You are on page 1of 22

REFERAT

Tuberkulosis Paru

PEMBIMBING :
dr. Sorta Sibuea, Sp. PD

Disusun Oleh:
Preti Roseli
1361050129

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSU TEBET
PERIODE 01 OKTOBER – 8 DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
rahmat dan karunia yang telah diberikan sehingga pada akhirnya saya dapat
menyelesaikan referat ini dengan sebaik-baiknya.
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas di kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan (THT) Kepala Leher.
Dalam kesempatan ini, saya sebagai penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada dr. Jody Setiawan, Sp.THT-KL selaku pembimbing referat di
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT RSUD Cibinong Jakarta Selatan yang telah
memberikan bimbingan dan kesempatan dalam penyusunan referat ini.
Saya sebagai penulis menyadari sepenuhya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka penulis menerima segala saran dan kritik yang sifatnya membangun agar
penulis dapat menjadikanreferat ini menjadi lebih baik lagi.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat
bagi pembaca dan masyarakat khususnya dalam bidang kedokteran. Atas perhatianya
penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, Juli 2018


Penulis,

Preti Roseli
NIM :1361050129

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung 3
2.2 Etiologi Rhinitis Vasomotor 10
2.3 Patofisiologi Rhinitis Vasomotor 11
2.4 Diagnosis Klinis Rhinitis Vasomotor 13
2.5 Penatalaksanaan Rhinitis Vasomotor 15
2.6 Komplikasi Rhinitis Vasomotor 16
2.7 Prognosis Rhinitis Vasomotor 16

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 17


KATA PENUTUP 18
DAFTAR PUSTAKA 19

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyrakat didunia walaupun upaya dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak
Negara sejak tahun 1945.
Tuber
Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik
tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit
kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor
catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic
perennial rhinitis.
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga
sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat,
ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih
dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan
suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor
tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan
THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis
rhinitis lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya
gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.1.1. Anatomi Hidung

2
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah
yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala
nasi, Columela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila,
dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebtu nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan
ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang
disebut vibrise.

3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan
adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,
sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral terdapat 4
buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya disebut
rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar
hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media, terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.

Batas rongga hidung terdiri dari dinding inferior yang merupakan dasar
rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng

4
tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan)
tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Gambar 2.1 Tulang dan tulang rawan hidung Gambar 2.2 Bagian dalam hidung

PENDARAHAN HIDUNG
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
dinding lateral hidung.
2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian
superior posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke
dinding lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang
disebut pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

5
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

PERSARAFAN HIDUNG

1. Saraf motorik
Oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
2. Saraf sensoris.

6
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari n.
oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom.
Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik ).
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3, berjalan ke atas
dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis superior. Serabut post sinapsis
berjalan sepanjang pleksus karotikus dan kemudian sebagai n. petrosus profundus
bergabung dengan serabut saraf parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor
membentuk n. vidianus yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak
mengadakan sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan
oleh cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf
simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem vaskuler
hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik ).
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis mayor
berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis didalam
ganglion tersebut. Serabut serabut post ganglion menyebar menuju mukosa
hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap jaringan kelenjar yang
menyebabkan sekresi hidung yang encer dan vasodilatasi jaringan erektil.
Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan impuls sekretomotorik /
parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga rinore akan berkurang sedangkan
sensasi hidung tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius ( penciuman )

7
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

2.1.2. Fisiologi

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi


fisiologi hidung dan sinus paranasal adalah :

8
1. Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan
atau arkus.
Udara yang di hirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi penguapan
udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
Suhu udara yang melalui hidung di atur sehingga berkisar 37°C. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan
disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut
lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2, Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dnegan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk
membantu ondra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi,
jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari
cuka dan asam jawa.
3. Fungsi fonetik

9
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,
bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

Definisi Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis


tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan,
hipertiroid), dan pajanan obat (kontrapsepsi oral, antihipertensi, B-bloker,
aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan)

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen


spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai
(anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE spesifik serum). Kelainan ini
disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor
instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.

2.2. Etiologi Rhinitis Vasokomotor

Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat


gangguan keseimbangan sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat
tertentu.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor :
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamin, chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor
topikal.

10
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara
yang ti nggi dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti
hamil dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue
2.3. Patofisiologi Rhinitis Vasokomotor

1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)


Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar.
Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y
yang menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus
simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan
ini disebut sebagai ” siklus nasi ”. Dengan adanya siklus ini, seorang akan
mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga hidung
yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju
ganglion sfenopalatina dan membentuk nervus vidianus, kemudian
menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada
rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan vasoaktif
intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.

2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung.
Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan

11
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-
related protein yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan
sekresi kelenjar.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel
hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel,
sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel.
Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment
refels vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

Manifestasi Klinis Rhinitis Vasomotor

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit


dibedakan dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore
yang hebat dan bersifat mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung
tersumbat sangat bervariasi yang dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang
lain, terutama sewaktu perubahan posisi.
Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan
rinitis alergi dan tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata. Gejala dapat
memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan
suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan
sebagainya.
Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke
tenggorok (post nasal drip ). Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis
vasomotor dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers)
dan golongan rinore (runners / sneezers ).

12
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis
alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.

2.4. Diagnosis Rhinitis Vasomotor

1. Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu


menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergei, okupasi, hormonal dan
akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi
timbulnya gejala.
2 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran yang khas
berupa edema mukosa hidun, konka berwarna merah gelap atau merah
tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis
alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi).
Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan
tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan
gtt6banyak jumlahnya.
3 Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan eosinfil pada sekret
hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya
negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

13
Riwayat penyakit -Tidak berhubungan dengan musim.

-Riwayat keluarga ( - )

- Riwayat alergi sewaktu anak-anak ( - )

- Timbul sesudah dewasa

- Keluhan gatal dan bersin ( - )

Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )

- Tanda – tanda infeksi ( - )

- Pembengkakan pada mukosa ( + )

- Hipertrofi konka inferior sering


dijumpai

Radiologi X – Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat


keterlibatan sinus

- Umumnya dijumpai penebalan


mukosa

Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )

Test alergi Ig E total - Normal

Prick Test - Negatif atau positif lemah

RAST - Negatif atau positif lemah

2.5. Penatalaksanaan Rhinitis Vasomotor

14
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor
penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi dalam:
1. Menghindari stimulus/ faktor pencetus

2. Penobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, cuci hidung


dengan larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan
larutan AgNO3 25% atau triklor-asetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal 100-200 mikrogram. Dosis dapat ditingkatkan
sampai 400 mikrogram sehari. Hasilnya akan terlihat setelah pemakaian
paling sedikit selama 2 minggu. Saat ini terdapat kortikosteroid topikal
baru dalam larutan aqua seperti flutikason propionat dan mometason
furoat dengan pemakaian cukup satu kali sehari dengan dosis 200 mcg.
Pada kasus dengan rinore berat, dapat ditambahkan antikolinergik topikal
(ipatropium bromida). Saat ini sedang dalam penelitian adalah terapi
desensitisasi dengan obat capsaicin topikal yang mengandung lada.

3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial


konka inferior.

4. Neurektomi n. Vidianus, yaitu dengan melakukan pemotongan pada n.


Vidianus, bila dengan cara di atas tidak memberikan hasil optimal.
Operasi tidaklah mudah, dapat menimbulkan komplikasi, seperti sinusitis,
diplopia, buta, gangguan, lakrimasi, neuralgia atau anestesis infraorbita
dan palatum. Dapat dilakukan tindakan blocking ganglion sfenopalatina.
Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi,
perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk memastikan
diagnosisnya.

2.6. Komplikasi Rhinitis Vasomotor


1. Sinusitis

15
Sinunitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang
sinus pada umumnya. Penyebabnya multi factorial dan juga termasuk
alergi, factor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur.
Factor non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan
masalah sinus kronis, perubahan mukosa dapat disebabkan alergi,
defisiensi imunologik, dan kerusakan silia.

2.7. Prognosis Rhinitis Vasomotor

Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang


dapat membaik dengan tiba –tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap
pengobatan yang diberikan. Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih
baik daripada golongan rinore. Oleh karena golongan rinorea sangat mirip
dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
menastikan diagnosisnya.

BAB 3

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. KESIMPULAN

Rinitis vasomotor merupakan suatu gangguan fisiologik


neurovaskular mukosa hidung dengan gejala hidung tersumbat, rinore yang
hebat dan kadang – kadang dijumpai adanya bersin – bersin. Penyebab
pastinya tidak diketahui. Diduga akibat gangguan keseimbangan sistem saraf
otonom yang dipicu oleh faktor-faktor tertentu. Biasanya dijumpai setelah
dewasa ( dekade ke – 3 dan 4 ). Rinitis vasomotor sering tidak terdiagnosis
karena gejala klinisnya yang mirip dengan rinitis alergi, oleh sebab itu
sangat diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang teliti untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis lainnya terutama rinitis alergi dan mencari faktor

16
pencetus yang memicu terjadinya gangguan vasomotor. Penatalaksanaan
dapat dilakukan secara konservatif dan apabila gagal dapat dilakukan
tindakan operatif.

3.2. SARAN
Seorang dokter harus bisa mengenali tanda dan gejala rhinitis alergi,
untuk menentukan diagnosis, penatalaksanaan yang cepat dan tepat untuk
kasus rhinitis alergi. Hal ini sangat penting karena bertujuan untuk mencegah
terjadinya komplikasi lebih lanjut dan memperbaiki prognosis pasien untuk
menjadi lebih baik.

KATA PENUTUP

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkahnya
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Rhinitis Vasomotor’’ untuk
( THT ) Fakultas kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum
Daerah Cibinong.
Adapun proses yang dilalui dalam penyusunan referat ini tidak luput dari
bantuan pihak-pihak terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada setiap pihak yang terlibat dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan perlu di perbaiki
dari penulisan referat ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat
membantu untuk perbaikan referat ini dan motivasi bagi penulis untuk menulis yang
lebih baik di kemudian hari. Atas perhatianya penulis ucapkan terima kasih.

17
Jakarta, Juli 2018
Penulis,

Preti Roseli
NIM : 1361050129

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto D. Mangunkusumo E. Wardani RS. Hidung. Dalam : Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Editor : Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti RD. Edisi
keenam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 118-122

2. Irawati N. Poerbonegoro NL. Kasakeyan E. Rinitis Vasomotor.


Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Editor : Seopardi EA. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti
RD. Edisi keenam. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007. H: 135-37

18
3. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies
Buku Ajar Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA.
Edisi keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 173-188

4. Hilger PA. Hidung : Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar


Penyakit THT. Editor : Adams GL. Boies LR. Higler PA. Edisi
keenam. Jakarta EGC. 1997. H: 218-19

5. Pharmacotherapy for Nonallergic Rhinitis. Diakses dari :


http://emedicine.medscape.com/article/874171-overview Tanggal 10
September 2010.

19

You might also like