You are on page 1of 66

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konsep Lichenoid Tissue Reaction/Interface Dermatitis diperkenalkan


dalam dermatologi untuk mendefinisikan sejumlah penyakit kulit inflamasi
yang dihubungkan dengan adanya tanda-tanda histopatologis. Oral Lichenoid
Tissue Reaction (OLTR) meliputi: Oral Lichen Planus, Oral Lichenoid
Contact Lesion, Oral Lichenoid Drug Reaction, Oral Lichenoid Lesions of
Graft-Versus-Host Disease, Oral Discoid Lupus Erythematosus, Oral Lesions
of Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Multiforme, Paraneoplastic
Pemphigus/Paraneoplastic Autoimmune Multiorgan Syndrome, Chronic
Ulcerative Stomatitis dan Lichen Planus Pemphigoid. Umumnya, diagnosis
OLTR bergantung pada korelasi klinis dan histologis tetapi dalam beberapa
kasus pendekatan ini gagal memberikan diagnosis yang dapat diandalkan.
Inklusi teknik molekuler dapat meningkatkan kemampuan kami untuk
membedakan OLTR (Khudhur, Di Zenzo, dan Carozzo. 2014).

Lebih dari 40 tahun yang lalu, konsep lichenoid tissue reaction/interface


dermatitis (LTR/IFD) diperkenalkan dalam dermatologi untuk mendefinisikan
sejumlah penyakit kulit inflamasi yang dihubungkan dengan adanya tanda-
tanda histopatologis yang umum (Pinkus, 1973). Ini meliputi perubahan
liquefaktif/vakuoler basal keratinosit yang berhubungan erat dengan kumpulan
sel inflamasi mononuklear band-like yang terdiri atas limfosit T teraktivasi,
makrofage, dan sel dendrit (Sontheimer, 2009). Secara umum, LTR/IFD
kutaneus telah dibagikan menjadi kelainan yang kaya limfosit, termasuk
lichen planus (LP), discoid lupus erythematosus (DLE), chronic graft-versus
host disease (cGVHD) dan lichenoid drug reactions dan LTR/IFD miskin
limfosit, contohnya LE kutaneus akut dan subakut, dermatomiositis, graft-
2

versus-host disease (GVHD) akut dan spektrum erythema multiforme (EM)


(Sontheimer, 2009).

Seperti kulit, mukosa mulut dipengaruhi oleh berbagai Oral Lichenoid


Lesions (OLLs) yang kemungkinan mewakili pola reaksi umum segaia respon
terhadap antigen ekstrinsik, self-antigen yang berubah atau superantigen
(Schlosser, 2010). Konsensus belakangan ini telah mencoba untuk
mengklasifikasi lesi likenoid di mulut menjadi oral LP (OLP), oral lichenoid
drug reactions (OLDR) yang disebabkan oleh paparan obat sistemik, oral
lichenoid contact lesions (OLCLs) yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas terhadap kebanyakan materi gigi dan OLLs of graft-versus-
host disease (oGVHD) (Al-Hashimi, 2007).

Akan tetapi, konsensus ini gagal memberikan kriteria klinis dan histologis
yang dapat diandalkan. OLL tidak selalu lebih terlokalisasi dibandingkan
OLP. Kami juga tidak mempunyai bukti kuat bahwa OLCL adalah dalam
hubungan topografis dengan isi amalgam dan hubungan temporal OLDR
dengan konsumsi obat tertentu adalah bervariasi dan juga daftar obat yang
diduga berhubungan. Selain itu, beberapa entitas, dengan menggunakan
karakteristik klinis dan/atau histologis LTR/IFD di mulut, telah dikeluarkan
dari klasifikasi tersebut. Penulis lain juga telah mengajukan klasifikasi
alternatif (Cortes-Ramirez, Gainza-Cirauqi, Echebarria-Goikouria, dan
Aguirre-Urizar, 2009; Ismail dan Kumar, 2007; Van der Meij dan Van der
Waal, 2003), tetapi masih ada persetujuan umum yang kurang terhadap OLL
(Corrozzo dan Thorpe, 2009; Aguirre, 2008; Van der Waal, 2009).

1.2. Tujuan

Tujuan dari ulasan dalam artikel ini adalah untuk memperbaharui


klasifikasi OLL, termasuk beberapa kelainan yang terkadang kurang
dipahami, yang menunjukkan elemen klinis dan/atau histologis LTR/IFD
dalam rongga mulut. Selain itu, diagnosis banding beberapa kelainan dengan
3

OLP juga akan didiskusikan, dengan penekanan terhadap teknik molekuler


yang dapat membantu diagnosis.

1.3.Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini aadalah untuk menambah pengetahuan


bagi penulis dan tenaga kesehatan lainnya, khususnya dokter dan juga dokter
gigi mengenai apa dan bagaimana Oral Lichenoid Reaction itu sebenarnya
sehingga membantu dalam penegakkan diagnosis dan juga mampu
memberikan penatalaksanaan yang sesuai. Selain itu, diharapkan makalah ini
juga dapat meningkatkan wawasan bagi para tenaga kesehatan dan bahkan
masyarakat mengenai berbagai cara pencegahan yang dapat dilakukan.
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Oral Lichenoid Reaction (OLR)

2.1.1. Definisi
Oral Lichenoid Reactions atau Lesions (OLR/OLL) adalah
perkembangan klinis dan histologis Oral Lichen Planus (OLP) yang sering
tidak dapat dibedakan dalam manifestasinya. Patokan pembeda antara
kedua kelompok tersebut adalah hubungan OLR/OLL dengan faktor
pencetus yang diketahui, yang ketika teridentifikasi dan dieliminasi, sering
menyebabkan regresi pada lesi (Kamath, Setlur, dan Yerlagudda, 2015)

2.1.2. Etiologi

Oral Lichenoid Reaction (OLR) adalah kondisi penyakit yang telah


diketahui penyebabnya, tidak seperti Oral Lichen Planus. Penyebab OLR
yang diketahui dikelompokkan menjadi bahan restorasi gigi (restorative
materials), obat-obatan, , dan Graft Versus Host Disease (GVHD)
(Sarode, Sarode, dan Kalele, 2012).

1. Bahan restorasi gigi

Mekanisme restorasi gigi dapat menyebabkan Oral Lichenoid


Reaction dijelaskan menjadi dua teori. Teori pertama menyebutkan
bahwa mekanisme tersebut merupakan reaksi elektrokimia dari
interaksi bahan restorasi dengan saliva hingga menyebabkan
degradasi struktur restorasi. Kemudian, hasil degradasi itu menjadi
bahan kororsif terhadap mukosa mulut. Teori kedua menjelaskan
bahwa adanya degradasi restorasi secara mekanis saat mengunyah
dan dibantu oleh saliva yang bersifat elektrolitik. Hal tersebut
5

menimbulkan abrasi dan fraktur komponen restorasi (Kamath,


Setlur, dan Yerlagudda, 2015).

Bahan ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni bahan yang


mengandung logam dan non-logam. Bahan yang mengandung
logam dan yang sering dihubungkan dengan kejadian OLR yaitu
amalgam. Amalgam dapat menyebabkan korosi pada rongga mulut
sehingga menyebabkan terjadi sensitisasi dan reaksi alergi (tipe IV,
T-cell Dependent) dengan pelepasan ion logam. Dalam reaksi
alergi atau hipersensitivitas tersebut, terjadi sitotoksisitas terhadap
sel T dan menyebabkan kerusakan diperantarai imunitas terhadap
sel basal pada epitel oral. Hal tersebut berlangsung pada waktu
yang lama sehingga stimulus antigen terus-menerus memicu
perubahan mukosa (Madalli dan Basavaraddi, 2013).
Selain amalgam, logam lainnya yang dapat memicu terjadi
OLR adalah nikel, emas, kobalt, kromium, dan tembaga. Di antara
logam-logam yang disebutkan, nikel ditemukan paling sering
menyebabkan OLR karena logam tersebut sering digunakan dalam
crown/bridge restorations. Kemudian, emas juga disebutkan sering
menyebabkan OLR, layaknya emas pada perhiasaan yang sering
menimbulkan raeaksi sensitivitas pada kulit (dermatitis).
Sensitivitas emas di mulut dipengaruhi oleh temperatur, produk
kimiawi seperti makanan dan minuman, gigi yang bergesekkan,
dan saliva (Jeeva., Janita, dan Ananthalakshmi, 2016)
Selanjutnya, bahan yang tidak mengandung logam (non-
logam) yaitu restorasi gigi dengan komposit resin. Literature lain
menyebutkan bahwa pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Ali
et al., 23% dari seluruh pasien dengan tes kutaneus positif pada
penilitian tersebut menunjukkan perbaikan keluhan nyeri terbakar
yang dirasakan setelah melepas restorasi dengan bahan resin
(Barbosa, et al, 2011).
6

2. Obat-obatan
Literatur menyebutkan bahwa banyak obat-obatan sistemik
yang kemudian menimbulkan komplikasi di rongga mulut.
Komplikasi tersebut misalnya hiposalvasi (xersotomia), Apthous-
like ulcers, hyperplasia fibrovaskular, infeksi, dan reaksi Likenoid
atau yang lebih dikenal dengan istilah Lichenoid Drug Eruptions
(LDEs). LDEs pertama kali dilaporkan pada tahun 1940 yakni pada
kasus rheumatoid arthritis yang mendapatkan tatalaksana dengan
emas. Pada thun 1945, ada juga laporan LDEs yang terjadi pada
orang yang mendapatkan obat anti-malaria (Dudhia, Dudhia, Patel,
dan Jani, 2015).
Semakin lama prevalensi LDEs semakin meningkat dan obat-
obatan yang memicu pun semakin bervariasi. Obat-obatan tersebut
antara lain :
 Anti-malaria
 Angiotensin Converting Enzyme-inhibitors
 Diuretik (khususnya golongan Hydrochlorothiazide)
 B-blockers
 Obat oral untuk diabetes (terutama golongan Sulfonylurea)
 Anti-konvulsan (misalnya Carbamazepine)
 Anti-retroviral
 Obat immunomodulator (misalnya gold salts dan
Penicillamine)
 Imanitib mesylate STI571
 NSAID (Yuan dan Woo, 2015).

Untuk menegakkan diagnosis LDEs, sangat penting


menanyakan pada pasien mengenai paparan obat-obat yang telah
disebutkan dalam jangka waktu yang lama dan masih berlangsung
hingga sekarang. Pada LDEs, ada istilah yang disebut Sindrom
7

Grinspan. Sindrom tersebut paling sering terjadi pasien yang


mendapatkan tatalaksana diabetes dan hipertensi. Kemudian
setelah ditegakkan seseorang menderita LDEs dan diberikan
penatalaksanaan yang sesuai, perlu dilakukan observasi secara
rutin karena LDEs ini memiliki risiko untuk transformasi menjadi
keganasan lebih besar daripada OLP (Kadam, et al., 2015).

3. Graft Versus Host Disease (GVHD)


GVHD dijumpai pada seseorang yang mengalami sensitivitas
setelah menjalani transplantasi sum-sum tulang sebagai tatalaksana
keganasan sel darah dan sum-sum tulang, seperti leukemia, anemia
aplastik, atau penyakit metastase disseminate. GVHD ini terjadi
sebagai komplikasi dari aktivasi sel T terhadap kompleks
histokompabilitas mayor. Aktivasi sel T terjadi karena sel T pada
sum-sum tulang yang ditransplantasi mendeteksi sel-sel tubuh
resipien sebagai benda asing. Proses tersebut nantinya
menyebabkan kerusakan membrane epitel basal dan apoptosis
keratinosit basal.1,3
Studi sebelumnya menyebutkan bahwa jika GVHD
mendapatkan terapi immunosuppresif, maka risiko terjadi kanker
semakin tinggi, khususnya Scuamous Cell Carcinoma (SCC) pada
rongga mulut. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa lesi likenoid
yang berhubungan dengan GVHD memiliki resiko besar untuk
terjadinya transformasi kea rah malignansi atau keganasan (Sarode,
Sarode, dan Kalele, 2012).

2.1.3. Epidemiologi

Reaksi jaringan likenoid mulut adalah kondisi yang sering


dijumpai dengan prevalensi 2,4% pada populasi umum. Lesi ini terjadi
umumnya di mukosa mulut orang dewasa, sering dijumpai pada wanita
dengan usia rata-rata berusia 53 tahun. Sebagian besarlesi berada pada
8

mukosa bukal, perbatasan lateral lidah dan mukosa mulut bibir, ketika
dikaitkan dengan restorasi komposit..Ukuran lesinya terbatas dan
unilateral (Oliveira, Souto, dan Goes, 2015).

2.1.4. Faktor Resiko

OLR dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti penggunaan


material gigi, penggunaan obat-obatan, keadaan sistemik tertentu, dan
beberapa alergen (Tabel 1.1) (Mc Cartan, B.E., McCreary, C.E., dalam
Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K 2012; Lind, P.O., Hurlen, B.,
Lyberg, T., Aas, E., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012;
Lind, P.O., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012; Cutler,
T.P., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012; Do Prado, R.F.,
Marocchio, L.S., Felipi, R.C., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K,
2012)
9

Tabel 2.1. Faktor Penyebab dan Faktor Eksaserbasi dari OLR


Dental Materials
 Dental amalgam
Composite and resin-based materials
 Porcelain
Glass ionomer cement

Metals
Gold
Nickel
Copper
Palladium
Cobalt
Indium

Drugs
Anti malarials
NSAID’s
Angiotensin-converting enzyme inhibitors
Diuretics
β-Blockers
Oral hypoglycemics
Gold salts
Penicillamine
Anti-retrovirals
Imatinib mesylate STI571
Carbamazepine
Fludarabine

Systemic Condition
Chronic liver disease and Hepatitis C virus
Graft versus Host disease

Other Allergens
Flavouring agents in dentrifices
Tobacco chewing
Spices (Cinnamon)
Menthol
Chewing gums
10

2.1.5. Klasifikasi

Literatur Waal menyebutkan bahwa klasifikasi Oral Lichenoid


Reaction (OLR) dibagi menjadi 4 kelompok. Klasifikasi tersebut dibentuk
beredasarkan penyebab yang sebelumnya telah dijelaskan. Klasifikasi
OLR adalah :

1. OLR yang berhubungan dengan restrasi gigi


2. OLR yang diinduksi oleh obat-obatan
3. OLR pada Graft Versus Host Disease
4. OLR yang tidak dapat diklasifikasikan (Unclassified-OLR)
(Waal, 2009).

Untuk kelompok ke-4, contoh Unclassified-OLR yaitu kemerahan


pada ginggiva tanpa ada tanda khas lain di rongga mulut atau adanya lesi
menyerupai Liken Planus tetapi tanpa tidak memenuhi seluruh kriteria
karakteristik Liken Planus secara klinis, misalnya bentuk yang bilateral)
(Waal, 2009).

2.1.6. Patogenesis

Oral Lichenoid Reaction (OLR) disebabkan oleh suatu proses yang


diperantarai sel disregulasi imun. Pada proses ini, adanya ekspresi antigen
keratinosit dapat ditimbulkan oleh obat sistemik atau alergi kontak
terhadap bahan restorasi gigi (reaksi hipersentivitas kontak). Sel-sel T
CD8+ sitotoksik kemudian memicu apoptosis keratinosit lewat aktivasi
sel-sel oleh antigen yang terkait Mayor Histocompatibility Complex
(MHC) kelas I basal keratinosit. Tampak adanya autoantibody dan sel
plasma. Jika ada efek langsung pada limfosit B, ini juga terjadi di dalam
darah perifer dan getah bening regional. Sel mast juga mengalami
degranulasi dan TNF-ᵅ serta sitokin lainnya menyebabkan sel terus
berkembang dan menetap (Apriasari, 2012).
11

Literatur juga mendukung penjelasan tersebut dengan


menyebutkan penelitian experimental Issa et al. pada tahun 2003,
mendapati efek sitotoksik pada kultur sel mulut seseoang yang
menggunakan restorasi gigi. (Kamath, Setlur, dan Yerlagudda, 2015)

2.1.7. Gambaran Klinis

OLR memiliki gambaran klinis yang bermacam-macam dimana


gambarannya dapat berupa lesi berwarna putih yang berbentuk retikular,
papular dan plak ataupun berupa lesi merah yang berbentuk erosif, atropik,
dan bulosa. (Andreasen, J.O., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain,
R.B., 2007; Pindborg, J.J., Reichart, P.A., Smith, C.J., van der Waal, I.,
dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007)
Bentuk yang paling sering dijumpai adalah bentuk retikular berupa
striae putih simetris bilateral yang biasa disebut sebagai Wickham’s Striae.
Bentuk ini biasanya bersifat asimptomatik (Eisen, D., dalam Ismail, S. B.,
Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007; Ingafou, M., Leao, J.C., Porter, S.R.,
Scully, C., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007)
Bentuk erosif dapat berupa erosi yang iregular atau ulserasi yang
ditutup oleh plak fibrinosa atau pseudomembrane. Pada pinggiran lesi
biasanya dikelilingi oleh lesi retikular atau striae keratosis yang menyebar.
Bentuk erosif dan atropik seringkali disertai rasa nyeri dan sensasi terbakar
(Eisen, D., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007).
Bentuk plak ditandai dengan adanya bercak putih yang homogen
yang menyerupai leukoplakia. Plak dapat tampak sedikit meninggi dan
licin hingga bentuk yang iregular. Bentuk ini sering terdapat pada
pengguna tembakau (Thorn, J.J., Holmstrup, P., Rindum, J., Pindborg, J.J.,
dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007)
Bentuk papular jarang dijumpai. Lesi tipe ini dapat berupa papul
kecil berwana putih dengan striae putih di bagian perifer. Tipe ini
biasanya muncul bersamaan dengan tipe lainnya. Terkadang lesi ini tidak
12

disadari saat dilakukan pemeriksaan klinis akibat ukurannya yang kecil


(Bricker,S.L., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007)
Bentuk bula merupakan yang paling jarang dijumpai (Zegarelli,
D.J., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007). Diameternya
berkisar antara beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Bula ini
cenderung pecah dan meninggalkan ulserasi yang nyeri. Pada pinggiran
lesi biasanya dikelilingi oleh lesi retikular atau striae keratosis yang
menyebar (Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007)
Manifestasi klinis OLR menyerupai manifestasi klinis pada Oral
Lichen Planus (OLP). Akan tetapi menurut beberapa studi ada hal-hal
yang membedakannya, yaitu lokasi lesi OLR terdapat pada tempat yang
atipikal bagi OLP seperti palatum dan bentuknya yang unilateral. (Ismail,
S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007; Lamey, P.J., McCartan, B.E.,
MacDonald, D.G., MacKie, R.M., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S,
Zain, R.B., 2007).

Gambar 2.1. Oral Lichenoid Reaction akibat kontak dengan amalgam.


Tampak lesi pada mukosa buccal kiri dan pada bagian pinggir lidah. (Khudhur,
A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014)
13

Gambar 2.2. Oral Lichenoid Reaction akibat penggunaan obat anti


tuberkulosis. Tampak lesi retikular bilateral pada mukosa buccal (gambar kiri atas
dan kiri bawah). Tampak lesi menghilang setelah penggunaan obat anti
tuberkulosis telah selesai (gambar kanan atas dan kanan bawah) (Khudhur, A.S.,
Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014)

2.1.8. Penegakan Diagnosis


Parameter yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa OLR
adalah gambaran klinis lesi, pemeriksaan histopatologi, patch test, dan
covering replacement. Pada covering replacement didapati bahwa lesi
mengalami resolusi ketika material yang diduga sebagai penyebab
dihilangkan (Al-Hashimi, I., Schifter, M., Lockhart, P.B., Wray, D.,
Brennan, M., Migliorati, C.A., et al, dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012; Cobos-Fuentes, M.J., Martinez-Sahuquillo-Maarquez, A.,
Gallardo-Castillo, I., Armas-Padron, J.R., Moreno-Fernandez, A., Bullon-
Fernandez, P., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012).
14

2.1.8.1.. Gambaran Klinis OLR


Nyeri adalah gejala yang paling sering muncul pada penderita
OLR. Derajat gejala ini bervariasi dari ringan hingga berat. Kebanyakan
kasus menunjukkan gejala yang sedang. Komplikasi tertentu seperti
adanya rasa metalik atau mulut kering dapat dijumpai (Cobos-Fuentes,
M.J., Martinez-Sahuquillo-Maarquez, A., Gallardo-Castillo, I., Armas-
Padron, J.R., Moreno-Fernandez, A., Bullon-Fernandez, P., dalam Sarode,
S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012)
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, OLR memiliki kemiripan
dengan OLP dalam gambaran klinisnya, akan tetapi ada beberapa ciri yang
dapat dijumpai pada gambaran klini OLR:
1) Lokasi lesi yang atipikal bagi OLP seperti palatum, bentuk
unilateral, dan erosi (Lamey, P.J., McCartan, B.E., MacDonald
D.G., MacKie, R.M., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K,
2012; Potts, A.J.C., Hamburger, J., Scully, C., dalam Sarode, S.C.,
Sarode, G.S., Kalele, K, 2012)
2) OLR memiliki hubungan yang langsung antara topografik lesinya
dengan agen penyebab. Misalnya kontak dengan material restorasi
gigi atau kayu manis. (Thornhill, M.H., Pemberton, M.N.,
Simmons, R.K., Theaker, E.D., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012; Potts, A.J.C., Hamburger, J., Scully, C., dalam
Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012)
3) Lokasi lesi tipikal yaitu bagian pinggir lidah dan mukosa bukal
yang merupakan lokasi yang memiliki hubungan anatomis
langsung. (Thornhill, M.H., Pemberton, M.N., Simmons, R.K.,
Theaker, E.D., Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012; Bratel,
J., Hakeberg, M., Jontell, M., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012; Dunsche, A., Kastel, I., Terheyden, H., Springer,
I.N.G., Chirstopers, E., Brasch, J., dalam Sarode, S.C., Sarode,
G.S., Kalele, K, 2012)
15

4) Reaksi ini dapat muncul dalam bentuk retikular, plak, atropik, atau
eritematosa. (Al-Hashimi, I., Schifter, M., Lockhart, P.B., Wray,
D., Brennan, M., Migliorati, C.A., et al, dalam Sarode, S.C.,
Sarode, G.S., Kalele, K, 2012)

2.1.8.2.. Pemeriksaan Histologis OLR


Pada pemeriksaan histologis OLR dapat dijumpai adanya infiltrat
peradangan pada area fokal yang lebih dalam, infiltrat perivaskular fokal,
sel plasma dan neutrofil pada jaringan ikat (Savage, N.W., dalam Sarode,
S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012; Thornhill, M.H., Sankar, V., Xu, X.J.,
Barrett, A.W., High, A.S., Odell, E.W., et al, dalam Sarode, S.C., Sarode,
G.S., Kalele, K, 2012)
Eosinofil dapat dijumpai pada infiltrat sub-epitel. Parakeratosis dan
badan koloid pada epitelium juga dapat dijumpai (Wilson, D,J., dalam
Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012; Pennys, N.S., Ackerman,
A.B., Gotlieb, N.L., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012;
Winer, L.H., Leeb, A.J., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K,
2012)

2.1.8.3. Patch Test


Uji provokasi terhadap kulit cukup menjanjikan untuk
membedakan antara OLR dan OLP yang mengalami eksaserbasi. Seperti
yang telah diketahui sebelumnya, OLR dapat terjadi akibat alergi terhadap
material tertentu. Metode yang paling diterima untuk mendeteksi alergen
penyebab reaksi alergi tipe I dan tipe IV adalah uji tempel kulit. Trolab
digunakan dalam pemeriksaan ini. Substansi yang dicurigai akan
ditempelkan pada kulit punggung pasien yang sehat dan pembacaan hasil
akan dilakukan setelah 72 jam kemudian. Hasil positif apabila timbul
kemerahan, edema, atau bulosa pada daerah yang ditempelkan substansi
penyebab. (Ismail, S.B., Kumar, K.S., Zain, R.B., dalam Sarode, S.C.,
Sarode, G.S., Kalele, K, 2012)
16

2.1.9. Diagnosis Banding

2.1.9.1. Oral Lichen Planus

Secara klinis dijumpai lesi yang bilateral, reticular putih, dan


biasanya mempengaruhi mukosa bukal. Erosi dan atrofi terkadang dapat
dijumpai dan jarang terjadi lesi parut (Khudhu, Zenzo, Carrozzo, 2014).

2.1.9.2. Oral Lichenoid Contact Lesion


Secara klinis lesinya bisa unilateral atau bilateral. Biasanya
dijumpai pada pasien yang melakukan restorasi gigi dengan amalgam
(Khudhu, Zenzo, Carrozzo, 2014).

2.1.9. 3. Oral Lichenoid Drug Reaction


Gambaran klinisnya seperti dengan oral lichen planus,
hubungan dengan asupan obat yang baru (Khudhu, Zenzo, Carrozzo,
2014).

2.1.9.4. Graft-Versus-Host Disease (GVHD)


Gambaran klinisnya seperti oral lichen planus, atau seperti
leukoplakia. Selain itu, dapat dijumpai ada lesi jaringan parut.
Berhubungan dengan transplantasi sumsum tulang sebelumnya (Khudhu,
Zenzo, Carrozzo, 2014).

2.1.9.5. Erythema Multiforme


Gambaran klinis berupa bisul pada mulut yang tersebar luas.
Onsetnya akut dan sering kumat. Kondisi ini jarang menjadi kronis
(Khudhu, Zenzo, Carrozzo, 2014).
17

2.1.9.6. Discoid Lupus Erythematosus


Dijumpai adanya lesi yang asimetris. Lesi terjadi dari daerah
pusat yang atrofi atau dengkal erosi, memancarkan striae putih pada
marginnya, dan telangiektasis (Sunburst) (Khudhu, Zenzo, Carrozzo,
2014).

2.1.9.7. Systemic Lupus Erythematosus


Gambaran klinis menyerupai Discoid Lupus Erythematosus dan
Oral Lichen Planus. Butterfly rash dapat ditemukan pada muka (Khudhu,
Zenzo, Carrozzo, 2014).

2.1.10. Penatalaksanaan

Pada saat ini masih tidak ada obat untuk OLP. Perawatan saat ini
hanya bersifat paliatif dan penatalaksanaan secara umumnya hanya
empiris. Penatalaksanaan OLP hanya untuk kasus yang mempunyai gejala.
Kortikosteroid Topikal dan obat topikal yang lain dapat digunakan untuk
pasien yang gejalanya ringan. Setelah gejala penyakit tersebut telah
berkurang, obat yang digunakan harus dikurangi. Pasien dengan gejala
OLP yang menyebar dengan luas, diskuamatif gingivitis, atau beberapa
mukokutaneus mungkin memerlukan terapi imunomodulator yang
sistemik (Schlosser, 2010).

2.1.10.1. Kebersihan dan Perawatan Mulut


Optimalisasi kebersihan mulut adalah fundamental
bagipengobatan OLP keranaplak gigi dan
kalkulusdapatmerangsang inflamasi intraoral dan dapat
memperburuk keadaan OLP. Pasien harusdiinstruksikan supaya
menyikat gigi dua kalisehari menggunakansikat gigi yang
bululembut dan pasta gigi tanpamint atau kayu manis perasa.
18

Pasien harus flosssetidaknya sekali sehari menggunakan benang


gigi tanpa rasa. Pemeriksaangigi profesional harus dilakukansetiap
3-6 bulan (Schlosser, 2010).

2.1.10.2. Kortikosteroid Topikal


Terdapat respon positif dengan pengobatan kortikosteroid
topikal yang berpotensi menengah ke atas telah dilaporkan.
Kortikosteroid topikal yang gel atau salep (clobetasol propionat
0,05%, betametason propionat 0,05%) awalnya diaplikasi pada
daerah yang terkena dengan frekuensi tiga sampai empat kali sehari
(Schlosser, 2010).
Jika gejalanya membaik, pasien dapat mengurangkan
frekuensi aplikasi supaya dapat ditolerasi. Untuk lesi mukosa mulut
yang lebihluas atau untuk pasien yang tidak dapat menerapkan
kortikosteroid langsung ke lesi mulut, deksametason obat mujarab
(5 mL dari 5 mg /5 mL suspensi) dapat digunakan sebagai obat
kumur. Obat tersebut dapat digunakan 4-6 kali sehari pada gejala
yang lebih parah (Schlosser, 2010).
Pasien yang menggunakan kortikosteroid topikal harus
diinstruksikan supaya menghindari makan, minum,
dantidakberbicara berlebihan untuk setidaknya 60 menit setelah
setiap penggunaan. Potensi kortikosteroid topical dan frekuensi
penggunaan harus dikurangi setelah klinis penyakit dan gejala
membaik (Schlosser, 2010).

2.1.10.3. Cyclosporine Topikal


Topikal siklosporin (100 mg / mL larutan, 5 mLdesir dan
meludah tiga kali sehari) dapat digunakan sebagai obat kumur pada
pasien OLP yang tidak respons kepada kortikosteroid topikal
(Schlosser, 2010).
19

2.1.10.4. Retinoid Topikal


Penelitian menunjukkan retinoid secara topikal efektif
untuk OLP. Apabila dibandingkan secara langsung,
Fluocinoloneacetonide 0,1% topikal lebih efektif dibandingkan
Tretinoin topikal 0,05% dalam pengobatan atrofi atau OLP tipe
erosif (Schlosser, 2010).

2.1.10.5. Injeksi Kortikosteroid Intralesi


Injeksi intralesi dengan Triamcinolone Acetonide (10-20
mg / mL, diulang setiap 2-4 minggu) dapat dilakukan untuk OLP
tipe erosif lokal yang tidak membaik (Schlosser, 2010).

2.1.10.6. Kortikosteroid Sistemik


Penggunaan kortikosteroid sistemik hanya untuk pasien
dengan OLP yang parah atau dengan keterlibatan ekstraoral.
Prednisone (40-80 mg, atau 1 mg / kg, sebagai dosis pagi tunggal)
dapat mengurangi lesi OLP dan rasa sakit yang terkait dalam waktu
yang singkat. Kortikosteroid sistemik harus dikurangkan secara
bertahap dan digunakan untukdurasi yang terpendek(biasanya
selama 2-4 minggu) (Schlosser, 2010).

2.1.11. Pencegahan
OLR berhubungan dengan bahan restoratif gigi, seperti amalgam,
akan tetapi, terdapat sedikit bukti yang mengatakan bahwa penggantian isi
amalgam dapat mengurangi OLR (Murray, Nunn, dan Steele, 2003).

2.1.12. Prognosis

Mukosa mulut dipengaruhi oleh sejumlah lesi likenoid, yang


etiologinya dihubungkan dengan infeksi, inflamasi, displasia, dan kondisi
yang dimediasi oleh imun, yang mengakibatkan perbedaan pada diagnosis
20

dan prognosis. Tetapi, ciri klinis dan patologis mereka bertumpang tindih
dan menyebabkan dilema diagnostik bagi dokter. Membedakan jenis OLR
yang satu dengan yang lain adalah wajib karena beberapa OLR (seperti
GVHD), reaksi likenoid akibat amalgam, DLE mempunyai kecenderungan
tinggi untuk keganasan (Hiremath, Kale, dan Charantimath, 2011).
Laju transformasi maligna OLP tertulis 0,5-2% dalam berbagai
studi. Meskipun tidak ada studi besar dalam prediksi transformasi maligna
OLR, ada studi yang menuliskan bahwa laju transformasi maligna pada
OLR adalah 2,1%, sedangkan pada OLP adalah 0,5% (Van der Meij, Mast,
dan Van der Waal, 2007).
21

BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Hasil ulasan ini didapatkan dari pembahasan yang dilakukan oleh
para ahli. Kami mempunyai studi epidemiologis yang kurang pada OLP,
terutama karena kesulitan dalam membedakan OLP dari sejumlah lesi
yang mirip OLP. Klasifikasi yang sudah ada tampak tidak mampu
mewakili semua kemungkinan OLTR dan terutama yang mengenai
kurangnya pertimbangan terhadap LE. Satu-satunya OLTR yang mungkin
dapat mudah dibedakan dari OLP tanpa pemeriksaan yang lebih jauh
adalah cGVHD (Meroni dan Schur, 2010).
Tabel 3.1. menunjukkan daftar penyakit utama yang menunjukkan
bahkan karakteristik histologis dan/atau klinis oral LTR (OLTR)/IFD yang
kecil. Beberapa kelainan ini jarang, sedangkan yang lain sering sulit dinilai
atau hanya mewakili istilah yang tidak cocok. Akan tetapi, semuanya
dapat sulit dibedakan dari OLP klasik.

Terkadang diagnosis OLTR spesifik dapat dibuat tanpa uji yang


lebih jauh, tetapi pada kebanyakan kasus, pemeriksaan lain diperlukan
(Tabel 3.1.). Secara umum, OLTR menunjukkan ciri klinis dan
histopatologis yang tumpang tindih, dan diagnosis sering sulit ditentukan.
Ulasan ini akan menekankan pada teknik molekuler yang membantu
diagnosis banding OLTR.
22

LEMBAR TABEL TERPISAH!!!!!


23
24

LEMBAR TABEL TERPISAH!!!!!


25
26

LEMBAR TABEL TERPISAH!!!!!


27

Secara tradisional, diagnosis OLTR lain bergantung pada korelasi


klinis/histologis tetapi, pada beberapa kasus, pendekatan ini gagal untuk
memberikan diagnosis yang dapat diandalkan. Inklusi teknik molekuler
dapat mengasah kemampuan kita untuk membedakan OLTR.
Immunoblotting, IP dan ELISA dapat membantu diagnosis beberapa
OLTR seperti CUS, LLP dan PNP/PAMS. Teknik ini juga
memperbolehkan suatu diagnosis banding yang lebih pasti dengan
penyakit autoimun oeal lain seperti contohnya MMP. Teknologi dan alat
diagnostik baru sekarang telah dapat mendeteksi antibodi ANA, dan
mereka telah melaporkan heterogenitas yang terdapat pada kelompok SLE
dan kegunaan pada dasar arrays autoantibody. Uji yang menjanjikan
dikembangkan dapat membantu dalam memprediksi adverse drug
reactions termasuk beberapa OLTR dan untuk beberapa obat uji genetik
dapat sangat membantu. Untuk beberapa OLTR seperti DLE dan OLCL,
uji diagnostik yang dapat diandalkan masih tidak ada dan penelitian yang
lebih jauh diperlukan. Beberapa dari teknik di atas tidak ada secara
universal atau komersial. Selain itu, standarisasi optimal beberapa tes baru
masih kurang (Meroni dan Schur, 2010)

Berdasarkan pengamatan pada literatur selama 5 tahun terakhir


kami mendapati, Peningkatan pengertian terhadap mekanisme pathogen
yang mendasari OLP dan OLTR lain dapat membantu untuk
mengidentifikasi dan membedakan penyakit ini dengan lebih baik. Model
hewan atau eksperimental baru OLTR, terutama ditekankan pada rongga
mulut, harus dikembangkan. Tidak ada model hewan yang ada untuk LP
(Dutz, 2009)

Selain itu, penemuan dan peningkatan penggunaan biomarker yang


memberitahukan keputusan diagnostik dan terapeutik berpotensi
merombak diagnosis OLTR. Contohnya, itu mungkin diwakili oleh
miRNA. miRNA mengontrol diferensiasi sel imun dan mengatur respon
28

bawaan lahir dan adaptif. Penemuan terbaru mengindikasikan pasien


dengan SLE mempunyai miRNA unik. Studi yang serupa juga telah mulai
dalam OLP tetapi telah menunjukkan jaringan miRNA-mRNA yang
dianggap berhubungan dengan penyakit pada OLP.

3.2. Pembahasan
3.2.1. Oral Lichen Planus (OLP)

OLP adalah prototipe OLTR. Meskipun kurangnya data


epidemiologis yang baik, OLP dianggap memengaruhi kira-kira 1-2%
populasi. Lesi OLP adalah kronis dan jarang mengalami remisi spontan.
OLP paling sering memengaruhi dewasa usia paruh baya dengan
predominasi kecil pada wanita dan tanpa adanya predileksi rasial yang
jelas (Scully dan Carozzo, 2008).

Tanda klinis OLP yang berbeda ditunjukkan oleh papul putih


bilateral yang membesar dan bergabung membentuk pola retikuler, anuler,
atau mirip plak, Wickham’s striae (Gambar 3.1) yang jarang simptomatis
(Carozzo dan Thorpe, 2009).

Gambar 3.1. Lesi tipe retikular bilateral yang berlokasi di mukosa bukal pada
Oral Lichen Planus (Khudhur, A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014)

Sebaliknya, lesi eritema dan erosif/ulseratif dapat menyebabkan


berbagai tingkat ketidaknyamanan. Ketika tampak daerah yang
29

predominan erosif/ulseratif, kerancuan dengan penyakit seperti Pemphigus


Vulgaris, Mucous Membrane Pemphigoid (MMP) and EM persisten
adalah sering. Yang paling sering terdapat pada daerah ekstraoral pada
wanita adalah mukosa genital dengan lesi yang berkembang pada 20%
wanita dengan OLP. Hubungan lesi likenoid pada vulva, vagina, dan
gingival disebut sindrom vulvovaginal gingival. Sebaliknya, lesi kutaneus
berkembang hanya pada 15% pasien dengan OLP (Eisen, Carozzo, Bagan,
Thongpraasom, dan Number, 2005).

OLP kemungkinan merupakan reaksi imunologis yang dimediasi


oleh sel T yang menjadi perubahan antigenik pada mukosa mulut pasien
disertai faktor predisposisi (Rodstom, Jontell, Mattson, dan Holmberg,
2004). Awal OLP merupakan peningkatan produksi sitokin Th1 yang
disebabkan secara genetik, terutama IFN-g dan TNF-α. Polimorfisme
sitokin juga tampak memengaruhi apakah lesi berkembang hanya di mulut
(berhubungan dengan IFN-g) atau juga pada kulit (berhubungan dengan
TNF-α) (Carrozzo, Uboldi, dan Dametto, 2004). Meta-analisis belakangan
telah mengonfirmasi hubungan antara polimorfisme -308 G/A pada gen
TNF-α dan OLP (Jin, et al., 2012).

Studi gen daerah variabel reseptor sel T telah menekankan bahwa


OLP kemungkinan besar merupakan akibat umum dari gabungan antigen
ekstrinsik yang terbatas, self-antigen yang berubah atau superantigen
(Thornhill, Pemberton, Simmons, dan Theaker, 2003).

Tiga meta-analisis terbaru telah mengonfirmasikan bahwa OLP


berhubungan kuat dengan virus hepatitis C (Shengyuan, et al., 2009; Lodi,
Pellicano, dan Carrozzo, 2010; Petti, Rabiei, De Luca, Scully, 2011), yang
dapat juga terlibat dalam patogenesis OLP (Pilli,et al., 2002). Potensi
keganasan OLP masih controversial, tetapi tiga studi control retrospektif
yang besar dari Denmark, Swedia, dan Italia telah menunjukkan bahwa
pasien OLP mempunyai risiko yang secara signifikan lebih tinggi terhadap
transformasi ganas menjadi squamous cell carcinoma (SCC) daripada
30

populasi umum (Rodstom, Jontell, Mattson, dan Holmberg, 2004;


Holmstrup, Thorn, Rindum, Pindborg, 1988; Gandolfo, et al., 2004).

Penampilan klinis sendiri, terutama ketika menunjukkan bentuk


retikuler ‘klasik’, dapat terkadang memberikan suatu diagnosis tertentu
(Carozzo dan Thorpe, 2009). Tetapi, karena penyakit tersebut mempunyai
perjalanan klinis yang kronis dan manifestasi klinis yang pleomorfis, dan
tatalaksana dan monitoring jangka panjang adalah sering, biopsi tampak
merupakan praktik klinis yang bijaksana. Penilaian histopatologis
diperlukan sebelum memulai tatalaksana aktif, karena penyebab umum
kegagalan terapi adalah diagnosis yang tidak tepat (Carozzo dan Thorpe,
2009).

Uji Direct Immunofluorescence (DIF) disarankan ketika tampak


lesi eksklusif gingival atau yang predominn erosive/ulseratif untuk
mengeksklusikan penyakit lain. DIF umumnya negatif pada OLP atau
hanya menunjukkan deposit fibrinogen kasar pada basement membrane
zone (BMZ) epitel atau yang disebut cytoid bodies (Russell bodies)
(Helander dan Rogers, 1994).

Kadang-kadang, uji imunologis yang lebih jauh seperti salt-split


skin indirect immunofluorescence (IIF), immunoblot/immunoprecipitation
(IP) dan ELISA dipastikan untuk mendapatkan diagnosis yang tepat untuk
membedakan OLP dari MMP (Calbresi, et al., 2007). Akan tetapi, teknik
tersebut tidak selalu ada secara universal, dan mereka jarang digunakan
dalam latar kedokteran gigi. Sebagai akibatnya, salah diagnosis MMP dan
OLP sering terjadi pada kedokteran gigi (Carozzo, 2009).

Salah satu target utama antigen dalam MMP adalah suatu molekul
hemidesmosomal transmembran dengan 180 kDa yang disebut bullous
pemphigoid antigen 180 (BP180). Menariknya, IgG anti-BP180 yang
bersirkulasi dalam kadar rendah sering dilaporkan dengan menggunakan
immunoblotting pada ekstrak seluler kultur keratinosit dalam hingga 17%
pasien OLP dan dianggap merupakan fenomena penyebaran epitop.
31

Hampir semua pasien negatif ketika teknik yang kurang sensitive


digunakan (Bujijsrogge, et al., 2007).

3.2.2.Oral Lichenoid Contact Lesions (OLCL)

OLCL adalah istilah untuk mendeskripsikan lesi oral, yang dapat


menyerupai OLP secara klinis dan histologist, tetapi dianggap diakibatkn
oleh materi restoratif gigi, seperti dental amalgam (Gambar 3.2.)
(Baccaglini, Thongprasom, dan Carrozzo, 2013; McParland dan
Warnakulasuriya, 2012). Dental amalgam adalah logam yang berisi
campuran raksa cair dan bubuk yang terdiri atas perak (~22–32%), timah
(~14%), tembaga (~8%) dan logam lain termasuk seng (Jensen, 1985).
OLCL terhadap amalgam seharusnya mewakili suatu reaksi
hipersensitivitas delayed (klasifikasi Coombs and Gell tipe IV) hingga
paparan raksa tingkat rendah (McParland dan Warnakulasuriya, 2012).
Umumnya, kontak langsung mukosa mulut terhadap amalgam yang
mengandung raksa tampak lebih mungkin dapat menyebabkan reaksi
sensitivitas yang mengakibatkan kerusakan keratinosit epitel basal yang
disebabkan oleh mediasi sistem imun (Al-Hashimi, 2007).

Gambar 3.2. Oral Lichenoid Contact yang berhubungan dengan pengisian


amalgam. (Kiri) Gambar lesi yang terletak pada mukosa bukal dan tepi
lidah dan (Kanan) Gambar perbaikan secara komplit setelah mengganti
restirasi amalgam dengan golden onlays (Khudhur, A.S., Di Zenzo,
G.,Carrozzo, M., 2014).
32

Akan tetapi, model hewan telah gagal dalam membuktikan bawha isi
amalgam dapat menyebabkan OLCL (Dunsche, et al., 2003). Suatu studi
yang lebih baru yang menggunakan model hewan yang sama (Brown
Norway Rats) tetapi dengan modalitas paparan yang berbeda,
menunjukkan bahwa raksa nontoksik dapat menyebabkan lesi mukosa
mulut lupus-like (Seno, et al., 2013).

Uji tempel sering digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan


suspek reaksi hipersensitivitas, tetapi kegunaan mereka dalam OLCL telah
menunjukkan hasil yang berlawanan (Thornhill, Pemberton, Simmons, dan
Theaker, 2003). Uji kulit lebih disarankan daripada uji mukosa karena
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi, dank arena kadar allergen
dalam mukosa harus 5 hingga 12 kali lebih tinggi daripada kulit, yang
berpotensi mengakibatkan risiko reaksi toksik (Holmstrup, 1991).

Prolifersi limfosit in vitro telah digunakan sebagai alat


komplementer dalam diagnosis alergi terhadap berbagai obat (Nyfeler dan
Pichler, 1997) dan logam (Von blomber-van der Flier, et al., 1987),
dengan tujuan menstimulasi kembali limfosit antigen spesifik (sel memori)
dari darah perifer. Uji ini mempunyai berbagai modifikasi dan nama,
contohnya uji transformasi limfosit, uji stimulasi limfosit, uji proliferasi
atau MELISA (memory lymphocyte immunostimulation assay). Akan
tetapi, teknik ini tampak terbatas kegunaannya dalam OLCL (Cedebrant, et
al., 1999). Bukti juga kurang untuk mendukung pembersihan rutin
amalgam restoratif pada pasien dengan OLP/OLCL (Thompson dan
Skaechill, 1994).

3.2.3. Oral Lichenoid Drug Reactions (OLDR)

OLDR umumnya disebabkan oleh atau berhubungan dengan


paparan terhadap obat atau medikasi tertentu (Al-Hashimi, 2007). Mereka
33

tampak kurang umum terhadap Cutaneous Lichenoid Drug Reactions,


tetapi data yang dapat diandalkan kurang.

Daftar obat yang menyebabkan OLDR jauh lebih sedikit daripada


obat yang berhubungan dengan Skin Lichenoid Reactions (McCartan dan
McCreary, 1997) dan meliputi Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor,
NSAID, obat hipoglikemik oral, penisilamin, emas, beta blocker,
metildopa, kuinidin, dan kuinin (Thompson dan Skaechill, 1994). OLDR
dapat terjadi kapan pun bahkan beberapa tahun setelah penggunaan obat
tertentu (McCartan dan McCreary, 1997).

Tidak ada uji spesifik terhadap OLDR. Adanya lesi unilateral dapat
membantu (Lamey, McCartan, MacDonald, dan MacKiel, 1995), tetapi
bukan merupakan tanda yang konstan. Secara histologist, infiltrat subepitel
yang mengandung jumlah eosinofil yang relevan dan/atau sel plasma dan
yang lebih tersebar dan lebih dalam daripada OLP atau mempunyai
penampilan vaskuler dapat ditemukan (Van den Haute, Antonie, dan
Lachapelle, 1989). Utamanya, tidak satu pun dari karakteristik ini telah
dilaporkan dan, sebaliknya, penemuan histologis tersebut dapat ditemukan
pada DLE (McCartan dan McCreary, 1997).

Metode yang paling dapat diandalkan untuk diagnosis OLDR


adalah dengan memperhatikan resolusi setelah pemberhentian obat yang
diduga dan kembalinya penyakit setelah penggunaan kembali obat yang
sama. Akan tetapi, ini tidak praktis karena beberapa reaksi dapat memakan
waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk sembuh dan
medikasi yang dapat merupakan penyelamat jiwa dapat membahayakan
(Al-Hashimi, 2007; Carrozzo dan Thorpe, 2009)

Antibodi sitoplasma sel basal yang bersirkulasi diketahui untuk


muncul pada erupsi obat, dan mereka telah dipelajari pada OLDR (Lamey,
McCartan, MacDonald, dan MacKiel, 1995). Akan tetapi, kegunaan
antibodi sitoplasma sel basal pada OLDR masih diragukan, sedangkan uji
immunofluoresen autolog dan allogen yang bertujuan mencari antigen
34

lichen planus-specific tidak banyak membantu (McCartan dan Lamey,


2000).

Model eksplan kulit yang dulunya dikembangkan untuk


memprediksi GVHD (Dickinson, et al., 1998; Wang, et al. 2006) telah
dimodifikasi untuk uji reaksi terhadap obat (Skimune Mab assay).
Senyawa yang diperlukan diinkubasikan dengan sel mononuklear darah
perifer dan jaringan kulit dari donor yang sama dan dapat memprediksikan
respon alergi atau reaksi negatif yang disebabkan oleh senyawa yang diuji.
Model ini dapat diadaptasikan terhadap penggunaan oral dan mungkin
dapat membantu diagnosis OLDR.

3.2.4. Oral Chronic Graft-Versus-Host Disease

GVHD adalah komplikasi utama pada pasien yang mendapatkan


transplantasi sel hematopoietic dan merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas utama (Imanguli, et al., 2008). GVHD dapat akut (aGVHD),
biasanya berkembang dalam 100 hari pertama setelah transplantasi, atau
kronis (cGVHD) jika mulai atau berlanjut setelah itu. Akan tetapi, kriteria
konsensus NIH terbaru menyarankan klasifikasi berdasarkan gejala dan
tanda yang karakteristik daripada definisi temporal yang kaku (Filipovich,
2008). AGVHD dan cGVHD dapat melibatkan mulut, tetapi lesi likenoid
lebih sering pada cGVHD (Imanguli, et al., 2008).

Keterlibatan oral terjadi pada hingga 80% pasien dengan cGVHD


(Imanguli, et al., 2008). Ciri umum cGVHD meliputi perubahan likenoid,
ulserasi dan atrofi mukosa, disfungsi kelenjar ludah dan pembukaan mulut
yang terbatas (Gambar 3.3) (Filipovich, 2008; Woo, Lee, Schubert, 1997)
Lesi mukosa tersebut serupa dengan yang ditemukan pada OLP, infiltrat
kelenjar ludah mirip dengan yang ditemukan pada Sjogren’s syndrome,
dan fibrosis dan terbatasnya gerakan mulut menunjukkan scleroderma
(Imanguli, et al., 2008).
35

Gambar 3.3. Oral Chronic Graft-Versus-Host-Disease (Khudhur,


A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014).

Etiopatogenesis GVHD tampak merupakan akibat reaksi limfosit T


donor terhadap ekspresi antigen jaringan histokompatibilitas minor oleh
sel penerima. Meskipun etiologi kemungkinan besar berbeda, secara
histologist OLL-cGVHD dapat menyerupai OLP. Meskipun adanya
perbedaan pada spesifisias antigen, OLL-cGVHD dan OLP mempunyai
mekanisme imunologis yang sama, yang menyebabkan infiltrasi limfosit
sel T, disrupsi basement membrane dan apoptosis keratinosit basal
(Imanguli, et al., 2008).

Tanda klinis sering cukup untuk diagnosis OLL-cGVHD dengan


riwayat transplantasi sumsum tulang allogenik. Konfirmasi histologist
OLL-cGVHD diindikasikan pada tidak adanya tanda dan gejala
keterlibatan sistem dan organ lain, dan pada kasus presentasi klinis atipikal
untuk mengeksklusi displasia dan keganasan terutama pada pasien dengan
penyakit kronis yang sudah lama.
36

3.2.5. Paraneoplastic Pemphigus

Paraneoplastic Pemphigus (PNP) adalah suatu sindrom autoimun,


yang pertama dideskripsikan oleh Anhalt et al. pada 1990 (Anhalt, et. al.,
1990), ditandai oleh lesi mukokutaneus, yang berhubungan dengan
penyakit limfoproliferatif. Meskipun istilah PNP digunakan dan diterima
secara luas, penyakit ini dapat menunjukkan suatu spektrum dari
sedikitnya lima varian mukokutaneus klinis dan immunopatologis berikut:
pemphigus-like, pemphigoid-like, EM-like, GVHD-like, dan LP-like. Oleh
karena itu, istilah yang lebih umum ‘paraneoplastic autoimmune
multiorgan syndrome’ (PAMS) telah dikemukakan (Nguyen, et. al., 2001).

LP-like PNP/PAMS sering dihubungkan dengan Castleman’s


disease yang merupakan kelainan limfoproliferatif yang langka
(Nikolskaia, Nousari, dan Anhalt, 2003). Castleman’s disease pertama
dideskripsikan pada 2004 dan merupakan neoplasma monoclonal dengan
asal limfatik, dan juga diketahui sebagai giant lymph node hyperplasia
atau benign giant cell lymphoma. Castleman’s disease paling sering
berkembang pada area limfatik pada rongga retroperitoneal atau di dalam
dada, dan terdapat bukti bahwa tumor dapat ada selama jangka waktu yang
panjang sebelum PNP/PAMS berkembang. Tipe vaskuler hialin
merupakan variasi histologis yang paling sering berhubungan dengan
PNP/PAMS.

PNP/PAMS juga ditandai dengan adanya autoantibody terhadap


berbagai antigen, terutama protein famili plakin, yang merupakan bagian
dari plak intraseluler desmosom dan/atau hemidesmosom. Ini meliputi
envoplakin (EP) 210 kDa, periplakin (PP) 190 kDa, antigen pefigoid
bulosa 230 kDa BP230, desmoplakin I dan II 250 dan 210 kDa (DSPI dan
DSPII) dan plectin 500 kDa. Antigen lain meliputi desmoglein (Dsg) 1 dan
3, plakophilin 3, desmocolin 1-3 dan autoantigen 170 kDa yang
sebelumnya dideskripsikan yang kemudian diidentifikasikan sebagai
protease inhibitor α-2-macroglobulin-like-1 (Gambar 3.4.) (Schepens, et
37

al., 2010). Tampak adanya hubungan dengan HLA-Cw*14 dan DRB1*03


pada pasien Cina dan Prancis berturut-turut [50,51].

Gambar 3.4. Paraneoplastic Pemphigus/Paraneoplastic Autoimmune Multiorgan


Syndrome (PNP/PAMS) (Khudhur, A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014).

Gambar 3.4. menjelaskan bahwa dijumpai adanya lesi


atrofi/ulseratif serta gambaran jaringan parut pada mukosa bukal bilateral
pada pasien Chronic Lymphocytic Leukemia. Kemudian pada pemeriksaan
biopsy sebagai indikasi adanya lichenoid inflammation dan pemeriksaan
Direct Immunofluorescene menunjukkan hasil negatif. Immunopresipitasi
dengan menggunakan kultur keratinosit radiolabel memiliki hasil positif
terhadap serum immunoprecipitates desmoplakin I, BP230, desmoplakin
38

II, envoplakin, periplakin dan a-2-macroglobulin-like-1. Sementara itu,


pada orang normal hasil tersebut tida ada (negatif) (Khudhur, A.S., Di
Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014)..
Secara klinis, pasien ini mempunyai lesi mukokutaneus yang berat
dan terkadang gagal nafas, dan mereka adalah refrakter terhadap
tatalaksana standar. Mekanisme patologis PNP/PAMS melibatkan respon
humoral dan seluler yang menuju antigen membran sel epitel. Keratinosit
yang rusak memediasi lesi intraepidermal, sementara gagal nafas
kemungkinan berasal dari obstruksi jalan nafas oleh sel epitel yang
terkelupas. Uji imunologis rutin seperti DIF dan IIF dapat negatif atau
controversial dalam menunjukkan ciri dari lebih dari satu penyakit.
Analisis IIF serum PNP/PAMS menunjukkan adanya antibodi
antiepidermal yang menandai keratinosit permukaan sel epitel (biasanya
tampak pada pemphigus vulgaris) dan BMZ (tampak pada pemfigoid).
Penggunaan substrat khusus seperti epitel kandung kemih tikus yang tidak
mengandung Dsg1 dan 3 tetapi mengandung DSP, EP, dan PP, yang
meningkatkan sensitivitas (75-86%) dan spesifisitas (83-98%) tes dan juga
berkontribusi terhadap pembedaan PNP/PAMS dari pasien pemfigus yang
jarang mempunyai autoantibody yang bereaksi terhadap plakin (Liu, et al.,
1993; Helou, Allbriton, dan Anhalt, 1995)

Beberapa ELISA komersil dapat mendeteksi reaktivitas terhadap


beberapa antigen PNP: BP180, BP230, Dsg1, Dsg3, (MBL, Nagoya,
Jepang) dan EP (EUROIMMUN, Lubeck, Jerman). Utamanya, suatu
ELISA yang berdasarkan domain N-terminal EP dapat mendeteksi
reaktivitas dari 80,6% serum pasien PNP (Probst, et al., 2009).

Sebaliknya, dari immunoblotting pada ekstrak keratinosit dapat


mengkonfirmasi dalam serum PNP, adanya profil antibodi yang ditujukan
kpada famili plakin yang meliputi EP, PP, DSP, BPAG1 dan plectin yang
berbeda. Akan tetapi, ekstrak keratinosit IP masih dianggap gold standard.
IP adalah teknik presipitasi suatu antigen protein dari suatu larutan dengan
39

menggunakan antibodi yang secara spesifik berikatan dengan protein


tertentu. Dulunya, teknik pertama yang digunakan untuk identifikasi
antibodi PNP adalah IP yang menggunakan ekstrak keratinosit radioaktif
(Anhalt, et. al., 1990).

Sensitivitas teknik ini lebih baik daripada immunoblot, IIF pada


kandung kemih tikus dan EP-ELISA. Selain itu, IP dapat mengidentifikasi
reaktivitas anti-α-2-macroglobulin-like-1 yang tidak terdeteksi oleh IB
dengan serum PNP (Schepens, et al., 2010). Akan tetapi, karena
penggunaan materi radioaktif, teknik ini tidak beredar secara luas.
Belakangan ini, IP nonradioaktif telah diusulkan, dan tampak mempunyai
nilai diagnostik yang sama dengan yang asli (Poott, et al., 2013).

3.2.6. Discoid Lupus Erythematosus

Istilah Lupus Erythematosus (LE) mengacu pada penyakit jaringan


ikat yang terdiri atas sedikitnya tiga bagian: systemic LE (SLE), subacute
cutaneous LE, dan DLE. SLE dan DLE sering dapat menyebabkan lesi
mulut, yang dapat menyerupai OLP. Meskipun studi immunofluoresen
berguna untuk membedakan antara LE dengan LP (Nieboer, 1987),
mereka tidak dapat selalu membedakan kedua penyakit tersebut (Nagao
dan Chen, 2006). Adanya ciri klinis dan histopatologis gabungan antara
LE dan LP telah disebut sebagai LE/LP overlap syndrome (Nagao dan
Chen, 2006).

DLE adalah bentuk yang paling sering dari LE kutaneus kronis dan
dapat dibagi menjadi dua kelompok: lokal dan generalisata. Penyakit yang
tersebar luas ini lebih sering dihubungkan dengan abnormalitas
pemeriksaan lab (Oke dan Wahren-Herlenius, 2013). DLE telah
dihubungkan dengan area gen HLA dan lokus non-MHC (Tabel 3.1.),
tetapi bukti lebih lemah daripada pada SLE (Jarvinen, et al., 2010;
Jarvinen, et. al., 2010; Najou, et al., 2011).
40

Mukosa mulut terlibat dalam 15-20% kasus DLE, tetapi prevalensi


lesi oral yang terisolasi tidak diketahui. Mukosa bukal, bibir, gingiva, dan
palatum biasanya terpengaruh. Lesi mulut umumnya ditandai oleh area
atrofi sentral atau erosi dangkal, striae putih pada tepi yang kurang jelas
dibandingkan dengan OLP. Mereka sering unilateral dan bisa terdapat
pada palatum yang keras dan lunak, dan bagian luar bibir, yang umumnya
tidak dipengaruhi oleh OLP. Mereka dapat merupakan satu-satunya
manifestasi daripada penyakit. Tidak seperti OLP, lesi DLE lebih sering
terdistribusi secara asimetris pada rongga mulut. Lesi bibir dapat sering
menyebar ke kulit sekitar bibir, menghilangkan batas dengan bibir, tetapi
ini bukan merupakan tanda yang tetap (Nico, Vilela, Rivitti, dan Lourenco,
2008). SCC dapat, jarangnya, muncul pada lesi lama DLE oral (Tao, et al.,
2012).

Pasien dengan DLE jarang memenuhi empat atau lebih kriteria


untuk klasifikasi SLE (Tan, et al.,1982). Abnormalitas jarang pada
penyakit local. Autoantibodi predominan pada pasien DLE tidak diketahui,
dan hanya antibodi low-titer anti-Ro (60 kDa) ditemukan pada kebanyakan
pasien DLE (Lee, Haug, dan Sibley, 1994). Jurnal terbaru mengenai
autoantigen array mengemukakan adanya peran nonpatogenik terhadap
autoantibodi IgM spesifik pada DLE (Chong, et al., 1994).

Histopatologi terkadang dapat membantu (lihat Tabel 3.1.) tetapi


sering diragukan atau kurang spesifik, terutama dalam membedakan DLE
dan OLP (Gambar 3.5.). Deposit granular immunoglobulin dan/atau
komplemen pada dermoepidermal junction, lupus band test, adalah
karakteristik, tetapi tidak patognomonik DLE atau SLE. Lupus band test
tidak sensitif maupun spesifik dan telah kebanyakan diganti oleh
perkembangan dalam uji serologis (Hung, Ian, dan Martinka, 2013).
41

Gambar 3.5. Discoid Lupus Erythematosus (Khudhur, A.S., Di Zenzo,


G.,Carrozzo, M., 2014).

Pada Gambar 3.5., tampak gambaran klinis (kiri) dari Discoid


Lupus Erythematosus dan juga gambaran histologis dengan adanya
hyperplasia dan hiperkeratotik dari squamous epithelium dengan
kerusakan fokal pada sel basal. Selain itu, pada pemeriksaan histologis
tersebut, dijumpai sebagian keratinosit yang mengalami apoptosis dan
infiltrat dense subepithelial lymphohistiocytic, serta penebalan dan
hialinisasi membran basal (Khudhur, A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M.,
2014).
42

3.2.7. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

SLE dikatakan sebagai prototip penyakit autoimun sistemik, yang


dapat memengaruhi beberapa organ dan system akibat etiologi yang tidak
jelas, patogenesis kompleks dan kurangnya tatalaksana target.

Studi asosiasi genom dan pemetaan area kandidat telah dengan


cepat memberikan pengertian mengenai dasar genetik SLE (Harley, et al.,
2009). Suatu meta-analisis menemukan hubungan HLA yang paling
konsisten dengan HLA-DR3 dan DR2 di populasi Eropa (Fernandoy, et
al., 2007), sedangkan studi asosiasi genom menunjukkan hubungan yang
lebih besar dengan gen MSH5, yang terdapat dalam area kelas III (Harley,
et al., 2008). Di TABEL 1 dilaporkan bahwa hubungan gen kandidat
dikonfirmasikan oleh studi asosiasi genom. Dengan diketahui adanya
lokus kerentanan SLE, tampaknya risiko genetik SLE berasal dari variasi
di banyak gen (Harley, et al., 2009). Dengan demikian, kegunaan klinis
sekarang kurang berarti.

SLE sering bermanifestasi sebagai gabungan gejala konstitusional,


dengan keterlibatan kulit, muskuloskeletal dan hematologis. Akan tetapi,
beberapa pasien menunjukkan manifestasi predominan hematologis, renal,
atau neuropsikiatrik (American College of Rheumatology Ad Hoc
Comittee, 1999).

Manifestasi kutaneus SLE terdapat pada 85% pasien dalam


perjalanan penyakit. Lesi kulit yang paling utama pada LE adalah eritema
pada bagian wajah dan hidung (butterfly rash). Lesi oral tampak pada
hingga 40% kasus SLE (Jonson, Heyden, Westberg, dan Nyberg, 1984;
Jorizzo, et al., 1992) dan dapat merupakan tanda yang langka. Manifestasi
oral SLE dapat menyerupai DLE. Ulserasi oral non-spesifik juga tampak
dan mereka merupakan kriteria American College of Rheumatologists
untuk diagnosis SLE. Menurut American College of Rheumatologists,
diagnosis SLE memerlukan adanya empat atau lebih kriteria dari 11
43

kriteria, secara serial atau bersamaan, pada periode observasi (American


College of Rheumatology Ad Hoc Comittee, 1999).

Diagnosis SLE juga menantang karena gejala dan tanda tipikal


dapat memerlukan waktu yang lama untuk berkembang. Diagnosis harus
dikonfirmasikan oleh pola autoantibody, terutama antinuclear antibodies
(ANA). Visi tradisional autoantibody yang ditujukan ke DNA rantai ganda
adalah efektor pathogen utama pada LE yang telah dipertanyakan (Fritzler,
2012), dan autoantibody lain sering terdeteksi di SLE (Tabel 3.1.).

Alat teknologi dan diagnostik yang ada untuk mendeteksi ANA


dan autoantibodi yang berhubungan telah berkembang secara luas pada
beberapa dekade terakhir, dari uji sel LE pada 1950 hingga IIF pada 1960,
immunodifusi, ELISA (Licarete, et al., 2012), dot blots, line
immunoassays dan immunoassay multipleks yang terbaru seperti
addressable laser bead immunoassays, antigen arrays pada permukaan
datar, nanobarcodes, chemiluminescence dan aliran lateral dan diagnostik
dan teknologi baru yang tetap berlanjut (Fritzler, 2012). Teknologi baru ini
telah memberitahukan heterogenitas yang terdapat dalam kelompok SLE
dan juga kegunaan dengan dasar autoantibody arrays. Data yang
berkembang ini dan profil reaktivitas yang berbeda dapat menjadi patokan
pada keputusan medis dan terapi untuk individu pasien.

3.2.8. Chronic Ulcerative Stomatitis

Pada 1990 Jaremko et al. mendeskripsikan suatu penyakit baru


yang disebut Chronic Ulcerative Stomatitis (CUS), yang ditandai dengan
ulserasi oral yang terkadang dapat melibatkan kulit (Jaremko, et al., 1990)
Tanda klinis sering menyerupai OLP dan ciri umum yang dapat
membedakan CUS dari OLP secara klinis umumnya tidak ada. Tidak lebih
dari 40 kasus telah dilaporkan sejak deskripsi CUS pertama, dan masih
tidak jelas apakah penyakit ini ada sebagai entitas yang berbeda dari OLP.
44

Ciri histologis sering nonspesifik, dengan infiltrat inflamasi kronis, yang


sering menyerupai OLP. Diagnosis CUS memerlukan pemeriksaan
mikroskopik IF (Rinaggio, Crossland, dan Zeid, 2007) . IF langsung
menunjukkan adanya antibodi IgG yang terikat pada nucleus keratinosit
lapisan sel basal dan sepertiga bawah, dengan pola antibodi antinuklear
spesifik epitel bertingkat yang unik (Jaremko, et al., 1990) . Tetapi,
penyakit lain, seperti misalnya SLE, skleroderma, kalsinosis, Raynaud’s
phenomenon, sklerodaktili dan sindrom telangiektasis dan mixed
connective tissue disease (MCTD), dapat menunjukkan pola ANA yang
serupa. Pasien CUS juga mempunyai antibodi yang bersirkulasi yang
menunjukkan pola antibodi antinuklear spesifik epitel bertingkat pada IIF
dengan substrat esophagus (Jaremko, et al., 1990)

Studi immunoblot sering menuju ke pengenalan protein keratinosit


70 kDa pada beberapa kasus CUS (Carrizosa, Elorza, dan Camacho, 1997;
Cacciapuoti, et al., 2004; Parodi, et al., 2007). Studi yang lebih jauh
mengidentifikasi suatu protein nuklear yang umumnya terdapat pada sel
basal dan parabasal epitel skuamosa bertingkat yang disebut ∆Np63α
(∆np63α) yang dianggap merupakan antigen spesifik CUS yang terduga
(Lee, et al., 1999). ∆np63α merupakan bagian dari family faktor
transkripsi nuklear, termasuk p63, p73 dan p53 tumor suppressor gene,
yang mempunyai rangkaian homolog (Choi, et al., 2002).

Masih diperdebatkan bahwa ∆np63α adalah spesifik CUS


sedangkan beberapa penulis melaporkan bahwa pasien OLP dapat
mempunyai autoantibodi yang bersirkulasi yang melawan protein ini. Dua
sistem ELISA nonkomersil yang besar telah dikembangkan untuk
mendeteksi yang melawan ∆np63α (Solomon, et al., 2007) . Pada yang
pertama, bagian N-terminal protein ∆np63α, yang dianggap merupakan
bagian immunogenic protein, digunakan untuk melapisi plat ELISA
(Solomon, 2008). Sebaliknya, kelompok peneliti lain (Ebrahaimi, et al.,
2007) telah menggunakan seluruh protein.
45

3.2.9. Erythema Multiforme (EM)

EM adalah keadaan mukokutaneus akut yang jarang dan


disebabkan oleh mediasi imun, yang sering disebabkan oleh infeksi HSV
dan penggunaan obat tertentu. EM terdiri atas varian mulai dari varian
kutaneus yang self-limited, ringan, eksantematosa dengan keterlibatan oral
minimal (EM minor) hingga varian yang progresif, fulminan, berat dengan
nekrosis epitel mukokutaneus (Stevens-Johnson syndrome [SJS] dan toxic
epidermal necrolysis [TEN]) (Mockenhaupt, 2011) .

Keterlibatan oral terlihat pada 70% pasien dengan EM dan mulut


dapat merupakan satu-satunya lokasi yang terpengaruhi. Akan tetapi, pada
kebanyakan klasifikasi yang dipublikasi, terutama dari dermatolog,
mengabaikan fakta ini (Carrozzo, Togliatto, dan Gandolfo, 1999).
Jarangnya, EM dapat persisten dan berhubungan dengan virus termasuk
virus hepatitis C (Dumas, et al., 2000) . Akibatnya, EM oral sering
didiagnosis dan dipublikasikan sebagai fixed drug eruption (Ozkaya, 2013)
, ulserasi oral yang tidak terspesifikasi (Webster dan Godbold, 2005) atau
sebagai OLP erosif atipikal (Oyama, et al., 2003) .

Kemungkinan terjadinya reaksi kulit fatal, termasuk SJS dan TEN,


dihubungkan ke alel HLA tertentu, telah menyebabkan EMA dan agen
Member State untuk menyarankan uji gen HLA sebelum memulai
tatalaksana obat spesifik. Tiga obat terutama telah diidentifikasi sebagai
penyebab reaksi hipersensitivitas obat signifikan pada pasien dengan alel
HLA berikut: abacavir dan HLA-B*57:01, karbamazepin dan HLA-
B*15:02/A*31:01 dan akhirnya allopurinol dan HLA-B*58:01 (Profaizer
dan Eckels, 2012) .

Tidak ada uji diagnostik spesifik untuk EM, sehingga diagnosis


sering dibuat dengan eksklusi penyebab lain. Yang sering sulit adalah
kasus persisten dan lesi oral eksklusif. Tidak adanya lesi kulit adalah
46

tantangan diagnostik kepada dokter karena spektrum luas kondisi


diagnosis banding yang meliputi tidak hanya OLP, tetapi juga kelainan
bula dan fixed drug eruption (Ozkaya, 2013) . Pemeriksaan histologis
sering menunjukkan edema intraepitel dan spongiosis pada awalnya,
dengan nekrosis sel satelit (keratinosit eosinofilik nekrotik individu
dikelilingi oleh limfosit), degenerasi vakuola BMZ dan edema papiler
berat dengan vesikulasi subepitel atau intraepitel. Akan tetapi, histologi
dapat bervariasi dan immunostaining tidak spesifik untuk EM.

Foedinger dan rekan (Foedinger, et al., 1995) menemukan pada


pasien dengan EM berat, yang ditandai oleh akantolisis suprabasal pada
kulit dan membran mukosa yang mengalami lesi, autoantibodi yang
melawan DSP I dan DSP II menggunakan beberapa uji biokimia meliputi
immunoblotting lysates lapisan epidermis dan IP ekstrak protein dari kultur
keratinosit radioaktif manusia (Foedinger, et al., 1995) . Penulis yang sama
mengembangkan suatu uji ELISA untuk deteksi autoantibodi anti DSP
spesifik peptida yang didasarkan pada peptida sintetis yang mengandung
urutan asam amino masing-masing (Hintehuber, et al., 2005) .

Diagnosis EM umumnya didasarkan atas presentasi klinis dan


riwayat umumnya meliputi onset akut lesi oral dan/atau kulit,
kemungkinan diawali oleh infeksi HSV atau suatu konsumsi obat yang
terbaru. DIF dan IIF dan pada beberapa kasus Tzanck smear, swab untuk
HSV-PCR dapat membantu dalam membedakan EM dari penyakit lain
termasuk OLP.

3.2.10. Lichen Planus Pemphigoid (LPP)

LP Pemphigoides (LPP) adalah varian klinis yang jarang daripada


emfigoid Bulosa yang ditandai dengan ciri klinis dan histologis LP dan
BP. Kelainan immunobullous ini biasanya terjadi di kulit dan terkadang
melibatkan membran mukosa mulut (Solomon, et al., 2007; Washio, et al.,
47

2013; Zaraa, et al., 2013). Kurang dari 80 kasus telah dilaporkan sejauh ini
dan sekitar 40% lesi OLP yang dilaporkan (Zaraa,et al., 2013) . Hanya tiga
kasus yang menunjukkan lesi oral eksklusif telah dipublikasi (Solomon, et
al., 2007; Mignogna, et al., 2010), tetapi tanda klinis dan imunologis yang
serupa menuju ke diagnosis MMP pada sedikitnya satu kasus lain yang
dipublikasi (Lee, Blazek, Beltraminelli, dan Borradori, 2011).

LPP tampak mempunyai demografi yang serupa dengan OLP


dengan predominan wanita yang kecil dan usia rata-rata diagnosis 54
(Zaraa,et al., 2013) .

LPP telah dihubungkan dengan kondisi yang bervariasi secara luas


termasuk keganasan seperti limfoma, hemangioperisitoma dan kanker
kolon, dan kondisi lain seperti virus hepatitis, fototerapi (UVA,
UVB/psoralen-UVA) dan obat seperti simvastatin, furosemid, ramipril,
kaptopril, cinnarizine, parasetamol dan ibuprofen (Mignoogna, er al.,
2010; Hamada, et al., 2004; Stoebner, et al., 2003; Noel, 2007; Maoz dan
Brenner, 2009).

Secara klinis, LPP ditandai oleh pembentukan lepuh atau bula


tegang sebelum, ketika, atau setelah erupsi popular LP kutaneus. Bula
timbul pada kulit normal dan LP (Solomon, et al., 2007; Cohen, Ben-
Amitai, Feinmesser, dan Zvulunov, 2009). Tanda klinis keterlibatan oral
pada LPP adalah striasi likenoid, lesi eritematosa dan ulseratif yang
melibatkan gingival, mukosa bukal dan juga palatum.

Diagnosis klasik LPP dibuat dari ciri klinis, histopatologis dan


imunologis yang menunjukkan LP dan BP (Solomon, et al., 2007;, Cohen,
Ben-Amitai, Feinmesser, dan Zvulunov, 2009; Tamada, et al., 1995). Pada
LPP, bula yang terbentuk pada papula kulit dengan dasar eritematosa yang
terlibat, secara mikroskopik menunjukkan ciri ortokeratosis,
hipergranulosis, akantosis ireguler, degenerasi hidropik keratinosit basal
dengan pembentukan badan citoid dan subepidermal clefting, dan derajat
pemisahan adalah melalui lamina lucida. Infiltrat inflamasi dermis tidak
48

konstan dan dapat kaya sel atau miskin sel, likenoid atau perivaskuler;
selain itu, spongiosis eosinofilik juga dapat merupakan suatu ciri
(Solomon, et al., 2007; Sapadin, Phelps, Fellner, dan Kantor, 1998; Yoon,
Kim, Kang, dan Lee, 2000).

Lepuhan subepidermal menunjukkan deposit linear IgG dan/atau


C3 sepanjang dermal-epidermal junction saat DIF. Selain itu, lebih dari
50% kasus LPP mempunyai antibodi IgG anti-BMZ yang bersirkulasi
yang terkumpul pada bagian epidermal 1.0 M NaCl split skin IIF. Dengan
immunoblot serum LPP, pasien bereaksi terhadap BP180 yang dikenali
oleh mayoritas pasien BP dan MMP (Zillikens, et al., 1999; Barnadas., et
al., 2010).
49

BAB 4
KESIMPULAN

Lichenoid Tissue Reaction/Interface Dermatitis telah diperkenalkan dalam


dermatologi sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Konsep tersebut untuk
mendefinisikan sejumlah penyakit kulit inflamasi yang dihubungkan dengan
adanya tanda-tanda histopatologis. Kemudian, mukosa mulut, layaknya kulit,
dipengaruhi oleh berbagai Oral Lichenoid Lesions (OLLs) yang kemungkinan
mewakili pola reaksi umum segaia respon terhadap antigen ekstrinsik, self-antigen
yang berubah atau superantigen. Lesi likenoid di mulut ini telah dicoba untuk
diklasifikasikan oleh consensus, namun sayangnya konsensus ini gagal
memberikan kriteria klinis dan histologis yang dapat diandalkan. Oleh karena itu,
review article ini ditulis setelah para ahli sebelumnya melakukan pembahasan
lebih lanjut mengenai lesi likenoid.

Oral Lichenoid Reactions atau Lesions (OLR/OLL) adalah perkembangan


klinis dan histologis Oral Lichen Planus (OLP) yang sering tidak dapat dibedakan
dalam manifestasinya. Patokan pembeda antara kedua kelompok tersebut adalah
hubungan OLR/OLL dengan faktor pencetus yang diketahui, yang ketika
teridentifikasi dan dieliminasi, sering menyebabkan regresi pada lesi.

Reaksi jaringan likenoid mulut adalah kondisi yang sering dijumpai


dengan prevalensi 2,4% pada populasi umum. Lesi ini terjadi umumnya di
mukosa mulut orang dewasa, sering dijumpai pada wanita dengan usia rata-rata
berusia 53 tahun. Sebagian besarlesi berada pada mukosa bukal, perbatasan lateral
lidah dan mukosa mulut bibir, ketika dikaitkan dengan restorasi komposit.

Sebuah literatur menyebutkan bahwa OLR dapat diklasifikasikan


berdasarkan penyebabnya, yakni OLR yang berhubungan dengan restrasi gigi,
OLR yang diinduksi oleh obat-obatan, OLR pada Graft Versus Host Disease, dan
OLR yang tidak dapat diklasifikasikan (Unclassified-OLR). Namun, literatur lain
menyebutkan bahwa klasifikasi OLR tidak sesederhana itu sebagaimana
disebutkan bahwa pengamatan pada literatur selama 5 tahun terakhir, telah
50

didapati peningkatan pengertian terhadap mekanisme pathogen yang mendasari


OLP dan OLTR lain dapat membantu untuk mengidentifikasi dan membedakan
penyakit ini dengan lebih baik. Model hewan atau eksperimental baru OLTR,
terutama ditekankan pada rongga mulut, harus dikembangkan.

Meskipun seperti tumpang tindih antara faktor risiko dapat penyebab


OLR, tetapi OLR memang dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti penggunaan
material gigi, penggunaan obat-obatan, keadaan sistemik tertentu, dan beberapa
alergen. Penyebab dan faktor resiko ini kemudian menjadi antigen bagi tubuh
sehingga terjadi disregulasi imun. Proses imunologis dalam pathogenesis OLR
yaitu adanya reaksi hipersenistivitas tipe IV yang utamanya melibatkan sel
Limfosit T.

Dalam proses tersebut, terjadi juga aktivitas sitotoksik hingga mukosa


mulut mengalami apoptosis. Hal tersebut dapat dilihat secara klinis, misalnya
berupa lesi keputihan atau kemerahan hingga terbentuk ulser pada mukosa. Untuk
mendukung temuan klinis dalam mendiagnosis OLR, pemeriksaan histologis dan
Patch Test dapat dilakukan.

Pada saat ini masih tidak ada obat untuk OLP. Perawatan saat ini hanya
bersifat paliatif dan penatalaksanaan secara umumnya hanya empiris. Peawatan
tersebut bertujuan untuk menjaga kebersihan gigi dan mulut. Penatalaksanaan
OLP hanya untuk kasus yang mempunyai gejala. Kortikosteroid Topikal dan obat
topikal yang lain, misalnya Cyclosporine atau Retinoid, dapat digunakan. Pada
kasus yang berat, injeksi Kortikosteroid pada lesi atau Kortikosteroid secara
sistemik dapat diberikan.

Sejumlah lesi likenoid dipengaruhi oleh mukosa mulut, yang etiologinya


dihubungkan dengan infeksi, inflamasi, displasia, dan kondisi yang dimediasi oleh
imun, yang mengakibatkan perbedaan pada diagnosis dan prognosis. Tetapi, ciri
klinis dan patologis mereka bertumpang tindih dan menyebabkan dilema
diagnostik bagi dokter. Membedakan jenis OLR yang satu dengan yang lain
adalah wajib karena beberapa OLR (seperti GVHD), reaksi likenoid akibat
amalgam, DLE mempunyai kecenderungan tinggi untuk keganasan.
51

DAFTAR PUSTAKA

Aguirre, Urizar J. M., Letter to the editor: oral lichenoid disease. A new
classification proposal. Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2008;13(4):E224.
Al-Hashimi, I., Schifter, M., Lockhart, P.B., et al., Oral lichen planus and oral
lichenoid lesions : diagnostic and therapeutic considerations. Oral Surg
Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2007; 103(Suppl):S25.e21-12.
Al-Hashimi, I., Schifter, M., Lockhart, P.B., Wray, D., Brennan, M., Migliorati,
C.A., et al, dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral
Lichenoid Reaction: A Review. International Journal of Oral &
Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):22.

Andreasen, J.O., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral
Lichen Planus and Lichenoid Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis,
Management, and Malignant Transformation. Journal of Oral Science.
Vol. 49, No. 2: 93.

Anhalt, G. J., Kim, S. C., Stanley, J. R., et al. Paraneoplastic pemphigus. An


autoimmune mucocutaneous disease associated with neoplasia. N Engl J
Med 1990;323(25): 1729-35.
Apriasari, M. L., Oral lichenoid reaction pada pasien pengonsumsi obat hipertensi
angiotensin receptor blocker. Jurnal PDGI 2012; 61(3) : 88-91.

Baccaglini, L., Thongprasom, K., Carrozzo, M., Bigby, M., Urban legends series:
lichen planus. Oral Dis 2013; 19(2) : 128-43.
Barbosa, M. O., et al. Oral lichenoid lesions associated with amalgam
restorations : report of two cases. Rev Odonto Cienc 2011; 26(3) : 258-61.

Barnadas, M. A., Roe, E., Dalmau, J., et al., Lichen planus pemphigoides:
detection of anti-BP 180 antibodies by ELISA and immunoblotting tests. J
Eur Acad Dermatol Venereol 2010; 24(11): 1360-1.
52

Bratel, J., Hakeberg, M., Jontell, M., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K,
2012, dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):21

Bricker,S.L., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen
Planus and Lichenoid Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis,
Management, and Malignant Transformation. Journal of Oral Science.
Vol. 49, No. 2: 93.

Buijsrogge, J. J., Hagel, C., Duske, U., et al., IgG antibodies to BP180 in a subset
of oral lichen planus patients. J Dermatol Sci 2007; 47(3) : 256-8.
Cacciapuoti, M., Di Marco, E., Cozzani, E., et al., The antibody to the 70-kd
antigen in chronic ulcerative stomatitis and lichen planus. J Am Acad
Dermatol 2004; 50(3): 486.
Calabresi, V., Carrozzo, M., Cozzani, E., et al., Oral pemphigoid autoantibodies
preferentially target BP180 ectodomain. Clin Immunol 2007; 122(2) :
207-13.
Carrizosa, A. M., Elorza, F. L., Camacho, F. M.., Antinuclear antibodies in
patients with lichen planus. Exp Dermatol 1997;6(1): 54-6.
Carrozzo, M., A reappraisal of diagnostic criteria for mucous membrane
pemphigoid. J Oral Pathol Med 2009;38(1):160.
Carrozzo, M., Thorpe, R., Oral lichen planus: a review. Minerva Stomatol
2009;58(10): 519-37.
Carrozzo, M., Togliatto, M., Gandolfo, S., [Erythema multiforme. A
heterogeneous pathologic phenotype]. Minerva Stomatol 1999;48(5): 217-
26.
Carrozzo, M., Uboldi de Capei, M., Dametto, E., et al. Tumor necrosis factor-
alpha and interferon-gamma polymorphisms contribute to susceptibility
to oral lichen planus. J Invest Dermatol 2004;122(1):87-94.
53

Cederbrant, K, Gunnarsson, L.G., Hultman, P., et al., In vitro lymphoproliferative


assays with HgCl2 cannot identify patients with systemic symptoms
attributed to dental amalgam. J Dent Res 1999;78(8):1450-8.
Choi, H. R., Batsakis, J. G., Zhan, F., et al., Differential expression of p53 gene
family members p63 and p73 in head and neck squamous tumorigenesis.
Hum Pathol 2002; 33(2): 158-64.
Chong, B. F., Tseng, L. C., Lee, T., et al. IgG and IgM autoantibody differences in
discoid and systemic lupus patients. J Invest Dermatol 2012; 132(12):
2770-9.
Cobos-Fuentes, M.J., Martinez-Sahuquillo-Maarquez, A., Gallardo-Castillo, I.,
Armas-Padron, J.R., Moreno-Fernandez, A., Bullon-Fernandez, P., dalam
Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A
Review. International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology.
2012;3(4):22

Cohen, D. M., Ben-Amitai, D., Feinmesser, M., Zvulunov, A., Childhood lichen
planus pemphigoides: a case report and review of the literature. Pediatr
Dermatol 2009;26(5): 569-74.
Cortes-Ramirez D.A., Gainza-Cirauqui M.L., Echebarria-Goikouria M.A.,
Aguirre-Urizar, J.M., Oral lichenoid disease as a premalignant
condition: the controversies and the unknown. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal 2009;14(3):E118-22.
Cozzani E, Di Zenzo G, Calabresi V, et al., Anti-desmoplakin antibodies in
erythema multiforme and Stevens-Johnson syndrome sera: pathogenic or
epiphenomenon? Eur J Dermatol 2011; 21(1): 32-6.
Cutler, T.P., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):19.

De Roux, Serratrice C., Serratrice, J., Granel, B., et al., [Stevens-Johnson


syndrome followed by Gougerot-Sjogren syndrome]. Presse Med
2001;30(11):531-2
54

Dickinson, A.M., Sviland, L., Wang, X. N., et al. Predicting graft-versus-host


disease in HLA-identical bone marrow transplant: a comparison of T-cell
frequency analysis and a human skin explant model. Transplantation
1998;66(7):857-63.
Do Prado, R.F., Marocchio, L.S., Felipi, R.C., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal
of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):19.

Dudhia, B. B., Dudhia, S. B., Patel, P. S., Jani, Y. V., Oral lichen planus to oral
lichenoid lesions : Evolution or revolution. Journal of Oral and
Maxillofacial Pathology 2015; 19(3) : 364-370.

Dumas, V., Thieulent, N., Souillet, A. L., et al., Recurrent erythema multiforme
and chronic hepatitis C: efficacy of interferon alpha. Br J Dermatol 2000;
142(6): 1248-9.
Dunsche, A., Frank, M. P., Luttges, J., et al., Lichenoid reactions of murine
mucosa associated with amalgam. Br J Dermatol 2003;148(4):741-8.
Dunsche, A., Kastel, I., Terheyden, H., Springer, I.N.G., Chirstopers, E., Brasch,
J., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):21

Dutz, J.P., T-cell mediated injury to keratinocytes: insights from animal models of
the lichenoid tissue reaction. J Invest Dermatol 2009; 129(2) : 309-14.

Ebrahimi, M., Nylander, E., Backlund, B., et al., The use of a novel ELISA method
for detection of antibodies against p63 in sera from patients diagnosed
with oral and/or genital and skin lichen planus. J Oral Pathol Med
2010;39(6):486-90.
Eisen, D., Carrozzo, M., Bagan, Sebastian J.V., Thongprasom, K., Number V
Oral lichen planus: clinical features and management. Oral Dis
2005;11(6):338-49.
Eisen, D., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen
Planus and Lichenoid Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis,
55

Management, and Malignant Transformation. Journal of Oral Science.


Vol. 49, No. 2: 93.

Fernando, M. M., Stevens, C. R., Sabeti, P. C., et al., Identification of two


independent risk factors for lupus within the MHC in United Kingdom
families. PLoS Genet 2007; 3(11): e192.
Filipovich, A. H., Diagnosis and manifestations of chronic graft-versus-host
disease. Best Pract Res Clin Haematol 2008; 21(2):251-7.
Foedinger, D., Anhalt, G.J., Boecskoer, B., et al.,Autoantibodies to desmoplakin I
and II in patients with erythema multiforme. J Exp Med 1995; 181(1): 169-
79.
Fourie, J., van Heerden, W. F., McEachen, S. C., van Zyl, A., Chronic ulcerative
stomatitis: a distinct clinical entity? SADJ 2011; 66(3): 119-21.
Fritzler, M. J., Toward a new autoantibody diagnostic orthodoxy: understanding
the bad, good and indifferent. Autoimmunity Highlights 2012;3(2):51-8.
Gandolfo, S., Richiardi, L., Carrozzo, M., et al. Risk of oral squamous cell
carcinoma in 402 patients with oral lichen planus: a follow-up study in an
Italian population. Oral Oncol 2004;40(1):77-83.
Guidelines for referral and management of systemic lupus erythematosus in
adults. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on
Systemic Lupus Erythematosus Guidelines. Arthritis Rheum
1999;42(9):1785-96.
Hamada, T., Fujimoto, W., Okazaki, F., et al., Lichen planus pemphigoides and
multiple keratoacanthomas associated with colon adenocarcinoma. Br J
Dermatol 2004; 151(1): 252-4.
Harley, I. T., Kaufman, K. M., Langefeld, C.D., et al., Genetic susceptibility to
SLE: new insights from fine mapping and genome-wide association
studies. Nat Rev Genet 2009;10(5):285-90.
Harley, J. B., Alarcon-Riquelme, M. E., Criswell, L. A., et al., Genome-wide
association scan in women with systemic lupus erythematosus identifies
susceptibility variants in ITGAM, PXK, KIAA1542 and other loci. Nat
Genet 2008;40(2):204-10.
56

Helander, S.D., Rogers, R.S., 3rd. The sensitivity and specificity of direct
immunofluorescence testing in disorders of mucous membranes. J Am
Acad Dermatol 1994;30(1):65-75.

Helou, J., Allbritton, J., Anhalt, G. J., Accuracy of indirect immunofluorescence


testing in the diagnosis of paraneoplastic pemphigus. J Am Acad
Dermatol 1995; 32(3): 441-7.
Hinterhuber, G., Binder, M., Marquardt, Y., et al., Enzyme-linked immunosorbent
assay for detection of peptide-specific human antidesmoplakin
autoantibodies. Br J Dermatol 2005; 153(2): 413-16.
Hiremath, S.K.S., Kale, A.D., Charantimath, S. Oral Lichenoid Lesions: Clinico-
pathological Mimicry and Its Diagnostic Implications. Indian Journal of
Dental Research. 2011; 22(6):827-834.
Holmstrup, P., Reactions of the oral mucosa related to silver amalgam: a review.
J Oral Pathol Med 1991;20(1):1-7.
Holmstrup, P., Thorn, J. J., Rindum, J., Pindborg, J. J., Malignant development of
lichen planus-affected oral mucosa. J Oral Pathol 1988;17(5):219-25.
Hung, T., Ian, Crawford R., Martinka, M., Degree of histologic inflammation in
lupus erythematosus and direct immunofluorescence results: red and
inflamed lesions do not increase the chances of getting a bright band. J
Cutan Med Surg 2013; 17(1): 22-6.
Imanguli, M. M., Alevizos, I., Brown, R., et al., Oral graft-versus-host disease.
Oral Dis 2008;14(5):396-412.
Ingafou, M., Leao, J.C., Porter, S.R., Scully, C., dalam Ismail, S. B., Kumar,
S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen Planus and Lichenoid Reactions:
Etiopathogenesis, Daignosis, Management, and Malignant
Transformation. Journal of Oral Science. Vol. 49, No. 2: 93.

Ismail, S.B., Kumar, K.S., Zain, R.B., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele,
K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal of Oral
& Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):22
57

Ismail, S.B., Kumar, S.K., Zain, R.B., Oral lichen planus and lichenoid reactions
: etiopathogenesis, diagnosis, management and malignant
transformation. J Oral Sci 2007;49(2):89-106.
Jaremko WM, Beutner EH, Kumar V, et al., Chronic ulcerative stomatitis
associated with a specific immunologic marker. J Am Acad Dermatol
1990;22(2 Pt 1):215-20.
Jarvinen, T. M., Hellquist, A., Koskenmies, S., et al., Polymorphisms of the
ITGAM gene confer higher risk of discoid cutaneous than of systemic
lupus erythematosus. PLoS One 2010;5(12): e14212.
Jarvinen, T. M., Hellquist, A., Koskenmies, S., et al., Tyrosine kinase 2 and
interferon regulatory factor 5 polymorphisms are associated with discoid
and subacute cutaneous lupus erythematosus. Exp Dermatol
2010;19(2):123-31.
Jeeva, S. S., Janita, S., dan Ananthalakshmi, R., Oral Lichenoid Reaction – An
Overeview. IOSR Journal of Dental and Medical Science (IOSRD-JDMS)
2016; 15(6) : 56-58.

Jensen, S.J., Maximum contents of mercury in dental silver amalgams. Scand J


Dent Res 1985;93(1):84-8.
Jin, X., Wang, J., Zhu, L., et al. Association between -308 G/A polymorphism in
TNF-αlpha gene and lichen planus: a meta-analysis. J Dermatol Sci
2012;68(3) : 127-34.
Johnson, S. M., Smoller, B. R., Horn, T. D., Erythema multiforme associated
human autoantibodies against desmoplakin I and II. J Invest Dermatol
1999; 112(3): 395-6.
Jonsson R, Heyden G, Westberg NG, Nyberg G. Oral mucosal lesions in systemic
lupus erythematosus – a clinical, histopathological and
immunopathological study. J Rheumatol 1984;11(1):38-42.
Jorizzo JL, Salisbury PL, Rogers RS 3rd, et al. Oral lesions in systemic lupus
erythematosus. Do ulcerative lesions represent a necrotizing vasculitis? J
Am Acad Dermatol 1992;27(3):389-94.
58

Kadam, N. S., et al. Duloxetine Hydrochloride-Induced Oral Lichenoid Reaction :


A Case Report. Med Princ Pract 2015; 24 : 394-397.

Kamath, V. V., Setlur, K., Yerlagudda, K., Oral Lichenoid Lesions – A Review
and Update. Indian J Dermatol 2015; 60(1) : 102-106.

Khudhur, A.S., Di Zenzo, G.,Carrozzo, M., 2014. Oral Lichenoid Tissue


Reactions: Diagnosis and Classification. Expert Rev. Mol. Diagn. Early
online, 1–16 (2014)

Lamey, P. J., McCartan, B. E., MacDonald, D. G., MacKie, R. M., Basal cell
cytoplasmic autoantibodies in oral lichenoid reactions. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1995; 79(1) : 44-9.
Lamey, P.J., McCartan, B.E., MacDonald D.G., MacKie, R.M., dalam Sarode,
S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review.
International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):20.

Lamey, P.J., McCartan, B.E., MacDonald, D.G., MacKie, R.M., dalam Ismail, S.
B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen Planus and Lichenoid
Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis, Management, and Malignant
Transformation. Journal of Oral Science. Vol. 49, No. 2: 94.

Lee, H. Y., Blazek, C., Beltraminelli, H., Borradori, L., Oral mucous membrane
pemphigoid: complete response to topical tacrolimus. Acta Derm
Venereol 2011; 91(5): 604-5.
Lee, J. S., Haug, B. L., Sibley, J. T., Decreased mRNA levels coding for
poly(ADP-ribose) polymerase in lymphocytes of patients with SLE. Lupus
1994; 3(2): 113-16.
Lee, L. A., Walsh, P., Prater, C. A., et al., Characterization of an autoantigen
associated with chronic ulcerative stomatitis: the CUSP autoantigen is a
member of the p53 family. J Invest Dermatol 1999; 113(2): 146-51.
Licarete, E., Ganz, S., Recknagel, M. J., et al., Prevalence of collagen VII-specific
autoantibodies in patients with autoimmune and inflammatory diseases.
BMC Immunol 2012; 13:16.
59

Lind, P.O., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):19.

Lind, P.O., Hurlen, B., Lyberg, T., Aas, E., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal
of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):19.

Liu, A. Y., Valenzuela, R., Helm, T. N., et al., Indirect immunofluorescence on


rat bladder transitional epithelium: a test with high specificity for
paraneoplastic pemphigus. J Am Acad Dermatol 1993; 28(5 Pt 1): 696-9.
Liu, Q., Bu, D. F., Li, D., Zhu, X. J., Genotyping of HLA-I and HLA-II alleles in
Chinese patients with paraneoplastic pemphigus. Br J Dermatol
2008;158(3):587-91.
Lodi G, Pellicano R, Carrozzo M. Hepatitis C virus infection and lichen planus: a
systematic review with meta-analysis. Oral Dis 2010;16(7):601-12.
Madalli, V., dan Basavaraddi, S. M., Lichen Planus – A Review. IOSR Journal of
Dental and Medical Science (IOSRD-JDMS) 2013; 12(1) : 61-69.

Maoz, K. B., Brenner, S., Lichen planus pemphigoides triggered by narrowband


UVB, paracetamol, and ibuprofen, with autoantibodies to 130kDa antigen.
Skinmed 2008; 7(1): 33-6.
Martel, P., Loiseau, P., Joly, P., et al., Paraneoplastic pemphigus is associated
with the DRB1*03 allele. J Autoimmun 2003; 20(1):91-5.
Mc Cartan, B.E., McCreary, C.E., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K,
2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal of Oral &
Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):19

McCartan, B. E., Lamey, P., Lichen planus –specific antigen in oral lichen planus
and oral lichenoid drug eruptions. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral
Radiol Endod 2000;89(5):585-7.
McCartan, B.E., McCreary, C. E., Oral lichenoid drug eruptions. Oral Dis 1997;
3(2):58-63.
60

McCauliffe, D. P., Cutaneous lupus erythematosus. Semin Cutan Med Surg


2001;20(1):14-26.
McParland, H., Warnakulasuriya, S., Oral lichenoid contact lesions to mercury
and dental amalgam – a review. J Biomed Biotechnol 2012; 2012 : 589-
569.
Meroni P. L., Schur P. H., ANA screening: an old test with the new
recommendations. Ann Rheum Dis 2010; 69(8) : 1420-2.

Mignogna, M. D., Fortuna, G., Leuci, S., et al., Lichen planus pemphigoides, a
possible example of epitope spreading. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod 2010; 109(6): 837-43
Mockenhaupt, M., The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 2011;7(6):803-13.
Murray, J.J., Nunn, J.H., Steele, J.G. The Prevention of Oral Disease. OUP
Oxford. 2003;182.
Nagao, K., Chen, K. R., A case of lupus erythematosus/lichen planus overlap
syndrome. J Dermatol 2006;33(3): 187-90.
Namjou, B., Kothari, P. H., Kelly, J. A., et al., Evaluation of the TREX1 gene in a
large multi-ancestral lupus cohort. Genes Immun 2011; 12(4): 270-9.
Nguyen, V.T., Ndoye, A., Bassler, K.D., et al., Classification, clinical
manifestations, and immunopathological mechanisms of the epithelial
variant of paraneoplastic autoimmune multiorgan syndrome: a
reappraisal of paraneoplastic pemphigus. Arch Dermatol
2001;137(2):193-206.
Nico, M. M., Vilela, M. A., Rivitti, E. A., Lourenco, S. V., Oral lesions in lupus
erythematosus: correlation with cutaneous lesions. Eur J Dermatol 2008;
18(4): 376-81.
Nieboer, C., The reliability of immunofluorescence and histopathology in the
diagnosis of discoid lupus erythematosus and lichen planus. Br J Dermatol
1987; 116(2):189-98.
61

Nikolskaia, O. V., Nousari, C. H., Anhalt, G. J., Paraneoplastic pemphigus in


association with Castleman’s disease. Br J Dermatol 2003;149(6):1143-
51.
Noel B,. Lupus erythematosus and other autoimmune diseases related to statin
therapy: a systematic review. J Eur Acad Dermatol Venereol 2007;21(1):
17-24.
Nyfeler, B., Pichler, W. J., The lymphocyte transformation test for the diagnosis of
drug allergy: sensitivity and specificity. Clin Exp Allergy 1997;27(2):175-
81.
Oke, V., Wahren-Herlenius, M., Cutaneous lupus erythematosus: clinical aspects
and molecular pathogenesis. J Intern Med 2013; 273(6): 544-54.
Oliveira D., Souto GR., Goes C. 2015. World Journal of Stomatology : Oral
lichenoid lesion.

Oyama, N., Setterfield, J. F., Gratian, M. J., et al., Oral and genital lichenoid
reactions associated with circulating autoantibodies to desmoplakins I and
II: a novel target antigen or example of epitope spreading? J Am Acad
Dermatol 2003; 48(3): 433-8.
Ozkaya E. Oral mucosal fixed drug eruption: characteristics and differential
diagnosis. J Am Acad Dermatol 2013;69(2): e51-8.
Parodi A, Cozzani E, Massone C, et al., Prevalence of stratified epithelium-
specific antinuclear antibodies in 138 patients with lichen planus. J Am
Acad Dermatol 2007; 56(6):974-8.
Parodi, A., Cozzani, E., Chorzelski, T.P., et al., A molecule of about 70 kd is the
immunologic marker of chronic ulcerative stomatitis. J Am Acad
Dermatol 1998; 38(6 Pt 1): 1005-6.
Pennys, N.S., Ackerman, A.B., Gotlieb, N.L., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S.,
Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal
of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):21
62

Petti, S., Rabiei, M., De Luca, M., Scully, C., The magnitude of the association
between hepatitis C virus infection and oral lichen planus: meta-analysis
and case control study. Odontology 2011;99(2):168-78.
Pilli, M., Penna, A., Zerbini, A., et al., Oral lichen planus pathogenesis: a role for
the HCV-specific cellular immune response. Hepatology 2002;36(6) :
1446-52.
Pindborg, J.J., Reichart, P.A., Smith, C.J., van der Waal, I., dalam Ismail, S. B.,
Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen Planus and Lichenoid
Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis, Management, and Malignant
Transformation. Journal of Oral Science. Vol. 49, No. 2: 93

Pinkus H., Lichenoid tissue reactions : A speculative review of the clinical


spectrum of epidermal basal cell damage with special reference to
erythema dyschromicum perstans. Arch Dermatol 1973;107(6):840-6.
Poot, A. M., Diercks, G. F., Kramer, D., et al., Laboratory diagnosis of
paraneoplastic pemphigus. Br J Dermatol 2013;169(5): 1016-24.
Potts, A.J.C., Hamburger, J., Scully, C., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele,
K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review. International Journal of Oral
& Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):20

Probst, C., Schlumberger, W., Stocker, W., et al., Development of ELISA for the
specific determination of autoantibodies against envoplakin and periplakin
in paraneoplastic pemphigus. Clin Chim Acta 2009; 410(1-2): 13-18.
Profaizer, T., Eckels, D., HLA alleles and drug hypersensitivity reactions. Int J
Immunogenet 2012;39(2):99-105.
Rinaggio J, Crossland DM, Zeid MY. A determination of the range of oral
conditions submitted for microscopic and direct immunofluorescence
analysis. J Periodontol 2007; 78(10): 1904-10.
Rodstrom, P.O., Jontell, M., Mattsson, U., Holmberg, E., Cancer and oral lichen
planus in a Swedish population. Oral Oncol 2004; 40(2):131-8.
63

Sapadin, A. N., Phelps, R. G., Fellner, M. J., Kantor, I., Lichen planus
pemphigoides presenting with a strikingly unilateral distribution. Int J
Dermatol 1998; 37(12): 942-6.
Sarode, C. S., Sarode, G. S., dan Kalele, K., Oral Lichenoid Reaction : A Review.
International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology 2012; 3(4) : 17-
26.

Savage, N.W., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):21

Schepens, I., Jaunin, F., Begre, N., et al., The protease inhibitor alpha-2-
macroglobulin like-1 is the p170 antigen recognized by paraneoplastic
pemphigus autoantibodies in human. PLoS One 2010;5(8):e12250.
Schlosser, B.J., Lichen planus and lichenoid reactions of the oral mucosa.
Dermatol Ther 2010;23(3):251-67.
Scully, C., Carrozzo, M., Oral mucosal disease: lichen planus. Br J Oral
Maxillofac Surg 2008;46(1):15-21.
Seno, K., Ohno, J., Ota, N., et al., Lupus-like oral mucosal lesions in mercury-
induced autoimmune response in Brown Norway rats. BMC Immunol
2013;14:47.
Shengyuan, L., Songpo, Y., Wen, W., et al., Hepatitis C virus and lichen planus :
a reciprocal association determined by a meta-analysis. Arch Dermatol
2009;145(9): 1040-7.
Solomon, L. W., Chronic ulcerative stomatitis. Oral Dis 2008; 14(5): 383-9.
Solomon, L. W., Helm, T. N., Stevens, C., et al., Clinical and immunopathologic
findings in oral lichen planus pemphigoides. Oral Surg Oral Med Oral
Pathol Oral Radiol Endod 2007; 103(6): 808-13.
Sontheimer, R.D., Lichenoid tissue reaction/ interface dermatitis: clinical and
histological perspectives. J Invest Dermatol 2009;129(5): 1088-99.
Stoebner, P. E., Michot, C., Ligeron, C., et al. [Simvastatin-induced lichen planus
pemphigoides]. Ann Dermatol Venereol 2003;130 (2 Pt 1): 187-90.
64

Tamada, Y., Yokochi, K., Nitta, Y., et al., Lichen planus pemphigoides:
identification of 180 kd hemidesmosome antigen. J Am Acad Dermatol
1995; 32(5 Pt 2): 883-7.
Tan, E. M., Cohen, A. S., Fries, J. F., et al., The 1982 revised criteria for the
classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
1982;25(11):1271-7
Tao, D., Shangwu, L., Yan, L., et al. Retraction: CD226 expression deficiency
causes high sensitivity to apoptosis in NK T cells from patients with
systemic lupus erythematosus. J Immunol 2012;188(11): 5800.
Thompson, D. F., Skaehill, P.A., Drug-induced lichen planus. Pharmacotherapy
1994;14(5): 561-71.
Thorn, J.J., Holmstrup, P., Rindum, J., Pindborg, J.J., dalam Ismail, S. B., Kumar,
S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen Planus and Lichenoid Reactions:
Etiopathogenesis, Daignosis, Management, and Malignant
Transformation. Journal of Oral Science. Vol. 49, No. 2: 93.

Thornhill, M.H., Pemberton, M. N., Simmons, R. K., Theaker, E. D., Amalgam-


contact hypersensitivity lesions and oral lichen planus. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2003;95(3) : 291-9.
Thornhill, M.H., Pemberton, M.N., Simmons, R.K., Theaker, E.D., dalam Sarode,
S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid Reaction: A Review.
International Journal of Oral & Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):20-21

Thornhill, M.H., Sankar, V., Xu, X.J., Barrett, A.W., High, A.S., Odell, E.W., et
al, dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):21

Van den Haute, V., Antoine, J. L., Lachapelle, J. M., Histopathological


discriminant criteria between lichenoid drug eruption and idiopathic
lichen planus : retrospective study on selected samples. Dermatologica
1989;179(1):10-13.
65

Van der Meij, E.H., Mast, H., Van der Waal, I. The Possible Premalignant
Character of Oral Lichen Planus and Oral Lichenoid Lesions: A
Prospective Five-Year Follow-Up Study of 192 Patients. Oral Oncol.
2007; 43:742–8.
Van der Meij, E.H., Van der Waal, I., Lack of clinicopathologic correlation in
the diagnosis of oral lichen planus based on the presently available
diagnostic criteria and suggestions for modifications. J Oral Pathol Med
2003; 32(9):507-12.
Van der Waal, I., Oral lichen planus and oral lichenoid lesions; a critical
appraisal with emphasis on the diagnostic aspects. Med Oral Patol Oral
Cir Bucal 2009;14(7): E310-14.
Vassileva, S., Drug-induced pemphigoid: bullous and cicatricial. Clin Dermatol
1998; 16(3): 379-87.
Von Blomberg-van der Flier, M., Van der Burg, C.K., Pos, O., et al., In vitro
studies in nickel allergy: diagnostic value of a dual parameter analysis. J
Invest Dermatol 1987;88(4):362-8
Waal, Isaac, Oral lichen planus and oral lichenoid lesions : a critical appraisal
with emphasis on the diagnostic aspects. Med Oral Patol Cir Bucal 2009;
14(7) : E310-4.

Wang, X. N., Collin, M., Sviland, L., et al., Skin explant model of human graft-
versus-host disease: prediction of clinical outcome and correlation with
biological risk factors. Biol Blood Marrow Transplant 2006;12(2): 152-9.
Washio, K., Nakamura, A., Fukuda, S., et al., A case of lichen planus
pemphigoides successfully treated with a combination of cyclosporine a
and prednisolone. Case Rep Dermatol 2013; 5(1): 84-7.
Webster, K., Godbold, P., Nicorandil induced oral ulceration. Br Dent J 2005;
198(10): 619-21.
Wilson, D,J., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral Lichenoid
Reaction: A Review. International Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology. 2012;3(4):21
66

Winer, L.H., Leeb, A.J., dalam Sarode, S.C., Sarode, G.S., Kalele, K, 2012. Oral
Lichenoid Reaction: A Review. International Journal of Oral &
Maxillofacial Pathology. 2012;3(4):21

Woo, S. B., Lee, S. J., Schubert MM. Graft-vs.-host disease. Crit Rev Oral Biol
Med 1997; 8(2):201-16.
Yoon, K. H., Kim, S. C., Kang, D. S., Lee, I. J., Lichen planus pemphigoides with
circulating autoantibodies against 200 and 180 kDa epidermal antigens.
Eur J Dermatol 2000; 10(3): 212-14.
Yuan, A., dan Woo, S. B., Adverse drug events in the oral cavity. Oral Surg. Oral
Med. Oral Pathol. Oral radiol. 2015; 119(1) : 35-47.

Zaraa, I., Mahfoudh, A., Sellami, M. K., et al., Lichen planus pemphigoides: four
new cases and a review of the literature. Int J Dermatol 2013;52(4):406-
12.
Zegarelli, D.J., dalam Ismail, S. B., Kumar, S.K.S, Zain, R.B., 2007. Oral Lichen
Planus and Lichenoid Reactions: Etiopathogenesis, Daignosis,
Management, and Malignant Transformation. Journal of Oral Science.
Vol. 49, No. 2: 93.

Zillikens, D., Caux, F., Mascaro, J. M., et al,. Autoantibodies in lichen planus
pemphigoides react with a novel epitope within the C-terminal NC16A
domain of BP180. J Invest Dermatol 1999;113(1): 117-21.

You might also like