You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

Miopia adalah penyakit mata yang sudah tidak asing lagi ditelinga
masyarakat, dewasa ini sudah banyak sekali orang yang mengalaminya. Miopia
dapat terjadi karena bola mata yang terlalu panjang atau karena kelengkungan
kornea yang terlalu besar sehingga cahaya yang masuk tidak difokuskan secara
baik dan objek jauh tampak buram. Penderita penyakit ini tidak dapat melihat
jarak jauh dan dapat ditolong dengan menggunakan kacamata negatif (cekung).
Miopia merupakan anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan
di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang
masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi. Miopia berasal dari
bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti menutup mata. Miopia merupakan
manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah “nearsightedness”.
Miopia umum ditemukan di seluruh dunia. Di negara maju, persentase
penduduk yang menderita miopia biasanya lebih tinggi. Di Amerika Serikat,
sekitar 25% dari penduduk dewasa menderita miopia. Sementara itu, di Jepang,
Singapura, dan Taiwan, persentasenya jauh lebih besar, yakni mencapai sekitar
44%. Di Indonesia walaupun tidak ada data statistiknya, dapat diduga hampir di
setiap rumah terdapat penghuni yang menderita miopia.

1
BAB II
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Nn.AR
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Jambu
No RM : 110***

Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 15 September 2016, pukul 11.00 WIB di
Poliklinik Mata RSUD Ambarawa.

Keluhan Utama
Pandangan kabur saat melihat jauh sejak ± 3 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD Ambarawa pada tanggal 15 September
2016 dengan keluhan pandangan kabur saat melihat jauh sejak ± 3 bulan yang lalu,
pertama kali dirasakan saat pasien sedang belajar di sekolah dan duduk di bangku
belakang. Pasien juga mengeluh sering pusing dan mata terasa lelah karena selalu
berusaha untuk melihat fokus ke tulisan di papan tulis.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Belum pernah mengalami keluhan serupa
 Belum pernah pakai kacamata sebelumnya
 Hipertensi (-)
 Diabetes mellitus (-)

2
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien dan
tidak ada anggota keluarga yang menggunakan kacamata

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat

Riwayat Sosial dan Ekonomi


Lingkungan rumah tidak ada yang sakit mata

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
 Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital : TD 100/60 mmHg
 Status generalis : Pemeriksaan kepala, THT, jantung, paru-paru,
abdomen, dan ekstremitas (tidak dilakukan)

Status Oftalmologi

Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri


Visus 2/60 6/9
Segmen Anterior
Warna hitam Warna hitam
Suprasilia
Letak simetris Letak simetris
Edema (-) Edema (-)
Palpebra Superior
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Palpebra Inferior Edema (-) Edema (-)

3
Hiperemi (-) Hiperemi (-)

Sekret kering (-) Sekret kering(-)


Konjungtiva
Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Palpebra Inferior
Epifora (-) Epifora (-)
Konjungtiva Bulbi CVI (-) CVI (-)
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Dalam Dalam
Warna coklat Warna coklat
Iris Regular Regular
Radier Radier
Pupil Isokor (+) / ϴ 3mm Isokor (+) / ϴ 3mm
Refleks cahaya Refleks cahaya langsung
langsung (+) (+)
Refleks cahaya tak Refleks cahaya tak
langsung (+) langsung (+)
Lensa Jernih Jernih

Tonometri
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Segmen Posterior
Fundus reflek Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil N. II Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rasio arteri vena Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Makula Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Vitreous Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Auto Refraktor S–3,25 C–0,25 A 160o S–2,00

Visus Koreksi S –2,50  6/6 S–0,75  6/6

4
Resume
Pasien seorang anak perempuan berusia 15 tahun datang ke Poliklinik Mata
RSUD Ambarawa pada tanggal 15 September 2016 dengan keluhan pandangan
kabur sejak ±3 bulan yang lalu, disertai pusing dan mata terasa lelah dan pegal
karena harus terus berusaha fokus jika melihat jauh terutama saat membaca
tulisan di papan tulis sekolah. Pasien tidak merasa silau berlebihan jika melihat
cahaya, tidak melihat gambaran seperti pelangi, mata tidak gatal, tidak nerocos
dan tidak lodokan.

Diagnosis Kerja
Miopia

Penatalaksanaan
 Terapi
Kacamata dengan Sferis negative dengan ukuran :
OD : S–2,50
OS : S–0,75
Dengan jarak pupil:
Jarak jauh : 62 mm
Jarak dekat : 60 mm
 Edukasi
o Menjelaskan kepada pasien bahwa kelainan gangguan penglihatan ini tidak
bisa disembuhkan dengan obat-obatan, tetapi bisa diatasi dengan memakai
lensa tambahan atau kacamata dan kacamata tersebut harus selalu dipakai
o Memberikan penjelasan kepada pasien bahwa bila sedang membaca atau
belajar di kelas usahakan duduk dalam posisi tegak dan duduk di barisan
yang tidak terlalu belakang, dibantu dengan penerangan yang cukup

Prognosis
Ad Functionam: Dubia ad bonam
Ad Vitam: Dubia ad bonam
Ad Sanationam: Dubia ad bonam

5
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI MATA

Yang termasuk media refraksi antara lain kornea, pupil, lensa dan vitreous.
Media refraksi targetnya di retina sentral (macula). Gangguan media refraksi
menyebabkan visus turun (baik mendadak ataupun perlahan). Bagian berpigmen
pada mata diantaranya uvea bagian iris, warna yang tampak tergantung pada
pigmen melanin di lapisan anterior iris (banyak pigmen = coklat, sedikit pigmen =
biru, tidak ada pigmen = merah/albino).

I.1. Media Refraksi


Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor, lensa, corpus vitreum. Pada orang normal
susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian
seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan
tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia
dan akan menempatkan bayangan benda tepat diretinanya pada keadaan mata
tidak melakukan akomodasi atau istirahat.

6
I.2. Kornea
Kornea (Latin Cornum : seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang
menutupi bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:
a. Epitel
 Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan
b. Membran bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma
 Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
c. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan
dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak
diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan
serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d. Membran Descemet
 Merupakan membran aseluler dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya

7
 Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm
e. Endotel
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk hexagonal, besar 20-40µm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan
zonula okluden
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V. Saraf siliar longus berjalan supra koroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Kornea adalah bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

I.3. Aqueous Humor (Kamera Okuli Anterior)


Kamera okuli anterior berisi Aqueous Humor yang mengandung zat-zat gizi
untuk kornea dan lensa, keduanya tidak memiliki pasokan darah. Adanya
pembuluh darah dikedua struktur ini akan mengganggu lewatnya cahaya ke
fotoreseptor. Aqueous Humor dibentuk dengan kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan
kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus lapisan koroid di sebelah anterior.
Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah.
Jika Aqueous Humor tidak dikeluarkan sama cepatnya dengan pembentukannya,
kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan menyebabkan peningkatan
tekanan intraokuler. Kelebihan Aqueous Humor akan mendorong lensa ke
belakang ke dalam vitreous humor, yang kemudian terdorong menekan lapisan
saraf optikus yang dapat menimbulkan kebutaan jika tidak diatasi.

I.4. Lensa
Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di
dalam bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak

8
dibelakang iris dan terdiri dari zat tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang
dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi.
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak didalam bilik mata
belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa
di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus
sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa dibagian sentral lensa sehingga
membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling
dahulu dibentuk atau serta lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa
dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Dibagian luar nukleus ini
terdapat serat lensa yang lebih muda disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang
terletak disebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior, sedangkan
dibelakangnya korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai konsistensi lebih
keras dibanding korteks lensa yang lebih muda. Dibagian perifer kapsul lensa
terdapat zonula zinn yang menggantungkan lensa diseluruh ekuatornya pada
badan siliar. Secara fisiologi lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:
 Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi
untuk menjadi cembung
 Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan
 Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body
dan berada di sumbu mata

I.5. Badan vitreous


Badan vitreous menempati daerah mata dibelakang lensa. Struktur ini
merupakan gel transparan yang terdiri atas air (±99%), sedikit kolagen, dan
molekul asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Badan vitreous mengandung
sangat sedikit sel yang menintesis kolagen dan asam hialuronat. Peranannya
mengisi ruang untul meneruskan sinar dari lensa ke retina. Kebeningan badan
vitreous disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan
tidak terdapatnya kekeruhan badan vitreous akan memudahkan melihat bagian
retina pada pemeriksaan oftalmoskopi. Vitreous humor penting untuk
mempertahankan bentuk bola mata.

9
II. FISIOLOGI PENGLIHATAN PADA MANUSIA
Cahaya adalah sebuah bentuk radiasi elektromagnetik yang terdiri atas
paket-paket individual seperti partikel yang disebut foton yang berjalan menurut
cara-cara gelombang. Jarak antara dua puncak gelombang dikenal sebagai panjang
gelombang. Fotoreseptor di mata peka hanya pada panjang gelombang antara 400
dan 700 nanometer. Cahaya tampak ini hanya merupakan sebagian kecil dari
spektrum elektromagnetik total. Cahaya dari berbagai panjang gelombang pada
pita tampak dipersepsikan sebagai sensasi warna yang berbeda-beda. Panjang
gelombang yang pendek dipersepsikan sebagai ungu dan biru, panjang gelombang
yang panjang dipersepsikan sebagai jingga dan merah.
Pembelokan suatu berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika suatu berkas
cahaya berpindah dari satu medium dengan tingkat kepadatan tertentu ke medium
dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Cahaya bergerak lebih cepat melalui
udara dari pada melalui media transparan lainnya seperti kaca dan air. Ketika
suatu berkas cahaya masuk ke sebuah medium yang lebih tinggi densitasnya,
cahaya tersebut melambat, begitu pula selanjutnya. Berkas cahaya mengubah arah
perjalanannya ketika melalui permukaan medium baru pada setiap sudut kecuali
sudut tegak lurus.
Cahaya masuk melalui kornea diteruskan ke pupil. Pupil merupakan lubang
bundar anterior di bagian tengah iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
mata. Pupil membesar bila intensitas cahaya kecil (berada ditempat gelap), dan
pupil membesar jika intesitas cahaya besar (berada di tempat terang). Yang
mengatur perubahan pupil adalah iris. Iris merupakan cincin otot yang berpigmen
tampak di dalam aqueous humor dan juga berperan dalam menentukan warna
mata.
Setelah melalui pupil dan iris, cahaya sampai ke lensa. Lensa ini berada
diantara aqueous humor dan vitreous humor, melekat ke otot siliar melalui
ligamentum suspensorium. fungsi lensa selain menghasilkan kemampuan refraktif
yang bervariasi selama berakomodasi, juga berfungsi untuk memfokuskan cahaya
ke retina. Apabila mata memfokuskan pada objek yang dekat, maka otot siliaris
akan berkontraksi, sehingga lensa menjadi lebih tebal dan lebih kuat. Dan apabila

10
mata memfokuskan objek yang jauh, maka otot siliar akan mengendur dan lensa
menjadi tipis dan lebih lemah.
Bila cahaya sampai ke retina, maka sel-sel batang dan sel-sel kerucut yang
merupakan sel yang sensitif terhadap cahaya akan meneruskan sinyal cahaya ke
otak melalui saraf optik. Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah
terbalik, nyata , diperkecil tetapi persepsi pada otak terhadap benda tetap tegak.
Karena otak sudah dilatih menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan
normal. Kemampuan menyesuaikan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat
maupun jauh dapat di fokuskan di retina dikenal dengan akomodasi. Kekuatan
lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris.
Otot siliaris adalah bagian korpus siliar, suatu spesialisasi lapisan koroid di
sebelah anterior. Korpus siliaris memiliki 2 komponen utama yaitu otot siliaris
dan jaringan kapiler. Otot siliaris adalah otot polos melingkar yang melekat ke
lensa melalui ligamentum suspensorium. Ketika otot siliaris melemas,
ligamentum suspensorium tegang dan menarik lensa sehingga lensa berbentuk
gepeng dengan kekuatan refraksi minimal. Ketika berkontraksi, garis tengah otot
ini berkurang dan tegangan ligamentum suspensorium mengendur. Sewaktu lensa
kurang mendapat tarikan dari ligamentum suspensorium, lensa mengambil bentuk
yang lebih sferis (bulat) karena elastisitas inherennya semakin besar
kelengkungan lensa, semakin besar kekuatannya, sehingga berkas cahaya lebih
dibelokkan.
Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk
penglihatan jauh. Tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa
menjadi lebih cembung dan lebih dekat untuk penglihatan dekat. Otot siliaris
dikontrol oleh sistem syaraf otonom. Serat-serat saraf simpatis menginduksi
relaksasi otot siliaris untuk penglihatan jauh, sementara sistem syaraf parasimpatis
menyebabkan kontraksi otot untuk penglihatan dekat.
Lensa adalah suatu struktur elastuis yang terdiri dari serat transparan.
Kadang serat ini menjadi keruh, sehingga berkas cahaya tidak dapat
menembusnya, suatu keadaan yang dikenal dengan katarak. Seumur hidup hanya
sel-sel ditepi laur lensa yang diganti. Sel dibagian tengah lensa mengalami
kesulitan ganda. Sel tersebut tidak hanya merupakan sel tertua, tetapi juga terletak

11
paling jauh dari aqueous humor, sumber nutrisi bagi lensa. Seiring dengan
pertambahan usia, sel-sel dibagian tengah yang tidak dapat diganti ini mati dan
kaku. Dengan berkurangnya kelenturan, lensa tidak bisa lagi berakomodasi.
Tidak semua serat di jalur penglihatan berakhir di korteks penglihatan.
Sebagian diproyeksikan ke daerah otak lain untuk tujuan selain persepsi
penglihatan langsung, seperti: mengontrol pyupil, sinkronisasi jam biologis ke
variasi siklis dalam intensitas cahaya, kontribusi terhadap kewaspadaan pada
perhatian korteks, kontrol gerakan mata.

III. AKOMODASI
Pada keadaan normal cahaya tidak berhingga akan terfokus pada retina,
demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya daya akomodasi
benda dapat difokuskan pada retina atau makula lutea. Dengan berakomodasi,
maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus pada retina.
Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi
akibat kontraksi otot siliar. Akibat akomodasi, daya pembiasan lensa bertambah
kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, makin dekat
benda makin kuat mata harus berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi
diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat
kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat. Dikenal beberapa teori
akomodasi, seperti :
 Teori akomodasi Hemholtz, dimana zonula Zinii kendor akibat kontraksi otot
siliar sirkuler, mengakibatkan lensa yang elastis menjadi cembung dan
diameter menjadi kecil
 Teori akomodasi Thsernig, dasarnya adalah bahwa nukleus lensa tidak dapat
berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa yang
superfisial atau korteks lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada
zonula Zinii sehingga nukleus lensa terjepit dan bagian depan nukleus akan
mencembung
Mata akan berakomodasi bila bayangan difokuskan di belakang retina. Bila
sinar jauh tidak difokuskan pada retina seperti pada mata dengan kelainan refraksi

12
hipermetropia maka mata tersebut akan berakomodasi terus menerus walaupun
letak bendanya jauh, dan pada keadaan ini diperlukan akomodasi yang baik.
Anak-anak dapat berakomodasi dengan kuat sekali sehingga memberikan
kesukaran pada pemeriksaan kelainan refraksi. Daya akomodasi kuat pada anak-
anak dapat mencapai + 12.00 sampai + 18.00 D. Akibatnya pada anak-anak yang
sedang dilakukan pemeriksaan kelainan refraksinya untuk melihat jauh mungkin
terjadi koreksi miopia yang lebih tinggi akibat akomodasi sehingga mata tersebut
memerlukan lensa negatif yang berlebihan (koreksi lebih).
Untuk pemeriksaan kelainan refraksi anak sebaiknya diberikan sikloplegik
untuk melumpuhkan otot akomodasi sehingga pemeriksaan kelainan murni,
dilakukan pada mata yang beristirahat. Biasanya untuk ini diberikan sikloplegik
atau sulfat atropin bersifat parasimpatolitik, yang selain bekerja untuk
melumpuhkan otot siliar juga melumpuhkan otot sfingter pupil (Ilyas, 2004).
Dengan bertambahnya usia, maka akan berkurang pula daya akomodasi
akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga lensa sukar mencembung. Keadaan
berkurangnya daya akomodasi pada usia lanjut disebut presbiopia.

IV. AMETROPIA
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran
depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai
daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang
peranan membiaskan sinar terutama pada saaat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda dekat.
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan
panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata maka sinar tidak akan
terfokus pada makula. Keadaan ini disebut ametropia (anomali refraksi) yang dpat
berupa miopia, hipermetropia, atau astigamatisma. Kelainan sistem refraksi
(pembiasan cahaya) pada mata, menyebabkan sinar-sinar sejajar yang masuk ke
dalam mata tidak difokuskan pada retina saat mata tersebut dalam keadaan
istirahat.

13
IV.1 MIOPIA
A. Definisi
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang
masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi. Miopia berasal dari
bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti menutup mata. Miopia merupakan
manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah “nearsightedness”.
Miopia adalah keadaan pada mata dimana cahaya atau benda yang jauh
letaknya jatuh atau difokuskan didepan retina. Supaya objek atau benda jauh
tersebut dapat terlihat jelas atau jatuh tepat di retina diperlukan kaca mata minus.
Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis kerusakan mata
yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang atau kelengkungan
kornea yang terlalu cekung.
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan
sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina
(bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak
di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu
kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu panjang. Miopia merupakan suatu
bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang datang dari jarak tidak
terhingga oleh mata dalam keadaan tidak berakomodasi dibiaskan pada satu titik
di depan retina.

14
B. Klasifikasi
Pada myopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa bentuk myopia
seperti:
1. Myopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan myopia bias atau myopia indeks, myopia
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
2. Myopia aksial, myopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal
Menurut derajat beratnya myopia dibagi dalam:
1. Ringan : lensa koreksinya 1,00 s/d 3,00 Dioptri
2. Sedang : lensa koreksinya 3,00 s/d 6,00 Dioptri
3. Berat : lensa koreksinya > 6,00 Dioptri
Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk:
1. Miopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa
2. Miopia progresif, myopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
3. Miopia maligna, myopia yang berjalan progresif yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia degenerative

C. Patogenesis
Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang
dan disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias media refraktif

15
yang tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat. Dalam
hal ini disebut sebagai miopia refraktif. Miopia degeneratif atau miopia maligna
biasanya apabila miopia lebih dari -6 dioptri (D) disertai kelainan pada fundus
okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang
terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina
terjadi kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur
membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya
neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa
hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar dan
dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.
Untuk melihat sesuatu objek dengan jelas, mata perlu berakomodasi.
Akomodasi berlaku apabila kita melihat objek dalam jarak jauh atau terlalu dekat.
Menurut Dr. Hemlholtz, otot siliari mata melakukan akomodasi mata. Teori
Helmholtz mengatakan akomodasi adalah akibat daripada ekspansi dan kontraksi
lensa, hasil daripada kontraksi otot siliari. Teori Helmholtz merupakan teori yang
sekarang sering digunakan oleh dokter.
Menurut Dr. Bates, dua otot oblik mata yang melakukan akomodasi mata
dengan mengkompresi bola mata di tengah hingga memanjangkan mata secara
melintang. Dr. Bates telah melakukan eksperimen pada kelinci, Dr. Bates
memotong dua otot oblik dan mendapati mata kelinci tersebut tidak bisa
berakomodasi. Dr. Bates juga menginjeksi obat paralisis pada otot oblik kelinci,
mata tidak dapat berakomodasi. Apabila obat disingkirkan daripada otot oblik,
mata kelinci dapat berakomodasi kembali. Akibat daripada kelelahan mata
menyebabkan kelelahan pada otot mata. Otot mata berhubungan dengan bola mata
hingga menyebabkan bentuk mata menjadi tidak normal. Kejadian ini adalah
akibat akomodasi yang tidak efektif hasil dari otot mata yang lemah dan tidak
stabil. Pada mata miopia, bola mata terfiksasi pada posisi memanjang
menyulitkan untuk melihat objek jauh.

D. Diagnosis
Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat bahkan
melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut pasien adalah

16
rabun jauh. Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering
disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang miopia
mempunyai kebiasaan memicingkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau
untuk mendapatkan efek lubang kecil. Pasien miopia mempunyai pungtum
remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi
yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia.
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan
sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada
daerah papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada mata
dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti
degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer.
Pengujian atau test yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mata secara
umum atau standar pemeriksaan mata, terdiri dari :
1. Uji ketajaman penglihatan pada kedua mata dari jarak jauh (Snellen) dan jarak
dekat (Jaeger)
2. Uji pembiasan, untuk menentukan benarnya resep dokter dalam pemakaian
kaca mata
3. Uji penglihatan terhadap warna, uji ini untuk membuktikan kemungkinan ada
atau tidaknya kebutaan
4. Uji gerakan otot-otot mata
5. Pemeriksaan celah dan bentuk tepat di retina
6. Mengukur tekanan cairan di dalam mata
7. Pemeriksaan retina

E. Penatalaksanaan
1. Dengan memberikan koreksi lensa
Koreksi miopia dengan menggunakan lensa konkaf atau lensa negatif, perlu
diingat bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan. Karena itu, bila
permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu besar, seperti pada miopia,
kelebihan daya bias ini dapat dinetralisasi dengan meletakkan lensa sferis konkaf
di depan mata. Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengkoreksi mata

17
miopia ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula
meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih kuat
atau lebih lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik.
Pasien miopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil yang
memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien
dikoreksi dengan -3.00 dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6, demikian juga
bila diberi sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri
agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi.

F. Komplikasi
1. Ablasio retina Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D
sekitar 1/6662. Sedangkan pada (-5) sampai (-9,75) D risiko meningkat
menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain
penambahan faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan miopia
tinggi meningkat menjadi 300 kali.
2. Vitreal Liquefaction dan Detachment Badan vitreus yang berada di antara lensa
dan retina mengandung 98% air dan 2% serat kolagen yang seiring
pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan
meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan
hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps
badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini nantinya
akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan
retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume
yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.
3. Miopik makulopati dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya
pembuluh darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga
lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid
yang bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular
koroid atau degenerasi makular miopia juga merupakan konsekuensi dari
degenerasi makular normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang
abnormal yang tumbuh di bawah sentral retina.

18
4. Glaukoma. Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada
miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia
terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur
jaringan ikat penyambung pada trabekula.
5. Katarak Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada
orang dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat.

G. Pencegahan
1. Jarak baca 40 – 45 cm
2. Aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian. Misalnya setelah
membaca atau melihat gambar atau menggunakan komputer 45 menit, berhenti
dahulu untuk 15 – 20 menit, beristirahat sambil melakukan aktifitas lain.
3. Gizi yang berimbang bila diperlukan sesuai aktifitas

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Kanski, Jack J. Lacrimal Drainage System. Clinical Ophtalmology sixth


edition. 2007
2. Eva. Roirdan Paul & Whitcher J.P.Aparatus Lakrimal dan Air mata.
Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, Edisi 17. Jakarta : EGC. 2010.
3. Junqueira, L.Carlos, Jose Carneiro & Robert O Kelley. 1998. Histologi Dasar.
Jakarta: EGC. Hal. 478-479.
4. Millodot, M. 2009. Dictionary of Optometry and Visual Science, 7th edition.
London: Butterworth-Heinemann.
5. Ilyas, Sidarta, Prof. dr. Stenosis dan Obstruksi Duktus Nasolakrimal. Penuntun
Ilmu Penyakit Anak edisi kedua. FKUI. 2004.
6. Wijana, Nana dr. Sp.M. Dakriostenosis. Ilmu Penyakit Mata.
7. Langston, Pavan; Deborah, 2008, Manual of Ocular Diagnosis and Therapy,
6th Edition, Lippincott Williams & Wilkins
8. Khurana, A. K., Comprehensive Opthalmology 4th Edition, 2007. New Delhi:
New Age International (P) Ltd. Publishers.
9. American Academy of Ophtalmology, 2007-2008, Orbit Eyelids and Lacrimal
system
10. Gondhowiarjo, Tjahjono D. Simanjuntak, Gilbert WS. Editor. Panduan
Manajemen Klinis PERDAMI : PP PERDAMI. 2006. p. 79-80

20

You might also like