Professional Documents
Culture Documents
Belajar matematika dengan penalaran, penalaran akan terlatih dengan belajar matematika
Alat bantu belajar bernama kalkulator memang meringankan tugas siswa sekolah. Tetapi
apabila selalu menggantungkan alat tersebut dalam setiap menyelesaikan soal-soal
matematika, justru akan merusak kemandirian anak dalam berhitung. Pada gilirannya, mereka
terbiasa dengan output dan input, tanpa memahami proses demi proses terjadinya keduanya.
MEMANG, kalkulator bisa membuat siswa sekolah menyenangi matematika. Mereka yang
takut, gugup, atau pusing ketika mengerjakan soal matematika merasa terbantu saat
menggunakan kalkulator, sehingga menjadi lebih bersemangat. Dengan demikian, pada satu
sisi, kalkulator harus dipandang sebagai kontributor signifikan bagi apresiasi matematika itu
sendiri.
Matematikawan asal Malaysia, Prof Dr Noraini Idris, pun berpendapat kalkulator
memungkinkan mata pelajaran matematika kian menarik karena adanya dorongan interaksi
untuk menyelesaikan permasalahan. Menurut dia, penggunaan kalkulator memberi
kesempatan lebih beragam kepada anak untuk berinteraksi. Sebab mereka punya waktu ketika
menggunakannya untuk menyelesaikan soal matematika ketimbang jika melakukan
perhitungan secara manual. Tetapi bukan berarti kalkulator harus digunakan setiap saat. Soal
simpel saja harus dilakukan dengan kalkulator. Ini sudah ketergantungan namanya, dan
sangat berbahaya bagi logika masa depan si anak.
Kalkulator harus diposisikan sebagai perangsang saja, untuk mengurangi beban psikologis
atau meningkatkan motivasi belajar. Kalau tekanan psikologis sudah berkurang, atau motivasi
belajar sudah muncul, mulailah secara perlahan untuk mengurangi atau mengendalikan
penggunaannya. Tidak perlu drastis. Mulanya sembilan dari sepuluh soal dibiarkan untuk
diselesaikan dengan kalkulator. Sisanya secara manual. Tahap selanjutnya dikurangi lagi
satu. Begitu seterusnya, sampai anak benar-benar siap melepas ketergantungan terhadap
kalkulator. Kalau perlu tantang mereka, ’’Masak kalah dengan kalkulator’’, atau ’’Malu dong
kalau pakai kalkulator terus’’. Pokoknya berikan kesan kepada anak, bahwa otak manusia
harus bisa mengalahkan kalkulator.
Memahami Proses
Dengan kalkulator, anak sekolah terutama siswa-siswi SD memang bisa saja menghitung
perkalian dua bilangan besar, bahkan sampai jutaan. Tetapi apa mereka memahami proses
yang terjadi di belakang layar itu? Padahal proses itulah yang kelak menjadi sangat penting
bagi tumbuhnya pola berpikir tuntas, detail, dan integratif untuk berbagai persoalan. Misalkan
diminta menghitung perkalian 4,5 x 1,5, si anak akan menjawab 6,75 sesuai dengan apa yang
tertulis pada layar kalkulator. Namun, apakah dia tahu dari mana angka tersebut berasal?
Menurut pakar pendidikan Prof Dr Arief Rachman, ada bidang matematika yang tidak boleh
dipelajari dengan bantuan kalkulator. Misalnya perkalian, pembagian, penjumlahan, dan
pengurangan. ’’Materi ini dimaksudkan untuk melatih logika anak dalam berhitung. Jika
diberi bantuan kalkulator, anak tidak akan bisa memahaminya dengan baik,’’ kata Arief.
Ketergantungan anak pada kalkulator bisa menghambat sikap kritis, aktif, dan kreatif.
Akhirnya tercetaklah sosok manusia berwawasan klise dalam berucap, bertindak, dan
berbuat. Apa mungkin jiwa pelopor muncul pada mereka?
Adanya pertalian antarsimbol hitungan, yang seharusnya bisa menghasilkan rumusan khas,
tetapi berhubung sejak awal pola belajar sudah seperti itu, maka pengungkapannya masih
terasa referensial. Belum bersifat analisis atau sintensis hasil pemikiran original.
Jangka Panjang
Bagaimana pun canggih kalkulator, kemampuan berhitung anak baru dapat dikatakan modern
kalau proses dan hasilnya mencerminkan kemampuannya menghadapi situasi-kondisi yang
berbeda secara mandiri, sehingga mampu merumuskan jalan keluar atas setiap permasalahan.
Kini timbul kesan seakan-akan berhitung secara manual memboroskan waktu. Padahal
ketergantungan kepada kalkulator justru memunculkan beragam inefisiensi, misalnya
terkurasnya waktu untuk mengasah otak, meski hal itu baru dirasakan dalam jangka panjang.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengajak orang tua menjauhkan anak dari
kalkulator. Tetapi bagaimana menempatkannya secara proporsional melalui approach
education. Jika anak sedang sakit kepala, kemudian harus mengerjakan soal matematika yang
ditugaskan sekolah, tidak salah jika dibantu dengan kalkulator. Itu lebih baik daripada tidak
sama sekali.
Sketsa di atas sekadar melukiskan, kandungan pengetahuan dalam proses jauh lebih penting
ketimbang sekadar output-input. Walaupun belum merupakan barang siap pakai, ia bisa
menjadi sumber referensi yang dahsyat untuk berkreasi, berimprovisasi, atau berinovasi.
(Nasrullah Idris, dari Reformasi Sains Matematika Teknologi Bandung-32)
Sumber: suaramerdeka.com
Diposkan oleh setiawan di 15.11
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
1 komentar:
1.
Wasalam,
Nasrullah Idris
http://www.facebook.com/nasrullahidris.jawabarat
http://mathematics-without-alphabetic.blogspot.com/
Balas
ARTIKEL
TINJAUAN FILSAFAT DAN PSIKOLOGI KONSTRUKTIVISME
Pembelajaran TEMATIK2
Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Pembelajaran Tematik
Penalaran Induktif dan Deduktif
▼ 2011 (23)
o ► Oktober (1)
o ► Juli (1)
o ► Juni (2)
o ► Mei (3)
o ▼ April (11)
Pengembangan ICT dalam Pembelajaran
Guru Matematika Bertaraf Internasional
STANDAR PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BAGUSKAH EVALUASI SISTEM PERANGKINGAN ?
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CIRC
Menumbuhkan Minat Siswa terhadap Matematika
Kalkulator dan Logika Anak
Pengembangan ICT dalam Pembelajaran di SMA
Pembelajaran Matematika Konvensional
Locus of control
LOGIKA: Silogisme Dan Generalisasi
o ► Maret (5)
Mengenai Saya
setiawan
Lihat profil lengkapku
Pengunjung
kalender
Template Simple. Gambar template oleh luoman. Diberdayakan oleh Blogger.