AZHURA'S BRIDE
PROJECTSAIRAAKIRAPengantar Admin PSA.
Novel Azhura’s Bride versi e-book ini spesial karena terdapat satu cerita bonus
di akhir cerita yang tidak ada di versi web. Terima kasih kepada seluruh
Vitamins yang telah mengapresiasi Author 2 yang dengan sepenuh hati
menyelesaikan cerita luar biasa ini, Admin menginisiasi terbitnya Novel
Azhura’s Bride secara digital karena Admin salah satu fans berat AB dan merasa
Novel ini wajib untuk diterbitkan dan diapresiasi lebih baik oleh pembacanya.
Sinopsis
Azhura Kahn...
Namanya berarti cahaya Mahi. Dia adalah dewa dari segala dewa, dengan
kekuatan tertinggi di Ametyst, dunia mereka yang subur dan makmur. Banyak
dewa dan dewi yang dipuja oleh penduduk Ametyst, tetapi hanya satu yang
dipuja sekaligus ditakuti oleh manusia dan bahkan juga ditakuti oleh kalangan
dewa. Dia adalah Azhura Kahn. Namanya disebutkan dengan penuh hormat
dan bibir bergetar, kuil-kuil pemujaan untuknya adalah yang terbesar dari
segala yang ada.
Di dalam Kuil raksasa di Garaya, ada patung yang melambangkan dirinya,
dibuat dari emas murni bertaburkan berlian, dengan sosok seperti manusia
bertubuh sempurna, matanya selalu dilambangkan menatap tajam kepada
pemuja yang membungkuk di bawahnya, dan dagunya selalu dibuat yang
mendongak penuh keangkuhan, Kedua tangannya memegang pedang yang
terhunus di tangan kiri dan tengkorak di tangan kanan, Bunga-bunga
persembahan bertaburan di bawah kaki patung dirinya. Seluruh penduduk
selalu membungkuk di hadapannya, hampir enam belas kali sehari, memuja
sang dewa.
Dulu sekitar lima ratus tahun yang lalu, kisah betapa dasyatnya kekuatan
Azhura Kahn masih terngiang di telinga seluruh manusia, kisah yang
diturunkan selama ratusan tahun, setiap kisah membawa penuturan yang
berbeda, tetapi pesannya tetap sama : “Jangan pernah membuat marah sang
Mahadewa, Azhura Kahn. Dan jangan pernah mengganggu Kerajaan Garaya,
karena isteri Azhura Kahn dipercaya akan terlahir di Kerajaan Garaya.”
Seorang perempuan biasa, dari kalangan manusia biasa, akan dilahirkan di
Garaya untuk menjadi isteri dari Azhura Kahn yang agung....... mungkinkah itu?Prolog
Azhura Kahn
Namanya berarti cahaya Tabi.
Dia adalah dewa dari segala dewa, dengan kekuatan tertinggi di Ametyst, dunia
mereka yang subur dan makmur. Banyak dewa dan dewi yang dipuja oleh
penduduk Ametyst, tetapi hanya satu yang dipuja sekaligus ditakuti oleh
manusia dan bahkan juga ditakuti oleh’ kalangan dewa. Dia adalah Azhura
Kahn.
Namanya disebutkan dengan penuh hormat dan bibir bergetar, kuil-kuil
pemujaan untuknya adalah yang terbesar dari segala yang ada. Patung yang
melambangkan dirinya, dibuat dari emas murni bertaburkan berlian, dengan
sosok seperti manusia bertubuh sempurna, matanya selalu dilambangkan
menatap tajam kepada pemuja yang membungkuk di bawahnya, dan dagunya
selalu dibuat mendongak penuh keangkuhan, dan kedua tangannya memegang
pedang dan tengkorak. Bunga-bunga persembahan bertaburan di bawah kaki
patung dirinya, Seluruh penduduk selalu membungkuk di hadapannya, hampir
enam belas kali schari, memuja sang dewa.
Salah satu kuil Azhura Kahn yang terbesar ada di sini : Garaya, sebuah negara
kecil penghasil buah kulsu, buah berwarna orange keemasan dengan daging
buah yang lembut berair, sangat terkenal untuk sajian keluarga kerajaan.
Hampir seluruh perbukitan Garaya ditanami pohon buah kulsu, memenuhi
seluruh bukit dengan daun pohonnya yang berwarna orange terang. Lokasinya
ada di selatan peta dunia Ametyst, sebuah kerajaan kecil tetapi makmur dan
ditakuti, karena dulu, disinilah Azhura Kahn pernah muncul dan menunjukkan
kekuatannya kepada manusia.
Dulu sekitar lima ratus tahun yang lalu, kisah betapa dasyatnya kekuatan
Azhura Kahn masih terngiang di telinga seluruh manusia, kisah yang
diturunkan selama ratusan tahun, setiap kisah membawa penuturan yang
berbeda, tetapi pesannya tetap sama :
Jangan pernah membuat marah sang Mahadewa, Azhura Kahn.Kisah itu tetap sama, mengisahkan seorang raja dengan kekuatan besar
bernama Raja Savala, yang merasa bisa mengalahkan sang Azhura Kahn. Raja
Savala adalah raja yang terkuat di dunia Ametyst pada masa itu, lelaki itu
setengah dewa setengah manusia, Raja Savala menaklukkan hampir seluruh
kerajaan di sekitarnya, wilayah jajahan dan kekuasaannya sangat luas, hingga
dia disebut sebagai sang penakluk. Hanya ada satu ganjalannya : kerajaan
Garaya, kerajaan kecil yang subur diujung selatan dunia. Raja Savala sudah
pasti akan membumi hanguskan kerajaan itu, karena pendeta yang juga
merangkap sebagai pemimpin kerajaan menolak mengirimkan persembahan
upeti dan budak belian sebagai tanda takluk kepadanya.
Kerajaan Garaya memang didominasi oleh kalangan pendeta pemuja sang
Mahadewa, Azhura Kahn. Kuil-kuil persembahan untuk sang Mahadewa
tersebar di seluruh penjuru kota, dengan penduduknya yang selalu membawa
keranjang-keranjang bunga dan persembahan untuk sang Azhura.
Raja Savala mengirimkan utusannya, untuk mengancam Sang Pendeta
tertinggi supaya tunduk di bawah kekuasaannya, Sang pendeta tertinggi
malahan mengirimkan utusannya kembali pulang kepadanya, dengan
membawa pesan, bahwa Kerajaan Garaya hanya akan tunduk kepada satu saja,
Mahadewa Azhura Kahn.
Raja Savala marah besar, dia merasa sebagai yang terkuat. Tidak ada siapapun
di Ametyst ini yang bisa mengalahkannya. Bahkan sang Mahadewa Azhura
Kahn pun tidak pernah muncul di dunia ini. Namanya memang selalu
bergaung, tetapi keberadaannya hanyalah mitos belaka.
Para penasehat Raja Savala sudah berusaha mencegahnya membumi
hanguskan kerajaan Garaya, mereka adalah orang kolot yang percaya bahwa
Azhura Kahn memang benar adanya, Mereka percaya bahwa_menyerang
kerajaan yang memuja sang Mahadewa adalah keputusan bodoh dengan
konsekuensi menakutkan.
Tapi Raja Savala tidak peduli, Berbekal kesombongan dan kekejaman yang
menguasai hatinya, dia memimpin sendiri ribuan pasukannya yang bengis,
untuk menyerang kerajaan Garaya. Posisi mereka tidak seimbang, kerajaan
Garaya tidak punya pasukan, pemimpin tertinggi kerajaan mereka pun
hanyalah seorang pendeta tertinggi kuil pemujaan Azhura Kahn.Maka terjadilah penghancuran yang menakutkan, Dari cerita-cerita itu,
semuanya mengisahkan bahwa kerajaan Garaya benar-benar luluh lantak
dalam arti yang sesungguhnya. Seluruh rumah penduduk yang tidak berdosa
dibakar sampai hangus, lelaki, perempuan dan bahkan anak-anak yang tidak
berdaya dimusnahkan dengan kejam, dan kuil terbesar Azhura Kahn diserang,
pintu pualamnya yang tinggi dirobohkan, dan Raja Savala sendiri yang
memimpin penyerbuan untuk menghancurkan kuil sang Mahadewa.
Ketika mereka memasuki kuil raksasa itu, hanya ada satu orang disana, sang
pendeta tertinggi menunggu sambil berdiri menghadang, seolah ingin
melindungi patung Azhura Kahn yang dihormati di belakangnya, dikisahkan
bahwa Raja Savala maju, lalu menusuk sang pendeta tertinggi tepat di
jantungnya, dengan pedangnya yang besar dan berkilauan. Masih terdengar
tawa keras penuh kepuasan Raja Savala, ketika sang pendeta tertinggi jatuh
rubuh ke belakang, dengan darah bercucuran, terciprat ke patung emas Azhura
Kahn di belakangnya.
Savala menginjak mayat sang pendeta tertinggi dengan tawa pongahnya, lalu
menatap penuh kebencian kepada patung Azhura Kahn yang beku di depannya,
penuh cipratan darah Sang Pendeta tertinggi. Dengan penuh semangat, dia
memerintahkan penghancuran patung yang melambangkan kekuatan sang
Mahadewa. Tetapi bahkan belum sempat bibirnya terkatup, cahaya terang
menyelubungi patung itu, sinar emasnya bercahaya, dan kekuatan yang maha
dasyat seolah menyelubungi seluruh penjuru kuil membuat sesak semua
manusia yang berada di dalamnya.
Lalu mata patung itu terbuka, mata merah menyala laksana api yang
membakar. Sang Azhura telah menjelma dan menampakkan wujudnya, dengan
pedang raksasa di tangan kanan dan tengkorak di tangan kirinya, sang Azhura
mengayunkan pedangnya, bahkan tanpa bergeming dari posisi berdirinya dan
hanya dalam sekejap mata, seluruh pasukan Raja Savala yang jumlahnya
ribuan itu, mati tertebas dengan tubuh terbelah dua.
Hanya Raja Savala yang disisakan, berdiri dengan terkejut memandang
sekelilingnya, memandang ribuan pasukan terbaiknya yang dibangga-
banggakannya sebagai pasukan terkuat di Ametyst, mati berdarah-darah di
kakinya, hanya dalam sekali tebasan dari pedang sang Azhura Kahn.
Dia mendongakkan kepalanya, mencoba menantang ke arah sang Azhura Kahn
yang berdiri berkilauan dengan api menyelubungi tubuhnya, tetapi matanya
5terasa sakit, karena rasanya seperti menatap ke arah matahari yang
menyilaukan dan menyengat. Raja Savala mau tak mau menundukkan
kepalanya untuk melindungi matanya.
Dan kemudian sang Azhura Kahn maju, matanya masih menyala merah, lalu
membuka mulutnya dan bersuara. Menurut kisah-kisah itu, suaranya begitu
keras menggelegar bagaikan guruh gemuruh yang menggema bersahut-
sahutan, hingga seluruh penjuru dunia Ametyst mendengarnya.
“Jangan pernah mengganggu Garaya. Karena isteriku akan terlahir di sini.”
Lalu pedangnya diarahkan ke arah Raja Savala, dan hanya dalam hitungan
detik, sang Raja hangus terbakar, menjadi hempasan abu yang tak berbekas.
Kemudian sang Azhura Kahn menghilang, meninggalkan patung dengan
pandangan marah dan pedang terhunus, yang masih berdiri hingga saat ini,
berada di pusat kuil terbesar di kerayaan Garaya.
Dan begitulah ahkir dari riwayat Raja Savala yang sombong dan penuh
kekuasaan,
Sejak saat itu, dalam lima ratus tahun berlalu, meskipun terjadi perebutan
kekuasaan berganti-ganti di seluruh Ametyst, kerajaan Garaya tidak pernah
tersentuh sama sekali. Karena semua orang percaya, bahwa kemarahan Azhura
Kahn akan muncul jika kerajaan Garaya diusik.
Dan dalam lima ratus tahun ini, sang Mahadewa Azhura Kahn tidak pernah
muncul sama sekali, hanya berkatnya yang dipercaya melimpah membuat
kerajaan Garaya dipenuhi kemakmuran, kerajaan Garaya adalah satu-satunya
kerajaan Ametyst yang tanahnya bisa ditumbuhi pohon kulsu, pohon buah
paling mewah yang sering disebut sebagai buah para dewa.
Sedangkan kisah tentang isteri sang Mahadewa yang akan terlahir di Garaya
mulai dipertanyakan, karena tidak pernah ada pembuktiannya setelah lima
ratus tahun berlalu, Kebanyakan penduduk berpikir bahwa tidak mungkin,
Sang Azhura Kahn, dewa yang paling kuat di antara semua dewa, akan
memperistri seseorang dari kalangan manusia.Dan kisah itu berkembang menjadi kisah yang dipercaya turun temurun,
dengan sikap skeptis akan kata-kata Azhura tentang kelahiran isterinya di
Garaya.
Sampai kisah ini dimulai.....Bab 1: Rendezvouz (Pertemuan)
Armenia berlari turun mengikuti sepupunya dan anak-anak perempuan lain di
desanya yang lebih dulu melangkah di depan, menuruni bukit. Mereka
mengenakan pakaian berwarna orenge, sambil membawa keranjang penuh
berisi bunga dan persembahan menuju ke kuil pemujaan terbesar.
Armenia sendiri memakai pakaian terbagus dari semua pakaian yang dia miliki,
hari ini adalah hari istimewa, hari persembahan, dimana seluruh anak gad
penjuru Garaya yang sudah cukup umur, dibawa menghadap ke kuil besar
Azhura Kahn di pusat kerajaan, untuk pertama kalinya.
Sudah tradisi di Garaya, ketika anak gadis mereka menginjak usia sepuluh
tahun, maka seluruh keluarga akan mengantarkannya ke kuil utama
Azhura Kahn untuk mengikuti upacara persembahan kepada sang Mahadewa.
Upacara itu diadakan setahun sekali, pada awal musim semi yang ditandai
dengan berkembangnya pucuk-pucuk bunga bakal buah dari pohon kulsu yang
dedaunannya selalu berwarna orange terang.
Penduduk kerajaan memang sudah lama melupakan kata-kata sang Azhura,
bahwa perempuan yang akan menjadi isteri sang Mahadewa akan dilahirkan di
Garaya, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisi turun temurun sejak lima
ratus tahun yang lalu, untuk mempersembahkan anak gadis mereka kepada
sang Azhura,
Dan hari ini adalah hari Armenia. Tentu saja dia tidak sendirian, ada ratusan
anak gadis dari seluruh penjuru Garaya yang seusia dengannya, datang
berbondong-bondong untuk mengikuti upacara persembahan. Mereka semua
memakai pakaian yang sama, warna orange kemasan, warna khas penduduk
Garaya sekaligus sebagai lambang pemujaan kepada sang Azhura Kahn.
Semua anak perempuan itu dihantarkan menuju ke pintu kuil dan berbaris
sesuai urutan. Kalangan keluarga bangsawan berbaris di bagian depan, dan
anak-anak dari rakyat jelata seperti Armenia harus menunggu giliran di
belakang. Mereka hanya boleh satu persatu memasuki kuil.
Di dalam akan ada beberapa pendeta kuil yang akan memandu mereka untuk
meletakkan keranjang persembahan di kaki patung Azhura Kahn, keseluruhan
prosesi bagi satu anak mungkin hanya memakan waktu satu menit.
8Armenia menoleh ke belakang, tempat ibundanya berdiri di sana dan
tersenyum ke arahnya. Sang ibu menyerahkan keranjang persembahan berisi
buah kulsu yang telah dijadikan manisan, bunga-bunga indah berbagai warna
dan seuntai kalung dari batu permata yang dibuat khusus untuk persembahan.
Mata Armenia memandang ke sekeliling, dan menyadari bahwa anak-anak lain
juga membawa berbagai macam persembahan dalam keranjangnya, ada yang,
sederhana, ada yang terlihat sangat mewah. Persembahan untuk sang Azhura
adalah yang terbaik yang mereka punyai, dan mereka percaya, bahwa sang
Azhura akan menerima persembahan mereka dengan senang hati.
“Letakkan persembahan ini di kaki patung sang Azhura Kahn.” Bisik ibunya
lembut, lalu mengecup keningnya dan menghelanya supaya mengikuti barisan
anak-anak perempuan lain untuk memasuki kuil.
Dengan mata polosnya, Armenia memandangi pintu masuk kuil yang terbuat
dari emas murni dengan ukiran-ukiran megah bertahtakan permata.
Jantungnya berdegup penuh antisipasi, Anak-anak tentu saja telah mendengar
kisah tentang sang Azhura yang menjelma menjadi patung ketika
menyelamatkan kerajaan mereka, dan kisah tentang patung sang Azhura yang
sekarang masih ada, dalam posisi yang benar-benar menghunuskan pedangnya
seperti ketika sang Azhura membunuh Raja Savala, membuat Armenia sangat
penasaran.
Ini adalah hari pertamanya melihat patung itu. Karena sebelum berusia
sepuluh tahun, anak-anak perempuan dilarang memasuki kuil utama sang
Azhura Kahn, Saat ini tentulah saat yang paling ditunggu-tunggu oleh semua
anak perempuan yang ada bersamanya. Mereka semua menunduk tenang,
berbaris satu persatu memasuki kuil menunggu giliran untuk meletakkan
persembahan di bawah patung sang Azhura Kahn, meskipun Armenia yakin,
semuanya bergetar penuh antisipasi.
Lama sekali rasanya menunggu giliran untuk memasuki kuil, apalagi bagi yang
merupakan anak dari rakyat jelata yang harus menunggu giliran putri-putri
bangsawan terlebih dulu yang jumlahnya ratusan anak. Mungkin lebih dari
empat jam Armenia berdiri di sana, kakinya terasa lelah tapi dia bersemangat,
anak-anak yang lain diperbolehkan duduk asalkan mereka tidak berpindah-
pindah tempat dari barisan yang ditentukan.Dan kemudian, setelah menunggu seolah selamanya, Armenia akhirnya berada
di bagian depan di pintu kuil, mendapatkan gilirannya.
Seorang pendeta wanita tersenyum kepadanya, alu membukakan pintu kuil itu
untuknya, menganggukkan kepalanya dan mempersilahkan Armenia masuk.
Dan ketika Armenia masuk ke dalam kuil itu, pintu ditutup di belakangnya.
Bagian dalam kuil itu redup, meskipun keindahannya tetap nyata dibawah
bayang-bayang sulur cahaya matahari yang menembus lubang-lubang
berbentuk bulan sabit di dinding-bagian atas. Hiasan di dalam kuil itu sungguh
megah, dengan langit-langit yang tinggi dan lantai marmer yang bercorakkan
matahari, lambang sang Azhura Kahn.
Dengan ragu, Armenia melangkahkan kakinya pelan, menuju tengah kuil yang
lapang, dengan pilar-pilar tinggi di sekelilingnya.
Kenapa sepi sekali? Bukankah ibundanya bilang bahwa di dalam akan ada
pendeta-pendeta wanita yang akan membantunya memberikan
persembahan kepada patung sang Azhura?
Patung sang Azhura.... rasa penasarannya mengalahkan kebingungannya
ketika menyadari kondisi bagian dalam kuil yang sunyi senyap.
Dia mendongakkan kepalanya dan ternganga, di depannya, berada di ujung kuil
yang merupakan bagian utama kuil, berdiri sosok sang Azhura Khan dalam
‘wujud patung emas yang menghunuskan pedangnya di tangan kanan, dengan
tengkorak di tangan kirinya. Pakaian sang Azhura berupa baju zirah yang
bertahtakan berlian, sosoknya begitu agung, dan hampir-hampir tampak
menakutkan, begitu tinggi dan megahnya, apalagi di mata anak berusia sepuluh
tahun seperti Armenia.
Entah berapa lama, Armenia ternganga menatap keagungan patung tersebut,
sampai suara gemerisik jubah menarik perhatiannya, Armenia menoleh dengan
gugup, dan mendapati sesosok laki-laki, mengenakan jubah pendeta berwarna
merah dengan penutup kepala yang menyerupai tudung yang
menyembunyikan wajahnya berdiri di sana, di samping patung sang Azhura.
Dahulu kala, jubah pendeta pemuja Azhura Khan berwarna putih, tetapi setelah
kejadian terbunuhnya sang pendeta besar oleh Raja Savala, jubah pendeta
diganti menjadi berwarna merah gelap, untuk menghormati sang pendeta besar
10yang meninggal dengan jubahnya berganti warna menjadi merah darah karena
rembesan darahnya dari luka tusukan pedang di jantungnya.
Armenia mengernyit, mengapa dia tidak menyadari kehadiran sang pendeta?
“Kemarilah, berikan persembahanmu.” Suara pendeta laki-laki itu terdengar
begitu dalam, penuh aura mistis yang sedikit menakutkan.
Armenia menarik napas panjang, dengan ragu-ragu melangkah mendekat
sambil membawa keranjang persembahannya. Pendeta’ ini tentulah
pembimbingnya untuk memberikan persembahan pertama kalinya bagi sang
Azhura.
Armenia lalu berdiri tepat di depan sang pendeta yang bertubuh tinggi itu, dia
hanya seukuran pinggang sang pendeta sehingga harus mendongakkan
kepalanya. Wajah sang pendeta tertutup tudungnya yang berwarna merah,
sehingga tampak misterius dan kelam.
Pendeta itu mengulurkan tangannya, dan reflek, Armenia menyerahkan
keranjang persembahannya kepadanya.
Pendeta itu bergeming, lalu memberikan isyarat supaya Armenia memberikan
persembahan itu satu persatu dengan tangannya. Armenia menurut,
diambilnya manisan buah kulsu yang dibuat ibunya khusus untuk saat ini dan
menyerahkannya ke tangan sang pendeta.
Sang pendeta menggerakkan tangannya ke mulutnya, dan mencecap manisan
kulsu itu di mulutnya.
Armenia mengernyitkan keningnya. Kenapa sang pendeta memakan
persembahannya? Bukankah kata ibundanya, keranjang persembahan itu
harus diletakkan di kaki patung sang Azhura?
Matanya melirik ragu pada ratusan keranjang yang terhampar di bawah patung
sang Azhura.
Apakah memang ini ritualnya? Sang pendeta harus mencecap persembahan
tersebut sebagai perwakilan bagi sang Azhura?
FrySang pendeta selesai mencecap buah kulsu dari tangan Armenia. Kemudian,
tanpa disangka, sang pendeta mengambil keranjang persembahan tersebut dai
tangan Armenia, lalu membungkukkan badannya dan mengecup dahi Armenia.
Armenia membelalakkan matanya kaget, dan ketika wajah sang pendeta masih
menunduk menatapnya, dia menyadari bahwa bola mata sang pendeta itu
berwarna merah, merah gelap dengan titik seperti nyala api di tengahnya.
“Pergilah Armenia. Aku akan menjumpaimu kembali dalam waktu dekat.”
Kata-kata itu menggema dalam ruangan kuil yang remang-remang, Armenia
hampir saja bertanya, kenapa sang pendeta bisa mengetahui namanya?
Bukankah ada ratusan anak yang akan menyerahkan persembahan hari ini?
Apakah pendeta tersebut mengetahui semua nama anak-anak itu?
Tetapi belum sempat dia menyuarakan pertanyaannya, tiba-tiba saja ada
hembusan angin cukup kencang menerpa Armenia, membuatnya harus
menutup wajahnya dengan tangan. Beberapa detik kemudian, ketika dia
membuka tangannya..... pendeta misterius berjubah merah itu, sudah tidak
ada, begitu juga dengan keranjang persembahannya.
Armenia ternganga sejenak, memandang bingung ke penjuru ruangan yang
sepi, dan kemudian, dia melihat sebuah pintu terbuka di belakang,
memancarkan cahaya matahari dari sudut-sudutnya yang terbuka, tanpa pikir
panjang dia setengah berlari kepintu itu, dan ketika keluar dari pintu itu, dia
menemukan dirinya berada di bagian belakang kuil.
Di sana, masih banyak anak-anak yang telah menyerahkan persembahan
berkumpul dengan keluarga dan saudara-saudara mereka, suasana hiruk pikuk
di belakang kuil sangat kontras dengan keheningan yang dialaminya di bagian
dalam kuil tadi.
“Armenia.”
Armenia mengenali suara ibunya memanggil menyeruak dari kerumunan, dia
menuju arah suara itu dan menemukan ibunya sedang menunggunya bersama
bibi Ruth dan sepupunya. Khaeva adalah salah satu sepupunya yang juga
melakukan persembahan pertama bersamanya.
12“Indah sekali ya di dalam kuil itu.” Khaeva langsung menyambutnya dengan
bersemangat, seolah ingin berbagi cerita.
Tbunda Armenia tersenyum pada Khaeva, lalu bertanya sambil mengusap
rambut Armenia dengan lembut,
“Apakah para pendeta wanita di dalam membantu kalian dengan baik?”
Khaeva mengangguk bersemangat, “Ada dua puluh pendeta wanita di dalam,
mereka sangat cantik dan sangat baik, mereka membimbing kami semua
supaya meletakkan persembahan dan berdoa di kaki sang Azhura.”
“Ya kami dulu juga mengalaminya, para pendeta wanita memang ditugaskan
membimbing anak-anak perempuan untuk persembahan pertama, mereka
sangat agung dan beraura indah, dulu bahkan ibu ingin menjadi pendeta wanita
seperti mereka, sayangnya, hanya dari kalangan bangsawanlah yang
diperbolehkan menjadi pendeta wanita di kerajaan ini.” Bibi Ruth, ibunda
Khaeva tersenyum senang melihat keantusiasan Khaeva.
Armenia menatap ibundanya, bibinya dan sepupunya berganti-ganti dengan
kebingungan.
“Pendeta wanita?”
“Kau juga ditolong oleh mereka kan sayang? Para pendeta wanita itu adalah
bangsawan tertinggi di kerajaan kita yang mengabdikan dirinya untuk memuja
sang Azhura. Mereka biasanya tidak ikut dalam upacara-upacara besar karena
itu adalah tugas pendeta laki-laki. Para pendeta wanita hanya muncul saat
upacara persembahan kepada sang Azhura setahun sekali. Sudah tugas mereka
menjadi pendamping § anak-anak perempuan untuk memberikan
persembahannya pertama kali kepada sang Azhura, Karena itulah saat ini
merupakan saat yang berharga karena kalian akan sangat jarang bisa menem
mereka lagi.” Bibi Ruth kembali menjelaskan, masih dengan senyuman di
bibirnya
Armenia hampir saja berucap tentang pendeta lelaki yang ditemuinya tadi,
tetapi bibi Ruth menghela mereka berdua supaya segera berlalu dari tempat itu,
“Ayo, kita harus segera pulang karena matahari sudah semakin naik, kalau
terlambat pulang bisa-bisa di malam hari kita baru sampai pinggiran hutan.”
2BSuasana memang sudah semakin ramai, dan antrian anak-anak pemberi
persembahan sepertinya sudah lebih dari setengah jalan.
Sang ibu mengangguk dan menggandeng Armenia supaya mengikuti bibinya
yang menggandeng Khaeva. Ketika mereka menempuh jalan setapak
menembus hutan menuju ke desa mereka, Armenia mendongakkan kepalanya,
tidak bisa menahan diri lagi untuk berbicara kepada ibundanya.
“Ibu?”
“Ya sayang?” Ibundanya yang cantik memiringkan kepalanya, dan menatap
‘Armenia dengan penuh kasih sayang.
“Tadi di dalam kuil tidak ada puluhan pendeta perempuan seperti yang
diceritakan, hanya ada satu pendeta laki-laki, memakai jubah merah gelap,
lebih gelap dari pendeta lain yang pernah Armenia lihat, dia memakan manisan
kulsu dari tanganku, mengecup keningku dan menyebut namaku, dan
kemudian hilang bersama dengan keranjang persembahanku.” Armenia
mengerutkan keningnya, “Dan bola matanya berwarna merah, dengan titik
seperti api di tengahnnya.”
Tbundanya ternganga mendengar kata-katanya, wajahnya langsung pucat pasi,
menjalar keseluruh permukaan kulitnya hingga tampak begitu putih,
perempuan itu membawa kendi air di tangan kirinya, dan seolah tanpa
disadarinya, kendi itu meluncur dari tangannya, pecah berkeping-keping di
jalan setapak ...
14Bab 2 : Masih Beranikah Kau Mempertanyakan Kehendakku?
Bibi Ruth dan Khaeva menoleh kaget, mereka sudah berjalan agak jauh di
depan, dan membalikkan tubuhnya, menghampiri Ibunda Armenia yang
berdiri kaku dengan wajah pucat pasi
“Kenapa kak?” Bibi Ruth menatap ibunda Armenia dan Armenia berganti-
gant.
Bibir ibundanya bergetar, tangannya yang lentik menyentuh bibirnya, berusaha
menghentikan getaran itu,
“Armenia.” Suaranya ketika menyebut nama Armenia terdengar lemah, tidak
seperti biasanya, “Kau yakin dengan apa yang kau alami tadi?”
Bibi Ruth mengerutkan keningnya, “Mengalami apa kakak?”
Ibunda Armenia menghela napas panjang, “Kata Armenia, di dalam kuil tadi
hanya ada satu pendeta laki-laki berjubah merah, pendeta itu memakan
manisan kulsu dari tangan Armenia... dan.. warna matanya....” Ibunda
Armenia menelan ludahnya sebelum melanjutkan, “Warna matanya merah
dengan cahaya seperti api di sana.”
Reaksi bibi Ruth tidak kalah kagetnya dari Ibunda Armenia, dia bahkan
tersentak sampai mundur beberapa langkah, membuat Khaeva yang ada di
gandengannya mengerut bingung, sama bingungnya dengan Armenia.
“Apakah.... menurutmu....?” suara bibi Ruth tertelan di tenggorokannya, kali ini
dia menatap Armenia dengan cemas, tetapi seolah-olah kalimat yang ada di
sana tidak mampu keluar dari bibirnya.
Ibunda Armenia menganggukkan kepalanya, dua perempuan itu bertukar
pandang dengan cemas.
“Apakah kita harus mengatakannya kepada pemimpin kuil?” Suara bibi Ruth
tampak ragu.
Ibunda Armenia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
15,