You are on page 1of 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Kloramfenikol

Saat ini telah diketahui macam-macam antibiotik serta pemakaiannya

dalam bidang kedokteran, peternakan, pertanian, dan beberapa bidang yang lain.

Walaupun demikian, tidak semua antibiotik dikenal masyarakat umum. Hanya

antibiotik-antibiotik yang penting dan banyak digunakan yang dikenal oleh

masyarakat (Sumardjo, 2009).

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik berspektrum luas yang berasal

dari beberapa jenis streptomyces misalnya S. Venezuelae, S. phaeochromogenes

var. chloromycetius dan S. omiyanensis. Setelah para ahli berhasil mengelusidasi

strukturnya, maka sejak tahun 1950 kloramfenikol sudah dapat di sintesis

secaratotal. S. Venezuelae petama kali diisolasi oleh Burkholder pada tahun 1947

dari contoh tanah yang diambil di Venezuela. Filtrat kultur cair organisme

menunjukkan aktivitas terhadap bakteri gram negatif dan rikestia. Bentuk kristal

antibiotik ini diisolasi oleh Bartz pada tahun 1948 dan dinamakan kloromisetin

karena adanya ion klorida dan didapat dari suatu aktinomisetes (Wattimena dkk,

1991).

Chloramphenicol; D-threo-(-)-2,2-dichloro-N-𝛽𝛽-hydroxy-𝛼𝛼-(hydroxy-

methyl)-p-nitrophenethyl acetamide.

Struktur: C11H12C12N2O5
Berat molekul: 323,13

Rumus bangun:

Jarak lebur 149 sampai 153℃

Kelarutan: 1 g larut dalam kira-kira 400 ml air; sangat mudah larut alkohol,

aseton, butanol, propilen glikol, dan etil asetat; sukar larut dalam eter dan

kloroform; tidak larut dalam benzoat dan petroleum eter (Connors, 1986).

Senyawa ini termasuk antibiotika yang paling stabil. Larut dalam air pada

pH 6 menunjukkan kecenderungan terurai yang paling rendah. Dalam basa akan

terjadi penyabunan ikatan amida dengan cepat (Schunack dkk, 1990).

Bentuk-bentuk yang ada yaitu Kloramfenikol; kloramfenikol palmitat

(C27H24Cl2N2O6); kloramfenikol natrium suksinat (C15H15C12N2NaO8) (Connors,

1986).

Menurut Dirjen POM (1995), kloramfenikol memiliki sifat

fisikokimiayaitu:

Rumus Molekul: C11H12Cl2N2O5

Nama Umum : Kloramfenikol

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih


hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan praktis netral

terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak

asam.

Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam propilen

glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat.

Persyaratan : Pada sediaan kapsul kloramfenikol mengandung kloramfenikol,

C11H12Cl2N2O5, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih

dari120,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui

paling stabil dalam segala pemakaian. Dia memiliki stabilitas yang sangat baik

pada suhu kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas maksimumnya dicapaipada

pH 6. Pada suhu 25℃ dan pH 6, memiliki waktu paruh hampir 3 tahun. Yang

menjadi penyebab utama terjadinya degradasi kloramfenikol dalam media air

adalah pemecahan hidrolitik pada pemecahan amida. Laju reaksinya berlangsung

dibawah orde pertama dan tidak tergantung pada kekuatan ionik media (Connors,

1986).

2.1.1 Mekanisme KerjaKloramfenikol

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat

ini terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil tansferase

sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman

(Setiabudy, 2007).
Kloramfenikol terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim

peptidil transferase. Ini merintangi pembentukan ikatan peptida antara asam

amino-tRNA pada sisi aminoasil. Selain itu juga dirintangi rantai peptida yang

sedang memanjang pada sisi peptidil pada ribosom sehingga translasi terhenti

(Nogrady, 1992).

Kloramfenikol diabsorpsi cepat dan hampir sempurna dari saluran cerna,

karena obat ini mengalami penetrasi membran sel secara cepat. Setelah absorpsi,

kloramfenikol didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan dan cairan tubuh.

Metabolit utama kloramfenikol adalah glukuronida–nya yang bekerja antibiotik,

yang dibuat di hati dan diekskresikan melalui ginjal (Katzung, 2004).

2.1.2 Penggunaan Kloramfenikol

Berhubung risiko anemia aplastis fatal, kloramfenikol di negara Barat

sejak tahun 1970-an jarang digunakan lagi per oral untuk terapi manusia. Dewasa

ini hanya dianjurkan pada beberapa jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan lain,

yaitu pada infeksi tifus (salmonella typhi) dan meningitis (khusus akibat H.

influenzae), juga obat, khususnya abses otak oleh B.fragilis. Untuk infeksi

tersebut sebetulnya juga tersedia antibiotika yang lain yang lebih aman dengan

efektivitas sama (Tjay, 2007).

Kloramfenikol sangat berguna dalam menangani meningitis pada anak

yang alergi pada penisilin, menderita abses otak atau infeksi anaerobik lainnya,

dan juga pada infeksi intraokular akibat organisme yang sensitif. Kecuali itu juga
bersifat bakteriostatik terhadap banyak baksil gram negatif lainnya (Skach dkk,

1988).

2.1.3 Efek Samping

Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis dan

perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya adalah

depresi sumsum tulang (myelodepresi) yang dapat berwujud dalam dua bentuk

anemia, yakni sebagai:

a. Penghambatan pembentukan sel-sel darah (eritrosit, trombosit, dan

granulosit) dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan ini

tergantung lamanya terapi dan bersifat reversibel.

b. Anemia aplastis, yang timbul sesudah beberapa minggu sampai beberapa

bulan pada penggunaan oral, parenteral dan okuler, maka tetes mata tidak

boleh digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).

Supresi sumsum tulang merupakan efekyang ada kaitannya dengan dosis

dan dapat dipulihkan kembali, terlihat dari tanda-tanda pansitopenia dengan

pemulihan kembali 1-2 minggu setelah obat dihentikan. Ada kaitannya dengan

kadar diatas 20-25 𝜇𝜇𝜇𝜇/ml (Skach dkk, 1988).

2.2 Metode Penetapan Kadar Kloramfenikol

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani rusia

Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang

berisi kalsium karbonat (CaCo3). Saat ini kromatografi merupakan teknik

pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia

analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif,

kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan industri dan

sebagainya. Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang menggunakan fase

diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase) (Rohman, 2007).

2.2.1 Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair tingkat tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut HPLC

(High Performance Liquid Chromatography) dikembangkan pada akhir tahun

1960-an dan awal awal tahun 1970-an. Saat ini, KCKT merupakan teknik

pemisahan yang terima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu

dalam suatu sampel dalam sejumlah bidang, antara lain: farmasi, lingkungan,

bioteknologi, polimer, dan industri-industri makanan. Beberapa perkembangan

KCKT terbaru antara lain: miniaturisasi sistem KCKT, penggunaan KCKT untuk

analisis asam-asam nukleat, analisis protein,analisis karbohidrat, dan analisis

senyawa-senyawa kiral (Rohman, 2007).

HPLC adalah salah satu teknik analisis yang penting yang mempunyai

tingkatan otomatisasi pada tahun-tahun terakhir ini. Ini menunjukkan HPLC telah

mengalami perkembangan dan merupakan alat yang sangat baik. Yang terbaru
dilengkapi dengan mikrokomputer dan mikroprosesor yang dapat memberikan

perhitungan data sekaligus (Lachman dkk, 1994).

Metodespektrofotometri tidak dapat membedakan antara kloramfenikol

dan produk degradasinya 1-(4’-nitrofenil)-3-amino-1,3-propandiol. Metode

KCKT telah dikembangkan untuk menetapkan kadar kloramfenikol dan produk

degradasinya (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Kolom yang digunakan adalah fase terbalik (C18, 25 cm x 0,46 cm i.d.,

dengan ukuran partikel 10 mikron) dan dioprasikan pada suhu ruangan. Dektektor

yang digunakan adalah spektrofotometer UV pada panjang gelombang 254 nm

dan diatur pada AUFS 0,05. Fase gerak yang digunakan adalah campuran bufer

kalium monobasik fosfat 0,01M-metanol dengan perbandingan 58:42 v/v

dihantarkan secara isokratik dengan kecepatan alir fase gerak 1,5 ml/menit.

Semua bahan diinjeksikan dengan volume 5 𝜇𝜇𝜇𝜇 (Sudjadi dan Rohman, 2008).

Larutan baku timbang seksama lebih kurang 25 mg kloramfenikol BPFI,

masukkan kedalam labu tentukur 200-ml, tambahkan 10 ml air dan panaskan

diatas tangas uap hingga larut sempurna. Dinginkan hingga suhu kamar, encerkan

dengan fase gerak sampai tanda. Saring melalui penyaring dengan porositas 0,5

𝜇𝜇𝜇𝜇 atau lebih halus, dan gunakan filtrat yang jernih sebagai larutan baku (Dirjen

POM RI, 1995).

Penyiapan sampel untuk kapsul, sejumlah tertentu kapsul yang setara

dengan 25 mg kloramfenikol ditimbang secara seksama lalu ditambah dengan


10,0 ml larutan standar internal A dan volume dibuat 25,0 dengan metanol

(sudjadi dan Rohman, 2008).

2.2.2 Instrumentasi KCKT

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok

yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantar fase gerak, alat untuk memasukkan

sampel, kolom, detektor, wadah, penampung buangan fase gerak, tabung

penghubung dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Rohman, 2007).

Sistem instrumen standar untuk elusi isokratik terdiri atas:

(i) Reservoir pelarut.

(ii) Sebuah pompa yang mampu memompa pelarut dengan tekanan sampai

4000 psi dan aliran hingga 10 ml/menit.

(iii) Suatu injektor lengkung yang, pas dengan lengkung bervolume tetap

antara 1 dan 200 𝜇𝜇𝜇𝜇 (20 𝜇𝜇𝜇𝜇 sering digunakan sebagai baku).

(iv) Suatu kolom, yang biasanya berupa tabung baja dikemas, biasanya

dengan gel silika tersalut oktadesilsilan (salut-ODS) dengan diameter

partikel rata-rata (3,5 atau 10 𝜇𝜇m).

(v) Suatu detektor, yang biasanya berupa detektor UV/visible meskipun

untuk penerapan khusus tersedia berbagai macam detektor.

(vi) Sistem penangkap data, yang dapat berupa suatu integrator komputisi

atau sebuah komputer dengan piranti lunak yang sesuai memproses

data kromatografi.
(vii) Kolom dihubungkan pada injektor dengan tabung berdiameter dalam

yang sempit lebih kurang 0,2 mm, untuk meminimalkan ‘volume

mati’, yaitu ruang kosong didalam sistem ketika kromatografi tidak

terjadi dan pelebaran pita dapat terjadi melalui difusi longitudinal.

(viii) Instrumen-instrumen memiliki injeksi sampel yang lebih canggih

memiliki injeksi sampel otomatis dan oven kolom serta mampu

mencampur dua pelarut atau lebih dalam berbagai perbandingan

terhadap waktu untuk menghasilkan gradien fase gerak (Watson,

2009).

a. Wadah Fase Gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembap (inert). Wadah pelarut kosong

ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini

biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut. Fase gerak

sebelum di gunakan harus dilakukan degassing (penghilang gas) yang ada pada

fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul pada komponen lain terutama di

pompa dan didetektor sehingga akan mengacaukan analisis. Pada saat membuat

pelarut pada fase gerak, maka sangat dianjurkan untuk menggunakan

pelarut,bufer, dan reagen dengan kemunian yang sangat tinggi, dan lebih terpilih

lagi jika pelarut-pelarut yang digunakan untuk KCKT berderajat KCKT (HPLC

grade). Adanya pengotor dalam reagen dapat menyebabkan gangguan pada sistem
kromatografi. Adanya partikel yang kecil dapat terkumpul dalam kolom atau

dalam tabung yang sempit, sehingga dapat mengakibatkan suatu kekosongan pada

kolom atau tabung tersebut. Karenanya, fase gerak sebelumdigunakan harus

disaring terlebih dahulu untuk menghindari partikel-partikel kecil ini (Rohman,

2007).

b. Fase Gerak

Fase gerak pada eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat

bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya

elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase

diam, dan sifat komponen-komponen sampel. Untuk fase normal (fase diam lebih

polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya

polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada

fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut

(Rohman, 2007).

c. Fase Diam

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara

kimiawi, silika yang tidak di modifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil

benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya gugus

silanol (Si-OH) (Rohman, 2007).


Silika dapat dimodifikasi secara kimiawi dengan menggunakan reagen-

reagen seperti klorosilan. Reagen-reagen ini akan bereaksi dengan gugus silanol

dan menggantinya dengan gugus-gugus fungsianol yang lain (Rohman, 2007).

Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak

digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang

rendah, sedang, maupun tinggi. Oktil atau rantai alkil yang lebih pendek lagi lebih

sesuai solut yang polar. Silika-silika aminopropil dan sianopropil (nitril) lebih

cocok sebagai pengganti silika yang tidak dimodifikasi. Silika yang tidak

dimodifikasi akan memberikan waktu retensi yang bervariasi yang disebabkan

karena adanya kandungan air yang digunakan (Rohman, 2007).

d. Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu:

detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat

spesifik, dan tidak bersifat selektif) seperti detektor indeks biasdan detektor

spektrofotometri massa dan golongan detektor yang spesifik yang hanya akan

mendeteksi analit secara spesifik yang hanya akan mendeteksi analit secara

spesifik dan selektif seperti detektor UV-Vis, deteksi fluoresensi, dan

elektrokimia.

Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:

• Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel

• Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada

kadar yang sangat kecil


• Stabil dalam pengoperasiaannya

• Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan

pelebaran pita. Untuk kolom konvensional, selnya bervolume 8 𝜇𝜇𝜇𝜇 atau

lebih kecil, sementara kolom mikrobor selnya bervolume 1 𝜇𝜇𝜇𝜇 atau lebih

kecil lagi

• Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan dengan konsentrasi solut

pada kisaran yang luas (kisaran dinamis linier)

• Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase

gerak(Rohman, 2007).

Detektor KCKT yang paling peka didasarkan pada fluoresensi, tetapi

sudah tentu dapat dipakai untuk senyawa yang berfluoresensi. Untuk mencapai

kepekaan itu, yakni agar senyawa yang jumlahnya kecil dapat dideteksi atau agar

dapat diperoleh data kuantitatif yang sahih, kadang-kadang linurat diubah menjadi

turunan senyawa yang berfluoresensi sebelum dikromatografi (Gritter, 1991).

e. Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang

mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut, yakni: pompa harus inert

terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa gelas, baja tahan
karat, teflom, dan batu nilam. Pompa yang yang digunakan sebaiknya mampu

memberikan tekanan 5000psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan

kecepatan alir 3ml/menit. Tujuan penggunaan pompa adalah untuk untuk

menjamin proses penghataran fase gerak berlangsung secara tepat, reprodusibel,

konstan, dan bebas dari gangguan (Rohman, 2009).

f. Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom),

diusahakan agar sedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom. Ada tiga

jenis dasa injektor, yaitu: a. Aliran henti; b. Septum; c. Katup jalan kitar (Johnson

E. dan Stevenson, R, 1991).

2.2.3 Profil Kromatogram KCKT

Idealnya profil kromatogram KCKT merupakan suatu garis tegak lurus

bagi masing-masing linarut. Akan tetapi keadaan demikian tidak akan dijumpai

pada pelaksana analisis dengan KCKT (Satiadarma, 1995).

Kromatogram KCKT merupakan relasi antara tanggapan detektor sebagai

ordinat dan waktu sebagai absis pada sistem koordinat Cartesian, dimana titik nol

dinyatakan sebagai saat dimulainya injeksi sampel. Sampel yang diinjeksikan

menuju kolom analisis tidak langsung secara serempak molekul-molekulnya

berkumpul di satu titik (Satiadarma, 1995).

2.2.4 Cara kerja Kromatografi Cair Tingkat Tinggi (KCKT)

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut

terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati


suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi salut

dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair secara

suksesterhadap suatu massa-lah yang dihadapi membutuhkan penggunakan secata

tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak,

panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran

sampel. Untuk tujuan memilih kombinasi kondisi kromatografi yang terbaik,

maka dibutuhkan pemahaman yang mendasar tentang berbagai macam faktor

yang mempengaruhi pemisahan pada kromatografi cair (Rohman, 2007).

HPLC dengan prinsip kromatografi adsorpsi banyak digunakan pada

industri farmasi dan pestisida. Zat-zat dengan kepolaan berbeda, yaitu industri

farmasi dan pestisida. Zat-zat dengan kepolaran berbeda, yaitu antara sedikit polar

sampai polar dapat dipisahakan dengan HPLC berdasarkan partisi cair-cair

(Khopkar, 2007).

2.2.5 Keuntungan dan Keterbatasan KCKT

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) mempunyai beberapa

keuntungan bila dibandingkan dengan sistem pemisahan lain, diantaranya:

a. Cepat

b. Daya pisahnya baik

c. Peka dan detektor unik

d. Kolom yang dapat dipakai kembali


e. Ideal untuk molekul besar dan ion.

f. Mudah memperoleh kembali (Johnson dan Stevenson, 1991).

KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-

senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein-

protein dalam cairan fisiologis, menetukan kadar senyawa-senyawa aktif obat,

produk hasil samping proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan

farmasi; monitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan; memurnikan

senyawa dalam suatu campuran; memisahkan polimer dan menentukan distribusi

berat molekulnya dalam suatu campuan; kontrol kualitas; dan mengikuti jalannya

reaksi sintesis (Rohman, 2007).

Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali

KCKT dihubungkan dengan senyawa Spektropfotometer Massa (MS).

Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang

baik sulit diperoleh (Rohman, 2007).

You might also like