
klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin
besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit
(konkaf). Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.

Gambar 2 SDH akut memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (konkaf)

Indikasi pembedahan pada hematoma subdural adalah:


a) Pada hasil CT-scan ditemukan ketebalan hematoma >10 mm atau midline
shift > 10 mm atau midline shift > 5 mm dengan GCS berapapun.
b) Pada nilai GCS <9, perlu monitoring tekanan intakranial secara hati-hati. Bila
tekanan intrakranial melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi
tetap, diperlukan pembedahan.
Mortalitas pasien SDH yang memerlukan tindakan pembedahan adalah 40-60%. Mortalitas
pasien koma yang dioperasi adalah 57-68%. Tingginya mortalitas ini karena sebagian besar
kasus hematoma subdural berkaitan dengan cedera jaringan intrakranial atau ekstrakranial.
Kelainan intrakranial yang paling sering ditemui adalah kontusio serebri dan hematoma
intraserebral. Kelainan ekstrakranial yang paling sering adalah fraktur fasial, ekstremitas, dada,
dan trauma abdomen. Perbandingan angka mortalitas pasien yang dioperasi dengan yang tidak
masih belum tersedia karena kebanyakan pasien akhirnya memerlukan tindakan operasi.
3. Subarachnoid Hematoma (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kepala, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga
sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan
otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea.
Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan
aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak
membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai
terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak,
tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang
umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak, perdarahan pada SAH
traumatik biasanya tidak terlalu berat.

Gambar 3 SAH dengan ciri khas gambaran hemoragik membentuk lengkung sulkus

SAH biasanya terjadi bersamaan dengan perdarahan intrakranial lainnya seperti


EDH, SDH, ataupun ICH. Hal ini menyebabkan indikasi operasi pada SAH mengikuti
indikasi operasi pada perdarahan intrakranial lainnya yang terjadi. Namun,
prognosisnya lebih buruk jika terdapat SAH.
4.Intracerebral Hematoma (ICH)
ICH adalah perdarahan parenkim otak akibat pecahnya arteri intraserebral,
biasanya karena cedera kepala berat. Ciri khas ICH adalah hilangnya kesadaran dan
nyeri kepala berat setelah pasien sadar kembali.
Berikut gambaran perdarahan intraserebral pada CT scan:
 Kontusio hemoragik tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan
batas tegas di parenkim otak
 Dapat dikelilingi oleh lingkaran hipodens dari edema
 Dapat terdapat perdarahan intraventrikel
 Efek massa merupakan hal yang sering terjadi dan menimbulkan penekanan
pada ventrikel, pergeseran ventrikel ke-3 dan septum pellucidum, sehingga
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan otak yang berat. Pergeseran ini
yang disebut herniasi

Gambar 4 ICH tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan batas tegas di parenkim otak

Indikasi operasi pada lesi parenkim otak akibat trauma adalah:


a) Terdapat defsit neurologis yang progresif
b) Terdapat peninkatan tekanan intrakranial yang refrakter
c) Cushing reflex (hipertensi, bradikardi, tanda-tanda gangguan napas)
d) Nilai GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm3 di daerah frontal atau temporal
dengan midline shift >5 mm dan ukuran lesi >50 cm3.
Pasien dengan lesi massa parenkim tetapi tidak memperlihatkan tanda-tanda
defisit neurologis, tekanan intrakranial terkontrol dan tidak ditemukan kelainan pada
CT-scan, dapat diterapi secara non-operatif dan dengan monitoring pencitraan serial.
Salah satu indikasi utama pembedahan pada ICH adalah untuk menurunkan
tekanan intrakranial. Walaupun belum ada data perbandingan mortalitas antara pasien
yang dioperasi dan tidak, beberapa penelitian menunjukkan penurunan tekanan
intrakranial yang signifikan pasca-operasi. Operasi pada 48 jam pertama juga
menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan dibandingkan dengan operasi yang
dilakukan lebih dari 48 jam setelah trauma. Hasil lebih buruk didapatkan 3,8 kali lebih
banyak pada pasien yang hanya mendapatkan terapi obat-obatan dibandingkan dengan
yang dioperasi.

5. Edema Serebral Traumatik

Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang
otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih
mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat
menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi
lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.

6. Fraktur Basis Cranii


Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa
di anterior, medial, atau posterior. Fraktur ini merupakan fraktur paling berat berupa
fraktur linier pada dasar tulang tengkorak.
Pada fraktur basis kranii, gejala klinis sesuai dengan lokasinya. Pada fraktur
bagian anterior, gejala dan tanda klinisnya adalah:
a) Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rhinorrhea
b) Perdarahan/ecchymosis periorbital bilateral/raccoon eyes
c) Anosmia
Pada fraktur bagian media, gejala dan tanda klinisnya adalah:
a) Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorrhea
b) Gangguan N.VII dan VIII
Pada fraktur bagian posterior, gejala dan tanda klinisnya adalah ecchymosis
mastoid bilateral/Battle sign. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater
robek.
Pada pemeriksaan CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur basis cranii terutama
bila terdapat udara dalam otak (traumatic pneumocephalus), cairan di mastoid air
cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid.
7. Fraktur Kranium Terdepresi
Fraktur kranial terdepresi tertutup yang melebihi ketebalan kranium harus
dioperasi untuk mencegah penekanan ke struktur yang lebih dalam dan mencegah
infeksi. Setiap tindakan untuk mengatasi fraktur kranial terdepresi harus diberi
antibiotik. Fraktur kranial terdepresi tertutup masih dapat diterapi tanpa operasi bila
baik klinis maupun radiologi tidak menunjukkan adanya penetrasi duramater,
hematoma intrakranial, keterlibatan sinus frontalis, dan luka infeksi. Sedangkan, setiap
fraktur kranial terdepresi terbuka memerlukan tindakan operasi serta perlu diberikan
antibiotik.
Sejumlah 10,6% kejadian infeksi berhubungan dengan defsit neurologi yang
lebih banyak dan persisten, terjadinya late epilepsy (kejang terjadi >1 minggu setelah
trauma) dan kematian. Tindakan operatif untuk debridemen menurunkan kejadian
infeksi sebesar 4,6%. Tindakan operasi yang ditunda lebih dari 48 jam setelah trauma
akan meningkatkan insidens infeksi sebesar 36,5%.

Gambar 5 Fraktur kranium depresi (A) pada tulang parietal kanan (tanda panah putih). Fraktur basis
cranii (B) terdapat fraktur kominutif di tulang temporal kanan (tanda panah putih), cairan di mastoid
air cells (lingkaran putih), dan udara di dalam otak (pneumocephalus) (tanda panah terputus)

You might also like