Professional Documents
Culture Documents
Soewardi adalah Menteri Pendidikan pertama setelah Indonesia merdeka. Dia ditetapkan
Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada 1959, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 305
Tahun 1959.
Dalam sistem yang dia kembangkan, Ki Hadjar Dewantara mengeluarkan “10 Fatwa akan Sendi
Hidup Merdeka”. Di belakang hari, ajaran ini dikenal dan dikaji lagi antara lain dengan
penyebutan beken “pendidikan karakter”.
Seperti dikutip dari salah satu situs web lembaga pendidikan Taman Siswa, kesepuluh fatwa Ki
Hajar Dewantara tersebut berikut penjelasannya adalah:
Terjemahan bebasnya, "dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan". Penjelasan poin ini
mencakup pula frasa lain, yaitu sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu, yang
terjemahannya, "ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan
kebiadaban".
Merujuk situs web tersebut, fatwa ini menjelaskan bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada
dasarnya sama, sama haknya dan sama kewajibannya, sama haknya mengatur hidupnya serta
sama haknya menjaIankan kewajiban kemanusiaan untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan
bahagia daIam hidup batinnya. Intinya, jangan kita hanya mengejar keselamatan lahir, dan
jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.
Penjelasan fatwa ini, ”Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh
kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita iaIah hak-hak orang lain yang
seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan
bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan
bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan 'hak
diri' kalau tidak bersama-sama dengan ucapan 'tertib damainya masyarakat', agar jangan sampai
hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup
bersama, yang juga merusak kita masing-masing.
Penjelasannya, bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam
khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam
kebangsaan, dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa, dan rasa kemanusiaan, ketiga-tiganya
hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia, yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya.
7. Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada sang anak
Dalam mendidik, penghambaan kepada sang anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri.
Sungguh pun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada sang anak, tetapi yang memerintahkan
kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, melainkan diri kita
masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara, pada rakyat, dan
agama, atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencapai
rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.
8. Tetep–mantep–antep
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus memiliki ketetapan hati (tetep), termasuk
tekun bekerja, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita
harus selalu mantep, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang akan dapat
menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita. Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita, lalu
mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan antep, yaitu berat berisi dan berharga, tak
mudah dihambat, ditahan-tahan, dan dilawan oleh orang lain.
9. Ngandel–kendel–bandel
Kita harus ngandel, percaya, kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. Kendel,
berani, tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya kepada Tuhan dan kepada diri
sendiri. Bandel, yang berarti tahan dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi kendel,
tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.
10. Neng-ning–nung–nang
Dengan meneng (neng), tenteram lahir batin, tidak nervous, kita menjadi wening (ning), bening,
jernih pikiran kita, mudah membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu kita menjadi
hanung (nung), kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita, hingga akhirnya
menang (nang) dan mendapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.
Apa Ajaran Ki Hadjar Dewantara?
Palupi Annisa Auliani
Kompas.com - 02/05/2017, 13:43 WIB
Pelajar sekolah dasar di Desa Pasir Putih, Aceh Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, melintasi
jalan semak blukar dengan berjalan kaki menuju ke sekolah, Kamis (13/4/2017)
(KOMPAS.COM/RAJA UMAR)
Fatwa ajaran
Soewardi adalah Menteri Pendidikan pertama setelah Indonesia merdeka. Dia ditetapkan
Pemerintah sebagai Pahlawan Nasional pada 1959, yaitu melalui Keputusan Presiden Nomor 305
Tahun 1959.
Dalam sistem yang dia kembangkan, Ki Hadjar Dewantara mengeluarkan “10 Fatwa akan Sendi
Hidup Merdeka”. Di belakang hari, ajaran ini dikenal dan dikaji lagi antara lain dengan
penyebutan beken “pendidikan karakter”.
Seperti dikutip dari salah satu situs web lembaga pendidikan Taman Siswa, kesepuluh fatwa Ki
Hajar Dewantara tersebut berikut penjelasannya adalah:
Terjemahan bebasnya, "dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan". Penjelasan poin ini
mencakup pula frasa lain, yaitu sastra herjendrayuningrat pangruwating dyu, yang
terjemahannya, "ilmu yang luhur dan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan
kebiadaban".
Merujuk situs web tersebut, fatwa ini menjelaskan bahwa bagi Tuhan semua manusia itu pada
dasarnya sama, sama haknya dan sama kewajibannya, sama haknya mengatur hidupnya serta
sama haknya menjaIankan kewajiban kemanusiaan untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan
bahagia daIam hidup batinnya. Intinya, jangan kita hanya mengejar keselamatan lahir, dan
jangan pula hanya mengejar kebahagiaan hidup batin.
Penjelasan fatwa ini, ”Sebagai peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh
kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita iaIah hak-hak orang lain yang
seperti kita masing-masing sama-sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan
bersama harus diletakkan di atas kepentingan diri masing-masing akan hidup selamat dan
bahagia, apabila masyarakat kita terganggu, tidak tertib dan damai. Janganlah mengucapkan 'hak
diri' kalau tidak bersama-sama dengan ucapan 'tertib damainya masyarakat', agar jangan sampai
hak diri itu merusak hak diri orang lain sesama kita, yang berarti merusak keselamatan hidup
bersama, yang juga merusak kita masing-masing.
Sebagai pengakuan bahwa kodrat alam, yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi
dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan yang Maha Kuasa, yang
berjalan tertib dan sempuma di atas segala kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita
bertentangan dengan ketertiban kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita jadikan pedoman
hidup kita, baik sebagai alam kita jadikan pedoman hidup kita, baik sebagai orang seorang atau
individu, sebagai bangsa, maupun sebagai anggota dari alam kemanusiaan.
Penjelasannya, bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam
khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus tersebut adalah alam diri, alam
kebangsaan, dan alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa, dan rasa kemanusiaan, ketiga-tiganya
hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia, yang tidak dapat dipungkiri
keberadaannya.
7. Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kita kepada sang anak
Dalam mendidik, penghambaan kepada sang anak tidak lain daripada penghambaan kita sendiri.
Sungguh pun pengorbanan kita itu kita tujukan kepada sang anak, tetapi yang memerintahkan
kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, melainkan diri kita
masing-masing. Di samping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara, pada rakyat, dan
agama, atau terhadap lainnya. Semua itu tak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencapai
rasa bahagia dan rasa damai dalam jiwa kita sendiri.
8. Tetep–mantep–antep
Dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus memiliki ketetapan hati (tetep), termasuk
tekun bekerja, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita
harus selalu mantep, setia dan taat pada asas itu, teguh iman hingga tak ada yang akan dapat
menahan gerak kita atau membelokkan aliran kita. Sesudah kita tetap dalam gerak lahir kita, lalu
mantep dan tabah batin kita, segala perbuatan kita akan antep, yaitu berat berisi dan berharga, tak
mudah dihambat, ditahan-tahan, dan dilawan oleh orang lain.
9. Ngandel–kendel–bandel
Kita harus ngandel, percaya, kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. Kendel,
berani, tidak ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya kepada Tuhan dan kepada diri
sendiri. Bandel, yang berarti tahan dan tawakal. Dengan demikian maka kita menjadi kendel,
tebal, kuat lahir batin kita, berjuang untuk cita-cita kita.
10. Neng-ning–nung–nang
Dengan meneng (neng), tenteram lahir batin, tidak nervous, kita menjadi wening (ning), bening,
jernih pikiran kita, mudah membedakan mana yang benar dan mana yang salah, lalu kita menjadi
hanung (nung), kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita, hingga akhirnya
menang (nang) dan mendapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.