You are on page 1of 24

REFERAT

DIARE

Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Periode 15 Oktober – 23 Desember 2018

Pembimbing :
Dr. Tundjungsari Ratna Utami, Msc, Sp.A

Disusun oleh :
Nadia Rezki Eliza
1810221011

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
DIARE

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum
Daerah Ambarawa

Oleh :

Nadia Rezki Eliza


1810221011

Ambarawa, 22 Oktober 2018


Telah dibimbing dan disahkan oleh :
Pembimbing

(Dr. Tundjungsari Ratna Utami, Msc, Sp.A)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga referat ini telah berhasil diselesaikan. Referat ini tidak akan
terselesaikan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak terkait yang ikut serta
membantu dalam penyelesaian referat ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tundjungsari Ratna Utami, Msc,
Sp.A, selaku pembimbing yang sabar dalam membimbing dan memberikan
pengarahan serta mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan, masukan, serta koreksi demi tersusunnya referat ini, serta semua pihak
terkait yang telah membantu proses pembuatan referat ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
penulis mohon maaf jika terdapat kekurangan. Penulis berharap referat ini dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Ambarawa, 22 Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… i


HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. ii
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. iii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… iv

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….... 3


II.1 Definisi ……………..………………………………………………... 3
II.2 Epidemiologi ……....………………..……...……………………….... 3
II.3 Faktor risiko ………………….......…………………………............ 3
II.4 Etiologi …...………………………………………………………… 4
II.5 Patofisiologi ……………………………………………………....... 5
II.6 Klasifikasi ………………………………………………………….. 7
II.7 Manifestasi klinis …………………………………………………….. 7
II.8 Diagnosis ……………………………………………………............... 8
II.9 Tatalaksana ……………………………………………………............ 11
II.10 Prognosis ……………………………………………………............... 18
II.11 Komplikasi ……………………………………………………............. 18
II.12 Pencegahan.............................................................................................. 18
BAB III KESIMPULAN ……….………………………………………........ 19

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...... 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara


berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitas-nya yang
masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen
Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada
tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /
1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010
menjadi 411/1000 penduduk (Depkes, 2010).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas
dan Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih
menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab utama kematian
akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana
kesehatan. Untuk menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat
dan tepat.
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%)
dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di
perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%). Ada hubungan
negatif antara kejadian diare dengan tingkat pendidikan ibu dan indeks kekayaan
kuantil. Semakin pendidikan ibu meningkat dan semakin tinggi indeks kekayaan
kuantil rumah tangga, semakin rendah prevalensi diare. Tidak ada pola yang khas
antara prevalensi diare dan sumber air minum serta fasilitas kakus. Terlihat bahwa
persentase diare lebih rendah pada anak yang tinggal di rumah dengan fasilitas
kakus sendiri. Seperti yang diprediksi prevalensi diare paling tinggi terjadi pada
anak yang tinggal di rumah tanpa akses air bersih, yaitu yang memakai fasilitas
kakus di sungai/kolam/danau (18,4%) (SDKI, 2007).
Proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11
bulan yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%,
kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil pada

1
kelompok umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06%. Sebagian besar penderita diare tidak
datang berobat ke sarana kesehatan. Ada yang mengobati sendiri, ada yang
berobat ke praktek dokter swasta, ada ke Puskesmas, Rumah Sakit, dan ada yang
tidak kemana-mana (Kemenkes RI, 2010).
Penyakit diare termasuk dalam 10 penyakit yang sering menimbulkan
kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber
data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke 6 frekuensi KLB
terbanyak setelah DBD, Chikungunya, Keracunan makanan, Difteri dan Campak.
Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan tahun 2009, menurut data STP KLB 2009 ,
KLB diare penyakit ke 7 terbanyak yang menimbulkan KLB.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Menurut WHO Pengertian diare adalah buang air besar dengan konsistensi
cair (mencret) sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu hari (24 jam).
Selama terjadi diare, tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit secara
cepat. Pada saat yang bersamaan, usus kehilangan kemampuannya untuk
menyerap cairan dan elektrolit yang diberikan kepadanya. Pada kasus yang ringan
dimana proses penyerapan belum terganggu, berbagai cairan yang diberikan
kepadanya dapat mencegah dehidrasi. Lebih kurang 10% episode diare disertai
dehidrasi /kekurangan cairan secara berlebihan. Bayi dan anak yang lebih kecil
lebih mudah mengalami dehidrasi dibanding anak yang lebih besar dan dewasa
(IDAI, 2014).
Diare dapat disebabkan oleh transportasi air dan elektrolit yang abnormal
dalam usus. Gangguan diare dapat melibatkan lambung dan usus (Gastroenteritis),
usus halus (Enteritis), kolon (Kolitis) atau kolon dan usus (Enterokolitis) (Wong,
2008).

II.2 Epidemiologi
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%)
dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di
perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%). (Depkes RI, 2009).
Proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan
yaitu sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%, kelompok
umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan proporsi terkecil pada kelompok
umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06% (Kemenkes RI, 2010).

II.3 Faktor risiko


Faktor risiko yang menyebabkan diare seperti faktor lingkungan, faktor
perilaku masyarakat rendahnya pengetahuan masyarakat tentang diare serta
malnutrisi. Contoh dari faktor lingkungan berupa sanitasi yang buruk serta sarana

3
air bersih yang kurang. Faktor perilaku masyarakat seperti tidak mencuci tangan
sesudah buang air besar serta tidak membuang tinja dengan benar. Tidak memberi
ASI secara penuh 4-6 bulan pertama kehidupan bayi mempunyai risiko untuk
menderita diare lebih besar, ini akibat kurangnya pengetahuan masyarakat
khususnya ibu tentang diare (Adisasmito, 2007).
Diare merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap episode diare dapat
menyebabkan kehilangan berat badan (Tanchoro, 2006). Semakin buruk keadaan
gizi anak, semakin sering dan semakin berat diare yang dideritanya
(Suharyono,2008). Ada 2 masalah yang berbahaya dari diare yaitu kematian dan
malnutrisi. Diare dapat menyebabkan malnutrisi dan membuat lebih buruk lagi
karena pada diare tubuh akan kehilangan nutrisi, anak- anak dengan diare
mungkin merasa tidak lapar serta ibu tidak memberi makan pada anak ketika
mengalami diare (WHO, 2005).

II.4 Etiologi
Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare
tersering. Virus, terutama Rotavirus merupakan penyebab utama (60-70%) diare
infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10%
adalah parasit.
Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada
anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan- 2
tahun (Suharyono,2008). Infeksi Rotavirus menyebabkan sebagian besar
perawatan rumah sakit karena diare berat pada anak- anak kecil merupakan infeksi
nasokomial yang signifikan oleh mikroorganisme pathogen. Salmonella, Shigella
dan Campylobacter merupakan bakteri pathogen yang paling sering di isolasi.
Mikroorganisme Giardia lamblia dan Cryptosporodium merupakan parasit yang
paling sering menimbulkan diare infeksius akut (Wong,2009). Selain Rotavirus,
telah ditemukan juga virus baru yaitu Norwalk virus. Virus ini lebih banyak pada
kasus orang dewasa dibandingkan anak- anak (Suharyono, 2008). Kebanyakan
mikroorganisme penyebab diare disebarluaskan lewat jalur fekal oral melalui
makanan, air yang terkontaminasi atau ditularkan antar manusia dengan kontak
yang erat (Wong, 2009).

4
II.5 Patofisiologi
Dasar dari semua diare adalah gangguan transportasi larutan usus,
perpindahan air melalui membran usus berlangsung secara pasif dan hal ini
ditentukan oleh aliran larutan secara aktif maupun pasif, terutama natrium,
klorida, dan glukosa (Ulscen, 2000).
Mekanisme yang menyebabkan timbulnya diare adalah gangguan osmotik,
gangguan sekresi, dan gangguan motilitas usus (Suraatmaja, 2007). Pada diare
akut, mikroorganisme masuk ke dalam saluran cerna, kemudian mikroorganisme
tersebut berkembang biak setelah berhasil melewati asam lambung,
mikroorganisme membentuk toksin (endotoksin), lalu terjadi rangsangan pada
mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan sekresi cairan
tubuh yang mengakibatkan terjadinya diare (Suraatmaja, 2007).
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi sebagai berikut: 1)
Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2) sekresi cairan
dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3) malabsorbsi asam empedu,
malabsorbsi lemak; 4) Defek sistem pertukaran anion atau transpot elektrolit aktif
di enterosit; 5) Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6) gangguan
permeabilitas usus; 7) Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik; 8)
Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi (Setiawan, 2006).
Diare osmotik disebabkan karena meningkatnya tekanan osmotik intralumen
dari usus halus yang dikarenakan oleh obat-obatan atau zat kimia yang
hiperosmotik, malabsorbsi umum dan defek dalam absorbsi mukosa usus misal
pada defisiensi disararidase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa (Sudoyo, 2006).
Diare sekretorik disebabkan karena meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari
usus, menurunnya absorbsi. Yang khas pada diare tipe sekretorik secara klinis
ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Penyebab dari diare ini
antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholera, atau Eschersia
colli (Setiawan, 2006).
Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: diare tipe ini didapatkan pada
gangguan pembentukan atau produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit
saluran bilier hati (Ellen et al,. 2007). Defek sistem pertukaran anion/transpor
elektrolit aktif di enterosit; diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme

5
transport aktif NA+ K + ATP ase di enterosit dan diabsorbsi Na+ dan air yang
abnormal (Ellen et al,. 2007). Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare
tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga
menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas
antara lain: diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Elain et all., 2008).
Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang
abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada
usus halus (Setiawan, 2006).
Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya
kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus
yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen, gangguan
absorbsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat disebabkan infeksi
(disentri Shigella) atau noninfeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Chron)
(Setiawan, 2006). Diare infeksi; infeksi oleh bakteri merupakan penyebab
tersering dari diare. Dilihat dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas
non invasif (tidak merusak mukosa) dan invasif (merusak mukosa). Bakteri non-
invasif menyebabkan diare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut diare
toksigenik. Contoh diare toksigenik adalah kolera. Enterotoksin yang dihasilkan
kuman Vibrio cholera atau eltor merupakan protein yang dapat menempel pada
epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik (AMF siklik) di
dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion
bikarbonat dan kation natrium dan kalium. Mekanisme absorbsi ion natrium
melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion
klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion, kalium) dapat dikompensasi oleh
meningginya absorbsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium dan ion
bikarbonat, klorida. kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan
glukosa yang diabsorbsi secara aktif oleh dinding sel usus (Setiawan, 2006).

6
II.6 Klasifikasi
Menurut WHO (2005), diare dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari. Akibat
adanya dehidrasi, sedangkan dehidrasi adalah penyebab utama kematian
bagi penderita diare.
b. Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah dalam tinjanya. Akibat
disentri adalah anoreksia, penurunan berat badan secara cepat, dan adanya
kerusakan pada mukosa.
c. Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara
terus menerus.
d. Diare yang disertai dengan malnutrisi berat.

II.7 Manifestasi klinis Diare


Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau
demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang
berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat
menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan
renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik
yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan
berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air
yang isotonik. Selain itu, gejala bisa berupa tinja bayi encer, berlendir atau
berdarah, warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu, dan
lecet pada anus (IDAI, 2011).

II.8 Diagnosis
Demi kepentingan pelayanan sehari-hari diagnosis kerja berdasarkan gejala
klinik seharusnya sudah memadai, dan sudah cukup untuk kepentingan terapi. Hal
ini sudah disebutkan dimuka bahwa diare karena infeksi dan karena intoleransi
makanan mencakup sebagian besar kasus diare. Langkah diagnosis sebagai
berikut : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium mencakup tinja,

7
darah, kultur tinja, serologi, juga dilakukan foto dan endoskopi (Daldiyono,
1997).
Anamnesis
Anamnesis pada penderita diare harus cermat dengan tujuan untuk mengusahakan
data yang mengarah pada penggolongan berdasarkan patofisiologi maupun untuk
mencari data penggolongan berdasarkan etiologi, serta derajat berat ringannya
penyakit secara rinci (Daldiyono, 1997).
Anamnesis yang perlu diketahui adalah sebagai berikut:
a. Umur Umur pederita perlu diketahui untuk semua keadaan. Pada masalah
diare pasien geriatrik biasanya akibat tumor, divertikulitis, laksan
berlebihan. Pada pasien muda biasanya infeksi, sindrom kolon iritatif
(iritabel), investasi parasit, intoleransi laktase, dan di Eropa suatu penyakit
seliak (Daldiyono, 1997).
b. Jenis Kelamin Jenis kelamin tidak banyak bersangkutan dengan diare
(Daldiyono, 1997).
c. Frekuensi Diare Frekuensi diare sangat penting untuk diketahui. Frekuensi
diare harus dipertanyakan setiap hari dari awal penyakit sampai pasien
datang kedokter. Misalnya hari pertama beberapa kali, hari kedua dan
seterusnya. Perlu diketahui apakah frekuensi diare tersebut yang misalnya
4-5 kali sehari terbagi rata dalam sehari atau hanya pagi hari saja misalnya.
Frekuensi diare oleh infeksi bakteri biasanya dari hari kehari makin sering,
berbeda dengan diare akibat minum laksan misalnya, atau akibat salah
makan (Daldiyono, 1997).
d. Lamanya diare Diare akut biasanya berlangsung cepat sedang kronik
misalnya pada colitis ulserosa, sindrom kolon iritabel, intoleransi laktase,
malabsorbsi biasanya berlangsung lama (Daldiyono, 1997).
e. Perjalanan penyakit Diare akut biasanya cepat sembuh sedangkan beberapa
penyakit misalnya sindrom iritabel, hipertiroid, kolitis ulserasi mengalami
perode remisi dan eksaserbasi (Daldiyono, 1997).
f. Informasi tentang tinja Informasi tentang tinja justru yang terpenting.
Dengan mengetahui secara tepat seluk beluk tinja yang dikeluarkan dapat
memimpin fikiran untuk menuju diagnosis. Idealnya dokter melihat dan

8
membau tinja penderita, tapi ini sering sukar, bahkan pasien sendiri
banyak yang segan melihat tinjanya sendiri. Sebelum menganalisis tinja
yang patologis, baik diterangkan karakteristik tinja normal. Tinja ideal
biasanya berwarna coklat hijau, kekuningan, panjang 15-39 cm pada
dewasa dan bulat lonjong dengan diameter 2-4 cm. tinja berikut keluar
sekaligus secara berurutan tanpa mengejam, dengan berat sekitar 75-200
gr. Kandungan tinja adalah bakteri, sisa makanan, air 70 %, sel-sel yang
lepas, serat dan sisa makanan lainnya. Bau tinja normal spesifik, akibat
sterkobilin, indol dan skatol serta gas lain yang banyak sekali (Daldiyono,
1997).
Pemeriksaan Fisik
Kelainan – kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna
dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status
volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah
dan nadi, temperatur tubuh dan toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama
merupakan hal yang penting. Kualitas bunyi usus dan ada atau tidaknya distensi
abdomen dan nyeri tekan merupakan petunjuk penting bagi penentuan etiologi
(Simadibrata, 2006).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan tinja selalu penting. Adanya parasit atau jamur hanya dapat
didiagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan kultur tinja haruslah
tertuju terhadap bakteri tertentu. Pemeriksaan serologi atau pemeriksaan
laboratorium lain banyak diperlukan bagi diare kronik atau berulang (Daldiyono,
1997). Pada pasien diare perlu dianalisis tinjanya sebagai berikut:
a. Volume
Frekuensi defekasi yang sering dengan tinja yang sedikit, berarti iritasi
kolon bagian distal atau rektum misalnya pada disentri, colitis ulserosa,
tumor rektum dan sigmoid dan pada sindrom usus irritable. Diare dengan
tinja yang banyak berarti berasal dari intestine misalnya pada kolera, atau
diare bentuk kolera (cholererform diarrhea), enteritis bacterial atau akibat
laksan. Tinja pada sindrom malabsorbsi biasanya banyak sekali seperti
adonan roti pucat, lengket dengan bau yang menyengat dan terapung pada

9
air. Sedang pada keadaan lain malabsorbsi tinja dengan air bercampur
dengan sempurna. Tinja yang lunak semisolid bisa normal dan tinja cair
yang keluar sesudah tinja padat juga bisa normal (Daldiyono, 1997).
b. Warna
Warna tinja normal tergantung makanan yang dikonsumsi. Sesudah
banyak makan pisang atau minum susu tinja berwarna kuning, bila banyak
makan daging, warna tinja coklat, sayuran hijau membuat tinja berwarna
hijau, sedang pepaya, wortel, tomat membuat warna tinja kemerahan,
sedang bila ada peradangan saluran cerna tinja berwarna hitam
(Daldiyono, 1997).
c. Bau
Bau tinja perlu diketahui, bau yang menyengat busuk terdapat karsinoma
kolon, sedang pada kolera baunya anyir (seperti sperma), bau sekali
(menyengat) pada malabsorbsi (Daldiyono, 1997).
d. Sisa Makanan
Sisa sayuran pada tinja bisa normal, bila sisa makanan jelas terlihat hal ini
bisa terjadi pada sindrom usus atau fistula (Daldiyono, 1997).
e. Lendir dan Nanah
Tinja berlendir biasa terjadi pada sindrom usus iritabel, karena itu disebut
colitis mukoid. Lender (mucus) bersama dengan nanah bisa terjadi pada
colitis ulserosa dan disentri. Bedanya lendir dan nanah adalah lendir
terlihat bening transparan sedang nanah berwarna kuning keruh
(Daldiyono, 1997).
f. Darah
Darah pada tinja terjadi pada disentri, infeksi kampilobakter, tumor dan
colitis ulserasi, hemoroid. Adanya darah pada tinja yang cair menunjukkan
situasi yang harus diperhatikan dengan seksama oleh dokter (Daldiyono,
1997).

10
II.9. Tatalaksana
Sesuai rekomendasi WHO/UNICEF dan IDAI, sejak tahun 2008
Departemen Kesehatan Republik Indonesia memperbaharui tatalaksana diare yang
dikenal dengan istilah lima langkah tuntaskan diare (Lintas diare) sebagai salah
satu strategi pengendalian penyakit diare di Indonesia.
Lintas diare meliputi :
1. Pemberian oralit
a. Beri cairan lebih banyak dari biasanya:
 Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
 Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri oralit atau air
matang sebagai tambahan
 Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu yang
biasa diminum dan oralit atau cairan rumah tangga sebagai
tambahan (kuah sayur, air tajin, air matang, dsb)
b. Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit
dan dilanjutkan sedikit demi sedikit.
 Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali BAB.
 Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali BAB.
c. Anak harus diberi 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah bila:
 Telah diobati dengan rencana terapi B atau C.
 Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika diare
memburuk.
d. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit
2. Zinc selama 10 hari
Penggunaan zinc untuk penderita diare dapat mengurangi lama dan
keparahan diare, mengurangi frekuensi dan volume buang air besar, serta
mencegah kekambuhan kejadian diare sampai 3 bulan berikutnya.
Dapat diberikan dengan cara dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air
matang atau ASI.
a. Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
b. Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.

11
3. Pemberian ASI dan makanan sesuai umur.
Memberikan makanan kepada balita selama diare (usia 6 bulan ke atas)
akan membantu anak tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang terkena diare jika tidak diberikan asupan makanan
yang sesuai umur akan menyebabkan anak kurang gizi. Bila anak kurang
gizi akan meningkatkan risiko terkena diare kembali.
a. Jika anak masih mendapat ASI:
 Berikan lebih sering dan lebih lama, pagi, siang dan malam.
b. Jika anak mendapat susu selain ASI
 Kurangi pemberian susu tersebut dan tingkatkan pemberian ASI
 Gantikan setengah bagian susu dengan bubur nasi di tambah
tempe
 Jangan diberikan susu kental manis.
c. Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu
anak sehat.
d. Tambahkan 1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan.
e. Beri makanan kaya kalium seperti sari buah segar, pisang, air
kelapa hijau.
f. Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil
(setiap 3-4jam).
g. Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan
tambahan selama 2 minggu.
4. Antibiotika selektif. obat anti diare Antibiotika hanya diberikan pada kasus
kolera dan disentri yang disebabkan oleh shingella, sedangkan
metrodinazole diberikan pada kasus giardiasis dan amebiasis.
5. Nasihat pada ibu/ pengasuh anak.
Nasihati ibu/pengasuh Untuk membawa anak kembali ke petugas
kesehatan bila:
a. BAB cair lebih sering
b. Muntah berulang
c. Sangat haus
d. Makan dan minum sangat sedikit

12
e. Timbul demam
f. BAB berdarah
g. Tidak membaik dalam 3 hari

Berdasarkan laporan Susenas (2007), sebanyak 58,9% keluarga membawa


balita sakitnya untuk rawat jalan, sebagian besarnya dibawa ke puskesmas (45%)
dan 31,7 % dibawa ke praktek tenaga kesehatan. Berdasarkan studi awal yang
dilakukan oleh Pouzn (point of use water disinfection zinc treatment) project yang
dilaksanakan oleh Nielsen (2009) di Bandung, dalam perilaku mendapatkan saran
kesehatan atau care seeking behavior maka ibu yang anaknya diare akan mencari
nasehat dari tetangga (69%), dari bidan (31%), puskesmas (16%), posyandu (6%)
dan dokter (6%).
Adapun tujuan dari penalataksanaan diare terutama pada balita adalah:
1. Mencegah dehidrasi.
2. Mengobati dehidrasi.
3. Mencegah ganngguan nutrisi dengan memberikan makan selama dan
sesudah diare.
4. Memperpendek lamanya sakit dan mencegah diare menjadi berat.

Penilaian derajat dehidrasi dan rencana terapi Depkes RI 2011

13
Penentuan rencana terapi
Rencana pengobatan diare dibagi menjadi 3 bagian berdasarkan derajat dehidrasi
yang dialami penderita.
1. Rencana Terapi A, jika penderita diare tidak mengalami dehidrasi yaitu diare
yang jika terjadi dan melibatkan dua atau lebih tanda berikut yaitu:
Keadaan umum baik, sadar, mata tidak cekung, minum biasa,tidak haus
dan cubitan kulit perut/turgor kembali segera.
2. Rencana Terapi B, jika penderita mengalami dehidrasi ringan – sedang yaitu
diare yang terjadi dan melibatkan dua atau lebih tanda di bawah ini yaitu:
Gelisah dan rewel, mata cekung, ingin minum terus, ada rasa haus dan
cubitan kulit perut/turgor kembali lambat.
3. Rencana Terapi C, jika penderita diare mengalami dehidrasi berat yaitu diare
yang terjadi dan melibatkan dua atau lebih tanda di bawah ini yaitu: Lesu
dan lunglai/tidak sadar, mata cekung, malas minum dan cubitan kulit
perut/turgor kembali sangat lambat > 2 detik. (Panduan Sosialisasi
Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI 2011)

14
Algoritme pengobatan diare (Sudrajat, 2010)

15
Algoritme pengobatan diare (Sudrajat, 2010)

16
Algoritme pengobatan diare (Sudrajat, 2010).

17
II.10 Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung, dan
terapi antimikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius hasilnya sangat
baik dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Seperti kebanyakan
penyakit, morbiditas dan mortalitas ditujukan pada anak-anak dan pada lanjut usia
(Zein, 2004).

II.11 Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan
cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat.
Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan
asidosis metabolik. Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis,
sehingga syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat
timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi
organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak
adekuat sehingga tidak tercapai rehidrasi yang optimal (Zein, 2004).

II.12 Pencegahan
Karena penularan diare menyebar melalui jalur fekal-oral, penularannya
dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah
makanan. Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan
ternak harus terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air merupakan
penularan yang utama, ini harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang
digunakan untuk membersihkan makanan, atau air yang digunakan untuk
memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada kecurigaan tentang keamanan air
atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau atau air, harus direbus
dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi. Ketika berenang di danau atau
sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air (Zein, 2004).

18
BAB III
KESIMPULAN

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3
kali atau lebih dalam satu hari (24 jam). Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan
parasit merupakan penyebab diare tersering. Virus, terutama Rotavirus merupakan
penyebab utama (60-70%) diare infeksi pada anak
Manifestasi klinis diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-
muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata
menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta
suara menjadi serak.
Adapun tujuan dari penalataksanaan diare terutama pada balita adalah
mencegah dehidrasi, mengobati dehidrasi, mencegah ganngguan nutrisi dengan
memberikan makan selama dan sesudah diare dan memperpendek lamanya sakit
dan mencegah diare menjadi berat. Karena penularan diare menyebar melalui jalur
fekal-oral, penularannya dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito W 2007, Faktor Resiko Diare Pada Bayi dan Balita di Indonesia, Systemic
Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Jakarta.

Adisasmito, W 2007, Sistem Kesehatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Daldiyono 1997, Gastroenterologi Hepatologi . Jakarta : CV Sagung Seto

Donna L, Wong 2008, Buku Ajar Keperawatan Pedriatik, EGC, Jakarta.

Indonesia. Kementerian Kesehatan RI 2010, Pedoman Pengendalian Penyakit Diare,


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.

Indonesia. Badan Pusat Statistik 2017, Survey Demografi Kesehatan Indonesia, Jakarta.

Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak, Penerbit IDAI, Jakarta.

Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia 2011, Jakarta.

Setiawan, Budi 2006, Diare Akut karena Infeksi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
edisi IV, : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. P.1794-1798, Jakarta.

Simadibrata 2006, Pendekatan Diagnostik Diare Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan Depertemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jakarta.

Suharyono 2008, Diare Akut, Gramedia, Jakarta.

Sudoyo A.W, Alwi I, Setiyohadi B, 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed V Jilid III,
Interna Publishing 1709-1713, Jakarta.

Suraatmaja, Sudaryat. 2007. Kapita Selekta Gastroenterologi. Sagung Seto, Jakarta.

Ulshen, Martin. 2000. Manifestasi Klinis Penyakit Saluran Pencernaan. In: Behrman,
Kliegman & Arvin, Nelson, ed. Ilmu Kesehatan Anak vol. 2 Edisi 15. EGC.
Jakarta.

Umar Zein, Khalid Huda Sagala, Josia Ginting 2004, Diare akut disebabkan bakteri,
diakses tangaal 20 Oktober 2018 http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-
umar5.pdf. 20 Desember 2009

World Health Organization. 2005, Global Health Risks, Diakses 21 Oktober 2018
http://www.who.int /healthinfo/global-burden-disease/GlobalHealthRisks-report-
full-pdf

20

You might also like