Professional Documents
Culture Documents
UU SJSN dan UU BPJS mengarah ke model single payer seperti model di Canada.
Sebelumnya Indonesia bertumpu pada pembayaran out-of-pocket, yang kemudian berubah
menjadi model Jamkesmas yang mirip dengan model Amerika Serikat.
Model Canada ini memang mensyaratkan berbagai hal seperti di bawah ini:
- Negara mampu membayar (kemampuan fiskal)
- Adanya choice untuk masyarakat. DI daerah yang sulit ini menjadi masalah karena tidak
banyak pilihan bahkan ada kemungkinan tidak dapat mendapat pelayanan apapun karena
tidak tersedia fasilitas dan SDM.
Dari berbagai model diatar terlihat bahwa peran pemerintah diperlukan untuk perlindungan
keuangan dengan fokus kebijakan dengan didasarkan pada kemampuan membayar,
perlindungan bencana keuangan akibat biaya medis, dan menjamin akses terhadap pelayanan
kesehatan. Pembuat kebijakan, penasihat dan peneliti kesehatan juga menyatakan untuk
meminimalkan kesenjangan dibutuhkan kebijakan kesehatan dengan fokus yaitu
memaksimalkan hubungan antara mobilisasi sumber daya, pooling dan alokasi.
Dengan demikian, upaya memberikan perlindungan keuangan dan mempromosikan
kesetaraan tergantung pada bagaimana sistem kesehatan mengatur tiga fungsi pembiayaan
kesehatan utama yaitu revenue collection, pooling risk, dan purchasing. Semua fungsi
pembiayaan kesehatan berperan penting dalam memastikan perlindungan keuangan dan
mengurangi kesenjangan
Revenue Collection dan Pembiayaan Pemerintah untuk Layanan Kesehatan
Revenue collection adalah cara sistem kesehatan mengumpulkan uang dari rumah tangga,
bisnis, dan sumber-sumber eksternal ( World Bank, 2005). Pengumpulan ini berkaitan dengan
akumulasi pendapatan dan manajemen sehingga peserta berbagi risiko kesehatan secara
kolektif, melindungi individu dalam besarnya kepesertaan, dan pengeluaran kesehatan yang
tidak terduga. Sistem prabayar memungkinkan peserta untuk membayar biaya rata-rata yang
diharapkan, membebaskan peserta dari ketidakpastian dan memastikan kompensasi kerugian
apabila terjadi. Revenue Collection juga didefinisikan sebagai kontribusi keuangan kepada
sistem kesehatan yang pengumpulannya dilakukan secara adil dan efisien (WHO, 2005).
Revenue collection merupakan prinsip yang universal dimana penekanannya pada kemudahan
pengumpulan iuran yang dilakukan oleh pemerintah maupun pemberi kerja (Peta JKN, 2012).
Dalam hal revenue kesehatan dari pemerintah maka isu fiskal bagi negara-negara
berpenghasilan rendah dan menengah perlu dipikirkan. Pemerintah di negara sedang
berkembang perlu untuk memobilisasi sumber daya yang cukup agar mampu membiayai
pelayanan kesehatan individu dan masyarakat tanpa menggunakan pinjaman sektor publik
yang berlebihan (termasuk penciptaan utang luar negeri yang berlebihan ). (Tanzi dan Zee
2000 cit)
Hampir semua negara di dunia menyebutkan bahwa Revenue Collection untuk
kesehatan tergantung dari keuangan negara. Dari perspektif keuangan publik, semua
pajak (pendapatan dan sumber pendapatan lain) merupakan komponent penting Revenue
Collection yang mempunyai ciri sebagai berikur: (kriteria IMF dan Word Bank 2005
cit.):
I. a)Kecukupan dan stabilitas pendapatan: pajak harus meningkatkan pendapatan, relatif
stabil, dan kemungkinan besar akan meningkat dari waktu ke waktu.
II. b)Efisiensi: pajak harus meminimalkan distorsi ekonomi.
III. c)Ekuitas: pajak harus memperlakukan kelompok pendapatan yang berbeda secara
adil.
IV. d)Kemudahan mengumpulkan: administrasi pajak harus sederhana
V. e)Akseptabilitas politik: harus ada transparansi, penyebaran yang luas, dan kejelasan
tentang penggunaan pajak untuk mempromosikan akseptabilitas.
Berbagai perusahaan mempunyai sistem jaminan sendiri sehingga ada dana masuk ke sektor
kesehatan. Sebagai gambaran PT Pertamina mempunyai sistem jaminan kesehatan sendiri.
Pooling risk merupakan kontribusi yang dikumpulkan agar biaya perawatan kesehatan
dimiliki oleh semua (ditanggung bersama) dan tidak ditanggung oleh individu pada saat
mereka jatuh sakit. Hal ini memerlukan solidaritas di dalam masyarakat (World Bank, 2006).
Definisi lain bahwa pooling merupakan kontribusi yang digunakan untuk membeli atau
menyediakan intervensi kesehatan yang tepat dan efektif (WHO, 2005). Dalam Peta Jalan
Menuju JKN (2012), risk pooling (kegotong-royongan ) adalah upaya bersama agar semua
penduduk berkontribusi (membayar iuran/ pajak) agar terkumpul (pool ) dana untuk
membiayai pengobatan siapa saja yang sakit.
Definisi pooling Risk memang sering tidak jelas. Memastikan perlindungan finansial berarti
bahwa tidak ada rumah tangga yang harus memberikan kontribusi pada program kesehatan
sehingga yang bersangkutan akan jatuh ke dalam dan tidak bisa mengatasi kemiskinan ( ILO /
STEP 2002). Mencapai tingkat perlindungan yang memadai membutuhkan pooling yang:
mampu melakukan penyatuan terbesar dari risiko kesehatan dalam
suatu populasi , sehingga memfasilitasi redistribusi antara individu yang
beresiko tinggi dan individu yang berisiko rendah.
Prinsip equity juga mensyarakatkan agar dalam proses pooling tersebut ada masyarakat yang
berpenghasilan tinggiyang masuk namun mempunyai status kesehatan yang cukup.
Dalam sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia fungsi pooling risk dapat melibatkan
kementerian kesehatan atau pelayanan kesehatan nasional, organisasi jaminan sosial, asuransi
kesehatan swasta sukarela, dan asuransi kesehatan berbasis masyarakat (seperti Jamkesda
atau yang lainnya). Pooling risk dilakukan oleh Pemerintah pada APBD Daerah dan APBN
Pusat untuk pelayanan kesehatan. DI dalam proses penyusunan APBN dan APBD pooling
risk dapat ditetapkan untuk membantu masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan
mempunyai kemampuan membayar rendah melalui perencanaan yang rasional.
Sementara itu pooling di BPJS Kesehatan ada kemungkinan tidak memberikan komposisi
yang baik. Peserta non-PBI yang mandiri ada kemungkinan berasal dari kelompok
masyarakat yangsudah sakit atau cenderung sakit. Sementara yang sehat cenderung tidak
masuk atau mempunyai asuransi kesehatan sendiri di luar BPJS. Hal ini dapat disebut sebagai
contoh dari proses adverse selection. Sementara itu pooling the risk untuk pelayanan kesehan
di badan asuransi swasta cenderung hanya untuk mereka yang mampu dan sehat. Keadaan ini
yang perlu diperhatikan.
Purchasing
Dalam konteks ini, UU SJSN telah merumuskan cara-cara pembayaran yang efisien
(prospektif seperti kapitasi, budget dan berbasis diagnosis) yang bervariasi di berbagai
wilayah untuk menggambarkan perbedaan biaya hidup atau harga barang-barang dan tenaga
kesehatan (Peta JKN, 2012). Peningkatan efisiensi (baik secara teknis dan alokatif) dari
pengaturan pembelian memberikan nilai yang lebih baik. Oleh karena itu penting
menyediakan cara untuk memperoleh tambahan "pembiayaan" dalam sistem kesehatan
(Hensher 2001).
Dalam konteks pembelian ini yang meliputi paket manfaat, daftar tarif, kontrak
provider, akreditasi, mekanisme pembayaran ke pengguna, mekanisme klaim, sistem
pencegahan fraud, dan lain sebagainya, terlihat ada potensi masalah. Ketidak merataan
pelayanan kesehatan dan adanya pembagian Regional 1 sampai Regional V dalam
pelaksanaan INA-CBG sudah menunjukkan bahwa walaupun ada dana dari pemerintah,
terdapat keterbatasan manfaat. Hal ini dapat mengancam tercapainya universal coverage.
Pengeluaran kesehatan Indonesia relatif rendah dan negara ini mendapatkan „nilai ekonomi‟
yang cukup besar dalam hal sebagian hasil kesehatan dan juga perlindungan finansial yang
relatif baik
Kekuatan
o Infrastruktur fisik dan ketenagaan masih terbatas dan menghadapi masalah kualitas
dan efisiensi
o Dibutuhkan perbaikan signifikan dalam hal kualitas dan biaya obat, yang merupakan
sepertiga dari pengeluaran
o Tidak ada studi komprehensi terhadap status kesehatan dan dampak finansial, biaya
aktual, dan keberlanjutan masa depan dari program-program Askeskin/Jamkesmas.
Indonesia’s reform process needs to address both broad policy concerns such as the final
system design and transition options as well as numerous ‘devils in the details’ including the
design of the basic benefits package; groups eligible for public subsidies; identification and
collection of premiums from informal sector workers; how medical care providers will be paid;
how the reform will be financed; who will administer the program; and, how will better health
outcomes, financial protection, consumer responsiveness, quality, efficiency, equity, and
financial sustainability be assured.
Sistem asuransi sosial mewajibkan pesertanya membayarkan premi ke lembaga asuransi yang ditunjuk negara.
Saat ini kurang dari 10% penduduk Indonesia (sekitar 17 juta orang)yaitu hanya pegawai negeri peserta PT
Askes dan pegawai swasta peserta Jamsostek yang sudah masuk dalam sistem asuransi kesehatan sosial.
Sistem pembiayaan kesehatan yangberlaku sekarang didominasi sistem pajak yaitu negara membayar langsung
kepada pemberi pelayanan kesehatan melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Masyarakat atau
JaminanKesehatan Daerah (Jamkesmas/Jamkesda) yang mencakup lebih dari 75 juta penduduk.
Program Jamkesmas adalah suatu program pengganti Asuransi Kesehatan untuk Keluarga Miskin (Askeskin)
yang mulai dilaksanakan tahun 2008. Pemerintah mengatakan jika SJSNefektif nanti diterapkan sepenuhnya di
indonesia maka Program Jamkesmas akan disesuaikan dengan SJSN tersebut.
Sementara itu dualisme yang berlangsung yaitu antara UU yang berlaku dan implementasinya di lapangan,
membingungkan pengambilan kebijakan teknis dan berdampak padainefesiensi , kurang tepatnya sasaran dan
ketidakadilan akses dalam pelayanan kesehatan.
Padahal sekarang ini Indonesia memerlukan suatu kebijakan yang menyeluruh dan terpadu untuk menjawab
tantangan yang dihadapi dalam pembiayaan kesehatan yangsemakin kompleks yang disebabkan antara oleh:
perubahan pola kependudukan Indonesia, jenis penyakit yang dihadapi dan juga perubahan nutrisi yang
disebabkan oleh perubahan polahidup.
Indonesia masih dianggap negara yang kurang memberikan prioritas kesehatan untuk penduduknya. Hal ini
dibuktikan dengan rendahnya alokasi dana pemerintah untuk sektor kesehatan yangjumlahnya hanya sekitar 2%
dari PDB, dan masih jauh dibawah rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO yang
merekomendasikan 5% dari PDB.
Saat ini kebijakan pembiayaan kesehatan yang berlaku di Indonesia tidak konsisten dengan UU yang
mengaturnya. Disatu pihak, peraturan yang mengatur kebijakan ini yaitu UU no 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional menyatakan bahwa sistim pembiayaan kesehatan berbasis asuransi sosial, namun
dalam implementasinya sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia didominasi oleh pembiayaan pemerintah dari
sumber pajak.
Sistem asuransi sosial mewajibkan pesertanya membayarkan premi ke lembaga asuransi yang ditunjuk negara.
Saat ini kurang dari 10% penduduk Indonesia (sekitar 17 juta orang) yaitu hanya pegawai negeri peserta PT
Askes dan pegawai swasta peserta Jamsostek yang sudah masuk dalam sistem asuransi kesehatan sosial. Sistem
pembiayaan kesehatan yang berlaku sekarang didominasi sistem pajak yaitu negara membayar langsung kepada
pemberi pelayanan kesehatan melalui mekanisme Jaminan Kesehatan Masyarakat atau Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesmas/Jamkesda) yang mencakup lebih dari 75 juta penduduk.Program Jamkesmas adalah suatu
program Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU no 40/2004) belum dapat diberlakukan efektif
Undang-undang ini telah ditandatangani Presiden Megawati tahun 2004, namun sampai saat ini belum ada
Peraturan Pemerintah (PP) yang mengimplementasikan UU tersebut.
UU SJSN juga telah mengalami uji judicial (Judicial Review) oleh Mahkamah Konstitusi dan salah satu
pasalnya dianulir (pasal 5 yaitu menyangkut penyebutan PT Askes, PT Jamsostek, PT Taspen dan ASABRI
sebagaiBadan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Selain itu, UU yang memuat Sistem Jaminan Kesehatan, Pensiun dan Jaminan Kematian seperti UU no 40/2004
mendapatkan kritik yang tajam. Banyak negara maju yang memisahkan Jaminan Kesehatan dari Jaminan Sosial
lain. Contoh terbaru adalah UU reformasi system asuransi kesehatan di Amerika Serikat yang berhasil
diberlakukan oleh Pemerintah Obama.
UU SJSN ini dianggap oleh banyak daerah sebagai sistim yang "sentralistik" dan "tidak sesuai dengan semangat
desentralisasi" karena tidak memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah lokal untuk memenuhi
pelayanan kesehatan masyarakat lokal. Dengan berbagai hambatan, kesulitan serta kompleksitas dari
pemberlakuan UU SJSN ini, justru yang diperlukan Indonesia sekarang ini adalah suatu system jaminan
kesehatan yang menyeluruh.
Tidak mengherankan kalau sekarang ini UU no 40/2004 belum efektif menjawab tantangan pembiayaan
kesehatan penduduk Indonesia. Askeskin/Jamkesmas Kurang Efektif Menjamin Kesetaraan Layanan Kesehatan
Berbagai studi yang dikompilasi Bank Dunia menyimpulkan bahwa Jamkesmas ternyata hanya membantu
masyarakat tidak mampu yang hidup di sekitar kota (urban poor), tetapi tidak masyarakat miskin di desa (rural
poor) karena kesulitan mencapai pusat layanan kesehatan dan tidak meratanya fasilitas layanan kesehatan.
Walaupun demikian, program ini cukup membantu mereka yang sakit sehingga terhindar dari pemiskinan akibat
sakit. Dibandingkantahun 2001, pada tahun 2006 terjadi penurunan beban biaya rumah tangga akibat sakit
sebesar kurang lebih separuhnya.
UU SJSN dan Jamkesmas adalah kebijakan yang didasarkan pada dua prinsip yang berbeda UU SJSN adalah
sistem pembiayaan berbasis Asuransi Sosial sedangkan Jamkesmas dan juga sebagian Jamkesda adalah sistem
berbasis pajak tanpa perhitungan asuransi.
Suatu negara biasanya hanya mempunyai satu sistem yang utama, yaitu sistim pajak atau asuransi. Inggris
misalnya memilih untuk menggunakan sistem pajak, sedangkan Jerman memilih sistem asuransi. Indonesia
dengan “dualisme” sistem ini menyebabkan permasalahan dalam implementasinya, misalnya antara lain tidak
tepatnya sasaran peserta Jamkesmas, rumitnya sistem klaim oleh rumah sakit, dan tingginya biaya administrasi.
Rekomendasi Kebijakan
Dianjurkan agar Indonesia segera memutuskan untuk memilih satu sistem pembiayaan utama dan konsisten
dengan pelaksanaannya.
Pilihan 1:
Apabila ingin memperluas kepesertaan Jamkesmas (melalui mekanisme pajak tanpa menggunakan prinsip
asuransi sosial) maka perlu ada revisi UU SJSN.Bila perlu memisahkan UU tentang Jaminan Kesehatan berdiri
sendiri, terpisah dari UU SJSN. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan pendapatan sektor pajak untuk
menjaga agar tersedia anggarankesehatan yang memadai guna menjamin keberlangsungan Jamkesmas.
Pilihan 2
Namun apabila ingin konsisten dengan UU SJSN (yaitu melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial)
sebaiknya segera disusun Peraturan Pemerintah(PP), Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) atau aturan
perundangan teknis yang lain yang mendukung agar UU SJSN ini dapat diberlakukan.
Sistem pembiayaan kesehatan berfungsi untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan agar masyarakat
dapat terhindar dari pengeluaran biaya yang besar ketika mereka sakit. Apapun sistemnya (alternatif 1 atau 2),
asal ada fungsi perlindungan finansil yang dapat diberlakukan maka system tersebut dapat dikatakan efektif.
Selain itu, system pembiayaan juga harus menjamin adanya equity atau kesetaraan akses layanan kesehatan pada
masyarakat.
Sistem pembiayaan jangan hanya menguntungkan mereka yang mudah memperoleh akses layanan kesehatan,
seperti misalnya mereka yang tinggal di kota besar atau dekat kota yang jumlah penyedia layanan kesehatannya
memadai. Akhirnya, sistim pembiayaan kesehatan ini hanya akan efektif bila disediakan juga suatu sistem
penyediaan pelayanan kesehatan yang merata.
Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang kesehatan sebagai elemen penyangga,
yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap
keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan
kita sendiri.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup
bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom
untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari
pusat.
Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :
1.Upaya Kesehatan
2.Pembiayaan Kesehatan
3.Sumber Daya Manusia Kesehatan
4.Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
5.Pemberdayaan Masyarakat
6.Manajemen Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa
faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun
sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan
(fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran
pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena
kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang
mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan
efisien akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang
hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi. Relatif ketatnya birokrasi di
lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta
masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim,
jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang
amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai
tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan
pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang
berkualitas (assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara
seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk
menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency)
dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan
yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada
umumnya adalah dalam area sebagai berikut:
1.meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan
2.mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan
masyarakat miskin
3.pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan
sosial (SHI)
4.penggalian dukungan nasional dan internasional
5.penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional
6.pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta
ilmiah
7.pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal
pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan
kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan
efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang
memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna,
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Strategi Pembiayaan Kesehatan
Mekanisme pembayaran (payment mechanism), yang dilakukan selama ini adalah provider
payment melalui sistem budget, kecuali untuk pelayanan persalinan yang oleh bidan di klaim
ke Puskesmas atau Kantor Pos terdekat. Alternatif lain adalah empowerment melalui sistem
kupon. Kekuatan dan kelemahan alternatif-alternatif tersebut perlu ditelaah dengan
melibatkan para pelaku di tingkat pelayanan.
Informasi tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing cara tersebut juga merupakan
masukan penting untuk melengkapi kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan
kesehatan penduduk miskin.Alternatif Sumber Pembiayaan: Prospek Asuransi Kesehatan
Dalam penyaluran dana JPS-BK tahun 2001, dicoba dikembangkan JPKM (Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) sebagai wadah penyaluran dana JPS-BK. Upaya
tersebut umumnya tidak berhasil, karena dalam praktik yang dilakukan hanyalah pemberian
jasa administrasi keuangan yang dikenal sebagai TPA (Third Party Administration).
Berdasarkan pengalaman tersebut diketahui bahwa salah satu prinsip pokok asuransi tidak
bisa diterapkan, yaitu “pooling of risk”. Dalam prinsip ini risiko ditanggung peserta dari
berbagai tingkatan, tidak hanya oleh penduduk miskin. Selain itu, 4 pemberian ”premi”
sebesar Rp 10.000/Gakin (dan dipotong 8% oleh Badam Pelaksana JPKM) tidak didasarkan
pada perhitungan risiko finansial mengikuti prinsip-prinsip aktuarial yang profesional.
Curative vs Preventive Care
1.Sebagian besar dana (pemerintah & swasta) dialokasikan ke program kuratif.
2.Pengalaman empiris menunjang bahwa kegiatan preventif lebih efektif meningkatkan status
kesehatan ketimbang curative care
3.Persepsi preventive, bisa ditunda karena tidak immediate needs- sering salah
Kenapa Preventive tidak menjadi Prioritas?
1.Negara berkembang cenderung alokasi lebih besar ke kuratif dibanding preventif –
immediate needs
2.Tenaga kesehatan lebih terlatih untuk memberi pelayanan kuratif dari pada kuratif
3.Ukuran preventif tidak selalu berkaitan langsung dengan kesehatan, seperti diet, exercise,
dll.
4.Pendapatan perkapita negara yang tinggi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi , sadar untuk
alokasi preventif
Kesehatan sebagai barang Konsumsi dan Investasi
•Sebagai barang konsumsi yang langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(konsumsi), atau
•Kesehatan sebagai kendaraan untuk meningkatkan output dalam perekonomian? (investasi)
Makna investasi dalam budget berbeda yaitu biaya pembelian barang fisik, alat untuk RS atau
fasilitas kesehatan lainnya.
Pendidikan dan Pelatihan
1.Pendidikan untuk tenaga kesehatan : dokter, spesialis, dokter gigi, apoteker, public health,
ada di bawah diknas
2.Pendidikan untuk tenaga kesehatan: perawat, tenaga analis, bidan, ada di bawah depkes
3.Pendidikan dan kesehatan militer: Pendidikan untuk pengobatan alternatif
4.Lebih rasional masuk – ke sektor pendidikan
Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan
seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam
kehidupan berbangsa, pembangunan kesehatan sesungguhnya bernilai sangat investatif. Nilai
investasinya terletak pada tersedianya sumber daya yang senatiasa “siap pakai” dan tetap
terhindar dari serangan berbagai penyakit. Namun, masih banyak orang menyepelekan hal
ini. Negara, pada beberapa kasus, juga demikian.
Minimnya Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi akan pentingnya bidang kesehatan sebagai elemen penyangga,
yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang justru akan menyerap
keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru yang muncul karena kesalahan
kita sendiri.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2010, pada prinsipnya menyiratkan pendekatan sentralistik
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, sebuah paradigma yang nyatanya cukup
bertentangan dengan anutan desentralisasi, dimana kewenangan daerah menjadi otonom
untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya tanpa harus terikat jauh dari
pusat.
Sistem Kesehatan Nasional
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) terdiri atas :
1.Upaya Kesehatan
2.Pembiayaan Kesehatan
3.Sumber Daya Manusia Kesehatan
4.Sumber Daya Obat dan Perbekalan Kesehatan
5.Pemberdayaan Masyarakat
6.Manajemen Kesehatan
Sebagai subsistem penting dalam penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa
faktor penting dalam pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran
(kuantitas) anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun
sumbangan sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan
(fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Terbatasnya anggaran kesehatan di negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan.
Berbagai hal bias dianggap sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran
pemerintah untuk menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena
kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri yang sedang
mengalami transisi demokrasi ini.
Ironisnya, kelemahan ini bukannya tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan
efisien akibatnya, banyak kita jumpai penyelenggaraan program-program kesehatan yang
hanya dilakukan secara asal-asalan dan tidak tepat fungsi. Relatif ketatnya birokrasi di
lingkungan departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran serta
masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi sangat minim,
jika tak mau disebut tidak ada sama sekali.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang
amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai
tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan
pelayanankesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang
berkualitas (assured quality) . Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan di suatu negara
seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk
menjamin terselenggaranya kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency)
dan efektifitas (effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan
yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada
umumnya adalah dalam area sebagai berikut:
1.meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan
2.mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan kesehatan
masyarakat miskin
3.pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan
sosial (SHI)
4.penggalian dukungan nasional dan internasional
5.penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional
6.pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta
ilmiah
7.pemantauan dan evaluasi.
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa hal
pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan
kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan, peningkatan
efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas pelayanan yang
memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang
mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna,
untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Strategi Pembiayaan Kesehatan
Mekanisme pembayaran (payment mechanism), yang dilakukan selama ini adalah provider
payment melalui sistem budget, kecuali untuk pelayanan persalinan yang oleh bidan di klaim
ke Puskesmas atau Kantor Pos terdekat. Alternatif lain adalah empowerment melalui sistem
kupon. Kekuatan dan kelemahan alternatif-alternatif tersebut perlu ditelaah dengan
melibatkan para pelaku di tingkat pelayanan.
Informasi tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing cara tersebut juga merupakan
masukan penting untuk melengkapi kebijakan perencanaan dan pembiayaan pelayanan
kesehatan penduduk miskin.Alternatif Sumber Pembiayaan: Prospek Asuransi Kesehatan
Dalam penyaluran dana JPS-BK tahun 2001, dicoba dikembangkan JPKM (Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat) sebagai wadah penyaluran dana JPS-BK. Upaya
tersebut umumnya tidak berhasil, karena dalam praktik yang dilakukan hanyalah pemberian
jasa administrasi keuangan yang dikenal sebagai TPA (Third Party Administration).
Berdasarkan pengalaman tersebut diketahui bahwa salah satu prinsip pokok asuransi tidak
bisa diterapkan, yaitu “pooling of risk”. Dalam prinsip ini risiko ditanggung peserta dari
berbagai tingkatan, tidak hanya oleh penduduk miskin. Selain itu, 4 pemberian ”premi”
sebesar Rp 10.000/Gakin (dan dipotong 8% oleh Badam Pelaksana JPKM) tidak didasarkan
pada perhitungan risiko finansial mengikuti prinsip-prinsip aktuarial yang profesional.
Curative vs Preventive Care
1.Sebagian besar dana (pemerintah & swasta) dialokasikan ke program kuratif.
2.Pengalaman empiris menunjang bahwa kegiatan preventif lebih efektif meningkatkan status
kesehatan ketimbang curative care
3.Persepsi preventive, bisa ditunda karena tidak immediate needs- sering salah
Kenapa Preventive tidak menjadi Prioritas?
1.Negara berkembang cenderung alokasi lebih besar ke kuratif dibanding preventif –
immediate needs
2.Tenaga kesehatan lebih terlatih untuk memberi pelayanan kuratif dari pada kuratif
3.Ukuran preventif tidak selalu berkaitan langsung dengan kesehatan, seperti diet, exercise,
dll.
4.Pendapatan perkapita negara yang tinggi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi , sadar untuk
alokasi preventif
Kesehatan sebagai barang Konsumsi dan Investasi
•Sebagai barang konsumsi yang langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(konsumsi), atau
•Kesehatan sebagai kendaraan untuk meningkatkan output dalam perekonomian? (investasi)
Makna investasi dalam budget berbeda yaitu biaya pembelian barang fisik, alat untuk RS atau
fasilitas kesehatan lainnya.
Pendidikan dan Pelatihan
1.Pendidikan untuk tenaga kesehatan : dokter, spesialis, dokter gigi, apoteker, public health,
ada di bawah diknas
2.Pendidikan untuk tenaga kesehatan: perawat, tenaga analis, bidan, ada di bawah depkes
3.Pendidikan dan kesehatan militer: Pendidikan untuk pengobatan alternatif
4.Lebih rasional masuk – ke sektor pendidikan
(MDG's). Terlihat pada masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, masih
rendahnya kualitas sanitasi & air bersih, laju penularan HIV/AIDS yang kian sulit
dikendalikan, serta meningkatnya beban utang luar negeri yang kian menumpuk.
Indonesia yang termanifestasi pada posisi peringkat Indonesia yang kian menurun
pada Human Development Growth Index. Pada tahun 2006 Indonesia menyentuh
peringkat 107 dunia, 2008 di 109, hingga tahun 2009 sampai dengan 2010 masih di
posisi 111. Posisi Indonesia ternyata selisih 9 peringkat dengan Palestina yang
berada di posisi 101. Sulit dipungkiri, dan sungguh ironis (Progres Report in Asia &
di Indonesia sebesar Rp. 171.511, sementara Malaysia mencapai $ 374. Dari segi
untuk sektor kesehatan, pemerintah hanya mampu mencapai 2,2 persen dari GNP
sementara Malaysia sebesar 3,8 persen dari GNP. Kondisi ini masih jauh dibanding
Amerika Serikat yang mampu mencapai 15,2 persen dari GNP pada 2003
(Adisasmito, 2008:78).
Untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG's) tahun 2015, perlu
pemerintah.
2. Menjadikan mahasiswa agar lebih memahami masalah system pembiayaan di
Indonesia.
3. Dapat dijadikan sebagai data dasar pengambilan keputusan untuk menyusun suatu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam upaya
diatas maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yakni:
1. Penyedia pelayanan kesehatan
Biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan kesehatan adalah besarnya dana
Secara umum sumber biaya kesehatan ini dapat dibedakan atas dua macam:
Pada negara seperti ini masyarakat diajak berperan serta, baik dalam
kesehatan.
2.3. Macam-macam Biaya Kesehatan
Biaya kesehatan banyak ragamnya, tergantung pada kompleksitas pelayanan
tersebut lebih diutamakan pada upaya kesehatan yang menghasilkan dampak vang
penvakit.
Peningkatan efisiensi
Peningkatan efisiensi dikaitkan dengan memperkenalkan berbagai mekanisme
dapat dihindari pemborosan. Pada dasarnya ada dua macam standar minimal yang
minimal laboratorium.
Standar minimal tindakan
Contoh standar minimal tindakan ialah tata cara pengobatan dan perawatan
dapat dihindari dan dengan demikian akan dapat ditingkatkan efisiensinya, tetapi
juga sekaligus dapat pula dipakai sebagai pedoman dalam menilai mutu pelayanan.
b. Kerjasama
Bentuk lain yang diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi ialah memperkenalkan
kedokteran yang mahal (cost sharing) dan jarang dipergunakan. Dengan pembelian
dan pemakaian bersama ini dapat dihematkan dana yang tersedia serta dapat pula
rujukan, Yakni adanya hubungan kerja sama timbal balik antara satu sarana
Negara Eropa sejak Jerman dibawah Bismarck pada tahun 1882 kemudian ke
Negara-negara Asia lainnya yakni Philipina, Korea, Taiwan. Kelebihan sistem ini
Sistem ini gagal mencapai cakupan 100% penduduk sehingga Bank Dunia
Serikat adalah negara dengan pengeluaran untuk kesehatannya paling tinggi (13,7%
GNP) pada tahun 1997 sementara Jepang hanya 7% GNP tetapi derajat kesehatan
lebih tinggi Jepang. Indikator umur harapan hidup didapatkan untuk laki-laki 73,8
tahun dan wanita 79,7 tahun di Amerika Serikat sedang di Jepang umur harapan
hidup laki-laki 77,6 tahun dan wanita 84,3 tahun. Terakhir model National Health
Services dirintis pemerintah Inggris sejak usai perang dunia kedua. Model ini juga
Kesehatan Nasional yang dimulai pada tahun 2014 yang secara bertahap menuju ke
Universal Health Coverage. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional secara umum yaitu
ke Universal Coverage merupakan hal yang baik namun mempunyai dampak dan
risiko sampingan.
BAB III
PEMBAHASAN
Masalah-masalah yang terjadi pada JKN dan penyebabnya.
Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi
masyarakat.
Penyebab:
Kurangnya fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan sulitnya menjangkau fasilitas
kurangnya supply (penyediaan layanan oleh pemerintah dan pihak lain), sehingga
akan muncul kesulitan terhadap akses ke fasilitas kesehatan. Hal ini berimbas pada
masyarakat di wilayah Indonesia bagian timur yang tidak memiliki banyak pilihan
adalah tanpa adanya peningkatan supply di Indonesia bagian timur, dana BPJS
seksama.
Buruknya pelayanan yang diberikan
Penyebab:
Salah satu hal utama yang menyebabkan buruknya pelayanan itu adalah
Mekanisme kendali mutu dan biaya yang diatur lewat Permenkes Tarif JKN itu
Kesehatan itu dinilai tidak mampu memberikan pelayanan terbaik bagi peserta BPJS
Kesehatan. Sehingga fasilitas kesehatan yang selama ini melayani peserta JPK
tentang Tarif JKN yang intinya mengatur paket biaya dalam INA-CBGs. Lewat sistem
Ketidakmerataan BPJS
Jaminan Kesehatan Nasional/JKN adalah amanah UUD 1945. Ketidakmerataan
BPJS ke pelosok negeri terutama daerah Indonesia timur dapat diatasi dengan cara:
Pertama, pemerintah harus segera merealisasikan anggaran minimal 10% dari
BPJS dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat
Indonesia secara adil dan merata tanpa menguntungkan salah satu kelompok
masyarakat.
Kedua, pemerintah bisa melibatkan organisasi profesi seperti IDI, PPNI, dan
organisasi sosial masyarakat jika JKN ingin sukses. Organisasi profesi mempunyai
sumber daya dan perangkat organisasi yang memadai serta keterlibatan organisasi
profesi juga bisa memberikan pemahaman tentang besarnya kapitasi dan jasa medis
yang selama ini bekerjasama mau melayani peserta BPJS Kesehatan. Serta
Menkes harus mengubah regulasi Permenkes tentang Tarif JKN tersebut karena
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk
Services).
7. Sistem Pembiayaan kesehatan di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Jaminan
Kesehatan Nasional.
8. Masalah-masalah yang terjadi pada JKN dan penyebabnya:
Ketidakmerataan ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan dan kondisi
masyarakat
Masalah lain adalah besarnya re-imbustment dari BPJS untuk rumah sakit yang
menghargai tenaga kesehatan dan pengelola rumah sakit dapat menurunkan mutu
pelayanan.
Buruknya pelayanan yang diberikan
4.2. Saran
Sebagai calon seorang tenaga kesehatan, kita sudah seharusnya memahami
tentang JKN dan masalah apa saja yang ada didalamnya, karena kita selalu terlibat
dengan pasien dan terlebih lagi jika dapat mengusulkan penyelesaian terhadap
masalah yang terjadi. Dengan memahami yang terjadi kita akan tetap dapat
DAFTAR PUSTAKA
Kompasiana.2011.kesehatan.
(http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2011/10/16/kebijakan-pembiayaan-
(http://www.pdgi.or.id/news/detail/penyelenggaraan-sjsn-kesehatan-2014). diakses
(http://www.jamsosindonesia.com/sjsn/Program/program_jaminan_kesehatan)diakse
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt529da399cb129/bpjs-kesehatan-harus-
(http://www.academia.edu/4377519/JAMINAN_KESEHATAN_DALAM_SISTEM_JA
08.00 WIB.
(http://nuansabuletin.blogspot.com/2013/01/perhatian-terhadap-kesehatan-di.html).
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e4051a62d3c/cabut-regulasi-