You are on page 1of 3

Mencari Negarawan

Oleh : DENNY INDRAYANA

Siapakah ”negarawan”? Secara hukum, tidak ada aturan yang mendefinisikannya.


Meskipun muncul sebagai syarat hakim konstitusi dalam Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945, tidak
diatur apakah yang dimaksud dengan negarawan tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, negarawan adalah seseorang yang ”ahli dalam
kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat
asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah
negara dengan kebijaksaanaan dan kewibawaan”.

Saya mendefinisikan negarawan adalah pemimpin negeri yang selalu mengedepankan


kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok tertentu. Karena itu,
seorang negarawan yang berkontestasi menjadi pemimpin tidak punya ambisi pribadi meraih
kekuasaan, apalagi kekayaan semata, tetapi betul-betul sebagai sarana pengabdian untuk
menghadirkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat.

Seorang negarawan yang ikut dalam kontestasi pemilu tak akan menggunakan cara-cara yang
tidak beretika, apalagi koruptif. Negarawan tak akan menggunakan kampanye hitam,
mengedepankan isu SARA yang memecah belah, apalagi menggunakan strategi jual-beli suara,
atau politik uang. Bahwasanya pemilu kita masih sarat berita hoaks bernuansa diskriminatif dan
politik uang, itu mengindikasikan bahwa bangsa ini masih kekurangan calon pemimpin
berkualifikasi negarawan. Dalam kasus korupsi, terjeratnya menteri negara, pemimpin parpol,
ketua DPR, ketua DPD, kepala daerah, dan lain-lain adalah indikasi lain kontestasi politik kita
masih gagal menjaring negarawan.

Hakim konstitusi negarawan

Yang lebih ironis adalah ketika persoalan korupsi itu menjerat profesi hakim, apalagi hakim
konstitusi. UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan ”negarawan” yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan sebagai syarat menjadi hakim konstitusi. Tidak ada posisi pemimpin lain yang
mendapatkan syarat sedemikian terhormat. Walaupun bukan berarti menjadi presiden ataupun
posisi lain tak mensyaratkan negarawan. Namun, khusus untuk hakim konstitusi, syarat itu
dipertegas.
Dari sudut pandang hukum tata negara, syarat negarawan bagi hakim konstitusi adalah sudah
sewajibnya. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah pengawal harkat dan martabat konstitusi, hukum
dasar kehidupan bernegara. Apalagi, kewenangan MK mencakup penyelesaian konflik bernegara
yang sensitif dan strategis, yaitu menguji konstitusionalitas UU, memutus sengketa kewenangan
antarlembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan tentang hasil
pemilu—termasuk pemilihan presiden, dan memutuskan pendapat DPR bahwa presiden layak
dimakzulkan (impeachment).

Semua kewenangan MK itu sarat dengan berbagai godaan politik praktis, yang karenanya
membutuhkan hakim dengan pribadi negarawan, sosok yang mengedepankan kepeaantingan
negara dan bangsa di ataas kepentingan apa pun. Hal itulah yang menyebabkan kami
mengusulkan ada syarat jeda tidak menjadi anggota parpol bagi seorang calon hakim konstitusi.
Syarat jeda non-parpol itu kami adopsi dari putusan MK sendiri bahwa calon komisioner Komisi
Pemilihan Umum (KPU) harus bebas dari keanggotaan parpol selama lima tahun. MK
menyatakan hal itu diperlukan untuk menjaga kemandirian KPU.

Dengan argumentasi bahwa independensi hakim konstitusi dalam memutus berbagai kasus
politik kenegaraan harus kokoh, termasuk dalam memutus sengketa hasil pemilu, kami
mengusulkan syarat jeda nonparpol minimal tujuh tahun. Sayangnya, rumusan dalam Perppu
Nomor 1 Tahun 2013 yang disetujui DPR menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 justru kemudian
dibatalkan oleh MK, dengan alasan diskriminatif. Aneh dan tidak konsisten karena argumentasi
tersebut tidak digunakan MK ketika memutuskan syarat jeda nonparpol bagi komisioner KPU.

Jeda nonparpol

Syarat jeda nonparpol bagi hakim konstitusi bukanlah diskriminasi. Apalagi, syarat jeda
nonparpol dibatasi hanya untuk tujuh tahun sebelum mencalonkan diri jadi hakim konstitusi,
bukan untuk selamanya. Syarat demikian adalah ikhtiar hukum untuk mengeliminiasi
kemungkinan terpilihnya hakim konstitusi yang partisan, yang non-negarawan. Bagaimanapun,
calon hakim konstitusi berlatar belakang parpol akan lebih rentan terhadap pengaruh kepentingan
politik praktis. Meski, bukan berarti calon nonparpol pasti lebih baik.

Saya berpendapat, dibandingkan masa awal berdirinya, hakim konstitusi saat ini lebih rentan dari
kepentingan politik praktis. Di era kepemimpinan Jimly Asshiddiqie yang akademisi, MK
berhasil membangun kredibilitas dan profesionalitas sebagai lembaga negara terhormat. Di era
Moh Mahfud MD yang akademisi dan juga politisi, MK masih relatif bertahan dari godaan
politik. MK di bawah Profesor Mahfud beberapa kali menjadi benteng pertahanan antikorupsi
yang kokoh guna mencegah pelemahan dan pembubaran KPK oleh para koruptor. Di era
kepemimpinan Akil Mochtar, MK terpuruk ke titik nadir karena yang bersangkutan tertangkap
tangan KPK. Kasus korupsi di KPK pula yang menjerat hakim Patrialis Akbar. Sayangnya,
kedua hakim yang terjerat kasus korupsi itu adalah politisi.

Tentu perlu ditegaskan bahwa bukan berarti kader parpol pasti korup dan hakim nonparpol pasti
lebih bersih. Banyak kader parpol yang profesional dan bersih, sebagaimana tidak sedikit
akademisi yang korup dan kotor. Namun, saya tetap berpandangan bahwa kader parpol lebih
rentan terhadap kepentingan politik praktis. Maka, saya mengusulkan, syarat jeda nonparpol bagi
hakim konstitusi tetap layak dipertimbangkan menjadi bagian dalam perubahan UU MK di masa
depan.
Masih terkait menjaga independensi dan imparsialitas hakim konstitusi, ke depan ada baiknya
masa jabatan hakim konstitusi tidaklah dua periode, tetapi cukup satu kali dengan rentang waktu
lebih panjang. Konsep saat ini, di mana hakim menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih
kembali, terbukti rentan dari godaan politik praktis. Hakim konstitusi yang ingin terpilih kembali
pada periode kedua cenderung akan menjadi hakim yang ”bermain aman” dan lemah
independensinya. Apalagi, waktu seleksi hakim konstitusi yang sering kali beririsan dengan
agenda pemilu legislatif DPR dan pilpres menyebabkan proses perekrutan rentan dari
kepentingan politik untuk menempatkan hakim konstitusi yang pada saatnya bisa mengamankan
kasus sengketa hasil pemilihan DPR dan pilpres.

Negarawan minus etika

Persoalan teranyar yang menjerat Ketua MK Arief Hidayat membuktikan, bahwa untuk terpilih
lagi yang bersangkutan kembali melakukan pelanggaran etika karena bertemu secara tidak resmi
dengan Komisi Hukum DPR. Pertemuan di forum informal dengan pihak yang terkait perkara
demikian sebenarnya adalah pelanggaran serius. Pasal 36 dan 37 UU KPK melarang komisioner,
penasihat, dan pegawai KPK ”mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan
tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara”. Larangan ini disertai ancaman
pidana lima tahun penjara berdasarkan Pasal 65 dan 66 UU KPK.

Bahwasanya pertemuan tak resmi Arief Hidayat dianggap hanya pelanggaran ringan, sangat
patut diperdebatkan. Demikian pula, sanksi ringan sebelumnya yang dijatuhkan untuk persoalan
katebelece yang beliau terbitkan. Bagaimanapun, memberikan katebelece adalah tindakan kolutif
dan tidak sejalan dengan upaya menegaskan MK sebagai lembaga antikorupsi.

Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini: apakah artinya negarawan? Kalaupun tak ada definisi
hukumnya, saya yakin negarawan seharusnya tak menerbitkan katebelece yang koruptif. Saya
percaya, negarawan bukan berarti boleh bertemu secara tak resmi dengan pihak beperkara,
apalagi berkait dengan proses seleksinya menjadi hakim konstitusi. Makna negarawan terlalu
mulia untuk direndahkan dengan tindakan-tindakan demikian.

Negarawan sejati adalah orang yang tak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim
konstitusi setelah dijatuhkan sanksi pelanggaran etika, apalagi dua kali. Negarawan bukan hanya
tak akan melanggar hukum, melainkan juga dia akan sangat menjaga etika pribadi, terutama
etika bernegara. Sebagaimana Ronald Dworkin menegaskan, ”Moral Principle is the foundation
of law”. Etika moral adalah fondasi utama bagi tegaknya bangunan hukum. Tanpa penghormatan
terhadap etika, hukum akan runtuh, keadilan akan roboh. Negarawan tanpa etika batal demi
hukum kenegarawanannya dan, karenanya, tidak memenuhi syarat jadi hakim konstitusi.

Ini bukan soal pribadi hakim konstitusi. Ini tentang menjaga wibawa institusi MK. Sebelum MK
bisa mengawal konstitusi, kita harus pastikan hakim konstitusi betul-betul pribadi yang bisa
menjaga harkat, martabat, dan kehormatan sebagai sang negarawan. Kita tak ingin syarat
negarawan bagi hakim konstitusi hanya menjadi pajangan. Kita tidak ingin punya negarawan
minus etika. Kita tidak rela bangsa ini menjadi negara tanpa negarawan!

(Sumber: https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/02/01/mencari-negarawan/)

You might also like