Professional Documents
Culture Documents
2. Pandangan kabur
Penyebaran KNF dapat berupa penyebaran ke atas. Tumor meluas ke intrakranial
menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen
laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa kranii anterior
mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I – n VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat
rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang
paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans P.H.R.,
Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head and Neck
Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.
3. Pemfis pd kasus
PEMERIKSAAN FISIK TELINGA, HIDUNG, DAN TENGGOROK
Kamar Periksa THT
Kamar periksa THT memerlukan sebuah meja alat yang berisi alat-alat THT ( THT set,
dengan lampu kepala yang arah sinarnya dapat disesuaikan dengan posisi organ yang akan
diperiksa serta suction) serta obat-obatan dalam botol yang diperlukan untuk pemeriksaan.
Di samping meja alat harus disiapkan kursi yang dapat diputar, ditinggikan serta dapat
direbahkan sebagai tempat berbaring untuk pasien sesuai dengan posisi yang diinginkan pada
pemeriksaan dan kursi dokter yang juga dapat berputar yang diletakkan saling berhadapan. Jika
kursi pasien seperti itu tidak ada sebaiknya selain dari kursi pasien, disediakan juga sebuah
tempat tidur.
Lain lain
- Tampon
- Kapas
- Lampu spiritus/ korek api
TEKNIK PEMERIKSAAN
1. Pemeriksa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
2. Pemeriksa menerangkan pemeriksaan yang akan dilakukan
3. Pemeriksa mengatur:
Posisi pasien :
- Pasien dewasa duduk berhadapan dengan pemeriksa lutut bersisian.
- Mulai pemeriksaan dari yang tidak sakit.
- Pasien anak dipangku dengan posisi yang sama dengan ibu
- Pasien bayi ditidurkan di pangkuan (paha) orang tua
4. Mengucapkan terimakasih pada pasien/ op
o Daun telinga
Diperhatikan bentuk serta tanda-tanda peradangan atau pembengkakan.
Daun telinga ditarik, untuk menentukan nyeri tarik dan menekan tragus untuk
menentukan nyeri tekan.
o Daerah mastoid
Adakah abses atau fistel di belakang telinga.
Mastoid diperkusi untuk menentukan nyeri ketok.
o Liang telinga
Lapang atau sempit, dindingnya adakah edema, hiperemis atau ada furunkel. Perhatikan
adanya polip atau jaringan granulasi, tentukan dari mana asalnya. Apakah ada serumen atau
sekret.
o Membran timpani
Nilai warna, reflek cahaya, perforasi dan tipenya dan gerakannya.
Warna membran timpani yang normal putih seperti mutiara.
Refleks cahaya normal berbentuk kerucut, warna seperti air raksa
Bayangan kaki maleus jelas kelihatan bila terdapat retraksi membrane timpani
ke arah dalam.
o Perforasi umumnya berbentuk bulat. Bila disebabkan oleh trauma biasanya berbentuk
robekan dan di sekitarnya terdapat bercak darah. Lokasi perforasi dapat di atik (di daerah
pars flaksida), di sentral (di pars tensa dan di sekitar perforasi masih terdapat membran) dan
di marginal (perforasi terdapat di pars tensa dengan salah satu sisinya langsung berhubungan
dengan sulkus timpanikus). Gerakan membran timpani normal dapat dilihat dengan memakai
balon otoskop. Pada sumbatan tuba eustachius tidak terdapat gerakan membran timpani ini.
2) Pemeriksaan Hidung, Nasofaring Dan Sinus Paranasal
Hidung Luar
Bentuk hidung luar diperhatikan apakah ada deformitas atau depresi tulang hidung. Apakah
ada pembengkakan di daerah hidung dan sinus paranasal. Dengan jari dapat dipalpasi adanya
krepitasi tulang hidung atau rasa nyeri tekan pada peradangan hidung dan sinus paranasal.
Rinoskopi Anterior
Pasien duduk menghadap pemeriksa. Spekulum hidung dipegang dengan tangan kiri (right
handed), arah horizontal, dengan jari telunjuk ditempelkan pada dorsum nasi. Tangan kanan
untuk mengatur posisi kepala. Spekulum dimasukkan ke dalam rongga hidung dalam posisi
tertutup, dan dikeluarkan dalam posisi terbuka. Saat pemeriksaan diperhatikan keadaan :
Rongga hidung, luasnya lapang/sempit( dikatakan lapang kalau dapat dilihat pergerakan
palatum mole bila pasien disuruh menelan) , adanya sekret, lokasi serta asal sekret tersebut.
Konka inferior, konka media dan konka superior warnanya merah muda (normal), pucat atau
hiperemis. Besarnya, eutrofi, atrofi, edema atau hipertrofi.
Septum nasi cukup lurus, deviasi, krista dan spina.
Jika terdapat sekret kental yang keluar daridaerah antara konka media dan konka inferior
kemungkinan sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior, sedangkan
sekret yang terdapat di meatus superior berarti sekret berasal dari sinus etmoid posterior atau
sinus sphenoid.
Massa dalam rongga hidung, seperti polip atau tumor perlu diperhatikan keberadaannya.
Asal perdarahan di rongga hidung, krusta yang bau dan lain-lain perlu diperhatikan.
Rinoskopi Posterior
Untuk pemeriksaan ini dipakai kaca tenggorok no.2-4. Kaca ini dipanaskan dulu dengan
lampu spritus atau dengan merendamkannya di air panas supaya kaca tidak menjadi kabur
oleh nafas pasien. Sebelum dipakai harus diuji dulu pada punggung tangan pemeriksa apakah
tidak terlalu panas.
Lidah pasien ditekan dengan spatula lidah, pasien bernafas melalui mulut kemudian kaca
tenggorok dimasukkan ke belakang uvula dengan arah kaca ke atas. Setelah itu pasien
diminta bernafas melalui hidung. Perlu diperhatikan kaca tidak boleh menyentuh dinding
posterior faring supaya pasien tidak terangsang untuk muntah. Sinar lampu kepala diarahkan
ke kaca tenggorok dan diperhatikan :
- septum nasi bagian belakang
- nares posterior (koana)
- sekret di dinding belakang faring (post nasal drip)
- dengan memutar kaca tenggorok lebih ke lateral maka tampak konka superior, konka
media dan konka inferior.
- Pada pemeriksaan rinoskopi posterior dapat dilihat nasopharing, perhatikan muara tuba,
torus tubarius dan fossa rossen muller.
Prosedur:
1) Tes dilakukan pada ruangan tertutup yang bebas dari pengharum ruangan, AC atau
kipas angin
2) Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan
3) Alcohol pad dibuka dan pasien diminta untuk mengenali bau
4) Pasien diminta untuk menutup kedua mata dan pad secara perlahan dinaikkan dari
posisi setinggi umbilikus hingga hidung dengan inhalasi normal
5) Dihitung jarak (dalam cm) dari pertama kali terdeteksi alcohol pad sampai hidung
Interpretasi:
1. Normosmia : terdeteksi pada jarak > 10 cm
2. Hiposmia : terdeteksi pada jarak 5-10 cm
3. Hiposmia berat : terdeteksi pada jarak < 5 cm
4. Anosmia : tidak terdeteksi sama sekali
NB:
Bila didapatkan hasil anosmia, pemeriksaan dikonfirmasi dengan tes ammonia untuk
menentukan apakah pasien benar-benar anosmia atau pura-pura.
b. Tes Ammonia
Bahan dan Alat:
Ammonia
Prosedur:
1. Pemeriksa dan pasien duduk saling berhadapan
2. Ammonia secara cepat ditempatkan di depan hidung
3. Dinilai apakah pasien merasakan efek menyengat dan stimulus lakrimal atau tidak
Interpretasi:
1. Anosmia murni : terdapat efek menyengat dan stimulus lakrimal
2. Anosmia malingering : menyangkal adanya efek menyengat dan stimulasi lakrimal
Interprestasi
Cara Menggetarkan Garpu Tala
- Arah getaran kedua kaki garpu tala searah dengan kedua kaki garpu tala
- Getarkan kedua kaki garpu tala dengan jari telunjuk dan ibu jari( kuku)
Tes RINNE
- Prinsip : Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga
- Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Setelah tidak
terdengar, garpu tala dipindahkan dan dipegang kira-kira 2,5 cm di depan liang telinga
yang di periksa
- Masih terdengar : Rinne (+), tidak terdengar : Rinne (-)
Tes WEBER
Prinsip tes Weber : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan penderita. Garpu tala
digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus atas kemudian tentukan bunyi terdengar
di mana ?
- sama keras di kedua telinga
- terdengar lebih keras di salah satu telinga
Penilaiannya ada atau tidak ada lateralisasi
Interpretasi
- Lateralisasi ke telinga sakit ( tuli konduktif yang sakit)
- Lateralisasi ke telinga sehat ( tulisaraf yang sakit)
Tes Schwabach
Prinsip : Membandingkan hantaran tulang yang diperiksa dengan pemeriksa, dimana pemeriksa
harus normal. Garputala digetarkan, di letakkan di prosesus mastoid yang diperiksa, setelah tidak
terdengar bunyi garputala dipindahkan ke prosesus mastoid pemeriksa dan sebaliknya.
Interprestasi :
- Schwabach memanjang gangguan konduksi
- Schwabach memendek gangguan sensorineural
- Schwabach sama Normal
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke- 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Gejala Hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding pembuluh darah
tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor dalam
nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma Nasofaring, karena
dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain. Namun jika gejala terus terjadi
tanpa adanya respons yang baik pada pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya
penyebab lain yang ada pada penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.
3. Gejala Mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan ganda)
akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan
gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan
kebutaan.
4. Tumor sign :
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau
metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
5. Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis.
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara
hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X,
N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
o Lidah
o Palatum
o Faring atau laring
o M. sternocleidomastoideus
o M. trapezeus 6,7
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan dengan elevasi
dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral
dari leher (akibat gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan
bersamaan, maka disebut Trotter’s Triad.
1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (ed).
Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h.
146-50.
2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan:
FK USU,2002.h. 1-11.
3. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
4. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi. Jakarta:
FK UI, 1987.h. 69-82.
5. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi. Jakarta:
FKUI. Hal.151-152
6. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.
7. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis
jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi
yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah
dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi untuk
metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan lokal,
lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5
x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000 cGy
penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian respon
terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya
metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor
primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran kelenjar
regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular cukup sampai 4000 cGy.22
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara bertahap
dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB leher sampai
mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan menggunakan
radioisotop Cobalt60.
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksia
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis
yang terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan
penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol,
efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti
FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.
2) Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.
Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah
mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan
metastasis jauh).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed tumor
masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan
DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang
durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi. Dengan
cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan
mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan
kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi, membunuh
subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel kanker yang
sublethal.
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis, leukopeni
dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan sementara
radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan
radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak diperpanjang,
maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan sensitivitas
sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah
Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
3) Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang
dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain.
4) Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu
dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu proses
imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di
mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru
terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat digunakan
dalam terapi kanker nasofaring.
1) Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada pengobatan karsinoma
nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16
2) Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP.
H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.
3) Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia
Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling
sering, terutama pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-
tinged nasal discharge). Mimisan, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi
(unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga kranial
dan tekanan pada kiasma optik.
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap bau
(hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga
(otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi
(deformity of the cheek), dan rhinolalia. (1, 2)
Gambar 6. Foto pasien dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan bagian
tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.
1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai (sessile) atau
bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal mass) ini mencapai
80%.
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging palate),
terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass), massa di pipi
(cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai dengan perluasan
setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%,
sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.
3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan tanda
bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat penurunan
penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang terjadi. (1, 2)
EMBOLISASI
Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi jaringan
parut dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan dengan memasukkan suatu
zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah. Biasanya agen embolisasi
dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah
yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis.
Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk
mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 – 80%. (1,2)
OPERASI
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis di
basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium tumor.
Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda. Pendekatan
dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor stadium I) ,metode
endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS.
(1,2)
HORMONAL
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi
hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor
testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak digunakan secara rutin.
Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation Of Juvenile
Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngology/volume_4_n
umber_1_37/article/meningitis_and_coma_as_the_first_manifestation_of_juvenile_angio
fibroma.html . The Internet Journal of Otolaryngology ISSN:1528-8420.
9. RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau
ekspansif kedaerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau resiko
yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan
pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 – 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk
mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi tumor tidak
lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif radioterapi sebenarnya harus
dibarengi dengan terapi pembedahan. Beberapa institusi melaporkan rata-rata
menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas
utama untuk penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27
pasien yang dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien
akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi komplikasi
jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan
pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak, dan
keratopatiradiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan leher
sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. (1,2,3)
Bagaimanapun hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi tidak
berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek samping dari
radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh stadium tumor. Yang mana
lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium
akhir. (1,2,3)