You are on page 1of 674
AZHURA'S BRIDE PROJECTSAIRAAKIRA Pengantar Admin PSA. Novel Azhura’s Bride versi e-book ini spesial karena terdapat satu cerita bonus di akhir cerita yang tidak ada di versi web. Terima kasih kepada seluruh Vitamins yang telah mengapresiasi Author 2 yang dengan sepenuh hati menyelesaikan cerita luar biasa ini, Admin menginisiasi terbitnya Novel Azhura’s Bride secara digital karena Admin salah satu fans berat AB dan merasa Novel ini wajib untuk diterbitkan dan diapresiasi lebih baik oleh pembacanya. Sinopsis Azhura Kahn... Namanya berarti cahaya Mahi. Dia adalah dewa dari segala dewa, dengan kekuatan tertinggi di Ametyst, dunia mereka yang subur dan makmur. Banyak dewa dan dewi yang dipuja oleh penduduk Ametyst, tetapi hanya satu yang dipuja sekaligus ditakuti oleh manusia dan bahkan juga ditakuti oleh kalangan dewa. Dia adalah Azhura Kahn. Namanya disebutkan dengan penuh hormat dan bibir bergetar, kuil-kuil pemujaan untuknya adalah yang terbesar dari segala yang ada. Di dalam Kuil raksasa di Garaya, ada patung yang melambangkan dirinya, dibuat dari emas murni bertaburkan berlian, dengan sosok seperti manusia bertubuh sempurna, matanya selalu dilambangkan menatap tajam kepada pemuja yang membungkuk di bawahnya, dan dagunya selalu dibuat yang mendongak penuh keangkuhan, Kedua tangannya memegang pedang yang terhunus di tangan kiri dan tengkorak di tangan kanan, Bunga-bunga persembahan bertaburan di bawah kaki patung dirinya. Seluruh penduduk selalu membungkuk di hadapannya, hampir enam belas kali sehari, memuja sang dewa. Dulu sekitar lima ratus tahun yang lalu, kisah betapa dasyatnya kekuatan Azhura Kahn masih terngiang di telinga seluruh manusia, kisah yang diturunkan selama ratusan tahun, setiap kisah membawa penuturan yang berbeda, tetapi pesannya tetap sama : “Jangan pernah membuat marah sang Mahadewa, Azhura Kahn. Dan jangan pernah mengganggu Kerajaan Garaya, karena isteri Azhura Kahn dipercaya akan terlahir di Kerajaan Garaya.” Seorang perempuan biasa, dari kalangan manusia biasa, akan dilahirkan di Garaya untuk menjadi isteri dari Azhura Kahn yang agung....... mungkinkah itu? Prolog Azhura Kahn Namanya berarti cahaya Tabi. Dia adalah dewa dari segala dewa, dengan kekuatan tertinggi di Ametyst, dunia mereka yang subur dan makmur. Banyak dewa dan dewi yang dipuja oleh penduduk Ametyst, tetapi hanya satu yang dipuja sekaligus ditakuti oleh manusia dan bahkan juga ditakuti oleh’ kalangan dewa. Dia adalah Azhura Kahn. Namanya disebutkan dengan penuh hormat dan bibir bergetar, kuil-kuil pemujaan untuknya adalah yang terbesar dari segala yang ada. Patung yang melambangkan dirinya, dibuat dari emas murni bertaburkan berlian, dengan sosok seperti manusia bertubuh sempurna, matanya selalu dilambangkan menatap tajam kepada pemuja yang membungkuk di bawahnya, dan dagunya selalu dibuat mendongak penuh keangkuhan, dan kedua tangannya memegang pedang dan tengkorak. Bunga-bunga persembahan bertaburan di bawah kaki patung dirinya, Seluruh penduduk selalu membungkuk di hadapannya, hampir enam belas kali schari, memuja sang dewa. Salah satu kuil Azhura Kahn yang terbesar ada di sini : Garaya, sebuah negara kecil penghasil buah kulsu, buah berwarna orange keemasan dengan daging buah yang lembut berair, sangat terkenal untuk sajian keluarga kerajaan. Hampir seluruh perbukitan Garaya ditanami pohon buah kulsu, memenuhi seluruh bukit dengan daun pohonnya yang berwarna orange terang. Lokasinya ada di selatan peta dunia Ametyst, sebuah kerajaan kecil tetapi makmur dan ditakuti, karena dulu, disinilah Azhura Kahn pernah muncul dan menunjukkan kekuatannya kepada manusia. Dulu sekitar lima ratus tahun yang lalu, kisah betapa dasyatnya kekuatan Azhura Kahn masih terngiang di telinga seluruh manusia, kisah yang diturunkan selama ratusan tahun, setiap kisah membawa penuturan yang berbeda, tetapi pesannya tetap sama : Jangan pernah membuat marah sang Mahadewa, Azhura Kahn. Kisah itu tetap sama, mengisahkan seorang raja dengan kekuatan besar bernama Raja Savala, yang merasa bisa mengalahkan sang Azhura Kahn. Raja Savala adalah raja yang terkuat di dunia Ametyst pada masa itu, lelaki itu setengah dewa setengah manusia, Raja Savala menaklukkan hampir seluruh kerajaan di sekitarnya, wilayah jajahan dan kekuasaannya sangat luas, hingga dia disebut sebagai sang penakluk. Hanya ada satu ganjalannya : kerajaan Garaya, kerajaan kecil yang subur diujung selatan dunia. Raja Savala sudah pasti akan membumi hanguskan kerajaan itu, karena pendeta yang juga merangkap sebagai pemimpin kerajaan menolak mengirimkan persembahan upeti dan budak belian sebagai tanda takluk kepadanya. Kerajaan Garaya memang didominasi oleh kalangan pendeta pemuja sang Mahadewa, Azhura Kahn. Kuil-kuil persembahan untuk sang Mahadewa tersebar di seluruh penjuru kota, dengan penduduknya yang selalu membawa keranjang-keranjang bunga dan persembahan untuk sang Azhura. Raja Savala mengirimkan utusannya, untuk mengancam Sang Pendeta tertinggi supaya tunduk di bawah kekuasaannya, Sang pendeta tertinggi malahan mengirimkan utusannya kembali pulang kepadanya, dengan membawa pesan, bahwa Kerajaan Garaya hanya akan tunduk kepada satu saja, Mahadewa Azhura Kahn. Raja Savala marah besar, dia merasa sebagai yang terkuat. Tidak ada siapapun di Ametyst ini yang bisa mengalahkannya. Bahkan sang Mahadewa Azhura Kahn pun tidak pernah muncul di dunia ini. Namanya memang selalu bergaung, tetapi keberadaannya hanyalah mitos belaka. Para penasehat Raja Savala sudah berusaha mencegahnya membumi hanguskan kerajaan Garaya, mereka adalah orang kolot yang percaya bahwa Azhura Kahn memang benar adanya, Mereka percaya bahwa_menyerang kerajaan yang memuja sang Mahadewa adalah keputusan bodoh dengan konsekuensi menakutkan. Tapi Raja Savala tidak peduli, Berbekal kesombongan dan kekejaman yang menguasai hatinya, dia memimpin sendiri ribuan pasukannya yang bengis, untuk menyerang kerajaan Garaya. Posisi mereka tidak seimbang, kerajaan Garaya tidak punya pasukan, pemimpin tertinggi kerajaan mereka pun hanyalah seorang pendeta tertinggi kuil pemujaan Azhura Kahn. Maka terjadilah penghancuran yang menakutkan, Dari cerita-cerita itu, semuanya mengisahkan bahwa kerajaan Garaya benar-benar luluh lantak dalam arti yang sesungguhnya. Seluruh rumah penduduk yang tidak berdosa dibakar sampai hangus, lelaki, perempuan dan bahkan anak-anak yang tidak berdaya dimusnahkan dengan kejam, dan kuil terbesar Azhura Kahn diserang, pintu pualamnya yang tinggi dirobohkan, dan Raja Savala sendiri yang memimpin penyerbuan untuk menghancurkan kuil sang Mahadewa. Ketika mereka memasuki kuil raksasa itu, hanya ada satu orang disana, sang pendeta tertinggi menunggu sambil berdiri menghadang, seolah ingin melindungi patung Azhura Kahn yang dihormati di belakangnya, dikisahkan bahwa Raja Savala maju, lalu menusuk sang pendeta tertinggi tepat di jantungnya, dengan pedangnya yang besar dan berkilauan. Masih terdengar tawa keras penuh kepuasan Raja Savala, ketika sang pendeta tertinggi jatuh rubuh ke belakang, dengan darah bercucuran, terciprat ke patung emas Azhura Kahn di belakangnya. Savala menginjak mayat sang pendeta tertinggi dengan tawa pongahnya, lalu menatap penuh kebencian kepada patung Azhura Kahn yang beku di depannya, penuh cipratan darah Sang Pendeta tertinggi. Dengan penuh semangat, dia memerintahkan penghancuran patung yang melambangkan kekuatan sang Mahadewa. Tetapi bahkan belum sempat bibirnya terkatup, cahaya terang menyelubungi patung itu, sinar emasnya bercahaya, dan kekuatan yang maha dasyat seolah menyelubungi seluruh penjuru kuil membuat sesak semua manusia yang berada di dalamnya. Lalu mata patung itu terbuka, mata merah menyala laksana api yang membakar. Sang Azhura telah menjelma dan menampakkan wujudnya, dengan pedang raksasa di tangan kanan dan tengkorak di tangan kirinya, sang Azhura mengayunkan pedangnya, bahkan tanpa bergeming dari posisi berdirinya dan hanya dalam sekejap mata, seluruh pasukan Raja Savala yang jumlahnya ribuan itu, mati tertebas dengan tubuh terbelah dua. Hanya Raja Savala yang disisakan, berdiri dengan terkejut memandang sekelilingnya, memandang ribuan pasukan terbaiknya yang dibangga- banggakannya sebagai pasukan terkuat di Ametyst, mati berdarah-darah di kakinya, hanya dalam sekali tebasan dari pedang sang Azhura Kahn. Dia mendongakkan kepalanya, mencoba menantang ke arah sang Azhura Kahn yang berdiri berkilauan dengan api menyelubungi tubuhnya, tetapi matanya 5 terasa sakit, karena rasanya seperti menatap ke arah matahari yang menyilaukan dan menyengat. Raja Savala mau tak mau menundukkan kepalanya untuk melindungi matanya. Dan kemudian sang Azhura Kahn maju, matanya masih menyala merah, lalu membuka mulutnya dan bersuara. Menurut kisah-kisah itu, suaranya begitu keras menggelegar bagaikan guruh gemuruh yang menggema bersahut- sahutan, hingga seluruh penjuru dunia Ametyst mendengarnya. “Jangan pernah mengganggu Garaya. Karena isteriku akan terlahir di sini.” Lalu pedangnya diarahkan ke arah Raja Savala, dan hanya dalam hitungan detik, sang Raja hangus terbakar, menjadi hempasan abu yang tak berbekas. Kemudian sang Azhura Kahn menghilang, meninggalkan patung dengan pandangan marah dan pedang terhunus, yang masih berdiri hingga saat ini, berada di pusat kuil terbesar di kerayaan Garaya. Dan begitulah ahkir dari riwayat Raja Savala yang sombong dan penuh kekuasaan, Sejak saat itu, dalam lima ratus tahun berlalu, meskipun terjadi perebutan kekuasaan berganti-ganti di seluruh Ametyst, kerajaan Garaya tidak pernah tersentuh sama sekali. Karena semua orang percaya, bahwa kemarahan Azhura Kahn akan muncul jika kerajaan Garaya diusik. Dan dalam lima ratus tahun ini, sang Mahadewa Azhura Kahn tidak pernah muncul sama sekali, hanya berkatnya yang dipercaya melimpah membuat kerajaan Garaya dipenuhi kemakmuran, kerajaan Garaya adalah satu-satunya kerajaan Ametyst yang tanahnya bisa ditumbuhi pohon kulsu, pohon buah paling mewah yang sering disebut sebagai buah para dewa. Sedangkan kisah tentang isteri sang Mahadewa yang akan terlahir di Garaya mulai dipertanyakan, karena tidak pernah ada pembuktiannya setelah lima ratus tahun berlalu, Kebanyakan penduduk berpikir bahwa tidak mungkin, Sang Azhura Kahn, dewa yang paling kuat di antara semua dewa, akan memperistri seseorang dari kalangan manusia. Dan kisah itu berkembang menjadi kisah yang dipercaya turun temurun, dengan sikap skeptis akan kata-kata Azhura tentang kelahiran isterinya di Garaya. Sampai kisah ini dimulai..... Bab 1: Rendezvouz (Pertemuan) Armenia berlari turun mengikuti sepupunya dan anak-anak perempuan lain di desanya yang lebih dulu melangkah di depan, menuruni bukit. Mereka mengenakan pakaian berwarna orenge, sambil membawa keranjang penuh berisi bunga dan persembahan menuju ke kuil pemujaan terbesar. Armenia sendiri memakai pakaian terbagus dari semua pakaian yang dia miliki, hari ini adalah hari istimewa, hari persembahan, dimana seluruh anak gad penjuru Garaya yang sudah cukup umur, dibawa menghadap ke kuil besar Azhura Kahn di pusat kerajaan, untuk pertama kalinya. Sudah tradisi di Garaya, ketika anak gadis mereka menginjak usia sepuluh tahun, maka seluruh keluarga akan mengantarkannya ke kuil utama Azhura Kahn untuk mengikuti upacara persembahan kepada sang Mahadewa. Upacara itu diadakan setahun sekali, pada awal musim semi yang ditandai dengan berkembangnya pucuk-pucuk bunga bakal buah dari pohon kulsu yang dedaunannya selalu berwarna orange terang. Penduduk kerajaan memang sudah lama melupakan kata-kata sang Azhura, bahwa perempuan yang akan menjadi isteri sang Mahadewa akan dilahirkan di Garaya, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisi turun temurun sejak lima ratus tahun yang lalu, untuk mempersembahkan anak gadis mereka kepada sang Azhura, Dan hari ini adalah hari Armenia. Tentu saja dia tidak sendirian, ada ratusan anak gadis dari seluruh penjuru Garaya yang seusia dengannya, datang berbondong-bondong untuk mengikuti upacara persembahan. Mereka semua memakai pakaian yang sama, warna orange kemasan, warna khas penduduk Garaya sekaligus sebagai lambang pemujaan kepada sang Azhura Kahn. Semua anak perempuan itu dihantarkan menuju ke pintu kuil dan berbaris sesuai urutan. Kalangan keluarga bangsawan berbaris di bagian depan, dan anak-anak dari rakyat jelata seperti Armenia harus menunggu giliran di belakang. Mereka hanya boleh satu persatu memasuki kuil. Di dalam akan ada beberapa pendeta kuil yang akan memandu mereka untuk meletakkan keranjang persembahan di kaki patung Azhura Kahn, keseluruhan prosesi bagi satu anak mungkin hanya memakan waktu satu menit. 8 Armenia menoleh ke belakang, tempat ibundanya berdiri di sana dan tersenyum ke arahnya. Sang ibu menyerahkan keranjang persembahan berisi buah kulsu yang telah dijadikan manisan, bunga-bunga indah berbagai warna dan seuntai kalung dari batu permata yang dibuat khusus untuk persembahan. Mata Armenia memandang ke sekeliling, dan menyadari bahwa anak-anak lain juga membawa berbagai macam persembahan dalam keranjangnya, ada yang, sederhana, ada yang terlihat sangat mewah. Persembahan untuk sang Azhura adalah yang terbaik yang mereka punyai, dan mereka percaya, bahwa sang Azhura akan menerima persembahan mereka dengan senang hati. “Letakkan persembahan ini di kaki patung sang Azhura Kahn.” Bisik ibunya lembut, lalu mengecup keningnya dan menghelanya supaya mengikuti barisan anak-anak perempuan lain untuk memasuki kuil. Dengan mata polosnya, Armenia memandangi pintu masuk kuil yang terbuat dari emas murni dengan ukiran-ukiran megah bertahtakan permata. Jantungnya berdegup penuh antisipasi, Anak-anak tentu saja telah mendengar kisah tentang sang Azhura yang menjelma menjadi patung ketika menyelamatkan kerajaan mereka, dan kisah tentang patung sang Azhura yang sekarang masih ada, dalam posisi yang benar-benar menghunuskan pedangnya seperti ketika sang Azhura membunuh Raja Savala, membuat Armenia sangat penasaran. Ini adalah hari pertamanya melihat patung itu. Karena sebelum berusia sepuluh tahun, anak-anak perempuan dilarang memasuki kuil utama sang Azhura Kahn, Saat ini tentulah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh semua anak perempuan yang ada bersamanya. Mereka semua menunduk tenang, berbaris satu persatu memasuki kuil menunggu giliran untuk meletakkan persembahan di bawah patung sang Azhura Kahn, meskipun Armenia yakin, semuanya bergetar penuh antisipasi. Lama sekali rasanya menunggu giliran untuk memasuki kuil, apalagi bagi yang merupakan anak dari rakyat jelata yang harus menunggu giliran putri-putri bangsawan terlebih dulu yang jumlahnya ratusan anak. Mungkin lebih dari empat jam Armenia berdiri di sana, kakinya terasa lelah tapi dia bersemangat, anak-anak yang lain diperbolehkan duduk asalkan mereka tidak berpindah- pindah tempat dari barisan yang ditentukan. Dan kemudian, setelah menunggu seolah selamanya, Armenia akhirnya berada di bagian depan di pintu kuil, mendapatkan gilirannya. Seorang pendeta wanita tersenyum kepadanya, alu membukakan pintu kuil itu untuknya, menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Armenia masuk. Dan ketika Armenia masuk ke dalam kuil itu, pintu ditutup di belakangnya. Bagian dalam kuil itu redup, meskipun keindahannya tetap nyata dibawah bayang-bayang sulur cahaya matahari yang menembus lubang-lubang berbentuk bulan sabit di dinding-bagian atas. Hiasan di dalam kuil itu sungguh megah, dengan langit-langit yang tinggi dan lantai marmer yang bercorakkan matahari, lambang sang Azhura Kahn. Dengan ragu, Armenia melangkahkan kakinya pelan, menuju tengah kuil yang lapang, dengan pilar-pilar tinggi di sekelilingnya. Kenapa sepi sekali? Bukankah ibundanya bilang bahwa di dalam akan ada pendeta-pendeta wanita yang akan membantunya memberikan persembahan kepada patung sang Azhura? Patung sang Azhura.... rasa penasarannya mengalahkan kebingungannya ketika menyadari kondisi bagian dalam kuil yang sunyi senyap. Dia mendongakkan kepalanya dan ternganga, di depannya, berada di ujung kuil yang merupakan bagian utama kuil, berdiri sosok sang Azhura Khan dalam ‘wujud patung emas yang menghunuskan pedangnya di tangan kanan, dengan tengkorak di tangan kirinya. Pakaian sang Azhura berupa baju zirah yang bertahtakan berlian, sosoknya begitu agung, dan hampir-hampir tampak menakutkan, begitu tinggi dan megahnya, apalagi di mata anak berusia sepuluh tahun seperti Armenia. Entah berapa lama, Armenia ternganga menatap keagungan patung tersebut, sampai suara gemerisik jubah menarik perhatiannya, Armenia menoleh dengan gugup, dan mendapati sesosok laki-laki, mengenakan jubah pendeta berwarna merah dengan penutup kepala yang menyerupai tudung yang menyembunyikan wajahnya berdiri di sana, di samping patung sang Azhura. Dahulu kala, jubah pendeta pemuja Azhura Khan berwarna putih, tetapi setelah kejadian terbunuhnya sang pendeta besar oleh Raja Savala, jubah pendeta diganti menjadi berwarna merah gelap, untuk menghormati sang pendeta besar 10 yang meninggal dengan jubahnya berganti warna menjadi merah darah karena rembesan darahnya dari luka tusukan pedang di jantungnya. Armenia mengernyit, mengapa dia tidak menyadari kehadiran sang pendeta? “Kemarilah, berikan persembahanmu.” Suara pendeta laki-laki itu terdengar begitu dalam, penuh aura mistis yang sedikit menakutkan. Armenia menarik napas panjang, dengan ragu-ragu melangkah mendekat sambil membawa keranjang persembahannya. Pendeta’ ini tentulah pembimbingnya untuk memberikan persembahan pertama kalinya bagi sang Azhura. Armenia lalu berdiri tepat di depan sang pendeta yang bertubuh tinggi itu, dia hanya seukuran pinggang sang pendeta sehingga harus mendongakkan kepalanya. Wajah sang pendeta tertutup tudungnya yang berwarna merah, sehingga tampak misterius dan kelam. Pendeta itu mengulurkan tangannya, dan reflek, Armenia menyerahkan keranjang persembahannya kepadanya. Pendeta itu bergeming, lalu memberikan isyarat supaya Armenia memberikan persembahan itu satu persatu dengan tangannya. Armenia menurut, diambilnya manisan buah kulsu yang dibuat ibunya khusus untuk saat ini dan menyerahkannya ke tangan sang pendeta. Sang pendeta menggerakkan tangannya ke mulutnya, dan mencecap manisan kulsu itu di mulutnya. Armenia mengernyitkan keningnya. Kenapa sang pendeta memakan persembahannya? Bukankah kata ibundanya, keranjang persembahan itu harus diletakkan di kaki patung sang Azhura? Matanya melirik ragu pada ratusan keranjang yang terhampar di bawah patung sang Azhura. Apakah memang ini ritualnya? Sang pendeta harus mencecap persembahan tersebut sebagai perwakilan bagi sang Azhura? Fry Sang pendeta selesai mencecap buah kulsu dari tangan Armenia. Kemudian, tanpa disangka, sang pendeta mengambil keranjang persembahan tersebut dai tangan Armenia, lalu membungkukkan badannya dan mengecup dahi Armenia. Armenia membelalakkan matanya kaget, dan ketika wajah sang pendeta masih menunduk menatapnya, dia menyadari bahwa bola mata sang pendeta itu berwarna merah, merah gelap dengan titik seperti nyala api di tengahnya. “Pergilah Armenia. Aku akan menjumpaimu kembali dalam waktu dekat.” Kata-kata itu menggema dalam ruangan kuil yang remang-remang, Armenia hampir saja bertanya, kenapa sang pendeta bisa mengetahui namanya? Bukankah ada ratusan anak yang akan menyerahkan persembahan hari ini? Apakah pendeta tersebut mengetahui semua nama anak-anak itu? Tetapi belum sempat dia menyuarakan pertanyaannya, tiba-tiba saja ada hembusan angin cukup kencang menerpa Armenia, membuatnya harus menutup wajahnya dengan tangan. Beberapa detik kemudian, ketika dia membuka tangannya..... pendeta misterius berjubah merah itu, sudah tidak ada, begitu juga dengan keranjang persembahannya. Armenia ternganga sejenak, memandang bingung ke penjuru ruangan yang sepi, dan kemudian, dia melihat sebuah pintu terbuka di belakang, memancarkan cahaya matahari dari sudut-sudutnya yang terbuka, tanpa pikir panjang dia setengah berlari kepintu itu, dan ketika keluar dari pintu itu, dia menemukan dirinya berada di bagian belakang kuil. Di sana, masih banyak anak-anak yang telah menyerahkan persembahan berkumpul dengan keluarga dan saudara-saudara mereka, suasana hiruk pikuk di belakang kuil sangat kontras dengan keheningan yang dialaminya di bagian dalam kuil tadi. “Armenia.” Armenia mengenali suara ibunya memanggil menyeruak dari kerumunan, dia menuju arah suara itu dan menemukan ibunya sedang menunggunya bersama bibi Ruth dan sepupunya. Khaeva adalah salah satu sepupunya yang juga melakukan persembahan pertama bersamanya. 12 “Indah sekali ya di dalam kuil itu.” Khaeva langsung menyambutnya dengan bersemangat, seolah ingin berbagi cerita. Tbunda Armenia tersenyum pada Khaeva, lalu bertanya sambil mengusap rambut Armenia dengan lembut, “Apakah para pendeta wanita di dalam membantu kalian dengan baik?” Khaeva mengangguk bersemangat, “Ada dua puluh pendeta wanita di dalam, mereka sangat cantik dan sangat baik, mereka membimbing kami semua supaya meletakkan persembahan dan berdoa di kaki sang Azhura.” “Ya kami dulu juga mengalaminya, para pendeta wanita memang ditugaskan membimbing anak-anak perempuan untuk persembahan pertama, mereka sangat agung dan beraura indah, dulu bahkan ibu ingin menjadi pendeta wanita seperti mereka, sayangnya, hanya dari kalangan bangsawanlah yang diperbolehkan menjadi pendeta wanita di kerajaan ini.” Bibi Ruth, ibunda Khaeva tersenyum senang melihat keantusiasan Khaeva. Armenia menatap ibundanya, bibinya dan sepupunya berganti-ganti dengan kebingungan. “Pendeta wanita?” “Kau juga ditolong oleh mereka kan sayang? Para pendeta wanita itu adalah bangsawan tertinggi di kerajaan kita yang mengabdikan dirinya untuk memuja sang Azhura. Mereka biasanya tidak ikut dalam upacara-upacara besar karena itu adalah tugas pendeta laki-laki. Para pendeta wanita hanya muncul saat upacara persembahan kepada sang Azhura setahun sekali. Sudah tugas mereka menjadi pendamping § anak-anak perempuan untuk memberikan persembahannya pertama kali kepada sang Azhura, Karena itulah saat ini merupakan saat yang berharga karena kalian akan sangat jarang bisa menem mereka lagi.” Bibi Ruth kembali menjelaskan, masih dengan senyuman di bibirnya Armenia hampir saja berucap tentang pendeta lelaki yang ditemuinya tadi, tetapi bibi Ruth menghela mereka berdua supaya segera berlalu dari tempat itu, “Ayo, kita harus segera pulang karena matahari sudah semakin naik, kalau terlambat pulang bisa-bisa di malam hari kita baru sampai pinggiran hutan.” 2B Suasana memang sudah semakin ramai, dan antrian anak-anak pemberi persembahan sepertinya sudah lebih dari setengah jalan. Sang ibu mengangguk dan menggandeng Armenia supaya mengikuti bibinya yang menggandeng Khaeva. Ketika mereka menempuh jalan setapak menembus hutan menuju ke desa mereka, Armenia mendongakkan kepalanya, tidak bisa menahan diri lagi untuk berbicara kepada ibundanya. “Ibu?” “Ya sayang?” Ibundanya yang cantik memiringkan kepalanya, dan menatap ‘Armenia dengan penuh kasih sayang. “Tadi di dalam kuil tidak ada puluhan pendeta perempuan seperti yang diceritakan, hanya ada satu pendeta laki-laki, memakai jubah merah gelap, lebih gelap dari pendeta lain yang pernah Armenia lihat, dia memakan manisan kulsu dari tanganku, mengecup keningku dan menyebut namaku, dan kemudian hilang bersama dengan keranjang persembahanku.” Armenia mengerutkan keningnya, “Dan bola matanya berwarna merah, dengan titik seperti api di tengahnnya.” Tbundanya ternganga mendengar kata-katanya, wajahnya langsung pucat pasi, menjalar keseluruh permukaan kulitnya hingga tampak begitu putih, perempuan itu membawa kendi air di tangan kirinya, dan seolah tanpa disadarinya, kendi itu meluncur dari tangannya, pecah berkeping-keping di jalan setapak ... 14 Bab 2 : Masih Beranikah Kau Mempertanyakan Kehendakku? Bibi Ruth dan Khaeva menoleh kaget, mereka sudah berjalan agak jauh di depan, dan membalikkan tubuhnya, menghampiri Ibunda Armenia yang berdiri kaku dengan wajah pucat pasi “Kenapa kak?” Bibi Ruth menatap ibunda Armenia dan Armenia berganti- gant. Bibir ibundanya bergetar, tangannya yang lentik menyentuh bibirnya, berusaha menghentikan getaran itu, “Armenia.” Suaranya ketika menyebut nama Armenia terdengar lemah, tidak seperti biasanya, “Kau yakin dengan apa yang kau alami tadi?” Bibi Ruth mengerutkan keningnya, “Mengalami apa kakak?” Ibunda Armenia menghela napas panjang, “Kata Armenia, di dalam kuil tadi hanya ada satu pendeta laki-laki berjubah merah, pendeta itu memakan manisan kulsu dari tangan Armenia... dan.. warna matanya....” Ibunda Armenia menelan ludahnya sebelum melanjutkan, “Warna matanya merah dengan cahaya seperti api di sana.” Reaksi bibi Ruth tidak kalah kagetnya dari Ibunda Armenia, dia bahkan tersentak sampai mundur beberapa langkah, membuat Khaeva yang ada di gandengannya mengerut bingung, sama bingungnya dengan Armenia. “Apakah.... menurutmu....?” suara bibi Ruth tertelan di tenggorokannya, kali ini dia menatap Armenia dengan cemas, tetapi seolah-olah kalimat yang ada di sana tidak mampu keluar dari bibirnya. Ibunda Armenia menganggukkan kepalanya, dua perempuan itu bertukar pandang dengan cemas. “Apakah kita harus mengatakannya kepada pemimpin kuil?” Suara bibi Ruth tampak ragu. Ibunda Armenia menggelengkan kepalanya kuat-kuat. 15,

You might also like